Gerakan Politik S. M. Kartosoewirjo (DI/TII 1949-1962)

(1)

DAFTARPUSTAKA Buku:

Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.

Kartosoewirjo, Darul Falah. Jakarta. 1999

_______ , Wacana Ideologi Negara Islam, Darul Falah. Jakarta. 1999 Arifin, Syamsul. Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis,

UMM Press. Malang. 2010

Dematra, Damien. Kartosoewirjo Pahlawan atau Teroris ?, Kompas Gramedia. Jakarta. 2011

Daras, Roso. Bung Karno vs Kartosoewirjo : Membongkar Sumber Dana

DI/TII, Imania. Depok. 2011

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta. 1998

Dewi Fortuna Anwar, dkk. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi -Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 2004

Fauzi, Noer. Memahami Gerakan – Geakan Rakyat Dunia Ketiga, Insist Press, Yogyakarta. 2005

Fakih, Mansour. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan

Ideologi ISM Indonesia, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 1996

Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik, Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2009

Ida, Laode. Gerakan Sosial Kelompok Nahdatul Ulama (NU) Progresif, Disertasi Universitas Indonesia. Jakarta. 2001


(2)

Koentjaraningrat. Metode - Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia. Jakarta. 1999

Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial, Rajawali Pers, Jakarta. 2011

Misel, Robert. Teori Pergerakan Sosial, Resist Book, Yogyakarta. 2004

Moleong, Lexy. Metode Penulisan Kualitatif, Remaja Rosdakarya. Bandung. 2000

Moyer, Bill. Merencanakan Gerakan, Pustaka Kendi. Yogyakarta. 2004

Nawawi, Hadari. Metologi Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta. 1987

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Jakarta. 1998

Putra, Fadhilah, dkk. Gerakan Sosial, Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan

Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia, PlaCID’s dan Averroes Press.

Malang. 2006

Wahab, Abdul. Gerakan Sosial : Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2007


(3)

Internet :

http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Politik diakses pada 28 Juli 2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Sosial diakses pada 28 Juli 2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1945-1949) diakses pada 3

September 2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville diakses pada 10 Juli 2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Indonesia diakses pada 3 September

2012

http://pioner.netserv.chula.ac.th/~ppasuk/theorysocmovt.doc diakses pada 28

Mei 2012

http://www.socialmovement.com/social_movement_society diakses pada 28 Mei

2012

http://yudomahendro.wordpress.com/2012/03/30/membahas-teori-pertukaran-teori-jaringan-serta-teori-pilihan-rasional diakses 3 September 2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Pertukaran_Sosial diakses pada 3 September


(4)

BAB III

GERAKAN DI/TII SEBAGAI GERAKAN POLITIK

Darul Islam dalam kerangka berfikir Kartosoewirjo adalah sebuah bentuk masyarakat yang tertib dan berlandaskan pada ajaran Islam. Kartosoewirjo dalam mewujudkan cita – citanya sangatlah keras dan teguh. Banyak upaya yang dilakukan oleh Kartosoewirjo dalam menegakkan Darul Islam ini. Bahkan pada akhirnya, Kartosoewirjo mengambil garis keras dengan mendirikan juga Tentara Islam Indonesia yang dididik di sekolah yang didirikan oleh Kartosoewirjo, yaitu Suffah.

Tentara Islam Indonesia ini kemudian dijadikan basis kekuatan Darul Islam dalam melawan pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dan juga pasukan TNI yang ingin membubarkan Darul Islam.

Pada bab ini, akan dibahas secara empiris, bagaimana sebenarnya Kartosoewirjo melakukan perjuangannya dalam mendirikan Darul Islam, dilihat sebagai sebuah gerakan politik.

Gerakan politik yang dimaksud disini bukanlah mengarah pada partai politik dan juga gerakan memenangkan sebuah pemilihan umum, tapi lebih kepada gerakan politik yang berawal dari sebuah keyakinan terhadap ideologi atau nilai – nilai dan berdasar pada kesamaan itu berusaha untuk menjadikan nilai atau ideology tersebut menjadi kebenaran yang diakui oleh semua orang, dalam hal ini hokum Islam.

Berdasar uraian di bab II, tentu kita dapat melihat bahwa semua pejuang Indonesia menginginkan kemerdekaan Indonesia, Kartosoewirjo, Soekarno, dan


(5)

perbedaan ketika sudah merdeka, apa landasan yang akan dipakai oleh Negara baru tersebut.

Perdebatan ini semakin meruncing ketika Jepang membentuk Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Setidaknya ada dua garis keras yang muncul dalam perdebatan itu, yaitu nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Dan akhirnya konsep Pancasila yang disusun oleh Soekarno dan semangat nasionalisme yang dijadikan sebagai landasan Negara.

Disinilah muncul ketidakpuasan dari Kartosoewirjo, dia tidak puas dengan hasil kesepakatan BPPKI dan dia juga kecewa dengan teman – teman Sjarikat Islam dan Masyumi yang berada di dalam keanggotaan BPPKI namun tidak berhasil menjadikan Islam sebagai landasan Negara.

Jelas dapat kita lihat, bahwa tujuan dari Kartosoewirjo adalah ingin menjadikan ajaran Islam sebagai landasan Negara, dan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.

Namun, permasalahan yang dihadapi oleh Kartosoewirjo tidaklah mudah dalam mencapai tujuan tersebut. Harus diakui bahwa memang Indonesia tidaklah semuanya merupakan umat Islam dan pemerintahan yang sah pun telah dibentuk dengan Soekarno sebagai presidennya dan Pancasila dijadikan sebagai dasar Negara. Artinya, ketika Kartosoewirjo berniat memaksakan keinginannya, tentu saja ia akan berhadapan dengan pemerintahan Indonesia.

Menyadari kondisinya, Kartosoewirjo juga tidak langsung melakukan gerakan perlawanannya, namun ia kembali ke Malang dan kembali mengajar di lembaga pendidikan suffah yang dikelolanya bersama beberapa sahabatnya. Dan mengamati perkembangan dalam pemerintahan Indonesia.

Kesempatan akhirnya menghampiri Kartosoewirjo, ketika dengan segala upayanya, Belanda kembali berusaha menduduki Indonesia kembali. Dengan


(6)

segala upaya, pemerintahan Indonesia mencoba melawan Belanda, namun tidak dengan cara kekerasan melainkan dengan cara diplomasi. Berbagai macam perundingan pun kembali dilakukan, antara lain yang paling berpengaruh adalah perjanjian Linggarjati dan juga perjanjian Renville, wakil Indonesia dalam dua perjanjian ini adalah Perdana Menteri Indonesia, yaitu untuk perjanjia Linggarjati Indonesia diwakili oleh Sjahrir dan pada perjanjian Renville Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin.

Kedua perjanjian kemudian disepakati dengan hanya memberikan kerugian kepada bangsa Indonesia. Perjanjian Linggarjati menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara bagian dibawah kekuasaan Belanda dan Belanda hanya mengakui beberapa saja dari wilayah Indonesia. Antara lain Sumatera, Jawa dan Madura.

Pada perjanjian Renville, juga demikian. Belanda mengakui garis demarkasi wilayah Indonesia, yaitu hanya sebagian kecil wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta dan delapan keresidenan disekitar. Diluar dari itu tidak diakui Belanda sebagai wilayah Indonesia.

Kondisi ini dianggap sebagai peluang oleh Kartosoewirjo, dalam kesepakatan perjanjian Renville, jelas sekali bahwa Malang, Jawa Barat bukanlah wilayah Indonesia yang sah. Meskipun sangat kecewa dengan pemerintahan Soekarno, Kartosoewirjo lalu akhirnya menjadikan ini sebagai momen untuk mewujudkan cita – citanya.

Sekolah suffi yang didirikan oleh Kartosoewirjo tentu saja menanamkan ajaran seperti yang dipahami dan diyakini oleh Kartosoewirjo, memang sejak awal mendirikan sekolah suffah ini, tujuan Kartosoewirjo adalah menciptakan basis massa nya sendiri. Di sekolah ini, selain diajarkan tentang pengetahuan agama, pada massa pemerintahan Jepang, sekolah ini juga mengajarkan tentang


(7)

keterampilan militer yang memang dianggap perlu oleh Kartosoewirjo dalam mencapai tujuan dan cita – citanya.

Maka ketika perjanjian Renville disepakati, tentu saja pemerintahan Indonesia harus pindah dari Jakarta, dan dibawa ke Jogjakarta. Setelah pusat pemerintahan dipindah ke Jogjakarta, Tentara Nasional Indonesia juga ditarik mundur ke Jogjakarta.

Kartosoewirjo yang berada di Jawa Barat, menyadari bahwa Jawa Barat waktu itu bukanlah lagi merupakan bagian dari Indonesia, dan masih merupakan wilayah jajahan Belanda akibat dari perjanjian Renville. Keadaan ini pun lalu dijadikan sebagai waktu yang tepat untuk Kartosoewirjo mendeklarasikan Darul Islam yang selama ini telah menjadi cita – citanya.

Kartosoewirjo lalu mengumpulkan teman – temannya yang sependapat dengan dia dan juga murid – muridnya di sekolah suffah. Yang dijadikan motif oleh Kartosoewrijo dihadapan teman – temannya bukanlah semata – mata tentang Darul Islam, melainkan kekecewaan terhadap pemerintahan Soekarno yang menyebabkan Indonesia terus kehilangan wilayahnya dan juga sepak terjang Belanda yang masih terus ingin menguasai kembali Indonesia.

Oleh karena itu, Kartosoewirjo mengajak teman – temannya untuk mendirikan Darul Islam, yang mana langsung diketuai oleh Kartosoewirjo, dan bertujuan untuk menciptakan Negara yang berlandaskan oleh ajaran Islam. Dan juga untuk melawan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia, Kartosoewirjo juga mendirikan Tentara Islam Indonesia, yang merupakan kader – kader di sekolah suffah yang pada masa pemerintahan Jepang diajarkan keterampilan militer. Maka pada 1949, jelas Kartosoewirjo mendirikan Darul Islam dan juga Tentara Islam Indonesia. Bab ini akan melihat secara empiris gerakan Darul Islam ini sebagai sebuah gerakan politik dengan melihat dari pendekatan teori – teori


(8)

gerakan sosial, antara lain pilihan rasional dan pertukaran sosial, lalu mobilisasi massa dan juga contentious politics.

A. Latar Belakang DI/TII

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kesempatan untuk memproklamasikan Darul Islam didapat oleh Kartosoewirjo ketika Indonesia akhirnya melalui perdana menteri Amir Syarifudin, pada tahun 1948 menandatangani perjanjian Renville.

Isi dari perjanjian ini adalah bahwa wilayah kekuasaan Indonesia hanya tinggal sebagian kecil wilayah Jawa Tengah. Maka tentu Jawa Barat, Malang, yang merupakan basis massa Kartosoewirjo merupakan wilayah vacuum of power. Dan Kartosoewirjo tidak ingin wilayah vacuum ini kemudian kembali dijajah oleh Belanda lagi.

Terkait dengan ini, pada dekade 1960-an, akademisi di Amerika Utara dan Eropa menguji bentuk – bentuk ketegangan politik, seperti gerakan politik, revolusi dan nasionalisme, demokratisasi, dengan menggunakan beberapa mekanisme. Salah satunya adalah struktur kesempatan politik. Mekanisme ini berupaya menjelaskan bahwa sebuah gerakan politik bisa terjadi dikarenakan adanya perubahan dalam struktur politik, yang dilihat sebagai kesempatan. Dalam hal ini, perjanjian Renville.

Atas dasar itu, dan juga kekecewaan yang dalam terhadap pemerintahan Soekarno, akhirnya Kartosoewirjo mendirikan Darul Islam. Namun sebelum tahun 1949, ketika akhirnya DI/TII diproklamasikan oleh Kartosoewirjo, jauh sebelum kemerdekaan itu tercapai pun, Kartosoewirjo sudah memimpikan mendirikan sebuah Negara Islam. Maka bisa kita simpulkan, bahwa proklamasi DI/TII 1949, tidaklah merupakan sebuah gerakan insidentil yang merespon keadaan yang terjadi begitu saja tanpa ada persiapan yang logis dan matang.


(9)

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo merupakan sosok yang pintar dan juga sangat prinsipil. Sejak kecil, kedudukan keluarganya membuatnya mendapat keistimewaan bisa mendapat pendidikan di sekolah – sekolah Belanda. Bahkan sampai akhirnya melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, di NIAS, sekolah kedokteran di Surabaya.

Dalam masa pendidikannya, ia begitu kental dengan nuansa Islam, ajaran – ajaran Islam banyak memberi pengaruh pada pola pikir dan juga pandangan – pandangannya. Dia juga sangat membenci penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, dan implementasi dari pemikiran kritisnya adalah dengan mengikuti gerakan – gerakan kepemudaan yang ada di kampusnya.

Kartosoewirjo lalu bergabung dengan gerakan Jong Java dan juga Jong Islamieten Bond, bersama dua organisasi pemuda tersebut, Kartosoewirjo pun ikut terlibat dalam gerakan Sumpah Pemuda pada 1928.

Kartosoewirjo juga bergabung dengan Sjarikat Islam dan sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Hubungan ini membuat Kartosoewirjo semakin kuat dalam pemahaman Islam, walaupun dia juga belajar tentang ideology lain, namun ia tetap yakin bahwa kebaikan masyarakat hanya akan bisa terwujud jika yang digunakan sebagai landasan adalah ajaran Islam.

Dari sini dapat kita lihat bahwa memang Kartosoewirjo sangat fanatik terhadap pemahaman Islam, dan ketika melihat penjajahan Belanda terhadap Indonesia, Kartosoewirjo sangat ingin ketika Indonesia merdeka, landasan yang dipakai adalah konsep ajaran Islam.

Lalu, apakah motif dari Kartosoewirjo sebenarnya dengan mendirikan Darul Islam, dan dapatkah itu dikategorikan sebagai sebuah bentuk gerakan politik. Dalam pendekatan teori pilihan rasional, maka individu adalah merupakan aktor terpenting dalam dunia politik dan sebagai makhluk yang rasional selalu


(10)

mempunyai tujuan-tujuan yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri.

Dalam pandangan Kartosoewirjo, sebuah bentuk Negara yang masyarakatnya diatur dengan menggunakan hukum Islam akan jauh lebih baik, tertib dan juga sejahtera. Secara sederhana dapat dilihat bahwa Kartosoewirjo lebih cenderung ingin memaksakan kehendaknya sendiri agar diikuti oleh orang lain.

Didalam memahami bagaimana mekanisme pilihan rasional menjelaskan mengapa sejumlah orang berpartisipasi di dalam aksi kolektif dan yang sebagian lain tidak, Opp mengajukan dua versi konsep pilihan rasional, yaitu, model pilihan rasional model umum dan juga spesifik.

Keduanya memiliki hipotesa yang berbeda dalam menjelaskan sebuah fenomena aksi kolektif. Misalnya pilihan rasional dengan konsep umum, maka Opp menjelaskan biasanya ada 3 hipotesis yang muncul, yaitu yang pertama adalah berdasarkan pilihan utama. Kedua, kendala dan kesempatan mendorong individu – individu untuk terlibat dalam tindakan kolektif. Dan ketiga adalah maksimalisasi kegunaan yang didapat setiap individu. Tentu setiap individu akan memilih untuk medapat kegunaan yang lebih besar.

Berdasarkan pada tiga hipotesis di tersebut, dapat kita lihat tindakan yang dilakukan oleh Kartosoewirjo dalam memproklamasikan DI/TII adalah disebabkan oleh pilihan utama yaitu motivasi dan hasrat. Namun walaupun begitu, individu – individu akan mengabaikan pilihan utama mereka bila ada kendala yang bisa saja mempengaruhi hasil akhirnya nanti.

Kita telah tahu bahwa Kartosoewirjo sangat terobsesi dengan menjadikan sebuah bentuk Negara dengan landasan ajaran Islam. Itu telah menjadi motivasi tersendiri baginya dan juga hasrat yang ingin dicapai. Namun kendala yang dihadapi adalah peluang yang kecil dan dukungan massa yang kurang, sehingga


(11)

Namun, pada pendekatan dengan pilihan rasional secara umum ini, kelemahannya adalah bahwa model ini tidak memiliki spesifikasi apa yang memengaruhi pilihan utama setiap individu.

Sedangkan model pilihan rasional khusus, memiliki empat preposisi yang menjelaskan mengapa mengapa individu melakukan gerakan sosial ataupun gerakan politik. Yang pertama adalah, bahwa perilaku di dalam situasi tertentu individu memilih, sangat tergantung dengan persepsi individu terhadap alternatif – alternatif perilaku yang ada.

Preposisi kedua adalah menjelaskan bahwa konsekuensi perilaku yang dibayangkan dalam sebuah aksi, mempengaruhi kinerja dari individu tersebut. Semakin positif mereka dinilai, maka akan semakin mungkin aksi – aksi tersebut diikuti oleh individu lain.

Preposisi ketiga mengatakan bahwa lebih pasti hasil perilaku yang diharapkan, maka keinginan individu terlibat dalam aksi kolektif akan semakin kuat. sedangkan preposisi keempat mengatakan bahwa bila produk yang akan dihasilkan lebih besar dari yang diharapkan oleh si individu, maka individu tersebut lebih mungkin terlibat dalam gerakan sosial.

Dengan melihat ini, pendekatan pilihan rasional secara khusus, kita bisa memahami bahwa Kartosoewirjo sebagai individu utama dari gerakan DI/TII, juga sangat dipengaruhi oleh pemahamannya yang fanatik terhadap ajaran Islam dan juga rasa tidak percaya nya bahwa ajaran dan bentuk ideology lain selain Islam dapat menjadi jawaban bagi kesejahteraan masyarakat, seperti dijelaskan oleh preposisi pertama bahwa persepsi terhadap alternatif lain yang muncul selalu memberi pengaruh yang kuat terhadap pilihan yang dipilih individu.

Selanjutnya dalam konsekuensi dan juga hasil yang diharapkan, kegagalan pemerintahan Indonesia pada perjanjian Linggarjati dan juga perjanjian Renville, dijadikan sebuah alasan bagi Kartosoewirjo untuk melihat bahwa ternyata


(12)

gerakan yang sedang dilakukannya akan lebih baik dari pemerintahan Indonesia yang pada waktu itu terbukti gagal mempertahankan wilayahnya.

Dan juga dari preposisi keempat yang mengatakan bahwa hasil yang akan diperoleh akan lebih menjanjikan, maka semakin kuat individu untuk melakukan gerakan politik. Tentu dengan memproklamasikan DI/TII selain juga cita – cita dan motivasinya tercapai, dia juga akan memperoleh keuntungan lain dengan menjadi pemimpin di gerakan yang dibentuknya.

Walaupun sebenarnya pendekatan pilihan rasional secara umum dan juga khusus ini masih terus dikritik oleh akademisi lain, tapi juga masih cukup mampu menggambarkan alasan Kartosoewirjo secara rasional dalam memproklamasikan gerakan politik dengan menggunakan instrument sebuah konsep Darul Islam dan juga Tentara Islam.

Bahwa yang dapat dilihat dari Kartosoewirjo mendirikan Darul Islam adalah karena keyakinannya yang kuat terhadap ajaran Islam sebagai sebuah konsep yang bisa diterapkan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan kepada bangsa Indonesia.

Keyakinan ini juga tentu didukung oleh ketidakpercayaan Kartosoewirjo terhadap konsep – konsep nasionalisme yang ditawarkan oleh Soekarno dan juga konsep – konsep komunisme yang coba dibawa oleh tokoh – tokoh lain, semisal Amir Syarifuddin, Perdana Menteri kedua Indonesia.

Bila kita melihat kepada apa yang dikatakan oleh Denny JA tentang yang mendasari lahirnya sebuah gerakan ada 3 hal, yaitu : pertama, adanya kondisi yang memungkinkan lahirnya gerakan tersebut. Kedua, adanya ketidakpuasan terhadap situasi yang ada. Dan ketiga, faktor kemampuan si pemimpin dalam menggerakkan massa.41


(13)

Pertama, gerakan sosial dan juga gerakan politik dilahirkan dengan kondisi yang

memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Seperti kita ketahui bahwa dengan disepakatinya perjanjian Renville antara pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Belanda, maka Jawa Barat merupakan wilayah non-Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa Jawa Barat adalah wilayah vacuum of power, dan kesempatan ini yang dimanfaatkan Kartosoewirjo untuk mendirikan Gerakan Darul Islam di Jawa Barat.

Kedua, gerakan sosial dan gerakan politik timbul karena meluasnya

ketidakpuasan atas situasi yang ada. Akibat dari pemerintahan Indonesia yang sah hanya tinggal Jawa Tengah dan Jogjakarta, bahkan seluruh Tentara Nasional Indonesia pun ditarik semua ke Jogjakarta, tentu ini menimbulkan ketakutan kepada seluruh masyarakat yang wilayahnya diluar Jogjakarta. Mereka tidak lagi mendapat perlindungan dari pemerintah atas ancaman dari pihak Belanda. Dan ketidakpuasan ini tentu saja dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Kartosoewirjo dalam membangun dukungan massa terhadap gerakan Darul Islam dan juga Tentara Islam Indonesia.

Ketiga, gerakan sosial semata – mata masalah kemampuan kepemimpinan dari

tokoh penggerak. Kartosoewirjo sebagai seorang yang dikenal tegas dan teguh pada pendiriannya terhadap ajaran Islam dan juga sebagai seorang guru di sekolah Suffah yang didirikannya di Malang, mampu mempengaruhi teman – temannya dan juga murid – muridnya untuk ikut bergabung dengan gerakan yang dibentuknya.

Sedangkan menurut Coleman, salah seorang teoritis pilihan rasional ternama bahwa setiap tindakan sosial seseorang bertujuan untuk mencapai hasil yang diinginkannya secara individual, hal inilah yang akhirnya membentuk nilai dan juga preferensi dari si aktor. Dengan kata lain, bahwa setiap individu tidak selalu


(14)

memiliki tujuan dan orientasi yang sama, karena manusia adalah makhluk yang khas dan kreatif.42

Tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh setiap aktor pada dasarnya ditujukan untuk memperbesar manfaat yang diterimanya. Sehingga dalam teori ini ada dua kata kunci, yaitu; para aktor dan juga sumberdaya.

Tentu saja berdasarkan apa yang dikatakan Coleman, bila kita telaah lebih jauh, Kartosoewirjo mendirikan gerakan Darul Islam dikarenakan oleh keinginannya yang kuat tentang menjadikan Islam sebagai landasan Negara. Keyakinannya tentang Islam membuatnya sangat terobsesi akan sebuah Negara Islam. Dan juga posisinya di Sjarikat Islam membuatnya dapat mendirikan sekolah yang dikelolanya sendiri yang mana sekolah ini kemudian menjadi basis massa yang kuat bagi gerakan Darul Islam itu, sebagai sumber daya Tentara Islam Indonesia.

B. Tujuan Didirikannya DI/TII

Dalam teori pertukaran sosial (social exchange theory) menekankan pada manusia sebagai rational profit, artinya bahwa setiap individu interaksinya diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan. Sehingga tentu juga gerakan yang dibangun oleh Kartosoewirjo ini tidak lepas dari adanya keuntungan ataupun tujuan yang ingin dicapai oleh Kartosoewirjo.

Seperti dituliskan sebelumnya bahwa Kartosoewirjo sangat fanatik terhadap ajaran Islam dan sangat terobsesi untuk membentuk sebuah Negara Islam dan berlandaskan pada ajaran Islam.

Untuk melihat tujuan dari Kartosoewirjo dalam membangun gerakan Darul Islam, dapat kita tinjau kembali saat Kartosoewirjo masih aktif terlibat dalam gerakan Sjarikat Islam, ketika Sjarikat Islam mengalami perpecahan dan sebagian


(15)

ingin menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda, namun Kartosoewirjo tetap saja teguh pada prinsipnya yaitu tidak perlu menjalin kerjasama dengan Belanda.

Bahkan pada saat Jepang berkuasa atas Indonesia dan juga saat awal kemerdekaan Indonesia, dimana tokoh – tokoh Islam lainnya yang juga ingin menciptakan sebuah Negara dengan konsep Islam sebagai landasannya, mereka memilih menggunakan jalur kooperasi dan konstitusi, namun Kartosoewirjo tetap teguh pada sikap politik hidjrahnya.

Konsep politik hidjrah Kartosoewirjo ini berarti adalah memisahkan diri secara pemikiran dan juga menarik garis demarkasi pembeda antara Negara Islam dan juga Negara non-Islam. Bahkan kemudian Kartosoewirjo tidak lagi terlibat aktif dalam rapat – rapat partai ataupun juga organisasi.

Kartosoewirjo bersikap non-kooperasi dengan semua hal dan membangun sendiri kekuatannya tanpa bantuan pihak lain. Dalam konsep poltik hidjrahnya, menerima bantuan dari pihak lain merupakan cara yang tidak bisa diterima, karena bantuan dari pihak lain juga tentu diberikan secara tidak percuma dan memiliki maksud tertentu.

Satu – satunya kesempatan yang dia ambil dari pemerintahan Jepang adalah ketika Jepang ingin menarik simpati dari masyarakat Indonesia dengan mendirikan sekolah – sekolah militer dan juga memberi izin pada sekolah lain untuk juga memberi pendidikan militer pada anak muridnya, maka Kartosoewirjo juga memberikan pendidikan militer kepada murid – muridnya di sekolah Suffah. Kartosoewirjo sangat tidak menyukai penjajahan, dia sangat benci dengan pemerintahan Belanda dan juga Jepang yang sempat berkuasa atas Indonesia. Seperti juga pejuang bangsa lainnya, Kartosoewirjo menganggap bahwa Belanda dan Jepang hanya merampas kekayaan bumi Indonesia saja tanpa sedikitpun memikirkan kesejahteraan bangsa Indonesia.


(16)

Oleh karena itu, Kartosoewirjo juga sama dengan pejuang – pejuang lainnya sangat menginginkan agar penjajahan itu segera dihentikan dan bangsa Indonesia dapat menentukan masa depan bangsanya sendiri.

Hanya saja, bagi kebanyakan pejuang, kemerdekaan itu merupakan satu hal yang menjadi tujuan utama dan cita – cita yang ingin diraih, namun bagi Kartosoewirjo, kemerdekaan bukanlah merupakan tujuan dan cita – cita utama yang ingin dicapai. Kemerdekaan Indonesia hanyalah merupakan satu media dan langkah yang harus dilewati untuk kemudian mencapai cita – cita utamanya yaitu sebuah masyarakat Islam.

Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 memutuskan bahwa pasukan RI harus ditarik mundur dari daerah-daerah yang resmi dikuasai Belanda, yaitu meninggalkan daerah pertahanan mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur sebelum daerah Malang.

Daerah RI hanya menyisakan Yogyakarta dan beberapa daerah sekitarnya. Dengan alasan perjuangan harus diteruskan, KPK PSII sepakat untuk menolak kompromi dengan Belanda dan menolak perjanjian Renville yang diadakan oleh pihak RI dan Belanda. Oleh karena itu, seluruh pasukan Hizbullah dan Sabilillah tidak diijinkan ikut pindah ke Yogyakarta.

Pada 10 Februari 1948 PSII mengadakan konferensi Cisayong yang menelurkan beberapa keputusan antara lain membentuk Majelis Islam dan mengangkat Kartosoewirjo sebagai imam dan panglima tinggi DI/TII. Yang perlu dicatat adalah bahwa pada saat pembentukan DI/TII, Jawa Barat bukan lagi daerah milik Indonesia (mengacu pada perjanjian Renville), tetapi daerah milik Belanda. Dan pada Desember 1948 Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda dalam waktu 6 jam saja. Soekarno dan Hatta ditangkap dan dibuang ke Bangka. Pemerintahan RI menjadi vacum dan eksistensi Negara RI secara de facto sudah tidak ada.


(17)

Pada 20 Desember 1948 ummat Islam di bawah komando Kartosoewirjo mengobarkan perang suci melawan Belanda. Pasukan TII berhasil merebut beberapa kantong pertahanan Belanda. Lalu, pada 7 Agustus 1949 dikumandangkanlah Proklamasi DI/TII di Gunung Cupu, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Yang dapat kita lihat adalah bahwa faktor pendorong utama gagasan Kartosoewirjo tentang konsep Darul Islam ini akhirnya diproklamasikan, adalah kekecawaan Kartosoewirjo terhadap pemerintahan saat itu.

Bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia saat itu malah kehilangan banyak wilayahnya dan hampir kembali dikuasai oleh Belanda. Ini merupakan suatu kemunduran perjuangan tentunya bagi Kartosoewirjo.

Kekecewaan ini akhirnya menjadi pemicu utama DI/TII diproklamasikan. Kekecewaan ini didukung oleh keyakinan Kartosoewirjo yang sangat kuat bahwa hanya dengan berlandaskan ajaran Islam lah bangsa Indonesia bisa memperoleh kesejahteraan. Selain juga karena adanya kesempatan ketika wilayah basis kekuatan Kartosoewirjo merupakan wilayah yang vacuum of power.

Dapat kita lihat bahwa perjuangan yang ditempuh Kartosoewirjo juga didasari pada kondisi masyarakat yang terus terjajah dan tidak sejahtera, artinya bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh Kartosoewirjo juga sebenarnya dengan mendirikan DI/TII adalah menciptakan kesejahteraan bagi masyarkat dan terlepas dari penjajah. Hanya saja, dalam pemikiran Kartosoewirjo bahwa hanya ajaran Islam lah yang bisa mewujudkan itu.

C. DI/TII Sebagai Instrumen Gerakan Politik Kartosoewirjo

Gerakan politik, seperti di uraikan di bab I, adalah merupakan gerakan sosial kemasyarakatan di bidang politik. Gerakan politik dapat bekisar disekitar satu


(18)

masalah atau dari rerangkaian isu permasalahan atau sekitar timbunan keprihatinan bersama dari sekelompok sosial.

Berbeda dengan partai politik, gerakan politik tidak terorganisir dan memiliki keanggotaan, bukan pula gerakan pada saat pemilu atas jabatan politik pada kantor-kantor pemerintah akan tetapi lebih merupakan gerakan politik yang berdasarkan kesamaan dalam kesatuan pandangan politik untuk tujuan tertentu antara lain untuk meyakinkan atau menyadarkan publik atau masyarakat termasuk pula para pejabat pemerintahan untuk mengambil tindakan pada persoalan dan masalah yang merupakan fokus penyebab dari gerakan tersebut. Sedangkan gerakan sosial, adalah merupakan gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.

Sehingga secara sederhana dapat kita lihat bahwa gerakan politik merupakan bagian atau salah satu bentuk dari gerakan sosial. Karena gerakan politik mengandung semua unsur yang juga diperlukan dalam gerakan sosial, dan salah satu bentuk tujuan dari gerakan sosial adalah juga perubahan politik.

Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa gerakan Kartosoewirjo dalam mendirikan DI/TII adalah upaya nyata yang dilakukan oleh Kartosoewirjo dalam mencapai sebuah perubahan politik, yaitu perubahan landasan Negara, dari Negara yang berlandaskan pada Pancasila menjadi Negara yang berlandaskan ajaran Islam.

Upaya itu dilakukan oleh Kartosoewirjo tak lain adalah karena keyakinannya yang kuat bahwa kesejahteraan bangsa Indonesia hanya bisa tercapai melalui ajaran Islam dan juga didorong oleh kekecewaan yang mendalam terhadap


(19)

malah harus kehilangan sebagian besar wilayah kekuasaannya akibat perjanjian Renville.

Lalu bagaimana kemudian Kartosoewirjo mengorganisir gerakan – gerakannya, dan bagaimana ia bisa memperoleh sumber daya dalam mencapai tujuannya dan untuk membentuk Negara yang berlandaskan Islam, tentu saja ia harus terlibat perselisihan dan ketegangan dengan pemerintah Indonesia karena kendatipun Indonesia telah kalah dalam perundingan perjanjian Renville mereka tidak akan begitu saja melepaskan wilayah – wilayah yang menjadi basis kekuatan Kartosoewirjo.

Hal yang pertama ingin kita lihat adalah, bahwa sebagai gerakan politik, tentu Kartosoewirjo harus memiliki alasan yang rasional terhadap tindakan yang ia pilih. Berdasarkan teori pilihan rasional, tentu saja Kartosoewirjo harus memikirkan keuntungan dan kerugian dari apa yang ia kerjakan.

Begitu pula dengan sumber daya yang dia gunakan dalam mengorganisir gerakannya. Baik dari massa yang dikerahkan sebagai pasukan di TII, ataupun sumber daya dalam bentuk alat – alat persenjataan dan juga kebutuhan pokok selama melakukan perjuangan.

Selanjutnya adalah target – target yang ingin dicapai dan berhasil di capai, apakah sesuai dan pantas dengan apa – apa yang telah korbankan untuk gerakan Darul Islam ini, apakah akhirnya tujuan Kartosoewirjo tercapai melalui perjuangan gerakan politiknya.

Dan juga tentu bagaimana proses perjuangan itu berlangsung, karena seperti yang kita tahu bahwa selain tentu harus berseberangan dengan Belanda yang berdasarkan perjanjian Renville menguasai sebagian besar wilayah Indonesia, Kartoseowirjo juga harus berhadapan dengan pemerintahan Soekarno yang kemudian menganggap bahwa gerakan Kartosoewirjo adalah merupakan gerakan pemberontakan teroris dan harus ditangkap.


(20)

Tentu saja pertarungan fisik dan ideologi ini, antara DI/TII dengan Belanda dan juga Indonesia ini menimbulkan ketegangan politik yang menarik untuk ditelaah dan dipelajari secara empiris. Untuk kemudian dapat dilihat dan disimpulkan bagaimana gerakan yang digalang oleh Kartosoewirjo ini berdasarkan pendekatan gerakan politik.

1. Berdasarkan Teori Pilihan Rasional

Dalam paradigma teori pilihan rasional ditawarkan aspek umum dari mekanisme tersebut diantara fenomena sosial. Dengan mengasumsikan bahwa individu dalam latar belakang sosial dan membuat pilihan tindakan atau keputusan berdasarkan kepercayaan dan tujuan mereka. Teori ini dimaksudkan untuk dapat menerangkan sejumlah penyelesaian masalah sosial (social arrangement) sebagai efek keseluruhan dari pilihan tersebut.

Pilihan rasional sebagai model penjelasan dari tindakan-tindakan manusia, dimaksudkan untuk memberikan analisa formal dari pengambilan keputusan rasional berdasarkan sejumlah kepercayaan dan tujuan, serta menggabungkan beberapa area teori ekonomi, teori kemungkinan dan teori kebijakan publik. Para teoritisi sosiologi pilihan rasional seperti; James S.Colleman, Richard M.Emerson, Karen S.Cook, Peter M.Blau serta Robert von Mises; menyatakan pandangan yang sama, bahwa model pilihan rasional ini berupaya menunjukkan; (1) dasar fenomena sosial itu nyata,

(2) para aktor bertindak untuk tujuan mengejar kepentingan secara rasional, (3) kecanggihan individualisme metodologis,

(4) fokus analisis lebih pada aktor dan strateginya dari pada sistem secara keseluruhan, dan


(21)

Berdasarkan paradigma tersebut, maka bila dilihat dalam konteks gerakan politik yang dilakukan oleh Kartosoewirjo melalui DI/TII, tentu saja DI/TII harus memiliki alasan logis dan rasional sehingga gerakan ini dapat dibentuk dan dikategorikan dalam bentuk sebuah gerakan politik.

Tentu saja secara pribadi, Kartosoewirjo sangat menginginkan bahwa ajaran Islam harus menjadi landasan Negara Indonesia. Ini dapat dilihat ketika Kartosoewirjo masih bergabung dengan Sjarikat Islam, dia sangat tertarik dengan pemikiran – pemikiran dari H.O.S Tjokroaminoto yang merupakan pimpinan Sjarikat Islam.

Pemikiran – pemikiran Kartosoewirjo sangat banyak mempengaruhi pemikiran dari Kartosoewirjo tentu saja. Salah satu ide pokok pemikiran Tjokroaminoto adalah tentang sebuah Negara Islam yang dalam pandangan Tjokroaminoto komunisme dan sosialisme juga bisa dileburkan dengan ajaran Islam sehingga dia menulis buku berjudul Sosialisme Islam.

Nah ini yang sangat mempengaruhi pemikiran Kartosoewirjo untuk kemudian ingin mendirikan sebuah Negara Islam, namun Kartosoewirjo bahkan lebih fanatik dari Tjokroaminoto dimana Kartosoewirjo menolak peleburan nilai – nilai ajaran Islam dengan pemikiran pemikiran dari barat. Seperti komunis dan juga demokrasi.

Tak ayal, Karotosoewirjo menolak dengan sangat keras ketika Sjarikat Islam kemudian memilih untuk melakukan negosiasi dan diplomasi dengan Belanda. Dan akhirnya Kartosoewirjo lebih memilih untuk keluar dari Sjarikat Islam dan tetap teguh pendiriannya pada cita – cita mendirikan agama Islam. Sehingga memang alasan pertama dalam membangun DI/TII adalah cita – cita Kartosoewirjo untuk mendirikan sebuah Negara Islam di Indonesia.

Selanjutnya dapat kita lihat deskripsi yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam sistem politik Indonesia pada masa awal kemerdekaan, terutama dalam rentang


(22)

waktu 1945 ketika Indonesia merdeka, sampai 1949 dimana DI/TII diproklamasikan oleh Kartosoewirjo.

Indonesia merdeka pada 1945 sebagaimana yang kita ketahui adalah dengan mencuri kesempatan ketika terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia setelah Jepang berhasil dikalahkan oleh sekutu pada perang dunia II.

Sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian WINA tahun 1942 bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Maka pada 1945 ketika Jepang mengaku kalah pada sekutu, Belanda pun direncanakan akan kembali ke Indonesia untuk kembali mengusai Indonesia.

Indonesia yang saat itu baru merdeka dan Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia kemudian seperti tidak bisa mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraihnya. Pemerintah Indonesia seperti tidak berdaya dengan segala macam upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.

Segala macam bentuk upaya yang dilakukan oleh pihak Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Mulai dari bentuk perundingan seperti perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville. Maupun aksi perlawanan militer yaitu agresi Militer Belanda I dan II.

Bahkan dalam perjanjian Renville, Belanda berhasil mengecilkan wilayah kekuasaan Belanda menjadi hanya sebagian Jawa Tengah dan membuat pemerintah terpaksa memindahkan pusat pemerintahan ke Jogjakarta. Garis demarkasi yang disepakati dalam perjanjian tersebut membuat wilayah Indonesia hanya sebagian Jawa Tengah saja.

Ada dua alasan yang akhirnya mengkondisikan Kartosoewirjo pada keputusan untuk memproklamasikan DI/TII saat itu. Pertama bahwa pemerintah yang


(23)

berkuasa tidak mampu membawa Indonesia pada kondisi yang lebih baik dan malah kehilangan wilayahnya.

Kedua bahwa kegagalan pemerintah itu akhirnya memperkuat keyakinan Kartosoewirjo bahwa Pancasila yang dibawa oleh Soekarno tidak mampu menjadi jawaban bagi Indonesia dalam meraih kesejahteraannya. Dan keyakinan Kartosoewirjo bahwa hanya ajaran Islam yang dapat membawa kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.

Kedua alasan tersebut yang secara rasional mendorong Kartosoewirjo untuk memproklamasikan DI/TII ditambah lagi dengan kondisi yang saat itu Jawa Barat bukanlah bagian dari Indonesia sesuai dengan kesepakatan perjanjian Renville. Maka dalam wilayah yang vacuum of power tersebut, tidak sulit untuk memproklamasikan DI/TII.

2. Berdasarkan Teori Pertukaran Sosial

Teori pertukaran sosial melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).

Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi.

Maka sebuah gerakan sosial dan gerakan politik tentu juga tercipta dengan mempertimbangkan untung dan rugi yang didapat oleh pelaku gerakan tersebut. Dalam teori pertukaran sosial, dikatakan bahwa apa – apa yang dilakukan dan


(24)

diperjuangkan dalam konteks gerakan tersebut, selalu terkait dengan nilai – nilai keuntungan yang akan diperoleh.

Keuntungan yang ingin dicapai tersebut tidaklah mutlak terkait masalah ekonomi saja seperti dalam pendekatan teori pilihan rasional, namun juga terkait dengan nilai – nilai dan pengaruh lingkungan yang mempengaruhi pola pikir dari pelaku gerakan tesebut.

Aktivitas yang dilakukan juga bukanlah semata untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan kelompok ataupun komunitas atau orang lain, namun dibalik pelaksanaan aktivitas itu diharapkan ada timbal balik yang didapat untuk kepentingan pribadinya.

Dalam pendekatan teori pertukaran sosial ini, penting untuk dilihat seseorang melakukan sesuatu untuk orang lain dengan harapan bahwa orang lain juga akan melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya diwaktu berikutnya.

Bila kita melihat gerakan politik yang dijalankan oleh Kartosoewirjo dalam perspektif teori pertukaran sosial secara empiris, maka gerakan DI/TII yang digerakkan oleh Kartosoewirjo adalah gerakan yang dilakukan oleh Kartosoewrijo dengan mengharapkan mendapat keuntungan.

Namun dalam teori pertukaran sosial, peran lingkungan juga sangat besar dalam menentukan pengorbanan apa yang harus dinilai untuk kemudian mendapat timbal balik dari pengorbanan tersebut. Begitu pola dalam pertukaran sosial. Kartosoewirjo sendiri lahir di lingkungan yang kental pendidikan agama dan juga mengikuti pendidikan modern. Artinya Kartosoewirjo tentu secara pendidikan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap Islam dan itu sejalan dengan pengetahuan dan perkembangan nalar berfikirnya secara rasional karena ia juga mendapat pendidikan di sekolah Belanda.


(25)

Artinya adalah, latar belakang pendidikan Kartosoewirjo, baik pendidikan agama maupun pendidikan modern yang didapatnya, mampu dikolaborasikan secara baik dan saling mendukung antara keduanya oleh Kartosoewirjo.

Tentu saja Kartosoewirjo mempelajari ajaran Islam dengan menggunakan logika dan bukan hanya sekedar dogma yang ditanamkan oleh orangtuanya. Kecerdasan secara logis ini mengantarkan Kartosoewirjo pada sebuah keyakinan bahwa agar dapat menciptakan lingkungan yang ideal, haruslah dengan menggunakan ajaran Islam sebagai landasannya.

Hal ini juga yang mendorong Kartosoewirjo untuk aktif memasuki Sjarikat Islam di awak karir nya dan dalam organisasi ini berkembang pesat kemampuan Kartosoewirjo baik dalam ilmu politik maupun ilmu organisasi. Dengan harapan Kartosoewirjo bahwa dengan dia menjadikan dirinya sebagai pengurus partai Sjarikat Islam yang aktif dan militant, melalui Sjarikat Islam pula ia dapat mewujudkan cita – citanya untuk membangun masyarakat yang berlandaskan pada ajaran Islam.

Kartosoewirjo sadar betul dengan kemampuan Soekarno yang semakin terdorong dengan keberadaan partai politiknya, PNI, sehingga dengan Soekarno menggerakkan roda organisasi partai dengan baik maka secara tidak langsung cita – cita dan semangat Nasionalisme Soekarno bisa terwujud nantinya.

Dengan pola fikir yang sama, Kartosoewirjo berharap dengan militansinya di dalam Sjarikat Islam, bisa nantinya Sjarikat Islam menjadi basis kekuatan yang membantu menyebarkan nilai – nilai ajaran Islam yang diyakini Kartosoewirjo bisa digunakan sebagai landasan Negara demi menciptakan sebuah Negara Islam. Tentu saja rencana Kartosoewirjo tidak berjalan mulus, karena Sjarikat Islam malah akhirnya terpecah menjadi dua kelompok, yang Islam dan yang komunis. Perpecahan di kubu Sjarikat Islam tidak bisa terelakkan lagi. Dan Kartosoewirjo memilih untuk tidak terlibat dalam perpecahan itu.


(26)

Kartosoewirjo lalu kemudian menyatakan sikap untuk melaksanakan politik hijrah dan tetap berpegang teguh pada apa yang diyakini dan dicita – citakan di awal, yaitu menciptakan sebuah Negara yang berlandaskan ajaran Islam.

Politik hijrah ini kemudian menjadi sangat identik dengan Kartosoewirjo. Dia sangat konsisten dengan sikapnya untuk menolak melakukan perundingan dan kompromi dengan Belanda dan tetap teguh pada nilai perjuangan Sjarikat Islam yang berlandaskan Islam.

Namun di internal Sjarikat Islam juga ada orang – orang yang ingin melakukan kompromi dengan Belanda. Hal ini menjadi awal mula perpecahan di tubuh Sjarikat Islam dan akhirnya Kartosoewirjo pun dikeluarkan dari kepengurusan Sjarikat Islam.

Tak ada penyesalan dan keraguan dalam diri Kartosoewirjo tentang meninggalkan Sjarikat Islam, hanya saja bersama beberapa teman dan sahabatnya, ia mendirikan Komisi Penyelamat Sjarikat Islam (KPSI). Komisi ini merupakan lawan tanding Sjarikat Islam yang menyatakan bahwa komisi ini adalah Sjarikat Islam yang sebenarnya.

Pada masa pemerintahan Jepang, Kartosoewirjo semakin gencar ingin memproklamasikan kemerdekaan Darul Islam dan menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Islam. Namun pada kenyataannya, Soekarno lah yang mendapat dukungan dari seluruh bangsa untuk menjadi Presiden Indonesia dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Maka cita – cita Kartosoewirjo untuk mendirikan Negara Islam harus tertunda. Dan setelah kemerdekaan, Kartosoewirjo kemudian bergabung dengan Masyumi. Masih dengan motif yang sama bahwa Kartosoewirjo ingin menjadikan Islam sebagai landasan Negara.


(27)

Dan selama masa Jepang sampai awal pemerintahan, Kartosoewirjo tetap mengajar di lembaga pendidikan Suffah, lembaga yang dibentuk oleh Sjarikat Islam, namun tidak berjalan dengan baik karena perpecahan di internal Sjarikat Islam. Lembaga pendidikan ini kemudian dikelola sendiri oleh Kartosoewirjo. Selain pendidikan agama, pendidikan militer juga diajarkan di sekolah ini.

Kartosoewirjo masih memiliki harapan dengan Negara Islam yang dicita – citakannya. Susah payah dia mengajar dan mengelola lembaga pendidikan Suffah ini agar dari lembaga ini nantinya muncul kader – kader yang militant yang juga ingin memperjuangkan Negara Islam. Itulah yang diharapkan Kartosoewirjo dari lembaga ini.

Diawal pemerintahan, ternyata Belanda masih ingin kembali menguasai Indonesia. Melalui cara – cara diplomasi dan bahkan juga kekerasan militer. Pemerintahan Indonesia bahkan sempat kerepotan menghadapi Belanda hingga disepakati lah beberapa perjanjian yang menyebabkan wilayah Indonesia menjadi semakin kecil dan sempit.

Bahkan Belanda juga menganggap bahwa Indonesia masih bagian dari Kerajaan Belanda dan pada 1950 bahkan sempat didirikan Republik Indonesia Serikat. Sebagai Soekarno presidennya dan RIS berada dibawah kedaulatan Kerajaan Belanda.

Saat itu lah, saat Belanda kembali menjajah Indonesia dan Indonesia kehilangan beberapa wilayahnya, Kartosoewirjo kemudian memproklamasikan Darul Islam. Dan sebagai barisan kekuatan ketika terjadi konflik bersenjata, baik dengan pasukan Indonesia maupun dengan pasukan Belanda, Kartosoewirjo mendirikan juga Tentara Islam Indonesia dengan murid – murid dari lembaga Suffah lah yang menjadi pasukannya.

Maka terbayar sudah apa yang dikorbankan Kartosoewirjo dalam mengelola lembaga pendidikan Suffah tersebut. Dia berhasil menciptkan pasukan – pasukan


(28)

yang militan dan siap berjuang demi cita –cita bersama, mewujudkan Negara Islam.

Nampak jelas bahwa yang dilakukan oleh Kartosoewirjo bukan semata – mata tindakan sosial yang ikhlas begitu saja mengajar di sekolah Suffah. Namun Kartosoewirjo juga mengharapkan ada keuntungan bagi cita – citanya, yaitu sekelompok pasukan militer yang tangguh yang siap memperjuangkan Negara Islam yang merupakan cita – cita Kartosoewirjo.

3. Berdasarkan Teori Mobilisasi Sumber Daya

Dalam konteks gerakan politik tentu saja diperlukan sumber daya – sumber daya yang merupakan komponen yang sangat berpengaruh dalam proses pelaksanaan gerakan tersebut dan juga hasil yang akan dicapai dari proses tersebut.

Teori mobilisasi sumber daya lebih menekankan pada permasalahan teknis, bukan pada sebab mengapa gerakan itu muncul. Para penganut teori mobilisasi sumber daya ini memandang bahwa kepemimpinan, organisasi dan teknik sebagai faktor yang menentukan sukses tidaknya sebuah gerakan.

Berdasarkan itu, analisis terhadap konsep dan bentuk kepemimpinan yang diterapkan oleh Kartosoewirjo dalam mengatur organisasinya demi menjalankan gerakan politiknya dan teknis – teknis yang diterapkan oleh Kartosoewirjo dalam mengarahkan massanya untuk mewujudkan Darul Islam merupakan salah satu hal yang dapat dijadikan tolak ukur apakah gerakan yang dilakukan oleh Kartosoewirjo secara empiris adalah merupakan gerakan politik.

Dalam teori gerakan mobilisasi sumber daya ini pula, dikatakan bahwa gerakan sosial muncul karena tersedianya faktor – faktor pendukungnya, seperti adanya sumber – sumber pendukung, tersedianya kelompok koalisi dan adanya dukungan


(29)

dana, adanya tekanan dan upaya pengorganisasian yang efektif serta sumber daya yang penting berupa ideologi.43

Sehingga tentu sangat penting untuk melihat bagaimana sumber daya – sumber daya yang dibutuhkan oleh Kartosoewirjo dalam menggalang gerakan politiknya dan juga memanfaatkan potensi yang ada untuk bisa mencapai tujuannya. Dalam penjabaran itu tentu saja diharapkan mampu dilihat apakah gerakan politik yang dijalankan oleh Kartosoewirjo tepat secara empiris.

Dari pemaparan yang ditulis di Bab II tentang profil Kartosoewirjo, dapat dilihat bahwa Kartosoewirjo adalah orang yang sangat teguh pendirian dan juga termasuk orang dengan kepribadian dan karakter yang keras.

Hal itu dapat dilihat ketika dia menjabat sebagai sekretaris umum di Sjarikat Islam, dimana ketika SI ditawarkan untuk berunding dengan pihak Belanda, Kartosoewirjo dengan tegas menolak itu, bahkan ketika akhirnya SI memutuskan untuk berkompromi dengan pihak Belanda langsung kemudian menolak kebijakan organisasi dan memilih untuk meninggalkan organisasinya pada waktu itu.

Dalam kesempatan selama menjabat di kepengurusan Sjarikat Islam, Kartosoewirjo dan beberapa temannya kemudian mendirikan lembaga pendidikan di Malang, Jawa Barat. Lembaga pendidikan ini awalnya didirikan untuk dijadikan sebagai wadah pengembangan pendidikan bagi bangsa Indonesia. Agar pendidikan bagi kaum pribumu tidak lagi bergantung pada Belanda.

Pada 1936, dalam Kongres PSII di Batavia, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua partai. Kongres ke-22 PSII itu menjadi momentum penting dalam karier politik Kartosoewirjo. Pada 1938, dalam kongres partai yang ke-24, diputuskan akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama

      

43Mansoer Fakih, Tiada Transformasi tanpa Gerakan Sosial, dalam Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum

Terpinggir : Studi Tentang Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan, Yogyakarta : Insist Press, 2002


(30)

Suffah PSII. Rencananya, lembaga yang bertujuan menjadi sarana pendidikan politik bagi kaum muslim ini akan dibuka pada 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai Wakil Ketua PSII.

Namun rencana itu tak berjalan mulus. Pada 1939 terjadi perpecahan dalam tubuh PSII. Puncaknya, dalam kongres partai ke-25 di Palembang, Januari 1940, Kartosoewirjo yang berseberangan dengan para petinggi partai akhirnya dipecat melalui keputusan Dewan Eksekutif PSII. Ia juga dituduh telah menyalahgunakan dana partai.

Bersama Kiai Yusuf Tauziri, ia kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran (KPK) PSII, yang menurut dia merupakan kelanjutan yang sebenarnya dari PSII.

Pada 24 Maret 1940, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah yang sempat tertunda. Nama itu diambil dari bahasa Arab, suffah, yang berarti "menyucikan diri". Menempati area perbukitan sekitar empat hektare milik Ardiwisastra, lembaga pendidikan ini berada di sekitar jalan raya Malangbong-Blubur Limbangan. Tempatnya terpencil dari keramaian kota, di tengah-tengah kebun kelapa, dan masuk beberapa meter dari jalan raya.

Lembaga itu mirip pesantren. Siswanya menetap di sana. Selain mendapat pengajaran ilmu pengetahuan umum dan pendidikan agama, para siswa dididik ilmu politik. Kartosoewirjo sendiri mengajar bahasa Belanda, ilmu falak (astronomi), dan ilmu tauhid kepada siswanya yang berasal dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Dalam masa pendudukan Jepang, KPK-PSII-nya Kartosoewirjo di Malangbong dibubarkan Jepang. Meski begitu, Kartosoewirjo tetap memfungsikan Institut Suffah. Tapi dengan fokus pendidikan kemiliteran, karena saat itu Jepang getol memberi pelatihan militer. Siswa yang dilatih kemiliteran di Suffah lalu menjadi


(31)

laskar Islam, Hizbullah dan Sabilillah, yang kelak menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Pada 1949, di saat Kartosoewirjo ingin memproklamasikan DI/TII, Jawa Barat sedang berada dalam kekuasaan Belanda, akibat dari perjanjian Renville, sedangkan Tentara Nasional Indonesia pada waktu itu juga ditarik mundur dari wilayah Jawa Barat menuju Jogjakarta.

Otomatis ketika Kartosoewirjo memproklamasikan DI/TII di Malangbong Jawa Barat waktu itu, maka Kartosoewirjo harus berhadapan dengan pasukan tentara Belanda yang saat itu sedang gencar – gencar nya untuk kembali menguasai Indonesia.

Pendidikan agama dan politik yang diajarkan oleh Kartosoewirjo di lembaga suffah itu ternyata cukup efektif membangun semangat dan kerangka pola fikir dari semua muridnya. Hal ini dapat dilihat dari Tentara Islam Indonesia sangat yakin dan antusias dalam menghadapi pasukan Belanda dan sediktipun tidak gentar.

Juga pendidikan militer yang diajarkan pada saat masa pemerintahan Jepang. Pasukan Hizbullah dan juga Sabilillah yang dilahirkan dari lembaga pendidikan Suffah ini bahkan mampu beberapa kali memukul mundur pasukan Belanda dan menguasai hampir seluruh Jawa Barat.

Dalam konteks gerakan Darul Islam yang dilakukan oleh Kartosoewirjo, tentu saja target yang ingin dicapai adalah perubahan sistem politik Indonesia yang menganut ideologi Pancasila menuju Negara yang berideologi Islam.

Tentu saja dalam hal ini, massa merupakan hal yang juga menjadi sumber daya yang penting. Dan memang Kartosoewirjo juga memang sudah siap untuk kondisi seperti itu dimana untuk mewujudkan tujuannya, diperlukan dukungan dari banyak orang.


(32)

Lembaga pendidikan suffah merupakan salah satu sumber dari basis massa yang digunakan oleh Kartosoewirjo dalam menjalankan DI/TII. Bahkan lembaga ini memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk Tentara Islam Indonesia yang tangguh dan gerilya.

Sumber daya lain yang diperlukan adalah wilayah kekuasaan atau territorial. Kartosoewirjo memiliki istri yang berasal dari Malangbong, dan mertuanya merupakan tokoh yang sangat disegani di wilayah ini. Wilayah Malangbong kemudian menjadi tempat dimana Kartosoewirjo membangun gerakannya dan juga tempat didirikannya lembaga pendidikan Suffah.

Bahkan, Malangbong yang berada di Jawa Barat merupakan wilayah yang berdasarkan perjanjian Renville adalah termasuk wilayah kekuasaan Belanda, bukan pemerintahan Indonesia yang baru merdeka.

Kesepakatan perjanjian Renville selain sebagai pemicu kekecewaan terhadap pemerintah saat itu sehingga ingin mendirikan Darul Islam, juga sekaligus termasuk sumber daya yang menyebabkan Kartosoewirjo dan kelompoknya bebas memproklamirkan DI/TII di Malangbong.

Sehingga dalam pandangan dan pemikiran Kartosoewirjo dan juga pengikutnya, deklarasi DI/TII pada tahun 1949 bukanlah sebuah bentuk gerakan makar atau terorisme terhadap pemerintahan Indonesia, karena mereka memproklamasikan DI/TII yang secara ketetapan hukum yang sah adalah bukan wilayah Indonesia, melainkan wilayah jajahan Belanda.

Untuk kelancaran operasional dan gerakan dari DI/TII ini, tentu dana merupakan sumber daya yang sangat dibutuhkan. Untuk mengatasi kebutuhan ekonomi tersebut, Kartosoewirjo merampas harta – harta yang didapat dari tentara Belanda yang dikalahkan oleh Tentara Islam Indonesia.


(33)

Kartosoewirjo juga menyebarkan gerakan DI/TII ini dari desa ke desa dimulai dari sekitar Jawa Barat, penduduk desa yang saat itu tidak mendapat perlindungan dari pemerintahan Indonesia, tentu saja menerima perlindungan yang ditawarkan oleh Kartosoewirjo.

Bahkan tak sedikit masyarakat yang turut bergabung dalam gerakan DI/TII. Tentu saja jumlah anggota DI/TII bertambah banyak setiap waktu, dan berdasarkan ajaran Islam Kartosoewirjo menetapkan hukum tentang pengelolaan uang di Darul Islam dan juga menetapkan bentuk iuran kepada masyarkatnya untuk pelaksanaan kegiatan DI/TII. Semacam konsep pajak saat sekarang ini. Dalam masa perjuangan gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia, Kartosoewirjo berhasil memobilisasi semua sumber daya yang dia butuhkan secara maksimal. Dari segi kebutuhan militer, lembaga pendidikan Suffah berhasil melahirkan bibit unggul yang dapat dijadikan sebagai pasukan bersenjata yang tangguh.

Dari segi pendanaan, dia berhasil merancang konsep pendanaan yang sesuai dengan ajaran Islam, sehingga jelas sumber produksinya, baik sistem distribusinya dan juga dikonsumsi secara tepat untuk kepentingan seluruh jamaah Darul Islam Tentara Islam Indonesia.

Mengenai dukungan politik, perlindungan yang diberikan kepada mereka oleh masyarakat yang berada di Jawa Barat, mendapatkan timbal balik berupa kepercayaan dan juga dukungan dari masyarakat di sekitar wilayah Jawa Barat. Bahkan gerakan DI/TII ini terus menyebar ke beberapa wilayah di luar Jawa Barat. Di Aceh, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, dan juga Sulawesi Selatan. Di setiap daerah ini kemudian terjadi perlawanan terhadap pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa mereka juga bagian dari Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia.


(34)

Sedemikian kuat karakter kepemimpinan Kartosoewirjo tentu saja merupakan sebuah faktor dari perkembangan gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia. Bahkan sampai juga ke wilayah – wilayah di luar Jawa Barat.

Hal ini juga tentu tidak lepas dari selain kepemimpinan yang kuat, tentu juga kemampuan melakukan loby dan bargaining politik kepada teman – temannya sehingga semua sepakat untuk melakukan gerakan yang bertujuan untuk menjadikan Islam sebagai landasan Negara Indonesia.

Kartosoewirjo juga jeli dalam melihat kondisi politik yang terjadi di Indonesia, sehingga ketika 1945 usaha untuk memproklamasikan DI/TII sempat gagal karena Soekarno lebih dulu memproklamasikan kemerdekaan RI, namun di 1949 dengan melihat aktivitas Belanda yang semakin jelas ingin menjajah kembali, Kartosoewirjo juga berhasil memanfaatkan peluang politik dimana disepakatinya perjanjian Renville.

Sikap keras dan tegas Kartosoewirjo, yang tidak mengenal kompromi bahkan berhasil memukul mundur pasukan Belanda dan juga merepotkan Tentara Nasional Indonesia dalam meredam DI/TII, alih – alih meredam, gerakan ini malah semakin meluas.

4. Berdasarkan Teori Contentious Politics

Dalam buku Dynamics of Contention, karya McAdam, Tilly dan juga Tarrow yang dimaksud dengan contentious politics adalah peristiwa yang terjadi secara episodik atau tiba – tiba daripada regular. Mereka tidak memasukkan, sebagai contoh, pemilihan parlemen, presiden, pembayaran pajak dan penegakan hukum. Lebih jauh, peristiwa mesti terjadi di ruang publik ketimbang di dalam organisasi baik di dalam pemerintahan dan perusahaan. Mereka juga mensyaratkan peristiwa yang melibatkan interaksi kolektif diantara pembuat klaim dan objek klaim.


(35)

Berdasarkan dengan itu, maka sangat jelas penekanan kasus – kasus ketegangan politik adalah lintas sistem atau cara yang sudah ada. Ini berarti di dalam peristiwa tersebut sejumlah aktor politik baru terlibat dan mempergunakan pendekatan baru sebagai alat politik.

Bila dilihat dalam kasus Kartosoewirjo dan juga gerakan DI/TII, maka adalah pemerintah Indonesia yang saat itu di klaim tidak dapat mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicapai susah payah.

Belanda akhirnya dapat kembali masuk dan mencoba menguasai Indonesia. Sehingga menimbulkan kembali ketegangan politik di tanah air. Kartsoewirjo mengklaim bahwa ini adalah kesalahan pemerintah yang tidak mampu melindungi bangsanya.

Kartosoewirjo pun lalu menggalang gerakan DI/TII untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan berlandaskan islam. Tentu pertempuran dengan pasukan Belanda tidak dapat dielakkan. Bahkan setelah akhirnya Belanda berhasil diusir dari Indonesia, ketegangan tidak berhenti. Kartosoewirjo dan DI/TII dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah Indonesia dan harus segera ditangkap.

Ketegangan ini tidak bisa diredam begitu saja karena yang dituntut oleh Kartosoewirjo adalah ingin mengganti dasar Negara dari Pancasila menjadi ajaran Islam, dari Negara yang nasionalis ingin dirubah menjadi Negara Islam.

Belanda yang merasa terganggu dengan keberadaan DI/TII yang melakukan perlawanan secara gerilya, meminta kepada pemerintah Soekarno untuk menyelesaikan masalah tersebut sebagai bentuk pembuktian kedaulatan pemerintah Soekarno yang sah di Indonesia.


(36)

Pasukan RI berusaha mengambil kesempatan untuk kembali menguasai Jawa Barat saat terjadi pertempuran antara pasukan TII dengan Belanda, sehingga terjadilah perang segi tiga antara TNI – TII - Belanda. Dalam pertempuran segi tiga ini, TNI selalu dalam keadaan kalah dan lemah karena mereka tidak memiliki basis yang kuat dan tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Perang segi tiga tersebut berakhir setelah pada 27 Desember 1949 setelah adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) dimana ditetapkan bahwa RI menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), Soekarno menjadi presiden RIS, dan RIS harus menghancurkan NII dan membayar rampasan perang.

Maka, pada tahun 1950-an perang kembali meletus antara TNI yang dibantu Belanda melawan TII. Pada tahun-tahun tersebut beberapa divisi pasukan yang sebelumnya mendukung RI menyatakan bergabung dengan NII, antara lain pasukan Abu Daud Beureuh (Aceh), pasukan Ibnu Hajar (Kalimantan), pasukan Kahhar Muzakkar (Sulawesi), Amir Fatah (Jawa Tengah) dan pasukan Mayor Munawar (Kudus).

Soekarno pun yang melihat bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh DI/TII dan Kartosoewirjo akhirnya mengeluarkan perintah kepada Tentara Nasional Indonesia untuk menangkap Kartosoewirjo.

Sementara itu, gerakan Kartosoewirjo yang sangat terorganisir dengan rapi, dengan juga mempertimbangkan perkembangan politik nasional dan internasional, sangat mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan gerakan DI/TII ini.

Kepemimpinan Kartosoewirjo sangat mampu melihat dengan jeli pergerakan politik yang terjadi dan menyusun strategi yang rapi untuk kemudian melakukan perlawanan dan menyebarluaskan konsep ajaran Islam sebagai landasan Negara. Hasilnya sangat memuaskan, warga DI/TII semakin banyak dan menyebar


(37)

Dalam masa periode 1949 sampai 1962, selama 13 tahun perjuangan DI/TII dan akhirnya Kartosoewirjo bahkan sempat memproklamasikan Negara Islam Indonesia, tentu saja perjuangan yang dilakukan oleh Kartosoewirjo menimbulkan ketegangan politik di tanah air waktu itu.

Bahkan pada periode itu ketika Belanda akhirnya meninggalkan Indonesia di tahun 1950, terjadi ketegangan politik dan pertempuran ideologi antara tiga kekuatan besar di Indonesia, paham nasionalis yang sedang di terapkan di Indonesia, lalu berhadapan dengan kekuatan komunis yang terus merongrong untuk menguasai Indonesia dan juga kekuatan DI/TII yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia.

Bahkan dalam bukunya Al Chaidar, dikatakan bahwa Kartosoewirjo mengajak Soekarno untuk bersama – sama menghadapi kekuatan komunis saat itu, asalkan pemerintahan Soekarno lalu mau mengakui eksistensi dari Negara Islam Indonesia. Dan Kartosoewirjo pun menawarkan hubungan persahabatan kepada pemerintahan Soekarno, tapi dengan syarat pengakuan kedaulatan Negara Islam Indonesia.

Tentu saja hal itu tidak terjadi, sejarah mencatat bahwa komunis sempat mengganggu jalannya pemerintahan Indonesia, dan juga DI/TII juga dianggap sebagai gerakan pemberontakan di Indonesia, tapi sampai saat ini tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa Indonesia pernah menjadi Negara komunis maupun Negara Islam.

Ketegangan politik dalam pendekatan teori gerakan sosial, lebih diarahkan pada gerakan yang terkait dengan tuntutan perubahan kebijakan yang sedang berlaku yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi sosial. Dalam kasus yang berbeda, upaya untuk mempertahankan suatu kebijakan juga termasuk dalam teori ketegangan/pertentangan politik ini.


(38)

Kartosoewrijo dalam menjalankan gerakan DI/TII, sebagaimana dikatakan diawal, ingin merubah bentuk haluan Negara dan juga dasar Negara. DI//TII ingin merubah Indonesia menjadi sebuah Negara Islam. Tentu saja dengan Kartosoewirjo yang menjabat sebagai imam atau pemimpin tertingginya.

Cita – cita yang ingin dicapai oleh Kartosoewirjo ini tentu saja sangat bertentangan dan tak bisa diterima oleh pemerintahan Indonesia saat itu. Bagaimanapun juga Indonesia tidak seluruhnya merupakan umat Islam, dan kelompok masyarakat yang non-Islam itu juga berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sehingga tentu saja akan sangat tidak bijak bila akhirnya Negara Indonesia menjadi sebuah Negara Islam. Karena ini sama saja dengan tidak menghargai peran serta bangsa Indonesia yang non-Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Namun pada akhirnya setelah merdeka, Indonesia juga malah seperti tidak mampu mempertahankan kemerdekaannya. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi jika melihat bahwa Indonesia adalah Negara yang baru merdeka dan belum memiliki pengalaman banyak, ditambah lagi wilayah kedaulatan yang begitu luas dengan bangsa yang majemuk sekali, akan sulit untuk bisa mengkonsolidasikan semuanya dalam waktu beberapa tahun saja.

Hal ini juga yang kemudian menyebabkan pergerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosoewirjo menjadi sangat pesat menyebar sampai ke luar pulau Jawa, karena mereka memang tidak merasakan peran pemerintah Indonesia secara konkrit untuk ikut mensejahterakan mereka pada waktu itu.

4.1. Gerakan DI/TII Amir Fatah

Yang pertama kita lihat adalah perkembangan gerakan DI/TII sampai ke wilayah Jawa Tengah. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah berasal dari wilayah barat berbatasan dengan Jawa Barat, terutama wilayah Brebes dan Tegal yang


(39)

Amir Fatah. Karena kedekatan daerah, kelompok ini mendapat pengawasan dari pusat gerakan yang berada di Jawa Barat.

Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosoewirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam.

Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal – Brebes telah terpengaruh oleh “kelompok kiri" dan mengganggu perjuangan umat Islam.

Ketiga, adanya pengaruh "kelompok kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo.

Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia.

4.2.Gerakan DI/TII Sulawesi Selatan

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para


(40)

pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.

4.3.Gerakan DI/TII Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.

4.4.Gerakan DI/TII Aceh

Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai


(41)

memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.

Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.


(42)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan dan analisa yang dijelaskan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :

1. Yang menjadi tujuan dari Kartosoewirjo adalah mendirikan sebuah Negara Islam Indonesia. Dimana Negara itu berlandaskan pada ajaran Islam, dan Kartosoewirjo menjadi imam dan pemimpin di Negara tersebut. Hal ini didasari karena latar belakang pendidikan Islam yang didapat oleh Kartosoewrijo sangat kuat dari guru agamanya, Notonihardjo dan juga pengalamannya bersama Tjokromaninoto sewaktu di Sjarikat Islam.

Untuk mencapai tujuannya tersebut, Kartosoewirjo lalu memproklamasikan DI/TII pada 7 Agustus 1949.

2. Bahwa gerakan politik tidak hanya seputar tentang pemenangan seseorang atau sekelompok orang dalam sebuah pemilu saja, tapi gerakan politik juga mencakup gerakan yang menuntut perubahan nilai atau kebijakan yang berlaku saat itu.

Gerakan politik juga merupakan bagian dari kerangka gerakan sosial, karena juga mencakup kegiatan kolektif dan tujuan bersama atau dapat dikatakan kepentingan bersama. Sehingga dapat lah melakukan analisa secara empiris terhadap gerakan politik dengan menggunakan teori – teori gerakan sosial.


(43)

3. DI/TII diproklamasikan di Malangbong, Jawa Barat pada tahun 1949, dimana pada waktu itu berdasarkan hasil perjanjian Renville, Jawa Barat bukanlah merupakan wilayah kedaulatan Indonesia, pusat pemerintahan RI juga waktu itu dipindahkan ke Jogjakarta.

DI/TII merupakan sebuah instrument gerakan politik yang dilakukan oleh Kartosoewirjo, gerakan ini termasuk kedalam gerakan politik setelah dilihat secara empiris, karena merupakan gerakan yang bertujuan untuk merubah keadaan politik yang berjalan dan dalam kegiatannya menimbulkan pertentangan dengan pemerintah Indonesia pada waktu itu.


(44)

BAB II

PROFIL S.M. KARTOSOEWIRJO

Pada bab ini, akan dipaparkan profil tentang Kartosoewirjo. Kita tentu perlu tahu bagaimana latar belakang Kartosoewirjo mulai dari keluarga, lingkungan, pendidikan dan kondisi sosial yang menyelimuti Kartosoewirjo sehingga kita bisa melihat apa – apa yang mendasari gerakan sosial yang dilakukan oleh Kartosoewirjo. Selain itu latar belakang kehidupan Kartosoewirjo juga tentunya mempengaruhi dalam pembentukan karakter pribadinya.

A. Masa Kecil Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, lahir di Cepu pada tanggal 7 Januari 1905.27 Cepu merupakan sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.

Untuk bisa lebih memahami karakter Kartosoewirjo, akan lebih mudah bila kita memahami bagaimana kondisi sosial politik yang terjadi di Indonesia pada waktu itu yang tentu saja kondisi itu akan mempengaruhi perkembangan karakter Kartosoewirjo itu sendiri. Dalam hal ini, saya akan menggunakan pendekatan sejarah alternatif (alternative history) untuk melihat kondisi di Indonesia pada waktu itu.

Pada 1901, pemerintahan Belanda yang pada waktu itu menguasai Indonesia, menerapkan kebijakan politik etis di Indonesia.28 Dan Kartosoewirjo lahir pada saat kebijakan politik etis tersebut sedang dijalankan. Kebijakan politik etis ini

       27 

Damien Dematra, Kartosoewirjo Pahlawan atau Teroris, Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2011 hal. 10  


(45)

mengizinkan anak – anak pribumi yang orangtuanya bekerja untuk pemerintahan Belanda berhak untuk mendapatkan pendidikan modern di sekolah – sekolah Belanda pada waktu itu.

Kedudukan orang tua Kartosoewirjo waktu itu yang merupakan mantri candu di pemerintahan Belanda menyebabkan Kartosoewirjo berhak memasuki sekolah – sekolah Belanda.

Hal ini tentu saja memberikan perbedaan tersendiri antara Kartosoewirjo dengan anak – anak pribumui seusianya pada waktu itu. Dimana banyak anak pribumi yang sejak kecil harus ikut membantu orang tuanya bekerja dan tidak memiliki kesempatan untuk mendapat pendidikan di sekolah modern, Kartosoewirjo dapat dikatakan beruntung dapat mengenyam pendidikan di sekolah – sekolah modern pada waktu itu. Dia juga tidak perlu banyak membantu pekerjaan orang tuanya, karena posisi ayahnya sebagai seorang mantri candu untuk pemerintahan Belanda waktu itu tidak memerlukan tenaga yang besar seperti bila bekerja sebagai petani. Hal ini memberi pengaruh kepada Kartosoewirjo ketika dia mulai menyadari bahwa anak – anak pribumi lain yang seusianya menjaga jarak dengan Kartosoewirjo hanya karena Karto merupakan anak dari seorang pribumi yang bekerja kepada Belanda. Kartosoewirjo mulai merasakan ada keanehan dengan latar belakang kondisi sosialnya, kenapa ia bisa sekolah sedangkan anak – anak lain seusianya tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama, hal tersebut mulai menjadi sebuah keresahan tersendiri pada Kartosoewirjo sampai dia besar nanti.

B. Masa Pendidikan S.M. Kartosoewirjo

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan sistem politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena


(46)

ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sejak kecil sudah mengenyam pendidikan di sekolah – sekolah Belanda. Dia pun termasuk anak yang pintar di sekolahnya. Namun begitu, lingkungan dia tinggal sangat kental dengan nuansa Islam. Sehingga walaupun mendapat pendidikan di sekolah Belanda, nilai – nilai ajaran Islam juga masih melekat kental dalam diri Kartosoewirjo.

Pada usia 6 tahun, 1911, Kartosoewirjo mulai masuk sekolah di Inlandsche

School der Tweede Klasse.29 Sekolah kelas dua yang khusus untuk anak – anak kaum pribumi. Dia termasuk murid yang pintar di kelas nya dan dapat mengikuti pelajaran – pelajaran dengan baik di sekolah. Dia memiliki banyak teman namun tidak teman dekat. Ia pun tumbuh menjadi anak yang ulet dan cerdas.

Pada tahun 1917, ayah Kartosoewirjo kemudian melanjutkan sekolah Kartosewirjo ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Di sini, Kartosoewirjo segera mendapat teman – teman baru yang juga anak – anak pribumi dan bekerja untuk pemerintahan Belanda, keturunan ningrat dan juga anak anak peranakan keturunan Belanda. Sama seperti di sekolah sebelumnya, Kartosoewirjo juga merupakan seorang murid yang pintar di kelas, dan menonjol di tiap – tiap pelajaran.

Pada tahun 1920, ayah Kartosoewirjo mendapat kenaikan pangkat dan dipindah tugaskan ke Bojonegoro.30 Sehingga keluarganya pun dibawa ikut pindah ke Bojonegoro. Hal ini juga memberikan efek langsung kepada sekolah Kartosoewirjo yang juga harus pindah sekolah ke Bojonegoro.

Di sana, Kartosoewirjo disekolahkan di Europeesche Lagere School. Ini merupakan salah satu sekolah elite yang menggunakan sistem pendidikan Eropa

      


(47)

dan dirancang untuk anak – anak kulit putih dan juga anak – anak peranakan Indo-Eropa di sana.

Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal Ustadz Notodihardjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam. Bersama ustadz Notodihardjo inilah Kartosoewirjo mulai belajar tentang Islam secara mendalam.

Pada usia 18 tahun, yaitu tahun 1923, Kartosoewirjo berhasil menyelesaikan pendidikannya dari Europeesche Lagere School. Dalam pertimbangan ayah Kartosoewirjo, karena diuntungkan oleh kebijakan politik etis yang sedang diterapkan Belanda, maka tentu anaknya bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan anaknya juga harus mendapat pekerjaan yang layak dan diakui di masyarakat, yaitu antara insinyur atau dokter. Oleh karena itu ayah Kartosoewirjo memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Kartosoewirjo ke Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya.31 Di NIAS inilah sebenarnya Kartosoewirjo mulai aktif dalam perjuangan melawan Belanda.

Dia tinggal di salah satu rumah kos di sekitar wilayah kampusnya. Ketika baru tiba di kos, dia pun kemudian berjalan keluar untuk melihat pemandangan kampus. Sesampainya di kampus, Kartosoewirjo melihat sebuah perkumpulan pemuda yang menamai diri mereka Jong Java. Ia pun bergabung dengan Jong Java dan mulai aktif terlibat dalam kegiatan – kegiatan di Jong Java.

Sedangkan kuliahnya di NIAS harus menjalani masa kuliah umum selama 3 tahun,barulah di tahun ke-empat mulai memasuki kuliah inti. Selama 3 tahun ini Kartosoewirjo pun aktif mengikuti kegiatan perjuangan pemuda di Surabaya,

       31 Ibid, hal. 65  


(48)

bersama Jong Java, dia pun aktif melakukan aksi – aksi melawan pemerintahan Belanda.

Dia juga banyak membaca buku – buku dari berbagai bidang ilmu lain selain buku – buku kedokteran, dan dia juga dipinjamkan buku – buku tentang komunisme oleh pamannya, Marko Kartodikromo, seorang sastrawan dan wartawan yang cukup terkenal pada masa itu.

Tentu saja pergerakan Kartosoewirjo diamati oleh pemerintahan Belanda yang tak ingin menyekolahkan seseorang hanya untuk kemudian berani melawan dan mengancam pemerintahan Belanda. Hingga suatu hari kamar kos Kartosoewirjo pun digeledah secara paksa oleh prajurit Belanda dan mereka menemukan buku – buku komunis yang dipinjamkan oleh pamannya tadi di kamar Kartosoewirjo. Komunis pada waktu itu merupakan ancaman bagi pihak Belanda, tentu saja mereka tidak suka bila warga pribumi mempelajari tentang komunisme, oleh karena itu, pada tahun ketiga tepat dimana Kartosoewirjo harus mulai melanjutkan ke perkuliahan inti, saat itu pula ia dikeluarkan dari NIAS oleh pemerintah Belanda dengan alasan terlibat dalam gerakan komunis. Dan sampai saat itu pula riwayat pendidikan formal Kartosoewirjo berakhir. Tapi bukan berarti semangat dan perjuangan Kartosoewirjo pun berakhir juga.

Ketika bersekolah di NIAS, Kartosoewirjo mulai aktif dalam pergerakan perjuangan Indonesia. Begitu sampai di Surabaya Kartosoewirjo bergabung dalam gerakan Jong Java.

Pada masa itu, 1920-an, Surabaya merupakan salah satu kota basis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan juga pada masa itu, perjuangan yang dilakukan oleh para pemuda sudah tidak lagi dengan mengandalkan perang fisik menggunakan bambu runcing, melainkan dengan cara perjuangan melalui organisasi.


(49)

Sjarikat Islam merupakan salah satu organisasi pelopor perjuangan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Tjokroaminoto merupakan pimpinan dari organisasi ini. Kartosoewirjo sejak masih kecil dan bersekolah di Bojonegoro sudah mengenal sosok Tjokro dan mengikuti ceramahnya sekali. Dari situ ia langsung menggilai tokoh yang satu ini, banyak membaca tulisannya dan juga mengikuti perkembangan pergerakan Tjokroaminoto.

Tentu saja ini menjadi sangat mempengaruhi pemikiran – pemikiran dari Kartosoewirjo. Kartosoewirjo menaruh respek yang besar kepada Tjokroaminoto, melalui Tjokroaminoto pula Kartosoewirjo kemudian bertemu dan berdialog dengan Soekarno. Seperti kita tahu bahwa banyak tokoh – tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sempat berguru dan belajar kepada Tjokroaminoto. Para pejuang kemerdekaan Indonesia mulai menyadari bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan akan masih sangat sulit dilakukan karena bangsa Indonesia sendiri sampai saat itu masih sedikit sekali yang sadar akan politik.

Para pemuda memahami ini dan kemudian dalam gerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan, mereka merumuskan empat pemikiran pokok yang harus diperjuangkan dalam kemerdekaan, yaitu : Pertama, kesatuan nasional. Dalam masalah persatuan nasional ini, perlunya bangsa Indonesia untuk mengenyampingkan terlebih dahulu perbedaan – perbedaan yang sempit semacam perbedaan etnis serta kedaerahan. Dikarenakan perlu ada kesatuan aksi melawan Belanda dalam rangka menciptakan Negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu.

Kedua, solidaritas. Masalah solidaritas ini didasari oleh suatu kebulatan tekad bersama senasib dan sepenanggungan dalam kerangka persatuan yang amat kukuh dan kokoh luar dalam antara pribumi tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia.


(50)

Ketiga, non-kooperasi. Artinya adalah gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia sama sekali tidak mau berkompromi dengan segala hal yang berbau kolonial. Para pejuang kemerdekaan waktu itu menyadari bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah sukarela dari Belanda dan harus direbut dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri.

Keempat, swadaya. Dengan swadaya gerakan kaum nasionalis dan mengandalkan kekuatan sendiri dan mengembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi dan hokum yang kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial. Inilah prinsip yang mendasari semangat perjuangan kemerdekaan waktu itu, dimana tentu saja Kartosoewirjo terlibat dalam ini.

Dalam masa ketika Kartosoewirjo mulai sekolah di NIAS, dia banyak menghabiskan waktu diluar sekolah dengan organisasi pemuda yang dia ikuti, bahkan kuliah yang seharusnya menjadi tujuan utama dia di Surabaya menjadi tidak prioritas lagi bagi Kartosoewirjo.

Di organisasinya, ia mulia aktif terlibat dalam diskusi – diskusi politik. Ia pun bergabung dengan organisasi Sjarikat Islam dibawah pimpinan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto yang merupakan tokoh yang sangat dikagumi oleh Kartosoewirjo.32 Pemikiran – pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi dari Kartosoewirjo.

Lalu ketika pamannya Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan meminjamkan buku – buku komunis kepada Kartosoewirjo, buku itulah yang menyebabkan Kartosoewirjo akhirnya dikeluarkan dari sekolahnya di Surabaya, namun dikeluarkan dari sekolah tidak membuat Kartosoewirjo gentar dan ragu


(1)

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat secara empiris apakah sebenarnya tujuan Kartosoewirjo memproklamasikan DI/TII dan apakah DI/TII ini termasuk gerakan politik. Hal ini akan dijawab dalam empat (IV) BAB, dimana pada Bab I merupakan latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi dan sistematika penulisan. Bab II merupakan deskripsi dari pemikiran Kartosoewirjo dan deskripsi tentang DI/TII. Lalu Bab III merupakan analisis empiris antara gerakan DI/TII dengan menggunakan teori – teori gerakan sosial, seperti teori pilihan rasional, pertukaran sosial, mobilisasi sumber daya dan contentious politics. Terakhir pada Bab IV akan disimpulkan hasil dari penelitian ini.

Tentu saja penelitian ini masih jauh dari sempurna dalam kategori sebuah karya ilmiah, namun saya tetap berharap setidaknya ada beberapa masukan yang dapat diberikan dari penelitian ini untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Kritik dan saran yang membangun terhadap hasil penelitian ini sangat saya harapkan. Untuk kebaikan bersama di kemudian hari.

Dan terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu dan mendukung saya dengan sabar dan memberi masukan yang sangat bermanfaat sehingga penelitian ini dapat selesai.

Medan, Januari 2013


(2)

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmannirrahiim

Alhamdulillah, puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT, yang dengan semua rahmat dan karuniaNya, skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan. Juga tak lupa shalawat dan salam kepada Rasullullah SAW yang telah menjadi contoh teladan seorang pribadi yang baik.

Skripsi ini tak mungkin bisa selesai tanpa bantuan dan dukungan dari banyak pihak, untuk itu saya ingin mengucapkan terima kasih setulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku ketua Departemen Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si selaku Dosen Pembimbing saya. Terima kasih buat masukan dan arahannya pak, terima kasih juga buat waktu yang disediakan untuk membimbing saya, maaf ya pak pernah nelpon larut malam kerumah.

4. Bapak Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc, Sc selaku Dosen Pembaca saya. Sebenarnya lebih pantas disebut abang. Terima kasih banyak bang buat masukannya, motivasinya dan semangatnya.

5. Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP USU. Terima kasih buat ilmu, wawasan dan pengalaman yang telah dibagikan kepada saya.

6. Terima kasih kepada kak Emma, yang banyak membantu urusan administrasi pendidikan, yang selalu senyum setiap kali diganggu saat sedang sibuk. Bang Rusdi, terima kasih buat bantunnya ya bang, waktunya dan nasehat – nasehatnya.


(3)

7. Tentu saja terima kasih buat orang tua saya, almarhum ayah Dame Efendi Tambunan, huehehe, saya selesai juga akhirnya. Ibunda tercinta, Warta Sinulingga, ada yang bilang, “Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kamu minta, tapi Tuhan selalu memberikan apa yang kamu butuh” terkadang saya mikir Ibunda tercinta ini seperti Tuhan saja, karena dia memberikan tidak selalu yang saya inginkan, tapi lebih kepada yang saya butuhkan, yaitu repetan. Makasih ya mak, repetanmu setiap pagi dan malam selalu menyadarkanku bahwa perjuangan belum selesai, jalan masih panjang. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih. Seribu kali juga saya tulis terima kasih tetap tak cukup buat ungkapin rasa syukur saya, tapi ya terima kasih lah.

8. Kak Lia, Dewi, Rendi, kalian saudara saudaraku, terima kasih. Tingkah kalian selalu saja menyadarkan saya bahwa kita sebagai saudara memang terlahir untuk saling melengkapi. Thank you, bro, sist.

9. Buat pak Agus Tawan Karnajaya, terima kasih buat motivasinya, bantuan morilnya, semangatnya, buat bapak mamaknya ozi, bapak mamaknya angga, mamaknya Fiji, bapak mamaknya Afrizal, bapak mamaknya Nandes, bapak mamaknya Reza gendon, makasih atas doa dan dukungannya ya bapak - bapak, ibuk - ibuk.

10. Buat pak Ramiono dan almarhumah ibu Basriah Hanum, saya selalu gak sanggup lihat mata kalian, karena dalam pandangan mata kalian seperti ada pertanyaan besar buat saya, “kapan lagi..????” itu selalu jadi motivasi bagi saya buat nyiapin skripsi ini. Terima kasih.

11. Kawan – kawan di SD Tunas Kartika I-II Medan (1999), SMP Negeri 9 Medan (2002), SMA Negeri 15 Medan (2005), Ilmu Politik 2006 FISIP USU. PMR 045 SMP 9 Medan, PMR 032 SMA 15 Medan, KSR PMI Kota Medan, Gerakan Pemuda Islam SUMUT, BM PAN SUMUT, makasih banyak ya doa dan dukungannya. Sangat membantu.


(4)

12. Afrizal A.Md. Ozi A.Md, Angga A.Md, (kapan kalian nyusul aku S1 boy...) Fiji, Nandes, (sekarang kita sederajat kembali kawan, hehehe…) terima kasih buat persahabatan kita. Saya juga masih ragu berkawan dengan kalian entah berkah entah kutukan, tapi yang pasti saya menikmati dan mensyukurinya. Terima kasih ya kawan.

13. Aihmak, gengstrong inilah yang agak payah mendek – mendekkan ucapan terimakasihnya ini, Reza gendon, Fany seleng, Jiji yang baik, Rifki ler, Moechda Atjeh, Reno gigi, Adoy Tembung, Izal, Astri, Adit, Dila, Kiki, Gitra olala, Afif, Hary ginting, Ulfa, Ismuhar, kalian luar biasa lah weii pokoknya. Terima kasih buat kebersamaannya ya..

14. Istiqomah Addarini, A.Md. Terima kasih. 

Buat semua teman, kerabat, saudara, family, handai taulan yang banyak membantu saya, terima kasih.


(5)

DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI ... i

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Pertanyaan Peneletian ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 5

E. Manfaat Penelitian ... 5

F. Tinjauan Pustaka ... 6

G. Kerangka Teori ... 8

1. Teori - Teori Gerakan Sosial ... 8

1.1 Teori Pilihan Rasional ... 13

1.2 Teori Pertukaran Sosial ... 14

1.3 Teori Mobilisasi Sumber Daya ... 19

1.4 Contentius Politics ... 20

H. Metodologi Penelitian ... 22

1. Jenis Penelitian ... 22

2. Teknik Pengumpulan Data ... 23

3. Analisa Data ... 24


(6)

BAB II PROFIL S.M. KARTOSOEWIRJO ... 26

A. Masa Kecil Kartosoewirjo ... 26

B. Masa Pendidikan S.M. Kartosoewirjo ... 27

C. Kartosoewirjo, Sjarikat Islam dan Politik Hijrah ... 34

D. Periode Awal Kemerdekaan Indonesia dan Kembalinya Belanda ... 41

E. Kartosoewirjo Memproklamasikan DI/TII ... 45

F. Akhir Perjuangan Kartosoewirjo ... 46

BAB III GERAKAN DI/TII SEBAGAI GERAKAN POLITIK ... 49

A. Latar Belakang DI/TII ... 53

B. Tujuan Didirikannya DI/TII ... 59

C. DI/TII Sebagai Instrumen Gerakan Politik Kartosoewirjo ... 62

1. Berdasarkan Teori Pilihan Rasional ... 65

2. Berdasarkan Teori Pertukaran Sosial ... 68

3. Berdasarkan Teori Mobilisasi Sumber Daya ... 73

4. Berdasarkan Teori Contentious Politics ... 79

4.1.Gerakan DI/TII Jawa Tengah ... 83

4.2.Gerakan DI/TII Sulawesi Selatan ... 84

4.3.Gerakan DI/TII Kalimantan Selatan ... 85

4.4.Gerakan DI/TII Aceh ... 85

BAB IV PENUTUP ... 87

A. Kesimpulan ... 87