Ahda PENGETAHUAN LOKAL DALAM DESAIN RUMA

PENGETAHUAN LOKAL DALAM DESAIN RUMAH TINGGAL
VERNAKULAR PERMUKIMAN KEPULAUAN DI SULAWESI TENGAH
Ahda Mulyati ¹, Nindyo Soewarno ², Arya Ronald ³ dan Ahmad Sarwadi ³
)

¹ Mahasiswa S3 PPS Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM Yogyakarta
ahdamulyati@gmail.com
)
² Promotor, Dosen PPS Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM Yogyakarta
3)
Co-Promotor, Dosen PPS Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM Yogyakarta
ABSTRACT
District aquatic settlements are the largest in Central Sulawesi, occupied most of the coastal
areas and scattered small islands. This Community has the potential of cultural of life in the
face of changes in the environment. The formation of settlements using the local knowledge
and ecological that still survives in living and environmental sustainability. Using the
qualitative-phenomenology of approach began from the data collection to obtain descriptive
findings formulated. The form of residential houses stilt houses is located parallel to and faced
the street, the four houses form of square, with the addition on the right side, the left, or back.
The saddle roof and the pyramid shaped building, with the 'timpa laja' double decker one or
two. Houses spatial consist of the main building and auxiliary buildings. The form of door and

window openings with cover or without cover. The facade is more an open and the porous
walls being made of local materials so that easy to remove the heat buildings. The pattern
with a simple plan of the layer system allows of cross ventilation occurs where the spaces in
the building does not have a partition. Ventilation on the roof space was very helpful for
building cooling of heat accumulated by wind flow through openings.
Keywords: Local knowledge, Residential, Islands

ABSTRAK
Permukiman perairan merupakan kawasan terbanyak di Sulawesi Tengah, sebagian besar
menempati wilayah pesisir dan tersebar di pulau-pulau kecil. Komunitas ini mempunyai
potensi kehidupan budaya dalam menghadapi perubahan-perubahan pada lingkungannya.
Pembentukan permukiman menggunakan pengetahuan lokal dan kearifan ekologi sehingga
tetap bertahan dalam menjalani kehidupan dan keberlanjutan lingkungannya . Menggunakan
pendekatan kualitatif-fenomenologi, mulai dari pengumpulan data hingga mendapatkan
temuan yang dirumuskan secara deskriptif. Rumah tinggal berupa rumah panggung terletak
sejajar dan menghadap ke jalan, Bentuk rumah tinggal empat persegi, dengan tambahan
pada bagian samping kanan, kiri, atau belakang. Atap bangunan berbentuk pelana dan
limasan, dengan ‘timpa laja’ bersusun satu atau dua, Tata ruang rumah tinggal terdiri atas
bangunan inti dan bangunan tambahan. Bukaan berupa pintu dan jendela dengan penutup
atau tanpa penutup. Fasade lebih terbuka dan dinding berpori karena terbuat dari bahan

lokal (papan) sehingga bangunan mudah mengeluarkan panas. Pola denah sederhana
dengan sistem satu lapis sehingga terjadi ventilasi silang dimana ruang-ruang dalam
bangunan tidak memiliki sekat. Ventilasi pada ruang atap sangat membantu pendinginan
karena panas yang terakumulasi mudah dikeluarkan oleh aliran angin melalui bukaan.
Kata Kunci: Pengetahuan Lokal, Rumah Tinggal, Kepulauan
Ahda Mulyati1), Nindyo Soewarno2), Arya Ronald dan Ahmad Sarwadi3)-Pengetahuan Lokal Dalam
Desain Rumah Tinggal Perairan Di Sulawesi Tengah

1

PENDAHULUAN
Latarbelakang Masalah
Permukiman perairan merupakan kawasan terbanyak di Sulawesi Tengah, tidak
saja terdapat pada wilayah-wilayah pesisir tetapi juga tersebar di pulau-pulau kecil
dengan komunitas yang beragam. Komunitas ini mempunyai potensi kehidupan
budaya tersendiri dalam menghadapi perubahan-perubahan pada lingkungannya.
Dalam pembentukan permukiman mereka selalu menggunakan kearifan lokal dan
kearifan ekologi yang dimiliki sehingga tetap bertahan dalam menjalani kehidupan,
dan dapat memprediksi keberlanjutan lingkungannya. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pemeliharaan dan penggalian nilai-nilai kearifan lokal pada pemukim sehingga

dapat menjadi acuan dalam keberlanjutan permukiman khususnya di kawasan
pesisir dan kepulauan.
Ruang-ruang pesisir hampir terdapat pada semua kawasan, sehingga berkembang
sehingga berkembang masyarakat pesisir yang mendiami kawasan pesisir dan
pulau-pulau. Umumnya masyarakat tersebut mempunyai mata pencaharian sebagai
nelayan sehingga membangun rumah tinggal dan permukimannya pada tempattempat dimana mereka dapat menyatu dan hidup dengan tempat yang dapat
memberikan kehidupan. Pada umumnya permukiman tidak direncanakan dengan
baik, spontan, hanya sebagai tempat tinggal bagi keluarganya jika mereka pergi melaut. Permukiman dibangun sesuai tingkat pengetahuan lokal mereka, yang tidak
mengenal standar atau norma-norma yang baku, sesuai kebutuhan pada masa itu.
Masyarakat ini berkembang sesuai budaya lokal yang mereka miliki sebagai ciri
khas yang spesifik dalam mengatur kehidupan mereka. Kebiasaan-kebiasaan inilah
yang kemudian berkembang menjadi hukum adat yang mengatur berbagai aspek
kehidupan baik dalam hubungan sosial kemasyarkatan, ritual, kepercayaan, dan
lain-lain. Hal-hal tersebut tercermin dalam wujud kehidupan mereka, baik pada
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial masyarakat yang merupakan karakter,
keunikan dan citra budaya yang khas pada setiap permukiman. Keunikan pada
lingkungan sosial maupun lingkungan fisik mengandung kearifan lokal yang menjadi
daya tarik dan dikembangkan sebagai nilai lokal dari permukiman itu sendiri. Tanpa
disadari pengetahuan lokal yang didasari kehidupan budaya dan kearifan lokal ini
menjadi sumber inspirasi dalam rancangan bangunan rumah-rumah tinggal di desadesa baik pada permukiman peisisr dan kepulauan maupun lereng-lereng

pegunungan Sulawesi Tengah, sehingga diperlukan adanya pemeliharaan dan
penggalian pengetahuan lokal ini secara terus menerus oleh masyarakat.
Berdasarkan issu-issu tersebut, muncul pertanyaan sebagai berikut : seperti apa
pengaruh pengetahuan lokal dalam desain rumah tinggal vernakular perairan di
Sulawesi Tengah ?

Tinjauan Pustaka
Manusia sangat menentukan dan mencerminkan keunikan suatu permukiman,
khususnya pada arsitektur permukiman vernakular. Keunikan akan terlihat pada
cara manusia berperilaku terhadap lingkungan yang menjadi ruang kehidupan
manusia (Madanipour, 1996). Perilaku me-Ruang manusia mempunyai sistem
tertentu, dan berpengaruh terhadap tatanan spasial yang terbentuk sebagai wadah
kehidupannya (Waterson, R, 1990). Perbedaan individu, kelompok dan masyarakat
menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda (Rapoport, 1969; Haryadi dan

2

Setiawan, 1995, 2006). Bentukan lingkungan merupakan hasil pikiran dan perilaku
manusia. Setiap kelompok memiliki image tentang lingkungannya, karena perilaku
masing-masing etnis juga khas. Bentukan lingkungan tidak hanya disebabkan

kondisi iklim dan lingkungan yang unik, tetapi juga perilaku dari etnis itu sendiri.
Arsitektur vernakular sering disebut arsitektur kerakyatan. Vernakular menunjukkan
pada sesuatu yang asli, etnik, rakyat, dan arsitektur tradisional. Bentuk-bentuk
berupa shelter, indigenous architecture, non-formal architecture, spontaneous
architecture, folk architecture atau traditional architecture. Cerminan asritektur
vernakular dapat dilihat pada dialog manusia dengan lingkungan, tanggap terhadap
lingkungan, keterbatasan material, budaya dan teknologi serta dalam konteks relasi
sosial. Keberadaan bangunan atau lingkungan selalu terlingkupi faktor lingkungan
fisik dan sosial-budaya karena lahir didalam kehidupan manusia (Oliver, 1987).
Arsitektur vernakular adalah istilah yang digunakan untuk mengkategorikan metode
konstruksi yang menggunakan sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Arsitektur vernakular berkembang terus untuk merefleksikan lingkungan, budaya,
sejarah sebagai karya arsitektur daerah. Arsitektur vernakular dikatakan sebagai
arsitektur rakyat, bukan hanya sekedar bangunan, tetapi meliputi falsafah yang
menyertainya dan merupakan dasar pertimbangan dalam masyarakatnya. Arsitektur
bergaya vernakular adalah merupakan transformasi dari situasi kultur homogen ke
situasi yang lebih heterogen dan berusaha sebisa mungkin untuk menghadirkan
kembali citra, bayang-bayang realistas arsitektur asli vernakular.
Secara umum, permukiman vernakular mempertimbangkan kondisi-kondisi fisik
yang melingkupinya selain unsur-unsur sosial-ekonomi-budaya-religi, dan

berpengaruh terhadap karakteristiknya. Aspek yang sangat kuat adanya kebutuhan
spesifik pada lingkungan budaya. Struktur sosial mempengaruhi karakter khusus
pada hunian, permukiman, desa dari lingkungan budaya yang berbeda. Tradisi ritual
suatu masyarakat mempengaruhi organisasi spasial di sebuah desa. Demikian juga
tradisi perkawinan, dan tradisi-tradisi lain, berpengaruh pada tata letak dan
pengembangan desa-desa suatu masyarakat. Ciri spesifik pada sosio-budaya
masyarakat akan menghasilkan arsitektur vernakular (bangunan, permukiman,
desa) yang spesifik pula (Oliver, 1987).
Lingkungan terbangun oleh hubungan dari relasi-relasi elemen didalamnya dan
memiliki pola tertentu, memiliki struktur tertentu. Relasi yang terbentuk antara
manusia dengan lingkungan fisik secara fundamental bersifat spasial, dipisahkan
dan disatukan di dalam dan oleh ruang. Oleh karena itu, karakteristik, sosial dan
budaya suatu lingkungan tercermin dalam tatanan spasialnya. Ruang merupakan
ruang tiga dimensional yang mengelilingi manusia, relasi antara elemen-elemen
didalamnya membentuk tatanan tertentu dan disebut organisasi spasial (Rapoport,
1977). Aspek spasial sebagai unsur mendalam pada tatanan ruang, karena space
adalah aspek permukaan, sedang spasial adalah struktur didalamnya, yang
mencerminkan karakteristik space (Bacon, E, 1967; Hiller, 1989). Ruang selalu
terkait dengan realitas manusia dan kehidupannya, dimana manusia terhadap
artefak-artefak membentuk ‘spasial budaya’. Spasial budaya adalah tatanan ruang

tertentu yang mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak berdasarkan prinsip
tatanan sosial. Relasi bolak balik antara tatanan sosial dengan tatanan fisik spasial,
mencerminkan bahwa pada momen tertentu tatanan spasial dipengaruhi oleh
tatanan sosial, begitu pula sebaliknya.

Metode Pendekatan
Ahda Mulyati1), Nindyo Soewarno2), Arya Ronald dan Ahmad Sarwadi3)-Pengetahuan Lokal Dalam
Desain Rumah Tinggal Perairan Di Sulawesi Tengah

3

Penelitian menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif,
pengumpulan data secara naturalistik dan teknik analisis secara induktif. Data-data
diperoleh melalui wawancara mendalam pada masyarakat yang bermukim atau
yang mengetahui sejarah terbentuknya permukiman pesisir dan pulau-pulau. Oleh
sebab itu kajian ini menggunakan berbagai kepustakaan untuk mengetahui konsep
terbentuknya spasial permukiman.
Lokus yang menjadi amatan adalah permukiman pulau-pulau dan pesisir yang
tersebar di Sulawesi Tengah yaitu pulau Sambujan, pulau Kabalutan, desa Labuan
Loboh dan desa Labuan.


PEMBAHASAN
Kearifan Lokal dalam Desain Rumah Tinggal Perairan
Masyarakat berkembang sesuai budaya lokal yang mereka miliki sebagai ciri khas
yang spesifik dalam mengatur kehidupan mereka. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang
kemudian berkembang menjadi hukum adat yang mengatur berbagai aspek
kehidupan baik dalam aspek hubungan sosial kemasyarakatan, ritual, kepercayaan,
dan lain-lain. Hal-hal tersebut tercermin dalam wujud kehidupan mereka, baik pada
lingkungan fisik, maupun lingkungan sosial masyarakatnya, merupakan karakter,
keunikan, dan citra budaya yang khas pada setiap daerah. Keunikan, baik pada
lingkungan sosial maupun lingkungan fisik mengandung kearifan lokal yang dapat
menjadi daya tarik dan potensi daerah yang dapat terus dikembangkan sebagai
nilai lokal atau kearifan lokal yang sangat berharga.
Potensi local wisdom dalam suatu komunitas tertentu akan banyak digali melalui
pendekatan partisipatif agar dapat diketahui dan dapat dijadikan acuan
(Wikantiyoso, 2009). Masyarakat dengan ‘kemampuan’ (pengetahuan lokal,
kemampuan lokal, teknologi lokal, kelembagaan lokal) yang mereka miliki akan
dengan mudah memahami, dan menerima produk-produk perencanaan dan
perancangannya apabila ‘bahasa’ yang digunakan bisa mereka mengerti.
Masyarakat lokal umumnya memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam

memprediksi dan melakukan mitigasi bencana di daerahnya. Pengetahuan lokal
tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi
dengan ekosistemnya. Konsepsi-konsepsi ruang, pemilihan tempat bermukim,
teknologi membangun masyarakat lokal yang telah mentradisi dan telah teruji
mampu ‘mengatasi’ masalah-masalah lingkungan hidup (mitigasi bencana).
Perencanaan tata ruang dan model kawasan permukiman pesisir harus berbasis
pada kearifan lokal (local wisdom)(Mulyati, A. dalam BPTPT Makassar, 2011).
Permukiman masyarakat perairan terbentuk karena kondisi alam dan geografi yang
sangat rentan terhadap bencana. Mereka membangun rumah tinggal berbentuk
rumah panggung, dimana sebagian atau seluruhnya berada diatas air,
menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di lingkungannya, yaitu kayu,
bambu, daun silar, enau, dan lain-lain. Awalnya permukiman dibentuk oleh pemukim
karena kebutuhan akan tempat bernanung dan berlindung. Mereka memilih tempat
bernaung yang dapat memberi keamanan bersama keluarga, sehingga pulau-pulau
karang yang berdekatan dengan tempat yang memberi kehidupan adalah
pilihannya. Kelompok terdiri atas beberapa keluarga akhirnya membangun rumah
tinggal mengelilingi daratan bukit karang sesuai pengetahuan lokalnya.

4


Gambar 1. Peta Propinsi Sulawesi Tengah dan Kondisi Permukiman Perairan
Sumber: Bappeda Prop. Sul-Tengah; Data Lapangan, 2011 dan 2013

Permukiman Pesisir pantai

Permukiman Pulau

= Masjid
= Bukit Karang
= Rumah Tinggal
= Pasar
= Sekolah
= Pustu
= Jalan Perkerasan Beton Tumbuk
= Jembatan Beton
= Jembatan Kayu
= Dermaga

Gambar2. Beberapa Pola Permukiman Vernakular Perairan
Data Lapangan, 2012 dan 2013


Rumah Tinggal Vernakular Perairan
Masyarakat ini berkembang sesuai budaya lokal yang mereka miliki sebagai ciri
khas yang spesifik dalam mengatur kehidupan mereka. Kebiasaan-kebiasaan inilah
yang kemudian berkembang menjadi hukum adat yang mengatur berbagai aspek
kehidupan baik dalam aspek hubungan sosial kemasyarakatan, ritual, kepercayaan,
dan lain-lain. Hal-hal tersebut tercermin dalam wujud kehidupan mereka, baik pada
lingkungan fisik, maupun lingkungan sosial masyarakatnya, yang merupakan
karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas pada setiap daerah. Keunikan, baik
pada lingkungan sosial maupun lingkungan fisik mengandung kearifan lokal yang
dapat menjadi daya tarik dan potensi daerah yang dapat terus dikembangkan
sebagai nilai lokal atau kearifan lokal yang sangat berharga.
Rumah tinggal terletak sejajar dan menghadap ke jalan, tercipta melalui proses
panjang sehingga terbentuk sebuah bangunan rumah panggung, Bentuk rumah
tinggal empat persegi, dengan tambahan pada bagian samping kanan, kiri, atau
belakang. Atap bangunan berbentuk pelana dan limasan, dengan ‘timpa laja’
bersusun satu atau dua, tata ruang rumah tinggal terdiri atas bangunan inti dan
Ahda Mulyati1), Nindyo Soewarno2), Arya Ronald dan Ahmad Sarwadi3)-Pengetahuan Lokal Dalam
Desain Rumah Tinggal Perairan Di Sulawesi Tengah

5

bangunan tambahan, Bukaan berupa pintu dan jendela dengan penutup atau
tanpa penutup. Fasade lebih terbuka dan dinding berpori karena terbuat dari bahan
lokal (papan) sehingga bangunan mudah mengeluarkan panas. Pola denah
sederhana dengan sistem satu lapis memungkinkan terjadi ventilasi silang dimana
ruang-ruang dalam bangunan tidak memiliki sekat. Ventilasi pada ruang atap sangat
membantu pendinginan bangunan karena panas yang terakumulasi di ruang atap
mudah dikeluarkan atau dihapus oleh aliran angin melalui bukaan .

B

550

200

10

1

DAPUR

B

B

193

9

1

107

125

8

DAPUR
1

RG.TIDUR
125

200

7

6

1250

100

RG.DUDUK

RG.DUDUK
A

5

A

150

810

5

RG.TIDUR

A

RG.TIDUR

5

107

100

A

93

1500

6

A

4

A

3

100

134

4

2

126

200

3

1

150

2

B

100

1

50

50

215

85

B

C

D

87

150

98

163

100

150

150

150

150
A

A

B

100

B

E

F

B

C

D

F

G

550

600

Gambar3. Letak dan Tata Ruang Rumah Tinggal pada Permukiman Pulau dan Pesisir
Data Lapangan, 2012 dan 2013

Masyarakat perairan merupakan suatu etnik yang berpenduduk mayoritas
beragama Islam, yang percaya bahwa alam penuh dengan rahasia-rahasia Tuhan,
sehingga dilakukan upacara-upacara adat yang mengandung nilai-nilai tradisional.
Pada upacara mendirikan rumah, mulai dari pemilihan bahan, pengukuran,
penempatan elemen-elemen bangunan harus dilakukan pada waktu dan hari yang
dianggap baik. Begitu pula saat mendirikan kolom, pemasangan tangga,
pemasangan atap, dan sebagainya, serta setelah rumah selesai dan siap dihuni
diadakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kehidupan, dan keselamatan.
Rumah dilambangkan sebagai manusia yang mempunyai kehidupan, sehingga
rumah harus memiliki tiga syarat, baik ke arah vertikal maupun kearah horisontal.
Arah vertikal ditandai dengan aje (kaki), watang (badan), dan ulu (kepala), berarti
kaki merupakan tempat yang kotor, dan dikelilingi oleh mahluk-mahluk yang jahat.
Badan merupakan penghidupan yang harus diselamatkan, begitu pula dengan ulu
dilambangkan sebagai tempat yang maha tinggi dan suci, dan dipercaya sebagai
tempat mahluk halus penunggu rumah (Juhana, 2001). Bagian bawah/kolong
digunakan sebagai tempat menambatkan perahu, bahkan ada pula yang dipakai
untuk menampung hasil tangkapan ikan hasil tangkapan yang di batasi oleh jaring
(karamba) sebelum dijual kepada pedangan dari luar desa. Hal tersebut ditandai
saat mendirikan tiang rumah, mereka mengadakan upacara selamatan (Doa’
salama) dengan menyisipkan sedikit timah (bahan pemberat alat penangkap ikan)
ke dalam tiang utama rumah. Fungsi rumah panggung masih hampir sama dengan
fungsi rumah panggung di daratan dimana kolong rumah difungsikan sebagai

6

tempat untuk menampung hasil pertanian atau tempat menaruh alat transportasi
berupa alat-alat pertanian.
Badan bangunan saat didirikan juga disertai dengan mengadakan upacara
selamatan (doa’ salama) dan menyimpan sebotol air tawar/air minum yang
ditempelkan pada tiang utama badan rumah dengan harapan memberi
keberkahan/reski dalam kehidupan meraka, air tawar adalah suatu kebutuhan yang
sangat fital dalam kehidupan di laut. Sedang pada atap rumah saat mulai didirikan
juga dilakukan upacara selamatan (doa’ salama) dan menjakat tetangga serta
keluarga makan bersama dari hidangan do’a selamatan tersebut, kemudian atap
dipasang dengan aturan bahan atap dari arah kanan harus diatas dari atap sebelah
kiri sesuai dengan aturan letak tangan saat melakukan ibadah (sholat) sesuai
dengan kepercayaan mereka, jadi bagian atas dihubungkan dengan
ketuhanan/kemuliaan.
Arah horizontal ditandai dengan dua kelompok aktifitas utama dalam bangunan,
yakni bagian depan, merupakan ruang tamu yang memiliki beberapa kamar tidur
dan ruang keluarga/istirahan, sedang teras adalah bagian bangunan yang tidak
harus dimiliki oleh setiap rumah dimana teras lebih di manfaatkan sebagai
ruang/tempat bersosialisasi. Bagian belakang dipakai sebagai dapur, ruang makan,
serta teras belakang (tatambe) ruang penghubung antara rumah dan laut tempat
untuk bermain, memperbaiki jaring atau motor perahu yang rusak (ruang produksi),
sedang kamar mandi ditempatkan di bagian samping atau di sudut ruang belakang.
Secara grafis filosofi disain/tatanan hunian dapat diilustrasikan sebagai berikut ini :
Fungsi ruang secara vertikal
Ruang yang berhubungan dengan Kepercayaan
yang diAgungkan sebagai pelindung

Hunian

Darat

Keramba
Laut

Tempat penyimpanan alat penangkapan
ikan,perahu dan tempat memelihara hasil laut

Karang sebagai penahan pondasi

Keselarasan Falsafah Desain Dengan Alam Secara Vertikal

Fungsi ruang secara horisontal

Gambar4. Falsafah Ruang Rumah Tinggal pada Permukiman Pulau dan Pesisir
Hasil Analisis, 2013
Ahda Mulyati1), Nindyo Soewarno2), Arya Ronald dan Ahmad Sarwadi3)-Pengetahuan Lokal Dalam
Desain Rumah Tinggal Perairan Di Sulawesi Tengah

7

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Kearifan lokal dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam desain rumah tinggal
permukiman perairan, terutama dalam falsafah ruang, orientasi bangunan/ruang,
penggunaan bahan dan konstruksi bangunan.

Rekomendasi
Dalam membangun permukiman, rumah tinggal perairan, hendaknya
memperhatikan kearifan-kearifan masyarakat lokal, sehingga mereka merasa
memiliki dan senantiasa memelihara lingkungan dimana mereka bertempat tinggal.
Selain itu keunikan kearifan lokal masyarakat akan menjadi obyek wisata yang
sangat menarik dan mengundang wisatawan untuk berkunjung ke permukiman ini.

REFERENSI
Bacon, Edmun, 1967 dan 1975, Design of Cities, London : Thames and Hudson.
Doxiadis, CA, 1957, Ekistics : An Introduction to The Science of Human
Settlements, London : Hutchinson.
Haryadi dan Setiawan, 1995 dan 2006, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku : Suatu
Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi, Jakarta : Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan.
Hiller, Bill, 1989, The Architecture of The Urban Object dalam Ekistics ; The
Problems and Science of Human Settlements, Vol. 56 Nr 334/335,
Januari/February-March/April 1989.
Juhana, 2000, Arsitektur dalam Kehidupan Masyarakat : Pengaruh Bentukan
Arsitektur dan Iklim terhadap Kenyamanan Thermal Rumah Tinggal suku Bajo di
Wilayah Pesisir Bajoe Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, Tesis S2, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Madanipour, 1996, Design of Urban Space : An Inquiry into Sosio-Spatial Process,
Chichester : John Wiley and Sons.
Mulyati, Ahda, 2009, Identifikasi dan Inventarisasi Permukiman Suku Bajo di
Sulawesi Tengah, dalam Laporan Kerjasama BPTPT dengan Jur. Arsitektur
Untad Palu.
Oliver, Paul, 1987, Dwellings The House Across The World, UK : Phaidon Press
Limited, Oxford.
Rapoport, Amos, 1977, Human Aspects of Urban Form : Towards A Nonverbal
Communication Approach to Urban Form and Design, New York : Pergamon
Press.
--------, 1969, House Form and Culture, New Jersey : Prentice Hall.
Waterson, R, 1990, The Living House, An Antropology of Architecture in South East
Asia, Singapore : Oxford University Press.
Wikantiyoso, R, 2009, Mitigasi Bencana di Perkotaan; Adaptasi atau Antisipasi
Perencanan dan Perancangan Kota ?, Makalah, Semnas Identitas Kota-kota
Masa Depan di Indonesia, 21 Desember 2009, Denpasar Bali.

8