Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah Provinsi Jawa Barat

(1)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN

DI WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

DISERTASI

WIWIEK RINDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

WIWIEK RINDAYATI. The Impact of Fiscal Decentralization on Poverty and Food Security in the Region of West Java. (BUNASOR SANIM as Chairman, M. PARULIAN HUTAGAOL and HERMANTO SIREGAR as Members of the Advisory Committee)

The implementation of fiscal decentralization in accordance with Law No 32/2004 regarding of local government and No 33/2004 regarding of inter-government fiscal relationship was considered as the new era management and local government budget. Fiscal decentralization gives the opportunity for local government in order to increase income and the expenses side within the controlling of budget has more ability to spend the facilities in accordance to the people needs that gives externality for local economic activities that may increase the income of people, food security performance and to reduce poverty.

The objectives of this research were to (1) describe regional fiscal, economic, poverty and food security performance in the fiscal decentralization, (2) analyze factors affecting regional fiscal, economic, poverty and food security performance, and (3) analyze the impact of fiscal decentralization policies and external factor on poverty and food security in West Java.

The descriptive analysis and dynamic simultaneous equation models that were used in this research, using polled time series data of 1995 – 2005 and cross section data of 13 districts. Econometric model is constructed by 4 blocks, consisting of the regional fiscal, regional economic, poverty, and food security performance. Model was estimated using the 2SLS (Two Stage Least Squares) method SYSLIN procedure and simulation used the SIMNLIN procedure.

The result of the research shows that fiscal decentralization gives significant effect on the increasing of regional income and expenses. The DAU was the source of 68 percent of regional income, and the routine expenditures were the largest regional expenditures (77 percent) in the fiscal decentralization. The mix policies of increasing agricultural development expenditures, paddy price, and health and education development expenditures will have the most impact to reduce of poverty and increase food security in West Java.


(3)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang- Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(4)

Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian,

kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan berwasiat

dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran

QS 103 ( 1 – 3)

Tahukah engkau orang yang mendustakan agama?

Itulah orang yang menelantarkan anak yatim,

dan tidak menganjurkan memberi pangan bagi orang miskin

QS 107 ( 1– 3)


(5)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH

PROVINSI JAWA BARAT

Oleh :

WIWIEK RINDAYATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Nama Mahasiswa : Wiwiek Rindayati Nomor Pokok : A546010011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Bunasor Sanim, M.Sc Ketua

Dr.Ir.M.Parulian Hutagaol, MS Prof.Dr.Ir.Hermanto Siregar, M.Ec Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof.Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, MA Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS


(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya disertasi ini. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pemenuhan pangan untuk dapat hidup sehat dan aktif bagi setiap individu merupakan salah satu hak azasi manusia yang hakiki. Indonesia turut memberikan komitmen yang tinggi untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan rawan pangan. Hal ini sejalan dengan Deklarasi World Food Summit Tahun 1996 dan ditegaskan kembali pada WFS lima tahun kemudian di Roma yang menegaskan bahwa diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dikurangi separuhnya pada tahun 2015. Komitmen Indonesia pada hak untuk akses pangan bagi setiap penduduknya dituangkan dalam Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan memberi kewenangan yang lebih luas pada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran akan memberi peluang bagi pemerintah dalam upaya untuk mengurangi kemiskinan dan kerawanan pangan tersebut. Namun keterbatasan anggaran dan sumberdaya lainnya menjadi kendala bagi pencapaian tujuan mulia tersebut, sehingga diperlukan komitmen yang tinggi dan kerja keras dari pemerintah daerah. Sehubungan hal tersebut penulis tertarik menulis disertasi dengan judul ” Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Barat”.

Selesainya disertasi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak untuk itu pada kesempatan ini dengan setulus hati penulis sampaikan terima kasih terutama kepada :


(8)

masukan pada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini.

2. Dr.Ir.M.Parulian Hutagaol, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu memberikan waktu untuk berdiskusi dengan penulis untuk memberikan masukan terutama pada perumusan masalah penelitian, kerangka pemikiran, penulisan dan sintesis dalam tinjauan referensi penelitian dan penulisan hasil penelitian.

3. Prof.Dr.Ir.Hermanto Siregar, M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang padat untuk memberikan koreksi, arahan, masukan dan bimbingan terutama dalam penentuan topik, membangun model, analisis data, dan penulisan hasil penelitian.

4. Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS selaku Panitia dan Moderator Seminar Hasil Penelitian Pascasarjana serta para peserta seminar Pascasarjana atas masukan dan saran perbaikan pada waktu seminar hasil penelitian.

5. Dr.Ir.Harianto, MSc selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup yang telah meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan penyempurnaan disertasi pada Ujian Tertutup.

6. Prof. Dr.Ir. Bonar M Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas saran-saran perbaikan pada Ujian Tertutup dan atas ilmu-ilmu yang telah diwariskan kepada penulis selama perkuliahan serta atas layanan administrasi dan akademik selama ini. 7. Dr.Ir. Eka Intan Kumala Putri selaku Wakil Dekan FEM dan Ketua Sidang pada Ujian

Tertutup atas segala masukan dan saran-saran perbaikan pada waktu Ujian Tertutup.

8. Dr. Ir.Kaman Nainggolan, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan penyempurnaan disertasi pada Ujian Terbuka.


(9)

9. Dr Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang telah meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberikan saran-saran perbaikan dan penyempurnaan disertasi pada Ujian Terbuka.

10. Dr.Ir.Sri Hartoyo, MS selaku Dekan FEM dan Ketua Sidang pada Ujian Terbuka atas segala masukan dan saran-saran perbaikan pada waktu Ujian Terbuka dan atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis dalam menempuh Program Doktor.

11. Dr.Ir.Rina Oktaviani, MS selaku Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB atas kesempatan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis dalam menempuh Program Doktor.

12. Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Indonesia atas kesempatan dan beasiswa TMPD yang telah diberikan kepada penulis pada penyelesaian Program Doktor.

13. Karyawan BPS Pusat Jakarta, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, BPS Provinsi Jawa Barat, Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat, Dinas Kesehatan Jawa Barat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda ) Jawa Barat yang telah banyak membantu penulis dalam pencarian dan penelusuran data-data penelitian.

14. Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB khususnya kepada: Irmayanti, Diana, Imam, Andros, Junaidi, Mardi dan Retno yang telah banyak membantu dalam pencarian dan penelusuran data-data penelitian.

15. Kepada rekan penulis Dr. Djaimi, Dr .Yundi dan Dr. Aldolf yang telah banyak berdiskusi dengan penulis dalam memberikan masukan dan berbagi ilmu dan pengalaman dalam membangun model dan analisis data.

16. Kedua orang tua penulis Bapak Adi Prayitno dan Ibu Moedjinah atas bimbingan, asuhan, didikan dan kasih sayangnya selama ini sejak bayi sampai sekarang.

17. Bapak dan Ibu Mertua penulis Bapak Soeratman (Alm) dan Ibu Taryam atas perhatian, bimbingan dan kasih sayangnya selama ini.


(10)

dan pengorbannya selama ini.

19. Adik-adik dan kakak- kakak penulis atas bantuan, dukungan, motivasi dan perhatiannya selama ini.

20. Rekan-rekan penulis di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya angkatan tahun 2000, 2001 dan 2002 yang menjadi sahabat dalam suka duka pada masa perkuliahan dan belajar bersama dalam menghadapi prelim.

21. Rekan-rekan penulis di Fakultas Peternakan IPB dan Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB khususnya kepada Ir.Lucia Cyrilla MS, Ir Anggraeni MM, Dr.Ir. Sri Mulatsih MSc.Agr dan Ir. Yetti Lies P. M Sc atas perhatian, dukungan dan motivasinya.

22. Ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan pada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian disertasi ini baik mulai dari proses pembuatan proposal, pengambilan data lapang, analisis data, penulisan laporan sampai pada penyelesaian studi ini.

Bogor, Januari 2009 Penulis


(11)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul ”DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2009

WIWIEK RINDAYATI NRP A546010011/ EPN


(12)

Penulis lahir pada tanggal 16 Agustus 1962 di Malang Jawa Timur sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Adi Prayitno dengan Ibu Moedjinah. Penulis bersuamikan Herry Agus Suroto dan dikaruniai tiga putra-putri yaitu Arie Satryo Wibowo, Bramastyo Agung Wibowo dan Caselia Ajeng Puspitasari.

Pendidikan penulis dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) penulis selesaikan di kota Malang. Pendidikan sarjana peternakan (S1), dapat penulis selesaikan pada tahun 1984 di Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 1986 penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 1994 penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Magister (S2) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1997 penulis diangkat menjadi dosen tetap di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 2000 penulis bergabung sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor di Departemen Ekonomi dan Studi Pembangunan yang sekarang berubah menjadi Departemen Ilmu Ekonomi pada bidang konsentrasi Ekonomi Industri, Perdagangan dan Pembangunan. Pada tahun 2001 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) dengan mendapat beasiswa dari TMPD Dirjen Dikti pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada bidang konsentrasi Ekonomi Pembangunan. Penulis pernah aktif sebagai peneliti pada Pusat Studi Wanita ( PSW) dan Pusat Pengembangan Ilmu- Ilmu Sosial (PPIIS).


(13)

RINGKASAN

WIWIEK RINDAYATI. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat ( BUNASOR SANIM sebagai Ketua, M. PARULIAN HUTAGAOL dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Permasalahan dalam membangun ketahanan pangan berkelanjutan adalah terkait adanya fakta bahwa kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di perdesaan dan di sektor pertanian khususnya pada subsektor tanaman pangan (Susenas, 2002; Yudhoyono, 2004; Herliana, 2004). Demi terwujudnya ketahanan pangan berkelanjutan pemerintah harus punya keberpihakan sehingga dalam membangun ketahanan pangan harus diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani pangan sebagai pelaku produksi bahan pangan.

Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan sebagian besar menjadi kewenangan pemerintah daerah bersama masyarakat. Peran pemerintah daerah bersama masyarakat diharapkan lebih besar karena pemerintah daerah dianggap lebih tahu dalam mengatasi permasalahan secara lebih spesifik berdasarkan pada potensi dan keunggulan serta keaneka-ragaman sumberdaya. Kondisi ini memungkinkan berkembangnya kreativitas masyarakat daerah dalam mengembangkan potensi pangan sesuai dengan sumber daya, budaya dan selera masyarakat setempat.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis kinerja fiskal daerah sebelum dan masa desentralisasi fiskal, (2) membangun model ekonomi daerah untuk menganalisis keterkaitan antara kinerja fiskal daerah (penerimaan dan pengeluaran), kemiskinan dan ketahanan pangan, (3) menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks desentralisasi fiskal, dan (4) merumuskan implikasi kebijakan strategis dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks desentralisasi fiskal di Jawa Barat.

Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan analisis diskriptif dan analisis ekonometrika model sistem persamaan simultan dinamis yang terdiri 4 blok yaitu blok fiskal daerah, PDRB, kemiskinan dan ketahanan pangan. Model yang dibangun disusun dalam 19 persamaaan struktural dan 9 persamaan identitas. Model diduga dengan metoda Two Stage Least Squares (2 SLS), selanjutnya dilakukan analisis struktural dan analisis simulasi kebijakan. Analisis simulasi historis (post ante) dilakukan pada periode sebelum desentralisasi fiskal tahun 1995 – 2000 dan masa desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2005 dengan berbagai skenario kebijakan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.

Penelitian dilakukan di Jawa Barat dengan unit analisis daerah kabupaten. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa pooled data (time series tahun 1995 – 2005 dan cross section 13 kabupaten) dari BPS Pusat Jakarta, BPS Provinsi Jawa Barat, BPS Kabupaten, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Provinsi Jabar, Dinas Kesehatan Provinsi Jabar, Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Keuangan, Pemda Kabupaten dan instansi terkait.


(14)

mencapai 68 persen sedang penerimaan dari pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih kecil sehingga menimbulkan ketergantungan fiskal yang semakin besar terhadap pemerintah pusat. Sedang struktur pengeluaran daerah didominasi oleh pengeluaran rutin yang komponennya mencapai 77 persen.

Pada masa desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2005 perekonomian Jawa Barat mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2006 dan 2007 pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mulai berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri mempunyai kontribusi terbesar dalam perekonomian Jawa Barat (43.17 persen) dengan laju yang relatif tinggi (6.74 persen), namun pertumbuhan sektor industri kurang mempunyai kaitan kuat dengan pertumbuhan sektor pertanian yang tumbuh sebesar 2.36 persen dengan kontribusi sebesar 14 persen dengan komponen terbesar pada sub sektor tanaman pangan yang mencapai 70 persen dari perolehan sektor pertanian. Dari sisi penyerapan tenaga kerja sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 19.68 persen sementara sektor pertanian berkontribusi sebesar 33.72 persen.

Pada masa desentralisasi fiskal terjadi perlambatan pada laju penurunan jumlah penduduk miskin dan terjadi peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan. Kabupaten-kabupaten yang menjadi sentra produksi beras mempunyai tingkat kemiskinan yang relatif lebih tinggi dengan laju penurunan jumlah penduduk miskin yang relatif lebih lambat. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat selalu lebih rendah dari tingkat kemiskinan nasional.

Pada masa desentralisasi fiskal terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi yaitu terjadinya penurunan rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan konsumsi protein, namun dari sisi produksi dan ketersediaan pangan selalu terjadi surplus ketersediaan dan peningkatan produksi beras. Surplus ketersediaan beras terjadi pada semua kabupaten di Jawa Barat kecuali Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor, sedang untuk daerah kota semua mengalami defisit ketersediaan beras. Walaupun terjadi banyak kendala seperti bencana alam, iklim dan alih fungsi lahan sawah namun produksi padi sawah di Jawa Barat pada tahun 2001 – 2006 terus mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan peningkatan laju luas panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar l.78 persen. Dari sisi outcome terjadi peningkatan terhadap kinerja ketahanan pangan yaitu prevalensi gizi kurang dan gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup.

Kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran pada sektor pertanian berpengaruh signifikan pada peningkatan kinerja perekonomian daerah khususnya berupa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, PDRB sektor Pertanian, produksi gabah, pendapatan petani dan pendapatan per kapita. Kinerja perekonomian daerah selanjutnya secara signifikan mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin dan kinerja ketahanan pangan daerah berupa peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan protein per kapita serta outcome katahanan pangan daerah berupa prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Jumlah penduduk miskin secara signifikan mempengaruhi kinerja fiskal daerah berupa penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, dimana penerimaan pajak daerah secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penduduk


(15)

miskin, PDRB. Jumlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Kinerja perekonomian daerah pada sektor pertanian juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal berupa harga input dan harga output.

Berdasarkan hasil simulasi historis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan pajak dan retribusi daerah berpengaruh terhadap penerimaan daerah dan selanjutnya akan mempengaruhi pengeluaran rutin dan pembangunan, meningkatkan kinerja perekonomian dan menurunkan kemiskinan.

Kebijakan relokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan berpengaruh pada kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian berdampak pada peningkatan PDRB sektor pertanian, produksi gabah, pendapatan sektor pertanian, dan pendapatan per kapita. Selanjutnya meningkatkan konsumsi beras, energi dan protein, kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi buruk dan angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Selanjutnya meningkatkan kinerja fiskal daerah karena penurunan jumlah penduduk miskin berarti mengurangi beban subsidi dan meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.

Peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan pendidikan berpengaruh meningkatkan kinerja ketahanan pangan dari sisi konsumsi dan pemanfaatan pangan yaitu meningkatkan konsumsi energi dan protein serta menurunkan angka gizi buruk angka kematian bayi dan meningkatkan umur harapan hidup.

Kebijakan peningkatan harga pupuk berdampak pada penurunan penggunaan pupuk, penurunan produksi gabah dan penurunan PDRB sektor pertanian. Sehingga menurunkan pendapatan pada sektor pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras, energi dan protein. Meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang besar pada penurunan produksi gabah dan penurunan pendapatan pertanian.

Kebijakan peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi gabah, penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, PDRB Pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras, energi dan protein, serta menurunkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak paling besar dari peningkatan harga gabah adalah peningkatan produksi gabah yang didahului oleh peningkatan penggunaan pupuk.

Kebijakan kombinasi peningkatan harga gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama memberi dampak pada penurunan penggunaan pupuk sehingga menurunkan produksi gabah dan PDRB Pertanian. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per kapita, menurunkan konsumsi beras, energi dan protein serta meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak negatif dari peningkatan harga pupuk lebih dominan dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah.

Kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan harga gabah memberi respon yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan secara tunggal. Karena dampak peningkatan produksi gabah dari peningkatan pengeluaran sektor pertanian berpengaruh pada penurunan harga, apabila dibarengi oleh kebijakan peningkatan harga gabah akan menghilangkan trade off negatif tersebut.

Terjadinya perlambatan laju penurunan jumlah penduduk miskin, peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan, penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi


(16)

tidak bisa akses terhadap pangan secara sehat. Untuk itu sebaiknya kebijakan yang dilakukan pada masa desentralisasi fiskal memberi kesempatan bagi golongan pendapatan rendah untuk bisa akses dalam pembangunan dengan program padat karya di sektor pertanian pangan.

Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak meningkatkan kinerja perekonomian melalui peningkatan PDRB Pertanian dan penyerapan tenaga kerja sehingga meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Untuk itu dalam keterbatasan dana anggaran pembangunan, pemerintah daerah harus masih punya keberpihakan pada sektor pertanian karena sektor ini masih merupakan tempat bergantungnya hidup sebagian besar penduduk. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak negatif yang lebih besar dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah, untuk itu pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan harga gabah besaran nilai kenaikan harga gabah harus mengakomodasi besaran nilai kenaikan harga pupuk agar kebijakan harga yang dilakukan mencapai sasaran dan efektif meningkatkan kesejahteraan petani.

Peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan petani serta meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Dalam konsteks desentralisasi fiskal, pemerintah daerah bisa mengefektifkan berlakunya kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dilakukan pemerintah pusat yang sering tidak berlaku efektif dengan melakukan pembelian dan pengelolaan stok (cadangan) beras di daerah bekerjasama dengan bulog dan masyarakat dengan membangun fasilitas penjemuran gabah, gudang penyimpanan, pengembangan resi gudang serta mengoptimalkan dana Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) di daerah dalam upaya menjaga kestabilan harga. Sehingga pada saat panen raya harga di tingkat petani tidak jatuh dan HPP yang ditetapkan pemerintah pusat bisa berlaku efektif bagi petani. Peningkatan harga gabah diharapkan dibarengi oleh pelaksanaan diversifikasi pangan non beras.

Untuk meningkatkan produksi gabah dan pendapatan petani serta mengurangi jumlah penduduk miskin, sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan pengeluaran dana kesehatanan dan pendidikan yang dikombinasikan dengan peningkatan harga gabah dengan mengakomodasi adanya besaran tambahan biaya akibat peningkatan harga pupuk.

Meningkatnya angka gizi buruk pada era desentralisasi fiskal bisa ditanggulangi dengan peningkatan dana kesehatan dan pendidikan. Dana tersebut bisa digunakan untuk melakukan revitalisasi peran puskesmas dan posyandu dalam melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Mengupayakan pendidikan gratis bagi golongan penduduk miskin dan menggalakan pelatihan ketrampilan bagi penduduk miskin di perdesaan agar tercipta kemandirian.

Penyaluran subsidi input maupun output yang langsung bisa dirasakan oleh petani pangan masih diperlukan, begitu pula pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi masyarakat miskin juga masih perlu dilakukan dan ditingkatkan. Selain itu juga perlu dikembangkan kerjasama antara pemerintah dan swasta, dalam upaya penciptaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, kompetitif dan efisien.


(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... i

DAFTAR GAMBAR. ...ii

DAFTAR LAMPIRAN...iii

I. PENDAHULUAN. ... 1

1.1. Latar Belakang. ... 1

1.2. Perumusan Masalah. ... 9

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 12

1.4. Ruang Lingkup Penelitian... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA. ... 15

2.1. Peranan Pemerintah. ... 15

2.1.1. Peranan Alokasi... 17

2.1.2. Peranan Distribusi. ... 19

2.1.3. Peranan Stabilisasi... 21

2.1.4. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan... 23

2.1.5. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi... 25

2.1.6. Kegagalan Pemerintah... 28

2.2. Desentralisasi Fiskal. ... 29

2.2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal... 30

2.2.2. Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. ... 38

2.2.3. Dampak Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal... 40

2.2.4. Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah. ... 45

2.3. Kemiskinan. ... 50

2.3.1. Konsep dan Indikator Kemiskinan. ... 51

2.3.2. Tipe dan Faktor Penyebab Kemiskinan... 55

2.4. Ketahanan Pangan... 58

2.4.1. Konsep Ketahanan Pangan. ... 59

2.4.2. Ketahanan Pangan Sebagai Suatu Sistem... 62

2.4.3. Indikator Ketahanan Pangan... 65


(18)

3.1.1. Kaitan Desentralisasi, Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ... 75

3.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah. ... 78

3.1.3. Teori Distribusi Pendapatan... 80

3.1.4. Teori Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Pangan. ... 83

3.1.5. Teori Permintaan Pangan. ... 86

3.1.6. Indikator Kemiskinan... 88

3.1.7. Kinerja Ketahanan Pangan... 89

3.2. Kerangka Konseptual Penelitian. ... 89

3.3. Hipotesis Penelitian. ... 91

IV. METODE PENELITIAN. ... 93

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 93

4.2. Data dan Sumber Data... 93

4.3. Metode Analisis... 93

4.4. Kontruksi Model Ekonometrika. ... 94

4.5. Spesifikasi Model Ekonometrika. ... 95

4.6. Identifikasi dan Pendugaan Model. ... 101

4.7. Validasi Model. ... 103

4.8. Simulasi Kebijakan dan Faktor Eksternal. ... 104

V. GAMBARAN UMUM KONDISI FISKAL, KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT. ... 107

5.1. Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat... 107

5.2. Kondisi Fiskal Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat... 111

5.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat. ... 115

5.4. Kemiskinan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. ... 121

5.5. Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat... 126

VI. KERAGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN. ... 136

6.1. Analisis Umum Model Dugaan. ... 136

6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural. ... 137


(19)

6.2. 2. Pengeluaran Daerah... 141

6.2. 3. PDRB Kabupaten. ... 143

6.2. 4. Produksi Gabah. ... 147

6.2. 5. Pendapatan Pertanian... 149

6.2. 6. Tenaga Kerja Pertanian. ... 151

6.2. 7. Penggunaan Pupuk. ... 153

6.2. 8. Harga Gabah... 154

6.2. 9. Harga Beras. ... 155

6.2.10. Konsumsi Beras... 157

6.2.11. Konsumsi Energi. ... 160

6.2.12. Konsumsi Protein. ... 161

6.2.13. Jumlah Penduduk Miskin. ... 163

6.2.14. Prevalensi Angka Gizi Buruk... 165

6.2.15. Angka Kematian Bayi. ... 168

6.2.16. Umur Harapan Hidup. ... 170

VII. EVALUASI KEBIJAKAN DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT ... 172

7.1. Validasi Model. ... 172

7.2. Simulasi Historis Periode Sebelum Desentralisasi Fiskal. ... 173

7.2. 1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 173

7.2. 2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 175

7.2. 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 176

7.2. 4. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 179

7.2. 5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk t erhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 180

7.2. 6. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ... 183

7.2. 7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 185

7.2. 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 187


(20)

7.3. Simulasi Historis Periode Masa Desentralisasi Fiskal.. ... 191

7.3. 1. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 191

7.3. 2. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ... 193

7.3. 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 194

7.3. 4. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 197

7.3. 5. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ... 199

7.3. 6. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ... 200

7.3. 7. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 202

7.3. 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan... 203

7.3. 9.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ... 205

7.3.10.Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Harga Gabah serta Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. ... 207

7.4. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Menurunkan Kemiskinan dan Meningkatkan Ketahanan Pangan. ... 208

7.5. Ringkasan Hasil. ... 211

VIII KESIMPULAN DAN SARAN... 216

8.1. Kesimpulan.. ... 216

8.2. Implikasi Kebijakan. ... 218

8.3. Saran Penelitian Lanjutan. ... 223

DAFTAR PUSTAKA. ... 225


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Dana Perimbangan Menurut UU No 25 tahun 1999... 44

2. Rekapitulasi Hasil- Hasil Penelitian Terdahulu. ... 69

3. Keterangan Peubah Penelitian dan Satuannya. ... 100

4. Struktur Penggunaan Lahan di Wilayah Jawa Barat tahun 2005... 109

5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi Jawa Barat 2007. ... 110

6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat ... 112

7. Perkembangan dan Struktur PDRB Jawa Barat Tahun 2001 – 2005... 117

8. Rataan Pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Perekonomian Jawa Barat Tahun 2001 – 2005. ... 118

9. Perkembangan Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Barat. ... 121

10. Jumlah dan Presentase Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004.... 122

11. Perkembangan dan Keragaan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005... 125

12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersediaan Beras untuk Konsumsi, Jumlah Konsumsi Beras dan KondisiPersediaan Beras ...128

13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di Jabar Tahun 2001 - 2005. ... 129

14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005... 132

15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005... 133

16. Perkembangan dan Keragaan Umur Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005... .134

17. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Daerah Kabupaten di Jawa Barat... 139

18. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Daerah.Kabupaten di Jawa Barat... 142


(22)

20. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gabah Kabupaten di

Jawa Barat... 148 21. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Sektor Pertanian.Kabupaten. di Jawa Barat... 150 22. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor Pertanian... 151 23. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Pupuk... 153 24. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Gabah...154 25. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Beras...156 26. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Beras... 157 27. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Energi...161 28. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Protein...162 29. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin...164 30. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Gizi Buruk...166 31. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Angka Kematian Bayi...168 32. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Umur Harapan Hidup...171 33. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000...174 34. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000...175 35. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan

dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000...177 36. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap

Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000...179 37. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan

dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000...181 38. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan


(23)

39. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah

terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 -2000...185

40. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah

terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000...188 41. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan

Peningkatan Dana Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan

Ketahanan Pangan Tahun 1995 – 2000...190 42. Dampak Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 -2005...192 43. Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005...194 44. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian terhadap Kemiskinan

dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005...195 45. Dampak Peningkatan Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap

Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005...198 46. Dampak Peningkatan Harga Pupuk terhadap Kemiskinan

dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005...199 47. Dampak Peningkatan Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan

Ketahanan Pangan Tahun 2001 - 2005...201 48. Dampak Peningkatan Harga Pupuk dan Harga Gabah

terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001 – 2005...203 49. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Harga Gabah

terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2001- 2005...204 50. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian dan Peningkatan

Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan terhadap Kemiskinan dan

Ketahanan Pangan Tahun 2001- 2005...206 51. Dampak Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Kesehatan dan Pendidikan serta Harga Gabah terhadap Kemiskinan dan Ketahanann

Pangan Tahun 2001- 2005...208 52. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kebijakan Potensial dalam Meningkatkan


(24)

Nomor Halaman

1. Presentase Angka Kecukupan Ketersediaan dan Konsumsi Energi dan Protein di Indonesia Tahun 2005………..……...6 2. Perkembangan Jumlah Penduduk sangat Rawan Pangan dan Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1996 – 2005 ……….…...….10 3. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan………...……..………... 64 4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga..…………...…………..………...66 5. Dampak Pola Penyaluran Dana Bantuan terhadap Kesejahteraan.………..77 6. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ...91 7. Tahapan Membangun Model Analisis Ekonometrika ...96 8. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat dan Nasional

Tahun 2001 – 2005…...116 9. Perkembangan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia dan Jawa Barat

Tahun 1996 – 2007.………124 10. Perkembangan Produksi Padi Ladang, Sawah dan Ladang + Sawah di Jabar Tahun 2001 – 2007……… 127 11. Perkembangan Persentase Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein Per


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Identifikasi Persamaan Struktural Model Penelitian ...235 2. Perhitungan MSE, U Theil Untuk Validasi...236 3. Hasil Pendugaan Model Penelitian...237


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Pada hakekatnya pembangunan nasional ditujukan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan kegiatan pembangunan diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya nasional bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Meier (1978) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan riil per kapita tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan kesenjangan distribusi pendapatan dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Tiga aspek tersebut sangat penting bagi kesejahteraan suatu masyarakat, karena peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidaklah cukup apabila kesenjangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan semakin meningkat. Setiap negara yang melakukan pembangunan ekonomi mengharapkan terjadinya peningkatan kesejahteraan bagi semua penduduknya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi lebih berarti jika diikuti oleh pemerataan atas hasil-hasil pembangunan.

Pemerataan hasil-hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan semakin besar antar kelompok masyarakat akan menyebabkan adanya kemiskinan semakin meluas.Oleh karena itu orientasi dari pemerataan merupakan usaha untuk mengurangi kemiskinan. Anggapan bahwa jika pertumbuhan ekonomi berjalan cepat maka kemiskinan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses trickle down effect.

Ternyata kondisi tersebut tidak terjadi, karena seiring berjalannya pembangunan dan tumbuhnya perekonomian diikuti pula terjadinya tingkat ketimpangan distribusi


(27)

2

pendapatan yang dapat menyebabkan munculnya kantong-kantong kemiskinan. Oleh karena itu muncul strategi pembangunan, dimana pemerataan distribusi pendapatan dan pengikisan kemiskinan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan (Meier, 1978; Donalson, 1984; Todaro, 2000).

Chenery, et al. (1974), Adelman dan Robinson (1978) mengemukakan bahwa kebijakan harus diarahkan pada sasaran kelompok-kelompok tertentu yang miskin. Pendekatan yang lebih mengena bagi pengikisan kemiskinan dianjurkan ILO ( 1976) dengan strategi kebutuhan dasar yang sasarannya adalah peningkatan taraf hidup kaum miskin secara langsung. Apabila kebutuhan dasar semua masyarakat dapat dipenuhi, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan kaum miskin sehingga tidak saja menurunkan tingkat kemiskinan akan tetapi juga mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan produktivitas dan pendapatan kaum miskin akan meningkatkan kemampuannya dalam konsumsi, menabung dan investasi, sehingga dengan asumsi kemampuan menabung kaum kaya tidak berkurang maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi (Bigsten, 1992; Adelman dan Robinson, 1978; Todaro, 2000).

Sumber daya manusia merupakan subjek dan objek dalam pembangunan nasional. Sebagai objek, maka pelaksanaan dalam pembanguanan tersebut harus mengarah pada peningkatan dan pemerataan kesejahteraaan manusia. Sebagai subjek pembangunan, maka manusia merupakan pelaku dalam pelaksanaan pembangunan yaitu merupakan human capital yang berfungsi sebagai faktor produksi tenaga kerja, fungsi wiraswasta dan pengelola dalam proses pembangunan (Todaro, 2001; Mulyadi, 2003).

Dalam fungsinya sebagai subjek dalam pembangunan nasional maka kualitas dari sumber daya manusia merupakan syarat keharusan yang perlu ditingkatkan baik


(28)

melalui pendidikan, kesehatan maupun pemenuhan pangan dan gizinya. Jika pada masa lalu jumlah sumber daya manusia bisa menjadi salah satu keunggulan komparatif, maka pada masa sekarang dan yang akan datang jumlah saja tidak cukup tetapi harus juga disertai dengan kualitas yang tinggi. Pada masa yang akan datang, sumber daya manusia lebih dominan pengaruhnya pada pembangunan suatu bangsa dibanding dengan kekayaan sumber daya alam. Bukti empiris menunjukkan negara-negara yang memberikan perhatian serius pada investasi sumber daya manusia (misalnya Jepang dan Singapura), maka akan terjadi percepatan pembangunan ekonomi yang lebih baik (Mulyadi, 2003).

Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang merupakan prasyarat bagi perkembangan organ-organ fisik manusia yang akan berpengaruh pada perkembangan intelegensia dan daya tahan fisiknya. Generasi yang mempunyai kondisi fisik yang tangguh dan intelegensia yang tinggi sangat diperlukan sebagai tulang punggung bagi berkembangnya kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu bangsa. Sehingga demi terbentuknya suatu bangsa yang tangguh, unggul dan berdaya saing tinggi, maka pemenuhan pangan dan gizi yang cukup dan seimbang bagi setiap individu anggota masyarakat harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Kesejahteraan gizi (nutrition well being) merupakan salah satu indikator kualitas sumber daya manusia yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut dapat dikaji dari dua sisi yaitu peranan gizi terhadap pembangunan maupun dampak pembangunan terhadap status gizi masyarakat, sehingga penduduk yang berstatus gizi baik merupakan hasil sekaligus modal dari pembangunan ( Baliwati, 2001; Mulyadi, 2003).

Pemenuhan pangan dan gizi yang cukup dan seimbang bagi semua anggota masyarakat akan memberikan sumbangan pada peningkatan produktivitas dan


(29)

4

kualitas hidup terutama bagi masyarakat golongan miskin. Sebagaimana dikatakan oleh Leibenstein (Jhingan, 2000) bahwa kesehatan kaum miskin membawa kepada rendahnya produktivitas dan rendahnya pendapatan, karena kesehatan kaum miskin merupakan bagian dari vicious circle of poverty. Oleh karena itu peningkatan kesehatan kaum miskin melalui kecukupan pangannya akan meningkatkan produktivitas kerja yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan dan tingginya pendapatan akan diikuti oleh perbaikan pangan, sehingga bisa memecahkan vicious circle of poverty tersebut. Dengan demikian, mencukupi kebutuhan dasar terutama tentang pangan menjadi suatu keharusan dalam upaya untuk memecahkan vicious circle of poverty (Gemmell, 1992; Todaro, 2000; Reutingler, 1987; Kirwan dan Mcmillan, 2007).

Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi pembangunan nasional. Hal ini terjadi karena suatu negara dalam membangun perekonomiannya harus terlebih dahulu dapat menyelesaikan masalah pangannya dalam istilah Robert Fogel disebut sebagai “escape from hunger” (menyelamatkan diri dari kelaparan). Ketidak tahanan pangan atau kerawanan pangan sangat berpotensi dalam memicu terjadinya kerawanan sosial, politik maupun keamanan. Sehingga kondisi yang demikian tidak akan mendukung dalam pelaksanaan program-program pembangunan secara keseluruhan, yang berarti menunjukkan tidak terwujudnya kondisi ketahanan nasional (Selowky, 1981; Berg, 1981; Simatupang, 1999; Badan Ketahanan Pangan, 2005a).

Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dengan demikian komitmen negara untuk mewujudkan tercapainya ketahanan pangan bagi setiap penduduknya


(30)

menjadi sangat penting, hal ini karena didasarkan pada peran strategis perwujudan ketahan pangan tersebut yaitu dalam (1) memenuhi salah satu hak azasi manusia, (2) membangun kualitas sumber daya manusia, dan (3) membangun salah satu pilar bagi ketahanan nasional (Suryana, 2001; Saliem et al , 2002 ; Badan Ketahanan Pangan, 2005a).

Komitmen pemerintah Indonesia pada hak untuk akses terhadap pangan bagi setiap penduduknya, dituangkan dalam Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang pangan. Sehingga pemenuhan utama hak dasar atas pangan kepada setiap warga masyarakat menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia, yaitu setiap penduduk Indonesia berhak memperoleh pangan yang cukup, aman dan bergizi yang merupakan pencerminan kondisi ketahanan pangan Negara. Hal ini sejalan dengan

World Food Summit (WFS) tahun 1996 di Roma yang kemudian ditegaskan kembali pada Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000 bahwa diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dapat dikurangi menjadi separuhnya pada tahun 2015, sehingga Indonesia berkomitmen akan menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan dari 15.1 persen menjadi 7.0 persen pada tahun 2015 (Badan Ketahanan Pangan, 2005a; Badan Ketahanan Pangan, 2005b).

Dalam upaya memenuhi amanat Undang-Undang Pangan maka memantapkan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga mempunyai arti dan peran startegis sebagai media untuk menjamin akses pangan bagi setiap anggota masyarakat. Karena kecukupan dalam ketersediaan pangan saja pada tingkat nasional maupun regional tidak menjamin tercapainya kondisi ketahanan pangan bagi setiap anggota masyarakat (IFPRI, 1999; Maxwell dan Frankenberger, 1992; Badan Ketahanan Pangan 2005a; Badan Ketahanan Pangan, 2006). Sebagaimana tersaji pada Gambar 1 yang ditunjukkan angka rata-rata ketersediaan pangan berupa energi


(31)

6

dan protein yang cukup menurut standar norma gizi Widya Karya Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 yaitu ketersediaan energi sebesar 2200 kkal per kapita per hari dan ketersediaan protein sebesar 57 gram per kapita per hari. Namun karena adanya kendala akses dari rumah tangga dan individu berupa kendala fisik maupun ekonomi maka pada rata-rata tingkat konsumsi belum mencukupi sesuai dengan standar norma gizi yang direkomendasikan, yaitu untuk kecukupan konsumsi energi adalah sebesar 2000 kkal per kapita per hari dan kecukupan konsumsi protein adalah 52 gram per kapita per hari (Badan Ketahanan Pangan, 2005a).

0 20 40 60 80 100 120 140 160

1993 1996 1999 2002 2005

Ketersediaan Energi

Konsumsi Energi

Ketersediaan Protein

Konsumsi Protein

Sumber : Susenas, BPS berbagai tahun terbitan.

Gambar 1. Persentase Angka Kecukupan Ketersediaan dan Konsumsi Energi dan Protein di Indonesia (%)

Dalam membangun ketahanan pangan golongan penduduk yang rawan pangan harus mendapat perhatian. Penduduk rawan pangan menjadi beban bagi pemerintah, karena pangan merupakan hak dasar rakyat sehingga pemerintah harus mengupayakan golongan penduduk rawan pangan untuk keluar dari kemiskinan sehingga mempunyai kemandirian dalam mencukupi kebutuhan dasar pangannya. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga dan individu suatu wilayah berhubungan


(32)

erat dengan tingkat kemiskinan, karena golongan masyarakat rawan pangan sebagian besar adalah golongan masyarakat miskin. Sehingga terdapat hubungan erat antara pengurangan kemiskinan dengan perbaikan ketahanan pangan rumah tangga dan individu ( Reutingler, 1987; Badan KetahananPangan, 2005a).

Permasalahan dalam membangun ketahanan pangan berkelanjutan terkait adanya fakta bahwa kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di perdesaan pada sektor pertanian khususnya pada subsektor pangan (Susenas, 2002; Sipayung, 2002; Yudhoyono, 2004; Herliana, 2004; Muharminto, 1993). Tingginya angka kemiskinan disebabkan pada sektor ini menanggung beban berlebih dalam penyerapan tenaga kerja akibat adanya perubahan struktural tidak seimbang sehingga angka pengangguran tersembunyi cukup besar dan produktivitas menjadi rendah (Ellies,1992; Ikhsan, 2001; Maksum, 2005; Soetrisno, 1999; Fane and Warr, 2008). Ikhsan (2001), Ellies (1992) dan Soetrisno (1999) menyatakan tingginya beban penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian disebabkan karena human capital endowment di sektor pertanian yang tidak memadai sehingga menyulitkan proses transformasi tenaga kerja antar sektor, sehingga sektor pertanian berfungsi sebagai

employment of last resort. Selama ini kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil pemerintah masih kurang menyentuh kepentingan sektor pertanian. Sektor pertanian sengaja dibangun sebagai produsen bahan pangan murah, tumbal ketahanan pangan nasional, bemper ketenagakerjaan dan tumbal inflasi (Maksum, 2005; Norton, 2004).

Demi terwujudnya ketahanan pangan berkelanjutan pemerintah harus punya keberpihakan sehingga dalam membangun ketahanan pangan juga diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani pangan sebagai pelaku produksi bahan pangan. Peningkatan pendapatan bagi petani pangan merupakan insentif yang bisa


(33)

8

merangsang untuk meningkatkan produksi pangan. Apabila petani pangan tidak terinsentif untuk memproduksi bahan pangan maka dikawatirkan akan terjadi alih fungsi lahan pertanian khususnya pada lahan pangan secara besar-besaran sehingga dalam jangka panjang akan mengancam keberlangsungan ketahanan pangan nasional (Simatupang, 1999; Dorosh, 2008; Fane and Warr, 2008; McCulloch, 2008; McCulloch and Timmer, 2008).

Peningkatan produktivitas pada petani pangan akan meningkatkan pendapatan dan daya belinya, terutama bagi petani berlahan sempit dan buruh tani sehingga akan efektif dalam mengurangi kemiskinan di perdesaan karena angka kemiskinan banyak terdapat pada subsektor pangan (Herliana, 2004). Peningkatan produktivitas pada subsektor pangan selain efektif dalam pengurangan kemiskinan sekaligus juga sebagai penarik bagi pelaku-pelaku produksi pangan untuk meningkatkan produksi dan usahanya sehingga akan meningkatkan ketahanan pangan secara berkelanjutan ( Maksum, 2005; Norton, 2004; Dorosh, 2008).

Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal maka telah terjadi perubahan paradigma dalam pelaksanaan pembangunan nasional di Indonesia, dimana apabila sebelumnya ditunjukkan oleh peran pemerintah pusat yang dominan maka peran tersebut telah dialihkan pada pemerintah daerah. Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, telah merubah sistem sentralisasi yang mendominasi selama 32 tahun menjadi sistem desentralisasi ( Departemen Dalam Negeri, 2002).

Desentralisasi fiskal memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk lebih mampu menggali potensi daerah dalam meningkatkan penerimaannya. Dari sisi


(34)

pengeluaran dengan kendala anggaran yang ada diharapkan lebih mampu membelanjakan pada fasilitas yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat. Sehingga bisa memberikan eksternalitas terhadap tumbuhnya investasi swasta dan kegiatan ekonomi masyarakat dan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Hal ini sesuai dengan tuntutan desentralisasi, yaitu berkembangnya demokratisasi, peningkatan partisipasi masyarakat, pemerataan, keadilan dan lebih memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman sumber daya (Sondakh, 1999; Mahi, 2000; Rao, 2000; Paul, 2001).

Dana alokasi umum (DAU) yang bersifat block grant lebih memudahkan bagi pemerintah daerah untuk membelanjakan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah sehingga diharapkan memberi kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang lebih baik yang akan berpengaruh pada kegiatan perekonomian daerah, pendapatan masyarakat dan kemiskinan. Sejalan dengan fungsi Jawa Barat sebagai lumbung padi nasional diharapkan pengaruh perubahan struktur anggaran belanja daerah memberi pengaruh positif terhadap kinerja ketahanan pangan di Jawa Barat.

Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia, dan usahatani padi merupakan tempat dimana sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah potensi penyangga pangan nasional, yaitu berkontribusi terbesar pada luas panen padi yang pada tahun 2004 sebesar 15.3 persen dan merupakan penyumbang terbesar produksi padi yaitu sebesar 17.8 persen dari produksi nasional ( BPS Jabar, 2005).

1.2. Perumusan Masalah

Dalam implementasi desentralisasi fiskal, diharapkan pemerintah daerah di Jawa Barat bisa mempertahankan tingkat produksi yang sudah dicapai dan bisa


(35)

10

meningkatkan produktivitas dengan menggali potensi yang ada melalui fasilitasi kepada masyarakat. Sehingga bisa menimbulkan eksternalitas pada pengembangan usahatani padi, pangan lainnya, kegiatan ekonomi perdesaan serta agribisnis pangan daerah. Hal ini akan berdampak pada peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani, pengembangan perekonomian daerah sehingga tidak saja akan mencukupi kebutuhan pangan di wilayahnya, tetapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat serta sebagai penyangga ketahanan pangan di wilayah regional maupun nasional.

Fenomena yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah terjadinya penurunan kinerja ketahanan pangan yang ditunjukkan oleh peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan, kasus gizi buruk bahkan ditemukan sejumlah balita yang meninggal karena penyakit kekurangan gizi kronis atau busung lapar yang disebabkan karena tidak bisa akses terhadap pangan secara sehat dan berkecukupan. Menurut data BPS jumlah balita di Indonesia tahun 2005 sebesar 20.87 juta jiwa dan sebesar 8 persen menderita kasus gizi buruk. Pada Gambar 2 diperlihatkan pada masa pelaksanaan desentralisasi fiskal terjadi peningkatan terhadap jumlah penduduk sangat rawan pangan.

Sumber : Susenas, BPS berbagai tahun terbitan diolah

Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Sangat Rawan Pangan dan Miskin di Indonesia Tahun 1996 - 2005 ( % )

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

1996 1999 2002 2004 2005

Penduduk rawan pangan

Penduduk sangat rawan pangan

Penduduk miskin


(36)

Desentralisasi fiskal yang memberi esensi kebebasan pada pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan pembelanjaan publik seharusnya memberi pengaruh positif terhadap kinerja ketahanan pangan yang merupakan pencerminan pemenuhan kebutuhan dasar hakiki manusia. Munculnya fenomena gizi buruk dan jumlah penduduk sangat rawan pangan yang mencerminkan penurunan kinerja ketahanan pangan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, mengindikasikan adanya kendala dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Untuk itu diperlukan kreativitas dari pemerintah untuk mengoptimalkan perannya dalam meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan.

Sebagai daerah agraris prestasi pembangunan tidak cukup hanya dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi kemandirian dalam memenuhi pangan semua penduduknya dan peningkatan kesejahteraan petani merupakan faktor penting dalam upaya tercapainya pembangunan yang berkelanjutan (Soetrisno, 1999; Badan Ketahanan Pangan, 2006).

Penurunan status gizi masyarakat mempunyai dampak yang luas terhadap jalannya pembangunan, karena status gizi selain merupakan pencerminan hasil dari pembangunan juga mencerminkan kondisi kualitas dari pelaku pembangunan. Status gizi yang buruk mencerminkan buruknya kinerja dari pembangunan karena target dari pembangunan salah satunya adalah tercapainya masyarakat yang sejahtera yang salah satu tolok ukurnya adalah status gizi yang baik. Buruknya status gizi masyarakat akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia, terutama terhadap kesehatan fisik, jiwa dan perkembangan intelektualitasnya. Kondisi status gizi yang buruk akan menghasilkan sumberdaya manusia yang rendah dan tidak berdaya saing. Sebaliknya tingginya kualitas sumberdaya manusia akan mampu menciptakan suatu lompatan hasil pembangunan yang tinggi dengan memadukan antara kekuatan fisik,


(37)

12

mental, ilmu pengetahuan yang melekat pada diri manusia sebagai satu kesatuan modal manusia dengan kapital dan teknologi yang ada dalam proses pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam yang mengkaji keterkaitan antara kinerja fiskal daerah, perekonomian, ketahanan pangan dan kemiskinan dalam suatu model ekonomi daerah, serta mengkaji optimalisasi peran pemerintah daerah dalam meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan.

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana performance fiskal daerah, kondisi perekonomian daerah, kemiskinan dan ketahanan pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat ?

2. Bagaimana keterkaitan antara kinerja fiskal dalam desentralisasi fiskal dengan perekonomian daerah, kemiskinan dan ketahanan pangan?

3. Bagaimana pemerintah daerah mengoptimalkan perannya dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal ?

4. Strategi kebijakan-kebijakan yang bagaimana yang dapat efektif dalam mengurangi kemiskinan dan mendukung ketahanan pangan dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif kebijakan dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Provinsi Jawa Barat.


(38)

1. Mengkaji performance fiskal daerah, perekonomian daerah, kemiskinan dan ketahanan pangan pada masa desentralisasi fiskal di Wilayah Jawa Barat.

2. Membangun model ekonomi daerah untuk menganalisis keterkaitan antara kinerja fiskal daerah (penerimaan dan pengeluaran), perekonomian, kemiskinan dan ketahanan pangan dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah Provinsi Jawa Barat.

3. Menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan dan faktor eksternal dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah Jawa Barat.

4. Merumuskan implikasi kebijakan strategis guna mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan dalam konteks desentralisasi fiskal di Wilayah Jawa Barat.

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan dalam mengelola kebijakan pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan serta dalam penyusunan program pembangunan daerah.

2. Sebagai salah satu sumber informasi dalam upaya mencari bentuk/ formula desentralisasi fiskal yang ideal di Indonesia.

3. Sebagai referensi penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama.

4. Bagi penulis penelitian ini merupakan salah satu prasyarat untuk memenuhi kelulusan Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB serta merupakan suatu exercise akademik dari ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB.


(39)

14

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mempunyai berbagai keterbatasan diantaranya adalah : (1) kinerja perekonomian daerah lebih mengeksplorasi pada kinerja PDRB sektor pertanian, (2) indikator kinerja ketahanan pangan dalam penelitian meliputi kinerja pada subsistem ketersediaan, konsumsi dan pemanfaatan pangan yang diproksi dengan produksi gabah, rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan konsumsi protein per kapita, pendapatan sektor pertanian, pendapatan per kapita serta status gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang diproksi dengan prevalensi balita gizi kurang dan buruk, jumlah kematian bayi pada kelahiran, dan umur harapan hidup yang merupakan muara akhir dari kinerja ketiga subsistem ketahanan pangan, (3) komoditi pangan yang dikaji dalam penelitian yang dikaitkan dengan ketahanan pangan rumah tangga dan kemiskinan yaitu komoditi beras, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa selama ini beras masih merupakan makanan pokok (kontribusinya dalam penyediaan zat gizi yaitu kalori dan protein), kontribusinya dalam penciptaan lapangan kerja dan sumber pendapatan, kontribusinya dalam total nilai hasil produksi serta beras merupakan komoditi pangan unggulan wilayah Provinsi Jawa Barat, (4) unit analisis kajian adalah daerah pemerintahan kabupaten pada wilayah Jawa Barat yang tidak mengalami perubahan/ pemekaran, (5) model yang dibangun merupakan model ekonomi tertutup karena ketiadaan data ekspor impor di tingkat kabupaten serta pendekatan model perekonomian hanya dari sisi produksi sedang dari sisi demand

tidak dapat disajikan karena data investasi swasta sangat terbatas, dan (6) karena data yang diperlukan berupa pool data yaitu data cross kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat dan time series tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 maka banyak ditemukan kendala ketersediaan data fiskal yang tidak lengkap sehingga membatasi dalam formulasi model dan pilihan skema kebijakan dengan instrumen fiskal.


(40)

2.1. Peranan Pemerintah

Desentralisasi fiskal memberi peranan yang cukup penting terhadap fungsi dan wewenang pemerintah. Dalam implementasi desentralisasi fiskal, peranan pemerintah daerah dalam melakukan upaya fiskal dengan menggali potensi fiskal sebagai sumber penerimaan daerah dan peranan pemerintah dalam membelanjakan fasilitas publik akan sangat mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Peranan pemerintah harus dioptimalkan supaya dalam melakukan intervensi dengan biaya sosial tertentu akan memberi dampak yang maksimal terhadap kinerja perekonomian. Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan sedapat mungkin harus menghindarkan terjadinya distorsi yang bisa menimbulkan kegagalan pasar dan kontra produktif. Untuk itu dalam tinjauan pustaka ini menjadi penting untuk membahas peranan pemerintah dalam upaya mendapatkan gambaran yang lengkap tentang lingkup peranan pemerintah, bagaimana pemerintah harus berperanan dalam sistem perekonomian dan bagaimana mengoptimalkan peranan tersebut dalam pembangunan ekonomi daerah sehingga peranannya tidak bersifat kontra produktif dan justru menimbulkan permasalahan dalam perekonomian.

Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi : (1) untuk memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan, (2) untuk menyelenggarakan peradilan, dan (3) untuk menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya jalan , jembatan, saluran irigasi dan lain lain (Pogue and Sqontz, 1976; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001; Musgrave and Peggy, 1989).


(41)

16

Dalam dunia modern, pemerintah diharapkan peranannya semakin besar mengatur jalannya perekonomian. Adam Smith, konseptor sistem kapitalis murni mengemukakan ideologinya karena menganggap bahwa dalam perekonomian kapitalis setiap individu yang paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri. Setiap individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis seakan-akan diatur oleh tangan yang tidak kentara. Karena itu perekonomian dapat berkembang secara maksimum tanpa banyak campur tangan pemerintah. Sehingga lingkup aktivitas pemerintah sangat terbatas, yaitu hanya melaksanakan kegiatan yang tidak dilaksanakan oleh pihak swasta. Peranan pemerintah meliputi tiga bidang saja yaitu : (1) melaksanakan peradilan, (2) melaksanakan pertahanan/ keamanan, dan (3) melaksanakan pekerjaan umum (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Prinsip kebebasan ekonomi dalam praktek menghadapi perbenturan kepentingan, karena tidak adanya koordinasi yang menimbulkan harmonisasi dalam kepentingan masing-masing individu, misalnya kepentingan pengusaha sering tidak sesuai dengan kepentingan karyawan bahkan sering terjadi kepentingan kedua pihak saling bertentangan. Dalam hal ini pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan aktivitas sektor swasta. Hal ini disebabkan karena sektor swasta tidak dapat mengatasi masalah perekonomian, sehingga perekonomian tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta. Dalam sistem modern peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan besar yaitu : (1) peranan alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi, (2) peranan distribusi, dan (3) peranan stabilisasi (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).


(42)

2.1.1. Peranan Alokasi

Tidak semua barang dan jasa yang ada dapat disediakan oleh sektor swasta. Barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar disebut barang publik, yaitu barang yang tidak dapat disediakan melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Barang swasta adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar, yaitu melalui transaksi antara antara penjual dan pembeli. Adanya barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar disebabkan karena adanya kegagalan sistem pasar ( market failure). Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang/ jasa tertentu oleh karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati oleh orang lain. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa sistem pasar gagal menyediakan barang dan jasa yang tidak mempunyai sifat pengecualian, yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang terhadap orang lain dalam menikmati barang tersebut. Pengecualian tidak dapat dilakukan secara teknis. Suatu barang disebut barang publik juga karena secara ekonomis pengecualian dapat dilaksanakan akan tetapi biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari manfaat suatu barang sangat besar dibanding dengan biayanya. Jadi yang disebut dengan barang publik murni adalah barang yang baik secara teknis maupun secara ekonomis tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian atas barang tersebut (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Lain halnya dengan barang swasta, seperti sepatu dan sebagainya. Barang-barang swasta dapat disediakan melalui sistem pasar oleh karena Barang-barang-Barang-barang tersebut mempunyai sifat pengecualian. Seorang produsen dapat mengecualiakan setiap orang untuk menikmati barang yang dihasilkannya kecuali apabila orang yang bersangkutan itu bersedia mengemukakan kesukaannya atas barang itu ( revealing


(43)

18

preference) dengan cara membayar sejumlah yang diminta produsen tersebut (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Ada barang lain yang termasuk dalam barang publik walaupun mempunyai sifat pengecualian, misalnya jalan-jalan dapat disediakan melalui sistem pasar oleh karena orang yang membuat jalan dapat mengecualikan orang lain dari manfaat jalan tersebut misalnya dengan tol (pajak jalan), sehingga orang yang tidak mau membayar pajak dapat dikecualikan dalam menggunakan jalan tersebut.Akan tetapi pemungutan pajak jalan (tol) ini akan menyebabkan penggunaan jalan menjadi tidak efisien apabila jalan tersebut tidak digunakan secara optimum, atau biaya pemungutan pajak menjadi sangat tinggi, sehingga penyediaan jalan akan menjadi lebih efisien apabila dilakukan oleh pemerintah walaupun sistem pengecualian dapat diterapkan pada jalan (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Untuk barang-barang yang manfaatnya dirasakan oleh semua orang, sekali barang ini tersedia, tidak ada seorangpun yang bersedia untuk membayar biaya penyediaan barang tersebut, oleh karena setiap orang tahu bahwa apa yang mereka bayar hanya merupakan sebagaian kecil dari total biaya. Disini timbul masalah pengutaraan nilai kesukaan (reveal preference).Pada barang swasta tidak ada masalah pengutaraan nilai oleh karena setiap individu mengutarakan kesukaan mereka dengan harga. Pada barang swasta nilai kesukaan seseorang ditentukan oleh harga barang tersebut. Hal yang sama tidak terjadi pada barang-barang publik. Tidak ada seorangpun yang bersedia mengemukakan nilai kesukaannya terhadap suatu barang publik sehingga tidak ada orang/ pengusaha yang mau menyediakan barang tersebut karena itu barang-barang publik disediakan oleh pemerintah karena sistem pasar gagal dalam menyediakan barang tersebut (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001; Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989).


(44)

Masalahnya adalah seberapa banyak pemerintah harus menyediakan barang-barang publik? Berapa besar dana yang harus disediakan oleh pemerintah untuk penyediaan jalan, jembatan, saluran irigasi, dan sarana transportasi lain? Oleh karena untuk barang-barang publik terdapat masalah pengutaraan nilai kesukaan, maka pembayaran untuk penyediaan barang tersebut tidak dapat dilakukan melalui sistem harga melainkan harus melalui sistem pemungutan suara. Dengan sistem pemungutan suara, setiap orang berusaha menggunakan haknya sehingga hasil pemungutan suara tersebut sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Hasil pemungutan suara tidak akan dapat memuaskan setiap orang, akan tetapi dengan menggunakan kriteria tertentu hasil pemungutan suara akan mendekati penyelesaian yang efisien seperti halnya sistem pasar. Peranan pemerintah dalam alokasi adalah untuk mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien. (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

2.1.2. Peranan Distribusi

Peranan pemerintah lain adalah sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan. Distribusi pendapatan tergantung dari pemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran faktor produksi, sistem warisan dan kemampuan memperoleh pendapatan. Kemampuan memperoleh pendapatan tergantung dari pendidikan, bakat dan sebagainya sedangkan warisan tergantung dari hukum yang berlaku. Pemilikan faktor produksi sebagai sumber pendapatan tergantung dari permintaan akan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan oleh pemilik faktor produksi. Permintaan dan penawaran akan faktor produksi menentukan harga dari faktor produksi yang bersangkutan. Permintaan akan suatu faktor produksi tergantung pada teknologi. Apabila teknologi dalam menghasilkan suatu barang adalah teknologi


(45)

20

padat karya, maka permintaan akan tenaga kerja relatif lebih besar daripada permintaan akan modal, dan pengusaha bersedia membayar tenaga kerja lebih besar daripada modal dan sebaliknya untuk faktor produksi modal. Penawaran suatu faktor produksi tergantung dari pemilikan faktor produksi yang juga dipengaruhi oleh warisan dan jumlah yang ditawarkan. Semakin banyak jumlah yang ditawarkan, semakin rendah harga yang didapat oleh pemiliknya (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan oleh sistem pasar mungkin dianggap oleh masyarakat sebagai tidak adil. Masalah keadilan dalam distribusi pendapatan merupakan masalah yang rumit dalam ilmu ekonomi. Ada sebagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa masalah efisiensi harus dipisahkan dari masalah keadilan, atau dengan arti kata lain, masalah keadilan dan masalah efisiensi adalah berkebalikan. Perubahan ekonomi ini dikatakan efisien apabila perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan suatu golongan dalam masyarakat dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk keadaan golongan yang lain. Dapat dipahami bahwa pandangan ini adalah pandangan yang sangat ektrim sebab tidak ada satupun tindakan yang tidak mempengaruhi pihak lain secara positif maupun negatif (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Ahli ekonomi Kaldor mengatakan bahwa suatu tindakan dikatakan bermanfaat (baik) apabila golongan yang memperoleh manfaat dari tindakan “dapat” (secara konseptual) memberikan kompensasi bagi golongan yang mengalami kerugian sehingga posisi golongan yang rugi tetap sama seperti halnya sebelum adanya tindakan yang bersangkutan (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Masalah keadilan ini tidak sepenuhnya berada dalam ruang lingkup ilmu ekonomi oleh karena masalah keadilan tergantung daripada pandangan masyarakat


(46)

terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan bukanlah suatu hal yang statis dan absolut akan tetapi merupakan suatu hal yang dinamis dan relatif, tergantung dari persepsi masyarakat terhadap keadilan. Jadi masalah keadilan harus diserahkan kepada masyarakat, yang melalui wakil-wakil mereka dalam Dewan Perwakilan Rakyat merumuskan keadilan publik yang mereka inginkan, dan selanjutnya pemerintah melalui kebijaksanaan fiskal dan moneter merubah keadaan masyarakat sehingga sesuai dengan distribusi pendapatan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan pajak yang progresif yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan relatif lebih ringan bagi orang miskin, disertai dengan subsidi bagi golongan miskin. Pemerintah dapat juga secara tidak langsung mempengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah misalnya pendidikan dan kesehatan gratis bagi golongan tertentu, subsidi pupuk untuk petani, subsidi harga bagi petani pangan, subsidi bunga pada kredit ketahanan pangan (KKP), subsidi pangan untuk masyarakat miskin dan sebagainya (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Stiglitz, 2000; Simatupang dan Timmer, 2008).

2.1.3. Peranan Stabilisasi

Selain peranan alokasi dan distribusi, pemerintah mempunyai peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada sektor swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan yang akan menimbulkan pengangguran dan inflasi. Tanpa campur tangan pemerintah gangguan permintaan di suatu sektor akan berpengaruh pada sektor lain sehingga akan menimbulkan pengangguran tenaga kerja yang akan mengganggu stabilisasi ekonomi. Inflasi atau deflasi juga merupakan hal yang dapat mengganggu stabilisasi ekonomi.


(47)

22

Masalah inflasi atau deflasi harus ditangani pemerintah melalui kebijakan moneter (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Peranan pemerintah sebagai alat untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, distribusi pendapatan dan stabilisasi ekonomi dapat menimbulkan pertentangan kebijakan pemerintah. Misalnya, inflasi yang ditimbulkan karena besarnya permintaan agregat (demand pull) mengharuskan pemerintah untuk mengenakan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin dari pada golongan kaya, oleh karena golongan miskin mempunyai proporsi pengeluaran yang lebih besar dari pada golongan kaya. Oleh karena itu pajak yang tinggi yang dikenakan terhadap golongan miskin akan lebih efektif dalam mengurangi permintaan golongan miskin terhadap barang-barang dan jasa sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan. Akan tetapi pengenaan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin dan pajak yang rendah pada golongan kaya akan menyebabkan distribusi pendapatan masyarakat menjadi semakin pincang sehingga peranan pemerintah sebagai alat untuk memperbaiki distribusi pendapatan menjadi gagal (Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001; Musgrave and Peggy, 1989).

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila investasi masyarakat semakin besar. Pada umumnya investasi dilakukan oleh golongan kaya. Golongan kaya secara relatif menabung lebih banyak dari pada golongan miskin oleh karena average propensityto save mereka lebih besar dari pada golongan miskin. Apabila pemerintah menghendaki perkembangan ekonomi yang pesat, dana swasta dalam negeri harus dikerahkan sebesar mungkin yang berarti golongan kaya harus dikenakan pajak yang lebih redah dari pada golongan miskin sehingga golongan kaya menggunakan tabungan mereka untuk investasi. Pengenaan pajak yang rendah terhadap golongan kaya dan pajak yang tinggi terhadap golongan miskin adalah bertentangan dengan


(48)

kebijakan pemerintah untuk memperbaiki distribusi masyarakat (Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989; Mangkoesoebroto, 2000; Reksohadiprodjo, 2001).

Peranan stabilisasi dalam ketahanan pangan adalah peranan pemerintah dalam menstabilkan harga pangan yaitu menjaga harga pangan tidak anjlok pada saat masa panen raya dan harga pangan tidak melambung pada saat masa paceklik. Peranan stabilisasi tersebut dilakukan dengan menerapkan kebijakan harga dasar dan harga atap. Dalam implementasinya untuk mengefektifkan berlakunya kebijakan harga dasar gabah, pemerintah melalui bulog melakukan kebijakan pembelian gabah oleh pemerintah dengan harga pembelian pemerintah (HPP) dan kebijakan stok pangan pada saat panen raya. Implementasi dari kebijakan harga atap adalah dengan melakukan operasi pasar murni (OPM) beras pada saat harga beras mulai naik, yaitu bulog melakukan penjualan beras ke pasar dengan harga subsidi yang ditetapkan pemerintah (Handerson and Quandt, 1980; Ellis, 1992; McCulloch, 2008; McCulloch and Timmer, 2008; Norton, 2004). Peranan stabilisasi terhadap pangan juga bisa dilakukan melalui fasilitasi pemerintah dengan terselenggaranya lumbung-lumbung pangan masyarakat di daerah ( Saliem et al., 2004).

2.1.4. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan

Dalam rangka mengatasi sifat kaku yang melekat di negara berkembang, pemerintah harus memegang peranan positif dan tidak boleh berlaku sebagai penonton pasif. Problema di negara berkembang yang begitu besar sehingga tidak dapat diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar. Untuk meningkatkan negara keluar dari titik stagnasi diperlukan adanya pembaharuan rasio ekonomi secara cepat. Pada fase awal pembangunan, investasi harus dilakukan di bidang-bidang yang meningkatkan ekonomi eksternal yaitu yang mengarah pada penciptaan overhead


(49)

24

sosial dan ekonomi seperti tenaga kerja, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya (Donalson , 1984; Ellies, 1992; Todaro, 2000; Meier,1995; Norton, 2004 ).

Perusahaan swasta tidak akan tertarik melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut karena resiko besar dan keuntungan kecil. Dari sini timbul kebutuhan untuk menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi sehingga penawaran sesuai dengan permintaannya. Oleh karena itu pengawasan dan pengaturan oleh negara menjadi penting dalam rangka mencapai keseimbangan pertumbuhan. Keseimbangan memerlukan pengawasan atas produksi, distribusi dan konsumsi komoditi. Untuk tujuan ini pemerintah harus merencanakan pengawasan fisik dan langkah-langkah fiskal dan moneter. Langkah-langkah ini memang tidak dapat dihindarkan, untuk mengurangi ketidak-seimbangan ekonomi dan sosial yang mengancam negara berkembang. Mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis, ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi merupakan tugas terpenting pemerintah. Karena itu ruang lingkup tindakan pemerintah sangat luas dan menyeluruh.Menurut Lewis lingkup itu mencakup penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan, mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi, menjamin pekerjaan penuh menentukan laju investasi (Todaro, 2000; Ellis, 1992; Norton, 2004; Jhingan, 2000).

Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi merupakan kebijakan dan strategi yang dipakai oleh pemerintah untuk mengelola perekonomian dalam mencapai tujuan ekonominya. Pemerintah mengusahakan pada tingkat makro tercapainya kesempatan kerja penuh, stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan neraca pembayaran dan pada tingkat mikro terjadinya pemakaian sumber daya yang efisien. Dalam prakteknya, dalam kondisi kerumitan ekonomi yang ada dan terbukanya


(1)

Model : CONSENI

Dependent v ar i abl e: CONSENI CONSENI

Anal y s i s of Var i anc e Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F Model 4 760289. 09139 253429. 69713 243. 715 0. 0001 Er r or 138 144540. 87082 1039. 86238

C Tot al 142 1384125. 7421

Root MSE 32. 24690 R- Squar e 0. 8403 Dep Mean 2172. 31877 Adj R- SQ 0. 8368 C. V. 1. 48445

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label I NTERCEP 1 312. 989317 79. 075009 3. 958 0. 0001 I nt er c ep CONBRSI 1 141. 703236 5. 948403 23. 822 0. 0001 CONBRSI I KAP 1 0. 25780502 0. 102482 2. 515 0. 0321 I KAP DPKES 1 0. 000660 0. 000913 0. 723 0. 4708 DPKES LCONSENI 1 0. 105435 0. 053553 1. 969 0. 0510 LCONSENI Dur bi n- Wat s on 0. 658


(2)

Model : CONPROT

Dependent v ar i abl e: CONPROT CONPROT

Anal y s i s of Var i anc e Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F Model 5 473. 46551 118. 36638 65. 325 0. 0001 Er r or 137 250. 05191 1. 81197

C Tot al 142 1061. 46847

Root MSE 1. 34609 R- Squar e 0. 6544 Dep Mean 57. 27503 Adj R- SQ 0. 6444 C. V. 2. 35023

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label I NTERCEP 1 - 1414. 334811 144. 886266 - 9. 762 0. 0001 I nt er c ep CONSENI 1 0. 020636 0. 001634 12. 632 0. 0001 CONSENI I KAP 1 5. 257806 2. 608556 2. 015 0. 0832 I KAP J MLMI S 1 - 2. 005260 0. 616889 3. 250 0. 0001 J MLMI S DMDF 1 - 4. 161020 0. 430897 - 9. 657 0. 0001 DMDF LCONPROT 1 0. 505978 0. 096279 5. 255 0. 0001 LCONPROT


(3)

Model : J MLMI S

Dependent v ar i abl e: J MLMI S J MLMI S

Anal y s i s of Var i anc e Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F Model 5 1409573. 1312 281914. 62625 55. 104 0. 0001 Er r or 137 700894. 38817 5116. 01743

C Tot al 142 2110835. 6043

Root MSE 71. 52634 R- Squar e 0. 6679 Dep Mean 257. 43083 Adj R- SQ 0. 6558 C. V. 27. 78468

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label I NTERCEP 1 31. 383654 22. 331668 1. 405 0. 1622 I nt er c ep DPKSMI S 1 - 1. 813909 0. 562417 - 3. 225 0. 0016 DPKSMI S I KAP 1 - 0. 002598 0. 002174 - 1. 195 0. 2341 I KAP PPEMB 1 - 0. 000032691 0. 000156 - 0. 209 0. 8346 PPEMB J MLPDK 1 0. 171142 0. 014320 11. 952 0. 0001 J MLPDK LJ MLMI S 1 0. 434785 0. 084065 5. 172 0. 0001 LJ MLMI S


(4)

Model : AGZBRK

Dependent v ar i abl e: AGZBRK AGZBRK

Anal y s i s of Var i anc e Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F Model 6 4476. 78032 1119. 19508 23. 874 0. 0001 Er r or 136 6469. 38294 46. 87959

C Tot al 142 10286. 33464

Root MSE 6. 84687 R- Squar e 0. 6090 Dep Mean 21. 53407 Adj R- SQ 0. 5919 C. V. 31. 79551

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label I NTERCEP 1 3525. 489310 380. 911660 9. 255 0. 0001 I nt er c ep CONPROT 1 - 1. 006225 0. 342487 - 2. 938 0. 0039 CONPROT J MLPSM 1 - 0. 010427 0. 015994 - 0. 652 0. 5155 J MLPSM I KAP 1 - 3. 025467 0. 711038 - 4. 255 0. 0001 I KAP J MLSKL 1 - 2. 408932 2. 933070 - 0. 821 0. 4351 J MLSKL J MLBTHRP 1 0. 423356 0. 413O30 1. 025 0. 3621 J MLBTHRP LAGZBRK 1 0. 387974 0. 112520 3. 448 0. 0007 LAGZBRK


(5)

Model : AKMTBY

Dependent v ar i abl e: AKMTBY AKMTBY

Anal y s i s of Var i anc e Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F Model 6 3547. 73749 591. 28958 12. 246 0. 0001 Er r or 136 6566. 76577 48. 28504

C Tot al 142 10654. 73891

Root MSE 6. 94874 R- Squar e 0. 5508 Dep Mean 57. 90782 Adj R- SQ 0. 5221 C. V. 11. 99966

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label I NTERCEP 1 48. 399147 3. 098209 15. 622 0. 0001 I nt er c ep AGZBRK 1 0. 395665 0. 084280 4. 695 0. 0001 AGZBRK J MLMI S 1 0. 021822 0. 005616 3. 886 0. 0002 J MLMI S J MLBDN 1 - 0. 010886 0. 006648 - 1. 638 0. 1038 J MLBDN MDKSPN 1 - 2. 104032E- 9 1. 1453387E- 9 - 1. 837 0. 0684 MDKSPN DMDF 1 - 2. 399693 1. 350683 - 1. 777 0. 0779 DMDF LAKMTBY 1 0. 392946 0. 103413 3. 800 0. 0002 LAKMTBY


(6)

Model : UHHDP

Dependent v ar i abl e: UHHDP UHHDP

Anal y s i s of Var i anc e Sum of Mean

Sour c e DF Squar es Squar e F Val ue Pr ob>F Model 5 277. 79126 55. 55825 24. 053 0. 0001 Er r or 137 316. 44975 2. 30985

C Tot al 142 688. 47445

Root MSE 1. 51982 R- Squar e 0. 5675 Dep Mean 64. 32169 Adj R- SQ 0. 5480 C. V. 2. 36284

Par amet er Es t i mat es

Par amet er St andar d T f or H0: Var i abl e Var i abl e DF Es t i mat e Er r or Par amet er =0 Pr ob > | T| Label I NTERCEP 1 65. 157453 4. 105795 15. 870 0. 0001 I nt er c ep CONPROT 1 0. 126100 0. 065772 1. 917 0. 0573 CONPROT DPKSMI S 1 0. 033875 0. 009595 3. 530 0. 0006 DPKSMI S AKMTBY 1 - 0. 150308 0. 019755 - 7. 609 0. 0001 AKMTBY DMDF 1 0. 207502 0. 360253 0. 576 0. 5656 DMDF LUHHDP 1 0. 354258 0. 102047 3. 472 0. 0007 LUHHDP Dur bi n- Wat s on 0. 676

( For Number of Obs . ) 143 1s t Or der Aut oc or r el at i on 0. 659