Proses Pemeriksaan Perkara Pidana

Disamping itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga menganut minimun pembuktian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh keyakinan hakim. Tahap memeriksaan perkara pidana dipengadilan ini dilakukan setelah tahap pemeriksaan pendahuluan selesai. Pemeriksaan ini dilandaskan pada sistem dan dimulai dengan menyampaikan berkas perkara kepada Public. Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan ynag dilakukan secara sah menurut Undang-Undang. Dalam hal ini KUHAP Pasal 154 telah memberikan batasan syarat syahnya tentang pemanggilan kepada terdakwa dengan ketentuan surat panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila terdakwa tidak ada ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara. Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya. Keterangan saksi adalah alat bukti yang sah, pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Keterangan saksi sebagaimana di cantumkan Pasal 184 Ayat 7 KUHAP berbunyi sebagai berikut : Keterangan dari saksi yang tidak di sumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang di sumpah, dapat di pergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Keterangan saksi memiliki beberapa ketentuan yakni keterangan saksi di berikan tanpa tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Misalnya di arahkan atau di sugestikan atau di pengaruhi. Saksi di wajibkan memberikan keterangan yang sebenarnya. Hal ini dapat di ingatkan kepada saksi tetapi penyidik sebaiknya mengutarakan sebelum saksi memberikan keterangan sebab jika saksi sidang mengutarakan keterangannya, saksi tersebut dapat tersinggung seolah-olah petugas tidak mempercayainya dan hal seperti ini perlu di hindari. 36

D. Tinjauan Umum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Lembaga-lembaga negara baru yang lahir karena undang-undang cenderung berbentuk komisi atau lembaga yang mempunyai sifat yang indenpenden. Lahirnya lembaga-lembaga negara baru tersebut sebagai akibat dari gelombang baru demokrasi yang terjadi di sejumlah negara khususnya yang mengalami proses transisi, muncul organ-organ kekuasaan baru, baik yang sifatnya independen, maupun yang sebatas sampiran negara. 36 Leden Merpaung, Proses Penanganan perkara Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm 84. Walaupun bukan merupakan bentuk kekalahan terhadap perkembangan baru dan pergeseran paradigma pemerintahan, kelahiran organ-organ kekuasaan baru dapat dibaca sebagai sebuah bentuk penyesuain diri negara untuk mempertahankan stabilitas sistem dalam kerangkap pengaturan untuk menuju suatu kondisi tertib politik. Sejumlah persoalan bangsa terkait dengan kesejahteraan dan perlindungan warga negara bertolak pada penegakkan hukum yang mana dalam masanya tersebut seperti tersimpan tanpa pernah dipublikasikan. Oleh karenanya dalam masa yang sedang berjalan saat ini Indonesia banyak melahirkan lembaga dan komisi baru untuk membantu jalannya tertib pemerintahan di segala bidang. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK adalah lembaga yang mempunyai kewenangan memberikan perlidungan terhadap saksi dan korban pada suatu perkara hukum yang terjadi. Dari segi politik hal ini membutuhkan seni dan cara penempatan yang baik agar bisa menempatkan diri pada posisi tersebut. Oleh karena itulah maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan jelas harus membangun posisi kelembagaannya yang berada diantara dua kepentingan yakni kepentingan pertama yang dimandatkan oleh Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang bersifat mandiri, namun dari kepentingan kedua yakni untuk menjalankan program juga harus didukung oleh instansi terkait yang dalam prakteknya akan menimbulkan irisan kewenangan dengan instansi tersebut. Gagasan untuk menghadirkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan Undang-Undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan Rancangan Undang-Undang perlindungan saksi. Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan Rancangan Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai Rancangan Undang-Undang usul inisiatif DPR. Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam Pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi RAN PK yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005. Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009, telah menyetujui Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa Rancangan