Potensi Konflik Perkawinan Adat Batak Toba (Studi Deskriptif Pada Pasangan Kristen Yang Menikah Tanpa Adat di Kecamatan Sumbul-Sidikalang)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

POTENSI KONFLIK PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA

(Studi Deskriptif Pada Pasangan Kristen Yang Menikah Tanpa Adat di

Kecamatan Sumbul - Sidikalang)

SKRIPSI Diajukan Oleh : EVA D.SIBORO

030901026

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

MEDAN 2010


(2)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Konflik Perkawinan Adat Batak”, berangkat dari maraknya pernikahan – pernikahan dalam keluarga Batak yang tidak memasukkan proses adat di dalamnya, terutama di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul. Dalam kenyataannya hal ini terjadi karena adanya unsur – unsur yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tanpa proses adat Batak dan biasanya akan memunculkan pertentangan – pertentangan pandangan yang akan menimbulkan konflik.

Dalam penelitian ini, penulis memiliki tujuan untuk lebih mendalami alasan para pasangan yang menikah tanpa adat disamping alasan oleh karena fakor agama. Penulis juga bertujuan untuk mengetahui potensi konflik yang terjadi yang disebabkan oleh pernikahan adat itu sendiri.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah orang – orang yang terlibat seperti keluarga yang menikah tanpa melakukan prosesi adat, tetua adat, tokoh agama dan warga masyarakat sekitar yang berdomisili di Kecamatan sumbul, Kota Sidikalang Kabupaten Dairi.

Potensi konflik yang terjadi dalam adat perkawinan Batak itu sendiri berdasar kepada ajaran agama. Penolakan yang dilakukan oleh pasangan – pasangan yang menikah tanpa adat adalah terhadap hukum adat Batak Toba yang sangat memperhatikan prinsip dasar yakni Dalihan Na Tolu, dan juga aspek adat Batak Toba dalam pembagian Jambar dan mangulosi. Hal tersebut diatas yang menjadi pertentangan bagi pasangan – pasangan yang menikah tanpa adat. Di sisi lain , faktor lain yang membuat semakin maraknya pernikahan tanpa adat dalam kalangan masyarakat Batak Toba adalah karena faktor ekonomi dan faktor lain yang didapat penulis dari hasil penelitian yang dilakukan adalah karena tidak mendapat restu dan juga karena pergaulan bebas atau istilah MBA.

Dari hasil penelitian yang di peroleh, maka penulis menyimpulkan bahwa perkawinan tanpa adat banyak terjadi karena berbagai faktor seperti yang telah disebutkan diatas. Pandangan – pandangan yang menolak tentang pemberlakuan aspek – aspek adat tentu saja tidak berlaku bagi semua masyarakat suku Batak Toba yang menganut agama Kristen. Dari data yang didapat penulis, pertentangan yang terjadi dalam ajaran Kristen dengan Adat Batak Toba adalah karena adat tersebut berasal dari kepercayaan nenek moyang bangsa Batak Toba yang belum mengenal Tuhan dan masih menyembah roh – roh sembahan yang mereka sebut dengan nama Debata Mulajadi Na Bolon.Adat adalah segala bentuk aturan hidup. Dan apa yang sering dimaksud dengan adat Batak adalah segala bentuk aturan hidup yang khas yang dilakoni orang Batak seperti ketika bertutur, bertingkah laku, berelasi, atau ketika menjalankan berbagai bentuk acara seremonial (kelahiran, pernikahan, memasuki rumah, kematian dsb). Dan sisi adat yang seringkali dianggap tidak lagi revelan bagi anak-anak muda terkait dengan acara seremonial (Upacara adat) dan ketidaksederajatan dalam hubungan antar posisi.


(3)

DAFTAR ISI

halaman

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iii

Daftar Tabel ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Defenisi Konsep ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

2.1. Persfektif konflik ... 8

2.2. Manusia dan Kebudayaan ... 10

2.3.Kebudayaan dan Agama... 12

2.4 Manusia dan Agama ... 13

2.5.Uraian Adat Dalam Masyarakat Batak Toba ... 15

2.6. Konsep Perkawinan Dalam Masyarakat Batak Toba... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1. Jenis Penelitian ... 24

3.2. Lokasi Penelitian ... 24

3.3. Unit Analisa dan Informan ... 24

3.3.1. Unit Analisa ... 24

3.3.2. Informan ... 24

a. Informan Kunci ... 24

b. Informan Biasa ... 25

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 25

3.5. Interpretasi Data ... 26

3.6. Jadwal Kegiatan ... 27

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA ... 28

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28

4.1.1. Sejarah Kecamatan Sumbul ... 28

4.1.2. Letak Geografis dan Batas Wilayah ... 30

4.1.3. Gambaran Penduduk dan Pendidikan ... 4.1.4. Gambaran Penduduk Berdasarkan Suku dan Agama ...34

4.2.Profil Informan... ...37

4.2.1. Informan Kunci (Key Informan) ... 37


(4)

4.3. Prosesi Adat Dalam Perkawinan Masyarakat Batak Toba...57

4.3.1. Perkawinan Yang Mangadati...58

4.3.2. Perkawinan Dengan cara Mangalua (tanpa adat)...62

4.4. Faktor Penyebab Pernikahan Tanpa Adat Pada Keluarga

Kristen Batak Toba...69

4.5. Potensi Konflik Perkawinan Adat Batak Toba Dalam

Keterkaitannya Dengan Ajaran Agama...77

4.6. Deskripsi Hubungan Sosial Pada Pasangan Yang

Menikah Tanpa Adat...90

BAB V. PENUTUP...92

5.1. Kesimpulan ... 92 5.2.

Saran...94 DAFTAR PUSTAKA


(5)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Konflik Perkawinan Adat Batak”, berangkat dari maraknya pernikahan – pernikahan dalam keluarga Batak yang tidak memasukkan proses adat di dalamnya, terutama di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul. Dalam kenyataannya hal ini terjadi karena adanya unsur – unsur yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tanpa proses adat Batak dan biasanya akan memunculkan pertentangan – pertentangan pandangan yang akan menimbulkan konflik.

Dalam penelitian ini, penulis memiliki tujuan untuk lebih mendalami alasan para pasangan yang menikah tanpa adat disamping alasan oleh karena fakor agama. Penulis juga bertujuan untuk mengetahui potensi konflik yang terjadi yang disebabkan oleh pernikahan adat itu sendiri.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah orang – orang yang terlibat seperti keluarga yang menikah tanpa melakukan prosesi adat, tetua adat, tokoh agama dan warga masyarakat sekitar yang berdomisili di Kecamatan sumbul, Kota Sidikalang Kabupaten Dairi.

Potensi konflik yang terjadi dalam adat perkawinan Batak itu sendiri berdasar kepada ajaran agama. Penolakan yang dilakukan oleh pasangan – pasangan yang menikah tanpa adat adalah terhadap hukum adat Batak Toba yang sangat memperhatikan prinsip dasar yakni Dalihan Na Tolu, dan juga aspek adat Batak Toba dalam pembagian Jambar dan mangulosi. Hal tersebut diatas yang menjadi pertentangan bagi pasangan – pasangan yang menikah tanpa adat. Di sisi lain , faktor lain yang membuat semakin maraknya pernikahan tanpa adat dalam kalangan masyarakat Batak Toba adalah karena faktor ekonomi dan faktor lain yang didapat penulis dari hasil penelitian yang dilakukan adalah karena tidak mendapat restu dan juga karena pergaulan bebas atau istilah MBA.

Dari hasil penelitian yang di peroleh, maka penulis menyimpulkan bahwa perkawinan tanpa adat banyak terjadi karena berbagai faktor seperti yang telah disebutkan diatas. Pandangan – pandangan yang menolak tentang pemberlakuan aspek – aspek adat tentu saja tidak berlaku bagi semua masyarakat suku Batak Toba yang menganut agama Kristen. Dari data yang didapat penulis, pertentangan yang terjadi dalam ajaran Kristen dengan Adat Batak Toba adalah karena adat tersebut berasal dari kepercayaan nenek moyang bangsa Batak Toba yang belum mengenal Tuhan dan masih menyembah roh – roh sembahan yang mereka sebut dengan nama Debata Mulajadi Na Bolon.Adat adalah segala bentuk aturan hidup. Dan apa yang sering dimaksud dengan adat Batak adalah segala bentuk aturan hidup yang khas yang dilakoni orang Batak seperti ketika bertutur, bertingkah laku, berelasi, atau ketika menjalankan berbagai bentuk acara seremonial (kelahiran, pernikahan, memasuki rumah, kematian dsb). Dan sisi adat yang seringkali dianggap tidak lagi revelan bagi anak-anak muda terkait dengan acara seremonial (Upacara adat) dan ketidaksederajatan dalam hubungan antar posisi.


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang dipangkunya karena budaya merupakan landasan filosofi yang mendasari setiap prilaku manusia. Sehingga dengan demikian seringkali manusia secara tidak sadar bersikap tertutup terhadap kemungkinan perubahan dalam nilai-nilai yang selama ini dipangkunya, juga merasa bahwa nilai-nilai yang dimilikinya merupakan yang terbaik dan harus dipertahankan. Didalam kehidupan manusia yang bermasyarakat terdapat dua potensi yang saling bertolak belakang antara satu dengan yang lain, yaitu potensi konflik dan potensi damai (konsensus). Kedua potensi ini bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Potensi konflik dan potensi damai menyatu dalam kehidupan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat muncul secara bergantian. Potensi konflik akan muncul lebih kuat apabila manusia terlalu mengutamakan kepentingan individu sehingga terjadi persaingan untuk mencapai tujuan. Sebaliknya potensi damai akan lebih dominan apabila manusia lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang dilandasi oleh nilai dan norma sosial yang pada akhirnya akan menciptakan suatu kedamaian

Selain sebagai mahluk sosial, manusia juga mahkluk yang berfikir (homo sapiens). Inilah yang kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengatasi masalah-masalahnya terutama masalah yang ditimbulkan sebagai akibat atau konsekuensi dari hidup bermasyarakat. Dan karena itu juga manusia disebut


(7)

sebagai mahkluk yang berbudaya. Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta yaitu “Buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata “Buddhi” yang berarti akal atau budi. banyak sudah pakar Antropologi yang melahirkan defenisi kebudayaan seperti yang dikutip oleh Soekanto dari pendapat E.B. Taylor :

“Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang

didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat” (Soekanto, 1986 ; 111). Kebudayaan mencakup seluruh yang didapat atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam lingkup cakupan ilmu sosiologi, menekankan bahwa kebudayaan sebagai alat yang digunakan manusia untuk berkeprilakuan dalam masyarakat, sebab pada dasarnya kebudayaan adalah untuk tujuan yang baik, mengatur tata kehidupan dan penghidupan dan memanipulasi alam. Meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan.

Dalam konteks penelitian ini kebudayaan ditekankan pada aspek keluarga dan norma-norma kemasyarakatan dan agama yang dikhususkan pada adat-istiadat perkawinan dalam ajaran agama. Dalam hal ini adat-adat-istiadat diperkecil lingkupnya hanya pada adat-istiadat yang berlaku pada pesta perkawinan dan adat-istiadat itu sendiri akan dihubungkan pada ajaran agama. Etnis yang diteliti adalah Etnis Batak Toba, sedangkan kaitannya dengan ajaran agama adalah Kristen Protestan yang dominan dianut oleh Etnis Batak Toba ini.

Batak Toba merupakan suatu sub suku yang rawan dengan konflik yang hidup pada pengawasan adat-istiadatnya, terutama pada adat perkawinan. Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu sub suku bangsa Batak dan salah satu dari ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia. Berdiri dengan satu identitas budaya, berasal dari daerah tertentu, memiliki bahasa, dan adat-istiadat tersendiri.


(8)

Masyarakat Batak Toba hidup dibawah pengawasan adat-istiadatnya yang berperan mengatur keseluruhan tingkah lakunya. Demikian juga dengan perkawinan sebagai salah satu siklus kehidupan seseorang. Perkawinan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba memiliki aturan-aturan adat yang masih sangat kuat walaupun sudah mengalami berbagai perubahan pada saat ini. Perkawinan masyarakat Batak toba yang diatur oleh adat-istiadat akan lebih sah dan resmi

Perkawinan bagi kebanyakan suku bangsa di Indonesia, khususnya Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing)Melayu, Minang, Jawa, Betawi, Sunda, Aceh, dan sebagainya pada zaman dulu dan bahkan sampai dewasa ini dianggap merupakan tingkat kedewasaan bagi masyarakatnya dan bukan ditentukan oleh usianya. Alasan idealnya karena pada saat itu seseorang sudah mandiri dan bertanggung jawab memenuhi nafkah pasangannya serta siap meneruskan generasi dan menafkahi anak-anaknya kelak. Namun pada kenyataannya tidak semuanya berada dalam kondisi seperti ini. Oleh karena itu baik dari pandangan agama dan kultur perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya sakral dan hanya dapat dilakukan setelah wanita dan pria mengikatkan diri melalui prosesi adat dan ritus keagamaan dalam suatu ikatan perkawinan.

Perkawinan berdasarkan undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974, perkawinan sendiri diartikan:

“ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perkawinan merupakan wujud menyatunya dua sejoli kedalam satu tujuan yang sama.


(9)

Tujuan perkawinan itu sendiri adalah:

1. membentuk keluarga yang bahagia dan kekal 2. memenuhi kebutuhan biologis secara sah dan sehat 3. mendapatkan keturunan

4. untuk mendapatkan kaitannya dengan rohani secara nyata (cinta, ketenangan, merasa terlindungi)

Berdasarkan tujuan pernikahan yang telah tercantum di atas maka perkawinan orang batak pun mengharapkan hal yang serupa dalam mahligai rumahtangga yang dibentuk yaitu berupa: Hamoraon , Hagabean, Hasanganpon atau istilah 3H. Ketiga kata itu telah menjadi salah satu pijakan orang batak dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Namun perlu diingat bahwa 3H diatas bukanlah falsafah hidup orang Batak yang menjadi falsafahya adalah Dalihan Natolu “Somba marhulahula, Elek marboru, Manat

mardongantubu”,(http://habinsaran.wordpress.com/2007/07/31/hamoraon-hasangapon-hagabeon/). Masyarakat Batak Toba yang secara tradisional bermukim di wilayah provinsi Sumatera Utara merupakan masyarakat yang patrilineal, di mana garis keturunan ditelusuri lewat sistem klan yang disebut marga. Keseluruhan marga yang ada saling berhubungan, dan meyakini bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Hubungan sosial marga diatur dalam dalihan natolu (harfiah: “tiga tungku”), yakni sebuah struktur kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan tiga pilar: hula-hula (pihak pemberi istri), boru (pihak penerima istri), dan dongan sabutuha (saudara seibu). Dalam setiap upacara adat kita dapat melihat bagaimana peran serta hubungan relasional dari ketiga pihak


(10)

tersebut terhadap individu atau keluarga yang mengadakan upacara (suhut) tercermin. Dalam tradisi perkawinan, masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan perkawinan merupakan penyatuan dua set dari unsur dalihan na tolu dari dua keluarga luas individu yang akan menikah.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral, dikatakan sakral karena dalam pemahaman adat Batak bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak pengantin perempuan) karena memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain yakni pihak paranak (pihak pengantin pria), yang menjadi besan nantinya sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni dengan menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau) yang kemudian menjadi santapan dalam pesta perkawinan

Pelaksanaan adat dalam setiap konteks pesta-pesta dalam masyarakat Batak Toba tidak seluruhnya sesuai dengan ajaran agama Kristen Protestan sebab pada dasarnya adat-istiadat dalam kegiatan apapun itu, awalnya berdasarkan pada ajaran animisme Batak yang belum mengenal Tuhan. Sebagian orang beranggapan bahwa seluruh ajaran dalam adat Batak Toba tidak bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut.

Sebenarnya dalam ajaran Kristen, perkawinan tidaklah serumit yang dibayangkan yang paling mendasari ajaran Kristen adalah bahwa perkawinan itu diberkati di Gereja dan jelas-jelas ajaran Kristen menolak terjadinya perkawinan sedarah atau saudara kandung (inces). Dalam ajaran Kristen, pesta perkawinan itu


(11)

terbatas hanya pada yang dilaksanakan di Gereja berupa pemberkatan, selebihnya yang dilakukan dalam masyarakat Batak adalah pesta adat.

1.2.Perumusan Masalah

1. Apakah yang menjadi latar belakang bagi Pasangan Suami-Istri melakukan perkawinan tanpa adat dari sudut pandang agama Kristen? 2. Bagaimana pandangan dan anggapan dari pasangan – pasangan yang

telah menikah tanpa adat?

3. Aspek adat yang bagaimanakah yang memunculkan potensi konflik atau pertentangan dengan keimanan kristen?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor apa saja dari agama Kristen yang melatarbelakangi pasangan yang melakukan pernikahan tanpa adat 2. Untuk mengetahui gambaran kehidupan pasangan yang menikah tanpa

adat dalam kehidupan sosialisasinya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat

3. Untuk mengetahui potensi konflik-konflik apa saja yang terjadi dalam kehidupan pasangan yang menikah tanpa adat dalam sosialisasi kehidupan baik dalam keluarga maupun masyarakat.


(12)

1.4Manfaat Penelitian

1. Memberikan penjelasan kepada masyarakat umumnya dan mahasiswa khususnya mengenai aspek-aspek adat yang bertentangan dengan keimanan Kristen

2. Membantu untuk lebih mengenal adat-istiadat Batak Toba kepada para pembaca, khususnya kepada kalangan Batak Toba itu sendiri

3. Sebagai salah satu tambahan refrensi studi mengenai sosiologi

1.5 Defenisi Konsep

1. Potensi Konflik merupakan kemampuan dan kemungkinan munculnya perlawanan mental sebagai akibat dari kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang berlawanan

2. Pernikahan merupakan suatu proses dimana terdapat pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa untuk bersatu membentuk sebuah rumah tangga dan diikat dengan tali pernikahan itu sendiri 3. Pernikahan dalam pandangan Kristen adalah suatu proses dimana

terdapat campur tangan Tuhan dalam mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dewasa dalam ikatan pernikahan yang suci dan berjanji dihadapan Tuhan untuk setia sehidup semati, dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit tanpa dapat dipisahkan oleh seorangpun kecuali oleh kematian

4. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang telah diciptakan oleh manusia yang mencakup seluruh sendi-sendi hidup dalam kehidupan manusia, dimana semuanya itu diciptakan dalam jangka waktu yang sangat lama


(13)

5. Adat istiadat merupakan suatu peraturan, pranata, norma, hukum, kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang telah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan dan telah dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang, jiga tidak memiliki sanksi yang jelas.


(14)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Persfektif konflik

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna karena itu merupakan bagian dari keberadaan manusia. Kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, dan kejahatan (Fisher, 2001: 4).

Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi.

Durkheim mengembangkan konsep masalah pokok sosiologi. Ia membayangkan fakta sosial sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala luas, misalnya hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran studi. Dalam kasus penelitian ini,


(15)

masyarakat Batak Toba sebagian beranggapan bahwa mereka dalam suatu kekuatan dan sruktur yang bersifat eksternal dan cenderung memaksa disebabkan oleh tekanan akan nilai adat yang mengikat seluruh sendi kehidupannya.

Durkheim membedakan dua tipe fakta sosial yakni fakta sosial material dan fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial material berupa birokrasi, hukum sedangkan fakta sosial nonmaterial berupa kultur, institusi sosial. Pada fakta sosial yang ada dalam kasus yang terjadi dalam penelitian ini lebih dominan kepada fakta sosial nonmaterial, dimana masyarakat Batak Toba sangat kental dengan kultur yang dimilikinya sehingga mengakibatkan timbulnya keraguan antara kepercayaan yang dianutnya dengan keterikatan adat yang mengikatnya.

Durkheim memusatkan perhatian pada bentuk terakhir fakta sosial nonmaterial, yang menempati posisi yang jauh lebih sentral yakni agama. Dalam temuannya, sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan yang lainnya itu bersifat profan, khususnya dalam kasus yang disebut totemisme. Masyarakat dan agama adalah satu dan sama. Agama adalah salah satu cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam fakta sosial secara nonmaterial. Masyarakat Batak Toba merupakan suatu komunitas yang menjunjung tinggi akan adatnya, tetapi juga menganut kepercayaan. Dimana adat dan agama menjadi satu kesatuan yang terkadang memiliki anggapan yang bertentangan.

Dari teori sosiologi yang diajuka n oleh Emile Durkheim, sosiolog dari Perancis, membagi bunuh diri menjadi tiga kelompok yaitu (1) egoistic, melakukan tindakan bunuh diri karena tidak mempunyai ikatan kuat dengan kelompok sosialnya (dikucilkan, tidak menikah, perceraian), (2) altruistic,


(16)

melakukan bunuh diri untuk menunjukkan loyalitas, pengabdian pada kelompoknya (harakiri, mesatya), dan (3) anomic, tidak mampu menghadapi perubahan di masyarakat mengenai nilai dan standar hidup (misalnya kehilangan pekerjaan, krisis ekonomi). Masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat yang seluruh sendi kehidupannya terikat oleh adat, manakala adat itu tidak dapat terealisasi dalam kehidupan nyata terutama dalam kehidupan perkawinannya, maka tidak menutup adanya kemungkinan keputusasaan yang menyebabkan konflik dalam dirinya sehingga memungkinkan untuk bertindak egoistic, yakni melakukan tindakan bunuh diri karena dikucilkan dari adat ataupun kelompok masyarakat.

2.2. Manusia dan Kebudayaan

Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dick Hartoko bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan.Hampir semua tindakan manusia itu merupakan kebudayaan. Hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian prosentasenya sangat kecil. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar. Terdapat beberapa proses belajar kebudayaan yaitu proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi.

Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu sebagai 1) penganut kebudayaan, 2) pembawa kebudayaan, 3) manipulator kebudayaan, dan 4) pencipta kebudayaan.


(17)

Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Dalam rangka survive maka manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara. Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.

Menurut Lothar schreider kata ‘biasa’ atau ‘kebiasaan’ ini mempunyai arti sebagai berikut:

1. Sebagai sediakala, sebagai yang sudah-sudah, yang tidak menyalahi adat yang dahulu, tidak aneh, tidak menarik perhatian

2. Sudah lazim, sudah tersebar luas

3. Berulang-ulang, telah dialami orang, dan oleh sebab itu lazim, sudah menjadi adat (schreider, 1999 : 18)

Berarti adat adalah segala sesuatu yang telah ada, telah diterima, dilaksanakan oleh semua orang dalam waktu yang cukup lama dan sudah menjadi kebiasaan. Misalnya akan sangat sulit bagi kita menemukan orang Cina yang makan mie pakai garpu, sama sulitnya mencari orang barat yang tidak suka membaca.

Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba, juga tidak pernah berhasil dijelaskan siapa peletak dasar adat Batak Toba. Menurut silsilah (tarombo) Batak, bahwa manusia pertama di bumi ini (tanah Batak tentunya) adalah si Raja Batak yang diciptakan oleh Debata Mulajadi na Bolon bersama dengan seorang perempuan di puncak bukit Pusuk Buhit, kemudian si Raja Batak


(18)

memiliki keturunan yang masih dapat ditelusuri yaitu Guru Tetabulan dan Raja Isombaon. Dari mereka inilah kemudian berkembang dan terbentuklah komunitas masyarakat Batak Toba yang pertama. Dari komunitas Batak yang pertama inilah mulai diletakkan dasar budaya Batak.

Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Dalam rangka survive maka manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara. Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu

sebagai pedoman dalam bertingkah laku

2.3. Kebudayaan dan Agama

Agama kemungkinan adalah kebudayaan. Agama juga merupakan salah satu unsur pembentuk kebudayaan manusia di dunia ini, mungkin yang paling nyata ada di belahan bumi bagian timur. Dikatakan bahwa agama-agama di timur adalah agama-agama kebudayaan disebabkan dari cara terciptanya agama itu da;lam etnis tertentu. Umumnya agama tidak menyembah satu tuhan atau dewa, sebagai contoh dapat kita lihat agama kebudayaan atau tradisional di Yunani kuno pada masa sebelum masehi. Pada masyarakat Yunani kuno ada sangat banyak dewa dan bahkan sampai ratusan jumlahnya, bisa jadi pada masa itu setiap orang boleh menyembah dewa yang berlainan atau setiap rumahtangga bebas menciptakan dewa yang hanya mereka mengenalnya. Dewa –dewa Yunani kuno yang terkenal sampai saat ini antara lain Jupiter, Venus, Amor dan sebagainya.


(19)

Pada dasarnya agama-agama kebudayaan (tradisional) dimanapun di seluruh dunia lahir sebagai akibat rasa ingin tahu atau penasaran dari diri nenek moyang mereka. Manusia pada saat itu selalu bertanya mengapa dan oleh siapa. Mereka bertanya mengapa ada air yang dapat diminum, udara yang dihirup, binatang , tananman, dan bahkan gunung. Mereka tahu pasti bahwa itu bukan ciptaan mereka sendiri, sebab sudah ada jauh sebelum mereka dilahirkan. Hal inilah yang mendorong nenek moyang mereka untuk berkesimpulan adanya suatu kekuatan lain yang menciptakan itu semua, hingga terciptalah ajaran animisme yaitu ajaran yang mengajarkan penyembahan kepada suatu oknum atau kekuatan tertentu dan ajaran dinamisme yang mengajarkan penyembahan kepada suatu oknum atau kekuatan tertentu di luar diri manusia yang mendiami benda-benda di alam misalnya pohon, batu, air dan lain-lain.

Dalam pandangan mereka kekuatan-kekuatan tersebut memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia yaitu : memberi, menerima, dan menghukum. Agar para oknum tersebut mau terus memberi, maka manusia harus senantiasa meminta.apabila terjadi gejala-gejala alam seperti gunung meletus atau gempa bumi berarti oknum tersebut sedang marah, maka manusia wajib meminta maaf kepadanya.

Demikian halnya pada masyarakat Batak Toba, yang ada dikenal dengan agama tradisional parmalim. Dalam ajaran parmalim tidak dikenal lebih dari satu oknum penguasa alam atau dewa. Parmalim hanya mengenal satu kekuatan supranatural yang menguasai alam yang mereka sebut dengan Debata(dapat diartikan Tuhan) Mulajadi (pencipta) Na Bolon (yang besar/mulia).


(20)

2.4. Manusia dan Agama

Manusia merasakan hal-hal yang aneh dan ghaib yang tidak dapat dijelaskan dengan akalnya sendiri. Untuk mencari jawaban itulah manusia selanjutnya menciptakan kepercayaan-kepercayaannya sendiri dalam usaha mencari jawaban dari pengalaman-pengalamanyang berkaitan dengan dunia roh dan kejadian-kejadian alam ghaib. Itulah awal timbulnya sistem religi manusia atau agama manusia.

Teori dari A.B. Taylor mengemukakan mengenai asal mula dari inti dan unsur universal seperti agama atau religi. Taylor mengemukakan bahwa prilaku manusia yang bersifat religi disebabkan karena :

1. Manusia mulai sadar akan adanya konsep roh

2. Manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tidak dapat dijelaskan dengan akal

3. Keinginan manusia untuk menghadapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam daur hidupnya

4. Kejadian- kejadian luar biasa yang dialami manusia di alam sekelilingnya 5. Adanya getaran (yaitu emosi) berupa rasa kesatuan yang timbul dalam

jiwa manusia sebagai warga dari masyarakat

6. Manusia menerima suatu firman dari Tuhan (Koentjaraningrat, 1998 : 194).

Agama dalam bahasan tulisan karya ilmiah ini adalah agama Tuhan. Agama Tuhan adalah suatu keyakinan, kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa. Jelas berasal dari Tuhan yang diajarkan oleh para nabi dan memiliki kitab suci. Oleh sebab itu agama Tuhan adalah suatu keharusan bagi


(21)

pemeluknya dari etnis atau suku bangsa manapun mereka berasal. Maka sudah terbukti efektif bahwa agama Tuhan adalah pemersatu manusia yang paling utama.

Dalam penelitian ini agama tuhan yang diambil adalah agama Kristen. Agama Kristen pertamakali masuk ke Indonesia berasal dari timur, ini dibuktikan dengan adanya tulisan-tulisan sejarah yang menyatakan bahwa ajaran Kristen telah masuk ke tana air melalui suatu desa kecil bernama Barus yang terletak di Tapanuli Tengah melalui jalur laut pantai barat Sumatera sejak sekitar 600 masehi atau bahkan jauh sebelum masuknya Islam di nusantara.

Agama berdasarkan pendapat para ahli Antropologi dan Sosiologi adalah juga unsur pembentuk kebudayaan. Namun itu adalah agama manusia. Emile Durkheim mengemukakan dasar-dasar sosial agama dengan mengatakan bahwa semua agama memiliki satu ciri yang sama, semuanya berisikan suatu sistem penggolongan mengenai segala sesuatu yang baik, yang nyata maupun yang ideal mengenai apa yang dipikirkan manusia ke dalam dua kelas golongan yang saling bertentangan. Selanjutnya Durkheim juga menjelaskan bahwa golongan tersebut pertama adalah semua yang dianggap sacred dan kedua semua yang dianggap profane.

“ yang sacred berisikan unsur distinktif pemikiran agama; kepercayaan mite, dogma,dan legenda yang menjadi representasi atau sistem representasi hakikat yang sacred, kebaikan dan kekuatan yang diletakkan padanya, atau hubungan-hubungannya satu sama lain dan termasuk hubungan-hubungan yang profane” (Robertson, 1993 : 35).

2.5. Uraian Adat Dalam Masyarakat Batak Toba

Orang Batak secara umum dibagi berdasarkan 6 bagian subsuku, yakni Karo, Simalungun, Toba, Pakpak Dairi dan Mandailing (Koentjaraningrat, 1982 :


(22)

94-95). Keenam subsuku ini mendiami area antara perbatasan Sumatera Utara – Aceh, Sumatera Utara – Riau dan Sumatera Utara – Sumatera Barat. Perbatasan antara Tanah Deli, Langkat, Labuhan Batu dan Asahan. Pada pembagian ke enam subsuku ini, penulis hanya membahas pada subsuku Batak Toba saja.

Pembagian subsuku Batak Toba menurut Koentjaraningrat sebetulnya bisa lagi dibagi menjadi bagian – bagian yang lebih spesifik. Pada masyarakat Batak Toba masih ada pembagian yang sering disebut dengan “Orang Samosir” yang berasal dari pulau samosir, ‘Orang Toba’ yang mendiami perbatasan parapat – Simalungun sampai perbatasan Balige – Siborong-borong, kemudian dikenal lagi dengan ‘Orang Humbang’ yang mendiami wilayah Siborong-borong – Dolok Sanggul, lalu yang terakhir ‘Orang Silindung’ yang mendiami wilayah lembah rura Silindung mencakup Kecamatan Tarutung dan sekitarnya sampai perbatasan Pahae, dari sini muncul lagi yang disebut dengan ‘Orang Pahae’ yang mendiami sekitar wilayah Luat Pahae. Masing – masing dari pembagian Orang Batak Toba tersebut diatas memiliki perbedaan dari segi gaya bahasa, sifat dan karakter dan bahkan sedikit perbedaan adat secara umum.

Pembagian tersebut dapat ditinjau dari marga – marga yang berasal dari pembagian daerah – daerah diatas. ‘Orang Toba’ dikenal dengan marga Sirait, Silalahi, Simangunsong, Pardede, dan lain- lain. Marga seperti Sihombing dan ‘anak – anaknya’ berasal dari Humbang. Dari Samosir umumnya marga – marga yang tergabung dalam induknya Parna yang terdiri dari 57 marga. Dari Silindung kita dapat tinjau marga – marga seperti Tobing, Hutabarat, Panggabean dan Hutagalung. Marga –marga ini banyak menyebar sampai ke daeraha Luat Pahae


(23)

ditambah marga seperti Sitompul dan sebagian marga Siregar yang berasal dari Sipirok.

Orang hanya mengenal Sisingamangaraja yang istananya terdapat di Bakkara – Samosir sebagai ‘Si Raja Batak’. Hal ini belum tentu benar sebab masing – masing marga orang Batak memiliki rajanya sendiri, dan mustahil Raja Sisingamangaraja menguasai seluruh wilayah raja – raja yang disebutkan diatas. Karena hal itu akan mengundang perlawanan dari raja – raja Batak yang lain, terutama mengenai pemerintahan, luas areal kekuasaan dan lain – lain. Namun, sampai saat ini memang belum ada refrensi resmi yang dapat digunakan sebagai bahan acuan.

Inti yang utama dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak Toba ini adalah marga sesuai dengan garis keturunan ayah (patrilineal), selain itu juga status perkawinan. Marga ini tidak hanya sekedar berfungi dalam adat, tapi lebih dari pada itu, marga berkembang sebagai alat pemersatu terutama bagi orang Batak yang berada di perantauan.

Dalam diri seorang Batak, adat diberlakukan terhadap dirinya melalui fase – fase, yakni mulai ia lahir, menikah dan meninggal dunia. Ini adalah prosesi adat yang paling mudah ditandai pada masyarakat Batak Toba. Adat dalam masyarakat Batak Toba umumnya berlaku sekitar sistem kekerabatan dan sistem religi, dan kedua sistem ini berpengaruh kepada sistem mata pencaharian, kesenian dan sistem teknologi.

Sistem Kekerabatan Dalam Masyarakat Batak Toba

Pertama sekali yang akan dilakukan Orang Batak Toba dalam menentukan sistem kekerabatan dan pertuturannya adalah dengan berdasarkan alur asal – usul


(24)

marga. Hal ini mencakup induk marga dan pada posisi marga ke berapa dari anak – anak marga ia berasal, hal ini adalah letak dasar tutur orang yang bersangkutan terhadap orang yang dijumpainya.

Asal – usul marga ini tidak bisa terpisah dari asal – usul orang Batak. Orang Batak dahulu (sebelum masuknya Kristen) percaya bahwa nenek moyang mereka berasal atau lahir sebagai keturunan langsung dari Debata Mulajadi Na Bolon yaitu Si Raja Batak dengan istrinya Si Boru Deak Parujar yang konon mereka diserahi tugas untuk menciptakan bumi dengan segala isinya. Setelah selesai, kemudian mereka menuju satu desa bernama Sianjurmulamula yang terletak di lereng gunung Pusuk Buhit. Dari tempat inilah Orang Batak meyakini bermulanya seluruh marga Orang Batak dari keenam subsuku Batak yang telah disebutkan diatas. Walaupun pada saat ini kita mengenal keanekaragaman marga dalam seluruh subsuku Batak, namun tetap diyakini bahwa mereka semua berawal dari satu keturunan. Memang ada versi-versi lain yang beredar, namun semua versi-versi ini belum dapat dipastikan kebenarannya, sebab memang ada marga Orang Batak Toba yang juga ditemui sebagai marga pada masyarakat Batak Karo, seperti marga pasaribu di Batak Toba, dikenal juga marga Kacaribu di Tanah Karo. Marga memiliki fungsi yang penting dalam menapaki tali-temali kekerabatan. Dengan mengetahui marga akan dapat ditelusuri hubungan si pembicara dengan lawan bicaranya. Kebiasaan seperti ini di dalam masyarakat Batak martarombo atau martutur. Pentingnya marga dalam menapaki tali-temali kekerabatan ini dapat dilihat lewat ungkapan berikut ini

Tiniptip sanggar bahen huru-huran

Jolo sinungkun marga asa binoto partuturan

(dikerat batang pimping untuk membuat sangkar. Terlebih dahulu ditanyakan marga agar diketahui hubungan kekerabatan)


(25)

Dengan bekal marga ini seseorang bisa menelusuri hubungan kekerabatannya,baik lewat penapakan hubungan darah maupun perkawinan atau lewat perkawinan pada generasi lampau ataupun sekarang. Bagi orang Batak berlaku ungkapan yang berbunyi : sada tumatok hite, luhut marhitehonsa, artinya satu orang yang membuat jembatan, tapi semua orang bisa menggunakannya. Maksudnya adalah seorang menjalin tali persaudaraan dengan ikatan perkawinan, maka seluruh famili dari orang pertama menjadi kerabat – demikian sebaliknya.

Sistem kekerabatan yang diterapkan dalam sistem sosial masyarakat Batak Toba juga dilakukan dengan menggunakan marga ibu namun setelah menggunakan marga ayah. Bagi seorang Batak Toba, bila menjumpai atau berkenalan dengan seorang Batak Toba yang lain yang marganya sama dengan marga ibunya , maka spontan ia akan memanggil dengan sebutan tulang atau paman.

Sistem kekerabatan seperti ini masih tetap berlangsung sampai saat ini. Penerapannya kemungkinan besar tidak mungkin akan berubah, sebab dalam dasarnya setiap kehidupan orang Batak Toba sepertinya tidak dapat dipisahkan dari adat-istiadat yang dimilikinya.

Hubungan Dalam Sistem Kekerabatan

Hubungan dalam sistem kekerabatan Orang Batak mengenal konsep Dalihan Na Tolu, hal ini sebenarnya dibagi dalam dua bagian yang besar yaitu hubungan internal dan hubungan eksternal. Internal yaitu pihak dongan sabutuha, sedangkan eksternal yaitu pihak boru dan hula-hula. Dalam masyarakat Batak juga dijunjung tinggi cita-cita luhur yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon


(26)

(banyak keturunan, panjang umur dan sukses) dan hasangapon (kehormatan dan martabat yang tinggi).

Dalam masyarakat Batak Toba seluruh cita-cita ini harus lengkap dicapai. Misalnya orang yang kaya raya tapi tidak memiliki keturunan terutama laki-laki belumlah dapat dikatakan berhasil dalam hidupnya. Demikian juga bagi orang yang banyak anak namun tidak memiliki harta kekayaan sedikitpun, masih juga belum dikatakan berhasil dalam hidupnya. Untuk pencapaian ketiga cita-cita ini, hubungan internal antara ketiga kelompok Dalihan Na Tolu ini harus tetap dijaga keseimbangannya yang dirumuskan dalam ungkapan yang populer pada masyarakat Batak yaitu :

‘Manat mardongan tubu’ (bersikap hati-hati, saling menjaga terhadap saudara semarga)

‘Somba marhula-hula’ (hormat kepada hula-hula) ‘Elek marboru’ (membujuk kepada pihak boru)

Sistem kekerabatan ini akan diterangkan satu persatu seperti di bawah ini :

1. Manat Mardongan Tubu

Hubungan dalam intern kelompok ini sering diungkapkan seperti ungkapan di bawah ini :

molo naeng sangap ho, manat ma ho mardongan tubu”. Artinya – jika kamu ingin terhormat, hati-hati dan cermatlah kau dalam bergaul dengan pihak keluarga semarga.

Rambu-rambu yang diungkapkan dalam “manat mardongan tubu” menuntut suatu sikap yang senantiasa cermat dan waspada dalam menelusuri kedudukan dalam hirarki pertuturan dan selanjutnya berperan pula sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada istilah kekerabatan yang digunakan.


(27)

Pentingnya saudara semarga dalam seluruh struktur kehidupan orang Batak yang diatur oleh sistem patrilineal, dinyatakan oleh Vergouwen bahwa “sejak zaman purba, lingkungan kekerabatan agnata (istilah lain untuk menyebutkan consanguini – kerabat satu keturunan darah) ditetapkan sebagai sisada sipanganon (makan bersama dalam satu piring), sisada sinamot (satu dalam kemakmuran), sisada hasangapon (satu dalam kemuliaan) dan sisada hailaon (satu dalam kenistaan)”(Vergouwen, 1986 :50).

Pentingnya kebersamaan ini tidak hanya berlaku di lingkungan kerabat agnata di tempat asal mereka. Bagi mereka yang merantau jauh ke sebrang lautan kekerabatan itu tetap dituntut, seperti tertulis dalam ungkapan berikut ini :

“tali paput, tali pangongan”

“taripar laut tinanda rupa ni dongan “

Artinya, sekalipun di seberang lautan, kita harus saling mengenal saudara. Bagi kalangan perantau, terutama yang jauh dari tempat asal, seseorang dituntut agar peka mengenal dongan sabutuhanya (saudara semarga). Rasa persaudaraan dengan teman satu marga di perantauan harus lebih kuat lagi dari pada di daerah asalnya.

2. Somba Marhula – hula

Seorang boru harus bersikap menyembah terhadap hula-hulanya. Hula – hula ditanggapi sebagai saluran berkat, mampu memantulkan kesemarakan dan kemuliaan bagi borunya. Vergouwen mengungkapkan seperti di bawah ini :

“ hula-hula adalah sumber adikodrati, daya hidup bagi masing-masing borunya. Boru memandang anggota hula-hulanya sebagai orang yang dikaruniai dengan sahala, yaitu kekuasaan istimewa yang dianggap sebagai suatu daya yang dahsyat, melebihi kekuatan terpendam biasa yang ada pada tondi (roh). Sahala ini dapat memancarkan pengaruh yang berfaedah dan menyelamatkan bagi boru, tetap dalam pada itu, kekuasaannya menciptakan rasa takut dan hikmat kepadanya. Inin berarti


(28)

boru harus menghindar dari perbuatan yang dapat merugikan atau menyinggung hula –hula, dan boru tidak pernah lalai menunjukkan rasa syukur terhadap kebaikan yang diperolehnya dari hula hulanya (Vergouwen, 1986 : 62).

Masyarakat Batak yang memandang berketurunan adalah tujuan utama menjalin tali pernikahan, maka akan sangat mengerikanlah apabila sepasang suami istri tidak memiliki keturunan, maka sangat ditekankanlah untuk menghormati pihak hula – hula agar hagabeon (memiliki banyak keturunan)dapat dicapai. Doa dari pihak hula – hula sangat diharapkan oleh borunya dan diyakini sangat berkuasa untuk mengetuk pintu hati Debata Mulajadi Na Bolon.

Berkat dari hula-hula ini bukan saja hanya dalam hal keturunan saja, tetapi mencakup pula perlindungan dari mara bahaya seperti ungkapan :

“Obuk do jambulan na nidandan bahen samara, Pasu-pasu ni hula-hula pitu sundut so ada mara”

Artinya rambut didandan menjadi busana, berkat dari hula-hula melindungi selama tujuh turunan tanpa mara bahaya.

Oleh karena anggapan-anggapan inilah maka dalam masyarakat Batak wajib untuk senantiasa menjaga nama baik dan menghormati hula-hulanya, ini biasanya dibuktikan dengan membawa makanan berupa ikan mas na ni arsik.

3. Elek Marboru

Dalam tatanan Dalihan Na Tolu yang menganut azas totalitas yakni merupakan keseimbangan mutlak antara unsur-unsurnya. Penghormatan mutlak kepada hula-hula ini juga harus diimbangi dengan kewajiban untuk menyayangi pihak boru. Seorang yang berkedudukan sebagai hula-hula jika memiliki permintaan terhadap borunya, haruslah berlaku bijaksana. Dalam arti tidak boleh memerintah atau memaksa., sebaliknya harus bersikap membujuk (mangelek), diplomatis tanpa meninggalkan bekas sakit hati bagi borunya. Ini dibuktikan


(29)

dengan ungkapan “molo naeng mamora ho, elek ma marboru”, artinya kalau kau ingin kaya, sayangilah borumu.

Kaya dalam arti kata di atas bukan hanya terhadap kebendaan, tetapi juga kaya dalam artian perasaan yang kaya karena merasa senang. Bila pihak boru yang telah memperoleh perlakuan yang lemah lembut dari hula-hulanya, maka dengan senang hati akan memberikn bantuan kepada hula-hulanya baik berupa moril maupun materil dalam keadaan suka maupun duka.

2.6. Konsep Perkawinan Dalam Masyarakat Batak Toba

Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba tidak dapat dipisahkan dari berlakunya dasar adat yaitu Dalihan Na Tolu. Konsep ini mementukan segalanya termasuk tutur (partuturan). Dalam Dalihan Na Tolu dikenal tiga komponen utama yakni :

1. Dongan tubu : Mereka adalah saudara laki-laki dari seorang laki-laki pula yang memiliki atau yang melaksanakan adat

2. Boru : Pihak yang mengawini anak perempuan sebuah keluarga 3. Hula-hula : Mereka adalah pihak yang memberikan anak gadisnya dikawini oleh keluarga lain.

Perkawinan dalam masyarakat Batak dipandang suatu alat untuk mempersatukan dua buah keluarga atau dua buah marga yang berbeda. Demikian juga dengan pemberian mahar (tuhor) yang dipandang sebagai suatu alat magis yang tidak dapat dipisahkan dari animisme Batal pada awalnya. Pemberian mahar ini adalah merupakan alat magis yang bertujuan untuk melepaskan ikatan seseorang gadis dari klan ayahnya untuk bergabung dengan klan suaminya dengan maksud agar tidak terjadi gangguan dalam kesinambungan kosmos.


(30)

Sebelumnya telah disebutkan diatas bahwa perkawinan dalam pandangan Batak Toba menentukan partuturan, namun bukan itu saja. Perkawinan juga turut menentukan posisi seseorang dalam pelaksanaan pesta adat. Ada kalanya pada suatu waktu seseorang itu berkedudukan sebagai dongan tubu, boru atau hula-hula. Dalam kedudukan sebagai boru ini, menuntut seseorang untuk berperan aktif bekerja dalam pelaksanaan seluruh kegiatan dalam pesta. Tapi pada kesempatan lain, dapat saja ia berkedudukan sebagai hula-hula, posisi sebagai hula-hula ini berarti ia mendapat kedudukan terhormat dalam pesta tersebut yang mengharuskannya mendapatkan pelayanan.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang diteliti dan berusaha untuk memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang diteliti dan menjadi pokok permasalahan. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dan apa yang diamati (Nawawi, 1994;203).

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini adalah di Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, yang merupakan tempat peneliti berdomisili. Ini tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya penelitian pada kecamatan lain yang memungkinkan penulis mendapatkan data yang akurat.

3.3. Unit Analisis dan Informan

Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah perkawinan yng dilakukan tanpa adat. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui potensi konflik apa saja yang terjadi dalam perkawinan tanpa adat. Data-data diperoleh dari orang-orang yang terlibat seperti keluarga yang menikah tanpa melakukan prosesi adat, tetua adat, dan tokoh masyarakat. Orang yang dijadikan sumber data ini disebut informan dan dikategorikan menjadi dua :


(32)

1. Informan kunci (key informan) dari penelitian ini adalah pasangan keluarga yang melakukan perkawinan tanpa prosesi adat,tokoh adat dan tokoh agama, hal ini ditujukan untuk mendapatkan data yang akurat dan mendetail.

2. Informan biasa dari penelitian ini adalah masyarakat kecamatan Sumbul dengan kriteria sebagai berikut :

1. Laki-laki atau perempuan yang sudah menikah, karena laki-laki atau perempuan yang sudah menikah yang baru menjalankan adat secara wajib aktif dalam setiap kegiatan prosesi adat

2. Aktif dalam setiap prosesi adat yang ada

3. Terdaftar sebagai warga masyarakat kecamatan Sumbul

Berbagai informan tersebut, baik informan kunci maupun informan biasa dianggap mengetahui tentang masalah yang dikaji dalam penelitianini dan dapat memberikan sumber data yang dibutuhkan peneliti.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi. Mengumpulkan data dapat juga dilakukan dengan wawancara. Untuk memperoleh data melalui wawancara, perlu persiapan yang matang, karena mungkin akan menghadapi kesulitan dalam mengeksplorasi jawaban – jawaban yang diharapkan dari informan.

Selain melakukan wawancara, peneliti juga akan melakukan observasi non – partisipan untuk mengamati kehidupan keluarga yang menikah tanpa adat. Apakah sebenarnya yang ingin diamati? Peneliti hendak melakukan pengamatan tentang bagaimana pasangan keluarga yang menikah tanpa adat tersebut menjalani


(33)

kehidupan kekerabatan berdasarkan adat yang berlaku dalam keluarga dan lingkungan masyarakat.

3.5.Interpretasi Data

Secara umum, data terbagi atas data primer dan data sekunder.

a. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan penelitian seperti dari wawancara dengan obyek penelitian

b. Data sekunder, adalah data yang diperoleh tidak langsung dari lapangan, misalnya dari literatur kepustakaan, majalah, koran atau sumber lainnya. Boglan dan Biklei menjelaskan bahwa analisis data adalah upaya yang dilakukan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah–milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, mencari apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang diceritakan pada orang lain.

( Moleong, Lexi. 2005:248).

Data–data yang diperoleh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan kedalam kategori, pola, atau uraian tertentu. Disini peneliti akan mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan sebagainya yang selanjutnya akan dipelajari dan ditelaah secara seksama.

Bagian akhir dari analisis data adalah upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan (conclusion drawing and verifying).


(34)

3.6. Jadwal Kegiatan

Tabel 1.1

Jadwal Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Bulan ke

1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6 7

Pengurusan izin penelitian Persiapan instrument penelitian Pengumpulan data

Pengorganisasian data Interpretasi data Pengetikan Penyuntingan

x x

x x x

x x x


(35)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah Kecamatan Sumbul

Pada masa penjajahan Belanda , Dairi menjadi satu Onderafdeling yang dipimpin oleh Contraleur berkebangsaan Belanda dan seorang Demang berkebangsaan Indonesia, kedua pejabat tersebut dinamai ” CONTRALEUR DER DAIRI LANDEN dan DEMANG DER DAIRI LANDEN” dan wilayahnya adalah sebagian dari wilayah pemerintahan Assisten Residence Batak Landen yang berkedudukan di Tarutung.

Onder Afdeling Dairi Landen dibagi menjadi 3 Onder Distrik dan Onder Distrik dibagi menjadi beberapa Kenegerian yang dipimpin oleh seorang Raja Ihutan atau Kepala Negara dan dibantu oleh beberapa orang raja Pandua. Salah satu Onder Distrik Van Pakpak yang ibukotanya adalah Sidikalang dibagi atas 7 kenegerian, yaitu:

1. Kenegerian Sitelu Nempu

2. Kenegerian Silima Punggapungga 3. Kenegerian Pegagan Julu

4. Kenegerian Parbuluan 5. Kenegerian Siempat Nempu 6. Kenegerian Siempat Nempu Hulu 7. Kenegerian Silalahi Paropo


(36)

Demikian juga halnya pada pemerintahan Jepang, pemerintahan di Dairi pada umumnya tidak mengalami perubahan, hanya ada pergantian istilah nama jabatan dengan penggunaan bahasa Jepang.

Sejak masa Pemerintahan Proklamasi RI, Pemerintahan di Dairi telah mengalami perubahan, pertamakali dengan terbentuknya Komite Nasional Daerah terutama dalam usaha memperkokoh pertahanan untuk menghadapi Agresi 1, oleh Residen Tapanuli membagi Dairi menjadi 3 Kewedanan dan Kewedanan dibagi atas 2 Kecamatan dan salah satu diantaranya adalah Kewedanan Sidikalang yang meliputi Kecamatan Sumbul dan Kecamatan Sidikalang, yang pada waktu itu Kecamatan Sumbul dipimpin oleh Mangaraja Lumbantobing.

Pada masa Agresi II oleh karena keadaan semakin gawat maka untuk mencapai efektifitas dan efesiensi kerja, Pemerintahan di Kabupaten Dairi dibagi menjadi 12 Kecamatan , diantaranya Kecamatan Sumbul yang dipimpin oleh Asisten Wedana bernama Kristian Lingga dan Kecamatan Silalahi Paropo dipimpin oleh Asisten Wedana B. Simanjorang.

Pada akhir Agresi Belanda Tahun 1949 Pemerintahan di Dairi kembali mengalami perubahan dimana Kecamatan yang sudah ada diciutkan menjadi 8 Kecamatan dan salah satu diantaranya adalah Kecamatan Sumbul yang dipimpin oleh Asisten Wedana Bona Atius Simangunsong. Keadaan tersebut berlangsung sampai saat ini, sampai pada kepemimpinana Camat Ramlan Sitohang.

4.1.2 Letak Geografis dan Batas Wilayah

Jarak tempuh dari Kantor Camat Sumbul ke Ibukota Kabupaten adalah 14 KM sedangkan ke Ibukota Propinsi berjarak 140 KM. Keadaan alam Kecamatan Sumbul, pada umumnya bergelombang dan berbukit dengan


(37)

ketinggian bervariasi antara 800 – 1200 dpl. Curah hujan rata – rata 3.000 mm/tahun dengan temperatur pada umumnya dingin dengan suhu rata – rata 22˚C -29˚C.

Kecamatan Sumbul memiliki luas wilayah 12.468,25 ha dengan batas – batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Silalahi Sabungan • Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Parbuluhan • Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Sitinjo

• Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Pegagan Hilir

4.1.3. Gambaran Penduduk dan Pendidikan

Gambaran penduduk Kecamatan Sumbul pada tahun 2008 sekitar 40.467 jiwa yang terdiri dari 19828 jiwa laki –laki dan 20639 jiwa perempuan. Rasio jenis kelamin Kecamatan Sumbul tahun 2008 sebesar 99,93 ini berarti bahwa jumlah penduduk perempuan Kecamatan sumbul lebih banyak dari pada jumlah penduduk laki- laki. Disamping itu, gambaran jumlah penduduk Kecamatan Sumbul adalah sebagai berikut :


(38)

Tabel 1

Jumlah Penduduk Menurut Desa/ Kelurahan Tahun 2008 No Desa/ Kelurahan Jumlah Penduduk (jiwa) 1 Kelurahan Pegagan Julu I 5694

2 Kelurahan Pegagan Julu II 2468 3 Kelurahan Pegagan Julu III 1754 4 Kelurahan Pegagan Julu IV 1825 5 Kelurahan Pegagan julu V 2314 6 Kelurahan Pegagan Julu VI 2105 7 Kelurahan Pegagan Julu VII 3144 8 Kelurahan Pegagan Julu VIII 1234 9 Kelurahan Pegagan Julu IX 2340 10 Kelurahan Pegagan Julu X 1908 11 Desa Tanjung Beringin 4683 12 Desa Dolok Tolong 1667

13 Desa Huta Gugung 1758

14 Desa Panggambiran 1918

15 Desa Perjuangan 1923

16 Desa pangguruan 1861

17 Desa Sileu-leu Parsaoran 1771

Total 40467

Sumber : Kantor Kecamatan Sumbul, 2008

Pada tabel 1 diatas jumlah penduduk menurut desa/ kelurahan Kecamatan Sumbul berjumlah 40.467 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak di Kelurahan Pegagan Julu I sekitar 5694 jiwa sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat pada Kelurahan Pegagan Julu IX sekitar 1234 jiwa.

Sehubungan dengan data diatas untuk lebih spesifiknya lagi data mengenai jumlah penduduk menurut kelompok usia berdasarkan tahun 2008 adalah sebagai berikut :


(39)

Tabel. 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia

Kelompok Usia (Tahun) Jumlah Persentase (%) 0 – 15

> 15 - 24 > 24 - 80 > 80

15490,76 orang 8093,4 orang 14887,06 orang 2003,11 orang

38,28 20 36,77 4,95 Total 40.467 orang

100

Sumber : Kantor Kecamatan Sumbul, 2008

Dari sisi pendidikan, pada tahun 2007/2008 Sumber Daya Manusia di tingkat Sekolah Dasar (SD) berjumlah 6733 siswa dan jumlah sekolah sebanyak 36 unit, dengan jumlah guru sebanyak 306 orang. Pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) jumlah siswa yang menuntut ilmu sebanyak 2824 siswa dan jumlah sekolah sebanyak 10 unit (6 unit merupakan sekolah swasta), dengan jumlah tenaga guru sebanyak 174 orang. Pada tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) sebanyak 4 unit (3 unit sekolah swasta), jumlah tenaga guru sebanyak 105 orang. Untuk tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tercatat sebanyak 2 unit.

Sementara itu, gambaran sektor pendidika Kecamatan Sumbul menurut desa/ kelurahan dapat dilihat pada tabel di bawah ini yaitu sebagai berikut :


(40)

Tabel 3

Jumlah sekolah berdasarkan desa/ kelurahan dan jenjang sekolah 2008

No Desa/ Kelurahan SD SLTP SMU SMK

N S N S N S N S

1 Kelurahan Pegagan Julu I 5 1 2 1 1 1 1 - 2 Kelurahan Pegagan Julu II 2 - - - - 3 Kelurahan Pegagan Julu III 2 - - - - 4 Kelurahan Pegagan Julu IV 2 - - - - 5 Kelurahan Pegagan julu V 1 1 - 1 - 1 - - 6 Kelurahan Pegagan Julu VI 2 - - - - 7 Kelurahan Pegagan Julu VII 4 - - 1 - 1 - - 8 Kelurahan Pegagan Julu VIII 1 - - - - 9 Kelurahan Pegagan Julu IX 2 - 1 - - - - - 10 Kelurahan Pegagan Julu X 2 - - - - 11 Desa Tanjung Beringin 5 - 1 1 - 1 - 1

12 Desa Dolok Tolong 1 - - - -

13 Desa Huta Gugung 1 - - - -

14 Desa Panggambiran 1 - - 1 - - - -

15 Desa Perjuangan 2 - - - -

16 Desa pangguruan 1 1 - 1 - - - -

17 Desa Sileu-leu Parsaoran 2 - - - - Tota

l

36 3 4 6 1 3 1 1

Sumber : Kantor Kecamatan Sumbul, 2008

Berdasarkan tabel diatas, jumlah sekolah menurut desa/ kelurahan Kecamatan Sumbul tahun 2008 terdapat pada desa Tanjung Beringin dengan jumlah sekolah terbanyak sekitar 9 unit sekolah.


(41)

4.1.4. Gambaran Penduduk Berdasarkan Suku dan Agama

Penduduk Kecamatan Sumbul berdasarkan suku sebenarnya bisa dikatakan masih taraf homogen karena didominasi oleh suku Batak, hampir seluruh wilayah dari kecamatan ini dihuni oleh suku Batak. Tetapi suku Batak itu sendiri terbagi atas Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak Nias. Suku Batak Toba merupakan suku yang terbanyak yang tinggal di wilayah Kecamatan Sumbul, hampir 80% penduduk Kecamatan Sumbul merupakan suku Batak Toba. Hal ini dapat dilihat dari marga – marga yang berada dalam tatanan pemerintahannya maupun tata cara adat – istiadatnya yang memegang penuh tradisi adat baik dalam acara perkawinan ataupun upacara adat yang lainnya.

Bila ditinjau dari segi agama, Kecamatan Sumbul merupakan wilayah yang bebas untuk berkeyakinan, tetapi samapai saat ini, agama yang lebih mendominasi adalah agama Kristen Ptotestan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya bangunan – bangunan gereja yang berdiri di sekitar wilayah Kecamatan Sumbul. Kecamatan Sumbul dihuni oleh agama Kristen Protestan, Kristen Katholik dan juga Islam. Dan dalam kenyataan yang ada agama Islam merupakan agama yang memiliki umat yang sedikit di wilayah ini. mayoritas penduduk Kecamatan Sumbul beragama Kristen Protestan yakni sebesar 88,21%, kemudian penduduk yang beragama Kristen Katholik sebesar 10,23%, sedangkan yang beragama Islam 4,49%. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi penduduk beragama Kristen. Disamping itu, gambaran jumlah penduduk menurut desa/ kelurahan berdasarkan agama yang dianut menurut Kecamatan Sumbul adalah sebagai berikut :


(42)

Tabel 4

Jumlah Penduduk Menurut Desa/ Kelurahan dan Agama yang dianut 2008

No Desa/ Kelurahan islam Katoli k

Protes tan

Hindu Budh a

jumla h

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Kelurahan Pegagan Julu I 17 206 1.013 - - 1236 2 Kelurahan Pegagan Julu II 11 65 449 - - 525 3 Kelurahan Pegagan Julu III 48 131 208 - - 387 4 Kelurahan Pegagan Julu IV 11 131 289 - - 431 5 Kelurahan Pegagan julu V 9 93 351 - - 453 6 Kelurahan Pegagan Julu VI 6 96 426 - - 528 7 Kelurahan Pegagan Julu VII 34 96 497 - - 627 8 Kelurahan Pegagan Julu VIII 94 57 112 - - 263 9 Kelurahan Pegagan Julu IX 91 58 332 - - 481 10 Kelurahan Pegagan Julu X 50 59 226 - - 335 11 Desa Tanjung Beringin 49 257 796 - - 1102

12 Desa Dolok Tolong 26 115 223 - - 364

13 Desa Huta Gugung - 60 360 - - 420

14 Desa Panggambiran - 60 345 - - 405

15 Desa Perjuangan 20 74 321 - - 415

16 Desa pangguruan - 128 187 - - 315

17 Desa Sileu-leu Parsaoran 10 128 187 - - 325

Total 476 1814 6322 - - 8612

Sumber : Kantor Kecamatan Sumbul, 2008

Pada tabel di atas, jumlah penduduk Kecamatan Sumbul tahun 2008 sebanyak 8612/kk atau sekitar 40.467 jiwa terdiri dari agama Kristen Protestan, Kristen Katolik dan Islam. Gambaran di atas menunjukkan bahwa umat agama yang terbesar adalah Kristen .


(43)

Jumlah Rumah Ibadah Menurut desa / kelurahan dan jenis rumah ibadah tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 5

Jumlah Rumah Ibadah menurut Desa/Kelurahan dan Jenis Rumah Ibadah Tahun 2008

No Desa/ Kelurahan Mesjid

Gereja

Jumlah Katolik Protestan

1 Kelurahan Pegagan Julu I 1 2 7 10

2 Kelurahan Pegagan Julu II - 1 4 5

3 Kelurahan Pegagan Julu III 1 2 5 8

4 Kelurahan Pegagan Julu IV 1 1 6 8

5 Kelurahan Pegagan julu V - 3 9 12

6 Kelurahan Pegagan Julu VI - 2 12 14

7 Kelurahan Pegagan Julu VII 1 3 15 19

8 Kelurahan Pegagan Julu VIII 1 1 3 5

9 Kelurahan Pegagan Julu IX 2 2 10 14

10 Kelurahan Pegagan Julu X 1 1 5 7

11 Desa Tanjung Beringin 1 4 14 19

12 Desa Dolok Tolong 1 1 5 7

13 Desa Huta Gugung - 1 3 4

14 Desa Panggambiran - 1 9 10

15 Desa Perjuangan - 2 11 13

16 Desa pangguruan 1 2 8 11

17 Desa Sileu-leu Parsaoran - 1 9 10

Total 11 30 135 176

Sumber : Kantor Kecamatan Sumbul, 2008

Berdasarkan dari tabel di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Rumah Ibadah Umat Kristen yang lebih mendominasi yakni Kristen Protestan Sebanyak 135 Rumah Ibadah yang berdiri di wilayah Kecamatan Sumbul.


(44)

4.2 Profil Informan

4.2.1. Informan Kunci (Key Informan)

Dalam penelitian ini terdapat beberapa informan kunci yang mengetahui banyak hal mengenai permasalahan yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini. Para informan ini mempunyai keterlibatan langsung didalam tradisi adat Batak dan dalam kehidupan religi mereka. Para informan kunci yang dimaksud adalah: A. Informan yang Menikah Tanpa Adat

1. Keluarga Bapak Sahat Sitorus/Ibu Erna Sagala

Bapak Sahat Sitorus (35 tahun) serta ibu Erna Sagala (30 tahun), keluarga ini menganut agama Kristen Protestan. Pasangan ini menikah pada tahun 2002 dan telah memiliki 3 anak. Bapak Sitorus bekerja sebagai petani, sementara ibu Sagala adalah seorang guru SD. Keluarga ini sudah tinggal di Desa Tanjung Beringin sejak lama, bahkan bapak Sitorus dilahirkan di Desa tersebut.

Menurut bapak Sitorus, perkawinan adalah satu ikatan yang menyatukan dua hati manusia dalam ikatan yang suci, yang tidak bisa dipisah oleh hal-hal duniawi dan yang memiliki tujuan yang sama, dan dalam tujuan itu ada janji untuk selalu bersama. Menurut pandangannya perkawinan bukan suatu hal yang bisa dipermainkan seperti selayaknya permainan, perkawinan sangatlah suci adanya karena diresmikan di Gereja dan disaksikan langsung oleh Tuhan dan para jemaat gereja serta keluarga.

Tumbuh dalam darah Batak yang sangat kental dan dibesarkan dalam lingkungan adat Batak yang kuat tidak membuat Bapak Sitorus paham penuh tentang adat Batak yang sesungguhnya. Beliau sangat paham dalam perkawinan orang Batak akan sangat lebih baik bila perkawinan itu dilaksanakan dalam ritual


(45)

adat yang umumnya yakni perkawinan dengan prosesi adat yang berlaku di lingkungan Batak juga lingkungan tempat tinggalnya. Namun seperti telah disebut beliau sebelumnya bahwa perkawinan merupakan ikatan suci yang tidak bisa dipisah oleh hal-hal duniawi sehingga perkawinan itu tetap akan pada maknanya walaupun tanpa prosesi adat, karena menurut beliau adat itu adalah hal yang sangat duniawi. Bapak sitorus menjelaskan bahwa beliau tidak mempertentangkan adat dan juga tidak sepenuhnya mengakui keberpihakannya terhadap adat tetapi lebih kepada menetralisir adat dalam kehidupan rumahtangganya.

Alasan yang membuat beliau menikah tanpa adat lebih cenderung kepada alasan keuangan yang tidak mencukupi dan keadaan yang tidak mendukungnya untuk melakukan perkawinan dengan prosesi adat. Beliau berpendapat bila perkawinan itu dilaksanakan dengan adat maka kemungkinan yang terjadi adalah kehidupan rumahtangganya sampai beberapa tahun kedepan akan dikelilingi dengan yang namanya “utang”. Pendapat beliau mengatakan bahwa adat Batak khususnya adat parkawinan menelan biaya yang sangat tinggi, bisa hingga berpuluh juta dan beliau tidak mampu untuk mengambil resiko tersebut. Kedua belah pihak keluarga sebenarnya tidak setuju dengan keputusan pernikahan tanpa adat tersebut, banyak kendala yang harus dihadapi oleh beliau terutama dari keluarga istri karena dalam lingkungan Batak bila perkawinan itu dilaksanakan tanpa prosesi adat maka dianggap mengabaikan yang namanya hula-hula (dang di pasangap hula- hula na). banyak pertentangan yang terjadi manakala perkawinan itu dilaksanakan tanpa adat tetapi karena adanya yang namanya musyawarah keluarga maka keputusan itu pun disetujui berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak keluarga.


(46)

Beliau menjelaskan, bahwa setelah pernikahannya semua berjalan dengan baik terutama dalam keluarganya. Hubungan kekeluargaan menurut beliau normal saja. Beliau menjelaskan belum ada kendala yang sangat rumit yang dihadapinya setelah menikah, tetapi beliau juga berpendapat bahwa kemungkinan untuk mendapatkan kendala itupun pasti ada tetapi kabur keberadaannya.

Beliau berpendapat bahwa pernikahan yang dilakukan dengan adat adalah sebuah pernikahan yang melibatkan tradisi budaya Batak Toba, yakni pernikahan dengan prosesi adat. Dimana, prosesi adat itu harus melewati beberapa tahap termasuk yang disebut dengan Martandang, Manjalo Tanda, Marhusip, Marhata Sinamot, Paulak Une dan lain sebagainya dan tidak bisa dipungkiri pernikahan dengan adat akan banyak sekali mengeluarkan materi, sementara pernikahan tanpa adat lebih kepada pernikahan yang sederhana, yang tidak membutuhkan materi yang berlebihan dan yang paling utama, pernikahan ini lebih kepada pernikahan yang sah secara agama. Pernikahan tanpa adat ini lebih mengutamakan kesakralan secara rohani gerejawi dan tidak bertele-tele adanya.

Dalam lingkungan kehidupan sehari-hari yang dijalani beliau, semua sangat wajar kondisinya. Tidak ada masalah dalam kehidupan sosialisasinya. Semua berjalan dengan baik. Hanya saja para tetangga selalu mengusulkan bila sudah memiliki rejeki agar segera menggelar acara adat perkawinannya, dengan alasan supaya lebih nyaman dan lebih kepada menghargai keluarga pihak istri saja.

2. Bapak D. Aritonang/ Ibu L. Simamora

Bapak D. Aritonang adalah seorang petani dengan umur mencapai 45 tahun, beliau menikah dengan ibu L. Simamora (42 tahun) yang memiliki


(47)

pekerjaan sebagai pedagang. Keluarga bapak Aritonang sudah menikah selama 20 tahun lamanya dan telah dikaruniai 4 orang anak. Perkawinan yang dilakukan oleh Bapak Aritonang ini adalah perkawinan tanpa adat disebabkan oleh keluarga dari pihak Ibu Simamora tidak merestui pernikahan mereka. Bapak Aritonang berpendapat perkawinan itu adalah perkawinan yang memiliki nilai yang sangat sakral keberadaannya, sebuah pernikahan tidak dapat dinilai dengan seberapa besar adat yang dijalankan khususnya dalam tradisi Batak tetapi sejauh mana sebuah keluarga memepertanggungjawabkan perkawinan yang dijalaninya.

Bapak Aritonang berpendapat bahwa beliau adalah putra asli Batak Toba, demikian juga halnya dengan Ibu Simamora. Mereka sangat paham dengan adat Batak. Dalam adat Batak banyak hal yang perlu dipertimbangkan terutama dalam hal adat perkawinan, ada unsur dalihan na tolu yang dilibatkan dan banyak hal lainnya. Sebagai seorang Batak , Bapak Aritonang tidak memungkiri betapa beliau bangga menjadi orang Batak yang sesungguhnya dan beliau mengakui bahwa ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi tradisi Batak dan hal ini terbukti dari kenyataan bahwa orangtua dari Bapak Aritonang merupakan salah satu “Raja Adat” yang lumayan dikenal terutama di lingkungan desanya.

Bapak Aritonang memiliki alasan melakukan pernikahan tanpa prosesi adat, disamping tidak dapat restu dari pihak istri juga faktor ekonomi yang tidak memadai. Bapak aritonang mempercayai dalam posisi perkawinan adat Batak membutuhkan biaya yang sangat besar disamping itu prosesi perkawinan adat Batak membutuhkan waktu yang cukup lama.


(48)

Tanggapan keluarga Besar Bapak Aritonang terhadap perkawinan yang dilakukannya tanpa prosesi adat menimbulkan berbagai spekulasi antara menyetujui dan tidak,kendala inilah yang dihadapi saat ini,terutama terhadap keluarga istri Bapak Aritonang sebagai pihak hula-hula yang seharusnya dalam unsur dalihan na tolu,pihak hula-hula yang paling dihormati (somba marhula-hula). Pada dasarnya yang menjadi kendala paling utama dalam kehidupan rumahtangga adalah kurangnya keharmonisan atau kekompakan antara keduabelah pihak keluarga dan tidak adanya komunikasi yang baik antara keluarga karena tidak adanya campurtangan prosesi adat dalam pernikahan sebelumnya.

Pernikahan yang dilakukan dengan adat diakui lebih kepada tujuan mempererat hubungan kekeluargaan dalam cinta kasih dan kepedulian antara orangtua , saudara dan masyarakat sekitarnya terhadap anak yang dicintainya, hal ini dapat dilihat dari simbol pemberian “ulos” pada saat pesta adat. Sementara pernikahan tanpa adat lebih kepada pemberkatan gereja semata, lebih kepada ijin berkat secara agama dan sedikit mengesampingkan proses adat yang berlaku baik dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga. Dalam siklus rumahtangga yang dijalani sehari-hari, Bapak Aritonang berpendapat tidak ada kendala maupun perbedaan yang mencolok yang dirasakan oleh keluarganya, hanya saja keakraban antara keluarga memang beda bila dibandingkan dengan keluarga – keluarga yang menjalani prosesi adat pada saat pernikahannya.

3. Bapak P. Nainggolan/ Ibu D. Sianturi

Bapak Nainggolan (31 tahun) adalah seorang guru di salah satu SMU swasta di Kecamatan Sumbul, dan istrinya Ibu Sianturi (28 tahun) adalah seorang


(49)

penjahit pakaian, keluarga ini baru menikah 2 tahun yang lalu dan telah dikarunia 1 anak perempuan yang berumur 1 tahun. Bapak Nainggolan adalah seorang kharismatik yang memang pada kenyataannya tidak memasukkan adat dalam kehidupannya, atau lebih tepatnya tidak mengakui keberadaan adat dalam kehidupannya. Tetapi orangtua dari Bapak Nainggolan bukanlah penganut paham ajaran kharismatik, beliau mengikuti ajaran ini sejak beliau kuliah yang pada akhirnya dipilihnya sebagai kenyakinannya.

Perkawinan adalah ikatan suci antara pria dan wanita untuk menjalani kehidupan bersama di dalam suka dan duka, di dalam sakit dan sehat dan dalam keadaan kaya ataupun miskin dan disaksikan oleh pengikut kristus.’ Demikian tanggapan Bapak Nainggolan ketika dimintai keterangan tentang arti perkawinan oleh penulis. Beliau mengakui bahwa dia adalah orang Batak dan bahkan mengaku cukup mengerti tentang adat Batak. Menurut beliau orangtuanya adalah sosok orang tua yang cukup menjunjung tinggi adat, dan diakui bahwa beliau dibesarkan dalam tradisi batak yang cukup kuat. Oleh karena itu juga Bapak Nainggolan memiliki alasan untuk menentang segala tradisi yang ada itu dengan berpindah kenyakinan sebagai Kristen Kharismatik, maka ketika beliau menikah , beliau tidak memasukkan unsur adat dalam proses pernikahannya , hanya fokus pada acara pemberkatan gereja saja.

Langkah yang diambil oleh Bapak Nainggolan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya ketidak setujuan pihak istrinya dan terutama keluarganya sendiri. Rencana pernikahan itu ditentang habis-habisan oleh kedua belah pihak keluarga, tetapi berdasarkan pendekatan yang mereka lakukan dan memang memakan waktu yang cukup lama, pada akhirnya disetujui walaupun pada dasarnya sangat bertentangan dengan keluarga. Pihak dari istri Bapak Nainggolan


(50)

sebenarnya sangat berharap agar pernikahannya dilakukan dengan jalan mangadati atau diberlakukannya prosesi adat di dalamnya, sehingga pernikahan Bapak Nainggolan sempat tidak disetujui oleh pihak keluarga istri beliau, namun berdasarkan penjelasan beliau tentang keyakinan yang dianutnya dan juga oleh penjelasan yang cukup baik yang disampaikan oleh beliau, pada akhirnya perkawinan itu pun disetujui.

Hingga saat ini berdasarkan penjelasan beliau hubungan kekerabatan antara beliau dengan keluarga biasa – biasa saja, pertentangan pandangan pasti ada antara beliau dengan keluarga tetapi tidak sampai pada konflik yang berkepanjangan. Pertentangan pandangan itu akan terjadi antara keluarga beliau pada saat menghadiri pesta adat yang ada pada keluarga maupun lingkungan, bila seharusnya secara adat mengharuskan beliau untuk “Mangulosi” atau memberikan ulos pada pihak yang mengadakan pesta, beliau tidak akan memberikannya tetapi menggantikannya dengan sumbangan yang dianggapnya pantas untuk diberikan sehingga hal ini akan diperbincangkan diantara lingkungan keluarga. Hal ini merupakan suatu kendala yang dihadapi oleh beliau dalam proses menjalani rumahtangganya.

Pernikahan yang dilakukan dengan adat memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan pernikahan tanpa adat, dimana pernikahan adat membawa unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat Batak yakni unsur Dalihan Na Tolu dan juga berbagi proses adat seperti mangulosi (memberikan ulos), marbagi jambar (pembagian jambar)dan masih banyak tahap lain yang harus dijalani. Sedangkan pernikahan tanpa adat cukup hanya mengandalkan acara pemberkatan gereja maka pernikahan telah sah adanya. Dalam kehidupan


(51)

bersosialisasi dengan masyarakat, menurut pengakuan Bapak Nainggolan semuanya berjalan dengan baik. Masyarakat sekitar lingkungannya bisa menerima kenyakinan yang dianutnya, masyarakat memahami alasan beliau untuk tidak andil dalam “paradatan” orang Batak. Perbedaan antara keluarga yang melakukan pernikahan dengan acara adat dengan yang tidak, tentunya ada tetapi tidak terlalu mencolok terasa.

B. Tokoh Adat

1. Sabar Siahaan

Beliau adalah seorang raja adat yang sudah dikenal oleh masyarakat sekitarnya. Beliau lebih dikenal dengan istilah “raja parhata”. Beliau dipercayakan masyarakat menjadi “raja parhata” semenjak beliau aktif dalam berbagai arisan marga – marga di lingkungan tempat tinggalnya, hingga pada akhirnya dikenal oleh masyarakat. Beliau sudah menjadi “raja parhata” semenjak tahun 1993, dan kemampuannya ini tidak bisa dipungkiri berasal dari ayah beliau yang semasa hidupnya dipercayakan masyarakat menjadi “raja parhata”juga.Adat Batak merupakan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba,adat Batak Toba bukanlah penyembahan berhala,adat Batak merupakan kesatuan,kesetiaan dan kasih dalam keluarga. Perceraian,penyelewengan dan poligami sangat ditabukan dalam adat Batak. Orang Batak selalu menekankan tarombo atau silsila dalam bermasyarakat dengan sesama sukunya,maksudnya adalah silsilah dalam adat Batak dipakai untuk mengajarkan hasil kesatuan,saling menghormati,mengasihi dan tolong menolong,melalui tarombo ini mereka disadarkan bahwa mereka bersaudara dan saling terkait dalam kekerabatan keluarga. Kesadaran bahwa mereka bersaudara


(52)

akan mendorong mereka untuk saling mengasihi dan menghormati serta tolong menolong.

Beliau menjelaskan tidak ada pertentangan antara adat Batak dengan ajaran agama, adat Batak dalam beberapa hal justru memiliki tujuan yang sama dengan ajaran agama. Beliau menekankan supaya adat Batak itu jangan dipandang sebagai “penyembahan berhala” tetapi lebih kepada cinta kasih sebagai dasar hubungan antara masyarakat Batak, selayaknya ajaran agama yang berlandaskan “kasih”. Ajaran agama Kristen memiliki hubungan dengan adat Batak, terutama dalam acara pernikahan orang Batak. Dasar hubungan pernikahan mereka harus saling mengasihi yang dibina secara adat Batak, yang kemudian Pengetua Adat membawa mempelai kepada Pendeta untuk didoakan agar tetap langgeng, setelah diberkati, Pengetua Adat memberikan nasihat agar pernikahan selalu dipertahankan tidak boleh bercerai selama nafas masih dikandung badan. Pada akhirnya seluruh rangkaian acara adat kembali diserahkan kepada Pendeta untuk ditutup dengan doa berkat, mengucapkan syukur kepada Tuhan.

Lebih lanjut lagi beliau menjelaskan, fungsi adat Batak dalam keberlangsungan hidup orang Batak sangat berperan aktif dalam kehidupan sehari –hari terutama dalam membimbing orang kepada sikap yang lebih bijaksana, sopan dan bersekutu dengan baik, menghambat orang supaya tidak melakukan kejahatan. Walaupun pada kenyataannya sudah banyak masyarakat Batak yang menikah tanpa prosesi adat dengan berbagai macam alasan, beliau menyesalkan orang – orang Batak yang menjadikan alasan pernikahan adat Batak itu bertentangan dengan ajaran agama Kristen. Beliau mengajak masyarakat Batak lebih membuka hati dan pikirannya terhadap pandangan yang salah itu, bahkan


(53)

beliau menjelaskan orang Batak lebih memilih menikah tanpa prosesi adat sebenarnya kebanyakan karena banyaknya kasus kehamilan di luar nikah atau istilah MBA (married by accidient) sehingga pernikahan itu dilakukan dengan terburu – buru dan lebih tertutup agar tidak diketahui khalayak ramai.

Pada saat Bapak Siahaan ditanya oleh penulis tentang ada tidaknya konflik dalam proses pelaksanaan adat Batak, beliau menjelaskan sebagai berikut

Dalam suatu pekerjaan, pasti ada yang namanya perencanaan terlebih dahulu dan dalam proses perencanaan itu pasti ada berbagai kesepakatan yang harus dirundingkan yang pada akhirnya ada pembahasan yang pastinya melahirkan ide –ide yang bertentangan satu sama lain , biasanya hal ini akan menimbulkan pertentangan dan membuat situasi agak memanas. Dalam proses menjalankan adat Batak juga demikian halnya, pasti ada yang namanya pertentangan – pertentangan dalam proses adat”.

Pendekatan yang dilakukan beliau terhadap keluarga – keluarga yang melakukan pernikahan tanpa adat hanya nasehat dan menjelaskan bagaimana adat itu berfungsi dalam kehidupan Batak itu sendiri, dan lebih kepada contoh – contoh yang bisa langsung dapat dilihat oleh pelaku dalam prilaku kehidupan masyarakat yang menjalankan adat dengan yang tidak. Kendala langsung yang dihadapi keluarga yang menikah tanpa adat tidak bisa dipastikan, tetapi lebih kepada ketika keluarga ini menghadapi masalah oknum adat tidak bisa langsung membantu, hanya lebih kepada penonton.

2. Martogi Simanjorang

Beliau adalah seorang Pegawai negeri yang bekerja di kantor Camat sumbul, beliau tinggal di Desa Tanjung Beringin dan di desa ini beliau memulai karir sebagai “raja Parhata” yang pada akhirnya melekat sebutan sebagai “raja adat” pada dirinya. Beliau adalah seorang Kristen, dan mempunyai pandangan tersendiri terhadap adat Batak dan hubungannya dengan ajaran agama . Beliau


(54)

berpendapat agama Kristen dan Adat batak berlaku untuk dua hal yang berbeda. Adat Batak berlaku untuk kehidupan di dunia, sedangkan ajaran Kristen adalah adat surgawi. Tetapi fungsinya cenderung sama, Yakni lebih kepada dasar cinta kasih dan saling menghormati. Kedua hal ini saling melengkapi satu sama lain, dalam segi sifat Adat Batak Toba dan agama Kristen memiliki sifat khas yang sama yakni “Takut akan Tuhan”. Sifat ini yang mendorong orang Batak dan Kristen untuk memelihara kesucian rumah ibadat dan memberikan persembahan kepada Tuhan.

Beliau memberi tanggapan yang sangat santai terhadap orang Batak yang melakukan pernikahan tanpa adat, beliau mengatakan bahwa hal itu adalah pilihan yang bebas bagi setiap orang Batak. Banyak alasan bagi orang Batak untuk melakukan pernikahan tanpa adat, antara lain yang paling utama adalah faktor ekonomi, kepercayaan, dan lain sebagainya. ketika orang Batak melakukan pernikahan tanpa adat, bukanlah suatu masalah yang besar. Hal itu sudah lumrah adanya. Tetapi ketika berbicara konflik, beliau berpendapat setiap ada aksi maka ada reaksi. Bila pernikahan itu dilakukan tanpa adat, setidaknya ada keuntungan maupun kerugian yang akan dihadapi. Dalam kehidupan orang Batak yang namanya konflik selalu mewarnai, tetapi tergantung bagaimana menyikapi setiap konflik yang ada. Ketika seorang Batak memilih pernikahan tanpa adat dengan alasan tertentu, maka adat pun tidak akan andil dalam proses penyelesaian masalah yang ada nantinya dalam kehidupan rumahtangganya.

Tetapi beliau sangat menyesalkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang Batak masa kini, terutama pemuda Batak yang telah banyak menyepelekan adat Batak. Beliau menjelaskan banyak pemuda Batak sekarang ini tidak


(1)

seperti arisan – arisan marga di lingkungannya maupun STM (serikat tolong - menolong) yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Para pasangan ini hanya memiliki kesulitan dalam ruang lingkup keluarga dari pihak si istri saja, karena tidak adanya pembayaran adat. Istilah dalam adat Batak belum mendapat berkat dari pihak hula – hulanya.

Hal yang paling mengganggu dalam hubungan pernikahan para pasangan tanpa adat ini adalah manakala anak mereka kelak akan menikah, dan akan melaksanakan upacara pernikahan adat Batak, maka pasangan ini harus terlebih dahulu melakukan atau membayar adat pernikahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka si anak tersebut pun tidak bisa menikah dengan adat. Orangtuanya harus terlebih dahulu melakukan acara adat, maka si anak bisa melakukan pernikahan yang ideal secara adat Batak Toba.

Kehidupan para pasangan yang menikah tanpa adat, dari data yang didapat oleh penulis semua dalam taraf yang wajar dan normal adanya. Hanya saja mereka lebih sering dipojokkan dengan kata – kata agar menggelar acara adat atau kata – kata yang lain. Dan dalam tahap ini, para pasangan ini mengaku kepada penulis masih dalam tahap yang aman dalam hubungan sosialnya dengan masyarakat sekitarnya.


(2)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Adat adalah segala bentuk aturan hidup. Dan apa yang sering dimaksud dengan adat Batak adalah segala bentuk aturan hidup yang khas yang dilakoni orang Batak seperti ketika bertutur, bertingkah laku, berelasi, atau ketika menjalankan berbagai bentuk acara seremonial (kelahiran, pernikahan, memasuki rumah, kematian dsb). Dan sisi adat yang seringkali dianggap tidak lagi revelan bagi anak-anak muda terkait dengan acara seremonial (Upacara adat) dan ketidaksederajatan dalam hubungan antar posisi.

Kesimpulan yang di dapat oleh penulis, antara lain adalah:

1. Pasangan suami istri di kalangan masyarakat Batak Toba memilih menikah tanpa adat disebabkan karena dua faktor utama, yakni faktor ekonomi dan pertentangan iman kristiani, keluarga ini menjelaskan bahwa dalam adat Batak memerlukan dana yang besar dan juga adat Batak sebagian masih bertentangan dengan ajaran kristen terutama dalam pelaksanaan paradatannya.

2. Aspek – aspek adat Batak Toba yang bertentangan dengan informan penulis adalah terhadap unsur adat Dalihan na tolu, pemberian jambar dan mangulosi. 3. Dari data yang didapat penulis, pertentangan yang terjadi dalam ajaran

Kristen dengan Adat Batak Toba adalah karena adat tersebut berasal dari kepercayaan nenek moyang bangsa Batak Toba yang belum mengenal Tuhan dan masih menyembah roh – roh sembahan yang mereka sebut dengan nama


(3)

4. Pandangan – pandangan yang menolak pemberlakuan aspek aspek adat tersebut tentu saja tidak berlaku bagi semua masyarakat suku Batak Toba yang menganut agama Kristen. Di pihak lain ada orang Batak Kristen yang sepenuhnya menerima dan menjalankan seluruh aspek – aspek dalam adat Batak.

5. Agama Suku Batak tradisional tidak terlalu menekankan banyak mengenai hal-hal yang berbau mistis. Agama Suku Batak hanya percaya kepada satu Allah pencipta yang disebut Mula Jadi na Bolon akan tetapi dalam agama Suku Batak tradisional dalam kegiatan bermasyarakat sehari-hari memiliki banyak kepercayaan seperti kepercayaan terhadap sahala, dewa-dewa, arwah nenek moyang, keturunan, praktik mangulosi, tohonan, dan Filsafat Dalihan natolu.

6. Ternyata setelah mencermati kultur dari budaya Batak ternyata dalam agama tradisional Batak banyak diilhami dari pandangan budaya, dari pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua budaya-budaya tradional negatif seperti paham-paham agama-agama Modern sekarang yang ingin menghilangkan sedikit demi sedikit budaya Batak seperti ulos dan uning-uningan (musik tradisonal Batak) dalam penggunaan tata ibadah karena diaanggap penggunaannya masih dianggap untuk memanggil arwah nenek moyang atau masih bersifat magis. Semua budaya yang digunakan kalau digunakan untuk yang baik tidak akan bersifat magis tergantung prsepsi orang, malah budaya tradisional mmiliki sisi positif seperti kepercayaan Dalihan na Tolu ternyata dapat mnghilangkan kesenjangan sosial karena tidak


(4)

membedakan usia, kekayaan dan kekuasaan akan tetapi sifatnya adil karena adakalanya seseorang berada di atas dan adakalanya di bawah.

5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti ingin memberikan beberapa saran, antara lain:

1. Kita harus selektif terhadap Adat Batak, menerima yang sesuai dan menolak yang bertentangan dengan Alkitab. Kita juga harus mengikuti teladan Tuhan Yesus, yang tidak hanya selektif terhadap Adat, tapi juga terus menerus membaharuinya. Dalam penerapan Adat Batak tersebut, kita harus selalu waspada agar tidak tersesat dan menghambat pertumbuhan Iman kita. Sikap waspada tersebut sesuai dengan pemahaman kita tentang doktrin manusia, termasuk diri sendiri, yang telah jatuh ke dalam dosa.

2. Dalam penerapan Adat Batak tersebut, kita harus selalu waspada agar tidak tersesat dan menghambat pertumbuhan Iman kita. Sikap waspada tersebut sesuai dengan pemahaman kita tentang doktrin manusia, termasuk diri sendiri, yang telah jatuh ke dalam dosa.Penerimaan dan penghargaan kita terhadap Adat Batak dapat juga dilihat sebagai penghargaan kita kepada karya nenek moyang sebagai salah satu warisan sangat berharga. Karena itu, kita bukan saja bersikap menerima Adat tersebut tetapi juga terus menerus membaharuinya.Penerimaan dan pengakuan kita terhadap Adat Batak juga dapat dilihat sebagai pengakuan dan penghargaan akan karya Allah yang sanggup bekerja di dalam diri nenek moyang, entah mereka menyadari hal itu


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Iqbal. 2002, Pokok – pokok materi metodologi penelitian dan aplikasinya. Jakarta : Ghalia Indonesia

Koentjaraningrat (ed). 1982, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,Jakarta: djambatan

Moleong, Lexy J, 2005. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Prasetyo, Bambang. 2005, Metode Penelitian Kuantitatif teori dan aplikasi. Jakarta RajaGrafindo Persada, diakses 16 januari 2008

Raho, Bernard.2007,Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka Ritzer, George. 2003, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Sanapiah , Faisal. 2003, Format – format penelitian Sosial : dasar – dasar dan aplikasi,

Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Schereiner, lothar, 1999, Adat dan injil. Jakarta, BPK Gunung Mulia

Soekanto, Soerjono. 1989, Teori Sosiologi tentang pribadi dalam masyarakat. Jakarta :

Ghalia Indonesia

Sunarto, Kamanto. 2000, Pengantar Sosiologi. Jakarta FE-UI Press. Tulus, Samuel. 2008 (online)


(6)

Ubaydillah, AN. 2007, Konflik Yang Produktif. Jakarta, diakses 8 september 2008

Yin, Robert K. 2003, STUDI KASUS ( Desain dan Metode ). Jakarta : Rajawali Pers

Situs Internet

Http://www.luphkimm.com/Perkawinan-disudut-pandang-sosiologi.htm, diakses 8 september 2008

diakses 16 oktober 2008

diakses 29 november 2008


Dokumen yang terkait

Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat(Studi Kasus Tentang Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Di Desa Hutauruk, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara)

0 84 129

Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di Kecamatan Balige)

10 115 91

Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

9 129 118

Perceraian Dan Akibat Hukumnya Pada Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen Protestan (Studi: Di Desa Martoba (Bius Tolping), Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir)

7 112 157

Panaek Gondang Dalam Upacara Adat Perkawinan Pada Masyarakat Mandailing Di Kecamatan Medan Tembung

6 116 61

Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara)

8 58 115

BENTUK PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK BENTUK PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK PERANTAUAN BENTUK PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA DI

3 13 17

STUDI TENTANG PERKAWINAN SEMARGA DALAM KOMUNITAS PERANTAU BATAK TOBA DI SURAKARTA (KAJIAN HUKUM PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA).

0 0 1

BAB I - Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di Kecamatan Balige)

1 2 10

BAB III PERANAN DALIHAN NATOLU SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA B. Permasalahan Yang Sering Timbul dalam Perkawinan Adat Batak Toba - Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Me

0 0 24