Dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal

(1)

DWI MUSLIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Fiskal Daerah Terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Dwi Muslianti, SE NRP H151090314


(3)

(4)

ABSTRACT

DWI MUSLIANTI. Impact of Local Fiscal Policy on Poverty in Indonesia in Decentralization Era. Supervised under WIWIEK RINDAYATI and YETI LIS PURNAMADEWI.

Local government spending has been increasing from year to year during decentralization era, which the largest proportion derives from central government. Nevertheles, the economic performance, mainly poverty decrease very slowly, far from the government target in 2009. Therefore, this research has aim 1) to determine the dynamic of local fiscal, output and poverty, 2) to determine factors that affect fiscal policy, output and poverty, 3) to analyze the impact of fiscal policy on output and poverty. This study uses simultaneous equations model (SEM) to identify the factors that affect local government revenues and spending and their impact on fiscal and economic performance of regions. The result shows that government revenue is affected by GDRP, fiscal gap, and population. Government spending is affected by GDRP, revenue, and spending the previous year. Increased government revenues and spending has a positive impact on economic performance and negatif impact on poverty. Combination of spending on education and health, and agriculture provides the greatest impact to decrease poverty.


(5)

(6)

RINGKASAN

DWI MUSLIANTI. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI dan YETI LIS PURNAMADEWI.

Pembangunan ekonomi tidak hanya bertujuan menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, namun juga harus dapat mengurangi tingkat kemiskinan, menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan dan meningkatkan penyediaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan kemiskinan harus dilaksanakan secara simultan melalui berbagai kebijakan pembangunan ekonomi, sehingga seluruh elemen penduduk dapat berperan serta dalam proses tersebut, tidak terkecuali penduduk miskin (Todaro dan Smith, 2006). Peningkatan peran serta penduduk miskin tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan pendapatan tersebut akan mendorong penurunan angka kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan (Adam, 2004).

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Berbagai kebijakan internasional maupun nasional telah dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan, seperti PBB dengan program Millenium Development Goals 2000-2015 (Tambunan, 2009) dan Indonesia dengan visi pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Persentase penduduk miskin di Indonesia selama periode 1976-1996 terus mengalami penurunan, yaitu dari 40.10% (1976) menjadi 11.30% (1996). Namun, krisis ekonomi global pada tahun 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun hingga minus 13.13%, sehingga persentase penduduk miskin meningkat menjadi 24.23% dan kembali menjadi perhatian yang serius.

Krisis global yang turut mempengaruhi perekonomian Indonesia tersebut membuat pemerintah mengubah sistem ekonomi dan pemerintahan menjadi terdesentralisasi pada tahun 2001. Pemerintah daerah yang berada dekat dengan masyarakat diharapkan dapat berinteraksi langsung dalam melayani kebutuhan rakyatnya (Oates, 1972), mempercepat pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, sehingga mampu meningkatkan daya saing daerah (Tanzi, 2002), mengurangi budget deficit dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional (Zhang dan Zou, 1998). Desentralisasi fiskal yang telah bergulir di Indonesia selama sembilan tahun ini diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk dialokasikan pada pelayanan publik dasar (pendidikan, kesehatan dan infrastruktur) serta sektor-sektor yang memihak pada kemiskinan, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun demikian, selama pelaksanaan desentralisasi fiskal berlangsung, terjadi peningkatan jumlah dana perimbangan yang merupakan stimulus pemerintah pusat pada daerah, sementara itu kinerja perekonomian khususnya pengurangan penduduk miskin belum mencapai target sesuai dengan visi pembangunan yang diharapkan .


(7)

Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengkaji kondisi kinerja fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, 2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, 3) menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder panel 26 propinsi di Indonesia pada periode 2003-2009. Data yang digunakan antara lain yaitu data APBD, data PDRB, jumlah tenaga kerja, luas wilayah, jumlah penduduk miskin serta jumlah penduduk. Analisis dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan dilakukan dengan menggunakan sistem persamaan simultan yang mengacu pada model penelitian Yudhoyono (2004), Sumedi (2005) dan Usman (2006) dan terdiri dari blok fiskal daerah, blok output dan blok kemiskinan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja fiskal selama tahun 2003-2009 cukup rendah, dengan nilai derajat desentralisasi fiskal sebesar 14.60%, derajat potensi daerah sebesar 15.67% dan derajat ketergantungan sebesar 63.06%. Sebagian besar propinsi memiliki ketergantungan pada sektor Pertanian yang terlihat dari relatif besarnya proporsi PDRB pertanian. Jumlah penduduk miskin banyak terdapat di pulau Jawa, namun persentase penduduk kemiskinan terbesar terdapat pada propinsi-propinsi yang berada di kawasan Indonesia Timur.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan adalah sebagai berikut: 1) penerimaan pajak dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag penerimaan pajak, 2) penerimaan BHPBP dipengaruhi oleh PDRB dan lag BHPBP, 3) pengeluaran pemerintah di bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur adalah berbagai penerimaan daerah (PAD, DAU dan dana perimbangan) serta masing-masing lag pengeluaran daerah, 4) PDRB dipengaruhi oleh tenaga kerja masing-masing sektor dan beberapa jenis pengeluaran daerah, dan 5) jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh distribusi pendapatan, PDRB masing-masing sektor, jumlah penduduk miskin dan lag jumlah penduduk miskin.

Berdasarkan simulasi kebijakan fiskal yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa seluruh simulasi kebijakan fiskal daerah memberikan dampak positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dengan besaran yang berbeda-beda. Dampak terbesar dari kebijakan fiskal terhadap penurunan penduduk miskin tersebut berasal dari simulasi kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran pertanian dan peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah: 1) peningkatan penerimaan daerah melalui peningkatan jumlah potensi pajak dan sumberdaya alam daerah agar tercapai kemandirian keuangan daerah, 2) peningkatan pengeluaran sektor pertanian perlu lebih diperhatikan karena merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga berpotensi menurunkan jumlah penduduk miskin, 3) peningkatan pelayanan publik dasar seperti sektor pendidikan dan kesehatan perlu lebih ditingkatkan untuk menciptakan sumberdaya daerah yang lebih handal, 4) pengeluaran infrastruktur perlu lebih ditingkatkan guna melancarkan aktivitas masyarakat dalam perekonomian dan mempermudah akses kepada pelayanan publik.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(9)

(10)

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP

KEMISKINAN DI INDONESIA

PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL

DWI MUSLIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(11)

(12)

Judul Tesis : Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal

Nama : Dwi Muslianti

NRP : H151090314

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(13)

(14)

PRAKATA

Pertama, Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul ”Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal” telah dapat diselesaikan. Penelitian ini telah dimulai sejak November 2010 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Kepala Pusdiklat BPS beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran

administrasi selama Penulis mengikuti program Tugas Belajar.

3. Kepala BPS Provinsi Gorontalo beserta jajarannya, yang telah memberikan kesempatan dan membantu kelancaran administrasi kepegawaian selama Penulis menempuh pendidikan.

4. Ibu Wiwiek Rindayati dan Ibu Yeti Lis Purnamadewi selaku Komisi Pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyusun tesis ini.

5. Bapak Ali Said (Kepala sub Direktorat Indikator Statistik BPS), selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat sehingga tesis ini semakin baik.

6. Ibu Widyastutik sebagai penguji dari IPB, yang telah memberikan masukan-masukan demi semakin baiknya penulisan tesis.

7. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran proses kegiatan belajar dan penulisan tesis.

8. Teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya Program Studi Ilmu Ekonomi, yang telah bersama-sama saling mendukung dalam suka dan duka selama menempuh pendidikan.

9. Bapak dan Mama dengan segenap do’a, kasih sayang, dukungan dan perhatian yang tidak putus-putus.

10. Adik-adik tercinta, Widi Septia Musrini, Felisia Mustari dan Wahyu Ismoyo atas do’a, kasih sayang, dukungan dan pengertinannya selama Penulis menyelesaikan pendidikannya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya, semoga hasil penelitian ini berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2011


(15)

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1980 dari pasangan Mustopo dan Halimah. Penulis menempuh pendidikan Diploma IV Statistik di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, dan lulus pada tahun 2002 dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan. Penulis kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo sejak tahun 2002. Pada tahun 2009 memperoleh kesempatan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi melalui beasiswa BPS dalam Program Alih Jenjang pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun yang sama pula penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Ekonomi, minor Ekonomi Regional melalui beasiswa BPS. Bidang tugas yang menjadi tanggung jawab penulis sampai penulis mengikuti program pascasarjana adalah seksi Neraca Pengeluaran pada Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, BPS Provinsi Gorontalo.


(17)

xi

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11

2.1 Tinjauan Teoritis ... 11

2.1.1 Teori Peranan Pemerintah ... 11

2.1.2 Konsep Desentralisasi Fiskal ... 14

2.1.3 Teori Kebijakan Fiskal ... 26

2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 27

2.1.5 Konsep Kemiskinan ... 29

2.1.6 Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi ... 34

2.1.7 Kebijakan Fiskal dan Kemiskinan ... 37

2.2 Penelitian-penelitian Terdahulu ... 40

2.3 Kerangka Pemikiran ... 45

2.4 Hipotesis Penelitian ... 47

3 METODE PENELITIAN ... 49

3.1 Jenis dan Sumber Data... 49


(18)

 

xii

 

3.2.1 Analisis Deskriptif ... 50

3.2.2 Analisis Model Ekonometrika ... 52

3.1.2.1 Spesifikasi Model Ekonometrika ... 55

3.1.2.2 Identifikasi dan Estimasi Model ... 60

3.1.2.3 Validasi Model... 63

3.3 Simulasi Model ... 61

4 DINAMIKA PEREKONOMIAN DAERAH ... 69

4.1 Fiskal Daerah ... 69

4.1.1 Penerimaan Keuangan Daerah ... 69

4.1.2 Pengeluaran Keuangan Daerah ... 73

4.2 Output Daerah ... 77

4.3 Tenaga Kerja ... 80

4.4 Kemiskinan ... 83

5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FISKAL DAERAH, OUTPUT DAN KEMISKINAN ... 87

5.1 Analisis Umum Model Dugaan ... 87

5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fiskal Daerah, Output dan Kemiskinan ... 88

5.2.1 Penerimaan Daerah ... 88

5.2.2 Pengeluaran Daerah ... 93

5.2.3 Output ... 96

5.2.4 Kemiskinan ... 100

6 DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAERAH TERHADAP KEMISKINAN ... 103

6.1 Validasi Model... 103

6.2 Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan ... 105

6.2.1 Dampak Peningkatan Penerimaan Pajak Daerah ... 106

6.2.2 Dampak Peningkatan Penerimaan BHPBP ... 107

6.2.3 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian ... 108


(19)

xiii

 

6.2.5 Dampak Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur ... 110

6.2.6 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian dan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan ... 111

6.2.7 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan, dan Pengeluaran Infrastruktur ... 113

6.2.8 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pertanian, Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan dan Pengeluaran Infrastruktur ... 114

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

7.1 Kesimpulan ... 117

7.2 Implikasi Kebijakan ... 119

7.3 Saran ... 121

Daftar Pustaka ... 123


(20)

 

xiv


(21)

xv

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Skala interval derajat desentralisasi fiskal ... 52

2 Keterangan variabel penelitian dan satuannya ... 60

3 Simulasi dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan ... 64

4 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut propinsi Indonesia 2007-2009 ... 84

5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan pajak daerah ... 88

6 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) ... 90

7 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernerimaan dana BPBP ... 92

8 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pertanian ... 93

9 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pendidikan dan kesehatan ... 94

10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran infrastruktur ... 95

11 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB pertanian ... 96

12 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB industri ... 98

13 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB jasa ... 99

14 Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB lainnya ... 99

15 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan ... 100

16 Nilai validasi variabel endogen pada persamaan simultan ... 104

17 Dampak peningkatan penerimaan pajak daerah sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ... 106

18 Dampak peningkatan penerimaan BHPBP sebesar 45% terhadap kemiskinan di Indonesia... 108


(22)

 

xvi

 

19 Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% terhadap kemiskinan di Indonesia... 109 20 Dampak peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar

35% terhadap kemiskinan di Indonesia ... 110 21 Dampak peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 35%

terhadap kemiskinan di Indonesia ... 111 22 Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30% dan

pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia... 112 23 Dampak peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar

35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia... 113 24 Dampak peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 30%,

pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebesar 35% dan pengeluaran infrastruktur sebesar 35% terhadap kemiskinan di Indonesia ... 114


(23)

xvii

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun

1976-2009 ... 3 2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tahun 1976-2009 .... 4 3 Efisiensi produksi barang publik ... 18 4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi

pengeluaran pemerintah terhadap PDRB ... 35 5 Hubungan kebijakan fiskal dengan pertumbuhan output ... 36 6 Kurva U terbalik Kuznets (Inverted U curve thesis) ... 38 7 Kerangka pemikiran ... 46 8 Kerangka analisis ... 50 9 Tahapan membangun model analisis ekonometrika kebijakan fiskal

daerah dan kemiskinan di Indonesia ... 53 10 Keterkaitan antar blok dalam model ekonometrika kebijakan fiskal

daerah dan kemiskinan di Indonesia ... 55 11 Diagram keterkaitan antar peubah dalam model ekonometrika kebijakan

fiskal daerah dan kemiskinan di Indonesia ... 56 12 Derajat desentralisasi fiskal, derajat potensi daerah, dan derajat

ketergantungan daerah propinsi di Indonesiam tahun 2003-2009 (%) ... 70 13 Derajat kemandirian fiskal daerah provinsi di Indonesia, tahun

2003-2009 (%) ... 72 14 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian,

pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) 73 15 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian,

pendidikan, kesehatan dan infrastruktur propinsi-propinsi di Indonesia,

tahun 2003-2009 (%) 75

16 Rata-rata proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, industri, jasa di propinsi-propinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 (%) ... 77


(24)

 

xviii

 

17 Rata-rata laju pertumbuhan PDRB seluruh propinsi di Indonesia, tahun 2004-2009 (%) ... 78 18 Rata-rata proporsi PDRB pertanian, industri, jasa dan lainnya di

Indonesia, tahun 2003-2009 (persen) ... 79 19 Rata-rata proporsi PDRB pertanian, industri, jasa dan lainnya di

Indonesia menurut propinsi, tahun 2003-2009 (persen) ... 80 20 Laju pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian, industri, jasa dan

lainnya di indonesia, tahun 2004-2009 (%) ... 81 21 Rata-rata proporsi tenaga kerja pertanian, industri, jasa dan lainnya di


(25)

xix

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil pengujian persamaan struktural dengan order condition ... 129 2 Hasil pendugaan model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di

Indonesia pada masa desentralisasi fiskal ... 130 3 Model kebijakan fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia pada masa

desentralisasi fiskal ... 135 4 Hasil penghitungan validasi model dengan menggunaan koefisien


(26)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan pembangunan ekonomi bukan hanya semata-mata untuk menciptakan pertumbuhan GDP yang setinggi-tingginya seperti yang terjadi selama dasawarsa 1950-an dan 1960-an, namun lebih luas daripada itu. Tujuan utama dari pembangunan ekonomi selain pertumbuhan yang tinggi adalah penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro dan Smith, 2006).

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan kemiskinan bukan merupakan hal yang saling bertentangan, tetapi harus dilaksanakan secara simultan. Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi telah dirumuskan agar seluruh elemen penduduk dapat berperan serta dalam proses pertumbuhan ekonomi tersebut, termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan pelayanan publik seperti perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukanlah merupakan trade off dengan pemerataan pendapatan dalam upaya pengurangan kemiskinan, namun keduanya harus dilaksanakan secara simultan. Pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan pendapatan secara konsisten akan mendorong penurunan angka kemiskinan dalam jangka panjang dan menciptakan peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan (Adam, 2004).

Di sisi lain, permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Menurut Galor (2000), terhambatnya laju pertumbuhan ekonomi tersebut terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus


(27)

berlanjut, maka pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganggap bahwa kemiskinan sebagai salah satu manifestasi dari taraf hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang merupakan tantangan besar bagi upaya-upaya pembangunan. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bahkan dianggap merupakan inti dari semua masalah pembangunan, sehingga hal tersebut dijadikan tujuan utama kebijakan di banyak negara khususnya negara berkembang. Oleh karena itu, PBB menempatkan peniadaan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrem pada urutan pertama dari kedelapan tujuan pembangunan abad milenium (Millenium Development Goals/MDGs) yang disepakati oleh 191 negara pada tahun 2000 dan harus dicapai pada tahun 2015 (Tambunan, 2009).

Di Indonesia, pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan menjadi salah satu prioritas pembangunan ekonomi. Hal tersebut tercantum sebagai salah satu visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009. Visi RPJPN 2005-2025 adalah mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan melalui pengurangan kesenjangan sosial secara menyeluruh, serta penanggulangan kemiskinan. Pembangunan ekonomi ditujukan untuk memperkuat struktur perekonomian dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dan pertambangan yang efisien, serta kegiatan jasa yang efektif. Peningkatan kesejahteraan penduduk dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok penduduk yang kurang beruntung, terutama penduduk miskin. Penanggulangan kemiskinan diarahkan pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang meliputi antara lain pekerjaan yang layak, perlindungan hukum, kebutuhan hidup (makanan, pakaian, dan tempat tinggal), pendidikan, dan kesehatan secara bertahap dengan mengutamakan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi. Sedangkan visi RPJM tahun 2004-2009 yaitu menentukan pilihan strategi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang disertai pemerataan. Pemerintah berusaha mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan meningkatkan pendapatan perkapita yang diikuti dengan pemerataan distribusi pendapatan dan


(28)

3

pengentasan kemiskinan. Kebijakan ekonomi ditujukan untuk mendukung program-program yang berorientasi pertumbuhan (pro growth), penciptaan lapangan pekerjaan (pro job), pemerataan pendapatan (equity) dan pengentasan kemiskinan (pro poor).

Distribusi pendapatan Indonesia yang digambarkan melalui angka Gini Ratio selama periode 1980-1990an mengalami fluktuasi, menurun perlahan pada awal 1980an, namun kembali meningkat pada periode 1990an dengan rentang berkisar antara 0.31-0.36 dan termasuk ke dalam kategori sedang (Oshima, 1970). Hal yang sama juga dialami oleh tingkat kemiskinan di Indonesia yang mengalami dinamika pasang surut. Persentase penduduk miskin selama periode 1976-1996 terus mengalami penurunan, yaitu dari 40.10% (1976) menjadi 11.30% (1996). Penurunan yang pesat dalam persentase penduduk miskin selama kurun waktu 1976-1996 tersebut tentu tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang cukup baik, dengan laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6.58% per tahun.

Sumber: Tambunan, 2009.

Gambar 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 1976-2009.

Perekonomian Indonesia selama kurun waktu 1976-1996 memang mengalami pertumbuhan yang spektakuler. Pada tahun 1968 pendapatan perkapita nasional Indonesia masih pada kisaran US$60. Nilai tersebut masih jauh apabila


(29)

dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya seperti India, Pakistan, dan Sri Lanka. Namun sejak Pelita I dimulai, pendapatan nasional perkapita Indonesia mengalami peningkatan yang relatif tinggi setiap tahun dan pada akhir dekade 1980-an telah mendekati US$ 500 (Tanzi, 2002).

Sumber: BPS, berbagai tahun.

Gambar 2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tahun 1976-2009 (%).

Namun krisis moneter yang menghantam Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai minus 13.13%, sementara persentase penduduk miskin kembali mengalami peningkatan menjadi 24.23%. Dengan jumlah penduduk miskin yang masih cukup besar tersebut, maka kemiskinan di Indonesia masih dianggap sebagai persoalan yang serius.

Terpuruknya Indonesia sebagai dampak terjadinya krisis ekonomi internasional disinyalir juga disebabkan karena ekonomi fundamental Indonesia yang terbilang lemah dengan sistem sentralistiknya. Program-program dan kebijakan saat itu dibuat di tingkat pusat dan diimplementasikan untuk seluruh wilayah Indonesia secara seragam, sehingga dinilai tidak mampu menjangkau permasalahan yang berbeda-beda di masing-masing daerah. (Tanzi, 2002).


(30)

5

Sistem ekonomi dan pemerintahan Indonesia yang tersentralisasi tersebut kemudian diubah pada tahun 2001 menjadi sistem yang bersifat desentralisasi. Prinsip desentralisasi tersebut diarahkan untuk mempercepat pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat di daerah melalui perwujudan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif. Selain itu, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kekhususan, potensi dan keanekaragaman daerah masing-masing (Tanzi, 2002).

Desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal penerimaan/pendanaan. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada, baik dari sumber penerimaan pusat maupun daerah (Bahl, 1998). Selain itu, desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pada sektor publik (pemerintah) karena pemerintah daerah sebagai institusi yang dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya (Oates, 1972), mengurangi budget deficit dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional (Zhang dan Zou, 1998).

Pemerintah daerah sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pemerintahan di era desentralisasi tersebut tentunya memegang peranan penting dalam mengelola keuangan daerah untuk membiayai program-program pembangunan terutama pada sektor publik dan mengoptimalkan potensi daerah yang ada guna menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan penurunan tingkat kemiskinan di daerah masing-masing.

1.2 Perumusan Masalah

Desentralisasi fiskal yang telah bergulir di Indonesia selama sembilan tahun ini diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan fiskal daerah dalam pengelolaan keuangan daerah terutama pada pelayanan publik


(31)

dasar seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, serta sektor-sektor yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan seperti pertanian, sehingga bermuara pada kinerja perekonomian seperti meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penurunan ketimpangan pendapatan dan penurunan jumlah penduduk miskin.

Dana perimbangan sebagai salah satu komponen dalam sistem desentralisasi hanyalah merupakan dana stimulus dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya dalam kerangka sistem desentralisasi fiskal. Dengan adanya dana stimulus tersebut dapat melancarkan peerintah darerah dalam menggali potensi-potensi daerah dan melakukan pelayanan yang efisien kepada masyarakat, sehingga perekonomian di daerah dapat meningkat, tercapai kemandirian daerah, dan mengurangi ketergantungan terhadap pusat.

Namun, penerimaan daerah berasal dari Dana perimbangan berjumlah hampir sepertiga dari APBN 2007 meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir, yaitu dari hanya Rp 153,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 220 triliun pada 2006 atau meningkat 43%, dan pada tahun 2007 mencapai Rp 258,8 triliun atau meningkat 17.6%. Dana Alokasi Umum sebagai bagian dari Dana Perimbangan yang diprioritaskan untuk peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat, mengalami kenaikan pesat sebesar 64% dari Rp 88,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 145,6 triliun pada tahun 2006, dan naik kembali sebesar 13% menjadi Rp 164,8 triliun pada tahun 2007. Sementara itu, bagian Dana Perimbangan lainnya yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan untuk membiayai kegiatan fisik tertentu di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur (jalan, jembatan, dan irigasi), pertanian, dan lain-lain juga mengalami peningkatan tajam dari Rp 4,7 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp 11,5 triliun tahun 2006 atau melonjak 145% dan terus meningkat sebesar 48% menjadi Rp 17,1 triliun tahun 2007. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2001-2009 sangat fluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 sebesar 3.64% dan meningkat menjadi 4.56% pada tahun 2009 dengan rata-rata pertumbuhan 5.12%.


(32)

7

Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat pada era desentralisasi fiskal seharusnya juga dapat mendorong peningkatan pendapatan perkapita dan perbaikan distribusi pendapatan. Namun kenyataannya, justru terjadi peningkatan ketidakmerataan pendapatan yang ditunjukkan dengan angka Gini ratio yang semakin tinggi. Selama tahun 2002-2006, angka Gini Ratio Indonesia mengalami peningkatan dari 0.31 pada tahun 2002 menjadi 0.33 pada tahun 2006. Angka tersebut kemudian meningkat kembali pada tahun 2008 menjadi 0.35.

Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik pasca krisis dan dalam era desentralisasi seharusnya juga berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Pada periode 2000-2005 persentase penduduk miskin cenderung menurun namun meningkat kembali pada tahun 2006. Tingkat kemiskinan kembali menurun pada tahun-tahun selanjutnya. Pada tahun 2009 persentase jumlah penduduk miskin mencapai 14.15%, namun angka ini masih jauh dari target sebesar 8.2% yang ditetapkan pemerintah dalam RPJM tahun 2004-2009.

Fenomena yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah terjadinya peningkatan dana perimbangan pada satu sisi, sementara belum memuaskannnya kinerja perekonomian yang dicapai pada sisi yang lain. Sehubungan dengan gambaran diatas, maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam yang mengkaji keterkaitan antara kinerja fiskal (penerimaan dan pengeluaran), perekonomian (output), dan kemiskinan dalam suatu model ekonomi daerah, serta mengkaji optimalisasi kebijakan fiskal daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengurangi kemiskinan yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran kinerja fiskal daerah, output dan kondisi kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi fiskal daerah, output dan kemiskinan pada masa desentralisasi fiskal?

3. Bagaimana pemerintah mengoptimalkan perannya dalam mengurangi kemiskinan melalui kebijakan fiskal daerah?


(33)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji kinerja fiskal daerah, output dan kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output dan kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal.

3. Menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengelola kebijakan pembangunan khususnya yang berkaitan pengelolaan keuangan daerah.

2. Sebagai salah satu sumber informasi bagi pemangku kepentingan dalam upaya mengurangi kemiskinan di Indonesia.

3. Sebagai refererensi penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama.

4. Sebagai satu prasyarat bagi peneliti dalam memenuhi kelulusan Program Master pada Sekolah Pascasarjana IPB serta sebagai suatu latihan akademik dari ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan di Program Studi Ilmu Ekonomi IPB.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah 26 propinsi di Indonesia selama tahun 2003-2009. Beberapa propinsi pemekaran (Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat) digabung ke dalam propinsi induknya. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar merupakan data pada tingkat propinsi. Data penerimaan dan pengeluaran daerah dibentuk dari aggregasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan data APBD propinsi di masing-masing propinsi. Data penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut tidak memasukkan data dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan dengan alasan terbatasnya data yang tersedia.


(34)

9

Desentralisasi fiskal merupakan suatu kebijakan yang berada di kabupaten/kota sebagai ujung tombak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk melakukan pengelolaan keuangan. Penelitian ini menggunakan level propinsi dengan asumsi bahwa level tersebut merupakan aggregat dari kebijakan fiskal yang dilakukan pada level kabupaten/kota.

Penelitian ini hanya fokus pada bagian kecil dari kebijakan keuangan pemerintah, yaitu perubahan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan fiskal yang berasal dari APBD, sehingga aspek kebijakan moneter tidak termasuk dalam penelitian ini meskipun kebijakan pemerintah umumnya dilakukan secara bersamaan antara moneter dan fiskal. Aspek kajian hanya dibatasi pada aspek ekonomi dan pengurangan kemiskinan, tanpa mengikutsertakan aspek sosial politik, transparansi pemerintah, dan korupsi, dengan pertimbangan bahwa data-data indikator aspek-aspek tersebut tidak tersedia dengan kurun waktu yang digunakan dalam penelitian ini. Model yang dibangun dalam penelitian ini bukan merupakan model yang ideal, namun merupakan model operasional yang optimal berdasarkan ketersediaan data time series dan cross section. Apabila kendala tersebut dapat diatasi, maka model yang dibangun diharapkan dapat lebih baik lagi.


(35)

(36)

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Teori Peranan Pemerintah

Sistem desentralisasi fiskal memberikan peranan yang cukup penting terhadap fungsi dan wewenang pemerintah. Dalam implementasi desentralisasi fiskal, peranan pemerintah daerah dalam melakukan upaya fiskal, yaitu dengan menggali potensi fiskal sebagai sumber penerimaan daerah dan peranan pemerintah dalam membelanjakan fasilitas publik akan sangat mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Berkaitan dengan pengaruhnya tersebut, maka peranan pemerintah daerah harus dioptimalkan agar dalam melakukan intervensi dengan biaya sosial tertentu akan memberi dampak yang maksimal terhadap kinerja perekonomian. Selain itu, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sedapat mungkin harus dapat menghindarkan terjadinya distorsi yang dapat menimbulkan kegagalan pasar. Oleh karena itu, pembahasan mengenai peranan pemerintah sangat penting dalam upaya mendapatkan gambaran yang lengkap tentang lingkup peranan pemerintah, bagaimana pemerintah harus berperanan dalam sistem perekonomian dan bagaimana mengoptimalkan peranan tersebut dalam pembangunan ekonomi daerah sehingga peranannya tidak bersifat kontraproduktif dan justru menimbulkan permasalahan dalam perekonomian.

Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi yang sangat terbatas, yaitu (1) memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan, (2) menyelenggarakan peradilan, (3) menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti jembatan, jalan, saluran irigasi, dan lain-lain. Fungsi pemerintah tersebut sangat sedikit berkaitan dengan ideologi kapitalis yaitu perekonomian dapat berkembang secara maksimum tanpa campur tangan pemerintah. Setiap individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis seakan-akan diatur oleh tangan yang tidak kentara karena setiap individu paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri (Mangkoesoebroto, 2000).


(37)

Namun dalam prakteknya, prinsip kebebasan ekonomi sering menghadapi perbenturan kepentingan. Hal tersebut disebabkan tidak adanya koordinasi dalam mewujudkan harmonisasi dalam kepentingan masing-masing individu. Seperti contohnya kepentingan pengusaha yang sering tidak berjalan beriringan dengan kepentingan pekerja, bahkan sering terjadi pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Hal tersebut menunjukkukan bahwa sektor swasta tidak dapat mengatasi masalah perekonomian sepenuhnya. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan aktivitas sektor swasta. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi modern, peranan pemerintah diklasifikasikan ke dalam tiga golongan besar, yaitu (1) peran alokasi, (2) peran distribusi, dan (3) peran stabilisasi (Mangkoesoebroto, 2000).

Peranan pemerintah yang pertama adalah sebagai penyedia alokasi sumberdaya yang efisien. Barang dan jasa yang beredar di masyarakat tidak seluruhnya dapat disediakan oleh sektor swasta. Barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sektor swasta atau sistem pasar melalui transaksi antara penjual dan pembeli tersebut disebut barang publik. Sementara itu, barang swasta adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar tersebut menyebabkan kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar terjadi karena sistem pasar tidak dapat menyediakan barang dan jasa tersebut, karena manfaatnya tidak hanya dapat dirasakan secara pribadi, namun juga dapat dinikmati oleh orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pasar gagal menyediakan barang dan jasa yang memiliki sifat pengecualian. Pengecualian atas sebagian barang publik dapat dilakukan secara ekonomi maupun teknis, sementara untuk sebagian barang publik pengecualian secara teknis tidak dapat dilakukan karena biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari manfaat suatu barang sangat besar apabila dibandingkan manfaatnya, walaupun secara ekonomi dapat dibedakan (Mangkoesoebroto, 2000).

Barang-barang swasta dapat disediakan melalui sistem pasar oleh karena barang-barang tersebut mempunyai sifat pengecualian. Seorang produsen sepatu dapat mengecualikan setiap orang untuk menikmati sepatu yang dihasilkannya apabila orang yang bersangkutan bersedia mengemukakan preferensinya atas


(38)

13

barang tersebut (revealing preference). Pengungkapan preferensinya tersebut dengan cara membayar sejumlah uang yang diminta produsen (Mangkoesoebroto, 2000).

Nilai kesukaan seseorang terhadap suatu barang swasta ditentukan oleh harga barang tersebut. Namun hal tersebut tidak terjadi pada barang publik, karena nilai kesukaan seseorang tidak dapat diukur dengan nilai barang publik tersebut. Oleh karena tidak ada seorang pun yang bersedia mengemukakan nilai kesukaannya terhadap suatu barang publik sehingga tidak ada orang/pengusaha yang mau menyediakan barang tersebut. Dengan demikian tugas pemerintah untuk menyediakan barang publik tertentu bagi masyarakat, melalui sistem pemungutan suara berdasarkan kriteria tertentu yang akan memuaskan banyak pihak dan memperoleh hasil yang efisien seperti halnya sistem pasar. Di sinilah peranan pemerintah sebagai penyedia alokasi sumberdaya yang efisien (Mangkoesoebroto, 2000).

Peranan pemerintah berikutnya adalah sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan. Distribusi pendapatan tergantung pada pemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran faktor produksi, sistem warisan dan kemampuan memperoleh pendapatan. Kemampuan memperoleh pendapatan tergantung dari pendidikan, bakat, dan sebagainya. Sedangkan warisan tergantung dari hukum yang berlaku. Pemilikan faktor produksi sebagai sumber pendapatan tergantung dari permintaan akan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan oleh pemilik faktor produksi. Permintaan dan penawaran faktor produksi menentukan harga faktor produksi tersebut. Permintaan akan faktor produksi tergantung pada teknologi. Apabila teknologi dalam menghasilkan suatu barang adalah teknologi padat karya, maka permintaan akan tenaga kerja relatif lebih besar daripada permintaan akan modal, dan pengusaha bersedia membayar tenaga kerja lebih besar daripada modal dan sebaliknya untuk faktor produksi modal. Penawaran suatu faktor produksi tergantung dari pemilikan faktor produksi dan juga warisan yang ditawarkan. Semakin banyak jumlah yang ditawarkan, semakin rendah harga yang didapat pemiliknya (Mangkoesoebroto, 2000).

Menurut masyarakat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan oleh sistem pasar dapat dianggap sangat tidak adil. Masalah keadilan dan efisiensi


(39)

merupakan trade off sehingga sehingga sebagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa masalah tersebut harus dipisahkan. Perubahan ekonomi dapat dikatakan efisien apabila perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan suatu golongan masyarakat dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk keadaan golongan yang lain. Namun, pada kenyataannya tidak ada satu pun tindakan yang tidak mempengaruhi pihak lain secara negatif maupun positif (Mangkoesoebroto, 2000).

Pemerintah dalam peranannya sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan melalui kebijakan fiskal dan moneter dapat merubah keadaan masyarakat sehingga sesuai dengan distribusi pendapatan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan pajak yang progresif yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan relatif lebih ringan bagi orang miskin, disertai dengan subsidi bagi orang miskin. Pemerintah dapat juga secara tidak langsung memengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah, misalnya pendidikan dan kesehatan bagi golongan tertentu (Pogue dan Sqontz, 1978; Stiglitz, 2000).

Peran pemerintah yang terakhir adalah sebagai alat stabilisasi perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada sektor swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan yang akan menimbulkan pengangguran dan inflasi. Tanpa campur tangan pemerintah, gangguan permintaan di suatu sektor akan berpengaruh pada sektor lain sehingga akan menimbulkan pengangguran dan tenaga kerja yang akan mengganggu stabilitas ekonomi, seperti contohnya inflasi dan deflasi, sehingga masalah tersebut harus diselesaikan oleh pemerintah melalui pendekatan moneter (Mangkoesoebroto, 2000; Reksodiprodjo, 2001).

2.1.2 Konsep Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat (nasional) kepada pemerintah lokal/daerah, serta kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya sebagai daerah otonom. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi (Ulla, 2003; Smoke, 2001).


(40)

15

Terdapat dua sisi dalam melihat konsep desentralisasi, yaitu meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah pusat (nasional) dan mengaktualisasi representasi lokal (Ebel dan Yilmaz, 2002).

Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah dilegalkan dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah. Undang-undang tersebut terdiri dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Tujuan perubahan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Vasquez dan McNab, 2001; Simanjuntak, 2002).

Kebijakan desentralisasi di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya krisis moneter dunia yang berimbas kepada krisis di Indonesia, sehingga Indonesia menjadi terpuruk akibat tidak sanggup bertahan dari krisis yang terjadi di dunia. Kerentanan Indonesia tersebut disinyalir akibat dari sistem sentralistik yang berlaku di Indonesia selama ini. Sistem sentralistik dianggap tidak dapat membidik sasaran pembangunan dengan tepat sehingga tidak mampu menangkal krisis yang terjadi, sehingga mengakibatkan masyarakat miskin Indonesia menjadi bertambah (Sidik, 2002).

Fenomena desentralisasi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di beberapa negara berkembang lainnya. Dorongan desentralisasi yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi, dan banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintah sentralistik dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Sidik, 2002).

Menurut Tanzi dalam Widhiyanto (2008), faktor-faktor yang memicu diberlakukannya desentralisasi bersifat internal dan eksternal. Faktor internal di dukung oleh pengalaman dan sejarah negara itu sendiri, seperti semakin baiknya demokrasi di dalam kalangan atau daerah tertentu, semakin meningkatnya


(41)

pendidikan dan tingkat kesejahteraan dan pendidikan, meningkatnya pelayanan publik, fenomena disintegrasi negara, respon terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal antara lain berupa tekanan dari negara maupun lembaga donor yang memiliki pengaruh terhadap negara penerima donor berkaitan dengan desentralisasi.

Konsep desentralisasi ditujukan untuk meningkatkan peran serta pemerintah daerah. Beberapa kebijakan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat akan dilimpahkan kepada pemerintah daerah, dimana kabupaten/kota mendapatkan kewenangan khusus, sedangkan propinsi mendapatkan kewenangan terbatas. Sementara itu, kewenangan pemerintah pusat hanya terbatas pada kepentingan militer, agama, keuangan negara dan hukum.

Secara umum, desentralisasi mencakup 1) aspek politik (political decentralization) yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan, 2) aspek administratif (administrative decentralization) yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumberdaya antar berbagai tingkat pemerintahan, dan 3) aspek fiskal (fiscal decentralization) yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi (Litvack dalam Abimanyu dan Megantara, 2009).

Desentralisasi fiskal sering didefinisikan sebagai pelimpahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan dan sumberdaya daerah menjadi lebih besar. Sebelum desentralisasi, seluruh kebutuhan pelayanan publik dikelola oleh pemerintah pusat secara seragam, padahal kebutuhan publik antar daerah berbeda-beda. Oleh karena itu pelayanan publik pada masa sentralisasi kurang efisien. Desentralisasi fiskal dapat mewujudkan efisiensi terhadap alokasi sumberdaya sektor publik, karena disesuaikan dengan kebutuhan publik masing-masing daerah. Selain itu, terjadi kompetisi antar pemerintah daerah dalam pelayanan publik sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi.


(42)

17

Ketertarikan terhadap desentralisasi fiskal meningkat diantara negara transisi dan berkembang karena diyakini sebagai alat yang efektif untuk meningkatkan efisiensi dalam pengeluaran publik. Selain itu, desentralisasi fiskal dianggap sebagai sistem yang bagus terhadap kegagalan sistem sentralisasi selama dekade terakhir ini yang terjadi di negara transisi dan berkembang.

Prud’homme (1995) mengatakan bahwa karena perbedaan kebutuhan dan mobilitas individu di tiap daerah, maka desentralisasi menjadi lebih efisien. Oates (1993) juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena posisi pemerintah daerah yang lebih dekat kepada masyarakat sehingga dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat di daerah. Tolok ukur dalam analisis desentralisasi fiskal adalah efisiensi dan efektivitas dalam pengeluaran pemerintah dan pemerataan pendapatan sehingga bermuara pada kesejahteraan rakyat.

Perbedaan kebijakan antar daerah menyebabkan adanya kemungkinan keputusan dalam penyediaan barang publik yang juga berbeda-beda antar daerah, sesuai dengan preferensi masyarakat masing-masing daerah terhadap jenis dan jumlah barang publik. Perbedaan preferensi masyarakat terhadap barang publik dipengaruhi oleh perbedaan selera dan tingkat pendapatan antar daerah. Pada kondisi ini, efisiensi alokasi lebih tinggi pada sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Alasan ini mendasari kesimpulan bahwa desentralisasi pemerintah akan lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dibandingkan dengan pemerintahan terpusat. Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis (Stiglitz, 2000).

Tiebout Hypotesis ini merupakan analog dari konsep pareto optimum, dimana dalam kondisi pasar persaingan sempurna, harga merupakan sinyal dalam alokasi sumberdaya sehingga tercipta kondisi yang efisien. Demikian pula dengan barang publik, bahwa kompetisi dalam suatu komunitas akan menjamin efisiensi dalam penawaran barang publik, sebagaimana perusahaan menjamin efisiensi penawaran barang privat. Keterbatasan hipotesis ini terkait dengan asumsi pasar persaingan, yaitu adanya kegagalan pasar, sistem perpajakan, dan redistribusi pendapatan. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana atau sampai tingkat pemerintah mana desentralisasi sebaiknya dilakukan. Pada prinsipnya, semakin


(43)

dekat dengan masyarakat, maka akan semakin baik. Besarnya peningkatan efisiensi yang terjadi karena perubahan dari keputusan yang bersifat sentralistik ke desentralistik dapat diilustrasikan pada gambar 3.

Diasumsikan terdapat dua daerah, yang masing-masing memiliki fungsi permintaan terhadap barang publik ∑DA dan ∑DB, sehingga permintaan nasional

terhadap barang publik tersebut adalah ∑DN. Diasumsikan masyarakat dalam

daerah A tidak dapat menikmati barang publik yang diproduksi pada daerah B dan sebaliknya. Barang publik tersebut adalah barang publik lokal, yaitu dapat diproduksi oleh masing-masing daerah maupun oleh pemerintah pusat. Sementara preferensi masyarakat di daerah A dan daerah B dapat berbeda sesuai dengan selera dan tingkat pendapatannya. Biaya marginal untuk produksi barang tersebut diasumsikan sama sebesar MC.

Sumber: Pogue dan Sqontz, 1978

Gambar 3 Efisiensi poduksi barang publik. Marginal

Cost/Value

Quantity MC

DN

DB

DA

q

qA qB qN

Marginal Cost/Value

Quantity MC

DN

DB


(44)

19

Apabila produksi barang tersebut dilakukan secara sentralistik, maka jumlah yang diproduksi secara nasional sebesar qN atau pada tingkat efisien dalam skala nasional, yaitu pada saat nilai marginal sama dengan biaya marginal. Distribusi pada masing-masing daerah sebesar q. Pada tingkat produksi q, pada daerah A, nilai marginal lebih rendah apabila dibandingkan dengan biaya marginal. Sementara pada daerah B terjadi sebaliknya, nilai marginal lebih tinggi dibandingkan dengan biaya marginal. Efisiensi secara nasional di sini tidak menjamin terjadinya efisiensi pada tingkat daerah, karena adanya perbedaan tingkat pendapatan dan selera. Jika produksi dilakukan secara desentralisasi, yaitu pada saat masing-masing daerah akan memproduksi barang pada kondisi nilai marginal sama dengan biaya marginal (kondisi efisien), maka akan diperoleh tingkat produksi masing-masing qA untuk daerah A dan qB untuk daerah B. Besarnya peningkatan efisiensi yang ditunjukkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditunjukkan oleh daerah yang diarsir.

Dengan demikian untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah, efisiensi alokasi sumberdaya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara desentralistik. Namun, untuk barang publik yang bersifat nasional, yaitu pada saat seluruh masyarakat di negara tersebut dapat memanfaatkan barang tersebut, sistem produksi pada masing-masing daerah yaitu qA dan qB akan menghasilkan barang yang lebih kecil dari tingkat efisiensi nasional, yaitu pada saat ∑DN berpotongan dengan MC. Dengan

demikian, barang publik ini akan lebih efisien apabila diproduksi secara sentralistik.

Alasan barang publik nasional sebaiknya disediakan oleh pemerintah pusat menurut Pogue dan Sgontz (1978) adalah:

1. Skala ekonomi. Efisiensi dalam pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring kebijakan pemerintah. Proses pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring dan evaluasi beragam antar jenis program, populasi penduduk, dan luas wilayah. Keputusan mengenai pembangunan fasilitas umum, untuk suatu wilayah dan populasi tertentu menjadi lebih mahal jika wilayah tersebut dibagi, sehingga terdapat unit pengambilan keputusan yang lebih banyak. Pada kasus ini biaya pengambilan keputusan menurun jika


(45)

skalanya meningkat, pada kasus lainnya biaya pengambilan keputusan menjadi lebih murah jika dilakukan untuk wilayah dan populasi yang terbatas. Pada kasus pertama pada saat diperlukan skala ekonomis yang besar, pengambilan keputusan cenderung efisien apabila dilakukan secara sentralistik dan sebaliknya.

2. Distribusi pendapatan. Kebijakan redistribusi pendapatan secara umum akan menurunkan kesejahteraan sebagian masyarakat. Masyarakat yang kaya akan dirugikan sementara masyarakat yang miskin lebih diuntungkan. Apabila kebijakan ini dilakukan secara parsial, berbeda antar daerah, maka akan memberikan insentif kepada kelompok masyarakat kaya untuk pindah ke daerah yang lebih menguntungkan (yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan lebih rendah). Sementara itu, sebaliknya untuk masyarakat yang lebih miskin akan memiliki insentif migrasi pada arah sebaliknya. Dengan demikian daerah yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan yang lebih besar akan kehilangan masyarakat yang kaya. Secara umum, pemerintah suatu daerah tidak ingin kehilangan kelompok masyarakat kaya, sehingga akhirnya semua daerah akan mengurangi program redistribusi pendapatan. Dengan demikian, program redistribusi pendapatan akan lebih baik jika dilakukan secara aggregat dan bersifat sentralistik, sehingga tidak ada ekses negatif berupa migrasi masyarakat kaya dan miskin.

Pola penyaluran bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, program bantuan kepada pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesific grant yaitu penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, terkadang dalam format yang sangat rigid, sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala pada urusan administratif. Pada sistem desentralisasi fiskal pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi dalam bentuk block grant, sehingga perencanaan program implementasi serta monitoring dan evaluasi dilakukan pada pemerintah daerah.

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,


(46)

21

sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara itu pembiayaan terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran yang lalu, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik daerah dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan penerimaan lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana BHPBP berfungsi dalam memperkecil kesenjangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber dana BHPBP berasal dari pajak dan bukan pajak (sumber daya alam). BHPBP berasal dari pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh). Sedangkan BHPBP yang berasal dari sumber daya alam berasal dari kegiatan di sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi.

Selain dana BHPBP tersebut, komponen dana perimbangan lainnya adalah DAU dan DAK, yang merupakan implementasi dari block grant dalam sistem desentralisasi fiskal ini. DAU memiliki fungsi dalam memperkecil kesenjangan horisontal antar daerah. DAU ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar masing-masing daerah dan berjumlah minimal 26 persen dari total APBN. Apabila celah fiskal suatu daerah negatif dan nilai tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka besar DAU yang diterima sebesar alokasi dasar yang diterima. Namun, apabila celah fiskal tersebut negatif dan lebih besar dari alokasi dasar, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Dengan


(47)

demikian, semakin tinggi potensi suatu daerah maka akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang semakin kecil, dan sebaliknya.

Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan komponen dana perimbangan yang dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan telah ditetapkan dalam APBN. Sementara itu komponen lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Sisi pembiayaan terdiri dari SILPA, Dana pinjaman, Dana Cadangan Daerah, dan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Pinjaman bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan masyarakat.

Selama berlangsungnya kebijakan desentralisasi fiskal, telah diberlakukan perbaharuan di bidang fiskal oleh pemerintah, terutama berhubungan dengan sisi pengeluaran. UU No 17 tahun 2003 merupakan sumber pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan panganggaran dan belanja negara yang mengacu pada tiga pila penganggaran yaitu penganggaran terpadu (uniified budgeting), penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework). Implikasi dari pendekatan penganggaran terpadu tersebut menyebabkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja tidak lagi memisahkan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan, namun dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Sehingga apabila rincian belanja sebelumnya berdasarkan pendekatan sektor, subsektor, program dan kegiatan, maka berubah menjadi pendekatan berdasarkan fungsi, subfungsi, program dan kegiatan.

Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dalam kerangka pembaharuan sistem penganggaran mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input) dengan keluaran (output) dan/hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Selanjutnya pemberlakukann konsep kerangka pengeluaran jangka menengah menyebabkan perencanaan penganggaran belanja dari setiap satuan kerja seharusnya dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan anggaran dalam perspektif lebih dari satu tahun.


(48)

23

Bentuk pengeluaran/belanja APBD dapat dirinci menurut beberapa bentuk antara lain: menurut urusan pemerintahan (urusan wajib dan urusan pilihan), menurut program, menurut organisasi, menurut kegiatan, menurut kelompok, menurut jenis, menurut objek/rincian objek belanja. Format pengeluaran berdasarkan urusan diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Format berdasarkan urusan tersebut terbagi atas urusan wajib dan pilihan. Format urusan wajib terdiri atas urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial dan tenaga kerja.

Format pengeluaran pemerintah berdasarkan bidang diatur dalam Kepmendagri No 29 tahun 2002 yang terdiri dari bidang administrasi pemerintahan, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal dan ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, pemukiman, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, olahraga, kepariwisataan dan pertanahan.

Menurut Mangkoesoebroto (2000), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Perubahan permintaan terhadap barang publik.

2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. 3. Perubahan kualitas barang publik.

4. Perubahan harga faktor produksi.

Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yaitu:

1. Model Rostow dan Musgrave

Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan


(49)

prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi.

Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek, misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Dengan demikian, pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak (eksternalitas) negatif dari polusi dan juga melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila terjadi peningkatan pendapatan per kapita dalam suatu perekonomian, maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara- negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin besar disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat.

Kelemahan hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas


(50)

25

bertindak dan terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman

Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Peningkatan pajak tersebut berasal dari ekstensifikasi pajak. Selain itu, peningkatan penerimaan pajak tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.

Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Konsekuensi dari peningkatan pengeluaran tersebut adalah penerimaan pemerintah dari pajak juga harus meningkat. Pemerintah akan meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan pengalihan aktivitas swasta kepada aktivitas pemerintah. Perang ternyata tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibat hal tersebut, tarif pajak yang seharusnya dapat diturunkan oleh pemerintah setelah perang, tidak dapat dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut.

Pninngkatan pengeluaran pemerintah karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang ini disebut efek inspeksi (inspection effect). Gangguan sosial juga dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan dari swasta kepada tangan pemerintah. Hal tersebut dikenal dengan istilah efek konsentrasi (concentration effect). Ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali.

Pemerintah memiliki kecenderungan untuk senantiasa berusaha memperbesar pengeluaran pemerintahnya, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Namun, masyarakat mempunyai suatu tingkat


(51)

toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini menjadi barrier bagi pemerintah untuk tidak dapat menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena (Mangkoesoebroto, 2000).

2.1.3 Teori Kebijakan Fiskal

Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka untuk meningkatkan pengeluaran agregat (atau merangsang pengeluaran agregat). Kekuatan tersebut dapat dilakukan berdasarkan kondisi pemerintah ataupun tujuannya, yaitu pada masa resesi maupun depresi maupun berrsifat kontraktif dan ekspansif. Keynes menjelaskan modelnya dalam General Theory sebagai berikut: C + I + G + (X-M) ... (1) Dimana:

C = total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I = total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan)

terhadap barang dan jasa

G = total nilai pengeluaran pemerintah terhadap barang dan jasa (X – M) = ekspor bersih barang dan jasa

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal melalui instrumennya umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu :

1) Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa 2) Kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan

3) Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga.

Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu 1) menganalisis pengaruh permintaan dan pengeluaran negara bagi perbaikan kondisi perekonomian, penurunan tingkat


(52)

27

pengangguran, dan kestabilan harga, 2) pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilitasi ekonomi, 3) pengembangan aspek sosial seperti pemerataan pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan instrumen kebijakan fiskal yang terdiri dari pengeluaran pemerintah, pajak dan transfer payment tersebut, maka pemerintah dapat mengubah-ubah variabel tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Apabila pemerintah ingin menciptakan stabilisas harga, maka kebijakan fiskal yang dilakukan adalah bersifat kontraktif, yaitu dengan menurunkan pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak. Dengan demikian, maka permintaan aggregat akan turun dan hal tersebut akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga-harga. Apabila pemerintah ingin meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, maka dapat melakukan kebijakan fiskal ekspansif dengan menaikkan belanja pemerintah dan menurunkan pajak. Hal tersebut akan meningkatkan permintaan aggregat dalam perekonomian.

2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Perkembangan berbagai model pertumbuhan ekonomi yang secara dinamis bermunculan mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu. Adam Smith melalui Teori Klasiknya beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output produksi yang dihasilkan. Selain Adam Smith, David Ricardo juga berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, apabila pertambahan penduduk menjadi semakin besar hingga mencapai dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja tersebut akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah yang semakin kecil tersebut kemudian hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state).

Teori Klasik tersebut kemudian dikembangkan menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord-Domar dan Robert Solow. Harrord-Domar


(53)

beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan model Solow yang merupakan pengembangan dari model Harrod-Domar sekaligus merupakan pilar yang kontributif bagi pengembangan teori Neoklasik menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam model pertumbuhannya.

Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah. Sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan, maka memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale). Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang positif. (Todaro dan Smith, 2006).

Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi pada skala nasional maupun dalam skala daerah/regional. Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya mengunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara aggregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Richardson (2001) adalah titik berat dalam perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya.

Menurut BPS (2008), pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi barang dan jasa (output) yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat pada satu periode waktu tertentu. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud tersebut diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar


(54)

29

mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga. Konsep yang digunakan oleh BPS untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah tersebut melalui pendekatan (proxy) PDB/PDRB.

Pada tingkat nasional, pertumbuhan ekonomi diukur dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada tingkat daerah merupakan laju dari nilai produk domestik regional bruto (PDRB) yang merupakan ukuran dasar dari performa perekonominan dalam memproduksi barang dan jasa. PDB/PDRB dapat dihitung berdasarkan pendekatan Pengeluaran, Pendapatan dan Sektoral/Lapangan Usaha. Dalam penelitian ini, PDB/PDRB yang digunakan adalah pendekatan sektoral/lapangan usaha. Nilai PDRB suatu daerah merupakan penjumlahan dari nilai tambah beberapa sektor perekonomian yang ada di daerah tersebut. Sektor perekonomian tersebut diantaranya adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bank dan jasa keuangan lainnya, sektor jasa-jasa.

PDRB suatu daerah berdasarkan sektor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga sektor besar, yaitu sektor primer terdiri atas sektor pertanian dan pertambangan, sektor sekunder terdiri atas sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor bangunan, dan sektor tersier terdiri atas sektor sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bank dan jasa keuangan lainnya, sektor jasa-jasa. Pengelompokan tersebut biasanya diperlukan untuk melihat perubahan struktur ekonomi. Namun dalam penelitian ini, PDRB dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu Pertanian, Industri, Jasa (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa-jasa), serta Lainnya (pertambangan, listrik-gas-air, dan konstruksi) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumedi (2005).

2.1.5 Konsep Kemiskinan

Konsep dan definisi kemiskinan yang ada selama ini sangat beragam. Keberagaman tersebut selain disebabkan oleh data dan metodologi yang berbeda, juga oleh latar belakang ideologi yang dianut oleh para ahli maupun


(1)

Lampiran 4 lanjutan

Dependent Variable: PENGTANI Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:43 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -9.645662 36.29429 -0.265762 0.7908

PENGTANI_0 0.967110 0.070614 13.69572 0.0000

R-squared 0.549144 Mean dependent var 434.1444

Adjusted R-squared 0.546217 S.D. dependent var 303.1274

S.E. of regression 204.1971 Akaike info criterion 13.48879

Sum squared resid 6421252. Schwarz criterion 13.52789

Log likelihood -1050.125 Hannan-Quinn criter. 13.50467

F-statistic 187.5727 Durbin-Watson stat 0.434342

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PENGPENDKES Method: Panel Least Squares

Date: 07/17/11 Time: 20:44 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 243.5215 141.0099 1.726981 0.0862

PENGPENDKES_0 0.773703 0.025219 30.67877 0.0000

R-squared 0.859385 Mean dependent var 3297.571

Adjusted R-squared 0.858472 S.D. dependent var 3315.658

S.E. of regression 1247.359 Akaike info criterion 17.10818

Sum squared resid 2.40E+08 Schwarz criterion 17.14728

Log likelihood -1332.438 Hannan-Quinn criter. 17.12406

F-statistic 941.1870 Durbin-Watson stat 0.417248


(2)

Lampiran 4 lanjutan

Dependent Variable: PENGINFRA Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:45 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 236.6840 118.7636 1.992900 0.0480

PENGINFRA_0 0.761774 0.044836 16.99009 0.0000

R-squared 0.652106 Mean dependent var 1802.342

Adjusted R-squared 0.649847 S.D. dependent var 1581.352

S.E. of regression 935.7454 Akaike info criterion 16.53330

Sum squared resid 1.35E+08 Schwarz criterion 16.57240

Log likelihood -1287.598 Hannan-Quinn criter. 16.54918

F-statistic 288.6633 Durbin-Watson stat 0.505593

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PENGDRH Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:46 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 25.88545 269.3201 0.096114 0.9236

PENGDRH_0 0.861645 0.014119 61.02837 0.0000

R-squared 0.960294 Mean dependent var 11921.33

Adjusted R-squared 0.960036 S.D. dependent var 11611.61

S.E. of regression 2321.286 Akaike info criterion 18.35037

Sum squared resid 8.30E+08 Schwarz criterion 18.38947

Log likelihood -1429.329 Hannan-Quinn criter. 18.36625

F-statistic 3724.462 Durbin-Watson stat 0.507960


(3)

Lampiran 4 lanjutan

Dependent Variable: KAPFIS Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:47 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -114.3857 291.0795 -0.392971 0.6949

KAPFIS_0 0.783742 0.059644 13.14028 0.0000

R-squared 0.528572 Mean dependent var 2560.700

Adjusted R-squared 0.525511 S.D. dependent var 3772.308

S.E. of regression 2598.486 Akaike info criterion 18.57598

Sum squared resid 1.04E+09 Schwarz criterion 18.61508

Log likelihood -1446.927 Hannan-Quinn criter. 18.59186

F-statistic 172.6670 Durbin-Watson stat 0.608210

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: FISGAP Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:47 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 34.19649 285.3563 0.119838 0.9048

FISGAP_0 0.897439 0.019496 46.03167 0.0000

R-squared 0.932246 Mean dependent var 9360.633

Adjusted R-squared 0.931806 S.D. dependent var 9610.792

S.E. of regression 2509.768 Akaike info criterion 18.50651

Sum squared resid 9.70E+08 Schwarz criterion 18.54561

Log likelihood -1441.507 Hannan-Quinn criter. 18.52239

F-statistic 2118.914 Durbin-Watson stat 1.094269


(4)

Lampiran 4 lanjutan

Dependent Variable: PDRBTANI Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:51 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 269.4395 386.0810 0.697883 0.4863

PDRBTANI_0 0.933662 0.023113 40.39630 0.0000

R-squared 0.913767 Mean dependent var 10925.13

Adjusted R-squared 0.913207 S.D. dependent var 11952.18

S.E. of regression 3521.188 Akaike info criterion 19.18372

Sum squared resid 1.91E+09 Schwarz criterion 19.22282

Log likelihood -1494.330 Hannan-Quinn criter. 19.19960

F-statistic 1631.861 Durbin-Watson stat 0.058186

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PDRBIND Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:51 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 144.9484 955.4306 0.151710 0.8796

PDRBIND_0 0.960628 0.025806 37.22487 0.0000

R-squared 0.899980 Mean dependent var 17745.58

Adjusted R-squared 0.899330 S.D. dependent var 32682.41

S.E. of regression 10369.63 Akaike info criterion 21.34389

Sum squared resid 1.66E+10 Schwarz criterion 21.38299

Log likelihood -1662.823 Hannan-Quinn criter. 21.35977

F-statistic 1385.691 Durbin-Watson stat 0.058825


(5)

Lampiran 4 lanjutan

Dependent Variable: PDRBJASA Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:52 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2743.645 3827.089 0.716901 0.4745

PDRBJASA_0 0.845987 0.069825 12.11583 0.0000

R-squared 0.488020 Mean dependent var 31170.02

Adjusted R-squared 0.484696 S.D. dependent var 52607.54

S.E. of regression 37764.16 Akaike info criterion 23.92885

Sum squared resid 2.20E+11 Schwarz criterion 23.96795

Log likelihood -1864.450 Hannan-Quinn criter. 23.94473

F-statistic 146.7932 Durbin-Watson stat 0.010420

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PDRBLAIN Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:53 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4210.191 1545.536 2.724098 0.0072

PDRBLAIN_0 0.538139 0.097007 5.547416 0.0000

R-squared 0.166549 Mean dependent var 10746.18

Adjusted R-squared 0.161137 S.D. dependent var 13640.45

S.E. of regression 12493.22 Akaike info criterion 21.71650

Sum squared resid 2.40E+10 Schwarz criterion 21.75560

Log likelihood -1691.887 Hannan-Quinn criter. 21.73238

F-statistic 30.77382 Durbin-Watson stat 0.014667


(6)

Lampiran 4 lanjutan

Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:53 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4379.795 4740.317 0.923945 0.3570

PDRB_0 0.877127 0.039005 22.48744 0.0000

R-squared 0.766555 Mean dependent var 70586.91

Adjusted R-squared 0.765039 S.D. dependent var 95728.68

S.E. of regression 46402.31 Akaike info criterion 24.34082

Sum squared resid 3.32E+11 Schwarz criterion 24.37992

Log likelihood -1896.584 Hannan-Quinn criter. 24.35670

F-statistic 505.6850 Durbin-Watson stat 0.022610

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PDKMISK Method: Panel Least Squares Date: 07/17/11 Time: 20:30 Sample (adjusted): 2004 2009 Periods included: 6

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 156

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 9.828248 18.21684 0.539514 0.5903

PDKMISK_0 1.029382 0.007981 128.9792 0.0000

R-squared 0.990828 Mean dependent var 1390.422

Adjusted R-squared 0.990768 S.D. dependent var 1916.127

S.E. of regression 184.1067 Akaike info criterion 13.28165

Sum squared resid 5219874. Schwarz criterion 13.32075

Log likelihood -1033.968 Hannan-Quinn criter. 13.29753

F-statistic 16635.63 Durbin-Watson stat 0.633358