PENDAHULUAN PERAN PENGETAHUAN LOKAL DALAM ADAPTASI T

575 Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim

I. PENDAHULUAN

Adaptasi perubahan dan variabilitas iklim kini menjadi hal krusial bagi masyarakat yang rentan terhadap dampak yang disebabkannya. Berbagai inovasi dan terobosan ilmu pengetahuan modern modern scientific knowledge pun dilakukan guna menjawab persoalan tersebut, namun hasilnya banyak yang belum efektif dalam menciptakan strategi adaptasi yang bersifat lokal spesifik Lebel, 2013. Maka dari itu, dibutuhkan pengetahuan lokal local knowledge yang mengakar secara lokal spesifik terhadap ekosistem dan kondisi sosial suatu lokasi Brace and Geoghegan, 2010; Ford et. al., 2012; Hulme, 2008 dalam Lebel, 2013. Asumsinya adalah, ketika terdapat hubungan erat antara manusia dengan tempat tinggalnya maka akan menjamin adanya kemampuan bagi masyarakat itu untuk mengenal dan mengelola sumber daya alamnya melalui proses sosial dan lembaga sosial yang mereka miliki Berkes, 2009. Studi terkait penggunaan pengetahuan lokal dalam adaptasi perubahan dan variabilitas iklim, terutama di Asia dan khususnya Indonesia masih belum banyak dilakukan. Meski demikian, adaptasi sudah dimandatkan dalam the Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC dan Climate Convention UNFCCC, namun baru pada IPCC Assesment Report III, istilah adaptasi mulai digunakan, yakni ketika Conference of Parties COP di Markesh Naess, 2013. Kemudian, dalam IPCC Assesment Report IV, terdapat sebuah bab berisi tulisan singkat menyebutkan studi kasus tentang “Indigenous knowledge for adaptation to climate change” secara umum di Afrika, Arctic, dan Amerika Selatan dengan tanpa menyebut Asia dan Pasifik Parry et. al., 2007. Sedangkan studi paling terdahulu tentang pengetahuan lokal dan perubahan iklim ternyata lebih banyak dilakukan di wilayah Arctic Berkes Jolly, 2001, namun setelah itu, tema ini menjadi perhatian banyak pihak dan lokasi studinya meluas. Perhatian peneliti pun tertuju pada potensi pengetahuan lokal di Asia Pasifik dalam beradaptasi sebagai respon terhadap perubahan iklim. Misalnya saja, Lebel 2013 yang merangkum 42 artikel ilmiah tentang pengetahuan lokal dan adaptasi perubahan iklim di Asia Tenggara. Secara spesifik, Anik Khan 2012 mengidentifikasi berbagai strategi 576 Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim adaptasi di Bangladesh dan McNamara Westoby 2011 meneliti pengetahuan lokal untuk adaptasi di Erub Island, Australia. Pada sisi lain, studi terkait adaptasi perubahan iklim dalam perspektif ilmu sosial di Indonesia telah dilakukan beberapa peneliti dengan melalui pendekatan gender Rochmayanto Kurniasih, 2013, kelembagaan Cahyadi et. al., 2012, Agroforestry Butar Butar, 2011 dan mata pencaharian nelayan Wibowo, 2015. Khusus di wilayah NTT, pernah dilakukan studi penaksiran kerentanan sumber daya air dan adaptasi perubahan iklim di DAS Kambaniru Pulau Sumba dan DAS Aesesa Pulau Flores Pujiono et. al., 2014 namun tidak menyentuh aspek pengetahuan lokal di dalamnya. Sebaliknya, sebuah laporan penelitian ditulis Fanggidae Ratumakin 2014 justru membahas pengetahuan lokal nelayan dan petani di Kupang dalam membaca cuaca dan musim namun di dalamnya tidak menyentuh aspek DAS. Provinsi NTT yang wilayahnya merupakan kepulauan dan beriklim semi arid dengan periode hujan yang lebih pendek daripada periode kemarau Bappeda NTT, 2009 menjadikannya rentan terhadap dampak variabilitas iklim yang berpotensi menimbulkan bencana, baik berupa banjir maupun kekeringan. Pilihan yang muncul pertama kali dalam merespon bencana adalah beradaptasi. Pertanyaannya adalah, bentuk adaptasi seperti apa yang dilakukan masyarakat? Apakah pengetahuan lokal turut berkontribusi menciptakan strategi adaptasi yang efektif? Paper ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut dengan melakukan studi terhadap masyarakat di DAS Noelmina, Pulau Timor, NTT dan terfokus pada peran pengetahuan lokal dalam adaptasi terhadap variabilitas iklim. II. METODE PENELITIAN A. Definisi Variabilitas Iklim, Adaptasi, dan Pengetahuan Lokal Perubahan iklim merupakan istilah populer yang sering digunakan sebagai dampak kegiatan manusia yang memproduksi gas rumah kaca dan mengakibatkan pemanasan global. Namun keterbatasan data dan informasi menyebabkan fenomena cuaca tidak bisa selalu dikategorikan sebagai perubahan iklim, melainkan hanya sebagai variabilitas iklim. Menurut Dinse 2014 variabilitas iklim adalah suatu keadaan dimana iklim curah hujan dan suhu berfluktuasi tiap tahunnya baik diatas maupun dibawah nilai rata-rata jangka panjang. 577 Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim Perubahan iklim adalah suatu perubahan dalam jangka panjang dan berkelanjutan naik atau turun terhadap kondisi cuaca rata-rata atau jarak cuaca normal yakni 30 tahun. Sumber lain menyebutkan, rentang waktu yang dibutuhkan dalam menganalisis perubahan unsur-unsur iklim adalah 50-100 tahun Murdiyarso dalam Diposaptono et. al., 2009. Oleh karena itu, ketika terjadi anomali cuaca pada periode waktu kurang dari 30 tahun, maka yang terjadi hanyalah variabilitas iklim dan bukan perubahan iklim. Kata adaptasi awalnya berasal dari evolusi biologi, lalu digunakan secara luas dalam beberapa literatur untuk menggambarkan kekeringan dan kelaparan pada dekade 1970-1980-an Martimore, 1989; Smit Wandel, 2006 dalam Naess, 2003. Adaptasi sendiri sering dikategorikan sebagai terencana atau mandiri, reaktif, atau antisipatif Naess, 2013. Sedangkan beberapa ahli mengasosiasikan adaptasi sebagai respons. Sebagai contoh, menurut Schoons 1998 adaptasi adalah respons terhadap stressor penekan. Dalam perspektif budaya, Mulyadi 2007, dalam Helmi, 2012 memaknai adaptasi sebagai bagian dari suatu evolusi kebudayaan yang meliputi rangkaian upaya-upaya manusia untuk memberi respon dalam rangka menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisik dan sosial yang berubah secara temporal. Singkatnya adaptasi merupakan tindakan responsif manusia dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungannya Bannet, 1976; Pandey, 1993 dalam Helmi, 2012. Terkait perubahan iklim, Murdiyarso 2005 menyebut adaptasi sebagai sebuah reaksi terhadap iklim yang muncul secara spontan atau terencana. Sedangkan sebuah perspektif lain mendefinisikan adaptasi sebagai penyesuaian terhadap system ekologi, sosial, atau ekonomi dalam merespon sebuah keadaan iklim aktual atau stimuli iklim yang diharapkan berikut efek dan dampaknya. Smit et. al., 2001 dalam Naess, 2013. Dalam mendefinisikan pengetahuan lokal, Berkes 1999 menggunakan istilah pengetahuan ekologi tradisional, yakni seperangkat tindakan, kepercayaan, dan pemahaman tentang ekologi lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Menggunakan kata indigenous knowledge, Ericksen et. al., 2005 mendefinisikan 578 Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim pengetahuan lokal sebagai pengetahuan yang dipegang teguh oleh orang yang menyebut diri mereka sebagai indigenous. Sejatinya, pengetahuan lokal dapat didefinisikan sebagai pengetahuan unik yang terbangun dalam periode yang panjang dan dipegang oleh masyarakat tertentu di lokasi yang spesifik Warren, 1995 dalam Naess, 2013. Dalam konteks ini, pengetahuan dan keahlian terhubung pada system manajemen, kelembagaan, dan pandangan dunia yang terbentuk di konteks lokal. Maka dalam system pengetahuan lokal, peran pengetahuan tersebut melekat bersama konteks sosial budaya dimana pengetahuan itu berasal dan digunakan Naess, 2013. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan cara pandang, berpikir, dan bertindak masyarakat yang terbentuk dikarenakan intensitas interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Hubungan jalin-menjalin antara satu konsep dengan konsep lainnya yang telah didefinisikan tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Dalam gambar tersebut dijelaskan bahwa variabilitas iklim akan menstimuli masyarakat untuk menggunakan pengetahuan lokalnya guna menemukan strategi adaptasi, baik bersifat reaktif maupun antisipatif, terhadap situasi yang diakibatkan variabilitas iklim tersebut. Gambar 1. Hubungan antar konsep-konsep penelitian

B. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Januari hingga Desember tahun 2011.

Pemilihan lokasi ditentukan melalui pendekatan DAS, yakni suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama Asdak, 1997. Penelitian dilakukan di DAS Noelmina pada region hulu, tengah, dan hilir dengan sampel 3 tiga desa di tiap region total 9 desa. Secara administratif, region hulu Desa Nenas, Kecamatan Fatumnasi, Desa Nefokoko, Kecamatan Mollo Utara, dan Desa Nunbena, Kecamatan Nunbena dan hilir Desa Linamnutu, Desa Polo, dan Desa Bena, Kecamatan Amanuban Selatan berada dalam wilayah Kabupaten Timor Tengah 579 Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim Selatan, sedangkan region tengah Desa Benu dan Kelurahan Takari, Kecamatan Takari, serta Desa Camplong II, Kecamatan Fatuleu merupakan bagian dari Kabupaten Kupang. C. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sosial dengan pendekatan desktriptif kualitatif. Dalam mengidentifikasi pengetahuan lokal masyarakat terkait adaptasi terhadap variabilitas iklim, digunakan prosedur penelitian grounded research, dimana generalisasi empiris dan konsep-konsep, pembuktian, dan teori dibangun dengan mendasarkan pada fakta-fakta di lapangan Glasser Strauss, 1967; Nasir, 2005. D. Pengumpulan dan analisis data Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan terhadap para narasumber yang ditentukan secara purposive sebagai local knowledge expert Davis Wagner, 2003. Kelompok pertama adalah 5 orang elite desa, yakni kepala desa, tokoh adat, atau perangkat desa. Kelompok kedua adalah 5 orang petani sebagai representasi kelompok mayoritas terdampak variabilitas iklim. Observasi dilakukan melalui pengamatan terhadap aktivitas masyarakat dan bentuk-bentuk fisik adaptasi yang ada. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN