Dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL
TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN
TINGKAT KEMISKINAN

Oleh :
USMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benamya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya
yang berjudul :

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP
DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKINAN
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan komisi
pembimbing, kecuali yang dengan jelas ltunjukkan rujukannya. Tesis ini belurn
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tingg
lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2006

Usman
NRP.Al5 102020I

ABSTRAK

USMAN. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat
Kemiskinan (BONAR MARULITUA SINAGA sebagai Ketua dan HERMANTO
SIREGAR sebagai anggota komisi pembimbing).
Desentralisasi fiskal memiliki tujuan menciptakan sistem layanan publik yang
lebih baik, efektif, dan efesien, yang pada akhir bisa meningkatkan kesejahteraan dan
kemandirian masyarakat, sehingga desentralisasi fiskal diharapkan bisa menciptakan
pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Secara urnurn,
penelitian ini bertujuac untuk: (1) menganalisis pertumbuhan ekonomi masyarakat
ekonomi bawah (miskin) dibandingkan masyarakat ekonomi atas (tidak miskin)
sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. (2) menentukan faktor-faktor penentu atau
determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, dan (3)

mempelajari dampak desentralisasi fiskal, terhadap perubahan distribusi pendapatan
dan tingkat kerniskinan.
Dalam mempelajari dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan
dan kemiskinan, digunakan pendekatan ekonometrika yang terdiri dari 17 persamaan
struktural dan 8 persamaan identitas. Setiap persamaan struktural dalarn model ini
diduga dengan teknik Pool Time Series-Cross Section Regression, dengan spesifikasi
fixed eflect model. Studi ini menggunakan data time series tahun 1995-2003 dan data
cross section dari 26 provinsi di Indonesia.
Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan ekonomi pada periode sebelum
desentralisasi fiskal tidak menguntungkan kelompok miskin, namun sebaliknya
kelompok kaya lebih diuntungkan. Periode sesudah desentralisasi fiskal pada awalnya
menguntungkan kelompok kaya, narnun tahun berikutnya menguntungkan kelompok
miskin. Determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi f iskal sebagian
besar tidak berubah. Sektor-sektor yang menjadi determinan kemiskinan adalah
sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, perurnahan, infrastruktur, dan faktor
komunitas atau wilayah.
Hasil dugaan model menunjukkan, desentralisasi fiskal berdampak positif
terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal terindikasi
dapat menciptakan pemerataan distribusi pendapatan, namun pengaruhnya belum
terbukti nyata secara statistik. Desentralisasi fiskal juga dapat mengurangi tingkat

kemiskinan, yang diindikasikan dengan arah koefesien negatif dan nyata. Hasil
simulasi menunjukkan, dalam jangka pendek pengeluaran pemerintah untuk Sektor
Pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan
mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam jangka panjang, pengeluaran pemerintah
Sektor Pendidikan dan Kesehatan adalah sektor yang hams diprioritaskan.
Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal, Distribusi Pendapatan, Kemiskinan, Indeks Gini,
Data Panel.

ABSTRACT

USMAN. The Impact of Fiscal Decentralization on Income Distribution and Poverty
Level (EQNAR MARULITUA SINAGA as Chairman and HERMANTO SIREGAR
as Member of the Advisory Committee).
The goal of Fiscal Decentralization is to create a better, effective, and efficient
public service system, which will increase the welfare and community independency.
The expected end result will be the creation of better income distribution and lower
poverty level. Generally, this study aims to: (1) analyze the economic growth of the
poor and non-poor, prior and afterward the application of fiscal decentralization, (2)
determine the determinants factor of poverty, prior and afterward the application of
fiscal decentralization, and (3) study the impact of fiscal decentralization on income

distribution and poverty level.
Econometric approach with a simultaneous equation model that consists of 17
structural equations and 7 identity equations is used to analyze the impact of fiscal
decentralization on income distribution and poverty level. Each structural equation in
the model is estimated using the Pool Time Series-Cross Section Regression
technique, with fixed effect model specification. The study used time series data from
1995 to 2003 and 26 provinces-cross section data in Indonesia.
T h s study found that the economic policy prior to fiscal decentralization period
was not a pro-poor policy. On the beginning of fiscal decentralization period, it was
still not pro-poor policy, but afterwards it became pro-poor policy. Generally, there
was not any change in the determinants of poverty between pre and post period.
Agriculture, education, health, housing, infiastmcture, and community were the
determinant sectors of poverty.
The result of the model estimation shows that the fiscal decentralization has a
positive impact on fiscal and economic performance. Fiscal decentralization is
indicated could create better income distribution, but it was not sigmficant. Fiscal
decentralization could also lower poverty level. The result of simulation shows that in
the short term period, government expenditure on agriculture can improve better
income distribution and lower poverty level. In long term, government expenditure
on Education and Health must be given priority.

Key words: Fiscal Decentralization, income distribution, poverty, Gini index, Panel
Data.

O Hak Cipta Milik Usman, Tahun 2006
Hak Cipta Dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagan atau seluruhnya dalarn bentuk apapun,
baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya.

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL
TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN
TINGKAT KEMISKLNAN

Oleh:

USMAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pads
Program Studi Ilmu Ekono~niPertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANZAN BOGOR
2006

Judul Penelitian

: DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT
KEMISKINAN
Nama Mahasiswa

: Usman

Nomor Pokok

: A151020201


Program Studi

: Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,
I. Komisi Pembimbing

Prof Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Ketua

Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan Sekolah Pascasarjana


A !
Prof Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,

Tanggal Ujian: 4 April 2006

fnda Manuwoto, M. Sc.

Tanggal Lulus: 0 1 J U N 2006

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan tanggal 4 Agustus 1975, di Bogor, Jawa Barat, dari pasangan
Abdurahrnan dan Lely Aliah. Penulis anak keempat dari empat bersaudara. Saat ini
penulis sudah berkeluarga dengan istri tercinta Dewi Wijayanti, dan telah dikaruniai
dua orang putra-putri tersayang bernama Daniyaf, Husna dan Abyan Miladi Ahmad.
Pada tahun 1999 penulis lulus dari pcndidikan sarjana di jurusan Statistika,
Fakultas Matematika clan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Pada
tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah
Pascasqana Institut Pertanian Bogor.
Penillis bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan

Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sejak tahun 1999.
Tidak kurang dari 20 kegiatan penelitian telah penulis ikuti yang beberapa
diantaranya telah diterbitkan dalam Working Paper LPEM maupun Jurnal Ekonomi
dan Keuangan Indonesia, salah satunya berjudul Analisa Peringkat Penanggulangan
Kemishnan KabupatenKota. Vol. 49 (no.4) hal: 423-45 1

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
dengan limpahan rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini dengan baik. Tema yang dipilih untuk karya ilmiah ini adalah "Dampak
Desentrulisusi Fiskul Terhudup Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemisktnan".

Karya ilmiah ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat dampak
pelaksanaan dssentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pecdapatan dan
tingkat kemiskinan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam
penulisan ini, untuk itu diharapkan ada masukan dari pembaca. Harapan penulis karya
ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca, atas kritik dan saran yang
membangun penulis ucapkan terima kasih.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof.

Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. dan Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc, selaku ketua dan
anggota komisi pembimbing, yang berperan aktif dalam proses penyelesaian karya
ilmiah ini.
Tesis ini dapat selesai berkat bantuan serta dukungan juga dari berbagai pihak.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis rnengucapkan terimakasih kepada
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (LPEM-FEUI) sebagai lembaga dimana penulis bekerja dan berkarya, yang
telah memberikan bantuan Dana SDM selama penulis menjalankan pendidikan di
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan bantuan melalui
program Hibah Pasca untuk mendukung berbagai penelitian akademis di berbagai
perguruan tinggi sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik.
Penulis ucapkan juga terimakasih dan penghargaannya kepada Riyanto, Ahmad
Avenzora, dan Bintoro Seto yang telah membantu melengkapi data yang diperlukan
untuk karya ilmiah ini.
Tidak lupa pula penulis sampaikan terimakasih dan penghargaannya kepada
Jossy Moeis, Uka Wikarya, Khoirunurrofik, Sumedi, dan rekan-rekan S2 Jurusan
Ekonomi Pertanian yang tidak mungkin bisa disebutkan satu persatu, yang telah

mendukung serta menjadi teman diskusi yang baik sehingga karya ilmiah ini menjadi
seinpurna.
Secara khusus, penulis sampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada kedua
orang tua (Abdurrahman dan Lely Aliah), Istri (Dewi Wijayanti), dan kedua putra
putri tercinta (Daniyah Husna dan Abyan Milacfi Ahmad) yang telah mendukung
dengan penuh ikhlas semenjak penulis menjalankan pendidikan hingga selesainya
karya ilmiah ini.

Bogor, April 2006

Penulis

DAFTAR IS1

Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................

XI

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv
DAFTAR LAMPJRAN............................................................................ xiv

.

I

PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian..................................................................1
1.2. Perulnusan Masalah ............................................................................. 4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................-6

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 7

.

I1

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 8

2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal.......................................... 8
2.2 Keuangan Pemerintah Daerah .............................................................9
2.3 Pelaksanaan Otonorni Daerah dan Penanggulangan Kerniskinan ..... 10
2.4 Diskusi Tentang Kerniskinan ............................................................. 11

2.5

.

111

2.4.1

Pengertian dan Indikator Ke~niskinan.................................. 11

2.4.2

Kerniskinan Relatif dan Absolut ......................................... 1 4

2.4.3

Ukwan Kerniskinan dan Ketimpangan................................ 15

2.4.4

Detcrminan Kerniskinan ...................................................... -18

Tinjauan Studi Terdahulu .................................................................. 19

KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................... 26
3.1

Penerllnaan Peinerintah Daerah ......................................................... 28

3.2 Pengeluaran Pemerintah Daerah ........................................................ 28
3.3 Pendapatan d a l Pengeluaran Agregat Daerah ................................... 30
IV

.

METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 33
4.1

Analisis Deskripsi ..............................................................................33

4.2 Analisis Determinan Kerniskinan ...................................................... 34

4.3 Poverty Growth Analysis...................................................................35
4.4 Perhitungan Tingkat Kemiskinan ...................................................... 36

4.5 Perhltungan Tingkat Ketimpangan.................................................... 37
4.6 Model Hubungan Fiskal dan Kemiskinan ......................................... 37
4.6.1

Spesifikasi Model ................................................................. 38

4.6.2

Metode Estimasi Model ....................................................... 44

4.6.3

Validasi Model ..................................................................... 47

4.6.4

Simulasi Model .................................................................... 48

4.7 Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 49

.

V

GAMBARAN UMUM DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH
DESENTRALISASI FISKAL ................................................................. 51

5.1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi.............................................5 1
5.2 Keadaan Infhstruktur ....................................................................... -55
5.3 Perkembangan Tingkat Kerniskinan di Indonesia .............................59

5.4 Kinerja Fiskal Daerah ........................................................................ 64

VL

5.4.1

Penerimaan Daerah ............................................................. -64

5.4.2

Pengeluaran Daerah ............................................................. 67

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DETEWINAN
KEMISKINAN ......................................................................................... 70

6.1.1

Pertumbuhan Kerniskinan Sebelum Desentralisasi Fiskal ...70

6.1.2

Perturnbuhan Kemiskinan Sesudah Desentralisasi Fiskal ....73

6.2 Analisis Determinan Kernislunan ...................................................... 77

VII

.

6.2.1

Karakteristik Rumah Tangga dan Individu .......................... 80

6.2.2

Faktor Komunitas ................................................................. 86

6.2.3

~arakteristikWilayah .......................................................... 91

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ......................................94
7.1 Blok Fiskal Daerah ............................................................................94

7.2 Blok Pengeluaran Agregat ................................................................. 98
7.3 Blok Distribusi Pendapatan dan Ketniskinan .................................. 101

VIII. DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP
DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT ICEMISKINAN ..... :03

8.1 Validasi Model ................................................................................103
8.2

Darnpak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perubahan Distribusi
Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan ......................................... 1 14
8.2.1

Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian ........................ 116

8.2.2

Peningkatan Pengeluaran Sektor Pendidikan clan
Kesehatan ..........................................................................1 2 1

8.2.3

Peningkatan Pengeluaran Sektor Perurnahan dan
Kesejahteraan .................................................................... 1 2 7

8.2.4

Peningkatan Dana Alokasi Umum ..................................... 133

8.2.5

Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak ................ 140

8.2.6

Kombinasi Peningkatan DAU dan Bagi Hasil Pajak
dan Bukan Pajak................................................................1 4 5

8.3 Rekapitulasi Dampak Desentralisasi Fiskal ....................................150

IX. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................157
9.1 Kesimpulan ......................................................................................

157

9.2 Saran ..........................................................................................

160

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

165

DAFTAR TABEL

1. Jenis Data dan Surnbernya ............................................................................. 50
2 . Pertumbuhan Ekonomi Antar Provinsi. Tahun 1993.2003 ............................53
3 . Beberapa indikator infi-astruktur Daerah. Tahun 1996. 1999. dan 2002........ 59

4 . Indeks Kemiskinan Sebelum Desentralisasi dan Sesudah Desentralisasi
Berdasarkan Pulau-Pulau Besar di Indonesia. Tahun 1995-2003..................61
5. Perkembangan Indeks Gini Sebelum dan Sesudah Desentralisasi
Berdasarkan PuIau Besar di Indonesia. Tahun 1995-2003............................ 62
6 . Penerimaan Pemerintah Daerah KabupatenKota dan Provinsi
di Indonesia. Tahun 1995 .2003............................................................... 64
7. Beberapa Sumber Penerimam Pemerintah Daerah KabupatenIKota
dan Provinsi di Indonesia Berdasar-kanPulau. Tahun 1995-1997
dan Tahun 200 1-2003 .................................................................................... 66
8 . Pengeluaran Pemerintah Daerah KabupatenfKota dan Provinsi
di Indonesia. Tahun 1995-2003 ..................................................................... 68

9 . Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Indonesia. Tahun 1994 - 2003...........74
10. Laju Pertumbuhan Inflasi. Konsumsi Riil,dan Upah Riil di Indonesia.
Tahun 1997-2002 .........................................................................................

83

11. Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999 ....... 92
12. Hasil Estimasi Model Deterrninan Kemiskinan Indonesia Tahun 2002 ........93
13. Hasil Pendugaan Persarnaan Blok Fiskal Daerah .
Sisi Penerimaan ............95

14. Hasil Pendugaan Persamaan Blok Fiskal Daerah .
Sisi Pengeluaran ........... 98

15. Hasil Pendugaan Persamaan Blok Pengeluaran Agregat ............................. 100
16. Hasil Pendugaan Persarnaan Blok Distribusi Pendapatan
dan Kerniskinan.......................................................................................

101

17. Validasi Model Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Tingkat Nasional.
Kawasan Barat Indonesia. dan Kawasan Tirnur Indonesia.......................... 106

18. Validasi Model Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Pulau-pulau Besar
di Indonesia..................................................................................................

112

19. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT

Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran .................. 117
20. Hasil Sllnulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT
Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ............................... 118
2 1. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT
Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan ................... 119
22. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatar, EPERT
Sebesar 50 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan
Tingkat Kemiskinan.....................................................................................

121

23. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK
Sebesar 20 Persen. Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran ................. 122
24. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK
Sebesar 20 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi ............................................ 123
25. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK
Sebesar 25 Persen. Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan .................. 125
26. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK
Sebesar 20 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan
Tingkat Kerniskinan.....................................................................................

126

27. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH
Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran .................. 128
28. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH
Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ............................... 129
29. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH
Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan ..............

130

30. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH
Sebesar 60 Perseii Terhadap Distribusi Pendapatan clan
Tingkat Kemiskinan................................................................................. 132
3 1. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU
Sebesar 10 persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah .................................... 135
32. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU
Sebesar 10 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ............................... 137

33. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU
Sebesar 10 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan
Tingkat Kerniskinan Daerah ........................................................................ 139
34. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan BHPJK
Sebesar 30 Persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah .................................... 141
35. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan BHPJK
Sebesar 30 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah ............................... 143

36. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan BHPJK
Sebesar 30 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan
Tingkat Kerniskinan Daerah ........................................................................ 144
37. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU
Sebesar 10 persen dan BHPJK sebesar 30 persen

Terhadap Kinerja Fiskal Daerah ..................................................................

147

38. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU
Sebesar 10 persen dan BHPJK sebesar 30 persen

Terhadap Kinerja J3konomi Daerah .............................................................148
39. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU
Sebesar 10 persen dan BHPJK Sebesar 30 persen Terhadap Distribusi

Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan Daerah ............................................. 150
40. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT,

EPODK, dan EPRMH Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah, Distribusi
Pendapatan, dan Tingkat Kerniskinan.. ..................................................... 152
41. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU,
BHPJK dan Kombinasinya Terhadap Kineja Ekonomi Daerah ................. 153
42. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU,

BHPJK dan Kombinasinya Terhadap Distribusi Pendapatan .....................154
43. PDRB per Kapita Menurut Pulau-pulau Besar di Indonesia,
Tahun 1999 - 2003 ......................................................................................

xiii

156

DAFTAR GAMBAR

Nornor

Halaman

1. Kurva Lorenz Untuk Pengeluaran ................................................................. 17

2. Kerangka Pemikiran Analisis Deseotralisasi Fiskal ....................................... 27
3. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Tahun 1980.2003 ............ 52

4. Jumlah Pendutiuk Miskin di Indonesia Tahun 1976 .
2004 ........................... 60
5. Pertumbuhan PengelKonsurnsi Sebelum dan Menjelang
........................................................................................
Desentralisasi Fiskal
75

6. Perturnbuhan Pengeluaran Konsurnsi Sesudah desentralisasi Fiskal .............76
7. Distribusi Pendapatan Kuznets ..................................................................... 155

DAFTAR LAiMPIRAN

Halaman
Nomor
1. Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Mislun
di Indonesia Tahun 1976-2004 .................................................................... 170
2 . Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi.
Tahun 1999-2004 .........................................................................................

171

3. Program SAS Estimasi Model Determinan Kemiskinan Indonesia

Tahun 1999 ............................................................................................. 172
4 . Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999...... 176
5. Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 2002 ...... 178

6. Program SAS Estimasi Model Hubungan Fiskal dan Kemiskinan ............. 180
7. Hasil Estimasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan ...........................181
8. Program SAS Sirnulasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan.............. 185
9. Hasil Validasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan ............................202
10. Contoh Hasil Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU)
Sebesar 10 persen .........................................................................................

206

11. Nilai Dasar Variabel Endogen Menurut Nasional. KBI dan KT1 ................ 207
12. Nilai Dasar Variabel Endogen Menurut Pulau-pulau Besar
di Indonesia ................................................................................................ 208

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Bela kang Penelitian

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 teIa11
membawa perubahan-perubahan dalarn negeri Indonesia di dalam ha1 kebijakan
politik dan ekonomi. Kewenangan pemeri2ta.h pusat yang terlalu besar dan adanya
ketirnpangan pembangunan ekonomi antar daerah dianggap sebagai penyebab
lemahnya ketahanan ekonomi Indonesia. Tuntutan untuk mengurangi kewenangan

yang sentralistik semakin besar setel*

terjadinya pergantian kepemimpinan

nasional dengan mundurnya Soeharto. Akhirnya tuntutan desentralisasi inipun
mulai diakomodasi setelah pelaksanaan pemilu era reformasi tahun 1999 yaitu
dengan dikeluarkannya undang-undang mengenai otonomi daerah.
Secara garis besar konsep desentralisasi dapat dibedakan atas tiga bagian
besar, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi
fiskal. Ketiganya saling terkait satu sama lain, dan seharusnya dilaksanakan secara
bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti misalnya penbgkatan
kualitas pelayanan publik, tidak terbengkalai (Simanjuntak, 2001).
Penelitian ini akan memfokuskan kepada salah satu bagian dari
desentralisasi yaitu desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pem'3~taha.n daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, mulai diterapkan di
Indonesia sejak tahun anggaran 2001. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian
tanggung jawab dan pembagian kekuasaan serta kewenangan untuk pengambilan

keputusan di bidang fiskal, yang meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran.
Dalain ha1 ini desentraiisasi fiskal dikaitkan dengan tugas dan fungsi
pemerintahan daerah sebagai penyedia barang dan jasa pelayanan kepada
masyarakat (publrc goods;). Penyerahan kewenangan dibidang fiskal pada
dasarnya merupakan inti daripada desentralisasi.
Melalui pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah kini memiliki
kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan
kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan
setempat. Oleh karena itu menurut McCulloch dan Suharnoko (2003), salah satu
kunci yang harus diperhatikan dalam desentralisasi adalah bahwa pemerintah
daerah hams lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Pada banyak
negara berkembang termasuk Indonesia, tingkat kemiskinannya masih relatif
tinggi dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakankebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Jika kita
secara khusus peduli dengan kerniskinan, maka hal terpenting dan menjadi kunci
adalah melihat bagaimana dampak desentralisasi pada distribusi sumber daya di
dalam wilayah tersebut (intra-regionzl), dan bukan pada efesiensi alokasi surnber
daya antar wilayah (inter-regional).
Bardhan (2002) dalam McCtdloch dan Suharnoko (2003) mengatakan
kelemahan lain yang dimiliki negara-negara berkembang adalah mengenai
mekanisme informasi dan pengawasan. Oleh karena itu perhatian lebih besar
rnengenai mekanisme informasi dan pengawasan harus diarahkan pada pelayanan
dan mekanisme akuntabilitas publik. Tanpa adanya mekanisme transparansi dan
pengawasan maka desentralisasi tidak akan efektif memperbaiki keadaan ekonomi

d a d karena d i m u n m a n surnberdaya hanya terdistribusi pada segelintir orang
saja yang dekat dengan kekuasaan.
Terdapat keuntungan dan kerugian dari desentralisasi baik dalarn jangka
pendek maupun dalarn jangka panjang. Dalam jangka pendek, menurut Bardhan
dan Mookhorjee (2000) desentralisasi dapat menolong orang miskin melalui
mekanisme keputusan pengeluaran publik (publik expenditure) karena menjadi
lebih dekat antara pengambil keputusan dengan objek. Sedangkan dari sisi
kerugiannya adalah pada saat keberadaan orang miskin tidak diakomodir dalam
kebijakan pemerintah daerah. Padahal salah satu karakter di banyak negara
berkembang adalah para pejabatnya memiliki orientasi kebijakan yang lebih
mementingkan dirinya sendiri. Dalam jangka panjang, desentralisasi akan
membuat isu akuntabilitas menjadi sebuah kompetisi dimana setiap wilayah akan
saling membandingkan satu terhadap yang lain. Artinya desentralisasi akan
menciptakan atau memajukan kompetisi kebijakan melalui atwan hukum yang
lebih transparan untuk mengatur pergerakan kapital ataupun orang. Sementara itu
kerugiannya adalah desentralisasi berpotensi msnghambat pembangunan jangka
panjang karena eksploitasi terhadap sumberdaya yang tidak disertai konsep
pembangunan berkelanjutan.
Desentralisasi fiskal di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2001, yang
berarti hingga saat ini desentralisasi fiskal sudah berjalan selama leblh dari tiga
tahun. Meskipun masih berumur muda dan secara pelaksanaannya desentralisasi
fiskal ini masih mengalami berbagai kendala di lapangan, namun waktu selama
tiga tahun sudah memungkmkan bagi kita untuk melakukan evaluasi jangka
pendek yaitu sejauhmana dampak desentralisasi fiskal terhadap kemajuan daerah

khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang masih tergolong
tniskin.

1.2. Perurnusan Masalah

Kebijakan pemerintah daerah yang memihak masyarakat miskin adalah
tergantung pada praktek bagaimana penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang anggaran yang memasukkan suara dari kepentingan masyarakat miskin.
Berdasarkan definisi ini, menurut BPK dan SMERU (2001) dalam Jasmina (2001)
setidaknya ada tiga a s ~ e kyang harm diperhatikan daerah dalam menyusun
anggaran, yaitu:
1.

Aspek Penyusunan Anggaran.
Dalam

aspek

penyusunan

anggaran,

mekanisme

yang

dapat

dipertimbangkan adalah sistem "anggaran partisipatif' atau "anggaran yang
berorientasi pada kepentingan rakyat miskin" . Sistem ini dapat &lakukan
dengan membuka akses politik terhadap keikutsertaan semua kelompok
masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan. Dengan
melibatkan masyarakat miskin secara langsung, pemda dapat mengetahui
apa yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin. Untuk menjalankan sistem ini
pemda dan DPRD perlu melakukan dialog dan konsultasi dengan berbagai

kelompok masyarakat, terutama kelompok masyarakat miskin.
2.

Aspek Penerimaan Daerah.
Aspek ini melihat sisi penerimaan anggaran yang memihak kepada orang
miskin. Bagian penerimaan daerah yang dapat disusun tanpa merugikan
masyarakat miskin adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengingat
sumber PAD bersentuhan langsung dengan masyarakat terutarna pajak dan

retribusi daerah. Ciri kebijakan anggaran ymg memihak orang miskin antara
lain:
a. Pemda tidak memungut pajak dan retribusi yang secara langsung
membebani orang m i s w misalnya dibebaskan membayar biaya
pengobatan di puskesmas, bebas pemungutan biaya KTP, dan lain-lain.
b. Hasil produksi pertanian, perikanan, peternakan, industri rurnah tangga
dan industri kecil yang diproduksi kelompok masyarakat miskin
sebaiknya tidak dikenakan pajak d m retribusi.

c. Pemda metnbuat kebijakan pmgutan daerah yang bersifat progresif,
yakni membebankan tarif khusus (lebih murah) terhadap masyarakat
miskln.
3.

Aspek Pembelanjaan Daerah.
Dengan jurnlah anggaran pembangunan pemerintah daerah umumnya relatif
terbatas. Pengeluaran pembangunan yang memihak orang rniskin adalah
anggaran yang manfaatnya diberikan pada bidang-bidang yang pro miskin,
seperti peildidikan dasar, kesehatan, sanitasi, air berslh, dan infi-astruktur.
Anggaran yang dialokasikan dalarn bidang ini seharusnya berbanding lwus
dengan jurnlah orang rniskin atau bobot pennasalahan kerniskinan yang
dihadapi daerah.

Dalam penelitian ini, analisis yang dilakukan dibatasi hanya pada aspek ke
dua dan ke tiga. Aspek pembelanjaan daerah digunakan untuk melihat efektivitas
anggaran dalam menanggulangi kerniskinan. Program atau kebijakan pemerintah
daerah dapat dikatakan berorientasi kepada masyarakat mislun jika program-

program tersebut memprioritaskan sektor-sektor yang mernang sesuai dengan
faktor-faktor yang meccermlnkan kondisi masyarakat miskin. Selain dari itu
aspek penerimaan dan aspek pengeluaran secara bersama-sama akan digmakan
untuk melihat pennasalahan utama dalam penelitian ini yaitu mengevaluasi
sejauhmana dampak desentralisasi fiskal pada perubahan jumlah kemiskinan dan
distribusi pendapatan.
Dalam menjawab permasalahan utama di atas maka fokus penelitian ini
diamhkan pada beberapa pertanyaan mendmr yaitu : (1) bagaimana menentukan
faktor-faktor penentu (determinan) kemiskinan, (2) seberapa besar pertumbuhan
ekonomi masyarakat miskin dibandingkan masyarakat tidak miskin sebelum
dilakukan desentralisasi dan sesudah desentralisasi diterapkan, dan (3) apakah
desentralisasi fiskal cukup berpengaruh terhadap penurunan jumlah kemiskinan
dan distribusi pendapatan.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian adalah :
1

Menganalisis pertumbuhan ekonomi masyarakat ekonomi bawah (miskin)
dibandingkan masyarakat ekonomi atas (tidak miskin) sebelurn dan sesudah
desentrahsasi fiskal diterapkan.

2

Menentukan faktor-faktor penentu atau determinan kemislunan sebelum dan
sesudah desentralisasi fiskal diterapkan.

3

Mempelajari dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan disbibusi
pendapatan dan tingkat kemiskinan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peinerintah baik

pusat maupun daerah dalam rangka mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal

yang selama tiga tahun sudah berjalan khususnya dalam hubungannya dengan
upaya meningkatkan kesejallteraan masyarakat rniskin dan distribusi pendapatan.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Lingicup penelitian adalah sebagai berrkut :
1

Pemerintah daerah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
pemerintahan daerah pada tingkat kota atau kabupaten di seluruh Indonesia
yang terdiri dari kurang lebih 308 kotahbupaten (berdasarkan kategori
tahun 1996), yang selanjutnya diagregasikan pada tingkat provinsi.

2

Analisis terhadap provinsi dan kabupatenkota yang baru terbentuk masih
digabungkan dengan penmaan daerah sebelumnya. Dengan dernikian
daerah yang menjadi unit observasi dalam penelitian ini terdiri dari 26
provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalarn, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka
Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalitnantan Selatan, Kalimantan
Tirnur, Sulawei Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selitan, Sulawesi
Tengggara, Maluku, dan Papua.

3

Kerniskinan dalam studi ini didefinisikan sebagai keiidakmampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar 2 100 kalloranghari.

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Gagasan otonomi daerah yang kini berkembang bukan merupakan ha1 yang

baru. Kenyataan ketimpangan pusat-daerah yang selama ini terjadi hanya
merupakan pemicu lahirnya gagasan otonomi daerzh. Menurut Tim Lapera (2001)

dalam Riyanto (2003), secara mum terdapat dua kecenderungan hubungan antara
pusat dan daerah yaitu hubungan sentralistik dan hubungan yang desentralistik
(otonomi). Pemikiran otonomi daerah didasarkn kepada htik atas kenyataan
bahwa pemusatan lebih memberikan keuntungan kepada pusat dan tidak secara
otomatis membawa kernanfaatan bagi daerah.
Secara prinsip hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah bagaimana
menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan rakyat mencapai suatu
kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Oleh karena itu otonomi daerah tidak
hanya dapat dilihat clan hubungan antara pusat clan daerah, tetapi juga
menyangkut hubungan antara penyelenggara kekuasaan dengan rakyat. Berbeda
dengan otonomi daerah yang pernah diselenggarakar, pada waktu sebelumnya,
otonomi daerah sejak tahun 2001 yang merupakan tuntutan reformasi diberi
makna sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 22 Tahun
1999). Dinyatakan pula bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipandang
perlu untuk lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemeratm dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman

daerah. Singkatnya pemberlakuan otonomi daerah,

memberikan ruang

(kewenangan) kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan
kebijakan dan program sesuai dengan potersi daerahnya masing-masing.
Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab
oleh pemerintah daerah serta melibatkan masyarakat setempat sangat mengurangi
kesenjangan yang semakin lebar di segala bidang.
Telah disebutkan sebelumnya penyerahan kewenangan di bidang fiskal pada
dasarnya merupakan inti dari desentralisasi atau otonomi daerah. Pelaksanaan
otonomi daerah terutama desentralisasi fiskal akan mempenganh anggaran
daerah yang tercermin dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).

2.2

Keuaugau Pemerintah Daerah
Masalah besar dalam keuangan daerah (regional) adalah menyangkut upaya

mendapatkan uang maupun pembelanjaannya. Artinya, tentang bagaimana sumber
pendanaan digali dan didistribusikan, dan siapa yang menentukannya. Berkaitan
dengan aspek penerimaan daerah, Davey (1983) membedakan sumber-sumber
keuangan daerah ke dalam beberapa sumber yaitu (1) alokasi dari pemerintah
pusat, (2) bantuan pusat (grant) dengan berbagai jenisnya, (3) bagi hasil pajak (tax
sharing), (4) pinjarnan (borrowing), (5) penyertaan modal yaitu investasi
pemerintah pusat pada suatu pemerintah regional, (6) perpajakan, dan (7)
retribusi. Sedangkan dari segi pengeluaran jenisnya dapat dibedakan ke dalam (1)
pengeluaran rutin, dan (2) pengeluaran pembangunan atau investasi.

2 3 Pelaksanaan Otonorni Daerah dan Penanggulsngan Kerniskinan
Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula lewenangan dan
sekaligus tanggung jawab untuk secara p r o ~ fmengupayakan kebijakan
penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung
jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan
pelaksanaan otonomi daerah yakm menciptakan sistem layanan publik yang lebih
baik, efektif, dan efesian, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan serta kemandirian masyarakat.

Oleh

karena

itu

upaya

penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan
atau dilakukan oleh pemerintah pusat semata.
Dipandang dari sudut tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki
potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perurnusan kebijakan publik
juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan
accountable dalam menjalankan "goodgovernance". Sekarang pemerintah daerah

tidak lagi sekedar pelaksana operasional kebijakan yang ditentukan oleh pusat.
Apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh
masyarakat setempat. Beberapa faktor lain yang dapat menciptakan pelaksanaan
otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penaggulangan kemiskinan adalah :
1.

DAU diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block Grant,

sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam
menggunakan dana tersebut seseuai dengan kepentingan dan prioritas daerah,
termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain

kini pemerintah daerah dapat betindak lebih tanggap dan pro-aktif dalam

penanggulangan kemiskinan tanpa hams menunggu instmksi dari pemerintah
diatasnya (provinsi atah pusat). Hal ini penting dikemukakan karena dalam
formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin.
Ini artinya agenda penganggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis
menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah.
2.

Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat
diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan
biaya lebih murah. Bila iklirn usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif
maka infestor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga
akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kotakabupaten
yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal

untuk menuju proses perijinan yang cepat, transparan, dan muah.
3.

Daerah yang kaya dengan sumber daya alam memperoleh penerimaan
alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan
relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan
kemiskinan. Kabupaten kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah
untuk pembanguuan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatankegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah
orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun.

2.4

Diskusi Tentang Kemiskinan

2.4.1 Pengertian dan Indikator Kemiskinan

Salah satu kunci dalam perumusan strategi penanggulangan kemiskinan
adalah pemahaman yang akurat terhadap konsep kemislunan dan indikator yang
digunakan untuk mengukur kemiskinan. Indikator kemiskinan menjadi dasar

penentwn kelompok sasaran (targettmg), pemantauan kemajuan dan kinerja
(performance mdlcator) penanggulangan kemiskinan.
Namun sebelum kita berbicara kerniskinan ada baiknya kita memahami dulu
apa itu kesejahteraan. Ada banyak defkisi dan konsep yang berbeda tentang
kesejahteraan atau "well being" (World Bank, 2002). Misalnya kita dapat
mengatakan kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan komoditas secara urnurn;

seseorang dikatakan mampu (memiliki

kemarnpuan ekonomi yang lebih baik) jika dia memiliki kemampuan yang lebih
besar dalam menggunakan sumberdaya yang dmilikinya (kekayaan). Atau kita
dapat berpikir tentang kernampuan untuk memperoleh jenis barang-barang
tertentu (misalnya makanan dm perurnahan). Seseorang yang h a n g mampu
untuk andil dalam masyarakat munglun memiliki tingkat kesejahteraan yang
rendah atau lebih rentan terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi
dalam konteks ini kemiskinan dapat berarti kurangnya kemampuan memenuhi
kebutuhan komoditas secara umum, atau dalam arti kurangnya kemampuan untuk
andilherfungsi dalam masyarakat.
Dengan demikian kerniskinan merupakan masalah yang bersifat
multidemensi szhingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dimensi
kemiskinan mencakup empat ha1 pokok, yaitu kutangnya kesempatan (lack of
opportunry), rendahnya kemampuan (low capabrlitres), kurangnya jaminan (lowlevel security), dan ketidakberdayaan (low capacity or empowerment).
Kerniskinan juga dikaitkan dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan
politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan.

Langkah yang diperlukan selanjutnya dalam perumusan

strategi

~znanggulangankemiskinan adalah menerjemahkan berbagai konsep kemiskinan
ke dalam berbagai indikator. Dari segi manajemen publlk, suatu indikator
dibedakan menjadi indlkator masukan (inputs), indikator proses (process),
indikator keluaran (outputs), indkator hasil (outcomes), indikator manfaat
(beneJit), dan indikator dampak (impact).
Dengan memperhatikan konsep kemiskinan yang berlaku, indikator
kemiskinan dibedakan menurut kelompok indikator kebutuhan dasar, indikator
pendapatan, indikator kemampuan dasar dan termasuk penguasaan asset, akses
pelayanan publik, dan partisitapi dalam pengambilan keputusan.

Indikator kebutuhan dasar. Indikator kemiskinan yang termasuk dalam
kelompok kebutuhan dasar ini antara lain adalah indikator pendidikan (angka buta
huruf, tingkat perdidikan tertinggi), indikator kesehatan dan gizi (angka kematian
bayi, angka kematian ibu, angka harapan hidup, dan angka kecukupan gizi), dan
indikator lain yang relevan.

Indikiitor pendapatan. Indikator pendapatan yang sering dipakai untuk
mengukur kemiskinan adalah indeks kemiskinan absolut (headcount index) yang
dihitung berdasarkan garais kerniskinan. Indikator pendapatan juga dapat
digunakan untuk mengukur indeks kedalaman kemiskinan (povery gap index) clan

indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Data dasar yang digunakan
untuk mengukur indeks kemiskinan absolut, indeks kedalaman dan indeks

keparahan kemiskinan adalah data pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Data
pengeluaran sebagai proxy bagi data pendapatan. Hal ini dilakukan karena

kesulitan dalam mengumpulkan data pendapatan secara akurat. Data rumah
tangga tersebut dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik melalui SUSENAS.

Indikator kemampuan dasar. Indikator kemarnpuan dasar merupakan
gabungan dari indikator pendapatan dan indikator kebutuhan dasar ditambah
dengan indikator penguasaan asset berupa modal, lahan, prasarana, dan
lingkungan, serta tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan indikator
lain yang relevan.

2.4.2 Kerniskinan Relatif dan Absolut

Terkadang kita tertarik untuk menekankan perhatian kita khusus pada
golongan penduduk termiskin, misalnya 20% atau 40% dari total penduduk yang
telah diurutkan menurut pendapatan atau pzngeluaran, kelompok ini merupakan
penduduk ymg relatif miskin. Bila mendefinisikan cara ini maka tidak dapat
disangkal bahwa "orang miskin selalu hadir bersama kita". Ukuran atau d e ~ s i
tersebut sering membantu h t a untuk menentukan program sasaran yang ditujukan
untuk

membantu penduduk miskin.

Mendefinisikan kelompok miskin

menggunakan cara seperti ini disebut dengan kerniskinan relatif.
Dalam praktek negara kaya memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi
daripada negara rniskin. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara
tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi kecuali
Amenka Serikat, dimana garis kemiskinannya tidak berubah selama hampir empat
dekade. Uni Eropa umurnnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka
yang memiliki pendapatan perkapita di bawah 50% dari median (rata-rata)
pendapatan. Ketika median atau rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan
juga meningkat.

Kemiskinan absolut di sisi yang lain, merupakan kemiskinan yang
didefinisikan jika seseorang berada pada garis kemiskinan absolut "tetapltidak
berubah" dalam ha1 standar hidup. Garis kemiskinan Arnerika Serikat tidak
berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkm dapat
dibandingkan dengan angka kemiskinan stau dekade yang lalu. Ada masalah
konseptual penting yang muncul ketika bekerja dengan garis kemiskinan absolut,
yang muncul dari isu apa yang dimaksud dengan ~ s t k d ahidup".
r

2.4.3 Ukuran Kemiskinan dan Ketimpangan.

Jika diberikan informasi tentang konsumsi per kapita, dan sebuah garis
kemiskinan, maka masalah yang tertinggal hanyalah memutuskan ukuran yang
cukup untuk meringkas agregat kemiskinan. Ada sejumlab ukuran agregat
kemiskinan yang dapat dihitung. Tokoh-tokoh pemerhati kemiskinan di dunia
telah mengembangkan ukuran kerniskinan (povew measures), diantaranya yang
terkenal dan formulanya telah banyak digunakan hingga saat ini adalah Foster,
Greer clan Thorbecke (1984) dalam Ikhsan (1999). Tokoh-tokoh ini telah
mempelopori usaha-usaha untuk memperbadci iudeks kemiskinan yang konsisten
menurut teori ekonomi dan dapat dioperasionalkan yang dikenal dengan FGT
indeks. Secara matematis formula FGT poverty index dapat ditulis sebagai
berikut :

dengan, n

= jumlah

penduduk; Yi= pendapatanlpengeluaran perkapita penduduk

miskin ke-i ; z = garis kemiskinan.

FGT indeks akan menjadi Head-Count Index (HCI) jika a+; akan menjadi
Poverty Gap Index (PGI) jika a=l;Poverty Severity Index atau Square Poverty
Gap (SPgap)jika a=2.

Ketiga indeks di atas hanya akan berguna jika digunakan secara bersamasama (Ikhsan, 1999). HCI menggambarkan berapa persentase dari penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat
kemiskinan, sedangkan SPGap menggambarkan distribusi pendapatan orang
miskin yang menjelaskan tingkat keparahan.

Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga
yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatadpengeluaran. Umumnya

ha1 ini memerlukan iFformasi baik tentang rata-rata pendapatan (pengeluarannya)
maupun distribusinya (pada posisi terendah). Ketimpangan, dilain pihak
merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan
didehsikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang
ber