Pengaruh Peubah Proses Dekafeinasi Kopi Dalam Reaktor Kolom Tunggal Terhadap Mutu Kopi

(1)

PENGARUH PEUBAH PROSES DEKAFEINASI KOPI DALAM

REAKTOR KOLOM TUNGGAL TERHADAP MUTU KOPI

DEVA PRIMADIA ALMADA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Peubah Proses Dekafeinasi Kopi Dalam Reaktor Kolom Tunggal Terhadap Mutu Kopi adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Deva Primadia Almada


(3)

ABSTRACT

DEVA PRIMADIA ALMADA. Effects of Process Variables in Coffee

Decaffeination inside Fixed Bed Column Reactor on Coffee Quality Under the direction of HADI K. PURWADARIA and SRI MULATO.

People awareness of health decreases the population of coffee drinkers avoiding the high caffeine content. Various researches have been done in order to eliminate the caffeine content inside the coffee bean. The objective of this research is to determine the effects of coffee bean size, extraction temperatures, and residence time during decaffeination process using ethyl acetate solvent in fixed bed column reactor. The coffee bean sized being used are d>7.5 mm (A1

-extra large), 6.5mm – 7.5mm (A2-large), 5.5mm – 6.5mm (A3- medium), <5.5mm

(A4- small), the extraction temperatures are 60-70°C, 70-80°C, 80-90°C, and

residence time are 2, 4, 6 and 8 hours.

Decaffeination process was divided into two steps. First step was coffee bean steaming process, and the second step was caffeine extraction process. The objective of steaming process was to achieve maximum moisture content of coffee bean, so the ethyl acetate solvent could penetrate the coffee bean. The results of steaming process of Robusta coffee beans in the fixed bed reactor for 4 hours indicated that the beans adsorbed water and their moisture content increased from 12 to 57% . At the second step, the beans experienced darkening of color indicated by the decreasing of L value from various sizes of the bean. The lowest caffeine content of 0.32% gained from the smallest coffee bean size (d<5.5mm), the highest extraction temperature (80-90°C), and the longest residence time of decaffeination process (8 hours). The falling rate of caffeine at first two hour extraction process increased significantly up to 60.5 %, then it slowly increased to 86 % at the end of the process. The value of organoleptic test of decaffeinated coffee drink are 2-2.5 in range 0-4 scale for aroma, flavor, bitterness and body. Key words : coffee bean, decaffeination, caffeine content, fixed bed column


(4)

RINGKASAN

DEVA PRIMADIA ALMADA. Pengaruh Peubah Proses Dekafeinasi Kopi Dalam Reaktor Kolom Tunggal Terhadap Mutu Kopi. Dibimbing oleh HADI K. PURWADARIA dan SRI MULATO.

Kopi seduh merupakan salah satu jenis minuman yang sangat populer di seluruh dunia karena cita rasa dan aromanya yang khas. Namun, di sisi lain kopi mengandung kafein yang diduga mempunyai efek yang kurang baik bagi kesehatan peminumnya, sehingga berdampak pada menurunnya minat minum kopi dan menurunkan tingkat konsumsi kopi di dalam negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan proses dekafeinasi kopi dalam reaktor kolom tunggal. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 1) Menentukan pengaruh suhu (60-70°C, 70-80°C dan 80-90°C) pada proses dekafeinasi kopi dalam reaktor kolom tunggal, 2) Menentukan pengaruh ukuran biji (<7.5 mm, 6.5mm–7.5mm), 5.5mm–6.5mm, dan < 5.5mm) pada proses dekafeinasi kopi dalam reaktor kolom tunggal, dan 3) Menentukan pengaruh lama proses pelarutan (2, 4, 6, dan 8 jam) terhadap kandungan kafein kopi biji dan cita rasa minuman kopi. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap proses yaitu pengukusan biji kopi dan pelarutan kafein. Hasil penelitian menunjukkan pengembangan volume biji kopi mencapai nilai maksimum 32-38% untuk semua ukuran biji setelah proses pengukusan berlangsung 4 jam, demikian pula kadar air yang meningkat dari 12% menjadi 54-57% setelah proses pengukusan berlangsung selama 4 jam untuk semua ukuran biji.

Pada proses pelarutan kafein, warna biji kopi hasil dekafeinasi pada suhu

60-70oC, 70-80oC dan 80-90oC pada akhir proses menjadi lebih gelap dengan nilai

L yang semula 105.5 masing-masing mengalami penurunan menjadi 59, 58, dan

55.5. Nilai tekstur biji kopi pada suhu 60-70oC, 70-80oC dan 80-90oC pada akhir

proses menjadi lebih lunak dari nilai tekstur awal 352.5 g/mm masing-masing mengalami penurunan menjadi 235 g/mm, 230 g/mm, dan 195 g/mm.

Kadar kafein terendah dicapai pada biji ukuran terkecil yaitu < 5.5mm

(A4) yaitu sebesar 0.32%, dengan waktu pelarutan 8 jam dan suhu pelarut 80-90oC.

Hasil ini sudah mendekati standar internasional kopi minim kafein yaitu 0.1 – 0.3%. Laju penurunan kadar kafein pada 2 jam proses pelarutan mengalami kenaikan secara signifikan sebesar 60.5%, selanjutnya naik perlahan sampai akhir

proses menjadi 86%. Nilai organoleptik seduhan kopi hasil proses dekafeinasi

masih rendah, yaitu berkisar antara 2-2.5 pada skala 0-4 baik untuk aroma, flavor, bitterness, dan body, dibandingkan dengan nilai organoleptik (standar) minuman kopi yaitu 3.5 baik untuk aroma, flavor, bitterness dan body dalam skala yang sama. Kadar kafein dalam biji kopi dan nilai cita rasa seduhan kopi hasil proses dekafeinasi menurun dengan semakin kecilnya ukuran biji kopi, suhu pelarut yang tinggi serta proses pelarutan yang lama.


(5)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

PENGARUH PEUBAH PROSES DEKAFEINASI KOPI DALAM

REAKTOR KOLOM TUNGGAL TERHADAP MUTU KOPI

DEVA PRIMADIA ALMADA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PASCAPANEN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(7)

(8)

Judul Tesis : Pengaruh Peubah Proses Dekafeinasi Kopi Dalam Reaktor Kolom Tunggal Terhadap Mutu Kopi

Nama : Deva Primadia Almada NIM : F051060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc. Dr. Ir. Sri Mulato, MS., APU.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pascapanen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,

MS.


(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan atas selesainya penulisan Tesis dengan judul Pengaruh Peubah Proses Dekafeinasi Kopi Dalam Reaktor Kolom Tunggal Terhadap Mutu Kopi. Tesis ini terdiri dari Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, serta Simpulan Dan Saran. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen.

Penghargaan yang tulus diberikan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi K Purwadaria, M.Sc. dan Dr. Ir Sri Mulato, MS, APU sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala arahan, saran, masukan, dan bantuannya dalam penulisan karya ilmiah ini. Disamping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Tresnawati Purwadaria, MSc. selaku penguji luar komisi.

Penulis bersyukur dan berterimakasih kepada Program KKP3T-DEPTAN yang telah membantu dalam mendanai penelitian ini dan juga Pusat Penelitian dan Kopi dan Kakao Indonesia, Jember khususnya Ir. Sukrisno Widyotomo, MSi beserta seluruah staf, pegawai dan karyawan Divisi Rekayasa Industri Hilir dan Alat dan Mesin Pengolahan Kopi Kakao yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan, bantuan, dan fasilitas yang diberikan selama kegiatan penelitian serta semua pihak yang telah banyak membantu dalam kegiatan penelitian dan penulisan Tesis ini.

Terimakasih diucapkan kepada teman-teman TPP 2006 Bu Ros, Nona, Venty dan Eta atas bantuan, kebersamaan dan kekompakan kita selama ini.

Penulis menyadari Tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan masukan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan Tesis ini. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2009


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari 4 orang bersaudara pasangan Dr.Ir.H. Agus Sofyan, MSc dan Hj. Nurul Dalilla. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 November 1977 dengan nama Deva Primadia Almada. Masa kanak-kanak diselesaikan di TK Nugraha Bogor, Sekolah Dasar di SDN 28 Bukit

Tinggi tahun 1990, dan Sekolah Menengah Pertama pada KTA (Koninklijk

Technisch Atheneum II) St. Amandsberg Oostakker, Gent, Belgia tahun 1993. Pada tahun 1996 setelah lulus dari SMAN 5 Jakarta pendidikan dilanjutkan di Institut Pertanian Bogor, pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian segera bergabung pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kewirausahaan (P3K), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), IPB sampai saat ini.

Pada tahun 2006 Penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Teknologi Pasca Panen (TPP), Sekolah Pasca Sarjana IPB.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

Daftar Lampiran ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Luaran ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Kopi ... 3

2.2. Senyawa Kafein ... 5

2.3. Proses Dekafeinasi ... 8

III. METODE PENELITIAN ... 12

3.1. Waktu dan Tempat ... 12

3.2. Bahan dan Alat ... 12

3.3. Perlakuan ... 12

3.4. Prosedur Penelitian ... 13

3.5. Rancangan Percobaan ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

4.1. Karakterisasi Bahan Penelitian ... 17

4.2. Dekafeinasi Kopi dalam Reaktor Kolom Tunggal ... 19

4.2.1. Proses Steaming / Pengukusan Biji Kopi ... 19

4.2.2. Proses Pelarutan Kafein ... 27

4.2.2.1. Karakteristik Fisik ... 28

4.2.2.2. Karakteristik Kimia ... 35


(12)

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Simpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Klasifikasi mutu berdasar sistem nilai cacat ... 5

Tabel 2.2. Penentuan besarnya nilai cacat ... 5

Tabel 2.3. Komposisi kimia biji kopi arabika dan robusta (Clifford, 1985) 6 Tabel 2.4. Kandungan kafein kopi (Spiller, 1999) ... 7

Tabel 2.5. Kelarutan kafein dalam air (Macrae, 1985) ... 8

Tabel 4.1. Hasil analisis karakteristik fisik bahan baku ... 18

Tabel 4.2. Hasil analisis karakteristik kimia bahan baku ... 19


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Anatomi buah kopi ... 4

Gambar 2.2. Rumus bangun kafein, C8H10N4O2, (Clarke and Macrae, 1989) 7 Gambar 2.3. Bagan alir proses dekafeinasi kopi, (www.baldmountaincoffee/Coffee_Decaffeination, 2007) ... 10

Gambar 2.4. Reaktor kolom tunggal (kanan) dan fermentor (kiri) (Purwadaria et al., 2007) ... 11

Gambar 3.1. Diagram alir proses dekafeinasi kopi ... 14

Gambar 4.1. Alat sortasi tipe meja getar ... 17

Gambar 4.2. Biji kopi hasil sortasi ... 17

Gambar 4.3. Biji kopi A4 sebelum di tampi (kiri) dan kegiatan penampian (kanan) ... 18

Gambar 4.4. Reaktor kolom tunggal untuk proses dekafeinasi kopi hasil rancangan Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, Jember ... 20

Gambar 4.5. Sketsa alat reaktor kolom tunggal ... 20

Gambar 4.6. Karakteristik suhu air dan biji kopi selama proses pengukusan 21 Gambar 4.7. Pengembangan volume biji kopi selama proses pengukusan. 22 Gambar 4.8. Peningkatan kadar air biji kopi selama proses pengukusan ... 23

Gambar 4.9. Geometric mean diameter(GMD) biji kopi selama pengukusan 24 Gambar 4.10. Sperisitas biji kopi selama proses pengukusan ... 25

Gambar 4.11. Densitas kamba biji kopi selama proses pengukusan ... 25

Gambar 4.12. Densitas partikel biji kopi selama proses pengukusan ... 26

Gambar 4.13. Perubahan pH air selama proses pengukusan ... 27

Gambar 4.14. Perubahan pH pelarut pada suhu pelarutan 60-70oC ... 28

Gambar 4.15. Perubahan pH pelarut pada suhu pelarutan 70-80oC ... 29

Gambar 4.16. Perubahan pH pelarut pada suhu pelarutan 80-90oC ... 29

Gambar 4.17. Perubahan tekstur biji kopi pada suhu pelarutan 60-70oC .... 30

Gambar 4.18. Perubahan tekstur biji kopi pada suhu pelarutan 70-80oC .... 31


(15)

Gambar 4.20. Perubahan warna biji kopi pada suhu pelarutan 60-70oC ... 32

Gambar 4.21. Perubahan warna biji kopi pada suhu pelarutan 70-80oC ... 33

Gambar 4.22. Perubahan warna biji kopi pada suhu pelarutan 80-90oC ... 33

Gambar 4.23. Perubahan warna biji kopi setelah proses dekafeinasi ... 34

Gambar 4.24. Proses penjemuran biji kopi hasil proses dekafeinasi ... 35

Gambar 4.25. Perubahan kadar kafein pada suhu pelarutan 60-70oC ... 35

Gambar 4.26. Perubahan kadar kafein pada suhu pelarutan 70-80oC ... 36

Gambar 4.27. Perubahan kadar kafein pada suhu pelarutan 80-90oC ... 37

Gambar 4.28. Perubahan kadar asam klorogenat pada suhu pelarutan 60-70oC ... 39

Gambar 4.29. Perubahan kadar asam klorogenat pada suhu pelarutan 70-80oC ... 39

Gambar 4.30. Perubahan kadar asam klorogenat pada suhu pelarutan 80-90oC ... 40

Gambar 4.31. Perubahan kadar trigonellin pada suhu pelarutan 60-70 oC .. 41

Gambar 4.32. Perubahan kadar trigonellin pada suhu pelarutan 70-80oC ... 42

Gambar 4.33. Perubahan kadar trigonellin pada suhu pelarutan 80-90oC ... 42

Gambar 4.34. Perubahan kadar kafein, asam klorogenat dan trigonellin pada tiap suhu pelarutan yang berbeda ... 43

Gambar 4.35. Laju penurunan kafein biji < 5.5 mm pada suhu pelarutan 80-90oC ... 44

Gambar 4.36. Laju penurunan asam klorogenat biji < 5.5 mm pada suhu pelarutan 80-90oC ... 44

Gambar 4.37. Laju penurunan trigonellin biji < 5.5 mm pada suhu pelarutan 80-90oC ... 45

Gambar 4.38. Citarasa kopi terdekafeinasi dengan perlakuan suhu 60-70oC 46

Gambar 4.39 Citarasa kopi terdekafeinasi dengan perlakuan suhu 70-80oC 47


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Colombia. Sebanyak 90 persen kopi Indonesia adalah Robusta, sedangkan sisanya Arabika. Negara tujuan ekspor kopi Indonesia adalah Jepang, Italia, Jerman, Amerika, dan Taiwan.

Kopi merupakan produk perkebunan yang memiliki peranan nyata dalam mewujudkan program pembangunan perkebunan, khususnya dalam hal penyediaan lapangan kerja, pendorong pengembangan wilayah, peningkatan kesejahteraan petani, dan meningkatkan pendapatan/devisa negara. Pengembangan tanaman kopi di Indonesia sampai dengan tahun 2005 mencapai luasan 1 126 302 ha dengan jumlah produksi sebanyak 640.365 ton kopi biji, dan diperkirakan pada tahun 2006 meningkat menjadi 1 255 272 ha dengan produksi 653 388 ton kopi biji yang tersebar di 31 propinsi. Jumlah petani yang terlibat dalam usaha tani kopi 1.84 juta kepala keluarga. Pada tahun 2005, ekspor komoditi kopi mencapai nilai US $ 503.84 juta dengan volume 445 826 ton (Ditjen Perkebunan, 2006).

Kopi seduh merupakan salah satu jenis minuman yang sangat populer di seluruh dunia karena cita rasa dan aromanya yang khas. Namun, di sisi lain kopi mengandung kafein yang diduga mempunyai efek yang kurang baik bagi kesehatan peminumnya, dan berdampak pada menurunnya minat minum kopi dan menurunkan tingkat konsumsi kopi di dalam negeri. Oleh karena itu sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian untuk mengurangi kadar kafein pada kopi (dekafeinasi kopi) tanpa mengurangi rasa seduhan dari kopi.

Beberapa penelitian tentang dekafeinasi kopi tanpa mengurangi citarasa seduhan kopi telah banyak dilakukan. Suatu penelitian jangka panjang tentang

proses produksi kopi rendah kafein (decaffeinated) telah dilakukan oleh Pusat

Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia sejak dua tahun terakhir ini. Melalui diversifikasi produk hilirnya, yaitu salah satunya adalah kopi rendah kafein, nilai tambah kopi akan menjadi tinggi. Harga kopi rendah kafein (0.30%) adalah Rp 300 000,- per kilogram, sedang harga per kilogram biji kopi beras Robusta


(17)

kualitas IV hanya Rp 5 000,-. Selain itu, kafein dari proses dekafenisasi dapat dimurnikan dan bermanfaat sebagai bahan substitusi impor, yang dibutuhkan oleh industri minuman dan farmasi yang mencapai jumlah 60 ton per tahun.

Proses dekafeinasi kopi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran biji kopi, suhu pelarut dan jenis pelarut yang digunakan. Selain itu proses ini memerlukan suatu rangkaian peralatan yang praktis dan efisien untuk mempermudah kegiatan proses dan meningkatkan mutu dari hasil yang diharapkan. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk proses dekafeinasi kopi adalah reaktor kolom tunggal dimana tahapan kegiatan proses dekafeinasi kopi yaitu proses pengukusan dan pelarutan dapat dilakukan sekaligus dalam satu unit rangkaian alat saja.

Berdasarkan hal tersebut dilakukan kegiatan penelitian tentang karakteristik proses dekafeinasi kopi dalam reaktor kolom tunggal dengan judul Pengaruh Peubah Proses Dekafeinasi Kopi Dalam Reaktor Kolom Tunggal Terhadap Mutu Kopi.

1.2. Tujuan

Tujuan umum penelitian adalah pengembangan proses dekafeinasi kopi dalam reaktor kolom tunggal.

Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan pengaruh suhu pada proses dekafeinasi kopi dalam reaktor

kolom tunggal.

2. Menentukan pengaruh ukuran biji pada proses dekafeinasi kopi dalam

reaktor kolom tunggal.

3. Menentukan pengaruh lama proses pelarutan terhadap kandungan kafein

kopi biji dan cita rasa minuman kopi. 1.3. Luaran

Luaran yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah terbentuknya suatu model proses dekafeinasi kopi yang dapat diterapkan pada industri pengolahan kopi rendah kafein.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kopi

Tanaman kopi berasal dari negara Ethiopia, benua Afrika. Tanaman kopi

tergolong dalam family Rubiaceae, sub family Cinchonoides, genus Coffea L.,

sub genus Coffea. Sub genus Coffea lebih banyak dikembangkan karena paling

menguntungkan (Najiyati dan Danarti, 1998). Jenis kopi yang banyak

diperdagangkan adalah kopi arabika (Coffea arabica), dan kopi robusta (Coffea

cannephora). Jenis kopi yang paling banyak di tanam di Indonesia adalah kopi

robusta (Coffea cannephora). Negara tujuan ekspor kopi Indonesia adalah Jepang,

Italia, Jerman, Amerika, dan Taiwan. Kopi arabika tumbuh pada ketinggian tempat lebih dari 600 m dari permukaan laut, sedangkan kopi robusta kurang dari 600 m dari permukaan laut (Ky dkk, 2001). Gambar 2.1. menampilkan susunan buah kopi yang terdiri dari biji kopi, kulit ari, kulit cangkang, daging buah, lapisan kulit buah, dan tangkai buah.

Untuk tumbuh subur kopi diperlukan curah hujan sekitar 2.000-3.000 mm tiap tahun serta memerlukan waktu musim kering sekurang-kurangnya 1-2 bulan pada waktu berbunga dan pada waktu pemetikan buah. Tanaman kopi mulai dapat menghasilkan setelah umur 4-5 tahun bergantung pada pemeliharaan dan iklim setempat. Tanaman kopi dapat memberi hasil tinggi mulai umur 8 tahun dan dapat berbuah baik selama 15 -18 tahun, jika pemeliharaan cuku baik, tanaman kopi akan terus berproduksi sampai umur sekitar 30 tahun (Najiyati, S. dan Danarti. 2001).

Biji kopi yang siap diperdagangkan adalah biji kopi yang sudah dikeringkan, kadar airnya berkisar antara 12 -13 %. Permukaan bijinya sudah bersih dari lapisan kulit tanduk dan kulit ari. Biji kopi demikian sering disebut sebagai biji kopi beras. Buah kopi hasil panen, seperti halnya produk pertanian yang lain, perlu segera diolah menjadi bentuk akhir yang stabil agar aman untuk disimpan dalam jangka waktu tertentu. Kriteria mutu biji kopi yang meliputi aspek fisik, citarasa dan kebersihan serta aspek keseragaman dan konsistensi sangat ditentukan oleh perlakuan pada setiap tahapan proses produksinya ( Mulato


(19)

Gambar 2. 1. Anatomi buah kopi.

Kopi diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber nutrisi melainkan sebagai produk yang bersifat menyegarkan atau penyegar. Oleh karena itu, biji kopi dianggap bernilai ekonomis jika dapat memberikan kepada konsumen rasa senang dan kepuasan dari flavour dan aroma yang dihasilkan (Davids, 1996). Konsumsi kopi domestik saat ini masih sangat rendah yaitu hanya 70 000 ton/tahun atau setara dengan 0.5 kg/orang/tahun. Nilai ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi kopi domestik negara-negara seperti Finlandia, Norwegia, Denmark, Austria, Jerman, dan Belgia yang mencapai sekitar 8-11 kg/orang/tahun (USDA, 2000).

Pengklasifikasian mutu biji kopi ditinjau dari beberapa nilai cacat antara lain biji normal, pecah, hitam, tutul, lubang > 1, gosong, kulit ari. Penentuan nilai cacat dilakukan dengan mengambil sample secara acak. Pengambilan contoh untuk pengujian mutu dilakukan secara bertahap, pertama diambil sebesar 10 kg kopi pasar kemudian dibagi empat bagian. Dari keempat bagian tersebut diambil 300 gr untuk dilakukan pengujian mutu. Jumlah nilai cacat dari 300 gr sampel menentukan tingkat mutunya, jika satu biji mempunyai lebih dari satu jenis cacat, maka penentuan nilai cacat biji tersebut berdasarkan pada bobot cacat yang terbesar. Jenis dan nilai cacat serta persyaratan mutu biji kopi disajikan dalam Tabel 2.1 dan 2.2.

1. Lapisan kulit buah 2. Daging buah 3. Biji kopi 4. Kult ari 5. Kulit cangkang 6. Tangkai buah


(20)

Tabel 2.1 Klasifikasi mutu berdasar sistem nilai cacat

Mutu Syarat Mutu

1 2 3 4 5 6

Jumlah nilai cacat maksimum 11 Jumlah nilai cacat 12 – 25 Jumlah nilai cacat 26 – 44 Jumlah nilai cacat 45 – 80 Jumlah nilai cacat 81 – 150 Jumlah nilai cacat 151 – 225

(Sumber: SNI 01-2907, 2008)

Setiap biji cacat pada contoh kopi yang diujikan diberi nilai cacat berdasarkan Tabel 2.2

Tabel 2.2 Penentuan besarnya nilai cacat

No. Jenis Cacat Nilai Cacat

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

1 (satu) biji hitam

1 (satu) biji hitam sebagian 1 (satu) biji hitam pecah 1 (satu) biji gelondong 1 (satu) biji coklat

1 (satu) kulit kopi (husk) ukuran besar 1 (satu) kulit kopi (husk) ukuran sedang 1 (satu) kulit kopi (husk) ukuran kecil 1 (satu) biji berkulit tanduk

1 (satu) kulit tanduk ukuran besar 1 (satu) kulit tanduk ukuran sedang 1 (satu) kulit tanduk ukuran kecil 1 (satu) biji pecah

1 (satu) biji muda

1 (satu) biji berlubang satu

1 (satu) biji berlubang lebih dari satu 1 (satu) biji bertutul (untuk proses basah) 1 (satu) ranting, tanah atau batu berukuran besar 1 (satu) ranting, tanah atau batu berukuran sedang 1 (satu) ranting, tanah atau batu berukuran kecil

1 (satu) ½ (setengah) ½ (setengah) 1 (satu) ¼ (seperempat) 1 (satu) ½ (setengah) 1/5 (seperlima) ½ (setengah) ½ (setengah) 1/5 (seperlima) 1/10 (sepersepuluh) 1/5 (seperlima) 1/5 (seperlima) 1/10 (sepersepuluh) 1/5 (seperlima) 1/10 (sepersepuluh) 5 (lima) 2 (dua) 1 (satu) (Sumber: SNI 01-2907, 2008)

2.2. Senyawa Kafein

Secara alamiah biji kopi mengandung lebih dari 500 senyawa kimia, tetapi hanya dua senyawa utama yang membuat kopi memiliki citarasa dan aroma yang disukai masyarakat. Dua senyawa tersebut adalah kafein yang berpengaruh terhadap rangsangan metabolisme tubuh, dan kafeol yang menghasilkan aroma yang khas dari kopi (Sivetz, 1963). Kandungan kafein yang tinggi memiliki beberapa pengaruh negatif, antara lain dapat menyebabkan jantung berdebar, pusing, dan mempertinggi tekanan darah. Selain itu, kafein juga dapat


(21)

menyebabkan susah tidur dengan jalan mempergiat kerja otak (Sivetz, 1979). Sedangkan menurut Winarno (1992), senyawa ini dapat meningkatkan sekresi asam lambung, memperbanyak produksi urine dan memperlebar pembuluh darah serta meningkatkan kerja otot. Namun pengaruh negatif pada ibu hamil dapat menyebabkan kelahiran bayi yang cacat. Selain senyawa kafein, kopi mengandung beberapa senyawa kimia lain dengan berbagai macam tingkatan kadarnya, seperti disajikan dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Komposisi kimia biji kopi arabika dan robusta (Clifford, 1985) Komponen Senyawa

Jenis Kopi

Arabika (% bk) Robusta (% bk)

Kahweol 0.70-1.10 Tidak Terdeteksi

Kafein 0.94-1.59 1.50-2.72

Asam Khlorogenat 4.07-7.70 6.20-11.7

Trigonellin 0.97-1.15 0.30-0.90

Fruktosa 0.04 0.19-0.21

Sukrosa 4.60-8.60 2.20-6.60

Glukosa 1.20 0.16-0.50

Galaktosa 0.04 13.1

Total Asam Amino 0.40-2.40 0.80-0.90

Lemak 14-20 11-16

Kadar Air 11-13 11-13

Abu 4 4

Kafein atau 1,3,7 trimetil santin merupakan salah satu senyawa alkaloida yang terdapat di dalam biji kopi dengan sifat fisiologis antara lain sebagai stimulan (Clarke dan Macrae, 1989; Spiller, 1999). Kadar kafein dalam biji kopi tergantung dari jenis tanaman kopi dan tempat tumbuh. Kadar kafein yang terkandung di dalam biji kopi Robusta berkisar antara 1.57-2.68 %, sedangkan kopi arabica berkisar antara 0.94-1.59% (Wilbaux, 1963). Sedangkan menurut Spiller (1999), jumlah presentase kadar kafein biji kopi robusta lebih tinggi dibanding kopi arabika, namun dengan kisaran persentase sedikit berbeda dengan yang dikemukakan oleh Wilbaux, (1963). Persentase kadar kafein kopi robusta dan arabika disajikan dalam Tabel 2.4.


(22)

Tabel 2.4. Kandungan kafein kopi (Spiller, 1999)

Jenis Kopi

Arabika Robusta

Biji kopi kering (bk) 0.58-1.7% 1.16-3.27 %

Biji kopi sangrai (bk) 1% 2%

Kadar kafein yang terdapat dalam secangkir teh sebesar 40–50 mg, sedangkan dalam secangkir kopi kadar kafein yang terkandung dapat mencapai 80-100 mg (Hicks, MB., Hsieh, P dan Bell, L.N., 1996).

Tingginya kadar kafein di dalam biji kopi diduga akan menyebabkan penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker, dan keguguran terutama bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi rendah terhadap kafein. Rumus bangun kafein dapat dilihat dalam Gambar 2.2.

Gambar 2. 2. Rumus bangun kafein, C8H10N4O2,

(Clarke and Macrae, 1989).

Kafein dalam keadaan murni berupa serbuk putih berbentuk prisma hexagonal (Johnson dan Peterson, 1974), selain itu senyawa ini tidak berbau, pahit dan mempunyai sifat racun (Sivets dan Desrosier, 1979). Menurut Macrae (1985), kafein mudah larut dalam air dan mudah bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air dan alkohol. Kafein dapat larut dalam suasana alkalis dan kelarutannya akan meningkat pada pH di atas 6 (Spiller, 1999). Kelarutan kafein


(23)

dalam air maupun dalam pelarut organik pada berbagai tingkatan suhu disajikan dalam Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Kelarutan kafein dalam air (Macrae, 1985)

Suhu (oC) Kelarutan (g/100g H2O)

0 0.60 20 1.46 40 4.64 60 9.70 80 18-19.23 100 66.67 2.3. Proses Dekafeinasi

Dekafeinasi adalah proses pengurangan kadar kafein suatu bahan hasil pertanian dengan mempertahankan rasa dan aroma. Dekafeinasi pada biji kopi biasanya dilakukan sebelum proses penyangraian atau roasting (Anonim, 2000). Standar kisaran kadar kafein pada kopi bubuk hasil dekafeinasi adalah 0.1 – 0.3% (Charley dan Weaver, 1998). Secara umum proses dekafeinasi biji kopi menggunakan 3 jenis pelarut, yaitu air, senyawa organik sintetik (metil khlorida, etil asetat, benzene, alkohol, khloroform) dan anorganik sintetik (asam sulfat, soda dan amonia). Daya larut kafein dalam pelarut sintentik relatif tinggi, namun alasan harga, potensi polusi lingkungan dan pengaruh negatif terhadap kesehatan menyebabkan pelarut sintentik harus digunakan secara cermat (Clarke and Macrae, 1989; Katz, 1997).

Beberapa penelitian tentang proses dekafeinasi kopi telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Ratna dan Anisah (2000) menyimpulkan bahwa bahwa perlakuan perebusan dalam larutan NaOH 0.6% selama 20 menit dapat menurunkan kadar kafein kopi bubuk Robusta sebanyak 0.31%. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin lama waktu perebusan maka kadar kafein yang

dihasilkan akan semakin rendah. Sedangkan Mulato et. al. (2001) berhasil

menurunkan kadar kafein pada biji kopi robusta sebesar 0.45 % dalam waktu 6 jam menggunakan pelarut air, namun cita rasa dan aroma kopi menjadi berkurang seiring melarutnya kadar kafein serta beberapa senyawa pembentuk cita rasa seperti asam klorogenat dan trigonellin. Hasil penelitian Lestari (2004) pada


(24)

proses dekafeinasi kopi menggunakan pelarut air menghasilkan kadar kafein sebesar 0.31% pada waktu pelarutan selama 6 jam.

Pada penelitian yang dilakukan Mulato et.al. (2001) proses dekafeinasi biji

kopi dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu proses pengukusan (steaming) dan

pelarutan (percolating) secara konsekutif di dalam reaktor kolom tunggal dengan

pelarut air pada suhu 100 oC. Ratio berat biji kopi dan pelarut air di dalam reaktor

adalah 1 : 5. Kadar kafein dalam biji kopi yang semula 2.46 % turun menjadi 0.45 % setelah proses berlangsung 6 jam. Pemanasan lanjut mampu menurunkan kadar kafein sampai 0.30 %, namun citarasa dan aroma seduhan kopinya juga berubah negatif secara signifikan. Menurut penelitian yang telah dilakukan

University of Florida Maples Center for Forensic Medicine menyebutkan bahwa proses dekafeinasi tidak dapat menghilangkan seluruh kandungan kafein yang terdapat di dalam biji kopi. Kopi seduhan rendah kafein sebanyak 5 sampai 10

cangkir sebanding dengan kopi tanpa dekafeinasi (Study: Decaf coffee is not

caffeine-free" ScienceDaily.com, 2008).

Pada dasarnya proses dekafeinasi kopi dapat berlangsung dengan dua metode, yaitu metode secara langsung dan tidak langsung. Metode secara langsung dengan cara memberikan perlakuan pelarut terhadap biji kopi secara langsung, sedangkan metode tidak langsung yaitu air seduhan kopi yang diberi perlakuan pelarut. Pelarut yang biasa digunakan pada proses dekafeinasi kopi

adalah metil kloride dan etil asetat, dimana kedua pelarut tersebut memiliki titik

didih yang rendah. Disamping itu, proses dekafeinasi kopi menggunakan pelarut etil asetat sering disebut proses yang alami karena senyawa etil asetat berasal dari etanol yang telah ditemukan dalam buah-buahan (www.baldmountaincoffee/Coffee_Decaffeination,2007.). Proses dekafeinasi kopi secara umum menggunakan pelarut etil asetat disajikan dalam Gambar 2.3.

Air merupakan pelarut yang paling populer dan memegang posisi sentral untuk proses dekafeinasi. Selain murah, efek samping air terhadap kesehatan dan lingkungan juga rendah. Namun, kemampuan air melarutkan kafein kopi sangat terbatas jika prosesnya dilakukan pada suhu rendah, sehingga paten-paten terdahulu selalu mengkombinasikannya dengan pelarut organik. Khloroform memiliki kemampuan pelarutan kafein paling tinggi, yaitu sebesar 13-18.20 %,


(25)

(pada suhu kamar). Namun, khloroform memiliki efek samping yang kurang baik bagi kesehatan di antaranya penyakit kanker. Meskipun alkohol dan etil asetat memiliki kemampuan pelarutan kafein agak rendah, yaitu sebesar 1.20 % dan 2.50 %, keduanya dianggap cukup aman bagi kesehatan (Spiller, 1999).

Gambar 2.3. Bagan alir proses dekafeinasi kopi, (www.baldmountaincoffee/Coffee_Decaffeination, 2007).

Purwadaria, et.al. (2007) telah merancang dan membuat peralatan yang

digunakan dalam proses dekafeinasi kopi antara lain adalah kolom reaktor tunggal dan fermentor. Reaktor dekafeinasi kopi terdiri dari tiga komponen utama, kolom pertama adalah kolom tunggal tegak untuk menempatkan biji kopi kapasitas 100 kg, dan dihubungkan langsung dengan komponen kedua yaitu ketel untuk menampung air atau pelarut tersier dari pulpa kakao. Komponen ketiga adalah tungku yang berfungsi sebagai unit pembangkit panas untuk meningkatkan suhu air pada proses pengukusan, dan meningkatkan suhu pelarut tersier dari pulpa kakao untuk proses pelarutan kafein pada biji kopi. Fermentor dibuat dari aluminum setebal 3 mm dengan ukuran diameter dalam 600 mm, diameter luar 900 mm dan tinggi 1 120 mm, dilapisi oleh jaket pemasan, dan mempunyai kapasitas 250 liter per proses (Gambar 2.4).

Pulpa kakao dapat digunakan untuk memproduksi alkohol, asam asetat dan etil asetat yang dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses dekafeinasi kopi


(26)

Gambar 2. 4. Reaktor kolom tunggal (kanan) dan fermentor (kiri)


(27)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yaitu dari bulan April sampai September 2008. Lokasi penelitian adalah di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Divisi Rekayasa Industri Hilir dan Alat dan Mesin Pengolahan Kopi Kakao, Jember, Jawa Timur.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah biji kopi beras robusta

ukuran A1 – A4 tingkat mutu IV dengan kisaran kadar air 12—13% yang berasal

dari Kebun Percobaan Sumber Asin, Kabupaten Malang, etil asetat sebagai pelarut tersier, dan bahan kimia untuk keperluan analisa kadar kafein yang terdiri dari dietil eter, kloroform, dan celite. Sedangkan alat-alat yang digunakan antara lain timbangan digital, reaktor kolom tunggal kapasitas 30 liter desain Puslit kopi dan Kakao Indonesia, kompor gas, termokopel, termometer, pH meter, cawan, oven pengering, Color Reader, penetrometer, seperangkat PC, dan kamera digital merk Samsung.

3.3. Perlakuan

Percobaan dilakukan dengan 3 macam perlakuan yaitu ukuran biji, suhu dan lama proses deekafeinasi. Biji kopi terdiri dari 4 jenis yaitu ukuran lebih dari

7.5 mm (A1), 6.5mm – 7.5mm (A2), 5.5mm – 6.5mm (A3) dandibawah 5.5mm

(A4) . Pelarut dekafeinasi menggunakan etil asetat 10% dilakukan dalam reaktor

kolom tunggal dengan kapasitas olahan 6 kg biji kopi per proses. Suhu dekafeinasi terdiri dari 3 tingkat yaitu 60-70°C, 70-80 °C dan 80-90°C dengan lama waktu proses 4 tingkat yaitu 2, 4, 6 dan 8 jam.


(28)

3.4. Prosedur Penelitian

Proses dekafeinasi akan dilakukan dalam 2 (dua) tahap. Tahap pertama adalah proses pengukusan biji kopi pada suhu 100°C , dan tahap kedua berupa proses pelarutan kafein.

Biji kopi disortasi menggunakan mesin sortasi tipe meja getar sesuai

ukuran yaitu A1, A2, A3 dan A4. Setelah itu biji kopi sebanyak 6 kg dari tiap

ukuran dimasukkan ke dalam kolom reaktor kapasitas 30 lt untuk dilakukan proses pengukusan (steaming) menggunakan air dengan suhu 100°C selama 4 jam, hal ini bertujuan untuk mengembangkan volume biji kopi dan meningkatkan kadar air. Kolom reaktor tunggal yang digunakan untuk proses pengukusan dan pelarutan kafein adalah merupakan hasil rancangan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. Parameter yang diamati pada tahap pengukusan adalah pengembangan volume, kadar air, bulk density dan partikel density. Setelah itu dilakukan proses tahap kedua yaitu pelarutan kafein.

Proses pelarutan kafein dilakukan pada tiap ukuran biji kopi (A1, A2, A3

dan A4) dengan jumlah 6 kg per proses untuk tiap ukuran. Pelarut yang digunakan

adalah etil asetat 10% dengan perbandingan jumlah biji kopi dengan pelarut adalah 1 : 5. Suhu pelarut digunakan dalam 3 tahap yaitu masing-masing 60-70°C, 70-80°C dan 80-90°C dengan lama waktu pelarutan adalah 2, 4, 6 dan 8 jam. Parameter yang diamati adalah pH pelarut, warna biji kopi, dan tekstur.

.Biji kopi yang telah melalui proses pelarutan kemudian dikeringkan sampai kadar airnya mencapai 12%, kemudian dihaluskan dan dilakukan analisa kadar kafein, asam klorogenat dan trigonelin. Untuk analisa organoleptik atau uji cita rasa, sebelum dihaluskan (grinding), biji kopi hasil dekafeinasi terlebih dahulu disangrai (roasting), kemudian dilakukan proses uji cita rasa pada seduhan kopi. Diagram alir proses dekafeinasi kopi disajikan dalam Gambar 3.1.


(29)

(30)

3.5. Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan tiga faktor dan 2 ulangan.

Faktor pertama adalah ukuran biji, terdiri dari 4 taraf yaitu : A1 : ukuran biji kopi 7.5 mm

A2 : ukuran biji kopi 6.5 mm A3 : ukuran biji kopi 5.5 mm dan A4 : ukuran biji kopi <5.5 mm

Faktor kedua adalah suhu dekafeinasi, terdiri dari 3 taraf yaitu : B1 : suhu 60-70ºC

B2 : suhu 70-80ºC B3 : suhu 80-90ºC

Faktor ketiga adalah lama proses pelarutan, terdiri dari 4 taraf yaitu : C1 : lama proses 2 jam

C2 : lama proses 4 jam C3 : lama proses 6 jam C4 : lama proses 8 jam

Model linier rancangan percobaan (Mattjik dan Sumertajaya, 2002) adalah sebagai berikut :

Y

ijk

= μ + A

i

+ B

j

+ C

k

+ (AB)

ij

+ AC

ik

+ ABC

ijk

ijk

Dimana :

Y

ijk :Nilai pengamatan

μ : Nilai rata-rata umum

A

i : Pengaruh ukuran biji kopi

B

j : Pengaruh suhudekafeinasi

Ck : Pengaruh lama proses

(AB)

ij

:

Pengaruh interaksi perlakuan ukuran biji kopi ke-i, pengaruh suhu

dekafeinasi ke-j


(31)

ABC

ijk

:

Pengaruh interaksi ukuran biji kopi, suhu dekafeinasi dan lama proses

Σ

ijk

:

Pengaruh galat percobaan

Dari ketiga faktor tersebut akan diperoleh 4 x 3 x 4 = 48 kombinasi dengan masing-masing 2 ulangan, sehingga terdapat 48 x 2 = 96 unit percobaan.


(32)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakterisasi Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah biji kopi Robusta dengan tingkat mutu IV hasil proses pengolahan kering dengan kisaran kadar air 12-13%, dan dipilah atas dasar ukurannya menggunakan alat sortasi tipe meja getar (Gambar

4.1), yaitu ukuran lebih dari 7.5 mm (A1-extra large), 6.5mm – 7.5mm (A2-large),

5.5mm – 6.5mm (A3- medium), dibawah 5.5mm (A4- small). Biji kopi hasil

sortasi disajikan dalam Gambar 4.2.

Gambar 4.1. Alat sortasi tipe meja getar.

Untuk mengetahui karakteristik awal biji kopi dilakukan analisis sifat fisik, kimia serta uji cita rasa sebelum proses dekafeinasi dilakukan. Hasil analisis kimiawi, fisik, dan cita rasa bahan baku disajikan pada Tabel 4.1 dan 4.2 dan 4.3.

Ukuran A1 Diameter > 7.5 mm

Ukuran A2

6.5 >Diameter > 7.5mm

Ukuran A4 Diameter < 5.5mm Ukuran A3

5.5 >Diameter > 6.5mm


(33)

Pada Gambar 4.2 secara fisik terlihat perbedaan ukuran masing-masing

biji kopi hasil sortasi. Ukuran biji A4 merupakan biji kopi dengan mutu yang

paling rendah karena merupakan sisa biji hasil sortasi. Hal ini terlihat dari banyaknya kulit biji dan kotoran lain yang terbawa dan berwarna hitam meskipun sebelumnya telah dilakukan pembersihan dengan cara ditampi (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Biji kopi A4 sebelum di tampi (kiri) dan kegiatan penampian (kanan).

Tabel 4.1. Hasil analisis karakteristik fisik bahan baku

Komponen Biji kopi

Kadar air (%) 12-13

Densitas partikel (g/ml) 0.73-0.92

Densitas kamba (kg/m3) 685-706

Tekstur (g/1mm) 322-384

Warna (L) 104-110

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kadar air biji kopi bahan

penelitian adalah 12-13%, densitas kamba 685-706 kg/m3, densitas partikel


(34)

Tabel 4.2. Hasil analisis karakteristik kimia bahan baku

Komponen Biji kopi

Kafein, (%) 2.28

Asam klorogenat, (%) 7.6

Trigonelin, (%) 1.7

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kadar kafein pada biji kopi adalah sebesar 2.28 %, sedangkan untuk kadar asam klorogenat dan trigonellin masing-masing adalah sebesar 7.6 % dan 1.7 %.

Tabel 4.3. Hasil analisis organoleptik bahan baku

Parameter Nilai [skala 0-4]

Aroma 3.5

Flavor 3.5

Bitterness 3.5

Body 3.5

Dari tabel di atas terlihat bahwa hasil uji organoleptik untuk parameter aroma, flavor, bitterness dan body masing-masing bernilai 3.5 pada skala 0-4.

4.2. Dekafeinasi Kopi dalam Reaktor Kolom Tunggal

Proses dekafeinasi kopi menggunakan reaktor kolom tunggal dilakukan

dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap pertama berupa proses pengukusan / steaming dan tahap kedua adalah proses pelarutan kafein pada biji kopi.

4.2.1. Proses Steaming / Pengukusan Biji Kopi

Proses pengukusan (steaming) menggunakan media air pada suhu 100oC

dilakukan selama 4 jam di dalam reaktor kolom tunggal yang dihubungkan dengan seperangkat PC sebagai pengontrol suhu (Gambar 4.4). Proses ini bertujuan untuk memperoleh pengembangan volume biji kopi dan kadar air yang maksimal. Sketsa alat yang digunakan ditampilkan dalam Gambar 4.5.


(35)

Gambar 4.4. Reaktor kolom tunggal untuk proses dekafeinasi kopi hasil rancangan Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.


(36)

Ketel yang berfungsi untuk membangkitkan panas dan uap air panas (water saturated) diisi air dengan perbandingan 1 : 5 terhadap berat biji kopi. Karakteristik peningkatan suhu air, dan biji kopi selama proses pengukusan ditampilkan pada Gambar 4.6. Air sebagai media yang berfungsi mengembangkan

volume biji kopi mengalami peningkatan suhu sampai 100oC setelah proses

pemanasan berlangsung selama 90 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa desain dan rancang bangun tungku sebagai sumber panas mampu membangkitkan

energi panas yang cukup untuk meningkatkan suhu air sebesar 66oC dalam waktu

yang relatif singkat. Pemanasan singkat tersebut bertujuan untuk memperbesar pori-pori permukaan dan jaringan biji kopi agar pelarut akan mudah masuk ke dalamnya.

0 20 40 60 80 100 120

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

Waktu (menit)

S

u

hu (

0 C)

Lingkungan Kopi A1 Air

Gambar 4.6. Karakteristik suhu air dan biji kopi selama proses pengukusan. Biji kopi termasuk bahan pertanian yang memiliki sifat konduktifitas panas yang rendah karena memiliki susunan sel yang sangat rapat. Molekul-molekul air bergerak cepat meninggalkan permukaan air dalam bentuk uap air bebas, menembus tumpukan, dan memanaskan permukaan biji kopi. Panas merambat ke dalam jaringan biji dan menyebabkan sel-sel berekspansi karena tekanan uap air dan senyawa-senyawa gas volatil yang ada di dalam sel. Hasil


(37)

penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu biji kopi berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan suhu air, dan kesetimbangan suhu terjadi setelah proses berlangsung selama 90 menit.

Biji kopi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kopi Robusta hasil pengolahan kering dengan kadar air 12%. Biji kopi diklasifikasikan dalam 4

tingkatan ukuran, yaitu kode A1 berupa biji kopi dengan ukuran lebih besar dari

7.5 mm, kode A2 berupa biji kopi dengan ukuran lebih kecil dari 7.5 mm atau

lebih besar dari 6.5 mm, kode A3 berupa biji kopi dengan ukuran lebih kecil dari

6.5 mm atau lebih besar dari 5.5 mm, dan kode A4 berupa biji kopi dengan ukuran

lebih kecil dari 5.5 mm. Dalam satu jam proses pengukusan, ekspansi sel-sel biji kopi hanya meningkat antara 17-27% tergantung pada ukuran biji (Gambar 4.7). Pengembangan biji mencapai nilai maksimum 32-38% untuk semua ukuran biji setelah pengukusan berlangsung 3 jam. Pemanasan lanjut tidak menambah volume biji, dan permukaan atau lapisan biji tidak sampai pecah.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 1 2 3 4

Waktu (jam) P e ngem ban gan v ol u m e ( % )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.7. Pengembangan volume biji kopi selama proses pengukusan.

Berdasarkan Gambar 4.7 terlihat bahwa biji kopi ukuran kecil (A4)

memberikan tingkat ekspansi paling rendah, sedangkan biji kopi berukuran besar

(A1) memiliki tingkat ekspansi paling tinggi. Fenomena tersebut terkait dengan

ukuran dan jumlah sel-sel penyusun yang ada di dalam biji kopi. Keberadaan air di dalam sel menyebabkan dinding-dinding sel bersifat elastis dan ulet sehingga

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(38)

volatil yang ada di dalamnya. Peningkatan kadar air bertujuan untuk melunakkan biji kopi dan merupakan langkah awal proses dekafeinasi.

Ekspansi volume biji menyebabkan ukuran sel-sel bertambah besar dan mengakibatkan peningkatan porositas antar sel satu dengan yang lainnya. Pori-pori jaringan biji kopi menjadi terbuka dan dimanfaatkan oleh molekul-molekul air masuk ke dalamnya. Perbedaan konsentrasi air yang tinggi antara permukaan dan di dalam biji kopi menyebabkan terjadinya peristiwa osmose. Molekul air masuk ke dalam biji kopi dengan cara difusi dan kemudian menerobos dinding sel di dalam jaringan biji. Molekul air terperangkap di dalam sel-sel sehingga kadar air biji kopi meningkat seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.8.

0 10 20 30 40 50 60

0 1 2 3 4

Waktu (jam)

K

a

d

a

r A

ir (%

)

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.8. Peningkatan kadar air biji kopi selama proses pengukusan. Kadar air biji kopi mengalami peningkatan setelah proses pengukusan berlangsung selama 1 jam yaitu sebesar 42-46%. Pada kahir proses pengukusan kadar air biji kopi meningkat dari 12% menjadi 54-57%. Pada kondisi demikian ternyata biji kopi telah mengalami pengembangan maksimum karena dengan penambahan waktu pengukusan lebih dari 4 jam tidak memberikan penambahan kadar air biji kopi. Pada kondisi ini pengembangan volume sudah mencapai maksimum dan tidak ada lagi ruang kosong yang dapat diisi air. Biji kopi telah

mengalami proses pembasahan ulang (rewetting) dengan kadar air mendekati

kadar air saat biji kopi segar. Pengembangan volume dan peningkatan kadar air

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(39)

menyebabkan jarak antar sel semakin jauh di dalam biji kopi sehingga kafein diharapkan mudah keluar dari biji kopi.

Analisis beberapa perubahan fisik biji kopi pasca pengukusan juga

dilakukan, antara lain Geometric Mean Diameter (GMD), sperisitas (sphericity),

densitas partikel (particle dencity), dan densitas kamba (bulk dencity). Pada 1 jam

pertama pengukusan, GMD biji kopi berkisar antara 0.74-0.78 mm, dan setelah proses pengukusan berlangsung selama 4 jam berkisar antara 0.86-0.89 mm. Proses pengukusan lebih dari 4 jam tidak memberikan peningkatan nilai GMD, dan hal tersebut berkaitan dengan ekspansi pengembangan biji kopi yang telah mencapai tingkat maksimum (Gambar 4.9).

0,6 0,65 0,7 0,75 0,8 0,85 0,9 0,95

0 1 2 3 4

Waktu (jam)

G M

D

(

m

m

)

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.9. Geometric mean diameter (GMD) biji kopi selama pengukusan.

Perubahan sperisitas tiap ukuran biji kopi pada proses pengukusan (steaming) disajikan dalam Gambar 4.10.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(40)

0,68 0,69 0,7 0,71 0,72 0,73 0,74 0,75 0,76

0 1 2 3 4

Waktu (jam) S p e ris it a s

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.10. Sperisitas biji kopi selama proses pengukusan.

Pada gambar di atas terlihat bahwa sperisitas biji kopi pasca pengukusan selama 4 jam juga memberikan nilai yang tetap. Pengembangan biji kopi yang mencapai nilai maksimum mengakibatkan biji kopi cenderung memiliki dimensi yang mendekati bulat. Tekanan uap dan air yang masuk ke dalam sel-sel biji kopi menyebabkan sifat elastis dan membentuk permukaan biji menjadi lebih bulat.

Perubahan nilai densitas kamba biji kopi selama proses pengukusan ditampilkan dalam Gambar 4.11. Pengembangan ruang di dalam sel biji akan mengakibatkan air yang terserap semakin besar, dan penambahan air di dalam sel-sel biji berakibat pada penambahan berat per satuan volumenya.

680 700 720 740 760 780

0 1 2 3 4

Waktu (jam) D e ns it a s K am ba ( k g/ m 3 )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.11. Densitas kamba biji kopi selama proses pengukusan.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(41)

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum proses pengukusan, biji kopi

memiliki nilai densitas kamba antara 688-707 kg/m3. Pada Gambar 4.10 terlihat

bahwa densitas biji kopi selama 4 jam pengukusan naik menjadi 760-770 kg/m3.

Setelah 2 jam proses pengukusan, tekanan uap dan air panas mampu meningkatkan densitas partikel dan densitas kamba 4-5%. Pengembangan dinding sel yang telah maksimum terjadi setelah proses pengukusan berlangsung selama 4 jam, yaitu antara 8.5-8.9%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan waktu pengukusan sampai dengan 4 jam lebih lama ternyata tidak memberikan persentase peningkatan yang nyata.

Perubahan densitas partikel pada biji kopi selama pengukusan memiliki trend yang hampir sama dengan densitas kamba. Kurva perubahan densitas kamba dan densitas pertikel yang terbentuk selama proses pengukusan memberikan karakter yang relatif sama (Gambar 4.12).

0,72 0,73 0,74 0,75 0,76 0,77 0,78 0,79 0,8

0 1 2 3 4

Waktu (jam) P a rt ik e l D e n s it y ( g /m l)

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.12. Densitas partikel biji kopi selama proses pengukusan.

Berdasarkan Gambar 4.12 terlihat bahwa densitas partikel biji kopi mencapai nilai maksimum selama 3-4 jam proses pengukusan yaitu sebesar 0.78-0.79 g/ml.

Perubahan pH air yang digunakan sebagai media pengembangan biji kopi untuk proses pengukusan di tampilkan dalam Gambar 4.13.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(42)

0 2 4 6 8 10 12

0 1 2 3 4

Waktu (jam)

pH

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.13. Perubahan pH air selama proses pengukusan.

pH air yang semula netral (nilai 7) mengalami peningkatan menjadi 9 setelah proses pengukusan berlangsung selama 1 jam. pH air mulai stabil pada nilai 9-10 setelah proses pengukusan berlangsung selama 2 jam. Perlakuan panas dan peningkatan volume air di dalam dinding sel diduga mengakibatkan

terjadinya pelarutan ion OH- yang berada pada sel-sel biji kopi dan masuk ke

dalam air.

4.2.2. Proses Pelarutan Kafein

Proses pelarutan kafein dilakukan setelah proses pengukusan biji kopi selesai dilakukan. Pada tahap penelitian ini digunakan pelarut organik etilasetat dengan konsentrasi 10%. Perbandingan antara biji kopi terhadap pelarut selama proses dekafeinasi adalah 1 : 5. Suhu proses pelarutan yang digunakan terdiri dari

3 tahap yaitu suhu 60-70oC, 70-80oC, dan 80-90oC.

Setelah air pengukusan dibuang melalui kran yang menempel pada sisi reaktor kolom, kemudian diisikan pelarut etil asetat 10% sebanyak 30 liter. Parameter yang diamati dalam tahap pelarutan adalah karakteristik fisik berupa pH pelarut, tekstur, dan warna. Sedangkan untuk karakteristik kimia akan diamati kadar kafein, asam klorogenat dan trigonelin. Selain itu akan dilakukan juga uji organoleptik terhadap seduhan kopi hasil dekafeinasi.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(43)

4.2.2.1. Karakteristik Fisik

pH Pelarut

Perubahan pH pelarut pada saat pelarutan kafein untuk masing-masing perlakuan suhu yang berbeda ditampilkan dalam Gambar 4.14-4.16.

Suhu 60-700 C

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 2 4 6 8

Waktu (jam)

pH

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.14. Perubahan pH pelarut pada suhu pelarutan 60-70oC.

Pada 2 jam pertama proses pelarutan kafein pada suhu 60-70oC pH pelarut

turun dari 6.8 menjadi 6-6.7. Penurunan pH pelarut tidak terjadi lagi pada jam ke 4 sampai 8 yaitu sebesar 5.7-6.6. Penurunan pH pelarut terendah terjadi pada

proses pelarutan kafein ukuran biji A3 yaitu sebesar 5.4 pada jam ke 8.

Perubahan pH pelarut pada proses pelarutan kafein suhu 70-80oC pada 2

jam pertama proses pelarutan kafein adalah sebesar 5.6-5.8 dari nilai pH awal yaitu 6.8. Pada jam ke 4 sampai 8 pH pelarut relatif konstan yaitu berkisar antara 5-5.7 (Gambar 4.15). Penurunan pH pelarut terendah terjadi pada proses

pelarutan kafein ukuran biji A4 yaitu sebesar 5 pada jam ke 8.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(44)

Suhu 70-800 C 0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 2 4 6 8

Waktu (jam)

pH

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.15. Perubahan pH pelarut pada suhu pelarutan 70-80oC.

Suhu 80-900 C

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 2 4 6 8

Waktu (jam)

pH

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.16. Perubahan pH pelarut pada suhu pelarutan 80-90oC.

Berdasarkan gambar 4.16 terlihat bahwa perubahan pH pelarut pada proses

pelarutan suhu 80-90oC memiliki trend yang sama dengan perlakuan 2 tingkatan

suhu sebelumnya. Pada 2 jam pertama proses pelarutan kafein pH pelarut turun menjadi 5.2-5.9. Sedangkan pada jam ke 8 pH pelarut turun menjadi 4.6-5.5.

Penurunan pH pelarut terkecil terjadi pada ukuran biji terkecil yaitu A4.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa semakin kecil ukuran biji kopi dan semakin tinggi suhu serta lama waktu yang digunakan pada proses pelarutan kafein, maka penurunan pH pelarut yang terjadi akan semakin besar.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(45)

Perubahan pH pelarut disebabkan karena ion H yang terdapat di dalam biji kopi ikut terbawa dan terlarut dalam pelarut etil asetat pada saat dilakukan proses pelarutan secara sirkulasi dan terus menerus sehingga pH pelarut mengalami penurunan sampai akhir proses pelarutan.

Berdasarkan uji statistik perubahan pH pelarut berbeda nyata dalam interaksi antara ukuran biji, lama proses pelarutan dan suhu pelarut yang digunakan. Uji lanjutan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test diketahui

bahwa penurunan pH pelarut ukuran biji A1 dengan lama proses 4, 6 dan 8 jam

pada suhu 60-70oC tidak berbeda nyata (Lampiran 1).

Tekstur

Perubahan tekstur biji kopi untuk tiap ukuran yang berbeda dalam proses pelarutan kafein pada beberapa tingkatan suhu ditampilkan dalam Gambar 4.17 – 4.19.

Suhu 60-700 C

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

0 2 4 6 8

Waktu, jam T e k s tu r (g r/ m m )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.17. Perubahan tekstur biji kopi pada suhu pelarutan 60-70oC.

Berdasarkan Gambar 4.17 terlihat bahwa tekstur biji kopi terus mengalami perubahan selama proses pelarutan kafein 2 sampai 8 jam. Pada 2 jam pertama tekstur biji kopi yang semula berkisar antara 320-385 gr/mm mengalami penurunan menjadi 250-270 gr/mm. Penurunan terus terjadi sampai akhir proses pelarutan yaitu sebesar 230-250 gr/mm.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(46)

Suhu 70-800 C 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

0 2 4 6 8

Waktu, jam T e k s tu r (g r/ m m )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.18. Perubahan tekstur biji kopi pada suhu pelarutan 70-80oC.

Suhu 80-900 C

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

0 2 4 6 8

Waktu, jam T e k s tu r (g r/ m m )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.19. Perubahan tekstur biji kopi pada suhu pelarutan 80-90oC.

Hal yang sama juga terjadi pada proses pelarutan kafein pada 2 tingkatan

suhu lainnya. Pada suhu 70-80oC nilai tekstur pada akhir proses pelarutan adalah

221-238 gr/mm. Sedangkan pada suhu 80-90oC nilai tekstur pada akhir proses

pelarutan yaitu jam ke 8 adalah sebesar 180-210 gr/mm. Proses dekafeinasi kopi selama 2-8 jam menyebabkan tekstur biji kopi bertambah lunak yang dilihat dari menurunnya nilai tekstur biji kopi. Hal ini disebabkan karena pori-pori permukaan dan jaringan biji yang membesar karena pengaruh panas sehingga tekstur biji menjadi lunak.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(47)

Berdasarkan uji statistik, perubahan tekstur biji yang dihasilkan berbeda nyata dalam interaksi antara ukuran biji dan suhu pelarut yang digunakan, dan lama proses pelarutan dengan suhu pelarut yang digunakan. Uji lanjutan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test diketahui bahwa interaksi antara ukuran biji dan suhu pelarut yang digunakan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada penurunan tekstur biji kopi untuk tiap perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan karena asumsi tidak terpenuhi seperti kehomogenan galatnya tidak terpenuhi. Pada interaksi antara lama proses pelarutan dengan suhu pelarut yang digunakan, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara lama pelarutan 2 dan 4 jam pada suhu 80-90 C (Lampiran 1).

Warna

Warna biji kopi diukur dengan menggunakan alat Color Reader. Perubahan warna biji kopi untuk tiap ukuran yang berbeda dalam proses pelarutan kafein pada beberapa tingkatan suhu ditampilkam dalam Gambar 4.20 – 4.23.

Suhu 60-700 C

0 20 40 60 80 100 120

0 2 4 6 8

Waktu, jam

Wa

rn

a

(L

)

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.20. Perubahan warna biji kopi pada suhu pelarutan 60-70oC.

Pada gambar 4.20 terlihat bahwa warna biji kopi (L) yang semula berkisar antara 105-106 mengalami penurunan menjadi 57-62 pada akhir proses pelarutan.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(48)

Suhu 70-800 C 0 20 40 60 80 100 120

0 2 4 6 8

Waktu, jam

W

ar

na (

L)

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.21. Perubahan warna biji kopi pada suhu pelarutan 70-80oC.

Hal yang sama juga terjadi pada tingkatan suhu pelarutan berikutnya. Penurunan

nilai L pada suhu 70-80oC adalah sebesar 54-62 pada pada jam ke 8.

Suhu 80-900 C

0 20 40 60 80 100 120

0 2 4 6 8

Waktu, jam Wa rn a (L )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.22. Perubahan warna biji kopi pada suhu pelarutan 80-90oC.

Berdasarkan gambar 4.22 terlihat bahwa warna biji kopi berdasarkan nilai L nya juga menurun dari yang semula berkisar antara 105-106 menjadi 54-56 pada akhir proses. Gambar 4.23 menampilkan perubahan warna biji kopi setelah proses dekafeinasi.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(49)

Gambar 4.23. Perubahan warna biji kopi setelah proses dekafeinasi.

Pada Gambar 4.23 terlihat bahwa setelah proses dekafeinasi warna biji kopi berubah menjadi lebih gelap karena nilai L nya turun.

Berdasarkan uji statistik, terdapat 3 (tiga) interaksi yang berbeda nyata pada perubahan warna biji kopi (nilai L), yaitu interaksi antara ukuran biji dan lama pelarutan, ukuran biji dan suhu pelarut yang digunakan, dan lama pelarutan dan suhu pelarut yang digunakan. Uji lanjutan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test diketahui bahwa interaksi antara ukuran biji dan lama pelarutan tidak

berbeda nyata pada ukuran biji A3 lama pelarutan 2 dan 4 jam. Pada interaksi

antara ukuran biji dan suhu pelarut yang digunakan, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada perubahan warna biji kopi untuk tiap perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan karena asumsi tidak terpenuhi seperti kehomogenan galatnya tidak terpenuhi. Sedangkan pada interaksi antara lama pelarutan dan suhu pelarut yang digunakan, diketahui lama pelarutan 2-8 jam tidak berbeda nyata pada suhu

70-80oC. Selain itu lama pelarutan 2-4 jam suhu 60-70oC tidak berbeda nyata dengan

lama pelarutan yang sama pada suhu 80-90oC (Lampiran 1).

Nilai L (lightness) merupakan jumlah sinar yang dipantulkan ulang oleh

suatu benda berwarna gelap saat diberi penyinaran dengan sumber cahaya pada gelombang tertentu. Sehingga semakin gelap warna biji, maka semakin sedikit cahaya yang dipantulkan (Barbara, 2000). Perubahan warna disebabkan adanya reaksi Maillard yang melibatkan senyawa bergugus karbonil (gula reduksi) dan bergugus amino (asam amino). Reaksi Maillard merupakan reaksi browning non


(50)

enzimatik yang menghasilkan senyawa kompleks dengan berat molekul tinggi (Winarno, 1997).

4.2.2.2. Karakteristik Kimia

Kafein

Biji kopi hasil proses dekafeinasi dijemur sampai kadar airnya mencapai 12-13% menggunakan panas sinar matahari selama 3-4 hari tergantung cuaca (Gambar 4.24). Setelah itu dilakukan pembubukan untuk analisis kadar kafein.

Gambar 4.24. Proses penjemuran biji kopi hasil proses dekafeinasi. Perubahan kadar kafein pada tiap ukuran biji untuk suhu pelarutan

60-70oC disajikan dalam Gambar 4.25.

Suhu 60-700 C

0 0,5 1 1,5 2 2,5

0 2 4 6 8

Waktu, jam

Ka

fe

in

(

%

)

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.25. Perubahan kadar kafein pada suhu pelarutan 60-70oC.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(51)

Pada proses pelarutan kafein dengan perlakuan suhu antara 60-70oC

diperoleh kadar kafein untuk ukuran biji kopi A1, A2, A3 dan A4 masing-masing

adalah 0.89%, 0.85% 0.82%, dan 0.80% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam

Perubahan kadar kafein terbesar terjadi pada biji kopi ukuran A4. Kadar

kafein pada biji ukuran kecil (< 5.5 mm) akan lebih cepat larut dari semula 2.28% turun menjadi 0.80% dalam waktu 8 jam. Laju perubahan kadar kafein di dalam

biji kopi selama proses dekafeinasi pada suhu pelarutan 70-80oC, dan 80-90oC

ditampilkan pada Gambar 4.26 dan 4.27.

Pada proses pelarutan kafein dengan perlakuan suhu antara 70-80oC

diperoleh kadar kafein untuk ukuran biji A1, A2, A3 dan A4 masing-masing adalah

0.84%, 0.80% 0.78%, dan 0.68% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam. Pada gambar di atas terlihat bahwa perubahan kadar kafein terbesar terjadi

pada ukuran biji terkecil yaitu A4 sebesar 0.68%.

Suhu 70-80oC

0 0,5 1 1,5 2 2,5

0 2 4 6 8

Waktu , jam

K

a

fe

in

(

%

)

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.26. Perubahan kadar kafein pada suhu pelarutan 70-80oC.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(52)

Suhu 80-90oC

0 0,5 1 1,5 2 2,5

0 2 4 6 8

Waktu , jam

K

a

fe

in

(

%

)

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.27. Perubahan kadar kafein pada suhu pelarutan 80-90oC.

Pada proses pelarutan kafein dengan perlakuan suhu antara 80-90oC

diperoleh kadar kafein untuk ukuran biji kopi A1, A2, A3 dan A4 masing-masing

adalah 0.60%, 0.52%, 0.40%, dan 0.32% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam. Perubahan kadar kafein terbesar terjadi pada ukuran biji terkecil

yaitu A4 sebesar 0.32%. Kadar kafein terendah dicapai pada ukuran biji terkecil

yaitu A4 dengan waktu pelarutan selama 8 jam dan suhu pelarut 80-90oC. Hasil

ini sudah mendekati standar internasional kadar kafein kopi minim kafein yaitu 0.1-0.3% (Charley dan Weaver, 1998).

Kadar kafein biji kopi ukuran A4 pada akhir proses pelarutan

menggunakan suhu 60-700C, 70-800C dan 80-900C masing-masing adalah 0.8%,

0.68% dan 0.32%. Semakin tinggi suhu pelarutan yang digunakan maka kadar kafein yang dihasilkan pada akhir proses semakin rendah pula.

Berdasarkan uji statistik, perubahan kadar kafein yang dihasilkan berbeda nyata dalam interaksi antara ukuran biji, lama proses pelarutan dan suhu pelarut yang digunakan. Uji lanjutan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test

diketahui bahwa perubahan kadar kafein antara ukuran biji A1 dengan waktu

proses 4 jam dan ukuran biji A2 dengan waktu proses yang sama pada suhu

70-80oC tidak berbeda nyata (Lampiran 1).

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(53)

Posisi kafein di dalam biji kopi terdapat di bagian dinding sel dan sitoplasma. Kafein yang terdapat di dalam sitoplasma berada dalam kondisi bebas, sedangkan selebihnya terdapat di dalam dinding sel dalam kondisi terikat sebagai senyawa alkoloida dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik (Sivets dan Desroiser, 1979). Ikatan komplek menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi. Pengaruh energi panas dapat menyebabkan ikatan tersebut terputus sehingga kafein mudah larut dalam pelarut etilasetat.

Perubahan fisik biji kopi selama pengukusan (pengembangan volume) merupakan langkah awal proses pelunakan jaringan di dalam biji kopi dan menjauhnya jarak antar sel. Hal tersebut mempermudah molekul etil asetat sebagai pelarut berdifusi ke dalam biji kopi dan mempercepat pelarutan senyawa kafein. Semakin kecil ukuran biji kopi, maka jarak antara permukaan biji dengan inti biji akan semakin pendek sehingga molekul pelarut akan lebih cepat berdifusi dan mencapai dinding sel dan sitoplasma, sehingga semakin banyak jumlah kafein yang terlarut.

Proses pelarutan senyawa kafein dari biji kopi diawali oleh pemecahan ikatan senyawa komplek akibat perlakuan panas. Pada kondisi demikian, kafein menjadi lebih mudah bergerak, mudah berdifusi melalui dinding sel dan selanjutnya larut dalam pelarut etil asetat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran biji kopi dan semakin lama proses pelarutan serta semakin tinggi suhu pelarutan, maka laju penurunan kafein dari dalam biji kopi akan semakin tinggi. Hal tersebut sesuai dengan yang pernah dilaporkan oleh Jaganyi and Price (1999) bahwa hasil pelarutan dipengaruhi oleh lama proses, konsentrasi pelarut dan ukuran bahan.

Asam Klorogenat dan Trigonellin

Kadar asam klorogenat dan trigonellin merupakan senyawa organik yang memberikan rasa dan aroma minuman kopi. Kadar asam klorogenat dan trigonellin menurun seiring dengan turunnya kadar kafein. Asam klorogenat


(54)

Perubahan kadar asam klorogenat untuk tiap ukuran biji pada suhu proses dekafeinasi yang berbeda disajikan pada Gambar 4.28-4.30.

Suhu 60-700 C

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 2 4 6 8

Waktu (jam) A s am k lor o gen at ( % )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.28. Perubahan kadar asam klorogenat pada suhu pelarutan 60-70oC.

Pada proses dekafeinasi dengan perlakuan suhu antara 60-70oC diperoleh

kadar kadar asam klorogenat untuk ukuran biji A1, A2, A3 dan A4 masing-masing

adalah 2.41%, 2.17%, 1.93%, dan 1.54% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam. Pada gambar di atas terlihat bahwa perubahan kadar asam

klorogenat terbesar terjadi pada ukuran biji terkecil yaitu A4 sebesar 1.54%.

Suhu 70-80oC

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 2 4 6 8

Waktu (jam) A s am k lor ogenat ( % )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.29. Perubahan kadar asam klorogenat pada suhu pelarutan 70-80oC.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(55)

Pada proses dekafeinasi dengan perlakuan suhu antara 70-80oC diperoleh

kadar kadar asam klorogenat untuk ukuran biji A1, A2, A3 dan A4 masing-masing

adalah 2.17%, 2.17%, 1.80%, dan 1.30% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam. Pada gambar di atas terlihat bahwa perubahan kadar asam

klorogenat terbesar terjadi pada ukuran biji terkecil yaitu A4 sebesar 1.30%.

Suhu 80-90oC

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 2 4 6 8

Waktu (jam) A s am k lo rogen at ( % )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.30. Perubahan kadar asam klorogenat pada suhu pelarutan 80-90oC.

Pada proses dekafeinasi dengan perlakuan suhu antara 80-90oC diperoleh

kadar kadar asam klorogenat untuk ukuran biji A1, A2, A3 dan A4 masing-masing

adalah 1.54%, 1.30%, 0.93%, dan 0.67% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam. Pada gambar di atas terlihat bahwa perubahan kadar asam

klorogenat terbesar terjadi pada ukuran biji terkecil yaitu A4 sebesar 0.67%.

Berdasarkan uji statistik, perubahan asam klorogenat yang dihasilkan berbeda nyata dalam interaksi antara ukuran biji dan lama proses pelarutan, dan antara suhu pelarut yang digunakan dan lama proses pelarutan. Uji lanjutan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test diketahui bahwa interaksi antara ukuran biji dan lama proses pelarutan pada perubahan kadar asam klorogenat

antara ukuran biji A1-A4 dengan lama proses 4 jam, dan lama proses 6 jam

masing-masing tidak berbeda nyata. Perbedaan yang nyata terdapat pada lama proses 2 jam dan 8 jam. Sedangkan interaksi antara suhu pelarut dan lama

pelarutan diketahui bahwa lama pelarutan 2 jam pada suhu 60-70oC dan 70-80oC

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(56)

tidak berbeda nyata. Hal yang sam juga terjadi pada lama pelarutan 8 jam pada

suhu 60-70oC dan 70-80oC tidak berbeda nyata (Lampiran 1).

Perubahan kadar trigonellin untuk tiap ukuran biji pada suhu proses dekafeinasi yang berbeda.disajikan dalam Gambar 4.31-4.33.

Suhu 60-700 C

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8

0 2 4 6 8

Waktu (jam)

T

ri

g

onel

lin

(

%

)

A1 A2 A3 A4

Pada proses dekafeinasi dengan perlakuan suhu antara 60-70oC diperoleh

kadar trigonellin untuk ukuran biji A1, A2, A3 dan A4 masing-masing adalah 0.7%,

0.5%, 0.4%, dan 0.3% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam. Pada gambar di atas terlihat bahwa perubahan kadar trigonellin terbesar terjadi pada

ukuran biji terkecil yaitu A4 sebesar 0.3%.

Pada proses dekafeinasi dengan perlakuan suhu antara 70-80oC diperoleh

kadar trigonelin untuk ukuran biji A1, A2, A3 dan A4 masing-masing adalah 0.6%,

0.43%, 0.38%, dan 0.27% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam. Pada gambar di atas terlihat bahwa perubahan kadar trigonellin terbesar terjadi

pada ukuran biji terkecil yaitu A4 sebesar 0.27% seperti disajikan dalam Gambar

4.32.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(57)

Suhu 70-80oC 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

0 2 4 6 8

Waktu (jam) T ri gonel lin ( % )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.32. Perubahan kadar trigonellin pada suhu pelarutan 70-80oC.

Suhu 80-90oC

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

0 2 4 6 8

Waktu (jam) T ri gone lli n ( % )

A1 A2 A3 A4

Gambar 4.33. Perubahan kadar trigonellin pada suhu pelarutan 80-90oC.

Pada proses dekafeinasi dengan perlakuan suhu antara 80-90oC diperoleh

kadar trigonellin untuk ukuran biji A1, A2, A3 dan A4 masing-masing adalah 0.5%,

0.35%, 0.30%, dan 0.20% setelah proses ektraksi berlangsung selama 8 jam. Pada gambar di atas terlihat bahwa perubahan kadar trigonellin terbesar terjadi

pada ukuran biji terkecil yaitu A4 sebesar 0.20%. Senyawa trigonellin merupakan

pembentuk aroma dan flavor pada seduhan kopi. Untuk mendapatkan flavor yang

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(58)

optimum, kadar trigonellin yang terkandung di dalam biji kopi harus lebih besar dari 1% (Viani dan Horman, 1974).

Berdasarkan uji statistik perubahan kadar trigonellin yang dihasilkan berbeda nyata dalam interaksi antara ukuran biji, lama proses pelarutan dan suhu pelarut yang digunakan. Uji lanjutan menggunakan Duncan’s Multiple Range

Test diketahui bahwa perubahan kadar trigonellin antara ukuran biji A1 dengan

lama proses 2 jam pada suhu 80-90oC dan ukuran biji A2 dengan lama proses yang

sama pada suhu 70-80oC tidak berbeda nyata (Lampiran 1).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perubahan kadar kafein, asam klorogenat dan trigonellin yang terbesar terdapat pada ukuran biji terkecil

(A4) dan suhu pelarutan tertinggi (80-90oC). Gambar 4.34 menyajikan perubahan

kadar kafein, asam klorogenat dan trigonellin biji kopi ukuran < 5.5 mm untuk tiga perlakuan suhu pelarutan yang berbeda dalam proses pelarutan selama 8 jam.

Ukuran biji < 5.5mm Pelarutan 8 jam

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 65 75 85

Suhu (0C)

Ka d a r Ka fe in , As a m K ol or og ena t, T ri go nel lin ( % )

Kafein As Klorogenat Trigonellin

Gambar 4.34. Perubahan kadar kafein, asam klorogenat dan trigonellin pada tiap suhu pelarutan yang berbeda.

Laju penurunan kafein, asam klorogenat dan trigonellin untuk ukuran biji


(59)

Kafein Ukuran biji < 5.5 mm

Suhu 80-90oC

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu (Jam) Laj u P enur u n an K a fei n (% b k k a fe in /j a m )

Gambar 4.35. Laju penurunan kafein biji < 5.5 mm pada suhu pelarutan 80-90oC.

Berdasarkan gambar 4.35 dilihat bahwa laju penurunan kadar kafein

ukuran biji A4 dalam 2, 4, 6 dan 8 jam proses pelarutan masing-masing adalah

60.5%, 73.9%, 79.4% dan 86%. Penurunan kadar kafein mengalami kenaikan secara signifikan dalam 2 jam proses pelarutan sebesar 60.5%.

Asam Klorogenat Ukuran Biji < 5.5 mm

Suhu 80-90oC

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 1 2 3 4 5 6 7 8

(Waktu (jam) L aj u P e nur u nan A s K lor og ena t (% bk as k lo roge nat /j am )

Gambar 4.36. Laju penurunan asam klorogenat biji < 5.5 mm


(60)

Pada laju Gambar 4.36 terlihat bahwa penurunan kadar asam klorogenat dalam 2, 4, 6 dan 8 jam proses pelarutan masing-masing adalah 39.5%, 55.3%, 57.9% dan 91.2%. Laju penurunan kadar asam klorogenat naik secara siginifikan pada 0-2 jam dan pada 6-8 jam proses pelarutan.

Sedangkan laju penurunan kadar trigonellin dalam 2, 4, 6 dan 8 jam proses pelarutan masing-masing adalah 48.2%, 70.6%, 85.3% dan 88.2% seperti disajikan dalam Gambar 4.37.

T rigonellin Ukuran Biji < 5.5 mm

Suhu 80-90oC

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Waktu (jam) Laj u P enur u nan T ri go nel lin (% bk t ri gon el lin/ ja m )

Gambar 4.37. Laju penurunan trigonellin biji < 5.5 mm pada suhu

pelarutan 80-90oC.

Berdasarkan Gambar 4.37 terlihat bahwa pada 2 jam proses pelarutan laju penurunan trigonellin terus mengalami peningkatan sampai akhir proses pelarutan.

4.2.2.3. Uji Organoleptik

Kopi biji hasil proses dekafeinasi yang telah dijemur sampai kadar airnya

mencapai 12-13%, kemudian di sangrai pada suhu 185-1900C selama 7 menit.

Setelah itu digiling (grinding) untuk menghasilkan bubuk kopi, kemudian diseduh dan dilakukan uji organoleptik (citarasa).


(61)

Kopi bubuk diseduh dan diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber

nutrisi, melainkan sebagai penyegar (beverage). Kopi akan memiliki nilai

ekonomis yang tinggi jika dapat memberikan rasa senang dan kepuasan kepada konsumen terhadap citarasa yang dihasilkan. Nilai citarasa kopi yang terdiri dari aroma, flavor, body dan bitterness merupakan satu kesatuan yang menentukan kualitas produk kopi. Gambar 4.38 – 4.40 menampilkan nilai citarasa seduhan kopi hasil proses dekafeinasi dari perlakuan ukuran biji, lama pelarutan dan suhu pelarut.

Suhu 60-700 C

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8

A1 A2 A3 A4

Ukuran Biji (mm), waktu (jam)

N

i l a

i

Aroma Bitternes Flavour Body

Gambar 4.38. Citarasa kopi dekafeinasi dengan perlakuan suhu 60-70oC.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(62)

Suhu 70-800 C 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8

A1 A2 A3 A4

Ukuran biji (mm), waktu (jam)

N

i

l a

i

Aroma Bitternes Flavour Body

Gambar 4.39. Citarasa kopi dekafeinasi dengan perlakuan suhu 70-80oC.

Suhu 80-900 C

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8

A1 A2 A3 A4

Ukuran biji (mm), waktu (jam)

N

i l a i

Aroma Bitternes Flavour Body

Gambar 4.40. Citarasa kopi dekafeinasi dengan perlakuan suhu 80-90oC.

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm A4 : d < 5.5mm


(63)

Aroma

Aroma diperoleh dari proses penguapan senyawa volatil dari seduhan kopi yang tertangkap oleh sensor aroma pada indera penciuman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aroma yang dihasilkan dari produk kopi dekafeinasi akan semakin menurun (rendah) dengan semakin kecil ukuran biji kopi, semakin lamanya proses pelarutan, dan semakin tingginya suhu ekstraski. Pada perlakuan

suhu pelarutan 60-70oC diperoleh nilai aroma untuk biji kopi dengan ukuran A1,

A2, A3, dan A4 setelah proses pelarutan berlangsung 8 jam masing-masing sebesar

2.7, 2.7, 2.5 dan 2.1.

Keasaman yang tinggi pada biji kopi akan berpengaruh juga pada kualitas aroma yang lebih baik karena adanya senyawa asam yang bersifat volatil, seperti asam format, asam asetat, asam propanoat, dan asam hexanoat. Senyawa volatil yang berpengaruh pada aroma kopi sangrai dibentuk dari reaksi Maillard atau reaksi browning non enzimatik, degradasi asam amino bebas, degradasi trigonellin, degradasi gula, dan degradasi asam phenolik.

Untuk perlakuan pelarutan 70-80oC diperoleh nilai aroma untuk biji kopi

dengan ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah proses pelarutan berlangsung 8 jam

masing-masing sebesar 2.6, 2.6, 2.55 dan 2.1. Sedangkan perlakuan pelarutan

80-90oC diperoleh nilai aroma untuk biji kopi dengan ukuran A1, A2, A3, dan A4

setelah proses pelarutan berlangsung 8 jam masing-masing sebesar 2.5, 2.5, 2.6 dan 2.1.

Flavor

Flavor merupakan kombinasi antara aroma yang ditangkap oleh indera penciuman manusia dan rasa seduhan yang ditangkap oleh indera perasa. Rasa seduhan berhubungan dengan senyawa non volatil yang terlarut, sedangkan aroma berhubungan dengan senyawa volatil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa flavor yang dihasilkan dari produk kopi dekafeinasi akan semakin menurun (rendah) dengan semakin kecil ukuran biji kopi, semakin lamanya proses pelarutan, dan

semakin tingginya suhu ekstraski. Pada perlakuan suhu pelarutan 60-70oC


(64)

Untuk perlakuan pelarutan 70-80oC diperoleh nilai flavor untuk biji kopi dengan

ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah proses pelarutan berlangsung 8 jam

masing-masing sebesar 2.6. 2.4, 2.2 dan 2. Sedangkan perlakuan pelarutan 80-90oC

diperoleh nilai flavor untuk biji kopi dengan ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah

proses pelarutan berlangsung 8 jam masing-masing sebesar 2.5, 2.3, 2.2 dan 2. Bitterness

Kafein berpengaruh pada rasa seduhan kopi terutama bitterness. Kepahitan

dari seduhan kopi nampak lebih nyata pada kandungan pholifenol dengan meningkatnya suhu. Kepahitan merupakan rasa primer yang sangat spesifik yang diterima oleh indera perasa (lidah). Nilai sensoris kepahitan cenderung menurun dengan semakin lama proses pelarutan karena dipengaruhi oleh kadar kafein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bitterness yang dihasilkan dari produk kopi terdekafeinasi akan semakin menurun dengan semakin kecil ukuran biji kopi, semakin lamanya proses pelarutan, dan semakin tingginya suhu pelarutan. Pada

perlakuan suhu pelarutan 60-70oC diperoleh nilai bitterness untuk biji kopi dengan

ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah proses pelarutan berlangsung 8 jam

masing-masing sebesar 2.3, 2.3, 2 dan 1.8. Untuk perlakuan pelarutan 70-80oC diperoleh

nilai bitterness untuk biji kopi dengan ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah proses

pelarutan berlangsung 8 jam masing-masing sebesar 2.3, 2.25, 2.15 dan 1.8

Sedangkan perlakuan pelarutan 80-90oC diperoleh nilai bitterness untuk biji kopi

dengan ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah proses pelarutan berlangsung 8 jam

masing-masing sebesar 2.2, 2.2, 2.3 dan 1.8. Bodi

Bodi merupakan kekentalan dari seduhan kopi sebagai karakter internal yang dapat dinilai dengan cara menggosokkan lidah ke langit-langit mulut, sehingga ada kesan kental dari seduhan. Kafein memberikan kontribusi pada bodi seduhan kopi. Hal ini dapat diselaraskan dengan kadar kafein kopi bubuk yang semakin turun akan berpengaruh pada nilai bodi yang semakin rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bodi yang dihasilkan dari produk kopi terdekafeinasi akan semakin menurun dengan semakin kecil ukuran biji kopi, semakin lamanya proses pelarutan, dan semakin tingginya suhu pelarutan. Pada


(65)

perlakuan suhu pelarutan 60-70oC diperoleh nilai bodi untuk biji kopi dengan

ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah proses pelarutan berlangsung 8 jam

masing-masing sebesar 2.5, 2.5, 2.4 dan 2.2. Untuk perlakuan pelarutan 70-80oC diperoleh

nilai bodi untuk biji kopi dengan ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah proses

pelarutan berlangsung 8 jam masing-masing sebesar 2.5, 2.4, 2.35 dan 2.2.

Sedangkan perlakuan pelarutan 80-90oC diperoleh nilai bodi untuk biji kopi

dengan ukuran A1, A2, A3, dan A4 setelah proses pelarutan berlangsung 8 jam

masing-masing sebesar 2.4, 2.4, 2.3 dan 2.2.

Secara keseluruhan kopi rendah kafein mempunyai nilai organoleptik yang rendah pula yang berkisar antara 2-2.5 pada skala 0-4 baik untuk aroma, flavor, bitterness, dan body.

Berdasarkan uji statistik, nilai organoleptik yang dihasilkan berbeda nyata dalam interaksi antara ukuran biji dan lama proses pelarutan, dan suhu. Uji lanjutan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test diketahui bahwa interaksi antara ukuran biji dan lama proses pelarutan pada penurunan nilai organoleptik

antara ukuran biji A1-A4 dengan lama proses 2 jam tidak berbeda nyata.

Demikian juga antara ukuran biji A1 dan A4 lama proses 6 jam tidak berbeda

nyata dengan ukuran biji A3 dan A4 pada lama proses 4 jam. Perbedaan yang

nyata terdapat pada ukuran biji A4 dengan lama proses 6 jam dan 8 jam. Untuk

perlakuan suhu pelarut antara suhu 60-70oC dan 70-80oC dengan suhu pelarut

80-90oC berbeda nyata, sedangkan antara suhu 60-70oC dengan 70-80oC tidak

berbeda nyata. (Lampiran 1).

A1 : d > 7.5mm A2 : 6.5mm >d > 7.5 mm A3 : 5.5mm > d > 6.5mm


(1)

(2)

LAMPIRAN 3. ANALISIS KADAR ASAM

KLOROGENAT DAN TRIGONELLIN


(3)

LAMPIRAN 4. ANALISIS SENSORIS

(ORGANOLEPTIK)


(4)

(5)

Pompa HPLC Shimadzu model Lc-9A dengan detector shimadzu model spd-GA (UV spectrophptpometer detector). Sistem injeksi menggunakan Loop (water 717 plus autosampler). Sampel 20 µl diset pada tingkat sensitivitas 0.01 AUFS menggunakan panjang gelombang serapan maksimum. Serapan maksimum trigonellin 263.3 nm (Ky dkk, 2001) dan asam klorogenat 325 nm (Ky dkk, 1997). Kolom 5 µ-Bondapak C18 (wters 3,9 mm x 15 cm). Intregator/pengolah data shimadzu (chromatopac model CR-4A) dengan kecepatan kertas 2,5 mm/menit. Fase mobil yang digunakan asetonitril dan air (20 : 80) dengan kecepatan alir 1 ml/menit serta tekanan 150 psi.

Standart Asam Klorogenat

50 mg dilarutkan dalam 100 ml aquabidest, diambil 1 ml dan ditambahkan air sampai volume 100 ml, sehingga diperoleh konsentrasi 0,005 µg/µl (sebagai standart 1). Larutan standart 1 diambil 5 ml, dilarutkan sampai 100 ml sehingga diperoleh konsentrasi 2,5 x 10-4 µg/µl.

Larutan standart tersebut diinjeksikan sebanyak 20 µl.

Standart asam klorogenat dan sampel dideteksi pada panjang gelombang 325 nm.

Standart Trigonellin

0,1 mg dilarutkan dalam 100 ml aquabidest, diambil 1 ml dijadikan 100 ml, diambil 1 ml dilarutkan dalam air sampai 10 ml, diambil 1 ml dilarutkan dalam air sampai 10 ml sehingga diperoleh konsentrasi 0,0001 µg/µl (sebagai standart 1). Larutan standart 1 diencerkan 10 x sebagai standart ke 2 (0,00001 µg/µl). Larutan standart trigonellin diinjeksikansebanyak 20 µl.


(6)

Analisis Sensoris (Oskari, 2001)

Analisis sensoris dilakukan terhadap 4 orang panelis (panelis ahli). Masing-masing panelis disediakan 12 jenis seduhan kopi yang diberi kode berbeda. Preparasi sampel :

Sebanyak 100 g bubuk kopi dimasukkan dalam mangkok porselin volume 150 ml. Diseduh dengan air mendidih (1000C) sampai penuh. Setelah 5 menit ketika bagian-bagian kopi mengambang sudah membasahi semuanya dan tenggelam, seduhan kopi diaduk pelan-pelan.

Pengujian :

Untuk sensoris aroma, seduhan kopi diambil dengan sendok khusus uji sensoris danbhirup baunya kuat-kuat. Pada sensoris flavor, bitterness, dan bodi seduhan kopi dalam sendok tersebut diseruput kuat-kuat sehingga terdengar bunyi seperti sedang berkumur.

Panelis diharapkan untuk berkumur dengan air putih hangat sebelum menilai sampel berikutnya.