Pengaruh variasi fase minyak virgin coconut oil dan medium-chain triglycerides oil terhadap stabilitas fisik nanoemulsi minyak biji delima dengan kombinasi surfaktan tween 80 dan kosurfaktan PEG 400.
PENGARUH VARIASI FASE MINYAK VIRGIN COCONUT OIL DAN MEDIUM-CHAIN TRIGLYCERIDES OIL TERHADAP STABILITAS FISIK NANOEMULSI MINYAK BIJI DELIMA DENGAN KOMBINASI
SURFAKTAN TWEEN 80 DAN KOSURFAKTAN PEG 400 Stephanie
128114145
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Email korespondensi: Stphaniechn@gmail.com
Abstrack: Pomegranate seed oil has a high antioxidant activity because it
contains of punicic acid. Limitation of the use of pomegranate seed oil and it behaviors to easily decompose become the reason to develop this oil into nanoemulsion form. Nanoemulsion is a drug delivery system with mean droplet size < 100 nm. Oil phase in nanoemulsion has an important role in formulation of nanoemulsion. Oil phase in formulation of nanoemulsion can affect the physical stability of nanoemulsion. This study aimed is to investigate the effect of oil phase variation virgin coconut oil (VCO) and medium-chain triglycerides (MCT) oil on the physical stability of pomegranate seed oil nanoemulsion with combination of surfactant Tween 80 and cosurfactant PEG 400. Formulation of pomegranate seed oil nanoemulsion was done by combining low emulsification method with magnetic stirrer and high emulsification method with homogenizer and sonicator. Physical stability properties including organoleptic, pH, percent transmittance, turbidity, viscosity, and droplet size before and after freeze-thaw cycle were observed. Data were all analyzed statistically using software R 3.2.2 in 95% level of confidence. Results showed that there were significant difference in viscosity for formula A and turbidity for formula B with p-value < 0,05. This were caused by alteration in droplet size from 109,56±73,52 to 153,34±145,37 in formula A and 222,32±127,74 to 183,89±81,68 in formula B.
Key words : nanoemulsion, pomegranate seed oil, VCO, MCT oil, Tween 80, PEG 400, physical stability.
Intisari: Minyak biji delima memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi karena adanya kandungan punicic acid. Keterbatasan penggunaan minyak biji delima dan sifatnya yang mudah terdekomposisi menjadi alasan pengembangan minyak ini dalam bentuk nanoemulsi. Nanoemulsi merupakan sistem penghantaran obat dengan rata-rata diameter droplet berukuran < 100 nm. Fase minyak merupakan komponen penting dalam formulasi nanoemulsi. Fase minyak yang digunakan dalam formulasi nanoemulsi dapat mempengaruhi stabilitas fisik nanoemulsi yang terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi fase minyak
(2)
virgin coconut oil (VCO) dan medium-chain triglycerides (MCT) oil terhadap
stabilitas fisik sediaan nanoemulsi minyak biji delima dengan kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan PEG 400. Formulasi nanoemulsi minyak biji delima dilakukan dengan kombinasi metode emulsifikasi energi rendah dengan magnetic
stirrer dan metode emulsifikasi energi tinggi dengan homogenizer dan sonikator.
Parameter stabilitas fisik yang diamati meliputi organoleptis, pH, persen transmitan, turbiditas, viskositas, serta ukuran droplet sebelum dan sesudah melewati freeze-thaw cycle. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan
software R 3.2.2 pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan
adanya perbedaan signifikan pada parameter viskositas untuk formula A dan parameter turbiditas untuk formula B dengan nilai p-value < 0,05. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan ukuran droplet dari 109,56±73,52 menjadi 153,34±145,37 pada formula A dan 222,32±127,74 menjadi 183,89±81,68 pada formula B setelah melewati freeze-thaw cycle.
Kata kunci: nanoemulsi, minyak biji delima, VCO, MCT oil, Tween 80, PEG 400, stabilitas fisik.
(3)
PENGARUH VARIASI FASE MINYAK VIRGIN COCONUT OIL DAN MEDIUM-CHAIN TRIGLYCERIDES OIL TERHADAP STABILITAS FISIK NANOEMULSI MINYAK BIJI DELIMA DENGAN KOMBINASI
SURFAKTAN TWEEN 80 DAN KOSURFAKTAN PEG 400
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh: Stephanie NIM : 128114145
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
(5)
(6)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“For I know the plans I have for you, plans to prosper you and not to harm you, plans to give you hope and a
future.” says the Lord.
- Jeremiah 29:11
What you think, you become. What you feel, you attract. What you imagine, you create.
- Buddha
Karya ini ku persembahkan untuk malaikat yang telah melahirkanku ke dunia dan selalu menjagaku setiap saat dari surga, kepada superhero yang selalu menjagaku di dunia, dan kepada semua orang yang sangat kukasihi dan
(7)
(8)
(9)
vii PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas kasih, berkat, dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH VARIASI FASE MINYAK
VIRGIN COCONUT OIL DAN MEDIUM-CHAIN TRIGLYCERIDES OIL
TERHADAP STABILITAS FISIK NANOEMULSI MINYAK BIJI DELIMA DENGAN KOMBINASI SURFAKTAN TWEEN 80 DAN KOSURFAKTAN PEG 400” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama proses perkuliahan, penelitian, penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah mendapatkan bantuan doa, dukungan, semangat, saran dan kritik dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan saudara tercinta atas doa, cinta, kasih sayang, perhatian, motivasi, saran, dan kritik yang diberikan kepada penulis.
2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., dan Ibu Beti Pudyastuti, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan waktu, bimbingan, pengarahan, saran, dan kritik kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi.
(10)
viii
4. Ibu Wahyuning Setyani, M.Sc., Apt. dan Bapak Septimawanto Dwi Prasetyo, M.Si., Apt. atas kesediaannya meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan saran kepada penulis dalam memperbaiki naskah skripsi.
5. Segenap Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mengajar dan membimbing penulis selama perkuliahan.
6. Pak Musrifin, Mas Agung, Pak Suparlan, serta seluruh laboran dan karyawan lain di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.
7. Medaliana Hartini selaku teman seperjuangan dalam penelitian nanoemulsi minyak biji delima atas kerja sama, bantuan, dukungan, dan kebersamaan selama proses skripsi ini.
8. Agnesia Brillianti Kananlua, Suzan, dan Venny Claudia Hermanto selaku teman satu tim penelitian dalam melakukan penelitian yang telah memberikan semangat, dukungan, saran, dan kritik yang diberikan kepada penulis.
9. Melania Roswita Budisantoso dan Agatha Asih Widiningrum atas doa, tawa, kebersamaan, dukungan, dan semangat yang diberikan kepada penulis.
10. Teman-teman FST 2012 atas kebersamaannya baik selama proses perkuliahan maupun praktikum.
11. Semua pihak yang telah banyak membantu selama proses skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
(11)
ix
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang farmasi.
(12)
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……… iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……… vi
PRAKATA……… vii
DAFTAR ISI………. x
DAFTAR TABEL………. xiv
DAFTAR GAMBAR……… xv
DAFTAR LAMPIRAN………. xvi
INTISARI……….. xviii
ABSTRACT……… xix
BAB I. PENGANTAR………. 1
A. Latar Belakang……….. 1
1. Rumusan masalah………. 5
2. Keaslian penelitian……… 5
3. Manfaat penelitian………. 6
B. Tujuan Penelitian……….. 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 8
A. Minyak Biji Delima………... 8
(13)
xi
C. Komponen Nanoemulsi………. 10
D. Sifat Fisik Nanoemulsi……….. 12
1. Uji organoleptis………. 13
2. Uji tipe nanoemulsi……….. 13
3. Uji pH……… 14
4. Uji persen transmitan………... 14
5. Uji turbiditas………. 14
6. Uji viskositas……… 15
7. Uji ukuran droplet……… 15
E. Stabilitas Fisik Nanoemulsi………... 15
F. Pemerian Bahan……… 18
1. Virgin coconut oil……… 18
2. Medium-chain triglycerides oil………... 19
3. Tween 80………... 20
4. PEG 400………. 21
5. Aquadest ………... 22
G. Landasan Teori………. 22
H. Hipotesis Penelitian……….. 24
BAB III. METODE PENELITIAN………... 25
A. Jenis Rancangan Penelitian………... 25
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………... 25
1. Variabel penelitian………. 25
(14)
xii
C. Bahan Penelitian……… 27
D. Alat Penelitian………... 28
E. Tata Cara Penelitian……….. 28
1. Formulasi nanoemulsi minyak biji delima……… 28
2. Evaluasi sifat fisik nanoemulsi minyak biji delima…………... 29
3. Evaluasi stabilitas fisik nanoemulsi minyak biji delima….…... 31
F. Analisis Data………. 32
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 33
A. Karakterisasi Minyak Biji Delima……… 33
B. Formulasi Nanoemulsi Minyak Biji Delima……… 33
C. Evaluasi Sifat Fisik Nanoemulsi Minyak Biji Delima……….. 34
1. Pengujian organoleptis dan pH……….. 35
2. Pengujian tipe nanoemulsi………... 36
3. Pengujian persen transmitan……….. 36
4. Pengujian turbiditas……… 37
5. Pengujian viskositas……….. 38
6. Pengujian ukuran droplet……….. 38
D. Stabilitas Fisik Nanoemulsi Minyak Biji Delima………. 39
1. Sentrifugasi ………... 39
2. Freeze-thaw cycle.………. 40
E. Diskusi ……….. 45
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 47
(15)
xiii
B. Saran ………. 47
DAFTAR PUSTAKA………... 48
LAMPIRAN ………. 53
(16)
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Kandungan asam lemak dalam VCO………... 18
Tabel II. Formula acuan nanoemulsi……….. 28
Tabel III. Formula nanoemulsi minyak biji delima………. 29
Tabel IV. Hasil karakterisasi minyak biji delima………. 33
Tabel V. Data organoleptis dan pH nanoemulsi minyak biji delima….. 35
Tabel VI. Data hasil uji sifat fisik nanoemulsi minyak biji delima……. 36
Tabel VII. Data pemisahan fase nanoemulsi sebelum dan sesudah sentrifugasi………... 40
Tabel VIII. Data organoleptis dan pH nanoemulsi minyak biji delima sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle………... 40
Tabel IX. Data stabilitas fisik nanoemulsi minyak biji delima formula A sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle………... 41
Tabel X. Data stabilitas fisik nanoemulsi minyak biji delima formula B sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle………... 41
(17)
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bentuk droplet nanoemulsi tipe M/A……….. 10
Gambar 2. Bentuk ketidakstabilan nanoemulsi………. 16
Gambar 3. Struktur medium-chain triglycerides... 19
Gambar 4. Struktur Tween 80………... 20
(18)
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Certificate of Analysis (CoA) minyak biji delima…………... 54 Lampiran 2. Perhitungan nilai HLB teoritis………. 55 Lampiran 3. Perhitungan jumlah minyak biji delima dalam formula
nanoemulsi………...……… 55
Lampiran 4. Dokumentasi alat yang digunakan dalam formulasi nanoemulsi minyak biji delima……… 55 Lampiran 5. Dokumentasi pengamatan organoleptis nanoemulsi minyak
biji delima……… 57
Lampiran 6. Data organoleptis nanoemulsi minyak biji delima………….. 60 Lampiran 7. Data persen transmitan dan turbiditas nanoemulsi minyak
biji delima……… 60
Lampiran 8. Data viskositas nanoemulsi minyak biji delima……….. 60 Lampiran 9. Data organoleptis nanoemulsi minyak biji delima sesudah
freeze-thaw cycle……….. 61 Lampiran 10. Data persen transmitan dan turbiditas nanoemulsi minyak
biji delima sesudah freeze-thaw cycle……….. 61 Lampiran 11. Data viskositas nanoemulsi minyak biji delima sesudah
freeze-thaw cycle……….. 61 Lampiran 12. Hasil pengujian ukuran droplet……… 62 Lampiran 13. Analisis statistik uji normalitas formula A dan B sebelum
(19)
xvii
Lampiran 14. Analisis statistik uji normalitas formula A dan B sesudah
freeze-thaw cycle……….. 72 Lampiran 15. Analisis statistik uji T dan Wilcoxon tidak berpasangan
antara formula A dan B……… 74 Lampiran 16. Analisis statistik uji T dan Wilcoxon berpasangan antara
formula A sebelum dan sesudah freeze-thaw dan formula B sebelum dan sesudah freeze-thaw……… 75
(20)
xviii INTISARI
Minyak biji delima memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi karena adanya kandungan punicic acid. Keterbatasan penggunaan minyak biji delima dan sifatnya yang mudah terdekomposisi menjadi alasan pengembangan minyak ini dalam bentuk nanoemulsi. Nanoemulsi merupakan sistem penghantaran obat dengan rata-rata diameter droplet berukuran < 100 nm. Fase minyak merupakan komponen penting dalam formulasi nanoemulsi. Fase minyak yang digunakan dalam formulasi nanoemulsi dapat mempengaruhi stabilitas fisik nanoemulsi yang terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi fase minyak
virgin coconut oil (VCO) dan medium-chain triglycerides (MCT) oil terhadap
stabilitas fisik sediaan nanoemulsi minyak biji delima dengan kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan PEG 400.
Formulasi nanoemulsi minyak biji delima dilakukan dengan kombinasi metode emulsifikasi energi rendah dengan magnetic stirrer dan metode emulsifikasi energi tinggi dengan homogenizer dan sonikator. Parameter stabilitas fisik yang diamati meliputi organoleptis, pH, persen transmitan, turbiditas, viskositas, serta ukuran droplet sebelum dan sesudah melewati freeze-thaw cycle. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan software R 3.2.2 pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada parameter viskositas untuk formula A dan parameter turbiditas untuk formula B dengan nilai p-value < 0,05. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan ukuran
droplet dari 109,56±73,52 menjadi 153,34±145,37 pada formula A dan
222,32±127,74 menjadi 183,89±81,68 pada formula B setelah melewati
freeze-thaw cycle.
Kata kunci: nanoemulsi, minyak biji delima, VCO, MCT oil, Tween 80, PEG 400, stabilitas fisik.
(21)
xix ABSTRACT
Pomegranate seed oil has a high antioxidant activity because it contains of punicic acid. Limitation of the use of pomegranate seed oil and it behaviors to easily decompose become the reason to develop this oil into nanoemulsion form. Nanoemulsion is a drug delivery system with mean droplet size < 100 nm. Oil phase in nanoemulsion has an important role in formulation of nanoemulsion. Oil phase in formulation of nanoemulsion can affect the physical stability of nanoemulsion. This study aimed is to investigate the effect of oil phase variation virgin coconut oil (VCO) and medium-chain triglycerides (MCT) oil on the physical stability of pomegranate seed oil nanoemulsion with combination of surfactant Tween 80 and cosurfactant PEG 400.
Formulation of pomegranate seed oil nanoemulsion was done by combining low emulsification method with magnetic stirrer and high emulsification method with homogenizer and sonicator. Physical stability properties including organoleptic, pH, percent transmittance, turbidity, viscosity, and droplet size before and after freeze-thaw cycle were observed. Data were all analyzed statistically using software R 3.2.2 in 95% level of confidence.
Results showed that there were significant difference in viscosity for formula A and turbidity for formula B with p-value < 0,05. This were caused by alteration in droplet size from 109,56±73,52 to 153,34±145,37 in formula A and 222,32±127,74 to 183,89±81,68 in formula B.
Key words : nanoemulsion, pomegranate seed oil, VCO, MCT oil, Tween 80, PEG 400, physical stability.
(22)
1 BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Terdapat lebih dari 1000 spesies tumbuhan di Indonesia yang memiliki manfaat bagi kesehatan. Salah satu bahan alam yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan ialah minyak biji delima atau yang lebih dikenal sebagai Pomegranate
Seed Oil (PSO) yang berasal dari biji tanaman delima (Punica granatum L.).
Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa minyak biji delima memiliki beberapa khasiat diantaranya ialah sebagai antioksidan, antimikroba, antikanker, serta anti-inflamasi (Mackler, Heber, and Cooper, 2013).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Melo (2012), senyawa yang terkandung dalam minyak biji delima ialah phytosterol, tocopherol, dan punicic
acid sebagai komponen utama dalam aktivitasnya sebagai antioksidan. Minyak
biji delima berperan sebagai antioksidan dengan mekanisme radical scavenger serta menghambat kerja enzim tyrosinase atau tyrosinase inhibitor. Efektivitas minyak biji delima dalam menangkap radikal bebas dapat dilihat berdasarkan nilai
Inhibitor Concentration 50% (IC50). IC50 menunjukkan konsentrasi yang
dibutuhkan untuk dapat menghambat radikal bebas sebanyak 50% (Lima and Vianello, 2013). Semakin rendah nilai IC50 maka semakin tinggi potensi antioksidan dalam menangkal radikal bebas. Penelitian oleh Yoganandam, Kumar, and Gopal (2013) menunjukkan nilai IC50 dari minyak biji delima sebesar 0,2775 mg/mL. Nilai tersebut menggolongkan minyak biji delima ke dalam
(23)
kategori antioksidan yang memiliki efek antioksidan sangat tinggi. Hal ini menujukkan bahwa minyak biji delima berpotensi untuk diteliti manfaatnya lebih jauh dalam bidang biomedis. Penelitian serupa mengenai minyak biji delima menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan minyak biji delima lebih besar dibandingkan dengan ekstrak anggur merah dan hampir serupa dengan ekstrak daun teh hijau (Jurenka, 2008).
Saat ini, penggunaan minyak biji delima cenderung terbatas dalam bentuk minyak dalam kemasan botol. Dalam bentuk demikian, minyak biji delima bersifat mudah menguap dan mudah terdekomposisi oleh panas, kelembaban udara, cahaya, maupun oksigen. Oleh karena itu, pengembangan minyak biji delima dalam bentuk sediaan nanoemulsi menjadi sangat potensial terkait banyaknya khasiat yang dimiliki oleh minyak biji delima. Selain itu, dalam bentuk sediaan nanoemulsi efektivitas dan bioavailabilitas dari minyak biji delima dapat ditingkatkan (Qian and McClements, 2011).
Nanoemulsi merupakan sistem penghantaran obat yang terdiri atas fase air dan minyak yang distabilkan oleh kombinasi antara surfaktan dan kosurfaktan dengan rata-rata droplet berukuran < 100 nm (Fulekar, 2010). Nanoemulsi memiliki beberapa keuntungan diantaranya dapat meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas obat, memiliki sistem yang stabil secara kinetika, serta dapat diformulasikan dengan konsentrasi surfaktan dan minyak yang rendah sehingga dapat memberikan rasa nyaman pada kulit tanpa meninggalkan rasa lengket (Bouchemal, Briancon, Perrier, and Fessi, 2004).
(24)
Surfaktan dan kosurfaktan merupakan komponen penting dalam formulasi nanoemulsi. Surfaktan dalam nanoemulsi berperan dalam menurunkan tegangan antarmuka antara dua cairan yang tidak bercampur karena adanya gugus hidrofilik pada bagian kepala dan gugus hidrofobik pada bagian ekor (Schramm, 2000). Kosurfaktan berperan dalam membantu kelarutan zat terlarut dalam medium dispers dengan meningkatkan fleksibilitas lapisan di sekitar area droplet dan menurunkan energi bebas permukaan sehingga stabilitas lebih dapat dipertahankan (Azeem et al., 2009). Selain itu, dengan adanya penggunaan kosurfaktan, konsentrasi penggunaan surfaktan dapat dikurangi sehingga dapat mengurangi resiko iritasi yang dapat ditimbulkan (Azeem et al., 2009). Surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tween 80 dan PEG 400. Tween 80 merupakan surfaktan non-ionik dan bersifat non-iritatif yang umum digunakan dalam sediaan farmasi dan kosmetik (Salanger, 2002). Konsentrasi Tween 80 sebagai surfaktan dalam suatu sediaan berkisar antara 1-10% (Rowe, Sheskey, and Quinn, 2009). PEG 400 merupakan kosurfaktan yang sering digunakan dalam sediaan farmasi karena bersifat non-iritatif (Rowe et al., 2009). Perbandingan konsentrasi surfaktan dan kosurfaktan dalam pembuatan nanoemulsi akan menghasilkan nilai hydrophile-lipophile balance (HLB) campuran yang dapat menentukan tipe nanoemulsi yang terbentuk. Nilai HLB yang dipersyaratkan untuk dapat membentuk sistem nanoemulsi dengan tipe minyak dalam air (M/A) ialah diatas 10. Penelitian Soni, Prajapati, and Chaudhri (2014) menunjukan bahwa kombinasi antara surfaktan dengan nilai HLB tinggi
(25)
dengan kosurfaktan dengan HLB yang lebih rendah dapat membentuk nanoemulsi yang jauh stabil.
Fase minyak yang digunakan juga dapat mempengaruhi ukuran droplet dan stabilitas nanoemulsi yang terbentuk (Pardo and McClements, 2014). Fase minyak dalam nanoemulsi berperan sebagai pembawa yang dapat melarutkan zat aktif yang bersifat hidrofobik dan membentuk droplet dalam medium dispers dengan adanya bantuan surfaktan dan kosurfaktan (Chen, Khemtong, Yang, Chang, and Gao, 2011). Virgin coconut oil (VCO) merupakan fase minyak yang sering digunakan dalam pembuatan nanoemulsi karena merupakan long-chain
triglyceride (LCT) oil yang memiliki kemampuan dalam mencegah terjadinya
Ostwald ripening dan dapat menghasilkan sediaan dengan ukuran droplet < 100
nm (Wooster, Golding, and Sanguansri, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Suciati, Aliyandi, and Satrialdi (2014) menggunakan VCO sebagai fase minyak dengan Tween 80 dan PEG 400 sebagai surfaktan dan kosurfaktan menunjukkan bahwa dengan komponen tersebut, dapat menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran droplet < 100 nm. Selain VCO, minyak lain yang juga sering digunakan dalam pembuatan sediaan nanoemulsi ialah medium-chain triglycerides (MCT)
oil. MCT oil merupakan minyak yang diperoleh dari hasil pemurnian VCO.
Proses pemurnian ini melewati tahapan panjang dan membutuhkan biaya yang cukup mahal. Penggunaan MCT oil sebagai fase minyak dalam formulasi nanoemulsi pernah dilakukan oleh Silvia et al. (2009) yang menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran droplet 230-280 nm. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan dua fase minyak yang
(26)
berbeda yaitu VCO dan MCT oil terhadap stabilitas fisik nanoemulsi minyak biji delima yang terbentuk.
1. Rumusan masalah
Bagaimanakah pengaruh variasi fase minyak virgin coconut oil dan
medium-chain triglyceride oil terhadap stabilitas fisik sediaan nanoemulsi
minyak biji delima dengan kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan PEG 400?
2. Keaslian penelitian
Penelitian terkait minyak biji delima dan formulasi nanoemulsi yang pernah dilakukan antara lain:
a. Penelitian dengan judul Development of Topical Nanoemulsions Containing
The Isoflavone Genistein oleh Silvia et al., (2009) yang membahas
mengenai penggunaan minyak MCT dalam formulasi sediaan nanoemulsi genistein.
b. Penelitian dengan judul Antioxidant and Tyrosinase Inhibitory Activity of
Aqueous Extract and Oil of Seeds of Punica Granatum L. (Punicaceae) oleh
Yoganandam et al. (2013) yang membahas mengenai aktivitas minyak biji delima sebagai antioksidan.
c. Penelitian dengan judul Formulation and Evaluation of O/W Nanoemulsion
(27)
membahas mengenai metode pembuatan serta karakteristik dari suatu nanoemulsi.
d. Penelitian dengan judul Development of Transdermal Nanoemulsion
Formulation For Simultaneous Delivery of Protein Vaccine and Artin-M
Adjuvant oleh Suciati et al. (2014) yang membahas mengenai formulasi
sediaan nanoemulsi dengan berbagai perbandingan konsentrasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan PEG 400.
e. Penelitian dengan judul The Influence of Glicerides Oil Phase on O/W
Nanoemulsion Formation by PIC Method oleh Jaworska, Sikora, and
Ogonowski (2014) yang membahas mengenai pengaruh fase minyak yang digunakan terhadap stabilitas nanoemulsi yang terbentuk.
Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan peneliti, penelitian mengenai
“Pengaruh Variasi Fase Minyak Virgin Coconut Oil dan Medium-Chain Triglycerides Oil terhadap Stabilitas Fisik Sediaan Nanoemulsi Minyak Biji
Delima dengan Kombinasi Surfaktan Tween 80 dan Kosurfaktan PEG 400” belum pernah dilakukan.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang formulasi dan evaluasi stabilitas fisik sediaan nanoemulsi minyak biji delima.
(28)
b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan sediaan nanoemulsi minyak biji delima yang memiliki stabilitas fisik yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
B. Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh variasi fase minyak virgin coconut oil dan
medium-chain triglycerides oil terhadap stabilitas fisik sediaan nanoemulsi
minyak biji delima dengan kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan PEG 400.
(29)
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Minyak Biji Delima
Minyak biji delima berasal dari biji tanaman delima (Punica granatum
L.) yang termasuk dalam family Punicaceae. Minyak biji delima diperoleh melalui
metode ekstraksi cold pressing sehingga dapat dihasilkan minyak dengan kualitas yang baik dan kandungan yang tetap terjaga. Kelebihan metode ekstraksi cold
pressing bila dibandingkan dengan metode ekstraksi konvensional ialah proses
yang lebih sederhana dan cepat tanpa menggunakan pelarut organik. Prinsip ekstraksi secara cold pressing adalah dengan memanfaatkan tekanan tinggi dalam mengambil kandungan minyak atsiri (Khoddami, Man, and Roberts, 2014).
Karakteristik kandungan dalam minyak biji delima yang dilakukan oleh Melo, Carvalho, and Filho (2014) menunjukkan bahwa dalam minyak biji delima terkandung senyawa utama berupa punicic acid (C18:3) sebesar 71,5±17,9,
linoleic acid (C18:2) sebesar 10,8±6,9, oleic acid (C18:1) sebesar 9,0±5,6,
palmitic acid (C16:0) sebesar 5,7±4,1, dan stearic acid (C18:0) sebesar 2,1±3,1.
Punicic acid merupakan senyawa utama yang memiliki aktivitas antioksidan
dalam minyak biji delima.
Penelitian Qusti, Abo-khatwa, and Lahwa (2010) mengklasifikasikan nilai IC50 menjadi empat kelas yang dapat menggambarkan kemampuan antioksidan suatu senyawa yakni senyawa dengan efek antioksidan sangat tinggi (IC50 < 1 mg/mL); senyawa dengan efek antioksidan tinggi (IC50 1-10 mg/mL);
(30)
senyawa dengan efek antioksidan sedang (IC50 10-30 mg/mL); dan senyawa dengan efek antioksidan rendah (IC50 > 30 mg/mL). Penelitian yang dilakukan oleh Yoganandam et al. (2013) menunjukkan nilai IC50 dari minyak biji delima sebagai antioksidan ialah sebesar 0,2775 mg/mL.
B. Nanoemulsi
Nanoemulsi merupakan sistem penghantaran obat yang terdiri dari fase minyak dan air yang distabilkan oleh kombinasi surfaktan dan kosurfaktan dengan rata-rata ukuran droplet < 100 nm (Fulekar, 2010). Secara umum, karakteristik nanoemulsi dapat diamati dari kejernihan sediaan serta stabilitas fisik sediaan yang cenderung bertahan dalam jangka waktu yang panjang (Bouchemal et al., 2004). Menurut Debnath, Satayanarayana, and Kumar (2011), nanoemulsi memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat meningkatkan stabilitas zat aktif, membantu kelarutan obat yang bersifat lipofilik, meningkatkan bioavailabilitas, serta dapat diadministrasikan secara topikal, oral, maupun transdermal (Delmas et
al., 2011).
Nanoemulsi dapat terbentuk secara spontan maupun tidak spontan bergantung pada energi yang diberikan saat proses pembentukan. Secara spontan (emulsifikasi energi rendah), nanoemulsi terbentuk dengan mencampurkan fase minyak dan fase air secara perlahan dengan menggunakan stirrer (Bouchemal, et
al., 2004). Nanoemulsi yang terbentuk secara tidak spontan (emulsifikasi energi
tinggi) membutuhkan energi mekanik bertekanan tinggi dari luar untuk dapat memecah ukuran droplet menjadi lebih kecil. Beberapa metode pembuatan
(31)
nanoemulsi secara tidak spontan antara lain dengan menggunakan sonikasi, mikrofluidisasi, dan homogenizer bertekanan tinggi (Patel et al., 2013). Prinsip
homogenizer dalam mengecilkan ukuran partikel adalah dengan adanya shear
stress yang diberikan secara turbulen sehingga dapat memecah partikel hingga
berukuran 1,0 m. Mekanisme pengecilan ukuran partikel dengan sonikasi ialah dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik yang dapat mengubah energi listrik menjadi getaran fisik yang dapat memperkecil ukuran partikel hingga 0,2 m (Gupta, Pandit, Kumar, Swaroop, and Gupta, 2010). Struktur droplet pada nanoemulsi tipe M/A tersusun atas surfaktan, kosurfaktan dan fase minyak yang membawa obat atau zat aktif yang bersifat hidrofobik. Bagian hidrofobik pada ekor surfaktan akan melingkupi fase minyak sedangkan bagian kepalanya yang bersifat hidrofilik akan berada pada bagian luar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 (Chen et al., 2011).
Gambar 1. Bentuk droplet nanoemulsi tipe M/A (Chen et al., 2011)
C. Komponen Nanoemulsi
Komponen dalam nanoemulsi terdiri atas fase air, fase minyak, surfaktan, dan atau kosurfaktan. Fase minyak merupakan komponen penting dalam
(32)
formulasi nanoemulsi karena berperan sebagai pembawa obat atau zat aktif yang bersifat hidrofobik. Kelarutan obat pada fase minyak akan mempengaruhi kemampuan nanoemulsi untuk menjaga obat dalam bentuk terlarut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jaworska et al. (2014), semakin polar fase minyak yang digunakan dalam pembuatan nanoemulsi, maka ukuran droplet yang terbentuk akan jauh lebih besar dibandingkan ukuran droplet yang dihasilkan dengan menggunakan fase minyak yang lebih non-polar. Stabilitas dari sediaan nanoemulsi selama masa penyimpanan dapat dipengaruhi oleh fase minyak yang digunakan karena memiliki pengaruh dalam aspek polaritas dan kelarutan molekul minyak dalam air. Oleh karena itu, penting sekali untuk diketahui komposisi dari fase minyak yang akan digunakan sehingga dapat diperoleh sediaan nanoemulsi dengan stabilitas jangka panjang yang baik (Pardo and McClements, 2014).
Surfaktan merupakan senyawa yang memiliki gugus hidrofilik pada bagian kepala dan hidrofobik pada bagian ekor. Surfaktan memiliki peranan penting dalam pembentukan nanoemulsi dengan menurunkan tegangan antarmuka antara fase minyak dan air. Saat penambahan surfaktan, tegangan antarmuka mula-mula akan turun dengan sangat cepat hingga mencapai titik tertentu di mana tegangan antarmuka tidak akan berkurang lagi meskipun dilakukan penambahan surfaktan. Titik tertentu ini dikenal dengan CMC (Critical Micelle Concentration) (Schramm, 2000). Berdasarkan tipe ionisasi dalam air, surfaktan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelas diantaranya surfaktan anionik, kationik, amfoterik, dan non-ionik (Nielloud and Marti, 2000).
(33)
Mekanisme pembentukan nanoemulsi bergantung pada kemampuan surfaktan dalam menstabilkan tegangan antarmuka yang terjadi akibat difusi spontan saat pencampuran dua fase. Surfaktan akan bekerja dengan melingkupi partikel obat dalam fase minyak dan mendorong terbentuknya partikel dengan ukuran droplet yang lebih kecil. Penambahan konsentrasi surfaktan akan semakin menurunkan ukuran droplet namun semakin memerlukan waktu emulsifikasi yang lebih lama pula (Zhao et al., 2009).
Penggunaan surfaktan saja tidak cukup untuk menurunkan tegangan antarmuka secara optimum. Oleh karena itu, dilakukan penambahan kosurfaktan untuk menurunkan lebih lanjut tegangan antarmuka antara fase minyak dan air (Resende, Correa, Oliveira, and Scarpa, 2008). Kosurfaktan berperan dalam membantu kelarutan zat terlarut dalam medium dispers dengan meningkatkan fleksibilitas lapisan di sekitar area droplet dan menurunkan energi bebas permukaan sehingga stabilitas lebih dapat dipertahankan (Azeem et al., 2009). Kosurfaktan dapat berupa molekul ampifilik rantai pendek yang dapat menurunkan tegangan antarmuka (Azeem et al., 2009).
D. Sifat Fisik Nanoemulsi
Karakteristik sifat fisik nanoemulsi dapat diketahui dengan beberapa pengujian, diantaranya organoleptis yang meliputi warna, bau, kejernihan, homogenitas, dan pemisahan fase, tipe nanoemulsi, pengukuran pH, persen transmitan, turbiditas, viskositas, serta ukuran droplet.
(34)
1. Uji organoleptis
Pengujian organoleptis adalah pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan. Evaluasi organoleptis sediaan nanoemulsi dilakukan dengan mengamati warna, bau, kejernihan, homogenitas, dan pemisahan fase (Lawrence and Ress, 2000). Nanoemulsi yang stabil ditandai dengan tidak terjadinya pemisahan fase, jernih, homogen, dan tidak berbau tengik.
2. Uji tipe nanoemulsi
Tipe nanoemulsi yang terbentuk dapat diketahui dengan melakukan pengenceran atau dilution test. Prinsip uji ini ialah dengan mengencerkan sistem yang terbentuk dengan fase minyak atau fase airnya. Terdapat tiga tipe emulsi yakni tipe emulsi minyak dalam air (M/A), tipe emulsi air dalam minyak (A/M), dan tipe emulsi ganda (M/A/M dan A/M/A). Nanoemulsi memiliki tipe M/A apabila sistem terlarut dalam fase airnya, sedangkan tipe A/M apabila sistem terlarut dalam fase minyaknya. Metode pengujian lainnya ialah dengan uji konduktivitas di mana air sebagai medium dispers memiliki konduktivitas yang lebih besar dibandingkan minyak, sehingga akan dapat menghantarkan arus listrik. Metode pewarnaan juga dapat digunakan untuk mengetahui tipe nanoemulsi. Prinsip metode ini ialah dengan menggunakan pewarna larut air dan pewarna larut minyak untuk melihat kelarutan pewarna tersebut dalam medium dispers (Troy, 2006).
(35)
3. Uji pH
Sediaan nanoemulsi yang ditujukan untuk pemakaian secara topikal harus didesain agar tidak menimbulkan iritasi. Oleh karena itu, pH sediaan harus berada pada pH 4-6 yang merupakan pH kulit (Ali and Yosipovitch, 2013).
4. Uji persen transmitan
Pengujian persen transmitan dilakukan untuk mengukur kejernihan nanoemulsi yang terbentuk. Pengukuran persen transmitan merupakan salah satu faktor penting dalam melihat sifat fisik nanoemulsi yang terbentuk. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 650 nm dan menggunakan aquadest sebagai blanko. Jika hasil persen transmitan sampel mendekati persen transmitan aquadest yakni 100%, maka sampel tersebut memiliki kejernihan atau transparansi yang mirip dengan air (Thakkar, Nangesh, Parmar, and Patel, 2011).
5. Uji turbiditas
Pengujian turbiditas dilakukan untuk mengukur kekeruhan nanoemulsi yang terbentuk. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 502 nm dan menggunakan aquadest sebagai blanko. Nanoemulsi memiliki penampakan jernih apabila nilai turbiditas kurang dari 1% (Cho, Kim, Bae, and Mok, 2008).
(36)
6. Uji viskositas
Viskositas menunjukkan sifat dari cairan untuk mengalir. Makin kental suatu cairan maka semakin besar kekuatan yang diperlukan agar cairan dapat mengalir. Besarnya viskositas dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, ukuran molekul, konsentrasi larutan, serta gaya tarik antar molekul (Martin and Cammarata, 2008).
7. Uji ukuran droplet
Pengujian ukuran droplet dilakukan untuk mengetahui apakah droplet yang terbentuk memenuhi kriteria droplet pada nanoemulsi yaitu < 100 nm. Pengujian ukuran droplet menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) dengan tipe dynamic light scattering. Prinsip dasar alat ini adalah sampel akan ditembak dengan sinar laser dan akan terjadi penghamburan cahaya. Penghamburan cahaya tersebut akan dideteksi pada sudut tertentu secara cepat. Hasil pengukuran droplet dinyatakan sebagai diameter dari droplet yang terdapat pada medium dispers (Volker, 2009).
E. Stabilitas Fisik Nanoemulsi
Nanoemulsi dengan stabilitas fisik yang baik cenderung mempunyai waktu paruh yang panjang dan dapat bertahan dalam jangka panjang (Patel et al., 2013). Stabilitas nanoemulsi dapat dilihat melalui tidak terjadinya perubahan tampilan, bau, warna, serta sifat fisik lainnya. Beberapa bentuk dari ketidakstabilan emulsi diantaranya ialah flokulasi, creaming, sedimentasi,
(37)
coalescence, Ostwald Ripening, serta terjadinya inversi fase seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2 (McClements and Rao, 2011).
Gambar 2. Bentuk ketidakstabilan nanoemulsi (McClements and Rao, 2011)
Flokulasi adalah peristiwa terbentuknya agregasi globul pada posisi yang tidak beraturan dalam nanoemulsi. Flokulasi dapat terjadi ketika gaya tolak menolak antar droplet lemah (Tadros, 2013). Creaming ditandai dengan memisahnya sistem nanoemulsi menjadi dua lapisan di mana droplet akan bergerak ke permukaan karena densitasnya yang lebih kecil dari medium dispers, sedangkan sedimentasi adalah pergerakan droplet ke dasar karena densitasnya yang lebih besar dari medium dispers (Tadros, 2013). Coalescence dan Ostwald
Ripening ialah pemisahan fase dalam emulsi yang bersifat irreversible yang
terjadi akibat bergabungnya droplet berukuran kecil dan membentuk droplet dengan ukuran yang lebih besar (Tadros, 2013). Inversi fase ialah peristiwa berubahnya tipe emulsi dari M/A menjadi A/M atau sebaliknya. Inversi fase dapat
(38)
terjadi karena perubahan suhu atau karena perubahan komposisi formula (Tadros, Izquierdo, Esquena, and Solans, 2004).
Pengujian stabilitas fisik nanoemulsi dapat dilakukan dengan pengujian sentrifugasi dan freeze-thaw cycle seperti yang diungkapkan oleh Darole, Hedge,
and Nair, 2008).
a. Uji sentrifugasi : uji ini dilakukan dengan melakukan sentrifugasi pada kecepatan 3750 rpm selama lima jam untuk mengamati kemungkinan terjadinya ketidakstabilan yang disebabkan oleh gaya gravitasi. Sentrifugasi selama lima jam akan setara dengan efek gravitasi yang ditimbulkan selama satu tahun (Lachman, Lieberman, and Kanig, 1994). Selain itu, uji ini diperlukan untuk mengetahui efek guncangan pada saat produk akan didistribusikan. Bila sampel nanoemulsi tidak mengalami perubahan atau pemisahan fase, maka sediaan dinyatakan lolos dan dilanjutkan dengan uji
freeze-thaw cycle.
b. Uji freeze-thaw cycle : uji ini dilakukan dengan menyimpan nanoemulsi pada suhu rendah yakni -10°C dan pada suhu ruangan berkisar pada 30°C/75% RH dengan lama penyimpanan pada masing-masing suhu tidak lebih dari 24 jam selama 3 siklus (Huynh-Ba, 2008). Uji ini bertujuan untuk menginduksi ketidakstabilan karena kondisi penyimpanan yang ekstrim. Uji ini dilakukan untuk mengamati perubahan dalam stabilitas seperti pemisahan fase, inversi, agregasi, creaming, coalescence maupun Ostwald ripening dari sediaan nanoemulsi.
(39)
F. Pemerian Bahan 1. Virgin coconut oil
Virgin coconut oil (VCO) merupakan minyak yang diperoleh dari
daging buah kelapa, diolah secara mekanis tanpa mengalami proses pemanasan sehingga tidak mengakibatkan perubahan pada sifat alami minyak (Marina, Man, Nazimah, and Amin, 2009). VCO merupakan fase minyak yang sering digunakan dalam pembuatan nanoemulsi. VCO termasuk dalam long-chain
triglycerides (LCT) karena mengandung rantai karbon lebih dari 12. Selain
LCT, terdapat dua klasifikasi lain dari triglycerides yaitu short-chain
triglycerides yang mengandung rantai karbon kurang dari 6 dan medium-chain
triglycerides yang mengandung rantai karbon 6-12 (Williams III, Watts, and
Miller, 2012).
VCO yang berkualitas baik bersifat tidak berwarna, jernih, bebas endapan, memiliki aroma seperti kelapa, serta tidak memiliki bau tengik dan rasa yang masam (Gediya, 2011). Kandungan dalam VCO dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan asam lemak dalam VCO
Asam lemak Konsentrasi (%)
Asam laurat (C12) 45,1
Asam miristat (C14) 16,8 – 21,0
Asam palmitat (C16) 7,5 – 10,2
Asam oleat (C18:1) 5,0 – 10,0
Asam kaprat (C10) 5,0 – 8,0
Asam kaprilat (C8) 4,6 – 10,0
Asam stearat (C18:0) 2,0 – 4,0
Asam linoleat (C18:2) 1,0 – 2,5
Asam kaproat (C6) 0,7
Asam linolenat (C18:3) 0,2
(40)
Penggunaan VCO untuk sediaan topikal memiliki beberapa kelebihan diantaranya ialah mempunyai sifat daya sebar pada kulit yang baik, tidak menghambat respirasi kulit, serta mempunyai sifat emolien yang baik. Namun, kekurangan dari VCO ialah sifatnya yang tidak tahan terhadap pemanasan (Rowe et al., 2009).
2. Medium-chain triglycerides oil
Gambar 3. Struktur medium-chain triglycerides (Rowe et al., 2009)
Medium-chain triglycerides (MCT) oil (Gambar 3) merupakan
minyak trigliserida yang mengandung asam kaprilat (65-75%) dan asam kaprat (25-35%). MCT oil diperoleh dari hasil pemurnian minyak kelapa atau minyak kelapa sawit melalui proses esterifikasi gliserol (Alamsyah, 2005). Asam lemak dalam MCT oil lebih pendek daripada asam lemak pada long-chain
triglycerides sehingga MCT oil mempunyai sifat fisik yang lebih polar
sehingga lebih mudah larut dalam air (Alamsyah, 2005).
MCT oil banyak digunakan dalam produk makanan, obat, maupun kosmetik karena sifatnya yang aman dan tidak menimbulkan iritasi (Traul, Driedger, Ingle, and Nakhasi, 2000). MCT oil pada umumnya digunakan sebagai pelarut dalam sediaan emulsi, mikroemulsi, maupun nanoemulsi yang
(41)
dapat melarutkan obat atau senyawa yang memiliki kelarutan rendah dalam air (Rowe et al., 2009). Kelebihan utama MCT oil adalah stabilitas oksidatifnya yang tinggi sehingga tidak menimbulkan ketengikan dan tahan terhadap pemanasan (Alamsyah, 2005).
3. Tween 80
Gambar 4. Struktur Tween 80 (Rowe et al., 2009)
Polyoxyethylene 20 sorbitan monooleat atau Tween 80 (Gambar 4)
merupakan surfaktan non-ionik yang bersifat hidrofilik dengan HLB sebesar 15. Tween 80 tergolong dalam surfaktan non-ionik karena tidak memiliki muatan saat berada dalam air. Hal ini dikarenakan adanya gugus hidrofilik pada strukturnya yang menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen dengan air (Myers, 2006).
Tween 80 memiliki rumus molekul C64H124O26 dengan berat molekul 1310 dan pemerian berupa cairan kuning, memiliki bau khas, memberikan sensasi hangat pada kulit, serta berasa pahit (Rowe et al., 2009). Tween 80 larut dalam etanol dan air, namun tidak larut dalam minyak mineral dan minyak nabati. Tween 80 memiliki toksisitas yang rendah dengan LD50 pada
(42)
tikus sebesar 25 gram/KgBB sehingga sering digunakan untuk penggunaan oral maupun parenteral. Penelitian yang dilakukan oleh Salim, Basri, Rahman, Abdullah, Basri, and Salleh (2011) menunjukkan bahwa penggunaan Tween 80 pada konsentrasi 20 hingga 40% bobot formula dapat membentuk nanoemulsi tipe M/A dengan ukuran droplet < 100 nm.
4. PEG 400
Gambar 5. Struktur PEG 400 (Rowe et al., 2009)
Polyoxyethylene glycol 400 atau PEG 400 (Gambar 5) memiliki bobot
jenis 1,110 sampai 1,140 dengan pemerian berupa cairan kental jernih, tidak berwarna, praktis tidak berbau, dan sedikit higroskopis. PEG 400 larut dalam air, aseton, alkohol, benzen, serta gliserin. PEG 400 memiliki nilai HLB sebesar 13,1 dengan densitas 1,14 gram/cm3 (Rowe et al., 2009).
PEG 400 merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam formulasi untuk meningkatkan kelarutan obat (Sinko, 2006). PEG 400 digunakan sebagai kosurfaktan karena senyawa ini mampu membantu kelarutan zat terlarut dalam medium dispers dengan meningkatkan fleksibilitas lapisan di sekitar area droplet (Lawrence et
(43)
(2011) menunjukkan bahwa PEG 400 yang digunakan sebagai kosurfaktan dengan konsentrasi 10-20% dapat menghasilkan nanoemulsi yang jernih dan stabil serta ukuran droplet < 100 nm.
5. Aquadest
Aquadest atau air suling merupakan air yang diperoleh dari hasil
penyulingan. Aquadest memiliki pemerian berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa (Departemen Kesehatan RI, 1979).
G. Landasan Teori
Minyak biji delima memiliki banyak manfaat salah satunya sebagai antioksidan (Mackler et al., 2013). Komponen dalam minyak biji delima yang berperan sebagai antioksidan adalah senyawa phytosterol, tocopherol, dan punicic
acid (Melo, 2012). Minyak biji delima mudah terdekomposisi oleh panas,
kelembaban, cahaya, maupun oksigen. Selain itu sifat minyak biji delima yang lipofilik membuat pemanfaatan minyak biji delima masih terbatas dalam kemasan minyak dalam botol. Aplikasi nanoemulsi sangat bermanfaat dalam menjaga stabilitas dan aktivitas minyak biji delima dalam sediaan (Gupta et al., 2010).
Nanoemulsi merupakan suatu sistem yang terdiri atas minyak dan air yang distabilkan oleh adanya kombinasi surfaktan dan kosurfaktan (Fulekar, 2010). Ukuran partikel yang sangat kecil (< 100 nm) menyebabkan nanoemulsi stabil secara kinetika karena dapat mencegah terjadinya flokulasi, sedimentasi,
(44)
creaming, ataupun koalesens (Tadros et al., 2004). Pemilihan komponen yang
digunakan sangat berperan dalam pembentukan sediaan nanoemulsi yang memiliki sifat dan stabilitas fisik yang baik. Surfaktan dalam nanoemulsi berperan dalam menstabilkan tegangan antarmuka yang terjadi akibat difusi spontan saat pencampuran dua fase (Schramm, 2000), sedangkan kosurfaktan berperan dalam meningkatkan kelarutan zat terlarut dengan meningkatkan fleksibilitas lapisan di sekitar area droplet dan menurunkan energi bebas permukaan sehingga stabilitas lebih dapat dipertahankan (Azeem et al., 2009). Pada penelitian ini, digunakan Tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai kosurfaktan. Penelitian yang dilakukan oleh Suciati et al. (2014) menunjukkan bahwa penggunaan surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan PEG 400 dapat membentuk suatu sistem nanoemulsi dengan ukuran droplet < 100 nm dan memiliki stabilitas yang baik.
Selain surfaktan dan kosurfaktan, komponen lain yang juga berperan dalam menjaga stabilitas nanoemulsi ialah fase minyak. Fase minyak yang digunakan dalam formulasi nanoemulsi berperan sebagai pembawa zat aktif yang bersifat hidrofobik (Chen et al., 2011). Pada penelitian ini digunakan dua fase minyak yang berbeda dengan tujuan untuk melihat pengaruh fase minyak terhadap sifat dan stabilitas fisik nanoemulsi yang terbentuk. Fase minyak yang digunakan ialah virgin coconut oil (VCO) dan medium-chain triglycerides (MCT) oil. VCO merupakan jenis minyak long-chain triglycerides karena sekitar 48% kandungan dalam VCO terdiri dari asam laurat (C12) yang merupakan asam lemak rantai panjang (Marina et al., 2009). MCT oil merupakan minyak hasil pemurnian VCO yang diperoleh dengan metode fraksinasi. Asam lemak dalam MCT oil lebih
(45)
pendek daripada asam lemak pada long-chain triglycerides sehingga MCT oil mempunyai sifat fisik yang lebih polar sehingga lebih mudah larut dalam air (Alamsyah, 2005). Semakin polar fase minyak yang digunakan dalam pembuatan nanoemulsi, maka ukuran droplet yang terbentuk akan jauh lebih besar (Jaworska
et al., 2014).
H. Hipotesis Penelitian
Variasi fase minyak virgin coconut oil dan medium-chain triglycerides
oil berpengaruh terhadap stabilitas fisik sediaan nanoemulsi minyak biji delima
(46)
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh variasi fase minyak virgin coconut oil dan
medium-chain triglycerides oil terhadap stabilitas fisik sediaan nanoemulsi
minyak biji delima dengan kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan PEG 400 termasuk jenis penelitian eksperimental murni.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas. Variabel bebas pada penelitian ini adalah variase fase minyak yang digunakan yaitu virgin coconut oil dan medium-chain
triglycerides oil.
b. Variabel tergantung. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah stabilitas fisik sediaan nanoemulsi minyak biji delima yang meliputi organoleptis, tipe nanoemulsi, pH, ukuran droplet, turbiditas, viskositas, serta persen transmitan.
c. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali pada penelitian ini adalah lama dan kecepatan pengadukan pada saat pembuatan, kondisi pengujian seperti panjang gelombang pada spektrofotometer, kecepatan pada viskometer serta sentrifugator, suhu dan
(47)
kelembaban pada saat freeze-thaw cycle, serta jumlah minyak biji delima, Tween 80, PEG 400, dan aquadest yang digunakan dalam formula.
d. Variabel pengacau tidak terkendali. Variabel pengacau tidak terkendali pada penelitian ini adalah suhu dan kelembaban ruangan saat pembuatan dan pengujian nanoemulsi.
2. Definisi operasional
a. Minyak biji delima. Minyak biji delima berasal dari biji tanaman delima (Punica granatum L.) yang diperoleh melalui ekstraksi cold pressing. b. Nanoemulsi. Nanoemulsi ialah suatu sistem penghantaran obat dengan
rata-rata ukuran droplet < 100 nm yang terdiri dari fase minyak dan fase air yang distabilkan oleh kombinasi surfaktan dan kosurfaktan.
c. Surfaktan. Surfaktan ialah molekul yang terdiri atas gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dapat menyatukan campuran antara air dan minyak. Dalam penelitian ini digunakan Tween 80 sebagai surfaktan dengan konsentrasi sebesar 16% w/w.
d. Kosurfaktan. Kosurfaktan berperan dalam membantu surfaktan meningkatkan kelarutan zat terlarut dalam medium dispers dengan meningkatkan fleksibilitas lapisan di sekitar area droplet. Dalam penelitian ini digunakan PEG 400 sebagai kosurfaktan dengan konsentrasi sebesar 8% w/w.
e. Sifat fisik. Sifat fisik merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas sediaan nanoemulsi secara fisik yang meliputi
(48)
organoleptis, tipe nanoemulsi, pH, ukuran droplet, turbiditas, viskositas, serta persen transmitan. Sifat fisik yang baik pada nanoemulsi ditandai dengan penampakan yang jernih, tidak terjadinya pemisahan fase, memiliki tipe nanoemulsi M/A, memiliki pH pada rentang pH kulit yakni 4 – 6, ukuran droplet < 100 nm, turbiditas dibawah 1%, serta persen transmitan yang mendekati 100%.
f. Stabilitas fisik. Stabilitas fisik adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui tingkat kestabilan sediaan nanoemulsi dengan membandingkan hasil evaluasi sifat fisik nanoemulsi sebelum dan sesudah melewati uji sentrifugasi dan tiga siklus dalam uji freeze-thaw. Stabilitas fisik baik apabila sesudah uji stabilitas nanoemulsi memiliki penampakan yang jernih, tidak mengalami pemisahan fase, memiliki tipe nanoemulsi M/A, memiliki pH pada rentang pH kulit yakni 4 – 6, ukuran
droplet < 100 nm, turbiditas dibawah 1%, serta persen transmitan yang
mendekati 100%.
C. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak biji delima (PT. Eteris Nusantara), virgin coconut oil (VCO) (Kualitas Teknis, PT. Tekun Jaya), medium-chain triglycerides (MCT) oil, Tween 80 (Kualitas Farmasetik, PT. Brataco Chemika), PEG 400 (Kualitas Farmasetik, PT. Brataco Chemika) dan
(49)
D. Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas (Pyrex), botol kaca, homogenizer (Ultra-Turrax), sonicator (Elmasonic S10H), sentrifugator (Hettich-Eba 8S), magnetic stirrer, hotplate stirrer (Heidolph MR2002), neraca analitik (OHAUS), pH meter (SI Analytic), viskometer Merlin
VR, particle size analyzer tipe dynamic light scattering (Horiba SZ-100),
spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu 1240), freezer (Samsung), dan climatic
chamber (Memmert).
E. Tata Cara Penelitian 1. Formulasi nanoemulsi minyak biji delima
a. Formula nanoemulsi.
Formula acuan yang digunakan dalam pembuatan nanoemulsi minyak biji delima dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II. Formula acuan nanoemulsi
Bahan Fungsi Formula (% w/w)
Virgin coconut oil Fase minyak 3
Tween 80 Surfaktan 16
PEG 400 Kosurfaktan 8
Aquadest Fase air 73
(Suciati et al., 2014)
Berdasarkan formula pada Tabel II dilakukan modifikasi sehingga dihasilkan dua formula yang memiliki perbedaan pada fase minyak yang digunakan, serta dilakukan penambahan zat aktif minyak biji delima. Formula modifikasi yang dihasilkan tertera pada Tabel III.
(50)
Tabel III. Formula nanoemulsi minyak biji delima
Bahan Fungsi Formula A
(% w/w)
Formula B (% w/w)
Minyak biji delima Zat aktif 0,0277 0,0277
Virgin coconut oil
Fase minyak 3 -
Medium-chain triglyceride - 3
Tween 80 Surfaktan 16 16
PEG 400 Kosurfaktan 8 8
Aquadest Fase air 73 73
b. Pembuatan nanoemulsi.
Pembuatan nanoemulsi dimulai dengan menimbang semua bahan sesuai dengan formula yang telah dimodifikasi pada Tabel III. Tween 80, PEG 400, minyak biji delima, serta fase minyak yang digunakan yaitu VCO dan MCT oil dimasukkan ke dalam beaker gelas dan dicampur dengan menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit dengan kecepatan 1000 rpm. Setelah 10 menit, aquadest ditambahkan sedikit demi sedikit dan kecepatan pengadukan ditingkatkan menjadi 1250 rpm selama 10 menit. Seluruh bahan yang telah tercampur kemudian dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer selama 2 menit dan dilanjutkan dengan sonikasi selama 40 menit sambil sesekali diaduk.
2. Evaluasi sifat fisik nanoemulsi minyak biji delima
a. Uji organoleptis. Uji organoleptis dilakukan dengan mengamati warna, kejernihan, homogenitas, dan pemisahan fase dari sediaan nanoemulsi setelah 24 jam setelah pembuatan.
b. Uji pH. Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, elektroda dikalibrasi atau diverifikasi dengan menggunakan larutan standar dapar pH 4 dan 7. Proses kalibrasi selesai
(51)
apabila nilai pH yang tertera pada layar telah sesuai dengan nilai pH standar dapar dan stabil. Setelah itu, elektroda dicelupkan ke dalam sediaan. Nilai pH sediaan akan tertera pada layar. Pengukuran pH dilakukan pada suhu ruangan.
c. Uji tipe nanoemulsi. Pengujian tipe nanoemulsi dilakukan dengan metode dilusi atau pengenceran. Uji ini dilakukan dengan melarutkan sampel ke dalam fase air (1:100) dan fase minyak (1:100). Jika sampel larut sempurna dalam aquadest, maka tipe nanoemulsi tergolong dalam tipe minyak dalam air (M/A), sedangkan jika sampel larut sempurna dalam fase minyak, maka tipe nanoemulsi tergolong dalam tipe air dalam minyak (A/M).
d. Uji persen transmitan. Sampel sebanyak 1 mL dilarutkan dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan aquadest. Larutan diukur persen transmitan pada panjang gelombang 650 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Aquadest digunakan sebagai blanko saat pengujian.
e. Uji turbiditas. Turbiditas ditentukan dengan mengukur absorbansi sampel menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 502 nm. Turbiditas dihitung dengan persamaan: turbiditas (%) x lebar kuvet (cm) = 2,303 x absorbansi (Fletcher and Suhling, 1998).
f. Viskositas. Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer Merlin VR. Sebanyak 14 mL sampel dimasukkan ke dalam
(52)
Merlin VR diatur dengan kecepatan 200 rpm, tiga kali putaran, selama 30
detik. Viskositas nanoemulsi dapat diketahui dengan mengamati hasil analisis yang ditampilkan oleh komputer melalui software MICRA. g. Uji ukuran droplet. Ukuran droplet diukur dengan menggunakan particle
size analyzer dengan tipe dynamic light scattering. Sebanyak 10 mL
sampel diambil dan dimasukkan ke dalam kuvet. Kuvet harus terlebih dahulu dibersihkan sehingga tidak mempengaruhi hasil analisis. Kuvet yang telah diisi dengan sampel kemudian dimasukkan ke dalam sampel
holder dan dilakukan analisis oleh instrumen.
3. Evaluasi stabilitas fisik nanoemulsi minyak biji delima
a. Uji sentrigugasi. Sampel di sentrifugasi dengan kecepatan 3750 rpm selama lima jam. Nanoemulsi yang telah melewati uji sentrifugasi kemudian diamati terjadinya pemisahan fase. Apabila tidak mengalami pemisahan fase, maka nanoemulsi yang terbentuk stabil.
b. Freeze-thaw cycle. Masing-masing formula nanoemulsi disimpan pada
suhu -10°C dan 30°C/75%RH selama 24 jam sebanyak 3 siklus. Nanoemulsi yang telah melewati freeze-thaw cycle diamati organoleptis, terjadinya pemisahan fase, pH, persen transmitan, turbiditas, viskositas, serta ukuran droplet.
(53)
F. Analisis Data
Data hasil sifat fisik yang diperoleh pada penelitian ini terlebih dahulu diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk. Bila menunjukkan data yang terdistribusi normal, pengujian dilanjutkan dengan uji Student-t untuk melihat signifikansi pada sampel dengan fase minyak yang berbeda. Namun, apabila hasil uji Shapiro-Wilk menunjukkan data yang tidak terdistribusi normal, maka dilakukan uji Wilcoxon. Data analisis dengan Student-t dan Wilcoxon berbeda signifikan jika nilai p-value ≤ 0,05.
Data hasil stabilitas fisik sebelum dan sesudah melewati uji stabilitas terlebih dahulu diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk. Bila menunjukkan data yang terdistribusi normal, pengujian dilanjutkan dengan uji
Student-t untuk melihat signifikansi pada sampel dengan fase minyak yang sama.
Namun, apabila hasil uji Shapiro-Wilk menunjukkan data yang tidak terdistribusi normal, maka dilakukan uji Wilcoxon. Pengolahan statistik dilakukan dengan
(54)
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Minyak Biji Delima
Minyak biji delima yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan ekstraksi cold pressing sehingga dapat dihasilkan minyak dengan kualitas yang baik dan kandungan yang tetap terjaga. Karakterisasi minyak biji delima dilakukan dengan membandingkan kandungan asam lemak yang tercantum pada certificate of analysis (CoA) minyak biji delima yang digunakan pada penelitian ini (Lampiran 1) dengan hasil karakteristik kandungan asam lemak pada minyak biji delima yang telah dilakukan oleh Melo et al. (2014). Hasil karakterisasi disajikan pada Tabel IV.
Tabel IV. Hasil karakterisasi minyak biji delima Kandungan asam lemak Melo et al. (2014) (%) CoA (%)
punicic acid (C18:3) 71,5±17,9 77,5
linoleic acid (C18:2) 10,8±6,9 6,2
oleic acid (C18:1) 9,0±5,6 6,0
palmitic acid (C16:0) 5,7±4,1 2,9
stearic acid (C18:0) 2,1±3,1 2,8
B. Formulasi Nanoemulsi Minyak Biji Delima
Formulasi nanoemulsi minyak biji delima pada penelitian ini menggunakan dua fase minyak yang berbeda dengan tujuan untuk melihat pengaruh dari fase minyak yang digunakan terhadap stabilitas fisik nanoemulsi yang terbentuk. Fase minyak yang digunakan dalam penelitian ini ialah virgin
coconut oil (VCO) dan medium-chain triglycerides (MCT) oil. Surfaktan dan
(55)
Pembuatan nanoemulsi minyak biji delima diawali dengan melakukan pengadukan secara konstan campuran antara minyak biji delima, fase minyak, surfaktan, serta kosurfaktan dengan menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit pada kecepatan 1000 rpm. Selanjutnya campuran ditambahkan fase air dan kecepatan pengadukan ditingkatkan menjadi 1250 rpm selama 10 menit. Pengadukan dengan menggunakan magnetic stirrer termasuk dalam metode pembuatan nanoemulsi secara spontan di mana energi yang dibutuhkan rendah sehingga ukuran droplet yang dihasilkan kurang seragam. Pembuatan nanoemulsi secara spontan memiliki kekurangan salah satunya ialah membutuhkan surfaktan dengan jumlah yang lebih banyak untuk menghasilkan sediaan dengan ukuran
droplet < 100 nm. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan kombinasi
pembuatan nanoemulsi minyak biji delima dengan metode emulsifikasi energi tinggi menggunakan homogenizer dan sonikator. Metode pembuatan nanoemulsi minyak biji delima diperoleh melalui orientasi yang telah dilakukan sebelumnya dengan melakukan optimasi waktu dan kecepatan pada saat pengadukan dengan
magnetic stirrer, homogenizer, dan sonikator.
C. Evaluasi Sifat Fisik Nanoemulsi Minyak Biji Delima
Sediaan nanoemulsi dikatakan baik dan stabil apabila memiliki penampakan jernih, tidak terjadi pemisahan fase, memiliki tipe nanoemulsi M/A, nilai pH berada dalam rentang pH kulit yakni 4 - 6, persen transmitan mendekati 100%, turbiditas kurang dari 1%, viskositas rendah, serta ukuran droplet < 100 nm. Oleh karena itu, dilakukan evaluasi sifat fisik yang meliputi pemeriksaan
(56)
organoleptis dan pH, tipe nanoemulsi, persen transmitan, turbiditas, viskositas, serta ukuran droplet.
1. Pengujian organoleptis dan pH
Pengujian organoleptis yang diamati meliputi warna, bau, kejernihan, homogenitas, dan pemisahan fase sediaan nanoemulsi. Hasil pengujian organoleptis dan pH dari dua formula sediaan nanoemulsi minyak biji delima dapat dilihat pada Tabel V.
Tabel V. Data organoleptis dan pH nanoemulsi minyak biji delima
Formula A Formula B
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Pemisahan fase Tidak memisah Tidak memisah
Bau Khas Khas
Homogenitas Homogen Homogen
pH 5,94±0,01 5,99±0,008
Keterangan: Formula A= Formula dengan VCO Formula B= Formula dengan MCT oil
Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan formula A dan formula B menghasilkan sediaan nanoemulsi yang berwarna kuning jernih, bau khas, homogen secara fisik, dan tidak terjadi pemisahan. Nilai pH sediaan berada dalam kisaran pH kulit yakni antara 4 – 6 (Ali and Yosipovitch, 2013), sehingga dapat meminimalkan resiko iritasi. Variasi fase minyak yang digunakan dalam formula A dan formula B tidak memberikan perbedaan karakteristik pada pH sediaan nanoemulsi minyak biji delima. Data analisis statistik pH pada kedua formula nanoemulsi menunjukkan bahwa variasi fase
(57)
minyak tidak memberikan perbedaan yang signifikan dengan p-value sebesar 0,0765.
2. Pengujian tipe nanoemulsi
Pengujian tipe nanoemulsi dilakukan untuk mengetahui tipe nanoemulsi yang terbentuk. Perhitungan secara teoritis pada formula A dan formula B mempunyai nilai HLB sebesar 14,37 (Lampiran 2) yang membentuk emulsi dengan tipe M/A. Berdasarkan hasil pengujian, tipe emulsi sediaan nanoemulsi minyak biji delima baik yang diformulasikan dengan fase minyak VCO dan MCT oil ialah tipe emulsi M/A.
3. Pengujian persen transmitan
Persen transmitan diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan aquadest sebagai blanko pada panjang gelombang 650 nm. Pengukuran persen transmitan menunjukkan tingkat kejernihan sediaan nanoemulsi yang terbentuk. Hasil pemeriksaan persen transmitan masing-masing formula dapat dilihat pada Tabel VI.
Tabel VI. Data hasil uji sifat fisik nanoemulsi minyak biji delima
Berdasarkan Tabel VI, variasi fase minyak yang digunakan pada kedua formula yang dibuat tidak memberikan perbedaan yang signifikan
Formula A Formula B p-value
pH 5,94±0,01 5,99±0,008 0,0765
Transmitan (%) 99,83±0,15 99,67±0,05 0,1642
Turbiditas (%) 0,108±0,02 0,157±0,02 0,0494
Viskositas (dPa.s) 0,058±0,001 0,046±0,02 0,4247
(58)
dengan p-value sebesar 0,1642. Hal ini dapat menunjukkan bahwa semua sediaan yang dihasilkan memiliki karakteristik jernih karena memiliki nilai persen transmitan mendekati 100%.
4. Pengujian turbiditas
Turbiditas diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-vis dengan aquadest sebagai blanko pada panjang gelombang 502 nm. Pengukuran turbiditas menunjukkan tingkat kekeruhan sediaan nanoemulsi yang terbentuk. Hasil pengujian turbiditas masing-masing formula dapat dilihat pada Tabel VI. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ariviani, Raharjo, Anggrahini, and Naruki (2015), pengukuran turbiditas dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai sifat fisik sediaan nanoemulsi. Turbiditas dengan nilai di bawah 1% menunjukkan bahwa nanoemulsi yang terbentuk memiliki penampakan yang jernih dan ukuran droplet yang kecil. Berdasarkan hasil analisis secara statistik yang dilakukan pada kedua formula nanoemulsi minyak biji delima, variasi fase minyak yang digunakan memberikan perbedaan hasil secara signifikan dengan nilai p-value ≤ 0,05. Turbiditas yang dihasilkan dengan fase minyak VCO lebih rendah dibandingkan dengan turbiditas yang dihasilkan dengan fase minyak MCT oil, hal ini menandakan bahwa ukuran droplet yang dihasilkan oleh fase minyak VCO lebih kecil dibandingkan dengan ukuran droplet yang dihasilkan oleh MCT oil sehingga tingkat kekeruhan formula dengan fase minyak VCO lebih rendah meskipun keduanya sama-sama memiliki penampakan fisik yang jernih.
(59)
5. Pengujian viskositas
Viskositas ialah tahanan suatu cairan untuk dapat mengalir. Semakin tinggi viskositas suatu sediaan, maka semakin besar pula tahanannya. Pengukuran viskositas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan viskometer Rheosys. Hasil pengukuran viskositas masing-masing formula dapat dilihat pada Tabel VI. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas yang dilakukan pada kedua formula nanoemulsi minyak biji delima, adanya variasi fase minyak yang digunakan tidak memberikan perbedaan yang signifikan, dengan nilai p-value sebesar 0,4247.
6. Pengujian ukuran droplet
Pengujian ukuran droplet dilakukan untuk melihat apakah sediaan nanoemulsi yang dihasilkan mempunyai ukuran droplet yang memenuhi kriteria ukuran droplet nanoemulsi yaitu < 100 nm. Pengukuran ukuran droplet dilakukan dengan particle size analyzer (PSA) Horiba SZ-100. Prinsip kerja alat ini adalah adanya hamburan cahaya yang terjadi akibat penembakan sinar laser mengenai partikel dalam sampel. Cahaya yang dihamburkan tersebut akan dibaca oleh detektor foton pada sudut tertentu secara cepat sehingga dapat menentukan ukuran partikel (Volker, 2009).
Pengujian dilakukan hanya terhadap formula A2 dan B2 dengan asumsi bahwa kedua formula lain dengan variasi minyak yang sama memiliki ukuran droplet yang kurang lebih sama. Hasil pengujian ukuran droplet dapat dilihat pada Tabel VI. Pada penelitian ini, sediaan nanoemulsi yang
(60)
diformulasikan diharapkan mempunyai ukuran droplet yang kurang dari 100 nm. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan, ukuran droplet yang dihasilkan masih berada di atas 100 nm. Hal ini dapat disebabkan oleh perbandingan antara surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan belum cukup optimal untuk menghasilkan sediaan nanoemulsi dengan ukuran droplet kurang dari 100 nm.
Indeks polidispersitas mengindikasikan keseragaman ukuran droplet pada sediaan. Semakin rendah nilai indeks polidispersitas, maka semakin tinggi keseragaman ukuran droplet pada sediaan (Chhabra, Chuttani, Mishra, and Pathak, 2011). Formula A dengan fase minyak VCO memiliki indeks polidispersitas sebesar 0,508, sedangkan formula B dengan fase minyak MCT
oil memiliki indeks polidispersitas sebesar 0,392. Hal ini menunjukkan bahwa
formula dengan fase minyak MCT oil menghasilkan ukuran droplet yang lebih seragam.
D. Stabilitas Fisik Nanoemulsi Minyak Biji Delima
Sediaan nanoemulsi yang stabil ialah sediaan yang memenuhi parameter sifat fisik yang ditentukan dan dapat mempertahankan sifat fisiknya selama masa penyimpanan.
1. Sentrifugasi
Pengujian sentrifugasi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pemisahan fase yang mungkin terjadi akibat gaya gravitasi. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel VII.
(61)
Tabel VII. Data pemisahan fase nanoemulsi sebelum dan sesudah sentrifugasi
Berdasarkan Tabel VII, semua sediaan nanoemulsi yang melewati uji sentrifugasi tidak mengalami pemisahan fase. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan nanoemulsi yang terbentuk stabil secara fisik.
2. Freeze-thaw cycle
a. Stabilitas organoleptis dan pH nanoemulsi minyak biji delima.
Pengujian organoleptis dan pH sediaan nanoemulsi setelah
freeze-thaw cycle bertujuan untuk melihat adanya perubahan penampilan yang
dikarenakan perubahan suhu yang ekstrim selama proses uji. Hasil pengamatan uji stabilitas freeze-thaw terhadap organoleptis dan pH sediaan masing-masing formula disajikan dalam Tabel VIII.
Tabel VIII. Data organoleptis dan pH nanoemulsi minyak biji delima sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle
Formula A Formula B
Sebelum uji Sesudah uji Sebelum uji Sesudah uji
Warna Kuning Kuning Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih Jernih Jernih
Pemisahan fase Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah
Bau Khas Khas Khas Khas
Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen
pH 5,94±0,01 5,79±0,14 5,99±0,008 5,95±0,1
p-value 0,2163 0,5
Hasil pengujian organoleptis dan pH setelah freeze-thaw cycle menunjukkan bahwa kedua sediaan nanoemulsi yang terbentuk stabil setelah melewati tiga siklus. Penampilan fisik sediaan tidak menunjukkan
Sebelum uji Sesudah uji
Formula A Tidak memisah Tidak memisah
(62)
adanya perubahan warna ataupun pemisahan fase. Perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa pada kedua formula, pH sebelum dan sesudah uji freeze-thaw cycle tidak berbeda signifikan dengan nilai p-value > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa baik formula dengan fase minyak VCO maupun MCT oil dapat menghasilkan sediaan nanoemulsi dengan organoleptis dan pH yang stabil.
b. Stabilitas persen transmitan nanoemulsi minyak biji delima
Pengujian persen transmitan setelah freeze-thaw cycle bertujuan untuk melihat perubahan nilai persen transmitan setelah tiga siklus pengujian. Hasil pengukuran persen transmitan pada kedua formula sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle disajikan dalam Tabel IX dan Tabel X.
Tabel IX. Data stabilitas fisik nanoemulsi minyak biji delima formula A sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle
Formula A
p-value
Sebelum uji Sesudah uji
Transmitan (%) 99,83±0,15 99,8±0,1 0,67
Turbiditas (%) 0,108±0,02 0,11±0,03 0,37
Viskositas (dPa.s) 0,058±0,001 0,0257±0,006 0,01
Ukuran droplet (nm) 109,56±73,52 153,34±145,37 -
Indeks polidispersitas 0,508 0,617 -
Tabel X. Data stabilitas fisik nanoemulsi minyak biji delima formula B sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle
Formula B
p-value
Sebelum uji Sesudah uji
Transmitan (%) 99,67±0,05 99,7±0,05 0,37
Turbiditas (%) 0,157±0,02 0,22±0,02 0,005
Viskositas (dPa.s) 0,046±0,02 0,0255±0,008 0,22
Ukuran droplet (nm) 222,32±127,74 183,89±81,68 -
(63)
Berdasarkan hasil pengujian persen transmitan, dapat disimpulkan bahwa baik formula dengan fase minyak VCO dan MCT oil stabil setelah tiga siklus freeze-thaw. Analisis secara statistik pada kedua formula menunjukkan persen transmitan sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle tidak berbeda signifikan dengan nilai p-value sebesar 0,67.
c. Stabilitas turbiditas nanoemulsi minyak biji delima
Pengukuran turbiditas bertujuan untuk melihat tingkat kekeruhan sediaan setelah melewati tiga siklus pada freeze-thaw cycle. Hasil pengujian turbiditas pada masing-masing formula sebelum dan sesudah
freeze-thaw cycle disajikan pada Tabel IX dan Tabel X.
Berdasarkan hasil pengukuran, pada formula A dengan fase minyak VCO menunjukkan kestabilan turbiditas setelah melewati tiga siklus freeze-thaw cycle dilihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan secara statistik dengan nilai p-value sebesar 0,37. Namun hal yang berbeda terjadi pada formula B yang menggunakan MCT oil di mana terjadi perbedaan signifikan secara statistik dengan nilai p-value ≤ 0,05. Hal ini dapat diakibatkan karena telah terjadi Ostwald ripening sehingga ukuran
droplet menjadi lebih besar dan turbiditas meningkat. Kandungan asam
kaprilat dan asam kaprat dalam MCT oil mengakibatkan Ostwald ripening lebih cepat terjadi pada MCT oil dibandingkan dengan VCO. Kedua asam lemak rantai pendek tersebut mengakibatkan MCT oil mempunyai polaritas yang tinggi sehingga lebih mudah larut dalam air. Faktor lain yang mengakibatkan formula B cenderung lebih keruh ialah perubahan suhu
(64)
yang ekstrim selama freeze-thaw cycle. Pada suhu freeze gugus hidrofil pada bagian kepala surfaktan akan membeku dan pada saat thaw gugus tersebut akan kembali seperti semula untuk menangkap dan melingkupi fase minyak kembali. Namun dalam proses ini, tidak semua droplet akan tertangkap sempurna oleh surfaktan dan membentuk droplet dengan ukuran yang serupa. Terdapat droplet yang akan saling menggabungkan diri dan membentuk droplet dengan ukuran yang lebih besar dan menyebabkan peningkatan kekeruhan pada sediaan nanoemulsi.
d. Stabilitas viskositas nanoemulsi minyak biji delima
Perubahan viskositas setelah proses freeze-thaw dapat
menunjukkan adanya ketidakstabilan dalam sediaan nanoemulsi. Hasil pengukuran viskositas pada kedua formula sebelum dan sesudah
freeze-thaw cycle disajikan pada Tabel IX dan Tabel X.
Analisis secara statistik pada formula A menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada viskositas nanoemulsi minyak biji delima, sedangkan pada formula B tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Viskositas nanoemulsi pada formula A mengalami penurunan setelah melewati tiga siklus freeze-thaw karena adanya pembesaran ukuran partikel yang akan menurunkan interaksi antar droplet dan tahanan sediaan sehingga viskositas menurun (Fletcher and Suhling, 1998).
e. Stabilitas ukuran droplet nanoemulsi minyak biji delima
Parameter ukuran droplet penting untuk diketahui karena kestabilan suatu sistem nanoemulsi dapat dilihat dari perubahan yang
(65)
terjadi pada ukuran droplet sebelum dan sesudah freeze-thaw cycle. Hasil pengukuran ukuran droplet pada kedua formula sebelum dan sesudah melewati tiga siklus freeze-thaw disajikan pada tabel Tabel IX dan Tabel X. Perubahan ukuran droplet pada formula A dan formula B setelah melewati freeze-thaw cycle dapat menandakan telah terjadinya Ostwald
ripening yang tidak hanya mengakibatkan perbesaran ukuran droplet
namun juga mengacaukan distribusi ukuran droplet sehingga ukuran
droplet yang terbentuk tidak seragam. Ketidakseragaman ukuran droplet
pada kedua formula dapat dilihat berdasarkan pengukuran nilai indeks polidispersitas pada Tabel IX dan Tabel X. Pada formula A dan B terjadi kenaikan nilai indeks polidispersitas setelah melewati uji stabilitas yang dapat menggambarkan bahwa ukuran droplet yang dihasilkan semakin tidak seragam.
Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat bahwa ukuran droplet yang dihasilkan dengan menggunakan VCO sebagai fase minyak cenderung lebih kecil bila dibandingkan dengan menggunakan MCT oil sebagai fase minyak. Hal ini dipengaruhi oleh kelarutan fase minyak yang digunakan dalam medium dispers (Segalowicz and Leser, 2010). VCO merupakan minyak yang mengandung long chain triglyceride berupa asam laurat yang memiliki polaritas yang lebih rendah dibandingkan dengan MCT oil. Semakin polar suatu fase minyak maka semakin mudah kelarutannya dalam air. Akibatnya fase minyak yang membawa zat aktif tersebut akan lebih mudah berinteraksi satu sama lain dan saling
(1)
Lampiran 14. Analisis statistik uji normalitas formula A dan B sesudah
freeze-thaw
Keterangan: uji normalitas pada formula A dengan fase minyak VCO menunjukkan data yang terdistribusi normal untuk parameter pH, persen transmitan, turbiditas, dan viskositas dengan p-value > 0,05.
(2)
Keterangan: uji normalitas pada formula B dengan fase minyak MCT oil menunjukkan data yang tidak terdistribusi normal untuk parameter persen transmitan, sedangkan menunjukkan data yang terdistribusi normal untuk parameter pH, turbiditas, dan viskositas dengan p-value > 0,05.
(3)
Lampiran 15. Analisis statistik uji T dan Wilcoxon tidak berpasangan
antara formula A dan B
Keterangan: Hasil uji T tidak berpasangan yang dilakukan pada data yang terdistribusi normal menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan pada parameter viskositas antara formula A dan B, namun memiliki hasil yang berbeda signifikan pada parameter turbiditas dimana p-value yang diperoleh ≤ 0,05.
Keterangan: Hasil uji Wilcoxon tidak berpasangan yang dilakukan pada data yang tidak terdistribusi normal menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan pada parameter pH dan persen transmitan antara formula A dan B.
(4)
Lampiran 16. Analisis statistik uji T dan Wilcoxon berpasangan antara
formula A sebelum dan sesudah freeze-thaw dan formula B
sebelum dan sesudah freeze-thaw
Keterangan: Hasil uji T berpasangan yang dilakukan pada data normal formula A sebelum dan sesudah freeze-thaw menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan pada parameter pH, persen transmitan, serta turbiditas namun memiliki hasil yang berbeda signifikan pada parameter viskositas dimana
(5)
Keterangan: Hasil uji T dan Wilcoxon berpasangan pada formula B sebelum dan sesudah
freeze-thaw menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan pada
parameter pH, persen transmitan, serta viskositas namun memiliki hasil yang berbeda signifikan pada parameter turbiditas dimana p-value yang
(6)