Resistensi cronobacter Sakazakii terhadap Ampisilin Dan Hubungannya Dengan Stabilitas Dan Ekspresi GFPuv
RESISTENSI Cronobacter sakazakiiTERHADAPAMPISILIN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN STABILITAS DAN EKSPRESI GFPuv
YUSNITA WAHYUNI SILITONGA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Resistensi Cronobacter
sakazakiiterhadap Ampisilindan Hubungannya dengan Stabilitas dan
Ekspresi GFPuv adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Yusnita Wahyuni Silitonga
NIM F251130121
RINGKASAN
YUSNITA WAHYUNI SILITONGA.ResistensiCronobacter sakazakiiterhadap
Ampisilin dan Hubungannya dengan Stabilitas dan Ekspresi GFPuv. Dibimbing
oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI dan SITI NURJANAH.
Cronobacter sakazakii merupakan bakteri Gram negatif yang tergolong
sebagaiemerging patogen pada pangan. Bakteri ini juga termasuk bakteri patogen
oportunistik yang dapat menyebabkan septisimia, radang usus, radang otak
bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi. Penelusuran perilaku C.
sakazakiidalam bahan pangan sulit dilakukan jika menggunakan galur liar (wild
type) sehingga dilakukan pelabelan dengan menggunakan plasmid GFPuv.
Plasmid GFPuv dilengkapi dengan gen penyandi resisten ampisilin yang bertujuan
untuk mempermudah seleksi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
keberadaan gen tersebut menyebabkab C. sakazakii tidak dapat dilabeli dengan
pGFPuv, akan tetapi belum diketahui penyebabnya.Tujuan penelitian ini adalah
untuk
mengetahui
kemampuan
pelabelan
beberapa
isolatC.
sakazakiiolehpGFPuvdan untuk mengetahui hubungan antara resistensi C.
sakazakii terhadap ampisilin dengan keberhasilan konstruksi mutan berdasarkan
ekspresi GFPuv dan tingkat kestabilannya
Resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin dapat diketahui dengan
menumbuhkan bakteri tersebut pada media yang mengandung ampisilin.
Pelabelan Cronobacter sakazakiidengan pGFPuv dilakukan dengan metode
transformasi CaCl2. Keberhasilan pelabelan dikonfirmasi dengan melihat koloni
bakteri di bawah sinar UV dan mikroskop fluoresen, isolat yang berhasil dilabeli
oleh pGFPuv menghasilkan koloni berwarna hijau berfluoresen.Hasil pengujian
menunjukkan bahwa dari 12 isolat yang diuji terdapat 8 isolat (66.6 %) yang
sensitif terhadap ampisilin (FWHc3, FWHb6, FWHb15, YRw3, E2, E4, E6, dan
E9), 2 isolat (16.6 %) bersifat intermediat resisten (Desb10, E7) dan 2 isolat
(16.6 %) yang resisten terhadap ampisilin yaitu E1 dan FWHd1. Isolat yang
sensitif terhadap ampisilin dapat dilabeli oleh pGFPuv bahkan memiliki tingkat
kestabilan plasmid yang paling tinggi (E2). Isolat yang resisten terhadap ampisilin
tetap terlabel oleh pGFPuv, akan tetapi tidak stabil di dalam sel bahkan tidak
diekspresikan. Isolat yang tidak mengekspresikan GFPuv adalah isolat yang tinggi
tingkat resistennya yaitu E1 dan FWHd1.Karakterisasi resistensi isolat terhadap
antibiotik penanda pada plasmid penting dilakukan untuk menjamin keberhasilan
dan kestabilan proses pelabelan bakteri.
Kata kunci:Cronobacter sakazakii, GFPuv, Mutan,Resisten ampisilin,Stabilitas
SUMMARY
YUSNITA WAHYUNI SILITONGA.Ampicillin Resistance of Cronobacter
sakazakii and Its Correlation with the Stability and GFPuv Expression. Supervised
byRATIH DEWANTI-HARIYADI dan SITI NURJANAH.
Cronobacter sakazakiiis Gram-negative bacteria considered asan emerging
pathogen in foods. The bacteria are also categorized as opportunistic pathogens
which cause septicemia, necrotizing enterocolitis,meningitis and could induce
infant mortality.Tracking thewild type bacterium in foodstuff could be
difficultwhen using a wild strain (wild-type), therefore it need labeling technique
by using GFPuv plasmids. GFPuv plasmids are completed with ampicillin
resistant gene for easy selection. Previous studies indicated that ampicillin
resistant bacteria could not be made into GFPuv mutants, but the reasonwas
unknown. The objectives of this study were to investigate the performance of C.
sakazakii GFPuv mutants and to understand the correlation between ampicillin
resistance traits in the wild types with the success of GFPuv mutants construction
based on their stability and GFP expression
C. sakazakii ampicillin resistence was observed by growing the bacteria in
a containing ampicillin medium. pGFPuv mutants were obtained using
CaCl2transformation method and heat shock.The success of construction process
could be known from pGFPuv expression and thestability level of plasmid on
mutant cells.Of the 12 isolates studied, 8 isolates (66.6 %) were susceptible
((FWHc3, FWHb6, FWHb15, YRw3, E2, E4, E6, and E9),two (16.66%) had
intermediate resistance to ampicillin (Desb10, E7),and the other two (16.6%) were
ampicillinresistant (FWHd1, E1). The ampicillin sensitive C. sakazakiicould be
labeled with pGFPuv and their plasmid stability were most stable (E2). The
ampicillin resistant C. sakazakii isolates also could be labeled with pGFPuv but
the resulting mutantswere unstable in the cell and could not express the
GFPuv.The high resistance isolate could not express the GFPuv (E7 and FWHd1).
Characterization of isolate resistance on antibiotic marker of plasmid is required
to assure successfulness and stability of bacteria labelling process.
Keywords : Ampicillin resistance, Cronobacter sakazakii,GFPuv, Mutan,
Stabililty
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESISTENSI Cronobacter sakazakiiTERHADAPAMPISILIN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN STABILITAS DAN EKSPRESI GFPuv
YUSNITA WAHYUNI SILITONGA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
Judul Tesis : Resistensi Cronobacter sakazakiiterhadap Ampisilin dan
Hubungannya dengan Stabilitas dan Ekspresi GFPuv
Nama
: Yusnita Wahyuni Silitonga
NIM
: F251130121
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Ketua
Dr Siti Nurjanah, STP, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 12 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014dengan
judul Resistensi Cronobacter sakazakiiterhadap Ampisilin dan Hubungannya
dengan Stabilitas dan Ekspresi GFPuv.
Terima kasih penulis ucapkan kepadaProf Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi,
MSc dan Dr Siti Nurjanah, STP MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberi arahan dan saranselama penulis melaksanakan penelitian hingga menjadi
suatu bentuk karya ilmiah. Terima kasih juga disampaikan kepada orangtua,
ayahanda Marahakim Silitonga dan ibunda Alm. Mastinar Rambe atas segala doa
dan kasih sayang yang tulus dan tak ternilai harganya kepada penulis. Ungkapan
terima kasih penulis sampaikan kepada suami tercinta, Muhammad Nizar
Hanafiah SP MP yang telah banyak memberi dukungan dan motivasi dalam
menyusun tulisan ini. Terima kasih kepada staf Laboratorium SEAFAST Center
IPB atas bantuan dan dukungannya, serta kepada Ditjen Dikti atas pemberian
beasiswa selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor.Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu selama
penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Yusnita Wahyuni Silitonga
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
2
2
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Cronobacter sakazakii
Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
Green Fluorescent Protein (GFP)
Aplikasi Green Fluorescent Protein (GFP)
Teknik Transformasi CaCl2
4
4
6
7
10
11
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Persiapan dan Konfirmasi Isolat
Uji Resistensi Cronobacter sakazakiiterhadap Ampisilin
PelabelanCronobacter sakazakiidengan GFPuv menggunakan metode
Transformasi CaCl215
Konfirmasi Mutan secara Fenotip pada Media TSAA
Konfirmasi Mutan secara Fenotip dengan Mikroskop Fluoresen16
Deteksi Gen GFP pada sel mutan yang tidak stabil dan terekspresi
Uji Stabilitas pGFPuv pada Sel Mutan
14
14
14
15
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
Pelabelan Cronobacter sakazakiidengan GFPuv
Hubungan Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
dengan Kestabilan dan Ekspresi GFPuv
Deteksi Gen GFP pada sel mutan yang tidak stabil dan terekspresi
dengan PCR
Kestabilan pGFPuv pada Sel MutanCronobacter sakazakii
18
18
19
23
24
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
25
25
25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
16
16
17
22
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Isolat bakteri yang digunakan pada penelitian
Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap ampisilin
Hasil transformasi mutan GFPuv pada sel C. sakazakii
Kestabilan plasmid GFPuv pada sel mutan Cronobacter sakazakii
14
18
20
24
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Diagram alir ruang lingkup penelitian
Cronobacter spp.
Struktur ampisilin
Struktur tiga dimensi GFP
Mekanisme biosintesis kromofor GFP
Struktur tiga dimensi GFPuv
Peta pGFPuv
Mekanisme transformasi CaCl2
Sel mutan C. sakazakii GFPuv (E2) dibawah mikroskop fluoresen
(1000x)
10 Eksperesi GFPuv pada sel mutan dibawah UV (A) stabil pada isolat E2,
(B)tidak stabil pada isolat Desb10, (C) tidak terekspresi pada isolat E1
11 Visualisasi DNA hasil amplifikasi gen GFP(A) Desb10(B) YRw3(C)
kontrol dengan DNA GFP,( D) 100 bp DNA ladder, (E) kontrol tanpa
DNA, (F) E9, (G) FWHd1, (H) E1
3
4
6
8
8
9
10
12
21
21
24
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Data Resistensi Cronobakter sakazakii terhadap ampisilin
Data kestabilan pGFPuv pada sel mutan
Pertumbuhan isolat (E1) pada TSAA dengan konsentrasi 10-30 μg/ml
Pertumbuhan isolat (E2) pada TSAA dengan konsentrasi 0-30 μg/ml
Kestabilan mutan FWHc3 pada tingkat pengenceran106, 107, 108
30
31
32
32
32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cronobacter sakazakii merupakan bakteriGram negatif, berbentuk batang
dan tidak menghasilkan spora. Bakteri ini berpotensi menginfeksi semua golongan
usia terutama pada bayi kelompok tertentu dan golongan dewasa yang memiliki
sistem kekebalan rendah. Selama rentang tahun 1959 sampai tahun 2002 diseluruh
dunia telah tercatat sekitar dua puluh lima peristiwa infeksi oleh bakteri C.
sakazakii yang melibatkan enam puluh bayi (Iversen dan Forsythe 2003). Dari dua
puluh lima peristiwa yang terjadi, delapan diantaranya dapat dikaitkan dengan
konsumsi susu formula. Selain pada susu formula bayi, Friedemann (2007)juga
menemukan C. sakazakii pada potongan buah segar seperti semangka, melon, apel,
tomat, produk kacang-kacangan, rempah-rempah dan dari sumber bahan pangan
hewani seperti susu, daging, ikan dan produk olahannya. OutbreakC. sakazakii
belum pernah dilaporkan di Indonesia, akan tetapi bakteri ini telah berhasil
diisolasi dari beberapa bahan pangan kering seperti susu formula (Estuningsih et
al. 2006), makanan pendamping ASI (Meutia et al. 2008), gula halus, coklat
bubuk, rempah kering (Gitapratiwi et al. 2012), tapioka dan maizena (Hamdani
2012).
C. sakazakii tergolong sebagaiemerging patogen pada pangan yang perlu
diwaspadai karena dapat mengakibatkan penyakit melalui makanan (DewantiHariyadi et al. 2010). Bakteri ini juga termasuk bakteri patogen oportunistik yang
dapat menyebabkan septisimia, radang usus (necrotizing enterocolis), radang otak
(meningitis) bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi. Sejalan dengan
adanya cemaran C. sakazakii pada susu formula menyebabkan pemerintah
Indonesia pada tahun 2009 mulai memberlakukan SNI 7388-2009 yang
menetapkan bahwa cemaran Cronobacter spp. harus negatif pada susu
formula.Codex mensyaratkan untuk tiap lot produksi dilakukan pengujian
sebanyak 30 sampel masing-masing 10 g dan tidak boleh ada satu sampel pun
yang terdeteksi mengandung Cronobacter sakazakii (WHOFAO 2004). Informasi
mengenai perilaku C. sakazakii dalam bahan pangan sangat dibutuhkan karena
dapat dijadikan sebagai acuan pengendalian bakteri tersebut dalam rangka
keamanan pangan.
Penelusuran perilaku bakteridalam bahan pangan sulit dilakukan jika
menggunakan galur liar (wild type). Hal tersebut karena sangat sulit untuk
membedakan antara bakteri target dan bakteri yang secara alami terdapat
padaproduk pangan dengan spesies yang sama. Ma et al. (2011) menyatakan
bahwa teknik pelabelan dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengetahui
perilaku bakteri tanpa menekan pertumbuhan mikroorganisme lain. Salah satu
teknik pelabelan yang dapat diaplikasikan adalah dengan menggunakan Green
Fluorescent Protein (GFP).
GFP memiliki beberapa variasi, salah satunya adalah GFPuv yang
mempunyai intensitas flouresen 45 kali lipat melalui proses penyusunan DNA
(Crameri et al. 1996). GFPuv telah disisipkan pada plasmid yang dilengkapi
dengan gen penyandi resisten ampisilin yang bertujuan untuk mempermudah
seleksi (Clontech 2012). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri
2
yang resisten ampisilin tidak berhasil dikonstruksikan menjadi mutan pGFPuv.
Ma et al. (2011) melaporkan bahwa plasmid GFPuv dapat dikonstruksikan pada
Listeria sp., Salmonella sp. dan Escherichia coli, akan tetapi dari beberapa strain
bakteri tersebut ada yang tidak dikonstruksikan yaitu strain yang resisten
ampisilin karena peneliti menyatakan bahwa bakteri yang resisten ampisilin tidak
berhasil dilabeli oleh pGFPuv.Nurjanah et al. (2014) melaporkan bahwa pGFPuv
dapat disisipkan pada C. sakazakii. Dari 5 isolat lokal yang dikonstruksikan
terdapat 1 isolat yang tidak dapat dilabel yaitu isolat yang memiliki sifat resisten
terhadap ampisilin, sehingga peneliti menduga bahwa ada hubungan sifat
resistensi terhadap ampisilin dengan keberhasilan mutasi.
Perumusan Masalah
Green Fluorescent Protein (GFP) merupakan protein yang dapat
digunakan sebagai pelabelan bakteri, akan tetapi pada penelitian Nurjanahet al.
(2014) menunjukkan bahwa beberapa strain isolatC. sakazakiikhususnya yang
resisten terhadap ampisilin tidak berhasil dilabeli oleh pGFPuv, sehingga
dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab isolat tersebut
tidak berhasil dilabeli olehpGFPuv.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui tingkat resistensi beberapa isolat C. sakazakiiterhadap
ampisilin.
2. Mengetahui kemampuan pelabelan beberapa isolat C. sakazakii oleh
pGFPuv.
3. Mengetahui tingkat kestabilandan ekspresi GFPuv pada sel mutanC.
sakazakii
4. Mengetahui pengaruh resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin dengan
kestabilan dan ekspresi GFPuv pada sel mutan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberi informasi kepada peneliti selanjutnya tentang
pentingnya melakukan atau mengetahui karakterisasi resistensi isolat terhadap
antibiotik penanda plasmid (dalam hal ini ampisilin) sebagai acuan untuk
pemilihan isolat. Informasi tersebut sangat dibutuhkan karena plasmid GFPuv
yang menyandi gen resisten ampisilin tidak stabil dan tidak terekspresi jika
dikonstruksikan pada isolat yang resisten terhadap ampisilin.
3
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi 3 tahapan yaitu tahap uji resistensi C. sakazakii
terhadap ampisilin yang diawali dengan preparasi dan konfirmasi isolat C.
sakazakii. Tahap ke-2 adalah konstruksi mutan pGFPuv dengan metode
transformasi CaCl2. Tahapan ini meliputi konfirmasi mutan secara fenotip.
Konfirmasi fenotip dilakukan dengan mengamati ekspresi GFPuv pada koloni
mutan di bawah lampu UV dan mengamati sel mutan dengan mikroskop fluoresen.
Isolat yang tidak stabil dan tidak terekspresi dilanjutkan dengan deteksi gen GFP
pada sel mutan dengan menggunakan polimer chain reaction(PCR). Isolat yang
stabil dilanjutkan dengan uji kestabilan untuk melihat isolat yang paling tinggi
tingkat kestabilannya. Uji kestabilan dilakukan dengan menumbuhkan isolat
mutan GFPuv pada media BHI tanpa ampisilin beberapa hari. Kestabilan dapat
dilihat dengan membandingkan sel yang berfluoresen dengan total koloni yang
tumbuh pada media TSA (Gambar 1)
Persiapan dan konfirmasi isolat Cronobacter sakazakii
Uji Resistensi C. sakazakii terhadap Ampisilin
Konstruksi Mutan pGFPuv (Transformasi)
Konfirmasi Fenotip
Stabil
Tidak stabil dan Tidak
Terekspresi
Uji Kestabilan Mutan
pGFPuv
Konfirmasi Genotip
(PCR)
Gambar 1 Diagram alir ruang lingkup penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Cronobacter sakazakii
Cronobacter sakazakii merupakan bakteri Gram negatif,berbentuk batang,
motil, tidak menghasilkan spora dan bersifat fakultatif anaerob (Iversen dan
Forsythe 2003). Dari laporan Gurtleret al. (2005) semua isolat C. sakazakiiyang
diisolasi dari susu formula di Kanada menunjukkan suhu pertumbuhan minimum
5.5oC–8oC dan optimum 25oC–45oC tetapi tidak tumbuh pada 4oC dan 50oC. Pada
awalnya, bakteri C. sakazakii hanya dikenal sebagai Enterobacter cloacae yang
memiliki pigmen kuning (Yellow pigmented Enterobacter cloacae). Tahun 1980
bakteri ini dipisahkan dari kelompok tersebut berdasarkan genetik penyusunnya,
perbedaananalisis hibridasi DNA, reaksi biokimia,dan uji kepekaannya terhadap
antibiotika. Bakteri ini selanjutnya dikukuhkan dalam genus Enterobacter sebagai
suatu spesies baru yang diberi nama Enterobacter sakazakii untuk menghargai
seorang bakteriolog Jepangbernama Riichi Sakazakii (Gurtler et al. 2005).
Gambar 2Cronobacter spp. (Kunkel 2009)
Pada tahun 2007 beberapa peneliti memutakhirkan kriteria taxonomidari E.
sakazakii dengan menggunakan cara lebih canggih, yaitu dengan f-AFLP,
automated ribotyping, full length 16S rRNA gene sequencing danDNA
hybridization. Hasil identifikasi E. sakazakii dengan metode 16S rRNA bahwa
sequens DNA E. sakazakii 97.8 % mirip Cirobacter roseri dan 97.0 % mirip
dengan E. Cloacae (Gutler et al. 2005). Iversen et al. (2008) menyatakan bahwa E.
sakazakiilebih cocok diklasifikasikan dengan genus baru yaitu Cronobacter yang
terdiri dari 6 spesies (C. sakazakii, C.malonaticus, C. turicensis, C. muytjensii,
dan C. dublinensis). C. sakazakiidapat tumbuh pada medium yang digunakan
untuk menumbuhkan bakteri enteric seperti eosin metylen blue (EMB). C.
sakazakiijuga dapat tumbuh pada media tryptone soy agar (TSA) yang
membentuk koloni dengan diameter 1.5-3 mm setelah diinkubasi selama 1 hari.
Dalam media cair seperti BHI C. sakazakiimampu memproduksi banyak sedimen
yang mirip dengan gumpalan sel (Nazarowec et al. 2003).
Cronobactersakazakii merupakan patogen oportunistik yang dapat
menyebabkan septisimia, radang usus (necrotizing enterocolis), radang otak
(meningitis), bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi. Bayi yang berisiko
tinggi terinfeksi olehCronobacter adalah bayi yang berumur kurang dari 28 hari,
memiliki berat badan rendah (< 2 kg), bayi yang memiliki sistem imun yang
5
rendah, lahir prematur, dan terlahir dari ibu yang mengidap penyakit AIDS (WHO
FAO 2004). Selain pada bayi infeksi Cronobacterjuga dapat terjadi pada anakanak, kelompok lanjut usia, dan orang dewasa yang memiliki daya tahan tubuh
rendah (Gurtler et al. 2005). The Internatioanal Commission for Microbiological
Specifications for Foods (ICMSF 2002) menempatkan C. sakazakii sebagai
cemaran dengan tingkat bahaya parah, menyerang populasi terbatas, mengancam
kehidupan atau menyebabkan dampak kronis lanjutan, dan mempengaruhi hidup
dalam jangka waktu lama.
C. sakazakii dapat menghasilkan toksin pada selnya (Nurjanah et al. 2013).
Kemampuannya dalam memproduksi toksin mempunyai aktivitas merusak sel.
Toksin dihasilkan setelah bakteri diinkubasi selama 6 jam dan jumlah maksimum
toksin dihasilkan setelah 12 jam, toksin yang dihasilkan bakteri tersebut
berukuran 66 kDa (Raghav dan Aggarwal 2007). Toksin C. Sakazakiidapat
merusak sel Vero sehingga morfologi sel Vero tersebut berubah.Mangeet
al.(2006) menyebutkan bahwa patogenisitas dari C. sakazakii meliputi kesuksesan
dalam kolonisasi, penempelan pada permukaan sel inang seperti membran
mukosa, lambung, epitelial usus, dan jaringan endotelial pada otak. Penelitian
Nurjanah et al. (2013) menunjukkan bahwa 20 sampel C. sakazakii yang diuji,
ditemukan hanya 65% yang positif dikonfirmasi sebagai toksik yang
menunjukkan bahwa tidak semua strain dari C. sakazakiibersifat toksik.
Cronobacter sakazakiibukan merupakan flora normal pada saluran
pencernaan hewan dan manusia. Sumber bakteri ini diduga berasal dari tanah, air,
bahkan sumber bahan pangan (Iversen dan Forsythe 2003). Beberapa laporan
menyatakan bahwa infeksi yang terkait C. sakazakii terjadi dari susu formula
bubuk. Kontaminasi bakteri tersebut dapat terjadi selama pemerahan (milking),
penanganan (handling), penyimpanan (storage), dan aktivitas pra-pengolahan
lainnya. Pada tahun 2002, Center for Disease Control and Prevention(CDC)
melaporkan kasus keracunan pangan disebabkan oleh C. sakazakii. Berdasarkan
hasil investigasi C. sakazakii berasal dari susu formula bubuk kaleng yang belum
dibuka. Beberapa peneliti juga berhasil mengisolasi C. sakazakiidari berbagai
lingkungan dan peralatan pengolahan pangan (Iversen dan Forsythe 2003). C.
sakazakii dapat menghasilkan ekstrapolisakarida yang dapat meningkatkan
kemampuan bakteri tersebut menempel pada permukaan peralatan sehingga
membentuk lapisan biofilm. Peralatan yang digunakan untuk menyiapkan susu
formula bayi seharusnya dibersihkan sesering mungkin untuk meminimalkan
biofilm sebagai sumber infeksi.
Selain dari susu formula C. sakazakii dapat juga diisolasi dari sumber bahan
pangan lain seperti roti yang difermentasi, keju, daging giling, sosis, bubuk
rempah-rempah, kacang (Gassemet al. 1999; Iversen dan Forsythe 2004). Bakteri
tersebut juga dapat diisolasi dari biji padi (Cottyn et al. 2001), makanan
pendamping ASI (Meutia et al. 2008), gula halus, coklat bubuk, rempah kering
(Gitapratiwi et al. 2012), tapioka dan maizena (Hamdani 2012). Dari beberapa
hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa C. Sakazakiitidak hanya
tumbuh pada bahan pangan yang memiliki kadar air dan aw yang tinggi tetapi
juga masih ditemukan pada bahan pangan memiliki kadar air dan aw yang rendah
seperti tepung, coklat bubuk, dan bubuk rempah-rempah.
Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
6
Ampisilin merupakan asam organik yang berbentuk anhidrat dan trihidrat
yang memiliki rumus molekul C16H19N3O4S.3H2O. Ditinjau dari struktur
kimianya ampisilin termasuk dalam golongan penisilin yang bekerja pada dinding
sel bakteri. Ampisilin terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti
siklik terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam, sedangkan rantai
sampingnya merupakan gugus amina bebas yang mengikat satu atom H. Adanya
gugus amina pada rantai samping yang bersifat basa menyebabkan ampisilin tahan
terhadap asam lambung. Gugus amina ini akan menangkap H+ yang terdapat pada
lambung sehingga gugus amina bermuatan positif yang meningkatkan sifat
hidrofilik dari ampisilin, akibatnya akan mengurangi jumlah absorbsi ampisilin
dilambung (Baraldi et al. 2014).
Gambar 3 Struktur ampisilin (Baraldi et al. 2014).
Ampisilin merupakan kelompok antibiotik β–laktam yang memiliki
spektrum antimikroba yang luas. Ampisilin efektif terhadap mikroba Gram positif
dan Gram negatif. Ampisilin banyak digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi
saluran pernapasan, saluran cerna dan saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri,
tetapi banyak laporan yang menyatakan bahwa beberapa bakteri tersebut telah
resisten terhadap ampisilin (Fraqueza 2015). Resistensi bakteri terhadap ampisilin
merupakan suatu hal yang alamiah. Namun penggunaan ampisilin yang terus
menerus tanpa memperhatikan dosis akan meningkatkan perkembangan resistensi
bakteri yang semula sensitif (Lee et al.2012). Bakteri membentuk mekanisme
pertahanan diri untuk tetap bertahan hidup. Bakteri yang resisten ampisilin adalah
bakteri yang tidak dapat terkontrol atau dihambat dengan ampisilin.
Menurut Fraqueza (2015) resistensi bakteri terhadap ampisilin terjadi
karena tiga faktor yaitu faktor genetik, non genetik dan silang. Resistensi genetik
disebabkan oleh ekspresi gen, yaitu gen pengkode enzim betalaktamase yang
berlokasi pada kromosom bakteri (Kuzina 2001). Enzim ini mampu
menginaktivasi cincin betalaktam ampisilin dengan cara menghidrolisis cincin
batalaktam tersebut. Resistensi genetik juga dapat terjadi karenaperubahan genetik
atau mutasi spontan. Perubahan genetik tersebut dapat terjadi karena perpindahan
materi genetik dari satu spesies bakteri kepada spesies bakteri lain melalui
mekanisme tertentu misalnya perpindahan plasmid (Ashet al. 2002). Resistensi
non genetik terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak sesuai aturan yang
menyebabkan tidak seluruh bakteri dapat terbunuh. Beberapa bakteri yang masih
bertahan hidup kemungkinan akan mengalami resistensi saat menggunakan
antibiotik yang sama. Resistensi silang merupakan resistensi bakteri terhadap
suatu antibiotik yang memiliki struktur antibiotik yang hampir sama. Suatu
populasi bakteri yang resisten terhadap suatu antibiotik tertentu dapat pula resisten
7
terhadap antibiotik yang lain yang memiliki struktur antibiotik dan mekanisme
kerja antibiotik yang hampir sama (Fraqueza 2015).
Resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin telah banyak dilaporkan. Hasil
penelitian Arseni et al. (1987) menunjukkan bahwa beberapa strain E. sakazakii
yang diisolasi dari dubur pasien yang terinfeksi bakteri tersebut resisten terhadap
ampisilin. Hasil penelitian Kuzina (2001) menunjukkan bahwa ada beberapa
strain C. sakazakii yang diisolasi dari usus serangga buah Anastrepha ludens
resisten terhadap ampisilin pada konsentrasi 2 µg/mL. Sifat resistensi C. sakazakii
terhadap ampisislin tidak hanya ditemukan pada C. sakazakii yang berasal dari
usus hewan atau manusia, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
beberapa strain C. sakazakii yang diisolasi dari berbagai produk pangan juga
resisten terhadap ampisilin (Li et al. 2014; Kim et al. 2008). Di Indonesia juga
telah ada laporan yang menyatakan bahwa beberapa strain C. sakazakii yang
berasal dari susu formula bayi resisten terhadap ampisilin pada konsentrasi 10
µg/mL (Noor dan Poelongan 2008).
Green Fluorescent Protein (GFP)
Green Fluorescent Protein (GFP) merupakan produk samping yang
ditemukan pertama kali pada Aequorea victoria oleh Osamu Shimomura pada
tahun 1961, yang menyebabkan jenis ubur-ubur ini mampu memancarkan cahaya
hijau (Shimomura 2008). Pada mulanya penelitian ini dilakukan untuk
mengekstrak luciferin dari Cypridinahilgendorfii dan mengkristalkannya.
Kemudian dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai struktur kimia luciferin dan
mekanismenya dalam reaksi luminescene. Beberapa tahun kemudian, Shimomura
mendapat penawaran penelitian untuk meneliti bioluminescence namun dari
sumber lain yakni ubur-ubur (Aequorea victoria).Penelitian ini mengalami
kesulitan dalam mengekstrak komponen bioluminescene, melalui beberapa uji
coba proses purifikasi, aequorin berhasil diekstraksi. Pada saat yang sama protein
lain dengan warna hijau terang juga ditemukan dan ikut dipurifikasi bersama
aequorin. Protein hijau ini yang dikenal sebagai GFP (Shimomura 2008).
Ada dua komponen protein yang terlibat pada sistem bioluminesens
Aequorea victoria yaitu aequorin dan GFP (Kendall danBadminto 1998).
Aequorin merupakan protein dengan berat molekul sekitar 20.000 dan
memancarkan cahaya biru bila bereaksi dengan Ca2+, meskipun dalam keadaan
tanpa oksigen. Protein aequorin yang berikatan dengan coelenteramide berfungsi
sebagai donor energi (blue light) kepada GFP yang akan mengekspresikannya
sebagai cahaya berpendar hijau. GFP terdiri dari 238 asam amino yang
membentuk barrel dengan berat molekul sekitar 27 Kilo Dalton. Barrel tersebut
terdiri dari 11 antiparalel β-strands yang diuntai oleh α-heliks yang memanjang
pada sumbu silinder (Gambar 4).
8
Gambar 4 Struktur tiga dimensi GFP (Brejc et al. 1997)
Di dalam protein ini ada gugus yang disebut kromofor yang berperan sangat
penting dalam proses perpendaran hijau. Kromofor merupakan kelompok tiga
residu asam amino di posisi 65 (Serin), 66 (Tirosin), dan 67 (Glisin). Kromofor
tertempel pada α-heliks dan tersimpan dalam pada pusat geometrik molekul, yang
disebut dengan β-can (Tsien 1998). Panjang gelombang cahaya yang diserap dan
dipancarkan oleh kromofor bergantung pada karakteristik kimia dan penambahan
residu lain pada kromofor yang akan berpengaruh besar pada jenis fluoresens.
Ketika dikenai energi cahaya biru atau UV maka pada gugus ini akan terjadi
reaksi oksidasi. Energi yang diserap membuat elektron-elektron di dalam gugus
ini tereksitasi dan menghasilkan energi yang lebih rendah yang secara otomatis
akan mampu memancarkan cahaya hijau (Shimomura 2008).
Pembentukan kromofor fluoresen secara utuh terjadi secara bertahap.
Tahap pertama yaitu GFP melakukan pelipatan. Pada tahap kedua, cincin
imidazole dibentuk melalui siklikasi residu Serin-65 dan Glisin-67 yang diikuti
dengan dehidrasi. Tahap terakhir yaitu molekul oksigen mengoksidasi senyawa
antara siklisasi pada residu Tirosin-66 untuk memebentuk struktur kromofor
fluoresens phydroxybenzylideneimidazolinone. Mekanisme biosintesis kromofor
GFP dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Mekanisme biosintesis kromofor GFP (Tsien 1998).
9
Setiap tahap dari pembentukan kromofor bersifat autokatalitik atau
menggunakan faktor yang bersifat ada dimana-mana sehingga ekspresi fluoresen
GFP memiliki spektrum yang luas untuk berbagai organisme (Chalfie dan Kain
2006). Bahan yang dibutuhkan GFP untuk mengemisikan cahaya tidak tergantung
substrat atau kofaktor, protein ini dengan cepat menjadi pilihan yang populer
untuk memonitor pengaturan secara luas dari proses biologi, mulai dari ekpresi
gen sampai ke pengaturan organel. Analisis mutasi GFP terutama pada bidang
fluorofor telah menghasilkan sebuah keragaman isoform GFP dengan
karakteristik yang berbeda dari protein asli salah satunya adalah GFPuv (Tsien
1998).
GFPuv mengalami mutasi titik di tiga kodon asam amino pada sekuens
DNA GFP asli yaitu Phenilalanin-99 menjadi Serin, Metionin-153 menjadi
Threonin, dan Valin-163 menjadi Alanin, namun perubahan struktur tersebut tidak
merubah sekuens kromofor akan tetapi pada GFPuv terdapat jarak yang cukup
renggang antara β-strand ketujuh dan kedelapan yang terbentuk selama pelipatan
β-barrel seperti terlihat pada gambar 6 (Crameri et al. 1996; Tansila et al. 2007).
Seperti halnya GFP, GFPuv memiliki eksitasi maksimum pada panjang
gelombang 395 nm dan emisi maksimum pada 509 nm.
Gambar 6 Struktur tiga dimensi GFPuv (Tansila et al. 2007)
Kelebihan GFPuv dibandingkan dengan GFP adalah intensitas pendaran
yang lebih tinggi ketika tereksitasi oleh sinar ultraviolet (UV) pada panjang
gelombang 395 nm. GFPuv mempunyai intensitas fluoresen 45 kali lipat
dibanding GFP. Perubahan intensitas fluoresen dapat terjadi karena protonasi dan
deprotonasi residu yang berada di sekitar kromofor (Kneen et al. 1998). Oleh
sebab itu, GFPuv cocok untuk digunakan dalam berbagai aplikasi intraseluler,
seperti penanda kuantitatif dari ekspresi gen. GFPuv bersifat resisten terhadap
perubahan pH. Denaturasi secara lengkap hanya terjadi pada pH ekstrim (1.0 dan
4.0). Ketahanannya terhadap perubahan pH paling utama disebabkan oleh struktur
kromofor GFPuv yang terlindungi (Chin et al. 2003).
Dalam rekayasa genetik plasmid sering sering digunakan sebagai vektor
untuk membawa gen-gen tertentu yang diinginkan ke dalam suatu sel inang.
Plasmid sering digunakan sebagai vektor karena plasmid memiliki tiga region
yang sangat berperan penting dalam klon DNA. Tiga region tersebut adalah
region yang mampu yang mampu disisipi oleh fragmen DNA dari luar,
10
markeryang memungkinkan adanya seleksi biasanya gen yang resisten terhadap
antibiotik, dan origin of replication (ori) sehingga mampu mereplikasikan diri
tanpa pengaturan DNA kromosom (Clontech 2012). Plasmid dapat melakukan
replikasi dan membagi diri menjadi dua bersamaan dengan sel inang ketika
membelah. Pembelahan antara inang dengan plasmid sering juga terjadi tidak
bersamaan sehingga plasmid hilang atau tidak ditemukan pada keturunan
berikutnya (Ma et al. 2011)
Sebagaimana gen lain GFPuv juga dapat disisipkan pada plasmid.
Penyisipan GFPuv pada plasmid telah dilakukan oleh Clontech (2012). Sekuens
penyandi gen ini berada pada daerah Multiple Cloning Site (5’MCS- 3’MCS),
dengan kodon inisiasi lacZ sehingga protein gabungan β-galactosidase-GFPuv
dapat diekpresikan dari lac-promotersecara konstitutif (Gambar 7). Plasmid ini
juga mempunyai titik ori (Origin of Replication), sehingga dapat melakukan
replikasi secara mandiri tanpa pengaturan dari DNA kromosom. Selain itu,
mengandung gen resisten ampisilin (Ampr), yang menyandikan protein βlactamase yang dapat mendegradasi antibiotik ampisilin sehingga memiliki sifat
resisten terhadap ampisilin, jadi bakteri yang tidak berhasil disisipi oleh plasmid
akan mati dengan sendirinya (Sambrook dan Russel 2001).
Gambar 7 Peta pGFPuv 3.3 kb (Clontech 2012)
Aplikasi Green Fluorescent Protein (GFP)
Aplikasi GFP telah banyak dilakukan pada virus maupun sel prokariot dan
eukariot. Pada virus GFP diaplikasikan untuk mengetahui bagaimana pola
interaksi antara virus dengan inangnya. Aplikasi GFP pada bakteri kebanyakan
bertujuan sebagai pelabelan sehingga penelusuran perilaku bakteri dilingkungan
mudah dipelajari. Sedangkan pada sel hewan GFP sering digunakan untuk
mengetahui ekspresi protein tertentu dan pertumbuhan sel diluar kendali seperti
sel kanker.
11
Theodore et al. (2005) melaporkan bahwa GFP dapat diaplikasikan pada
virus West Nile virus (WNV) yang menyebabkan penyakit encephalitis pada
hewan dan manusia melalui nyamuk. Virus yang telah mengandung GFP di
infeksikan pada sel mamalia secara invitro. Pertumbuhan virus WNV diasumsikan
sama dengan peningkatan jumlah GFP pada sel.GFP juga dapat diekspresikan
pada virus mosaik untuk mengetahui bagaimana interaksi virus dengan gandum.
Dengan memasukkan virus mosaik yang mengekspresikan GFP maka tempat
penyebaran virus dapat terpantau dengan cara membawa tanaman ini keruangan
gelap dan menyinarinya dengan lampu UV secara periodik (Tatineni et al. 2011).
Hasi penelitian tersebut menunjukkan bahwa virus mosaik dapat menginfeksi
semua bagian dari tanaman tembakau.
GFP sering diaplikasikan pada bakteri yang bertujuan sebagai penanda
agar mudah membedakan dengan bakteri lain. Dengan adanya penanda tersebut
maka mempermudah mempelajari perilaku bakteri target pada lingkungan. Ma et
al. (2011) telah melaporkan bahwa GFP dapat diaplikasikan pada beberapa bakteri
yaitu Salmonella Enteriditis, S. Newport, E. coli dan Listeria monocytogenes.
Tujuan dari pelabelan tersebut adalah untuk mengetahui kestabilan GFP sampai
50 generasi. Nurjanah et al. (2014) telah mengaplikasikan GFP yaitu GFPuv pada
beberapa isolat Cronobakter sakazakii untuk pelabelan. Pelabelan tersebut
bertujuan mempermudah penelusuran bakteri C. sakazakii pada bahan pangan
tanpa harus menekan pertumbuhan mikroorganisme lain. Kestabilan plasmid
merupakan salah satusyaratdalam pelabelan sel bakteri. Informasi kestabilan
plasmid sangat diperlukan ketika mutan diaplikasikan pada proses tertentu.
Kestabilan plasmid di dalam mutan dievaluasi dengan cara menghitung
perbandingan populasi mutan dan total koloni bakteri yang tumbuh.
Teknik Transformasi CaCl2
Aplikasi GFP pada bakteri dapat dilakukan dengan metode
CaCL2.Transformasi dengan metode CaCl2 sering digunakan pada sel bakteri
karenalebih mudah dan efektif. Dikatakan mudah dan efektif karena tidak
membutuhkan alat khusus akan tetapi peluang masuknya DNA donor cukup tinggi
(Ma et al. 2011). Pada populasi bakteri, hanya sel yang kompeten saja yang yang
dapat mengambil DNA dari lingkungan. Kultur yang digunakan untuk sel
kompeten adalah kultur pada kondisi pertumbuhan awal fase logaritmik karena
pada fase ini kultur memiliki kompetensi yang paling baik. Sel bakteri pada fase
tersebut mengalami pertumbuhan yang optimal dan aktif membelah sehingga
memudahkan introduksi DNA asing.Pada fase ini elastisitas membran bakteri
cukup tinggi sedangkan jika telah mencapai fase stasioner bakteri akan
membentuk membran sel yang kaku.
Sambrook dan Russel (2001) menyatakan bahwa salah satu cara untuk
membentuk sel kompeten adalah dengan menggunakan larutan CaCl2. Membran
sel akan bersifat permeabel terhadap ion klorida, tetapi nonpermeabel terhadap ion
kalsium. Ketika ion klorida memasuki sel inang, molekul air ikut masuk sehingga
sel akan membengkak dan memerlukan DNA dari lingkungan. Ion-ion Ca2+ yang
bersifat positif dapat berikatan dengan membran fosfolipid sehingga molekul
DNA yang bermuatan negatif dapat menempel dan mempermudah integritas DNA
12
ke dalam sel.Metode CaCl2 dibantu oleh perlakuan kejut panas (heat shock) pada
suhu 42oC selama 60 detik agar membuka pori pada membran sel. Terbukanya
pori membran sel menyebabkan DNA rekombinan bisa masuk dengan mudah ke
dalam sel (Gambar 8).
Gambar 8 Mekanisme transformasi CaCl2 (NextGen Sciences 2005)
Proses transformasi CaCl2 tidak selalu berhasil atau sering mengalami
kegagalan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan dalam proses
transformasiCaCl2. Kegagalan tersebut dapat terjadi pada kondisi ataupun karakter
inang yang digunakan dan kegagalan bisa juga terjadi karena kesalahan prosedur
dalam proses transformasi.
Kultur yang dipanen pada awal fase logaritmik memiliki kompetensi yang
paling baik. Sel bakteri pada fase tersebut mengalami pertumbuhan yang optimal
dan aktif membelah sehingga memudahkan introduksi DNA asing.Pada fase ini
elastisitas membran bakteri cukup tinggi. Bakteri yang sudah mencapai
pertumbuhan fase stasioner akan membentuk membran sel yang tidak elastis atau
kaku sehingga pori membran akan lebih susah terbuka pada saat tahap heatshock(Sambrook dan Russell 2001).
Langkah penting dalam proses transformasi adalah preparasi sel
kompetendengan metode CaCl2. Cl permeable terhadap membran sel yang
menyebabkan sel bakteri membengkak dan membentuk pori pada membran. Ionion Ca2+ yang bersifat positif dapat berikatan dengan membran fosfolipid
sehingga molekul DNA yang bermuatan negatif dapat menempel dan
mempermudah integritas DNA ke dalam sel. Perbandingan konsentrasi antara
jumlah CaCl2 dengan kultur yang digunakan sangat mempengaruhi keberhasilan
dari proses transformasi. Konsentrasi CaCl2 yang terlalu tinggi menyebabkan lisis
atau pecahnya sel bakteri (Brown 2006).
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi keberhasilan transformasi adalah
tahapheat shock, yaitu dengan melakukan perubahan suhu yang cukup tinggi.
Kejutan panas dapat membantu DNA dalam melewati dinding sel bakteri. Ketika
sel bakteri dipanaskan, serangkaian gen diekspresikan yang mengakibatkan
13
bakteri dapat bertahan pada suhu tersebut. Serangkaian gen ini disebut dengan
heat-shock genes. Suhu yang optimal untuk heat shock adalah 420C, jika melebihi
suhu tersebut maka akan terjadi kerusakan dari sel kompeten. Pada suhu di bawah
42oC, kemampuan bakteri untuk mengambil plasmid atau DNA eksogenus lebih
rendah, sedangkan pada suhu ekstrim bakteri akan mati (Li et al. 2010). Menurut
Sambrook dan Russel (2001) setelah tahap heat-shock, medium SOC ditambahkan
sebagai media recovery dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam. Kemudian
disebar pada agar cawan yang mengandung antibiotik dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 1 malam.
Selain faktor diatas perbandingan jumlah sel kompeten dan jumlah DNA
atau plasmid yang digunakan sangat mempengaruhi keberhasilan transformasi.
Efisiensi transformasi CaCl2 berkisar antara 105 - 106sel/mL atau absorbansi
OD600 0.4 transforman/μg DNA dan dapat ditingkatkan hingga mencapai efisiensi
108 transforman/μg DNA tergantung kombinasi bahan-bahan kimia yang
digunakan dan perlakuan secara fisik pada sel (Sambrook dan Russel 2001).
Pada proses transformasi, plasmid yang digunakan adalah plasmid yang
dilengkapi dengan gen penyandi resisten antibiotik yang bertujuan untuk
mempermudah seleksi. Beberapa hasil penelitin menunjukkan bahwa keberadaan
gen penyandi resisten antibiotik menyebabkan bakteri yang resisten terhadap
antibiotik tersebut tidak berhasil ditransformasikan. Ma et al, (2011) melaporkan
bahwa plasmid GFPuv dapat dikonstruksikan pada Listeria, Salmonella dan
Escherichia coli, akan tetapi dari beberapa strain bakteri tersebut ada yang tidak
dikonstruksikan yaitu strain yang resisten ampisilin karena peneliti menyatakan
bahwa bakteri yang resisten ampisilin tidak berhasil dilabeli oleh
pGFPuv.Nurjanah et al, (2014) melaporkan bahwa pGFPuv dapat disisipkan pada
C. sakazakii. Dari 5 isolat lokal yang dikonstruksikan terdapat 1 isolat yang tidak
terlabeli yaitu isolat yang memiliki sifat resisten terhadap ampisilin.Hasil
penelitian Zhang et al. (2013) juga menunjukkan bahwa E.coli yang resisten
terhadap antibiotik higromisin tidak berhasil ditransformasikan dengan pBChygro-GFP yang menyandi gen resisten higromisin. Deteksi molekuler
menunjukkan bahwa gen GFP masih teramplifikasi pada PCR. Plasmid BChygro-GFP tetap terlabel pada sel E.colihanya saja gen tersebut tidak terekspresi.
14
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai dengan April
2015 di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Southeast Asian Foodand
Agricultural Science and Technology(SEAFAST) Center Institut Pertanian Bogor
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 12 isolat Cronobacter
sakazakii (Tabel 1) yang diperoleh dari koleksi kultur SEAFAST Center Institut
Pertanian Bogor yang di isolasi dari beberapa bahan pangan. Media dan bahan
lain yang digunakan adalah plasmid GFPuv (Clontech USA), Luria Bertani (LB)
(Difco, Sparks,USA).Brain Heart Infusion (BHI) Druggan-Forsythe-Iversen(DFI),
Buffer Water Phosphat (BPW),Tryptic Soy Agar (TSA) (Oxoid, Hampshire,
UK).Tryptic Soy Agar + Ampisilin (TSAA), larutanTransformation(TF)yang
mengandung 10 mM Tris.HCL, 100 mM CaCl2, Super optimal broth with
catabolite repression (SOC) dengan komposisi 20 g/L LB (Difco), 3.6 g/L
glukosa dan 0.95 g/L MgCl2, membran filter 0,22 μm. Beberapa bahan yang
digunakan untuk isolasi DNA antara lain proteinase K, Sodium Dodecyl Sulphat
(SDS), NaCl, CTAB, fenol, kloroform, isoamil alkohol, sodium asetat,
isopropanol (Merck, Darmstadt, Jerman).Larutan TE yang terdiri dari Tris dan
EDTA, TAE (Tris-Asetat-EDTA), Ethidium Bromide (Amersham Bioscience,
Swedia). agarosa (SIGMA, Steinheim, Jerman), etanol 70 % dan HCl.
Alat utama yang digunakan adalah sentrifuse(Hermle Labortechnik,
Wehningen, Jerman), water bath shaker(PolyScience, Warrington, USA), lampu
UV (Desage Heidelberg Min UVIS), mikroskop fluoresen (Olympus Corporation,
Center Valley, USA), PCR(Applied Biosystems),dan Gel Doc XR (Bio Rad).
Tabel 1. Isolat bakteri yang digunakan pada penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kode isolat/GenBank
Desb10/JF800181
YRw3/JF800185
FWHc3
FWHd1/JX535018
FWHb6
FWHb15
E2
E4
E6
E7
E9
E1
Sumber Isolat
tepung jagung
susu formula
Tapioca
cabe bubuk
Tepung
Gula
MPASI
MPASI
MPASI
MPASI
MPASI
MPASI
MPASI : makanan pendamping ASI
Referensi
Gitapratiwiet al. 2012
Meutia et al. 2008
Hamdani 2012
Estuningsih et al. 2006
15
Persiapan dan Konfirmasi Isolat
Cronobactersakazakiidari stok manik-manik diremajakan dengan cara
mengkultur bakteri tersebut pada media BHI (Oxoid) pada suhu 37oC selama 1
malam. Kultur yang telah diremajakan ditumbuhkan pada media agar DFI (Oxoid)
untuk memastikan kembali viabilitas dan identitas kultur. Koloni isolat
Cronobactersakazakii akan berwarna hijau biru pada media tersebut.
Uji Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
Resistensi Cronobakter sakazakii(wild type) terhadap ampisilin dapat diketahui
dengan cara menumbuhkan isolat tersebut pada media yang mengandung
ampisilin (Nurjanah et al. 2015). Isolat C. sakazakii ditumbuhkan pada media BHI
(Oxoid) selama 1 malam pada suhu 37oC. Sebanyak 0.1 mL
inokulum(106CFU/mL) diinokulasikan pada media TSA (Oxoid) yang
mengandung ampisilindengan konsentrasi ampisilin 0 μg/mL, 10 μg/mL, 20
μg/mL, 30 μg/mL, dan 40 μg/mL dan 50 μg/mL.Kultur diinkubasi pada suhu 37oC
selama 2 hari. Setelah masa inkubasi, pertumbuhan C. sakazakii diamati
berdasarkan kepadatan kolonidengan mengikuti standar jumlah maksimal dan
minimal koloni bakteri(Standar Plate Count) 25-250 (BAM 2001)
= tidak ada pertumbuhan koloni
+
= koloni yang tumbuh sangat sedikit (1-25CFU/mL)
++
= koloni yang tumbuh sedikit (26-100CFU/mL)
+++
= koloni yang tumbuh agak banyak (101-175CFU/mL)
++++ = koloni yang tumbuh banyak (176-250CFU/mL)
+++++ = koloni yang tumbuh sangat banyak (>250CFU/mL)
Resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok yaitu sensitif, intermediat resisten dan resisten(Al-nabulsi 2011)
berdasarkan tingkat Minimum Inhibitory Concentrations.Pada penelitian ini
resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
berdasarkan tingkat pertumbuhan isolat pada beberapa konsentrasi ampisilin.
Isolat C. sakazakii dikatakan sensitif terhadap ampisilin jika bakteri
tersebut tidak tumbuh pada media yang mengandung ampisilin.
Isolat C. sakazakii dikatakan intermediat resisten terhadap ampisilin jika
isolat tumbuh pada media yang mengandung ampisilin pada konsentrasi
10 μg/mL.
Isolat C. sakazakii dikatakan resisten terhadap ampisilin jika isolat tumbuh
pada media yang mengandung ampisilin pada konsentrasi 20 μg/mL
PelabelanCronobacter sakazakiidengan pGFPuv menggunakan Metode
Transformasi CaCl2
Pelabelan C. sakazakii dengan pGFPuv (Clontech, USA) dilakukan
dengan teknik transformasi CaCl2 (Nurjanah 2014). Sel bakteri yang dipakai pada
proses transformasi adalah sel kompeten. Pembuatan sel kompeten dilakukan
dengan cara menginokulasi 0.2 mL sel C. sakazakiike dalam 20 mL media cair LB
16
(Difco) padawater bath shaker (PolyScience)dengan suhu 37oC selama 3 jam.Sel
bakteri dipisahkan dari media pertumbuhannya dengan sentrifugasi (3000 rpm,
4oC, 10 menit). Sel bakteri yang telah terpisah disuspensikan dalam 10 ml larutan
TF (10 mM Tris.HCL, 100 mM CaCl2), didiamkan dalam es selama 30 menit,
kemudian disentrifugasi kembali pada kondisi yang sama. Pelet disuspensikan
dalam 0.3 mL larutan TF (sel kompeten). Trasformasi sel bakteri dilakukan
dengan mencampurkan 40 μL sel kompeten dengan 2 μL pGFPuv dalam tabung
Eppendorf, didiamkan di dalam es selama 30 menit kemudian diberi kejut panas
pada suhu 42oC selama 60 detik. Ditambahkan media recovery SOC sebanyak 450
μL, kemudian diinkubasi pada water bath shaker (37oC, 1 jam) selanjutnya
disentrifugasi (4500 rpm, 4oC, 10 menit). Supernatan dibuang dan pelet
diresuspensi dengan BPW (Oxoid) sebanyak 100 μL. Produk transformasi
ditumbuhkan dalam media TSA + ampisilin (35μg/ml) dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 1 malam.
Konfirmasi Mutan secara Fenotip pada Media TSAA
Keberhasilan prosestransformasi dapatdilihat dengan mengamati koloni
mutan di bawah sinar UV. Koloni yang berwarna hijau berfluoresen merupakan
bakteri yang telah mengandung plasmid GFPuv. Eskpresi GFPuv pada isolat C.
sakazakii bervariasi yaitu stabil, tidak stabil, dan tidak diekspresikan.
Ekspresi GFPuv dikatakan stabil jika semua koloni isolat menghasilkan
fluoresen atau pendaran hijau.
Ekspresi GFPuv dikatakan tidak stabil jika pendaran hijau yang dihasilkan
hanya pada sebagian koloni isolat
Isolat dikatakan tidak dapat mengekspresikan GFPuv jika pendaran hijau
tidak dihasilkan pada koloni isolat.
Isolat yang dapat mengekspresikan GFPuv dengan stabil disimpan pada
stok kultur pada media BHI (Oxoid) yang mengandung ampisilin ditambah
dengan gliserol danmanik-manik.
Konfirmasi Mutan secara Fenotip dengan Mikroskop Fluoresens
Konfirmasi fenotip dilakukan dengan mengamati sel mutanC.
sakazakiiyang terekspresi dengan stabil dibawah mikroskop fluoresen(Olympus
CH3O) pada gelombang 396 nm. Kultur mutanC. sakazakiidari media BHI
(Oxoid) yang mengandung ampisilin diteteskan diatas slide mikroskop. Slide
mikroskop yang telah mengandung sel bakteri difiksasi agar sel menempel pada
slide kemudian diamati dibawah mikroskop.
Deteksi gen GFP pada Sel Mutan yang Tidak Stabil dan Terekspresi dengan
PCR
Deteksi gen GFP dilakukan dengan amplifikasi gen GFP dengan PCR.
Keseluruhan genom diekstraksi dengan menggunakan Phenol-Chloroforom
17
(Gitapratiwiet al. 2012). Isolat ditumbuhkan pada media BHI (Oxoid) yang
mengandung ampisilin selama 24 jam. 2 mL kultur bakteri disentrifugasi (18000
rpm selama 3 menit). Pelet diresuspensi dengan 200 μL bufer TE, ditambah 50 μL
SDS 10 %, setelah suspensi homogen ditambah dengan 10 μL proitenase-K
kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam. Setelah diinkubasi suspensi
ditambah dengan 80 μL CTAB/NaCl (10 % CTAB dalam 0.7 M NaCl), kemudian
diinkubasi pada suhu 65 oC selama 20 menit. Campuran Phenol : chloroform :
isoamilalcohol (25:24:1) ditambahkan pada volume yang sama dengan suspensi
sebelumnya. Fase cairan (top layer) setelah disentrifugasi (13500 rpm, 10 menit)
dipindahkan ke tabung eppendorf dan ditambah dengan campuran kloroform :
isoamilalcohol (24:1) pada volume yang sama. Top layerdipindahkan kembali
pada eppendorf yang baru set
HUBUNGANNYA DENGAN STABILITAS DAN EKSPRESI GFPuv
YUSNITA WAHYUNI SILITONGA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Resistensi Cronobacter
sakazakiiterhadap Ampisilindan Hubungannya dengan Stabilitas dan
Ekspresi GFPuv adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Yusnita Wahyuni Silitonga
NIM F251130121
RINGKASAN
YUSNITA WAHYUNI SILITONGA.ResistensiCronobacter sakazakiiterhadap
Ampisilin dan Hubungannya dengan Stabilitas dan Ekspresi GFPuv. Dibimbing
oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI dan SITI NURJANAH.
Cronobacter sakazakii merupakan bakteri Gram negatif yang tergolong
sebagaiemerging patogen pada pangan. Bakteri ini juga termasuk bakteri patogen
oportunistik yang dapat menyebabkan septisimia, radang usus, radang otak
bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi. Penelusuran perilaku C.
sakazakiidalam bahan pangan sulit dilakukan jika menggunakan galur liar (wild
type) sehingga dilakukan pelabelan dengan menggunakan plasmid GFPuv.
Plasmid GFPuv dilengkapi dengan gen penyandi resisten ampisilin yang bertujuan
untuk mempermudah seleksi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
keberadaan gen tersebut menyebabkab C. sakazakii tidak dapat dilabeli dengan
pGFPuv, akan tetapi belum diketahui penyebabnya.Tujuan penelitian ini adalah
untuk
mengetahui
kemampuan
pelabelan
beberapa
isolatC.
sakazakiiolehpGFPuvdan untuk mengetahui hubungan antara resistensi C.
sakazakii terhadap ampisilin dengan keberhasilan konstruksi mutan berdasarkan
ekspresi GFPuv dan tingkat kestabilannya
Resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin dapat diketahui dengan
menumbuhkan bakteri tersebut pada media yang mengandung ampisilin.
Pelabelan Cronobacter sakazakiidengan pGFPuv dilakukan dengan metode
transformasi CaCl2. Keberhasilan pelabelan dikonfirmasi dengan melihat koloni
bakteri di bawah sinar UV dan mikroskop fluoresen, isolat yang berhasil dilabeli
oleh pGFPuv menghasilkan koloni berwarna hijau berfluoresen.Hasil pengujian
menunjukkan bahwa dari 12 isolat yang diuji terdapat 8 isolat (66.6 %) yang
sensitif terhadap ampisilin (FWHc3, FWHb6, FWHb15, YRw3, E2, E4, E6, dan
E9), 2 isolat (16.6 %) bersifat intermediat resisten (Desb10, E7) dan 2 isolat
(16.6 %) yang resisten terhadap ampisilin yaitu E1 dan FWHd1. Isolat yang
sensitif terhadap ampisilin dapat dilabeli oleh pGFPuv bahkan memiliki tingkat
kestabilan plasmid yang paling tinggi (E2). Isolat yang resisten terhadap ampisilin
tetap terlabel oleh pGFPuv, akan tetapi tidak stabil di dalam sel bahkan tidak
diekspresikan. Isolat yang tidak mengekspresikan GFPuv adalah isolat yang tinggi
tingkat resistennya yaitu E1 dan FWHd1.Karakterisasi resistensi isolat terhadap
antibiotik penanda pada plasmid penting dilakukan untuk menjamin keberhasilan
dan kestabilan proses pelabelan bakteri.
Kata kunci:Cronobacter sakazakii, GFPuv, Mutan,Resisten ampisilin,Stabilitas
SUMMARY
YUSNITA WAHYUNI SILITONGA.Ampicillin Resistance of Cronobacter
sakazakii and Its Correlation with the Stability and GFPuv Expression. Supervised
byRATIH DEWANTI-HARIYADI dan SITI NURJANAH.
Cronobacter sakazakiiis Gram-negative bacteria considered asan emerging
pathogen in foods. The bacteria are also categorized as opportunistic pathogens
which cause septicemia, necrotizing enterocolitis,meningitis and could induce
infant mortality.Tracking thewild type bacterium in foodstuff could be
difficultwhen using a wild strain (wild-type), therefore it need labeling technique
by using GFPuv plasmids. GFPuv plasmids are completed with ampicillin
resistant gene for easy selection. Previous studies indicated that ampicillin
resistant bacteria could not be made into GFPuv mutants, but the reasonwas
unknown. The objectives of this study were to investigate the performance of C.
sakazakii GFPuv mutants and to understand the correlation between ampicillin
resistance traits in the wild types with the success of GFPuv mutants construction
based on their stability and GFP expression
C. sakazakii ampicillin resistence was observed by growing the bacteria in
a containing ampicillin medium. pGFPuv mutants were obtained using
CaCl2transformation method and heat shock.The success of construction process
could be known from pGFPuv expression and thestability level of plasmid on
mutant cells.Of the 12 isolates studied, 8 isolates (66.6 %) were susceptible
((FWHc3, FWHb6, FWHb15, YRw3, E2, E4, E6, and E9),two (16.66%) had
intermediate resistance to ampicillin (Desb10, E7),and the other two (16.6%) were
ampicillinresistant (FWHd1, E1). The ampicillin sensitive C. sakazakiicould be
labeled with pGFPuv and their plasmid stability were most stable (E2). The
ampicillin resistant C. sakazakii isolates also could be labeled with pGFPuv but
the resulting mutantswere unstable in the cell and could not express the
GFPuv.The high resistance isolate could not express the GFPuv (E7 and FWHd1).
Characterization of isolate resistance on antibiotic marker of plasmid is required
to assure successfulness and stability of bacteria labelling process.
Keywords : Ampicillin resistance, Cronobacter sakazakii,GFPuv, Mutan,
Stabililty
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESISTENSI Cronobacter sakazakiiTERHADAPAMPISILIN DAN
HUBUNGANNYA DENGAN STABILITAS DAN EKSPRESI GFPuv
YUSNITA WAHYUNI SILITONGA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
Judul Tesis : Resistensi Cronobacter sakazakiiterhadap Ampisilin dan
Hubungannya dengan Stabilitas dan Ekspresi GFPuv
Nama
: Yusnita Wahyuni Silitonga
NIM
: F251130121
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Ketua
Dr Siti Nurjanah, STP, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 12 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014dengan
judul Resistensi Cronobacter sakazakiiterhadap Ampisilin dan Hubungannya
dengan Stabilitas dan Ekspresi GFPuv.
Terima kasih penulis ucapkan kepadaProf Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi,
MSc dan Dr Siti Nurjanah, STP MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberi arahan dan saranselama penulis melaksanakan penelitian hingga menjadi
suatu bentuk karya ilmiah. Terima kasih juga disampaikan kepada orangtua,
ayahanda Marahakim Silitonga dan ibunda Alm. Mastinar Rambe atas segala doa
dan kasih sayang yang tulus dan tak ternilai harganya kepada penulis. Ungkapan
terima kasih penulis sampaikan kepada suami tercinta, Muhammad Nizar
Hanafiah SP MP yang telah banyak memberi dukungan dan motivasi dalam
menyusun tulisan ini. Terima kasih kepada staf Laboratorium SEAFAST Center
IPB atas bantuan dan dukungannya, serta kepada Ditjen Dikti atas pemberian
beasiswa selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor.Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu selama
penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Yusnita Wahyuni Silitonga
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
2
2
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Cronobacter sakazakii
Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
Green Fluorescent Protein (GFP)
Aplikasi Green Fluorescent Protein (GFP)
Teknik Transformasi CaCl2
4
4
6
7
10
11
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Persiapan dan Konfirmasi Isolat
Uji Resistensi Cronobacter sakazakiiterhadap Ampisilin
PelabelanCronobacter sakazakiidengan GFPuv menggunakan metode
Transformasi CaCl215
Konfirmasi Mutan secara Fenotip pada Media TSAA
Konfirmasi Mutan secara Fenotip dengan Mikroskop Fluoresen16
Deteksi Gen GFP pada sel mutan yang tidak stabil dan terekspresi
Uji Stabilitas pGFPuv pada Sel Mutan
14
14
14
15
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
Pelabelan Cronobacter sakazakiidengan GFPuv
Hubungan Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
dengan Kestabilan dan Ekspresi GFPuv
Deteksi Gen GFP pada sel mutan yang tidak stabil dan terekspresi
dengan PCR
Kestabilan pGFPuv pada Sel MutanCronobacter sakazakii
18
18
19
23
24
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
25
25
25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
16
16
17
22
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Isolat bakteri yang digunakan pada penelitian
Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap ampisilin
Hasil transformasi mutan GFPuv pada sel C. sakazakii
Kestabilan plasmid GFPuv pada sel mutan Cronobacter sakazakii
14
18
20
24
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Diagram alir ruang lingkup penelitian
Cronobacter spp.
Struktur ampisilin
Struktur tiga dimensi GFP
Mekanisme biosintesis kromofor GFP
Struktur tiga dimensi GFPuv
Peta pGFPuv
Mekanisme transformasi CaCl2
Sel mutan C. sakazakii GFPuv (E2) dibawah mikroskop fluoresen
(1000x)
10 Eksperesi GFPuv pada sel mutan dibawah UV (A) stabil pada isolat E2,
(B)tidak stabil pada isolat Desb10, (C) tidak terekspresi pada isolat E1
11 Visualisasi DNA hasil amplifikasi gen GFP(A) Desb10(B) YRw3(C)
kontrol dengan DNA GFP,( D) 100 bp DNA ladder, (E) kontrol tanpa
DNA, (F) E9, (G) FWHd1, (H) E1
3
4
6
8
8
9
10
12
21
21
24
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Data Resistensi Cronobakter sakazakii terhadap ampisilin
Data kestabilan pGFPuv pada sel mutan
Pertumbuhan isolat (E1) pada TSAA dengan konsentrasi 10-30 μg/ml
Pertumbuhan isolat (E2) pada TSAA dengan konsentrasi 0-30 μg/ml
Kestabilan mutan FWHc3 pada tingkat pengenceran106, 107, 108
30
31
32
32
32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cronobacter sakazakii merupakan bakteriGram negatif, berbentuk batang
dan tidak menghasilkan spora. Bakteri ini berpotensi menginfeksi semua golongan
usia terutama pada bayi kelompok tertentu dan golongan dewasa yang memiliki
sistem kekebalan rendah. Selama rentang tahun 1959 sampai tahun 2002 diseluruh
dunia telah tercatat sekitar dua puluh lima peristiwa infeksi oleh bakteri C.
sakazakii yang melibatkan enam puluh bayi (Iversen dan Forsythe 2003). Dari dua
puluh lima peristiwa yang terjadi, delapan diantaranya dapat dikaitkan dengan
konsumsi susu formula. Selain pada susu formula bayi, Friedemann (2007)juga
menemukan C. sakazakii pada potongan buah segar seperti semangka, melon, apel,
tomat, produk kacang-kacangan, rempah-rempah dan dari sumber bahan pangan
hewani seperti susu, daging, ikan dan produk olahannya. OutbreakC. sakazakii
belum pernah dilaporkan di Indonesia, akan tetapi bakteri ini telah berhasil
diisolasi dari beberapa bahan pangan kering seperti susu formula (Estuningsih et
al. 2006), makanan pendamping ASI (Meutia et al. 2008), gula halus, coklat
bubuk, rempah kering (Gitapratiwi et al. 2012), tapioka dan maizena (Hamdani
2012).
C. sakazakii tergolong sebagaiemerging patogen pada pangan yang perlu
diwaspadai karena dapat mengakibatkan penyakit melalui makanan (DewantiHariyadi et al. 2010). Bakteri ini juga termasuk bakteri patogen oportunistik yang
dapat menyebabkan septisimia, radang usus (necrotizing enterocolis), radang otak
(meningitis) bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi. Sejalan dengan
adanya cemaran C. sakazakii pada susu formula menyebabkan pemerintah
Indonesia pada tahun 2009 mulai memberlakukan SNI 7388-2009 yang
menetapkan bahwa cemaran Cronobacter spp. harus negatif pada susu
formula.Codex mensyaratkan untuk tiap lot produksi dilakukan pengujian
sebanyak 30 sampel masing-masing 10 g dan tidak boleh ada satu sampel pun
yang terdeteksi mengandung Cronobacter sakazakii (WHOFAO 2004). Informasi
mengenai perilaku C. sakazakii dalam bahan pangan sangat dibutuhkan karena
dapat dijadikan sebagai acuan pengendalian bakteri tersebut dalam rangka
keamanan pangan.
Penelusuran perilaku bakteridalam bahan pangan sulit dilakukan jika
menggunakan galur liar (wild type). Hal tersebut karena sangat sulit untuk
membedakan antara bakteri target dan bakteri yang secara alami terdapat
padaproduk pangan dengan spesies yang sama. Ma et al. (2011) menyatakan
bahwa teknik pelabelan dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengetahui
perilaku bakteri tanpa menekan pertumbuhan mikroorganisme lain. Salah satu
teknik pelabelan yang dapat diaplikasikan adalah dengan menggunakan Green
Fluorescent Protein (GFP).
GFP memiliki beberapa variasi, salah satunya adalah GFPuv yang
mempunyai intensitas flouresen 45 kali lipat melalui proses penyusunan DNA
(Crameri et al. 1996). GFPuv telah disisipkan pada plasmid yang dilengkapi
dengan gen penyandi resisten ampisilin yang bertujuan untuk mempermudah
seleksi (Clontech 2012). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri
2
yang resisten ampisilin tidak berhasil dikonstruksikan menjadi mutan pGFPuv.
Ma et al. (2011) melaporkan bahwa plasmid GFPuv dapat dikonstruksikan pada
Listeria sp., Salmonella sp. dan Escherichia coli, akan tetapi dari beberapa strain
bakteri tersebut ada yang tidak dikonstruksikan yaitu strain yang resisten
ampisilin karena peneliti menyatakan bahwa bakteri yang resisten ampisilin tidak
berhasil dilabeli oleh pGFPuv.Nurjanah et al. (2014) melaporkan bahwa pGFPuv
dapat disisipkan pada C. sakazakii. Dari 5 isolat lokal yang dikonstruksikan
terdapat 1 isolat yang tidak dapat dilabel yaitu isolat yang memiliki sifat resisten
terhadap ampisilin, sehingga peneliti menduga bahwa ada hubungan sifat
resistensi terhadap ampisilin dengan keberhasilan mutasi.
Perumusan Masalah
Green Fluorescent Protein (GFP) merupakan protein yang dapat
digunakan sebagai pelabelan bakteri, akan tetapi pada penelitian Nurjanahet al.
(2014) menunjukkan bahwa beberapa strain isolatC. sakazakiikhususnya yang
resisten terhadap ampisilin tidak berhasil dilabeli oleh pGFPuv, sehingga
dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab isolat tersebut
tidak berhasil dilabeli olehpGFPuv.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui tingkat resistensi beberapa isolat C. sakazakiiterhadap
ampisilin.
2. Mengetahui kemampuan pelabelan beberapa isolat C. sakazakii oleh
pGFPuv.
3. Mengetahui tingkat kestabilandan ekspresi GFPuv pada sel mutanC.
sakazakii
4. Mengetahui pengaruh resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin dengan
kestabilan dan ekspresi GFPuv pada sel mutan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberi informasi kepada peneliti selanjutnya tentang
pentingnya melakukan atau mengetahui karakterisasi resistensi isolat terhadap
antibiotik penanda plasmid (dalam hal ini ampisilin) sebagai acuan untuk
pemilihan isolat. Informasi tersebut sangat dibutuhkan karena plasmid GFPuv
yang menyandi gen resisten ampisilin tidak stabil dan tidak terekspresi jika
dikonstruksikan pada isolat yang resisten terhadap ampisilin.
3
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi 3 tahapan yaitu tahap uji resistensi C. sakazakii
terhadap ampisilin yang diawali dengan preparasi dan konfirmasi isolat C.
sakazakii. Tahap ke-2 adalah konstruksi mutan pGFPuv dengan metode
transformasi CaCl2. Tahapan ini meliputi konfirmasi mutan secara fenotip.
Konfirmasi fenotip dilakukan dengan mengamati ekspresi GFPuv pada koloni
mutan di bawah lampu UV dan mengamati sel mutan dengan mikroskop fluoresen.
Isolat yang tidak stabil dan tidak terekspresi dilanjutkan dengan deteksi gen GFP
pada sel mutan dengan menggunakan polimer chain reaction(PCR). Isolat yang
stabil dilanjutkan dengan uji kestabilan untuk melihat isolat yang paling tinggi
tingkat kestabilannya. Uji kestabilan dilakukan dengan menumbuhkan isolat
mutan GFPuv pada media BHI tanpa ampisilin beberapa hari. Kestabilan dapat
dilihat dengan membandingkan sel yang berfluoresen dengan total koloni yang
tumbuh pada media TSA (Gambar 1)
Persiapan dan konfirmasi isolat Cronobacter sakazakii
Uji Resistensi C. sakazakii terhadap Ampisilin
Konstruksi Mutan pGFPuv (Transformasi)
Konfirmasi Fenotip
Stabil
Tidak stabil dan Tidak
Terekspresi
Uji Kestabilan Mutan
pGFPuv
Konfirmasi Genotip
(PCR)
Gambar 1 Diagram alir ruang lingkup penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Cronobacter sakazakii
Cronobacter sakazakii merupakan bakteri Gram negatif,berbentuk batang,
motil, tidak menghasilkan spora dan bersifat fakultatif anaerob (Iversen dan
Forsythe 2003). Dari laporan Gurtleret al. (2005) semua isolat C. sakazakiiyang
diisolasi dari susu formula di Kanada menunjukkan suhu pertumbuhan minimum
5.5oC–8oC dan optimum 25oC–45oC tetapi tidak tumbuh pada 4oC dan 50oC. Pada
awalnya, bakteri C. sakazakii hanya dikenal sebagai Enterobacter cloacae yang
memiliki pigmen kuning (Yellow pigmented Enterobacter cloacae). Tahun 1980
bakteri ini dipisahkan dari kelompok tersebut berdasarkan genetik penyusunnya,
perbedaananalisis hibridasi DNA, reaksi biokimia,dan uji kepekaannya terhadap
antibiotika. Bakteri ini selanjutnya dikukuhkan dalam genus Enterobacter sebagai
suatu spesies baru yang diberi nama Enterobacter sakazakii untuk menghargai
seorang bakteriolog Jepangbernama Riichi Sakazakii (Gurtler et al. 2005).
Gambar 2Cronobacter spp. (Kunkel 2009)
Pada tahun 2007 beberapa peneliti memutakhirkan kriteria taxonomidari E.
sakazakii dengan menggunakan cara lebih canggih, yaitu dengan f-AFLP,
automated ribotyping, full length 16S rRNA gene sequencing danDNA
hybridization. Hasil identifikasi E. sakazakii dengan metode 16S rRNA bahwa
sequens DNA E. sakazakii 97.8 % mirip Cirobacter roseri dan 97.0 % mirip
dengan E. Cloacae (Gutler et al. 2005). Iversen et al. (2008) menyatakan bahwa E.
sakazakiilebih cocok diklasifikasikan dengan genus baru yaitu Cronobacter yang
terdiri dari 6 spesies (C. sakazakii, C.malonaticus, C. turicensis, C. muytjensii,
dan C. dublinensis). C. sakazakiidapat tumbuh pada medium yang digunakan
untuk menumbuhkan bakteri enteric seperti eosin metylen blue (EMB). C.
sakazakiijuga dapat tumbuh pada media tryptone soy agar (TSA) yang
membentuk koloni dengan diameter 1.5-3 mm setelah diinkubasi selama 1 hari.
Dalam media cair seperti BHI C. sakazakiimampu memproduksi banyak sedimen
yang mirip dengan gumpalan sel (Nazarowec et al. 2003).
Cronobactersakazakii merupakan patogen oportunistik yang dapat
menyebabkan septisimia, radang usus (necrotizing enterocolis), radang otak
(meningitis), bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi. Bayi yang berisiko
tinggi terinfeksi olehCronobacter adalah bayi yang berumur kurang dari 28 hari,
memiliki berat badan rendah (< 2 kg), bayi yang memiliki sistem imun yang
5
rendah, lahir prematur, dan terlahir dari ibu yang mengidap penyakit AIDS (WHO
FAO 2004). Selain pada bayi infeksi Cronobacterjuga dapat terjadi pada anakanak, kelompok lanjut usia, dan orang dewasa yang memiliki daya tahan tubuh
rendah (Gurtler et al. 2005). The Internatioanal Commission for Microbiological
Specifications for Foods (ICMSF 2002) menempatkan C. sakazakii sebagai
cemaran dengan tingkat bahaya parah, menyerang populasi terbatas, mengancam
kehidupan atau menyebabkan dampak kronis lanjutan, dan mempengaruhi hidup
dalam jangka waktu lama.
C. sakazakii dapat menghasilkan toksin pada selnya (Nurjanah et al. 2013).
Kemampuannya dalam memproduksi toksin mempunyai aktivitas merusak sel.
Toksin dihasilkan setelah bakteri diinkubasi selama 6 jam dan jumlah maksimum
toksin dihasilkan setelah 12 jam, toksin yang dihasilkan bakteri tersebut
berukuran 66 kDa (Raghav dan Aggarwal 2007). Toksin C. Sakazakiidapat
merusak sel Vero sehingga morfologi sel Vero tersebut berubah.Mangeet
al.(2006) menyebutkan bahwa patogenisitas dari C. sakazakii meliputi kesuksesan
dalam kolonisasi, penempelan pada permukaan sel inang seperti membran
mukosa, lambung, epitelial usus, dan jaringan endotelial pada otak. Penelitian
Nurjanah et al. (2013) menunjukkan bahwa 20 sampel C. sakazakii yang diuji,
ditemukan hanya 65% yang positif dikonfirmasi sebagai toksik yang
menunjukkan bahwa tidak semua strain dari C. sakazakiibersifat toksik.
Cronobacter sakazakiibukan merupakan flora normal pada saluran
pencernaan hewan dan manusia. Sumber bakteri ini diduga berasal dari tanah, air,
bahkan sumber bahan pangan (Iversen dan Forsythe 2003). Beberapa laporan
menyatakan bahwa infeksi yang terkait C. sakazakii terjadi dari susu formula
bubuk. Kontaminasi bakteri tersebut dapat terjadi selama pemerahan (milking),
penanganan (handling), penyimpanan (storage), dan aktivitas pra-pengolahan
lainnya. Pada tahun 2002, Center for Disease Control and Prevention(CDC)
melaporkan kasus keracunan pangan disebabkan oleh C. sakazakii. Berdasarkan
hasil investigasi C. sakazakii berasal dari susu formula bubuk kaleng yang belum
dibuka. Beberapa peneliti juga berhasil mengisolasi C. sakazakiidari berbagai
lingkungan dan peralatan pengolahan pangan (Iversen dan Forsythe 2003). C.
sakazakii dapat menghasilkan ekstrapolisakarida yang dapat meningkatkan
kemampuan bakteri tersebut menempel pada permukaan peralatan sehingga
membentuk lapisan biofilm. Peralatan yang digunakan untuk menyiapkan susu
formula bayi seharusnya dibersihkan sesering mungkin untuk meminimalkan
biofilm sebagai sumber infeksi.
Selain dari susu formula C. sakazakii dapat juga diisolasi dari sumber bahan
pangan lain seperti roti yang difermentasi, keju, daging giling, sosis, bubuk
rempah-rempah, kacang (Gassemet al. 1999; Iversen dan Forsythe 2004). Bakteri
tersebut juga dapat diisolasi dari biji padi (Cottyn et al. 2001), makanan
pendamping ASI (Meutia et al. 2008), gula halus, coklat bubuk, rempah kering
(Gitapratiwi et al. 2012), tapioka dan maizena (Hamdani 2012). Dari beberapa
hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa C. Sakazakiitidak hanya
tumbuh pada bahan pangan yang memiliki kadar air dan aw yang tinggi tetapi
juga masih ditemukan pada bahan pangan memiliki kadar air dan aw yang rendah
seperti tepung, coklat bubuk, dan bubuk rempah-rempah.
Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
6
Ampisilin merupakan asam organik yang berbentuk anhidrat dan trihidrat
yang memiliki rumus molekul C16H19N3O4S.3H2O. Ditinjau dari struktur
kimianya ampisilin termasuk dalam golongan penisilin yang bekerja pada dinding
sel bakteri. Ampisilin terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti
siklik terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam, sedangkan rantai
sampingnya merupakan gugus amina bebas yang mengikat satu atom H. Adanya
gugus amina pada rantai samping yang bersifat basa menyebabkan ampisilin tahan
terhadap asam lambung. Gugus amina ini akan menangkap H+ yang terdapat pada
lambung sehingga gugus amina bermuatan positif yang meningkatkan sifat
hidrofilik dari ampisilin, akibatnya akan mengurangi jumlah absorbsi ampisilin
dilambung (Baraldi et al. 2014).
Gambar 3 Struktur ampisilin (Baraldi et al. 2014).
Ampisilin merupakan kelompok antibiotik β–laktam yang memiliki
spektrum antimikroba yang luas. Ampisilin efektif terhadap mikroba Gram positif
dan Gram negatif. Ampisilin banyak digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi
saluran pernapasan, saluran cerna dan saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri,
tetapi banyak laporan yang menyatakan bahwa beberapa bakteri tersebut telah
resisten terhadap ampisilin (Fraqueza 2015). Resistensi bakteri terhadap ampisilin
merupakan suatu hal yang alamiah. Namun penggunaan ampisilin yang terus
menerus tanpa memperhatikan dosis akan meningkatkan perkembangan resistensi
bakteri yang semula sensitif (Lee et al.2012). Bakteri membentuk mekanisme
pertahanan diri untuk tetap bertahan hidup. Bakteri yang resisten ampisilin adalah
bakteri yang tidak dapat terkontrol atau dihambat dengan ampisilin.
Menurut Fraqueza (2015) resistensi bakteri terhadap ampisilin terjadi
karena tiga faktor yaitu faktor genetik, non genetik dan silang. Resistensi genetik
disebabkan oleh ekspresi gen, yaitu gen pengkode enzim betalaktamase yang
berlokasi pada kromosom bakteri (Kuzina 2001). Enzim ini mampu
menginaktivasi cincin betalaktam ampisilin dengan cara menghidrolisis cincin
batalaktam tersebut. Resistensi genetik juga dapat terjadi karenaperubahan genetik
atau mutasi spontan. Perubahan genetik tersebut dapat terjadi karena perpindahan
materi genetik dari satu spesies bakteri kepada spesies bakteri lain melalui
mekanisme tertentu misalnya perpindahan plasmid (Ashet al. 2002). Resistensi
non genetik terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak sesuai aturan yang
menyebabkan tidak seluruh bakteri dapat terbunuh. Beberapa bakteri yang masih
bertahan hidup kemungkinan akan mengalami resistensi saat menggunakan
antibiotik yang sama. Resistensi silang merupakan resistensi bakteri terhadap
suatu antibiotik yang memiliki struktur antibiotik yang hampir sama. Suatu
populasi bakteri yang resisten terhadap suatu antibiotik tertentu dapat pula resisten
7
terhadap antibiotik yang lain yang memiliki struktur antibiotik dan mekanisme
kerja antibiotik yang hampir sama (Fraqueza 2015).
Resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin telah banyak dilaporkan. Hasil
penelitian Arseni et al. (1987) menunjukkan bahwa beberapa strain E. sakazakii
yang diisolasi dari dubur pasien yang terinfeksi bakteri tersebut resisten terhadap
ampisilin. Hasil penelitian Kuzina (2001) menunjukkan bahwa ada beberapa
strain C. sakazakii yang diisolasi dari usus serangga buah Anastrepha ludens
resisten terhadap ampisilin pada konsentrasi 2 µg/mL. Sifat resistensi C. sakazakii
terhadap ampisislin tidak hanya ditemukan pada C. sakazakii yang berasal dari
usus hewan atau manusia, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
beberapa strain C. sakazakii yang diisolasi dari berbagai produk pangan juga
resisten terhadap ampisilin (Li et al. 2014; Kim et al. 2008). Di Indonesia juga
telah ada laporan yang menyatakan bahwa beberapa strain C. sakazakii yang
berasal dari susu formula bayi resisten terhadap ampisilin pada konsentrasi 10
µg/mL (Noor dan Poelongan 2008).
Green Fluorescent Protein (GFP)
Green Fluorescent Protein (GFP) merupakan produk samping yang
ditemukan pertama kali pada Aequorea victoria oleh Osamu Shimomura pada
tahun 1961, yang menyebabkan jenis ubur-ubur ini mampu memancarkan cahaya
hijau (Shimomura 2008). Pada mulanya penelitian ini dilakukan untuk
mengekstrak luciferin dari Cypridinahilgendorfii dan mengkristalkannya.
Kemudian dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai struktur kimia luciferin dan
mekanismenya dalam reaksi luminescene. Beberapa tahun kemudian, Shimomura
mendapat penawaran penelitian untuk meneliti bioluminescence namun dari
sumber lain yakni ubur-ubur (Aequorea victoria).Penelitian ini mengalami
kesulitan dalam mengekstrak komponen bioluminescene, melalui beberapa uji
coba proses purifikasi, aequorin berhasil diekstraksi. Pada saat yang sama protein
lain dengan warna hijau terang juga ditemukan dan ikut dipurifikasi bersama
aequorin. Protein hijau ini yang dikenal sebagai GFP (Shimomura 2008).
Ada dua komponen protein yang terlibat pada sistem bioluminesens
Aequorea victoria yaitu aequorin dan GFP (Kendall danBadminto 1998).
Aequorin merupakan protein dengan berat molekul sekitar 20.000 dan
memancarkan cahaya biru bila bereaksi dengan Ca2+, meskipun dalam keadaan
tanpa oksigen. Protein aequorin yang berikatan dengan coelenteramide berfungsi
sebagai donor energi (blue light) kepada GFP yang akan mengekspresikannya
sebagai cahaya berpendar hijau. GFP terdiri dari 238 asam amino yang
membentuk barrel dengan berat molekul sekitar 27 Kilo Dalton. Barrel tersebut
terdiri dari 11 antiparalel β-strands yang diuntai oleh α-heliks yang memanjang
pada sumbu silinder (Gambar 4).
8
Gambar 4 Struktur tiga dimensi GFP (Brejc et al. 1997)
Di dalam protein ini ada gugus yang disebut kromofor yang berperan sangat
penting dalam proses perpendaran hijau. Kromofor merupakan kelompok tiga
residu asam amino di posisi 65 (Serin), 66 (Tirosin), dan 67 (Glisin). Kromofor
tertempel pada α-heliks dan tersimpan dalam pada pusat geometrik molekul, yang
disebut dengan β-can (Tsien 1998). Panjang gelombang cahaya yang diserap dan
dipancarkan oleh kromofor bergantung pada karakteristik kimia dan penambahan
residu lain pada kromofor yang akan berpengaruh besar pada jenis fluoresens.
Ketika dikenai energi cahaya biru atau UV maka pada gugus ini akan terjadi
reaksi oksidasi. Energi yang diserap membuat elektron-elektron di dalam gugus
ini tereksitasi dan menghasilkan energi yang lebih rendah yang secara otomatis
akan mampu memancarkan cahaya hijau (Shimomura 2008).
Pembentukan kromofor fluoresen secara utuh terjadi secara bertahap.
Tahap pertama yaitu GFP melakukan pelipatan. Pada tahap kedua, cincin
imidazole dibentuk melalui siklikasi residu Serin-65 dan Glisin-67 yang diikuti
dengan dehidrasi. Tahap terakhir yaitu molekul oksigen mengoksidasi senyawa
antara siklisasi pada residu Tirosin-66 untuk memebentuk struktur kromofor
fluoresens phydroxybenzylideneimidazolinone. Mekanisme biosintesis kromofor
GFP dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Mekanisme biosintesis kromofor GFP (Tsien 1998).
9
Setiap tahap dari pembentukan kromofor bersifat autokatalitik atau
menggunakan faktor yang bersifat ada dimana-mana sehingga ekspresi fluoresen
GFP memiliki spektrum yang luas untuk berbagai organisme (Chalfie dan Kain
2006). Bahan yang dibutuhkan GFP untuk mengemisikan cahaya tidak tergantung
substrat atau kofaktor, protein ini dengan cepat menjadi pilihan yang populer
untuk memonitor pengaturan secara luas dari proses biologi, mulai dari ekpresi
gen sampai ke pengaturan organel. Analisis mutasi GFP terutama pada bidang
fluorofor telah menghasilkan sebuah keragaman isoform GFP dengan
karakteristik yang berbeda dari protein asli salah satunya adalah GFPuv (Tsien
1998).
GFPuv mengalami mutasi titik di tiga kodon asam amino pada sekuens
DNA GFP asli yaitu Phenilalanin-99 menjadi Serin, Metionin-153 menjadi
Threonin, dan Valin-163 menjadi Alanin, namun perubahan struktur tersebut tidak
merubah sekuens kromofor akan tetapi pada GFPuv terdapat jarak yang cukup
renggang antara β-strand ketujuh dan kedelapan yang terbentuk selama pelipatan
β-barrel seperti terlihat pada gambar 6 (Crameri et al. 1996; Tansila et al. 2007).
Seperti halnya GFP, GFPuv memiliki eksitasi maksimum pada panjang
gelombang 395 nm dan emisi maksimum pada 509 nm.
Gambar 6 Struktur tiga dimensi GFPuv (Tansila et al. 2007)
Kelebihan GFPuv dibandingkan dengan GFP adalah intensitas pendaran
yang lebih tinggi ketika tereksitasi oleh sinar ultraviolet (UV) pada panjang
gelombang 395 nm. GFPuv mempunyai intensitas fluoresen 45 kali lipat
dibanding GFP. Perubahan intensitas fluoresen dapat terjadi karena protonasi dan
deprotonasi residu yang berada di sekitar kromofor (Kneen et al. 1998). Oleh
sebab itu, GFPuv cocok untuk digunakan dalam berbagai aplikasi intraseluler,
seperti penanda kuantitatif dari ekspresi gen. GFPuv bersifat resisten terhadap
perubahan pH. Denaturasi secara lengkap hanya terjadi pada pH ekstrim (1.0 dan
4.0). Ketahanannya terhadap perubahan pH paling utama disebabkan oleh struktur
kromofor GFPuv yang terlindungi (Chin et al. 2003).
Dalam rekayasa genetik plasmid sering sering digunakan sebagai vektor
untuk membawa gen-gen tertentu yang diinginkan ke dalam suatu sel inang.
Plasmid sering digunakan sebagai vektor karena plasmid memiliki tiga region
yang sangat berperan penting dalam klon DNA. Tiga region tersebut adalah
region yang mampu yang mampu disisipi oleh fragmen DNA dari luar,
10
markeryang memungkinkan adanya seleksi biasanya gen yang resisten terhadap
antibiotik, dan origin of replication (ori) sehingga mampu mereplikasikan diri
tanpa pengaturan DNA kromosom (Clontech 2012). Plasmid dapat melakukan
replikasi dan membagi diri menjadi dua bersamaan dengan sel inang ketika
membelah. Pembelahan antara inang dengan plasmid sering juga terjadi tidak
bersamaan sehingga plasmid hilang atau tidak ditemukan pada keturunan
berikutnya (Ma et al. 2011)
Sebagaimana gen lain GFPuv juga dapat disisipkan pada plasmid.
Penyisipan GFPuv pada plasmid telah dilakukan oleh Clontech (2012). Sekuens
penyandi gen ini berada pada daerah Multiple Cloning Site (5’MCS- 3’MCS),
dengan kodon inisiasi lacZ sehingga protein gabungan β-galactosidase-GFPuv
dapat diekpresikan dari lac-promotersecara konstitutif (Gambar 7). Plasmid ini
juga mempunyai titik ori (Origin of Replication), sehingga dapat melakukan
replikasi secara mandiri tanpa pengaturan dari DNA kromosom. Selain itu,
mengandung gen resisten ampisilin (Ampr), yang menyandikan protein βlactamase yang dapat mendegradasi antibiotik ampisilin sehingga memiliki sifat
resisten terhadap ampisilin, jadi bakteri yang tidak berhasil disisipi oleh plasmid
akan mati dengan sendirinya (Sambrook dan Russel 2001).
Gambar 7 Peta pGFPuv 3.3 kb (Clontech 2012)
Aplikasi Green Fluorescent Protein (GFP)
Aplikasi GFP telah banyak dilakukan pada virus maupun sel prokariot dan
eukariot. Pada virus GFP diaplikasikan untuk mengetahui bagaimana pola
interaksi antara virus dengan inangnya. Aplikasi GFP pada bakteri kebanyakan
bertujuan sebagai pelabelan sehingga penelusuran perilaku bakteri dilingkungan
mudah dipelajari. Sedangkan pada sel hewan GFP sering digunakan untuk
mengetahui ekspresi protein tertentu dan pertumbuhan sel diluar kendali seperti
sel kanker.
11
Theodore et al. (2005) melaporkan bahwa GFP dapat diaplikasikan pada
virus West Nile virus (WNV) yang menyebabkan penyakit encephalitis pada
hewan dan manusia melalui nyamuk. Virus yang telah mengandung GFP di
infeksikan pada sel mamalia secara invitro. Pertumbuhan virus WNV diasumsikan
sama dengan peningkatan jumlah GFP pada sel.GFP juga dapat diekspresikan
pada virus mosaik untuk mengetahui bagaimana interaksi virus dengan gandum.
Dengan memasukkan virus mosaik yang mengekspresikan GFP maka tempat
penyebaran virus dapat terpantau dengan cara membawa tanaman ini keruangan
gelap dan menyinarinya dengan lampu UV secara periodik (Tatineni et al. 2011).
Hasi penelitian tersebut menunjukkan bahwa virus mosaik dapat menginfeksi
semua bagian dari tanaman tembakau.
GFP sering diaplikasikan pada bakteri yang bertujuan sebagai penanda
agar mudah membedakan dengan bakteri lain. Dengan adanya penanda tersebut
maka mempermudah mempelajari perilaku bakteri target pada lingkungan. Ma et
al. (2011) telah melaporkan bahwa GFP dapat diaplikasikan pada beberapa bakteri
yaitu Salmonella Enteriditis, S. Newport, E. coli dan Listeria monocytogenes.
Tujuan dari pelabelan tersebut adalah untuk mengetahui kestabilan GFP sampai
50 generasi. Nurjanah et al. (2014) telah mengaplikasikan GFP yaitu GFPuv pada
beberapa isolat Cronobakter sakazakii untuk pelabelan. Pelabelan tersebut
bertujuan mempermudah penelusuran bakteri C. sakazakii pada bahan pangan
tanpa harus menekan pertumbuhan mikroorganisme lain. Kestabilan plasmid
merupakan salah satusyaratdalam pelabelan sel bakteri. Informasi kestabilan
plasmid sangat diperlukan ketika mutan diaplikasikan pada proses tertentu.
Kestabilan plasmid di dalam mutan dievaluasi dengan cara menghitung
perbandingan populasi mutan dan total koloni bakteri yang tumbuh.
Teknik Transformasi CaCl2
Aplikasi GFP pada bakteri dapat dilakukan dengan metode
CaCL2.Transformasi dengan metode CaCl2 sering digunakan pada sel bakteri
karenalebih mudah dan efektif. Dikatakan mudah dan efektif karena tidak
membutuhkan alat khusus akan tetapi peluang masuknya DNA donor cukup tinggi
(Ma et al. 2011). Pada populasi bakteri, hanya sel yang kompeten saja yang yang
dapat mengambil DNA dari lingkungan. Kultur yang digunakan untuk sel
kompeten adalah kultur pada kondisi pertumbuhan awal fase logaritmik karena
pada fase ini kultur memiliki kompetensi yang paling baik. Sel bakteri pada fase
tersebut mengalami pertumbuhan yang optimal dan aktif membelah sehingga
memudahkan introduksi DNA asing.Pada fase ini elastisitas membran bakteri
cukup tinggi sedangkan jika telah mencapai fase stasioner bakteri akan
membentuk membran sel yang kaku.
Sambrook dan Russel (2001) menyatakan bahwa salah satu cara untuk
membentuk sel kompeten adalah dengan menggunakan larutan CaCl2. Membran
sel akan bersifat permeabel terhadap ion klorida, tetapi nonpermeabel terhadap ion
kalsium. Ketika ion klorida memasuki sel inang, molekul air ikut masuk sehingga
sel akan membengkak dan memerlukan DNA dari lingkungan. Ion-ion Ca2+ yang
bersifat positif dapat berikatan dengan membran fosfolipid sehingga molekul
DNA yang bermuatan negatif dapat menempel dan mempermudah integritas DNA
12
ke dalam sel.Metode CaCl2 dibantu oleh perlakuan kejut panas (heat shock) pada
suhu 42oC selama 60 detik agar membuka pori pada membran sel. Terbukanya
pori membran sel menyebabkan DNA rekombinan bisa masuk dengan mudah ke
dalam sel (Gambar 8).
Gambar 8 Mekanisme transformasi CaCl2 (NextGen Sciences 2005)
Proses transformasi CaCl2 tidak selalu berhasil atau sering mengalami
kegagalan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan dalam proses
transformasiCaCl2. Kegagalan tersebut dapat terjadi pada kondisi ataupun karakter
inang yang digunakan dan kegagalan bisa juga terjadi karena kesalahan prosedur
dalam proses transformasi.
Kultur yang dipanen pada awal fase logaritmik memiliki kompetensi yang
paling baik. Sel bakteri pada fase tersebut mengalami pertumbuhan yang optimal
dan aktif membelah sehingga memudahkan introduksi DNA asing.Pada fase ini
elastisitas membran bakteri cukup tinggi. Bakteri yang sudah mencapai
pertumbuhan fase stasioner akan membentuk membran sel yang tidak elastis atau
kaku sehingga pori membran akan lebih susah terbuka pada saat tahap heatshock(Sambrook dan Russell 2001).
Langkah penting dalam proses transformasi adalah preparasi sel
kompetendengan metode CaCl2. Cl permeable terhadap membran sel yang
menyebabkan sel bakteri membengkak dan membentuk pori pada membran. Ionion Ca2+ yang bersifat positif dapat berikatan dengan membran fosfolipid
sehingga molekul DNA yang bermuatan negatif dapat menempel dan
mempermudah integritas DNA ke dalam sel. Perbandingan konsentrasi antara
jumlah CaCl2 dengan kultur yang digunakan sangat mempengaruhi keberhasilan
dari proses transformasi. Konsentrasi CaCl2 yang terlalu tinggi menyebabkan lisis
atau pecahnya sel bakteri (Brown 2006).
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi keberhasilan transformasi adalah
tahapheat shock, yaitu dengan melakukan perubahan suhu yang cukup tinggi.
Kejutan panas dapat membantu DNA dalam melewati dinding sel bakteri. Ketika
sel bakteri dipanaskan, serangkaian gen diekspresikan yang mengakibatkan
13
bakteri dapat bertahan pada suhu tersebut. Serangkaian gen ini disebut dengan
heat-shock genes. Suhu yang optimal untuk heat shock adalah 420C, jika melebihi
suhu tersebut maka akan terjadi kerusakan dari sel kompeten. Pada suhu di bawah
42oC, kemampuan bakteri untuk mengambil plasmid atau DNA eksogenus lebih
rendah, sedangkan pada suhu ekstrim bakteri akan mati (Li et al. 2010). Menurut
Sambrook dan Russel (2001) setelah tahap heat-shock, medium SOC ditambahkan
sebagai media recovery dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam. Kemudian
disebar pada agar cawan yang mengandung antibiotik dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 1 malam.
Selain faktor diatas perbandingan jumlah sel kompeten dan jumlah DNA
atau plasmid yang digunakan sangat mempengaruhi keberhasilan transformasi.
Efisiensi transformasi CaCl2 berkisar antara 105 - 106sel/mL atau absorbansi
OD600 0.4 transforman/μg DNA dan dapat ditingkatkan hingga mencapai efisiensi
108 transforman/μg DNA tergantung kombinasi bahan-bahan kimia yang
digunakan dan perlakuan secara fisik pada sel (Sambrook dan Russel 2001).
Pada proses transformasi, plasmid yang digunakan adalah plasmid yang
dilengkapi dengan gen penyandi resisten antibiotik yang bertujuan untuk
mempermudah seleksi. Beberapa hasil penelitin menunjukkan bahwa keberadaan
gen penyandi resisten antibiotik menyebabkan bakteri yang resisten terhadap
antibiotik tersebut tidak berhasil ditransformasikan. Ma et al, (2011) melaporkan
bahwa plasmid GFPuv dapat dikonstruksikan pada Listeria, Salmonella dan
Escherichia coli, akan tetapi dari beberapa strain bakteri tersebut ada yang tidak
dikonstruksikan yaitu strain yang resisten ampisilin karena peneliti menyatakan
bahwa bakteri yang resisten ampisilin tidak berhasil dilabeli oleh
pGFPuv.Nurjanah et al, (2014) melaporkan bahwa pGFPuv dapat disisipkan pada
C. sakazakii. Dari 5 isolat lokal yang dikonstruksikan terdapat 1 isolat yang tidak
terlabeli yaitu isolat yang memiliki sifat resisten terhadap ampisilin.Hasil
penelitian Zhang et al. (2013) juga menunjukkan bahwa E.coli yang resisten
terhadap antibiotik higromisin tidak berhasil ditransformasikan dengan pBChygro-GFP yang menyandi gen resisten higromisin. Deteksi molekuler
menunjukkan bahwa gen GFP masih teramplifikasi pada PCR. Plasmid BChygro-GFP tetap terlabel pada sel E.colihanya saja gen tersebut tidak terekspresi.
14
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai dengan April
2015 di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Southeast Asian Foodand
Agricultural Science and Technology(SEAFAST) Center Institut Pertanian Bogor
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 12 isolat Cronobacter
sakazakii (Tabel 1) yang diperoleh dari koleksi kultur SEAFAST Center Institut
Pertanian Bogor yang di isolasi dari beberapa bahan pangan. Media dan bahan
lain yang digunakan adalah plasmid GFPuv (Clontech USA), Luria Bertani (LB)
(Difco, Sparks,USA).Brain Heart Infusion (BHI) Druggan-Forsythe-Iversen(DFI),
Buffer Water Phosphat (BPW),Tryptic Soy Agar (TSA) (Oxoid, Hampshire,
UK).Tryptic Soy Agar + Ampisilin (TSAA), larutanTransformation(TF)yang
mengandung 10 mM Tris.HCL, 100 mM CaCl2, Super optimal broth with
catabolite repression (SOC) dengan komposisi 20 g/L LB (Difco), 3.6 g/L
glukosa dan 0.95 g/L MgCl2, membran filter 0,22 μm. Beberapa bahan yang
digunakan untuk isolasi DNA antara lain proteinase K, Sodium Dodecyl Sulphat
(SDS), NaCl, CTAB, fenol, kloroform, isoamil alkohol, sodium asetat,
isopropanol (Merck, Darmstadt, Jerman).Larutan TE yang terdiri dari Tris dan
EDTA, TAE (Tris-Asetat-EDTA), Ethidium Bromide (Amersham Bioscience,
Swedia). agarosa (SIGMA, Steinheim, Jerman), etanol 70 % dan HCl.
Alat utama yang digunakan adalah sentrifuse(Hermle Labortechnik,
Wehningen, Jerman), water bath shaker(PolyScience, Warrington, USA), lampu
UV (Desage Heidelberg Min UVIS), mikroskop fluoresen (Olympus Corporation,
Center Valley, USA), PCR(Applied Biosystems),dan Gel Doc XR (Bio Rad).
Tabel 1. Isolat bakteri yang digunakan pada penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kode isolat/GenBank
Desb10/JF800181
YRw3/JF800185
FWHc3
FWHd1/JX535018
FWHb6
FWHb15
E2
E4
E6
E7
E9
E1
Sumber Isolat
tepung jagung
susu formula
Tapioca
cabe bubuk
Tepung
Gula
MPASI
MPASI
MPASI
MPASI
MPASI
MPASI
MPASI : makanan pendamping ASI
Referensi
Gitapratiwiet al. 2012
Meutia et al. 2008
Hamdani 2012
Estuningsih et al. 2006
15
Persiapan dan Konfirmasi Isolat
Cronobactersakazakiidari stok manik-manik diremajakan dengan cara
mengkultur bakteri tersebut pada media BHI (Oxoid) pada suhu 37oC selama 1
malam. Kultur yang telah diremajakan ditumbuhkan pada media agar DFI (Oxoid)
untuk memastikan kembali viabilitas dan identitas kultur. Koloni isolat
Cronobactersakazakii akan berwarna hijau biru pada media tersebut.
Uji Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
Resistensi Cronobakter sakazakii(wild type) terhadap ampisilin dapat diketahui
dengan cara menumbuhkan isolat tersebut pada media yang mengandung
ampisilin (Nurjanah et al. 2015). Isolat C. sakazakii ditumbuhkan pada media BHI
(Oxoid) selama 1 malam pada suhu 37oC. Sebanyak 0.1 mL
inokulum(106CFU/mL) diinokulasikan pada media TSA (Oxoid) yang
mengandung ampisilindengan konsentrasi ampisilin 0 μg/mL, 10 μg/mL, 20
μg/mL, 30 μg/mL, dan 40 μg/mL dan 50 μg/mL.Kultur diinkubasi pada suhu 37oC
selama 2 hari. Setelah masa inkubasi, pertumbuhan C. sakazakii diamati
berdasarkan kepadatan kolonidengan mengikuti standar jumlah maksimal dan
minimal koloni bakteri(Standar Plate Count) 25-250 (BAM 2001)
= tidak ada pertumbuhan koloni
+
= koloni yang tumbuh sangat sedikit (1-25CFU/mL)
++
= koloni yang tumbuh sedikit (26-100CFU/mL)
+++
= koloni yang tumbuh agak banyak (101-175CFU/mL)
++++ = koloni yang tumbuh banyak (176-250CFU/mL)
+++++ = koloni yang tumbuh sangat banyak (>250CFU/mL)
Resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok yaitu sensitif, intermediat resisten dan resisten(Al-nabulsi 2011)
berdasarkan tingkat Minimum Inhibitory Concentrations.Pada penelitian ini
resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
berdasarkan tingkat pertumbuhan isolat pada beberapa konsentrasi ampisilin.
Isolat C. sakazakii dikatakan sensitif terhadap ampisilin jika bakteri
tersebut tidak tumbuh pada media yang mengandung ampisilin.
Isolat C. sakazakii dikatakan intermediat resisten terhadap ampisilin jika
isolat tumbuh pada media yang mengandung ampisilin pada konsentrasi
10 μg/mL.
Isolat C. sakazakii dikatakan resisten terhadap ampisilin jika isolat tumbuh
pada media yang mengandung ampisilin pada konsentrasi 20 μg/mL
PelabelanCronobacter sakazakiidengan pGFPuv menggunakan Metode
Transformasi CaCl2
Pelabelan C. sakazakii dengan pGFPuv (Clontech, USA) dilakukan
dengan teknik transformasi CaCl2 (Nurjanah 2014). Sel bakteri yang dipakai pada
proses transformasi adalah sel kompeten. Pembuatan sel kompeten dilakukan
dengan cara menginokulasi 0.2 mL sel C. sakazakiike dalam 20 mL media cair LB
16
(Difco) padawater bath shaker (PolyScience)dengan suhu 37oC selama 3 jam.Sel
bakteri dipisahkan dari media pertumbuhannya dengan sentrifugasi (3000 rpm,
4oC, 10 menit). Sel bakteri yang telah terpisah disuspensikan dalam 10 ml larutan
TF (10 mM Tris.HCL, 100 mM CaCl2), didiamkan dalam es selama 30 menit,
kemudian disentrifugasi kembali pada kondisi yang sama. Pelet disuspensikan
dalam 0.3 mL larutan TF (sel kompeten). Trasformasi sel bakteri dilakukan
dengan mencampurkan 40 μL sel kompeten dengan 2 μL pGFPuv dalam tabung
Eppendorf, didiamkan di dalam es selama 30 menit kemudian diberi kejut panas
pada suhu 42oC selama 60 detik. Ditambahkan media recovery SOC sebanyak 450
μL, kemudian diinkubasi pada water bath shaker (37oC, 1 jam) selanjutnya
disentrifugasi (4500 rpm, 4oC, 10 menit). Supernatan dibuang dan pelet
diresuspensi dengan BPW (Oxoid) sebanyak 100 μL. Produk transformasi
ditumbuhkan dalam media TSA + ampisilin (35μg/ml) dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 1 malam.
Konfirmasi Mutan secara Fenotip pada Media TSAA
Keberhasilan prosestransformasi dapatdilihat dengan mengamati koloni
mutan di bawah sinar UV. Koloni yang berwarna hijau berfluoresen merupakan
bakteri yang telah mengandung plasmid GFPuv. Eskpresi GFPuv pada isolat C.
sakazakii bervariasi yaitu stabil, tidak stabil, dan tidak diekspresikan.
Ekspresi GFPuv dikatakan stabil jika semua koloni isolat menghasilkan
fluoresen atau pendaran hijau.
Ekspresi GFPuv dikatakan tidak stabil jika pendaran hijau yang dihasilkan
hanya pada sebagian koloni isolat
Isolat dikatakan tidak dapat mengekspresikan GFPuv jika pendaran hijau
tidak dihasilkan pada koloni isolat.
Isolat yang dapat mengekspresikan GFPuv dengan stabil disimpan pada
stok kultur pada media BHI (Oxoid) yang mengandung ampisilin ditambah
dengan gliserol danmanik-manik.
Konfirmasi Mutan secara Fenotip dengan Mikroskop Fluoresens
Konfirmasi fenotip dilakukan dengan mengamati sel mutanC.
sakazakiiyang terekspresi dengan stabil dibawah mikroskop fluoresen(Olympus
CH3O) pada gelombang 396 nm. Kultur mutanC. sakazakiidari media BHI
(Oxoid) yang mengandung ampisilin diteteskan diatas slide mikroskop. Slide
mikroskop yang telah mengandung sel bakteri difiksasi agar sel menempel pada
slide kemudian diamati dibawah mikroskop.
Deteksi gen GFP pada Sel Mutan yang Tidak Stabil dan Terekspresi dengan
PCR
Deteksi gen GFP dilakukan dengan amplifikasi gen GFP dengan PCR.
Keseluruhan genom diekstraksi dengan menggunakan Phenol-Chloroforom
17
(Gitapratiwiet al. 2012). Isolat ditumbuhkan pada media BHI (Oxoid) yang
mengandung ampisilin selama 24 jam. 2 mL kultur bakteri disentrifugasi (18000
rpm selama 3 menit). Pelet diresuspensi dengan 200 μL bufer TE, ditambah 50 μL
SDS 10 %, setelah suspensi homogen ditambah dengan 10 μL proitenase-K
kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam. Setelah diinkubasi suspensi
ditambah dengan 80 μL CTAB/NaCl (10 % CTAB dalam 0.7 M NaCl), kemudian
diinkubasi pada suhu 65 oC selama 20 menit. Campuran Phenol : chloroform :
isoamilalcohol (25:24:1) ditambahkan pada volume yang sama dengan suspensi
sebelumnya. Fase cairan (top layer) setelah disentrifugasi (13500 rpm, 10 menit)
dipindahkan ke tabung eppendorf dan ditambah dengan campuran kloroform :
isoamilalcohol (24:1) pada volume yang sama. Top layerdipindahkan kembali
pada eppendorf yang baru set