Tuturan Dalam Upacara Ritual Mangongkal Holi Dalam Adat Batak Toba

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Furqon., Hadisi, Hendri. 2011. Pengaruh Metode Aktivasi Zeolite Alam sebagai Bahan Penurun Temperatur Campuran Beraspal Hangat. Bandung : Pusat Litbang Jalan dan Jembatan.

Anjar, L. Putri. Bowoputro, Hendi. Dita, M. Ayu. Djakfar, Ludfi. 2013. Pengaruh Penambahan Zeolit AlamTerhadap Karakteristik Marshall Pada Campuran Aspal Hangat (Warm Mix Asphalt) dengan Agregat Kasar Slag Baja. Malang : Universitas Brawijaya

Bowoputro, Hendi. Djakfar, Ludfi. Dwi, D. Setyawan. Dan Rizki, Royhan. 2013. Pengaruh Penambahan Zeolit AlamTerhadap Karakteristik Marshall Pada Campuran Aspal Hangat (Warm Mix Asphalt) dengan Agregat Propilit. Malang : Universitas Brawijaya

C. Hurley, Graham., D. Prowell, Brian. 2005. Evaluation of Aspha-Min Zeolite for Use in Warm Mix Asphalt. Auburn University : National Center for Asphalt Technology. C. Hurley, Graham., D. Prowell, Brian. 2007. Evaluation of Potential Processes for Use in

Warm Mix Asphalt. United States National Center for Asphalt Technology.

Departemen Pemukiman dan PrasaranaWilayah. 2004. Manual Perkerasan Campuran Beraspal Panas. Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah. Kementrian Pekerjaan Umum.

Dirjen Bina Marga .2010 . Spesifikasi Divisi 6 Seksi 6.3 Campuran Beraspal Panas. Direktorat Jenderal Bina Marga. Kementrian Pekerjaan Umum .

EAPA (European Asphalt Pavement Association). 2010. The Use of Warm Mix Asphalt. Belgia.

FHWA(Federal Highway Administration). 2011. Warm Mix Asphalt Introduction. U.S. Department of Transportation.


(2)

FHWA (Federal Highway Administration). 2013. Warm Mix Asphalt. U.S. Department of Transportation.

Hardiyatmo, C. Hary. 2011. Perancangan Perkerasan dan Penyelidikan Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kusumaningtyas, A. Endarti. 2003. Pemanfaatan Zeolit Sebagai Adsorben Untuk Mengolah Limbah Industri dan Radioaktif. Malang: Universitas Negeri Malang.

NCHRP (National Cooperative Highway Research Program). 2011. Mix Design Practice for Warm-Mix Asphalt. Washington DC.

Nono. 2007. Presentasi Perencanaan Asbuton Campuran Panas. Departemen Pekerjaan Umum.

Purwanto, Eka Hadi., Sakti, Hartomo Sandi., Setiadji, Bagus Hario., Supriyono. 2014. Pengaruh Penambahan Sasobit pada Warm Mix Asphalt terhadap Mutu Campuran Beraspal. Jurnal Karya Teknik Sipil Vol. 3 No.1 Hal: 93 -104.

Sukirman, S,. 2003. Beton Aspal Campuran Panas. Jakarta: Granit.

Suprapto. 2004. Bahan dan Struktur Jalan Raya;edisi II. Yogyakarta: Biro Penerbit KMTS FT UGM.


(3)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 PERSIAPAN PENELITIAN

Sebelum melakukan penelitian ini, banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai persiapan dalam melakukan penelitian ini. Tujuannya agar memperkecil (meminimalisir) kesalahan dalam pengerjaan dari awal hingga akhir. Metode penelitian disusun untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan sebuah penelitian sehingga berjalan lebih tepat efektif dan efisien. Tahapan prosedur pelaksanaan ini tergambar dalam suatu bagan alir metode penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium Jalan Raya Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara dan AMP PT. Karya Murni Perkasa Patumbak.

Spesifikasi bahan baku penelitian yang meliputi aspal, agregat kasar, agregat halus, filler , dan aditif adalah :

 Aspal pen 60/70

 Agregat halus

 Tipe : abu batu

 Ukuran : 0,075 mm – 4,75 mm

 Berat jenis : minimum 2500 kg/m3

 Agregat kasar

 Tipe : batu pecah (split)

 Ukuran : maksimum 25,4 mm (1 inch)


(4)

 Filler berupa Semen Portland

 Aditif berupa zeolit yang diambil dari daerah Tasikmalaya dan sudah diaktivasi dengan metode kimia di Laboratorium milik PUSJATAN dengan kadar air sebanyak 19,8%, luas permukaan 8,3528 m2, jari-jari pori 16,2350 Ȧ dan absorpsi 13,250 ml/g.

3.1.1 Persiapan Bahan

Agregat

Bahan-bahan yang dipakai berupa, agregat yang diambil dari stok agregat di AMP PT. Karya Murni Perkasa Patumbak. Tahap yang pertama dilakukan adalah pemeriksaan properties agregat yang akan digunakan. Semua pengujian sesuai dengan standart pengujian bahan modul praktikum jalan raya Departemen Teknik Sipil USU yang mengacu pada SNI (Standart Nasional Indonesia) dan ASTM (American Society For Testing Material).

Beberapa pengujian yang dilakukan terhadap agregat kasar, meliputi: a. Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan.

b. Abrasi dengan mesin Los Angeles. c. Kelekatan agregat terhadap aspal. d. Butir pecah pada agregat kasar. e. Partikel pipih dan lonjong. f. Material lolos ayakan No.200

Aspal/Bitumen

Untuk pengujian bahan bitumen atau aspal, pada penelitian ini digunakan aspal penetrasi 60/70 yang berasal dari Iran dan didapat dari PT. Karya Murni Perkasa Patumbak.


(5)

Pemeriksaan sifat fisik aspal yang dilakukan antara lain: a. Pemeriksaan penetrasi aspal (25˚C)

b. Pemeriksaan titik lembek (˚C)

c. Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar (˚C) d. Pemeriksaan viskositas dinamis 60˚C e. Pemeriksaan viskositas kinematis 135˚C

f. Pemeriksaan kelarutan aspal dalam karbon tetraklorida (CCL4) g. Pemeriksaan daktalitas (25˚C), cm

h. Pemeriksaan berat jenis bitumen

i. Pemeriksaan partikel yang lebih halus dari 150 micron (µm)

Zeolit

Zeolit yang digunakan diperoleh dari PUSJATAN di Bandung. Zeolit diambil dari daerah Tasikmalaya, Jawa Barat dan sudah diproses di pabrik, lalu kemudian diaktivasi terlebih dahulu dengan metode kimia di Laboratorium milik PUSJATAN. Untuk zeolit sendiri, pengujian yang dilakukan hanya berupa pengujian gradasi saringan dan juga kandungan kadar air.

3.2 Pembuatan Benda Uji

Prosedur pembuatan dan pengujian campuran beraspal dengan menggunakan pedoman Dirjen Bina Marga ( 2010 ) revisi 3.


(6)

3.2.1 Penentuan Kadar Aspal Optimum ( KAO )

Pembuatan sampel atau briket campuran beraspal untuk mencari kadar aspal optimum, dengan mengikuti tahap – tahap berikut:

 Pembuatan design mix formula . Langkah pertama yang dilakukan dalam tahap ini adalah menentukan Pb , yaitu kadar aspal yang digunakan sebagai perkiraan awal kadar aspal rancangan yang dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :

Pb = 0,035 ( % CA ) + 0,045 ( % FA ) + 0,18 ( % filler ) + konstanta Dimana :

Pb : % kadar aspal semen minimum

CA : agregat kasar tertahan saringan No.8 (100% - % lolos saringan No.8)

FA : agregat halus lolos saringan No.8 dan tertahan saringan No.200 ( % lolos saringan No.8 - % lolos saringan No.200 )

Filler : agregat halus lolos saringan No.200

Setelah didapa nilai Pb , diambil 5 kadar aspal yang ditentukan dengan nilai Pb sebagai nilai tengah , kemudian diambil 4 kadar aspal berbeda lainnya ( yaitu ± 0,5 % ) dengan ketentuan :

Pb – 1% , Pb – 0,5 % , Pb , Pb + 0,5 % , Pb + 1 % .

 Setelah didapat 5 kadar aspal , maka dibuatlah sample/ briket masing-masing sebanyak 3 buah ( triplo ) , jadi total terdapat 15 briket campuran beraspal.

 Proses pembuatan campuran beraspal dilakukan dengan cara panas , dengan suhu pencampuran campuran beraspal sesuai dengan suhu pencampuran dari pengujian viskositas material aspal .

 Kemudian , semua briket tersebut didinginkan sampai mencapai suhu yang sama dengan suhu ruangan , lalu dianalisis properti volumetriknya . Setelah itu , rendam semua briket


(7)

di air dengah suhu 60˚C selama kurang lebih 45 – 60 menit , lalu kemudian dilakukan uji tekan marshall terhadap seluruh briket untuk mendapatkan parameter stabilitas dan kelelehan .

 Untuk menentukan kadar aspal optimum yang dipakai , diambil berdasarkan 6 karakteristik Marshall , yaitu : Stabilitas , kelelehan dan hasil bagi Marshall ( dari pengujian tekan ) dan VIM , VMA , serta VFA ( dari analisis volumetrik ) .

 Kadar aspal optimum selanjutnya akan ditentukan dari nilai kadar tengah antara rentang kadar asal maksimum dan minimum yang memenuhi persyaratan spesifikasi.

3.2.2 Pembuatan Benda Uji dengan Campuran Zeolit

Dalam proses pembuatan benda uji yang dicampur dengan zeolit, dilakukan proses yang sama dengan proses di atas tetapi memiliki beberapa perbedaan , seperti :

 Kadar aspal yang digunakan adalah adalah kadar aspal optimum ( KAO)

 Selanjutnya setelah didapatkan Kadar Aspal Optimum, maka dengan kadar tersebut kita variasikan juga kadar aditif zeolit teraktivasi pada campuran sebanyak 0%, 2%, 3%, dan 4%, masing-masing sebanyak 5 sample.

 Temperatur untuk campuran agregat dan aspal dilakukan pada temperatur yang lebih rendah , sekitar 0C dibawah temperatur HotMix . Temperatur yang dipakai sekitar 130-135˚C untuk pencampuran dan untuk pemadatan dilakukan pada temperatur 120˚C- 125˚C..

 Dalam proses pencampuran antara zeolit dengan agregat dan juga bitumen, zeolit dicampur dengan agregat dan aspal yang sudah dipanaskan terlebih dahulu sampai mencapai suhu sekitar 130-135˚C. Setelah tercapai temperatur yang diinginkan, zeolit dicampurkan. Pencampuran zeolit akan mempengaruhi viskositas aspal dan juga akan memberikan efek busa pada aspal karena pelepasan kandungan air didalam zeolit


(8)

sedang terjadi. Aspal akan menjadi lebih encer, dan hal ini menyebabkan aspal akan semakin mudah untuk menyelimuti agregat secara merata, maka proses pencampuran aspal dan agregat akan semakin cepat dan dapat disesuaikan nantinya dengan suhu pemadatan yang diinginkan, yakni sekitar 120˚C- 125˚C.

 Langkah selanjutnya sama dengan sebelumnya, melakukan pemadatan dengan cara penumbukan sebanyak 75 kali tumbukan, dengan menggunakan alat marshall comapaction hammer. Setelah dipadatkan, disimpan pada temperatur ruang selama 24 jam, kemudian di ukur tinggi dan di timbang berat dalam kondisi kering. Benda uji direndam selama 24 jam di dalam air, kemudian ditimbang berat dalam air dan dalam kondisi jenuh air permukaan (saturated surface dry). Sampel kemudian direndam dalam waterbath pada temperature 0� selama 30 menit, kemudian lakukan pengujian untuk mendapatkan karakteristik uji marshall, yakni nilai stabilitas (stability), kelelehan (flow), marshall quotient, VIM, VFB, VMA dan indeks kekuatan sisa.

 Lakukan hal yang sama seperti langkah sebelumnya, dengan jumlah tumbukan yang dilakukan sebanyak 400 kali tumbukan pada setiap sisi benda uji untuk mendapatkan nilai VIM PRD.

3.3. Analisis dan Pembahasan

Setelah dilakukan serangkaian penelitian dan didapatkan data, maka tahapan selanjutnya adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis hasil pemeriksaan material campuran aspal yaitu agregat dan aspal, apakah sesuai dengan spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum 2010 Rev.3.


(9)

b. Menganalisis pengaruh atau memplot data nilai stabilitas, kelelehan, marshall quotient, void in mix VIM, void in mineral aggregate VMA, void filled asphalt VFA, pada penggunaan zeolit sebagai aditif dalam campuran beraspal.

c. Bandingkan nilai parameter Marshall terhadap 4 variasi kadar aditif zeolit tersebut.

d. Melakukan perbandingan dan pembahasan hasil yang didapat, dengan penelitian sebelumnya yang memiliki kaitan dengan penelitian ini.


(10)

3.4 BAGAN ALIR

Persiapan Bahan

Aspal Pen 60/70 Agregat Zeolit

Penetrasi

Viskositas Dinamis

Viskositas Kinematis

Titik Lembek

Daktilitas

Titik Nyala

Kelarutan

Stabilitas Penyimpanan

Partikel < 150 micron

 Analisa Saringan

 Los Angeles

 Berat Jenis

 Kelekatan Agregat

 Analisa Saringan

 Kadar Air

Memenuhi Syarat

Menentukan Nilai Kadar Aspal Optimum

Pembuatan Benda Uji dengan Campuran Aditif Zeolit

Uji Marshall

Hasil dan Kesimpulan

Selesai Studi Pustaka


(11)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah selesai melakukan penelitian, berupa pembuatan bricket marshall dan juga melakukan pengujian terhadap bricket tersebut, maka didapatkan hasil berupa data-data yang berisi angka dan grafik yang menunjukkan nilai dari karakteristik marshall. Maka berikutnya akan dilakukan analisa dan pembahasan hasil dari uji marshall yang dilakukan.

4 1. PENGUJIAN MATERIAL

4 1.1. Hasil dan Analisis Pengujian Aspal

Dalam penelitian ini, aspal yang digunakan adalah aspal keras dengan penetrasi 60/70 yang berasal dari Iran berasal dari AMP PT. Karya Murni Perkasa Patumbak.

Tabel 4.1. Hasil Pengujian Sifat Fisik Aspal Penetrasi 60/70

No Jenis Pemeriksaan Unit Metode Uji

Spesifikasi Hasil

Pemeriksaan

Min Max

1 Penetrasi 0�, 100 gr, 5 detik

0,1 mm

SNI 06-2456-1991 60 79 65,6

2 Viskositas Dinamis Pa.s SNI 06 6441 2000 160 240 -

3 Viskositas kinematik cSt SNI 06 6441 2000 300 - -

4 Titik Lembek ℃ SNI 2434-2011 48 58 48,3

5 Titik Nyala ℃ SNI 2433-2011 232 - 324

6

Kelarutan dalam

C2HCL3 %

AASHTO T44-03 99 - 99.941


(12)

8 Berat Jenis gr/cc SNI 2441-2011 1 - 1.024 9 Perbedaan titik

lembek

℃ ASTM D 5976

part 6.1

- - -

10 Partikel yang lebih halus dari 150µ

% - - - -

Sumber: Laboratorium Bahan Perkerasan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara,2015

a. Pemeriksaan penetrasi aspal

Untuk pemeriksaan penetrasi aspal, pengujian dilakukan berdasarkan pada SNI-06-2456-1991. Dari hasil pengujian didapatkan nilai penetrasi 65,6 yang menunjukkan termasuk aspal penetrasi 60/70. Nilai penetrasi ini memenuhi Spesifikasi 2010 revisi 3, yaitu nilai penetrasi aspal pada rentang 60-79.

Hasil yang didapatkan setelah pemeriksaan penetrasi setelah TFOT didapatkan penurunan angka penetrasi sebesar 99,54 dari penetrasi sebelum TFOT. Nilai ini telah memenuhi Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 yang disyaratkan nilai TFOT nya ≥ 54% asli. Ini terjadi penurunan nilai penetrasi disebabkan karena pengaruh pemanasan pada suhu 0� selama 5 jam pada pengujian TFOT yang mengakibatkan fraksi minyak ringan banyak hilang dalam kandungan aspal. Pengerasan aspal dapat terjadi karena oksidasi, penguapan dan perubahan kimia lainnya. Reaksi kimia dapat mengubah bahan kimia pembentuk aspal yaitu resin menjadi aspalten dan oils menjadi resin, yang secara keseluruhan akan meningkatkan viskositas aspal dimana aspal menjadi lebih keras (penetrasi rendah).

b. Pemeriksaan titik lembek

Pengujian ini didasarkan pada SNI-2434-2011. Nilai yang didapatkan dari hasil pemeriksaan titik lembek aspal sebesar 48,30C. Nilai ini telah memenuhi Spesifikasi 2010


(13)

c. Pemeriksaan titik nyala

Pengujian ini di dasarkan pada SNI 2433-2011. Dari hasil pemeriksaan aspal pen 60/70, titik nyala yang diperoleh yaitu sebesar 324˚C., nilai tersebut telah memenuhi persyaratan dalam Spesifikasi 2010 revisi 3, yaitu ≥ 232˚C.

d. Pemeriksaan Kelarutan Aspal Dalam Karbon Tetraklorida (C2HCL3)

Di dalam pengujian ini didasarkan pada ketentuan AASHTO T-44-03. Nilai pemeriksaan kelarutan menunjukkan kemurnian aspal dan normalnya bebas dari air. Pengujian ini didasarkan pada nilai kelarutan dalam C2HCL3 adalah sebesar 99.941%, yang masih memenuhi Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 yang menetapkan persyaratan minimalnya sebesar 99%.

e. Pemeriksaan Daktilitas

Dalam pemeriksaan daktilitas, pengujian ini didasarkan pada SNI 2432-2011. Dalam uji daktilitas ini menggunakan 2 sampel yang disusun sejajar yang diletakkan pada alat penarik dengan kecepatan tarik 5 cm/menit pada suhu 25C. Berdasarkan hasil uji laboratorium, didapatkan hasil diatas 140 cm, sehingga aspal memenuhi Spesifikasi 2010 revisi 3 yang menetapkan batas minimum 100 cm.

f. Pemeriksaan Berat Jenis Aspal

Di dalam pengujian ini didasarkan pada SNI-06-2441-1991. Dari hasil pengujian ini didapatkan berat jenis aspal sebesar 1.024 gr/cc, dimana hasil ini telah memenuhi Spesifikasi 2010 revisi 3 yang menetapkan batas minimum berat jenis aspal sebesar 1 gr/cc.


(14)

g. Pemeriksaan Viskositas aspal

Pengujian viskositas dinamis dan kinematis didasarkan pada metode pengujian dengan SNI 06-6441-2000, dengan persyaratan viskositas dinamis berkisar antara 160-240 Pa.s dan viskositas kinematis ≥ 300cSt.

Viskositas absolut atau viskositas dinamis dinyatakan dalam satuan Pa detik atau poises (1 poises = 0.1 Pa detik). Viskositas kinematik dinyatakan dalam satuan cm2/detik dan stokes atau centi stokes ( 1 stokes = 100 centistokes = 1 cm2/detik). Karena viskositas

kinematik sama dengan viskositas dinamis dibagi dengan berat jenis (kira-kira 1cm2/detik untuk aspal), viskositas dinamis dan viskositas kinematik mempunyai harga yang relatif sama apabila kedua-duanya dinyatakan masing-masing dalam poises dan stokes.

4.1.2. Hasil Dan Analisis Pengujian Agregat

Untuk mengetahui sifat-sifat atau karakteristik agregat, pada penelitian ini pengujian agregat yang dilakukan dari coars agregat, medium agregat, stone dust, serta natural sand. Hal ini dikarenakan agregat yang digunakan bersumber atau diambil dari cold bin. Adapun data hasil pengujian agregat tersebut dapat dilihat pada tabel terlampir. Agregat yang digunakan berasal dari AMP PT. Karya Murni Perkasa Patumbak yang diambil dari quarry di daerah Patumbak, Medan, Sumatera Utara. Pengujian ini dilakukan di dasarkan pada Standart Nasional Indonesia (SNI). Gradasi yang ditinjau di dasarkan pada gradasi laston lapis permukaan (ac-wc) dari spesifikasi Dept.PU tahun 2007.

a. Pemeriksaan Berat Jenis

Dari data yang terlihat pada tabel pengujian agregat untuk course aggregat (terlampir), kita dapat melihat hasil-hasil uji fisik agregat untuk tiap-tiap gradasi telah memenuhi spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010. Seperti contoh nilai yang didapat setelah pengujian pada medium agregat (tertahan no.4), yaitu sebesar 2.635 untuk


(15)

berat jenis (bulk). Untuk berat jenis semu (apparent) yaitu sebesar 2.666. Nilai pada hasil pengujian berat jenis SSD yaitu sebesar 2.720, sedangkan untuk nilai pengujian penyerapan (absorption)% yaitu sebesar 1,186 %. Pada Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 nilai toleransi yang dizinkan untuk penyerapan air oleh agregat maksimum adalah sebesar 3%.

b. Pemeriksaan Abrasi

Selanjutnya pada penelitian ini juga dilakukan pengujian abrasi dengan menggunakan mesin los angeles untuk mengetahui nilai keausan sesuai dengan SNI 03-2417-1991. Contoh gradasi yang di uji sebesar 5000 gr. Berat contoh yang tertahan saringan no.12 sebanyak 3827 gr. Nilai hasil dari keausan didapat sebesar 23.46%. Nilai hasil pengujian abrasi ini menunjukkan bahwa nilai tersebut telah memenuhi Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum Tahun 2010. Pada Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum Tahun 2010, nilai toleransi yang dizinkan untuk pengujian keausan adalah maksimal 30%.

c. Pengujian Analisis Saringan

Pada penelitian ini, pengujian analisis saringan yang dilakukan terdiri dari coarse agregat, medium agregat, stone dust, serta natural sand. Penggunaan saringan pada pengujian ini di susun berdasarkan susunan saringan yang diperuntukan untuk ac-wc yang di mulai dengan ¾” sampai ayakan no.200. Dapat dilihat pada gambar pengujian agregat (terlampir). Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui persentase masing-masing agregat yang tertahan dan yang lolos di tiap-tiap no. saringan ayakan guna untuk mengetahui persentase agregat untuk perencanaan campuran ac-wc. Pengujian ini dilakukan sesuai dengan SNI 1968-1990-F.


(16)

4.1.3. Hasil Dan Analisis Pengujian Aditif Zeolit Teraktivasi

Untuk zeolit, pengujian yang dilakukan adalah pengujian gradasi dan juga kadar air, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Pengujian gradasi dilakukan dengan cara membiarkan zeolit yang sudah diaktivasi secara kimia pada suhu ruangan sekitar ≤ 24 jam, hal ini bertujuan agar zeolit dalam keadaan lebih kering, karena zeolit yang dipakai masih bersifat sedikit lembab dan hal ini menyebabkan zeolit masih saling bergumpal-gumpal. Dengan membiarkannya sedikit kering, maka akan menyebabkan zeolit akan lebih banyak lolos saringan nomor 200. Dengan cara ini diperoleh nilai persen lolos saringan 200 sebesar 97,56 % dan kadar air sebanyak 19,8%.

No. Saringan Gradasi (% lolos)

30 100

50 ( 0,308 mm) 100

100(0,154 mm) 98,74

200(0,074 mm) 97,56


(17)

4.2. PERUMUSAN CAMPURAN BENDA UJI MARSHALL

Perumusan atau penentuan proporsi agregat di buat dari data-data hasil analisis butiran masing-masing agregat yang tertahan di masing-masing saringan. Jenis campuran yang digunakan adalah gradasi kasar yang sesuai dengan peruntukan campuran AC-WC berdasarkan Spesifikasi Umum 2010 revisi 3, Tabel di halaman 84 akan menunjukkan komposisi spesifikasi sebaran agregat yang digunakan untuk AC-WC. Digunakan Gradasi Kasar pada Laston (AC) Lapisan Wearing Course (WC).

Pada penelitian ini, cara menentukan proporsi campuran agregat untuk benda uji tidaklah sama seperti yang diterangkan pada Spesifikasi Umum 2010 revisi 3. Pada penelitian ini, cara pencampuran agregat dilakukan dengan cara penggabungan agregat tiap nomor saringan. Untuk mengetahui penentuan berapa banyak proporsi persentase agregat yang digunakan per nomor saringan, dilakukan perhitungan penentuan banyaknya persentase agregat yang digunakan dengan dasar perhitungan total berat untuk tiap-tiap campuran harus sebesar 1200 gr sesuai Spesifikasi serta proporsi agregat harus berada pada rentang yang di izinkan dalam spesifikasi. Tujuan digunakan cara ini adalah agar proporsi campuran senantiasa berada pada rentang pertengahan Spesifikasi Umum 2010 revisi 3 atau dengan kata lain untuk mendapatkan campuran agregat yang ideal sesuai spesifikasi.

Pada tabel di halaman 84-86 (terlampir) dapat dilihat hasil pengujian dalam mencari KAO. Nilai ini didapat berdasarkan nilai hasil perpotongan antara nilai vim Marshall dengan nilai vim PRD. Pada spesifikasi umum 2010 revisi 3 mensyaratkan nilai minimum untuk VIM marshall sebesar 3, dan maksimum sebesar 5. Untuk nilai VIM PRD minimum 2.

Pada penelitian ini, seperti yang telah dibahas pada bab metodologi penelitian bahwa jumlah sampel yang dibutuhkan untuk mencari kadar aspal ideal sebanyak 15 buah dengan variasi kadar aspal 5,0; 5,5; 6,0; 6,5; 7,0. Sampel benda uji dibuat dengan metode marshall.


(18)

Umumnya Temperatur pencampuran aspal dan agregat adalah temperatur pada saat aspal mempunyai viskositas kinematis sebesar 170±20 centistokes dan temperatur pemadatan adalah temperatur sebesar 140±15 det s.f. Namun pada penelitian ini, campuran yang akan dibuat adalah campuran beraspal hangat, Jadi temperatur yang digunakan lebih rendah dibanding dengan temperatur untuk campuran asapl panas. Temperatur yang digunakan yaitu

135˚C untuk pencampuran dan 120˚C untuk pemadatan. Pemadatan dilakukan dengan

penumbukan sebanyak 2 × 75 kali, dengan menggunakan alat marshall compaction hammer centistokes. Setelah dilakukan pengujian marshall dengan tujuan untuk mendapatkan kadar aspal optimum di tiap-tiap variasi kadar aspal, didapatkan hasil yang ideal untuk kadar aspal optimum yang akan digunakan untuk pembuatan benda uji yaitu sebesar 6,11 atau sebesar 73,32 gram serta menggunakan anti stripping agent Derbo sebesar 0.3% dari berat aspal yaitu seberat 0.22 gram.


(19)

4.3. PEMBUATAN BENDA UJI MARSHALL

Pada penelitian ini benda uji digunakan sebanyak total 51 benda uji. 15 benda uji digunakan untuk pencarian kadar aspal optimum (KAO). Kemudian, 36 sampel lainnya untuk benda uji dengan bahan tambah zeolit teraktivasi, dengan variasi antara 0%, 2%, 3%, dan 4% dimana masing-masing variasi dibuat 9 benda uji terdiri dari 3 sampel biasa, 3 sampel PRD dan 3 sample untuk perendaman 24 jam. Aspal yang digunakan sebesar 6,11% dan anti stripping agent Derbo 0.3% dari berat aspal.

Pada penelitian ini ditetapkan jumlah sampel untuk satu jenis pengujian sebanyak 9 sampel. Setelah ditetapkan kadar aspal optimum, cara pembuatan benda uji sama halnya seperti diatas pada perumusan campuran benda uji marshall, temperatur pemadatan adalah temperatur sebesar 120±15 det s.f. Pemadatan dilakukan dengan penumbukan sebanyak 2 × 75 kali, dengan menggunakan alat marshall compaction hammer.


(20)

4.4. PEMBAHASAN HASIL PENGETESAN BENDA UJI MARSHALL DENGAN BAHAN TAMBAH ZEOLIT ALAM TERAKTIVASI

No. Jenis Pengujian Kadar Zeolit Spesifikasi 2010 Revisi 3 Hasil

Penelitian Keterangan

1 Stabilitas

0% Min. 800 1092 Memenuhi

2%

Min. 1000 kg

1129 Memenuhi

3% 1267 Memenuhi

4% 1470 Memenuhi

2 Flow

0%

2 – 4 mm

3,52 Memenuhi

2% 3,54 Memenuhi

3% 3,73 Memenuhi

4% 3,95 Memenuhi

3 VIM

0%

3 -5 %

3,91 Memenuhi

2% 4,81 Memenuhi

3% 3,20 Memenuhi

4% 3,68 Memenuhi

4 VFB

0%

Min. 65 %

76,53 Memenuhi

2% 72,80 Memenuhi

3% 83,23 Memenuhi

4% 77,97 Memenuhi

5 VMA

0%

Min. 15 %

16,91 Memenuhi

2% 17,69 Memenuhi

3% 15,82 Memenuhi

4% 16,71 Memenuhi

6

VIM PRD 0%

Min.2

2,86 Memenuhi

2% 2,71 Memenuhi

3% 2,22 Memenuhi

4% 1,47 Tdk

7 MQ

0%

Min. 250 kg/mm

310,23 Memenuhi

2% 318,93 Memenuhi

3% 339,68 Memenuhi

4% 372,15 Memenuhi

8 Stabilitas Marshall Sisa

0%

Min. 90%

90,99% Memenuhi

2% 91,14% Memenuhi

3% 90,21% Memenuhi

4% 85,44% Tdk

9 Stabilitas Dinamis

0%

Min. 2500 kg/mm

- -

2% - -

3% - -

4% - -


(21)

4.4.1. Pembahasan Hasil Pengujian Benda Uji Marshall Dengan Bahan Tambah Zeolit Terhadap Spesifikasi Umum 2010 Revisi 3.

Dari data yang diperoleh untuk pengetesan benda uji menggunakan bahan tambah zeolit , dapat dilihat hasil yang diperoleh hamper seluruhnya memenuhi sifat karakteristik pengujian Marshall. Antara lain :

a. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Stabilitas

Berdasarkan data-data yang diperoleh setelah pengujian, Dapat dilihat pada Gambar 4.1 nilai Stabilitas yang dihasilkan dari campuran beraspal hangat dengan bahan tambah zeolit semuanya memenuhi batas minimum persyaratan yaitu 1000 kg. Dari data yang diperoleh , dapat dilihat bahwa semakin banyak pemakaian kadar zeolit pada campuran, maka semakin tinggi nilai stabilitas yang diperoleh. Nilai tertinggi dicapai pada saat penambahan aditif zeolit sebesar 4% yaitu senilai 1470 kg. Besarnya nilai ini mencapai lebih dari 1,5x besar dari nilai standart yang diharapkan.

Gambar 4.1. Grafik Nilai Stabilitas dengan Variasi kadar aditif zeolit

b. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Kelelehan (flow)

Dari Gambar grafik kelelehan yang diperoleh dapat dilihat bahwa nilai kelelehan campuran beraspal hangat dengan tambahan aditif zeolit terus meningkat

900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

S ta b il it y ( K g )

% ZEOLIT 1129

1267


(22)

sesuai dengan penambahan kadar aditif zeolit yang dilakukan terhadap campuran. Dari semua variasi kadar yang digunakan terhadap campuran, semua variasi kadar zeolit masih memenuhi persyaratan spesifikasi , karena nilai kelelehan yang dihasilkan masih didalam rentang 2 - 4 mm.

Gambar 4.2. Grafik Nilai Flow dengan Variasi kadar aditif zeolit

c. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Void In Mineral (VIM)

Pada pengaruhnya terhadap VIM, kadar aditif zeolit yang ditambahkan berbanding terbalik dengan nilai VIM yang diperoleh. Jadi semakin besar kadar aditif terhadap campuran, maka semakin kecil nilai VIM yang diperoleh. Hal ini dikarenakan, penambahan aditif zeolit pada campuran bertujuan untuk mengurangi viskositas aspal (kekentalan aspal berkurang). Jadi semakin banyak kadar aditif zeolit yang ditambahkan, maka semakin banyak viskositas aspal berkurang, yang artinya akan semakin banyak rongga yang terisi aspal dan akan menghasilkan nilai VIM yang semakin kecil. Dari data yang diperoleh setelah pengujian, kadar aditif 2%, 3% dan 4% menghasilkan nilai yang masih sesuai dengan yang disyaratkan, yakni antara 3-5%.

1 2 3 4 5 6

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

F

lo

w

(

m

m

)

% ZEOLIT 3,54

3,73


(23)

Gambar 4.3. Grafik Nilai VIM dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit

d. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Void Filled Bitument (VFB)

Hal yang berbeda ditunjukkan oleh nilai VFB yang diperoleh dari hasil pengujian. Dari data yang diperoleh, memperlihatkan bahwa nilai VFB yang dihasilkan berbanding lurus dengan penambahan kadar zeolit pada campuran. Dengan bertambahnya kadar aditif pada zeolit maka nilai VFB yang diperoleh juga akan bertambah besar dari nilai sebelumnya, namun mengalami penurunan nilai pada kadar 4%. Namun, hasil pengujian yang diperoleh dari ketiga kadar zeolit masih memenuhi persyaratan spesifikasi yaitu minimum 65%.

Gambar 4.4. Grafik Nilai VFB dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit

70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

V F B ( % )

% ZEOLIT

1 2 3 4 5 6

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

V

IM

(%

)

% ZEOLIT 3,20 4,81 3,68 72,80 79,77 77,97


(24)

e. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Void in Mineral Aggregate (VMA) Sama halnya dengan keadaan yang terjadi pada hasil pengujian VIM, Hal yang sama juga diperlihatkan pada hasil dari pengujian VMA. Nilai VMA akan semakin berkurang sesuai dengan penambahan kadar zeolit pada campuran beraspal hangat. Namun dari hasil pengujian yang diperoleh memperlihatkan bahwa penurunan nilai VMA setiap kadarnya tidak terlalu signifikan, hanya berkurang sedikit dari nilai VMA dengan kadar 2% sampai dengan kadar zeolit 4%. Namun secara keseluruhan, nilai yang dihasilkan dari semua penambahan kadar zeolit pada campuran menunjukkan hasil yang masih memenuhi persyaratan spesifikasi yaitu minimum 15%.

Gambar 4.5. Grafik Nilai VMA dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit

f. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Void In Mixture (VIM) dalam PRD (Percentage Refusal Density)

Setelah didapat nilai VIM sebelumnya dengan jumlah tumbukan 75 kali pada setiap sisi, dilakukan kembali pengujian VIM namun dengan jumlah tumbukan yang

14 15 16 17 18 19 20

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

V

MA

(

%

)

% ZEOLIT 17,69

15,82


(25)

untuk memperoleh keadaan dimana kepadatan benda uji sudah pada batasnya, hal ini biasa disebut dengan kepadatan membal/PRD (percentage refusal density).

Dari pengujian VIM PRD yang dilakukan juga diperoleh hasil yang sama dengan VIM sebelumnya, nilai VIM yang dihasilkan juga terus menurun sesuai dengan penambahan kadar aditif pada campuran beraspal hangat. Pada pengujian VIM PRD ini juga didapatkan nilai yang berada diluar dari yang disyaratkan spesifikasi yaitu minimal 2%. Pada pengujian VIM PRD dengan kadar zeolit 4% didapat hasil dibawah batas ambang minimum dengan nilai 1,45%.

Gambar 4.6. Grafik Nilai VIM setelah PRD dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit

g. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Marshall Quotient (MQ)

Nilai MQ merupakan hasil bagi antara nilai stabilitas dengan nilai kelelehan. Dalam spesifikasi umum 2010 revisi 3 disyaratkan bahwa nilai minimum untuk MQ adalah 250 kg/mm. Dan dari hasil pengujian yang dilakukan dengan kadar 2%, 3%

1 2 3 4

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

V

IM

(%

)

% ZEOLIT

1,47

2,22 2,71


(26)

dan 4% dapat dilihat bahwa nilai yang diperoleh secara keseluruhan dari tiap kadar memenuhi persyaratan yang ada. Pertambahan kadar zeolit pada campuran beraspal menyebabkan bertambahnya nilai MQ.

Gambar 4.7. Grafik Nilai MQ dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit

h. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Stabilitas Marshall Sisa

Indeks Kekuatan Sisa (IKS) dianalisis dari data-data hasil pengujian terhadap sifat-sifat mekanik benda uji (stabilitas dan flow) dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama diuji Stabilitas Marshallnya dengan perendaman suhu 600C selama waktu 24 jam dan kelompok kedua diuji Stabilitas Marshallnya dengan perendaman suhu 600C selama waktu 30 menit. Kemudian Indeks Kekuatan Sisa (IKS) dapat dihitung dengan mencari persentase antara nilai perbandingan antara kelompok pertama dengan kelompok kedua. Berdasarkan Spesifikasi 2010, nilai Marshall Sisa untuk Laston minimal 90%.

Dari tabel dibawah dapat dilihat bahwa nilai IKS bervariasi dengan nilai naik dan turun dengan penambahan kadar aditif yang dicampurkan pada campuran beraspal hangat. Pada kadar zeolit 4%, nilai IKS ( 85,44 %) sudah tidak memenuhi batas minimum yang disyaratkan spesifikasi.

100 200 300 400 500 600

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

Mar sh a ll Qu o ti e n t (% )

% ZEOLIT

372

321 319


(27)

Tabel 4.3 Hasil Pengujian Indeks Kekuatan Sisa (IKS)

Nilai Stabilitas 0% 2% 3% 4%

Stabilitas

( Perendaman 30 menit ) 1092 1129 1267 1470

Stabilitas

( Perendaman 24 jam ) 994 1029 1143 1256

Stabilitas Marshall Sisa

( min. 90%) 90,99% 91,14% 90,21% 85,44%

Keterangan Memenuhi Memenuhi Memenuhi Tdk

i. Pengaruh variasi kadar aditif zeolit terhadap Stabilitas Dinamis

Pada spesifikasi umum 2010 revisi 3 terdapat penambahan pada persyaratan untuk campuran laston modifikasi, yaitu pengujian stabilitas dinamis dengan nilai minimum 2500 lintasan/mm. Dalam spesifikasi diberi sedikit keterangan yang menyebutkan bahwa untuk pengujian stabilitas dinamis dilakukan dengan wheel tracking machine pada temperature 60˚C. Kemudian prosedurnya harus mengikuti manual untuk rancangan dan pelaksanaan perkerasan aspal Japan Road Association tahun 1980, tetapi tidak disebutkan dengan jelas apa tujuan dan bagaimana prosedur pelaksanaannya.

Metode pengujian ini dilakukan untuk menentukan kegagalan dini yang rentan terjadi pada campuran aspal karena kelemahan pada struktur agregat, berkurangnya kekentalan aspal ,atau karena pengaruh kelembapan dan faktor lainnya termasuk pengurangan adhesi antara bahan pengikat aspal dan agregat. (Texas Department Of Transportation,2014).

Pada penelitian ini sendiri, peneliti tidak dapat melakukan pengujian terhadap stabilitas dinamis, karena alat yang digunakan untuk pengujian tidak tersedia di laboratorium PT. Karya Murni Perkasa di Patumbak ataupun di laboratorium Jalan Raya Teknik Sipil USU.


(28)

4.4.2. Pembahasan Hasil Pengujian Benda Uji Marshall Dengan Bahan Tambah Zeolit Terhadap Penelitian Sebelumnya.

Sebagai perbandingan, dilakukan komparasi hasil pengujian terhadap penelitian sebelumnya dengan judul “Pengaruh Penggunaan Zeolit Alam Terhadap Karakteristik Campuran Warm Mixed Asphalt”, yang dilakukan oleh Puri Nurani sekitar tahun 2015.

Pada penelitian tersebut digunakan kadar aspal optimum sebesar 6,07 %. Namun dalam penelitian tersebut masih menggunakan spesifikasi umum 2010 revisi 2, jadi akan terdapat beberapa perbedaan dalam persyaratan terhadap karakteristik campuran. Dalam penelitian sebelumnya juga menggunakan metode aktivasi zeolit yang sama, yaitu dengan menggunakan metode aktivasi kimia. Perbedaan antara kedua penelitian akan diperlihatkan pada tabel 4.4 di halaman selanjutnya.

Tabel 4.4 dibawah akan memperlihatkan perbedaan hasil pengujian antara kedua penelitian ini.

KarakteristikC ampuran

Hasil Penelitian sebelumnya Hasil Penelitian

0% 5% 10% 15% 20% 0% 2% 3% 4%

Kadar aspal

optimum 6,07 6,07 6,07 6,07 6,07 6,11 6,11 6,11 6,11 Kepadatan 2,343 2,347 2,342 2,355 2,350 2,289 2,269 2,320 2,296 VMA 17,28 17,22 17,35 16,96 17,13 16,91 17,69 15,82 16,71 VIM 4,49 4,11 4,16 3,60 3,72 3,91 4,81 3,20 3,68 VIM PRD 2,34 2,50 2,26 2,34 2,20 2,86 2,71 2,22 1,47 VFB 75,99 76,14 76,02 78,70 78,13 76,86 72,80 83,23 77,97 Stabilitas 990 1068,1 1083,4 1009,2 950,8 1092 1129 1267 1470 Kelelehan 3,60 3,84 3,84 3,78 3,92 3,52 3,54 3,73 3,95 MQ 277,8 278,6 282,7 268,3 246,2 310 319 339 372 Kadar Aspal

Efektif 5,63 5,77 5,81 5,86 5,89 5,81 5,81 5,81 5.81 Tabel 4.4 Hasil Pengujian nilai properties marshall kedua penelitian.


(29)

Setelah diperoleh data mengenai kedua penelitian, baik penelitian sekarang dan sebelumnya, maka berikutnya akan dilakukaan pembahasan untuk setiap nilai properties marshall.

a. Pembahasan terhadap Stabilitas

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, nilai stabilitas yang dilakukan penulis lebih besar dibandingkan dengan stabilitas pada penelitian sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya diperoleh nilai stabilitas tertinggi sebesar 1083,4 kg dengan kadar zeolit pada campuran sebesar 10%, sedangkan dalam penelitian ini diperoleh nilai stabilitas tertinggi sebesar 1470 kg dengan kadar zeolit pada campuran sebesar 4%.

Pola yang berbeda ditunjukkan masing-masing penelitian. Pada penelitian sebelumnya, polanya sebagai berikut: dari kadar 0% sampai ke kadar 10% mengalami peningkatan nilai stabilitas, namun dari kadar 10% menuju ke kadar 15% dan 20% terus mengalami penurunan.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini memiliki pola yang menunjukkan bahwa semakin besar kadar zeolit pada campuran, maka nilai stabilitas yang diperoleh juga akan semakin meningkat.

b. Pembahasan terhadap kelelehan (Flow)

Untuk kelelehan, pada kedua penelitian ini didapat hasil yang tidak jauh berbeda. Pola yang sama juga ditunjukkan oleh kedua penelitian, dengan nilai kelelehan yang semakin meningkat sesuai dengan pertambahan kadar zeolit pada campuran. Nilai kelelahan yang diperoleh dari kedua penelitian hanya berada pada rentang 3,5mm – 4,0mm.


(30)

c. Pembahasan terhadap VIM ( Void In Mixture)

Pada pengujian terhadap VIM, kedua penelitian menunjukkan hasil yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam penelitian sebelumnya, terjadi ketidakstabilan nilai yang diperoleh karena terjadi naik turun pada nilai VIM yang diperoleh. Namun secara keseluruhan semua nilai yang didapat masih memenuhi persyaratan spesifikasi yang dipakai peneliti sebelumnya.

Tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini diperoleh nilai VIM yang tidak konstan, karena terjadi perubahan nilai VIM yang tidak seragam dengan banyaknya kadar zeolit yang ditambahkan pada campuran. Pada campuran dengan kadar zeolit 3% persen, diperoleh nilai VIM terendah 3,20 %.

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada hasil pengujian terhadap nilai VIM PRD. Dari pengujian dapat dilihat bahwa pada kadar zeolit 4% diperoleh angka sebesar 1,47%, dimana angka tersebut juga berada dibawah angka minimum persyaratan spesifikasi yaitu 2%.

d. Pembahasan terhadap VMA dan VFB

Untuk pemeriksaan terhadap nilai VMA dan nilai VFB, diperoleh nilai-nilai yang menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut masih berada didalam batas minimum dan maksimum persyaratan spesifikasi yang digunakan masing-masing penelitian. e. Pembahasan terhadap MQ

Pada spesifikasi umum 2010 revisi 3, sudah dihapuskan pengujian terhadap nilai MQ. Namun sehubungan dengan penelitian sebelumnya yang masih menggunakan spesifikasi umum 2010 revisi 2, dan dalam spesifikasi tersebut masih melakukan pengujian terhadap nilai MQ, maka akan dilakukan pembahasan terhadap nilai MQ. MQ sendiri adalah hasil dari nilai stabilitas yang dibagikan dengan dengan nilai flownya sendiri.


(31)

Setelah melakukan perhitungan dari data penelitian maka diperoleh nilai MQ, yang kemudian dilakukan perbandingan dengan hasil penelitian sebelumnya. Dan didapatkan nilai MQ terbesar itu adalah 372 kg/mm dan untuk penelitian sebelumnya didapat nilai MQ terbesar 282,7kg/mm.


(32)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Setelah melakukan analisi terhadap hasil yang diperoleh dari pengujian marshall terhadap campuran beraspal hangat dengan bahan tambah aditif zeolit yang sudah diaktivasi, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :

1. Campuran aspal yang terdiri dari agregat dan aspal Iran yang berasal dari Asphalt Mixing Plan PT. Karya Murni Perkasa Patumbak memenuhi persyaratan dalam Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 revisi 3.

2. Dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa semakin banyak kadar zolit yang ditambahkan terhadap campuran, maka nilai stabilitas juga semakin meningkat. 3. Dari data Marshall Test yang didapatkan, terdapat dua kadar zeolit yang memenuhi

seluruh persyaratan yang Spesifikasi Departemen Pekerjaan Umum tahun 2010 revisi 3, yaitu campuran dengan aditif zeolit sebesar 2% dan 3%. Namun dari kedua kadar tersebut yang menghasilkan nilai paling maksimal adalah 3%. Dimana diperoleh nilai stabilitasnya sebesar 1267 kg, flow sebesar 3,73mm, VIM sebesar 3,20% dan VIM PRD 2,22%, VMA sebesar 15,82%, dan VFB nya sebesar 83,23%.


(33)

5.2. SARAN

Beberapa hal yang dapat disarankan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa zeolit sangat memenuhi persyaratan parameter marshall untuk dijadikan bahan tambah untuk membuat campuran beraspal hangat. Karena dapat menambah viskositas aspal pada temperatur yang lebih rendah.

2. Teknik pencampuran antara bahan aditif zeolit dengan aspal dan juga agregat dapat diteliti dan dikembangkan lagi, sehingga didapatkan hasil yang lebih baik lagi.

3. Perlu dikembangkan jenis-jenis penelitian bahan alternatif lainnya sebagai bahan tambahan untuk campuran bersapal hangat dengan pemanfaatan bahan-bahan mineral yang ada disekitar.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Perkerasan Jalan Raya

Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan pelayanan kepada sarana transportasi, dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu yang diharapkan, maka pengetahuan tentang sifat, pengadaan dan pengolahan dari bahan penyusun perkerasan jalan sangat diperlukan (Silvia Sukirman, 2003).

II.1.1. Jenis Konstruksi Perkerasan dan Komponennya

Konstruksi perkerasan terdiri dari beberapa jenis sesuai dengan bahan ikat yang digunakan serta komposisi dari komponen konstruksi perkerasan itu sendiri antara lain:

1. Konstruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement): a. Memakai bahan pengikat aspal.

b. Sifat dari perkerasan ini adalah memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

c. Pengaruhnya terhadap repetisi beban adalah timbulnya rutting (lendutan pada jalur roda).


(35)

bergelombang ( mengikuti tanah dasar ).

Gambar 2.1. Komponen Perkerasan Lentur

2. Konstruksi Perkerasan Kaku (Rigid Pavement): a. Memakai bahan pengikat semen portland (PC).

b. Sifat lapisan utama (plat beton) yaitu memikul sebagian besar beban lalu lintas.

c. Pengaruhnya terhadap repetisi beban adalah timbulnya retak-retak pada permukaan jalan.

d. Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, bersifat sebagai balok di atas


(36)

Gambar 2.2. Komponen Perkerasan Kaku

3. Konstruksi Perkerasan Komposit (Composite Pavement): a. Kombinasi antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur. b. Perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau sebaliknya.

Gambar 2.3. Komponen Perkerasan Komposit

II.1.2. Fungsi Lapis Perkerasan

Agar perkerasan mempunyai daya dukung dan keawetan yang memadai, tetapi tetap ekonomis, maka perkerasan jalan raya dibuat berlapis-lapis. Lapis paling atas disebut sebagai lapis permukaan, merupakan lapisan yang paling baik mutunya. Dibawahnya terdapat lapis pondasi, yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan (Suprapto, 2004).

1. Lapis Permukaan (LP)

Lapis permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas. Fungsi lapis permukaan dapat meliputi:

a. Struktural :

Ikut mendukung dan menyebarkan beban kendaraan yang diterima oleh perkerasan, baik beban vertikal maupun beban


(37)

horizontal (gaya geser). Untuk hal ini persyaratan yang dituntut adalah kuat, kokoh, dan stabil.

b. Non Struktural, dalam hal ini mencakup :

1) Lapis kedap air , mencegah masuknya air ke dalam lapisan perkerasan yang ada di bawahnya.

2) Menyediakan permukaan yang tetap rata, agar kendaraan dapat berjalan dan memperoleh kenyamanan yang cukup. 3) Membentuk permukaan yang tidak licin, sehingga tersedia

koefisien gerak (skid resistance) yang cukup untuk menjamin tersedianya keamanan lalu lintas.

4) Sebagai lapisan aus, yaitu lapis yang dapat aus yang selanjutnya dapat diganti lagi dengan yang baru.

Lapis permukaan itu sendiri masih bisa dibagi lagi menjadi dua lapisan lagi, yaitu:

a. Lapis Aus (WearingCourse)

Lapis aus (wearing course) merupakan bagian dari lapis permukaan yang terletak di atas lapis antara (binder course). Fungsi dari lapis aus adalah (Nono, 2007) :

a) Mengamankan perkerasan dari pengaruh air. b) Menyediakan permukaan yang halus.

c) Menyediakan permukaan yang kesat. b. Lapis Antara (Binder Course)


(38)

lapis permukaan yang terletak di antara lapis pondasi atas (base course) dengan lapis aus (wearing course). Fungsi dari lapis antara adalah (Nono, 2007):

a) Mengurangi tegangan.

b) Menahan beban paling tinggi akibat beban lalu lintas sehingga harus mempunyai kekuatan yang cukup.

2. Lapis Pondasi Atas (LPA) atau Base Course

Lapis pondasi atas adalah bagian dari perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah atau dengan tanah apabila tidak menggunakan lapis pondasi bawah. Fungsi lapis ini adalah :

a. Lapis pendukung bagi lapis permukaan. b. Pemikul beban horizontal dan vertikal. c. Lapis perkerasan bagi pondasi bawah.

3. Lapis Pondasi Bawah (LPB) atau Subbase Course

Lapis Pondasi Bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar. Fungsi lapis ini adalah :

a. Penyebar beban roda. b. Lapis peresapan.

c. Lapis pencegah masuknya tanah dasar ke lapis pondasi. d. Lapis pertama pada pembuatan perkerasan.

4. Tanah Dasar (TD) atau Subgrade


(39)

permukaan tanah galian atau permukaan tanah timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan tanah dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya.

II.2. Bahan Penyusun Perkerasan Lentur

Bahan penyusun lapis permukaan untuk perkerasan lentur yang utama terdiri atas bahan ikat dan bahan pokok. Bahan pokok bisa berupa pasir, kerikil, batu pecah/ agregat dan lain-lain. Sedang untuk bahan ikat untuk perkerasan bisa berbeda-beda, tergantung dari jenis perkerasan jalan yang akan dipakai. Bisa berupa tanah liat, aspal/ bitumen, portland cement, atau kapur/ lime

II.2.1. Aspal

Aspal merupakan bahan pembentuk lapisan permukaan dari perkerasan lentur maupun perkerasan komposit . Aspal adalah hasil dari penyaringan minyak mentah dan merupakan hasil industry perminyakan . Aspal merupakan material untuk perekat , yang berwarna coklat gelap sampai hitam, dengan unsure pokok yang dominan adalah bitumen. (Hary Christady, 2011).

Pada temperatur ruang aspal bersifat thermoplastis, sehingga aspal akan mencair jika dipanaskan sampai pada temperatur tertentu dan kembali membeku jika temperatur turun. Bersama agregat, aspal merupakan material pembentuk campuran perkerasan jalan. Banyaknya aspal dalam campuran perkerasan berkisar antara 4-10% berdasarkan berat campuran, atau 10-15%


(40)

berdasarkan volume campuran (Silvia Sukirman, 2003).

Berdasarkan asal terjadinya , aspal dibedakan atas dua kelompok, yaitu (Krebs dan Walker, 1971) :

1. Aspal Alam 2. Aspal Buatan

Aspal alam adalah aspal yang diperoleh langsung dari alam. Aspal alam dibedakan menjadi aspal gunung dan aspal danau.

Aspal buatan adalah aspal yang dibuat dengan cara memproses residu hasil destilasi minyak bumi. Residu tersebut dapat dibedakan menjadi: asphatic base crude oil, paraffin base crude oil dan mixed base crude oil. Dari ketiga bahn ini aspahatic base crude oil mengadung kadar aspal tertinggi. Aspal buatan dapat dibedakan menjadi (Hary Christady, 2011):

1. Aspal minyak yamg berasal dari penyulingan minyak bumi. 2. Ter (tar) yang berasal dari penyulingan batubara.

II.2.1.1. Aspal Minyak

Aspal minyak adalah aspal yang merupakan residu destilasi minyak bumi. Untuk perkerasan jalan umumnya digunakan aspal minyak jenis asphaltic base crude oil. Berikut adalah klasifikasi dari aspal buatan:

1. Menurut Bahan Dasar Aspal. Aspal dibedakan menjadi (Suprapto, 2004):

a) Dari bahan hewani (animal origin), yaitu diperoleh dari pengolahan crude oils. Dari proses pengolahan crude oils


(41)

akan diperoleh bahan bakar dan residu, yang jika diproses lanjut akan diperoleh aspal/bitumen.

b) Dari bahan nabati (vegetable origin), yaitu diperoleh dari pengolahan batu bara/coal, dalam hal ini akan diperoleh tar. 2. Menurut Tingkat Kekerasannya, aspal minyak/ aspal murni/

petroleom asphalt , diklasifikasikan menjadi :

a. Aspal Keras/ Aspal Panas/ Aspal Semen (Asphalt Cement), merupakan aspal yang digunakan dalam keadaan panas. Aspal ini berbentuk padat pada keadaan penyimpanan dalam temperatur ruang ( 25˚- 30˚C ). Merupakan jenis aspal buatan yang langsung diperoleh dari penyaringan minyak dan merupakan aspal yang terkeras. Berdasarkan tingkat kekerasan/kekentalannya, maka aspal semen dibedakan menjadi :

1) AC 40-50 2) AC 60-70 3) AC 85-100 4) AC 120-150 5) AC 200-300

Angka-angka tersebut menunjukkan kekerasan aspal, yaitu yang paling keras adalah AC 40-50 dan yang terlunak adalah AC 200-300. Angka kekerasan adalah berapa dalam masuknya jarum penetrasi ke dalam contoh aspal. Aspal dengan penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas


(42)

atau lalu lintas dengan volume tinggi, sedangkan aspal dengan penetrasi tinggi digunakan untuk daerah bercuaca dingin atau lalu lintas dengan volume rendah. Di Indonesia pada umumnya dipergunakan aspal dengan penetrasi 60-70 dan 80-100.

b. Aspal cair (Cut Back Asphalt / Liquid asphalt)

Aspal cair bukan merupakan produksi langsung dari penyaringan minyak kasar (crude oil), melainkan produksi tambahan, karena harus melelui proses lanjutan terlebih dahulu. Aspal cair adalah campuran antara aspal semen dengan bahan pencair dari hasil penyulingan minyak bumi. Dengan demikian cut back asphalt berbentuk cair dalam temperatur ruang.

Berdasarkan beban pencairnya dan kemudahan menguap bahan pelarutnya, aspal cair dapat dibedakan menjadi :

1) RC (Rapid Curing cut back)

Merupakan suatu produksi campuran dari aspal semen dengan penetrasi relatif agak keras (biasanya AC 85/100) yang dilarutkan dengan gasoline (bensin atau premium). RC merupakan cut back asphalt yang paling cepat menguap.

2) MC (Medium Curing cut back)


(43)

semen dengan penetrasi yang lebih lunak (biasanya AC 120-150) dengan minyak, yang tingkat penguapannya lebih kecil dari gasoline, yaitu kerosene.

3) SC (Slow Curing cut back)

Merupakan suatu produksi campuran dari aspal semen dengan penetrasi lunak (biasanya AC 200-300) dengan minyak diesel, yang hampir tidak mempunyai penguapan. Aspal jenis ini merupakan cut back asphalt yang paling lama menguap.

Untuk keperluan lapis resap pengikat (prime coat) digunakan aspal cair jenis MC-30, MC-70, dan MC-250, sedangkan untuk lapis pengikat (tack coat) digunakan aspal cair jenis RC-70 dan RC-250 (Laporan Praktikum Bahan Perkerasan Jalan, 2004).

c. Aspal Emulsi

Aspal emulsi suatu campuran aspal dengan air dan bahan pengemulsi. Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, aspal emulsi dapat dibedakan atas (Subekti, 2006):

1) Kationik disebut juga aspal emulsi asam, merupakan aspal emulsi yang bermuatan arus listrik positif.

2) Anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal emulsi yang bermuatan negatif.


(44)

3) Nonionik merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami ionisasi, berarti tidak menghantarkan listrik.

Aspal yang umum digunakan sebagai bahan perkerasan jalan adalah aspal emulsi anionik dan kationik.

Berdasarkan kecepatan pengerasannya aspal emulsi dapat dibedakan atas :

1. RS (Rapid Setting), aspal yang mengandung sedikit bahan pengemulsi sehingga pengikatan yang terjadi cepat.

2. MS (Medium Setting).

3. SS (Slow Setting), jenis aspal emulsi yang paling lambat menguap.

II.2.1.1.1. Karakteristik Aspal Minyak

Aspal terdiri dari senyawa hidrokarbon, nitrogen dan logam lain, sesuai jenis minyak bumi dan proses pengolahannya. Mutu kimiawi aspal ditentukan dari komponen pembentuk aspal. Saat ini telah banyak metode yang digunakan untuk meneliti komponen-komponen pembentuk aspal.

Secara garis besar komposisi kimia aspal terdiri dari asphaltenese, resins dan oils. Asphaltenese terutama terdiri dari senyawa hidrokarbon, merupakan material berwarna hitam atau coklat tua yang tidak larut dalam n-heptane. Asphaltenese menyebar didalam larutan yang disebut maltenese. Maltenese


(45)

larut dalam heptane, merupakan cairan kental yang terdiri dari resins dan oils. Resins adalah cairan berwarna kuning atau coklat tua yang memberikan sifat adhesi dari aspal, merupakan bagian yang mudah hilang atau berkurang selama masa pelayanan jalan, sedangkan oils yang berwarna lebih muda merupakan media dari asphaltenes dan resin. Maltenes merupakan komponen yang mudah berubah sesuai dengan perubahan temperatur dan umur pelayanan.

Tabel 2.1. Contoh Komponen Fraksional Aspal di Indonesia Komponen Fraksional Aspal Aspal Pen 60 Aspal Pen 80

Asphaltene 22,41 24,34

Nitrogen Bases 24,90 27,60

Accidafin I (A1) 14,50 7,96

Accidafin II (A2) 18,97 18,76

Parafin 19,22 21,34

Sumber: Silvia Sukirman, Beton Aspal Campuran Panas, 2003. II.2.2. Agregat

Agregat adalah sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau mineral lainnya, baik berupa hasil alam maupun buatan (Manual Pengerjaan Campuran Beraspal Panas, 2004).

Fungsi dari agregat dalam campuran aspal adalah sebagai kerangka yang memberikan stabilitas campuran jika dilakukan dengan alat pemadat yang tepat. Agregat sebagai komponen utama atau kerangka dari lapisan perkerasan jalan yaitu mengandung 90% – 95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75% – 85% agregat berdasarkan persentase volume (Silvia Sukirman, 2003, Beton Aspal Campuran Panas).

Pemilihan jenis agregat yang sesuai untuk digunakan pada konstruksi perkerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu gradasi, kekuatan, bentuk butir, tekstur permukaan, kelekatan terhadap aspal serta kebersihan dan sifat


(46)

kimia. Jenis dan campuran agregat sangat mempengaruhi daya tahan atau stabilitas suatu perkerasan jalan (Kerbs, and Walker, 1971).

II.2.2.1. Klasifikasi Agregat

Agregat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Silvia Sukirman, 1999):

1. Berdasarkan proses pengolahannya, agregat dapat dibedakan menjadi:

a. Agregat Alam

Agregat yang dapat dipergunakan sebagaimana bentuknya di alam atau dengan sedikit proses pengolahannya dinamakan agregat alam. Dua bentuk agregat yang sering digunakan yaitu: 1) Kerikil adalah agregat dengan ukuran partikel lebih

besar dari 1/4 inch (6,35 mm).

2) Pasir adalah agregat dengan ukuran partikel kecil dari 1/4 inch tetapi lebih besar dari 0,075 mm (saringan no.200). b. Agregat yang melalui proses pengolahan

Di gunung-gunung atau di bukit-bukit dan di sungai sering ditemui agregat berbentuk besar-besar melebihi ukuran yang diinginkan, sehingga diperlukan proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai agregat konstruksi perkerasan jalan. Agregat ini harus melalui proses


(47)

pemecahan terlebih dahulu supaya diperoleh :

1) Bentuk partikel bersudut, diusahakan berbentuk kubus. 2) Permukaan partikel kasar sehingga mempunyai gesekan

yang baik.

3) Gradasi sesuai yang diinginkan.

Proses pemecahan agregat sebaiknya menggunakan mesin pemecah batu (stone crusher) sehingga ukuran partikel-partikel yang dihasilkan dapat terkontrol, berarti gradasi yang diharapkan dapat dicapai spesifikasi yang telah ditetapkan. c. Agregat buatan

Agregat yang merupakan mineral filler/pengisi (partikel dengan ukuran <0,075 mm), diperoleh dari hasil sampingan pabrik-pabrik semen dan pemecah batu.

2. Berdasarkan besar partikel-partikel (ukuran butiran) agregat, dapat dibedakan menjadi :

a. Agregat kasar adalah agregat yang tertahan pada saringan No.4 (4,75 mm).

b. Agregat halus adalah agregat yang lolos saringan no.4 dan tertahan no.200 (0,075 mm).

c. Abu batu/mineral filler, merupakan bahan berbutir halus yang mempunyai fungsi sebagai pengisi pada pembuatan campuran aspal. Filler didefinisikan sebagai fraksi debu mineral/ agregat halus yang umumnya lolos saringan no.200, bisa berupa kapur,


(48)

debu batu atau bahan lain, dan harus dalam keadaan kering (kadar air maksimal 1%).

II.2.2.2. Bentuk dan Tekstur Agregat

Bentuk dan tekstur agregat mempengaruhi stabilitas dari lapisan perkerasan yang dibentuk oleh agregat tersebut. Agregat yang paling baik untuk digunakan sebagai bahan perkerasan jalan adalah berbentuk kubus, tetapi jika tidak ada,maka agregat yang memiliki minimal satu bidang pecahan, dapat digunakan sebagai alternatif berikutnya.

Partikel agregat dapat berbentuk sebagai berikut : 1. Bulat (rounded)

Agregat yang dijumpai di sungai pada umumnya telah mengalami pengikisan oleh air sehingga umumnya berbentuk bulat. Partikel agregat saling bersentuhan dengan luas bidang kontak kecil sehingga menghasilkan daya interlocking yang lebih kecil dan lebih mudah tergelincir.

2. Lonjong (elongated)

Partikel agregat berbentuk lonjong dapat ditemui di sungai-sungai atau bekas endapan sungai. Agregat dikatakan lonjong jika ukuran terpanjangnya lebih panjang dari 1,8 kali diameter rata-rata. Sifat interlocking-nya hampir sama dengan yang berbentuk bulat.


(49)

3. Kubus (cubical)

Partikel berbentuk kubus merupakan bentuk agregat hasil dari mesin pemecah batu (stone crusher) yang mempunyai bidang kontak yang lebih luas sehingga memberikan interlocking/saling mengunci yang lebih besar. Dengan demikian kestabilan yang diperoleh lebih besar dan lebih tahan terhadap deformasi yang timbul. Agregat berbentuk kubus ini paling baik digunakan sebagai bahan konstruksi perkerasan jalan.

4. Pipih (flaky)

Partikel agregat berbentuk pipih dapat merupakan hasil dari mesin pemecah batu ataupun memang merupakan sifat dari agregat tersebut yang jika dipecahkan cenderung berbentuk pipih. Agregat pipih yaitu agregat yang lebih tipis dari 0,6 kali diameter rata-rata. Agregat berbentuk pipih mudah pecah pada waktu pencampuran, pemadatan ataupun akibat beban lalu lintas.

5. Tak beraturan (irregular)

Partikel agregat tak beraturan, tidak mengikuti salah satu yang disebutkan di atas.

Tekstur permukaan berpengaruh pada ikatan antara batu dengan aspal. Tekstur permukaan agregat terdiri atas :

1. Kasar sekali (very rough) 2. Kasar (rough)

3. Halus


(50)

Permukaan agregat yang halus memang mudah dibungkus dengan aspal, tetapi sulit untuk mempertahankan agar film aspal itu tetap melekat, karena makin kasar bentuk permukaan maka makin tinggi sifat stabilitas dan keawetan suatu campuran aspal dan agregat.

Campuran aspal beton (AC) dapat dibuat bergradasi halus (mendekati batas titik-titik kontrol atas), tetapi akan sulit memperoleh rongga dalam agregat (VMA) yang disyaratkan. Lebih baik digunakan aspal beton bergradasi kasar ( mendekati batas titik-titik kontrol bawah ).

II .2.2.3 Gradasi Agregat

Gradasi atau distribusi partikel-partikel berdasarkan ukuran agregat merupakan hal yang penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi agregat mempengaruhi besarnya rongga antar butir yang akan menentukan stabilitas dan kemudahan dalam proses pelaksanaan.

Gradasi agregat merupakan campuran dari berbagai diameter butiran agregat yang membentuk susunan campuran tertentu. Gradasi agregat ini diperoleh dari hasil analisa saringan dengan menggunakan 1 set saringan (dengan ukuran saringan 19,1 mm; 12,7 mm; 9,52 mm; 4,76 mm; 2,38 mm; 1,18 mm; 0,59 mm; 0,149 mm; 0,074 mm), dimana saringan yang paling kasar diletakkan diatas dan yang paling halus terletak paling bawah. Satu saringan dimulai dari pan dan diakhiri dengan tutup (Silvia Sukirman, 1999).


(51)

II.2.2.3.1 Jenis Gradasi Agregat

Gradasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu gradasi rapat, gradasi seragam dan gradasi timpang.

1. Gradasi Rapat (Dense Graded/ Well Graded)

Gradasi rapat merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang berimbang, sehingga dinamakan juga agregat bergradasi baik (well graded). Agregat dinamakan bergradasi baik bila persen yang lolos setiap lapis dari sebuah gradasi memenuhi :

P = 100 (d/D)0,45

Dimana : P = persen lolos saringan dengan ukuran bukaan d mm. d = ukuran agregat yang sedang diperhitungkan.

D = ukuran maksimum partikel dalam gradasi tersebut. Agregat dengan gradasi rapat akan menghasilkan lapis perkerasan dengan stabilitas tinggi, kurang kedap air, sifat drainase jelek dan berat volume besar.

2. Gradasi Seragam (Uniform Graded)

Gradasi seragam adalah agregat dengan ukuran yang hampir sama/ sejenis atau mengandung agregat halus yang sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka. Agregat dengan gradasi seragam akan menghasilkan lapisan perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang dan berat volume kecil.


(52)

3. Gradasi Timpang/Senjang (Poorly Graded/ Gap Graded)

Gradasi timpang merupakan campuran agregat yang tidak memenuhi dua kategori di atas. Agregat bergradasi timpang umumnya digunakan untuk lapisan perkerasan lentur yaitu gradasi senjang, merupakan campuran agregat dengan 1 fraksi hilang dan 1 fraksi sedikit sekali.

Agregat dengan gradasi timpang akan menghasilkan lapis perkerasan yang mutunya terletak diantara kedua jenis di atas.

a. R apat b. S eragam c. Senjang (tim pang) Gambar 2.4. Ilustrasi Macam Gradasi Agregat

II.3. Aspal Beton ( Asphalt Concrete )

Aspal Beton adalah tipe campuran pada lapisan penutup konstruksi perkerasan jalan yang mempunyai nilai struktural dengan kualitas yang tinggi, terdiri atas agregat yang berkualitas yang dicampur dengan aspal sebagai bahan pengikatnya. Material-material pembentuk beton aspal dicampur diinstalasi pencampur pada suhu tertentu, kemudian diangkut ke lokasi, dihamparkan, dan dipadatkan. Suhu pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal apa yang akan digunakan.

Dalam pencampuran aspal harus dipanaskan untuk memperoleh tingkat kecairan (viskositas) yang tinggi agar dapat mendapatkan mutu campuran yang baik dan kemudahan dalam pelaksanaan.


(53)

Pemilihan jenis aspal yang akan digunakan ditentukan atas dasar iklim, kepadatan lalu lintas dan jenis konstruksi yang akan digunakan.

II .3.1 Jenis Aspal Beton

Jenis aspal beton dapat dibedakan berdasarkan suhu pencampuran material pembentuk beton aspal, dan fungsi beton aspal. Berdasarkan temperatur ketika mencampur dan memadatkan campuran, campuran beraspal (aspal beton) dapat dibedakan atas 4 jenis (EAPA, 2010):

1. aspal beton campuran panas (hot mix) adalah aspal beton yang material pembentuknya di campur pada suhu pencampuran antara 140oC - 190oC.

2. aspal beton campuran sedang (warm mix) adalah aspal beton yang material pembentuknya di campur pada suhu pencampuran antara 100oC- 140 oC.

3. aspal beton campuran setengah hangat (half warm mix) adalah aspal beton yang material pembentuknya di campur pada suhu antara 70oC- 100 oC .

4. aspal beton campuran dingin (cold mix) adalah aspal beton yang material pembentuknya di campur tanpa menggunakan panas sama sekali.


(54)

1. aspal beton untuk lapisan aus/wearing course (WC), adalah lapisan perkerasan yang berhubungan langsung dengan ban kendaraan, merupakan lapisan yang kedap air, tahan terhadap cuaca, dan mempunyai kekesatan yang diisyaratkan.

2. aspal beton untuk lapisan pondasi/ binder course (BC), adalah lapisan perkerasan yang tetletak di bawah lapisan aus.tidak berhubungan langsung dengan cuaca, tetapi perlu stabilisasi untuk memikul beban lalu lintas yang dilimpahkan melalui roda kendaraan.

3. aspal beton untuk pembentuk dan perata lapisan aspal beton yang sudah lama, yang pada umumnya sudah aus dan seringkali tidak lagi berbentuk crown. (Silvia Sukirman, Beton Aspal Campuran Panas, 2003).

II.3.2 Karakteristik Campuran Aspal Beton

Karakteristik campuran yang harus dimiliki oleh campuran panas aspal beton adalah:

a. Stabilitas, yaitu kekuatan dari campuran aspal untuk menahan deformasi akibat beban tetap dan berulang tanpa mengalami keruntuhan (plastic flow). Untuk mendapat stabilitas yang tinggi diperlukan agregat bergradasi baik, rapat, dan mempunyai rongga antar butiran agregat (VMA) yang kecil. Tetapi akibat VMA yang kecil maka pemakaian aspal yang banyak akan menyebabkan terjadinya bleeding karena aspal tidak dapat menyelimuti agregat


(55)

dengan baik.

b. Durabilitas atau ketahanan, yaitu ketahanan campuran aspal terhadap pengaruh cuaca, air, perubahan suhu, maupun keausan akibat gesekan roda kendaraan. Untuk mencapai ketahanan yang tinggi diperlukan rongga dalam campuran (VIM) yang kecil, sebab dengan demikian udara tidak (atau sedikit) masuk kedalam campuran yang dapat menyebabkan menjadi rapuh. Selain itu diperlukan juga VMA yang besar, sehingga aspal dapat menyelimuti agregat lebih baik.

c. Fleksibilitas atau kelenturan, yaitu kemampuan lapisan untuk dapat mengikuti deformasi yang terjadi akibat beban lalu lintas berulang tanpa mengalami retak (fatigue cracking). Untuk mencapai kelenturan yang tinggi diperlukan VMA yang besar, VIM yang kecil, dan pemakaian aspal dengan penetrasi tinggi.

d. Kekesatan (skid resistence), yaitu kemampuan perkerasan aspal memberikan permukaan yang cukup kesat sehingga kendaraan yang melaluinya tidak mengalami slip, baik diwaktu jalan basah maupun kering. Untuk mencapai kekesatan yang tinggi perlu pemakaian kadar aspal yang tepat sehingga tidak terjadi bleeding, dan penggunaan agregat kasar yang cukup.

e. Ketahanan leleh (fatigue resistence), yaitu kemampuan aspal beton untuk mengalami beban berulang tanpa terjadi kelelahan berupa retak atau kerusakan alur (rutting).


(56)

air.

g. Workabilitas, yaitu kemudahan campuran aspal untuk diolah. Faktor yang mempengaruhi workabilitas antara lain gradasi agregat, dimana agregat yang bergradasi baik lebih mudah dikerjakan, dan kandungan filler, dimana filler yang banyak akan mempersulit pelaksanaan.

II.4. Campuran Beraspal Panas

Merupakan campuran yang terdiri dari kombinasi agregat yang dicampur denga aspal. Pencampuran dilakukan sedemikian rupa sehingga permukaan agregat terselimuti aspal dengan seragam. Untuk mengeringkan agregat dan memperoleh kekentalan aspal yang mencukupi dalam mencampur dan mengerjakannya , maka kedua-duanya dipanaskan pada temperatur tertentu.

Umumnya suhu pencampuran dilakukan pada suhu 145oC – 155oC. Saat ini di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk aspal campuran panas yang digunakan untuk lapisan perkerasan jalan. Perbedaannya terletak pada jenis gradasi agregat dan kadar aspal yang digunakan. Pemilihan jenis beton aspal yang akan digunakan di suatu lokasi sangat ditentukan oleh jenis karakteristik beton aspal yang lebih diutamakan. Sebagai contoh, jika perkerasan direncanakan akan digunakan untuk melayani lalu lintas berat, maka sifat stabilitas lebih diutamakan. Ini berarti jenis beton aspal yang paling sesuai adalah beton aspal yang memiliki agregat campuran bergradasi baik. Pemilihan jenis beton aspal ini mempunyai konsekuensi pori dalam campuran menjadi lebih sedikit, kadar aspal yang dapat dicampurkan juga berkurang, sehingga selimut aspal menjadi lebih tipis (Silvia Sukirman, 2003).


(57)

Jenis beton aspal campuran panas yang ada di Indonesia saat ini adalah: 1. Laston (Lapisan Aspal Beton), adalah beton aspal bergradasi

menerus yang umum digunakan untuk jalan-jalan dengan beban lalu lintas yang cukup berat. Laston dikenal pula dengan nama AC (Asphalt Concrete). Karakteristik beton aspal yang terpenting pada campuran ini adalah stabilitas. Tebal minimum Laston 4-6 cm. Sesuai fungsinya Laston mempunyai 3 macam campuran yaitu:

a) Laston sebagai lapisan aus, dikenal dengan nama AC-WC (Asphalt Concrete-Wearing Course). Tebal nominal minimum AC-WC adalah 4 cm.

b) Laston sebagai lapisan pengikat, dikenal dengan nama AC-BC (Asphalt Concrete-Binder Course). Tebal nominal minimum AC-WC adalah 5 cm.

c) Laston sebagai lapisan pondasi, dikenal dengan nama AC-Base (Asphalt Concrete-Base). Tebal nominal minimum AC-BC adalah 6 cm.

2. Lataston (Lapisan Tipis Aspal Beton), adalah beton aspal bergradasi senjang. Lataston biasa pula disebut dengan HRS (Hot Rolled Sheet). Karakteristik beton aspal yang terpenting pada campuran ini adalah durabilitas dan fleksibilitas. Sesuai fungsinya Lataston mempunyai 2 macam campuran yaitu:

a) Lataston sebagai lapisan aus, dikenal dengan nama HRS-WC (Hot Rolled Sheet-Wearing Course). Tebal nominal minimum


(58)

HRS-WC adalah 3 cm.

b) Lataston sebagai lapisan pondasi, dikenal dengan nama HRS- Base (HotRolled Sheet-base). Tebal nominal minimum HRS-Base adalah 3,5 cm.

3. Latasir (Lapisan Tipis Aspal Pasir), adalah beton aspal untuk jalan-jalan dengan lalu lintas ringan, khususnya dimana agregat kasar tidak atau sulit diperoleh. Lapisan ini khusus mempunyai ketahanan alur (rutting) rendah. Oleh karena itu tidak diperkenankan untuk daerah berlalu lintas berat atau daerah tanjakan. Latasir biasa pula disebut sebagai SS (Sand Sheet) atau HRSS (Hot Rolled Sand Sheet). Sesuai gradasi agregatnya, campuran latasir dapat dibedakan atas:

a) Latasir kelas A, dikenal dengan nama HRSS-A atau SS-A. Tebal nominal minimum HRSS-A adalah 1,5 cm.

b) Latasir kelas B, dikenal dengan nama HRSS-B atau SS-B. Tebal nominal minimum HRSS-A adalah 2 cm. Gradasi agregat HRSS-B lebih kasar dari HRSS-A.

4. Lapisan perata adalah beton aspal yang digunakan sebagai lapisan perata dan pembentuk penampang melintang pada permukaan jalan lama. Semua jenis campuran beton aspal dapat digunakan, tetapi untuk membedakan dengan campuran untuk lapis perkerasan jalan baru, maka setiap jenis campuran beton aspal tersebut ditambahkan


(59)

huruf L (Leveling). Jadi ada jenis campuran AC-WC(L), AC-BC(L), AC-Base(L), HRS-WC(L), dan seterusnya.

5. SMA (Split Mastic Asphalt) adalah beton aspal bergradasi terbuka dengan selimut aspal yang tebal. Campuran ini mempergunakan tambahan berupa fiber selulosa yang berfungsi untuk menstabilisasi kadar aspal yang tinggi. Lapisan ini terutama digunakan untuk jalan-jalan dengan beban lalu lintas berat. Ada 3 jenis SMA, yaitu: a. SMA 0 / 5 dengan tebal perkerasan 1,5 – 3 cm.

b. SMA 0 / 8 dengan tebal perkerasan 2 – 4 cm. c. SMA 0 / 11 dengan tebal perkerasan 3 – 5 cm.

(Silvia Sukirman, Beton Aspal Campuran Panas, 2003)

II .5 Laston ( Lapis Aspal Beton )

Laston adalah lapis permukaan atau lapis fondasi yang terdiri atas laston lapis aus (AC-WC), laston lapis permukaan antara (AC-BC) dan laston lapis fondasi (AC-Base).

Pembuatan Lapis Aspal Beton (LASTON) dimaksudkan untuk mendapatkan suatu lapisan permukaan atau lapis antara pada perkerasan jalan raya yang mampu memberikan sumbangan daya dukung yang terukur serta berfungsi sebagai lapisan kedap air yang dapat melindungi konstruksi dibawahnya. Sebagai lapis permukaan, Lapis Aspal Beton harus dapat memberikan kenyamanan dan keamanan yang tinggi (Petunjuk Pelaksanaan Lapis Aspal Beton Untuk Jalan Raya, SKBI – 2.4.26.1987)


(60)

II.5.1. Fungsi dan Sifat Laston

Laston adalah aspal campuran panas yang bergradasi tertutup (bergradasi menerus) yang berfungsi sebagai berikut:

a) Sebagai pendukung beban lalu lintas. b) Sebagai pelindung konstruksi dibawahnya. c) Sebagai lapisan aus.

d) Menyediakan permukaan jalan yang rata dan tidak licin.

Sedangkan sifat-sifat dari Laston antara lain: a. Kedap air.

b. Tahan terhadap keausan akibat lalu lintas. c. Mempunyai nilai struktural.

d. Mempunyai stabilitas tinggi

e. Peka terhadap penyimpangan perencanaan dan pelaksanaan.

II.6. Campuran Aspal Hangat (Warm Mix Asphalt)

Campuran aspal hangat (warmmix) adalah campuran beraspal yang proses

pembuatan dan penghamparannya dilakukan pada suhu 28˚C atau lebih rendah

dari suhu pencampuran campuran beraspal panas ( Hotmix ).(NCHRP , 2011).

Penggunaan teknologi campuran beraspal hangat (warmmix) dilakukan pada suhu diatas 100˚C, agar jumlah kandungan air yang terdapat pada campuran menjadi sediki. Ada banyak teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi kekentalan aspal agar dapat melapisi agregat secara keseluruhan dan juga


(61)

memadatkannya pada suhu yang lebih rendah. Teknik yang paling umum digunakan, yaitu :

1. Bahan tambah Organik (Organic Additives)

Bermacam-macam bahan tambah organik dapat digunakan untuk

mengurangi kekentalan dari aspal, pada suhu diatas 90˚C. Bahan tambah

yang sering digunakan adalah lapisan parafin yang diproduksi dari konversi gas. Organic Additives dapat menurunkan suhu sekitar 20 -30

˚C dan juga meningkatkan deformasi gaya gesek.

2. Bahan Tambah Kimia (Chemical Additives)

Bahan tambah Kimia tidak mengubah kekentalan aspal. Sebagai aktivator, Chemical Additives bekerja secara mikroskopis untuk menghubungkan antara aspal dan agregat. Chemical Additives berfungsi untuk mengatur dan menurunkan gaya gesek pada permukaan yang biasanya dilakukan pada suhu antara 85-140˚C. Chemical Additives dapat menurunkan suhu sekitar 20-40˚C .

3. Teknik Foaming

Teknik foaming berguna untuk mengurangi kekentalan dari aspal . Jumlah air yang terdapat pada aspal akan dikurangi dengan cara dipanaskan, maka air akan berubah menjadi uap, volume bitumen bertambah dan kekentalan berkurang dalam waktu yang singkat. Pengembangan bitumen membuat pelapisan agregat dapat dilakukan dalam suhu yang lebih rendah dan sisa dari busa air berfungsi membantu pemadatan aspal di lapangan .


(62)

Ada 2 teknik Foaming yang sering digunakan , yaitu :

1. Metode Foaming langsung, dilakukan dengan cara memasukkan sedikit air kedalam aspal panas melalui corong. Hasilnya sangat baik tetapi hanya sementara untuk meningkatkan volume aspal yang mempermudah pelapisan agregat pada suhu yang lebih rendah . Sisa-sisa dari busa pada aspal selama pemadatan berfungsi untuk mengurangi kekentalan dan membantu pemadatan. Pada proses pendinginan, aspal kembali normal dengan jumlah air yang sedikit . Dengan teknik Foaming langsung suhu dapat diturunkan sekitar 20-40˚C.

2. Metode Foaming secara tidak langsung, menggunakan mineral sebagai sumber dari uap air. Mineral yang sering digunakan adalah berasal dari beberapa jenis zeolit, karena zeolit mengandung 20%

kristal air dan dapat dilepaskan pada suhu diatas 100˚C. Pelepasan kristal air ini menghasilkan busa atau uap yang dapat menambah daya tahan selama 6-7 jam atau sampai suhu turun dibawah 100˚C. Dengan menggunakan teknik ini dapat dilakukan penurunan suhu

sekitar 30˚C dengan hasil pemadatan yang sama.

Metode Foaming tidak langsung yang kedua, menggunakan kelembapan pada pasir (RAP) untuk menghasilkan busa yang alami.

Agregat kasar dikeringkan dengan cara dipanaskan pada suhu 130˚C

- 160˚C lalu kemudian dicampur dengan aspal dan dengan demikian akan muncul lapisan tebal aspal pada agregat kasar. Pada tahap selanjutnya, ditambahkan agregat yang dingin atau basah.


(63)

Kelembapan itu berhubungan dengan aspal panas yang menyebabkan proses pelembapan lebih mudah untuk melapisi RAP yang dingin atau basah dan juga agregat halus. Dengan menggunakan teknik ini, dapat dilakukan penurunan suhu sekitar

20-40˚C.

Selain dari metode-metode yang disebutkan diatas ada juga beberapa produk yang dikombinasi untuk menghasilkan campuran aspal hangat, seperti gabungan antara zeolit dan fiber atau fiber dengan bahan tambah organik. (EAPA , 2011).

II.6.1 Keuntungan Penggunaan Campuran Beraspal Hangat (Warm Mix Asphalt)

Campuran beraspal hangat (WMA) adalah sebuah istilah umum yang sering digunakan untuk berbagai teknologi yang memungkinkan proses pembuatan bahan perkerasan Hot Mix Asphalt (HMA) untuk menurunkan suhu, di mana bahan ini dicampur dan dihampar di lapangan.

Teknologi ini sudah terbukti berguna untuk : 1. Mengurangi biaya perkerasan

2. Memperpanjang umur perkerasan. 3. Meningkatkan proses pemadatan aspal.

4. Membuat campuran aspal dapat diangkut pada jarak yang lebih jauh lagi.

5. Meningkatkan kondisi kerja dengan mengurangi paparan emisi bahan bakar , asap, dan panas.(FHWA ,2011).


(1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Perkerasan Jalan Raya ... 6

II.1.1 Jenis Konstruksi Perkerasan dan Komponennya ... 6

II.1.2 Fungsi Lapis Perkerasan ... 8

II.2 Bahan Penyusun Perkerasan Lentur ... 11

II.2.1 Aspal ... 11

II.2.1.1 Aspal Minyak ... 12

II.2.1.1.1 Karakteristik Aspal Minyak ... 16

II.2.2 Agregat ... 17

II.2.2.1 Klasifikasi Agregat ... 18

II.2.2.2 Bentuk dan Tekstur Agregat ... 20

II.2.2.3 Gradasi Agregat ... 22

II.2.2.3.1 Jenis Gradasi Agregat ... 22

II.3 Aspal Beton ... 24

II.3.1 Jenis Aspal Beton ... 25

II.3.2 Karakteristik Campuran Aspal Beton ... 26


(2)

II.5 Lapis Aspal Beton ... 31

II.5.1 Fungsi dan Sifat Laston ... 31

II.6 Campuran Aspal Hangat ... 32

II.6.1 Keuntungan Penggunaan Warm Mix Asphalt ... 35

II.7 Zeolit …….... ... 38

II.8 Karakteristik Marshall ... 41

II.9 Literature Review ... 46

II.10 Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 Revisi 3 ... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Persiapan Penelitian ... 58

III.2 Bagan Alir ... 60

III.3 Pelaksanaan ... 63

III.4 Kesimpulan dan Saran ... 65

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA IV.1 Pengujian Material ... 66

IV.1.1 Hasil dan Analisis Pengujian Aspal ... 66

IV.1.2 Hasil dan Analisis Pengujian Aggregat ... 70


(3)

IV.2 Perumusan Campuran Benda Uji Marshall ... 82

IV.3 Pembuatan Benda Uji Marshall ... 88

IV.4 Pembahasan Hasil Pengujian Benda Uji Marshall ... 89

IV.4.1 Pembahasan Hasil Pengujian Benda Uji Marshall Terhadap Spesifikasi Umum 2010 Revisi 3 ... 90

IV.4.2 Pembahasan Hasil Pengujian Benda Uji Marshall Terhadap Penelitian Sebelumnya ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan ... 102

V.2 Saran ... 103


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komponen Perkerasan Lentur ... 7

Gambar 2.2 Komponen Perkerasan Kaku ... 7

Gambar 2.3 Komponen Perkerasan Komposit ... 8

Gambar 2.4 Ilustrasi Macam Gradasi Agregat ... 24

Gambar 3.1 Diagram Alir Pengerjaan Penelitian ... 60

Gambar 4.1 Grafik Nilai Stabilitas dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit ... 81

Gambar 4.2 Grafik Nilai Flow dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit ... 82

Gambar 4.3 Grafik Nilai VIM dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit ... 83

Gambar 4.4 Grafik Nilai VFB dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit ... 84

Gambar 4.5 Grafik Nilai VMA dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit... 85

Gambar 4.6 Grafik Nilai VIM PRD dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit ... 82

Gambar 4.7 Grafik Nilai MQ dengan Variasi Kadar Aditif Zeolit ... 82


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Contoh Komponen Fraksional Aspal di Indonesia ... 17

Tabel 2.2 Literature Review ... 46

Tabel 2.3 Perbandingan Persyaratan Rongga Terisi Aspal ... 57

Tabel 2.4 Perbandingan Persyaratan Pelelehan ... 57

Tabel 4.1 Hasil Pengujian Sifat Fisik Aspal Penetrasi 60/70 ... 66

Tabel 4.2 Hasil Pengujian Nilai-nilai properties campuran dengan aditif zeolit 80 Tabel 4.3 Hasil Pengujian Indeks Kekuatan Sisa ... 87


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Lembar Data Pengujian Sampel untuk Mencari Nilai KAO

Lampiran II Lembar Data Pengujian Sampel dengan Variasi Kadar Zeolit

Lampiran III Dokumentasi Penelitian