1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Risiko adalah suatu keadaan ketidakpastian, di mana jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan suatu kerugian. Risiko yang
berupa ketidakpastian tersebut terjadi karena kurang atau tidak tersedianya informasi yang cukup tentang apa yang akan terjadi dalam perusahaan di masa
yang akan datang. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142PMK.0102009 dijelaskan bahwa risiko adalah potensi terjadinya suatu
peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian. Untuk dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan dari risiko, maka risiko tersebut harus dikelola dengan baik
melalui manajemen risiko.   Selama dua dekade terakhir ini kegagalan dalam melakukan manajemen risiko telah memakan banyak korban pada industri
keuangan. Kegagalan manajemen risiko pada gilirannya menimbulkan kerugian sebagai konsekuensi langsung  atau tidak langsung dari adanya kejadianaktivitas
yang menimbulkan risiko risk event. Kerugian bisa secara finansial  maupun non-finansial. Secara umum, kerugian yang timbul disebabkan oleh kurangnya
pengawasan internal Indroes, 2008. Terpuruknya keuangan yang dialami oleh perusahaan besar pada kasus Enron
dan WorldCom sangat menggemparkan dunia bisnis. Rekayasa keuangan dan malpraktik akuntansi menyebabkan perusahaan energi tersebut mengalami
kebangkrutan dan cukup berdampak bagi dunia bisnis internasional. Hutang yang
2
ditanggung oleh perusahaan Enron mencapai US  31.2 milyar Aji, 2012. Kasus tersebut  membuat
banyak  praktik tata inisiatif di seluruh dunia telah tumbuh drastis untuk memperbaiki tata kelola perusahaan, terutama menekankan pada
peran fungsi manajemen risiko. Sebuah sistem manajemen risiko yang efektif dipandang  untuk membantu suatu organisasi untuk mencapai tujuan bisnisnya,
meningkatkan pelaporan keuangan serta  menjaga reputasinya  Subramaniam, 2009.
Kasus di Indonesia sendiri terjadi pasca krisis keuangan global di tahun 2008. Perusahaan-perusahaan di Indonesia mengalami kegagalan dalam
mengelola risiko valuta asing yang mengakibatkan perusahaan harus menjalani proses penyehatan, pergantian pemilik, dan sampai ada perusahaan yang harus
dipailitkan.  Situasi krisis ketika itu sampai memukul bank-bank berskala besar. Pada Oktober 2008, ada tiga bank besar BUMN yakni PT Bank Mandiri Tbk., PT
Bank BNI Tbk. dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk meminta bantuan likuiditas dari Pemerintah masing-masing Rp5 triliun Bank Indonesia, 2010. Kasus-kasus
tersebut  mendorong pemerintah untuk mengusulkan peningkatan corporate governance
dengan penekanan terhadap sistem manajemen risiko.  Manajemen risiko telah menjadi topik hangat yang dibicarakan oleh para manajer dan
stakeholder. Manajemen risiko memiliki peranan yang penting untuk membentuk Good Corporate Governance
GCG. Oleh karena itu, dewan direksi membentuk sebuah  Komite Manajemen  Risiko.  Komite Manajemen Risiko  bertanggung
jawab untuk menentukan strategi manajemen risiko organisasi, mengevaluasi operasi manajemen risiko organisasi, menilai pelaporan keuangan organisasi dan
3
memastikan organisasi ini sesuai dengan hukum dan peraturan Subramaniam  et al
, 2009. Keberadaan komite manajemen risiko di Indonesia dipertegas berdasarkan
surat keputusan Menteri BUMN no keputusan 117M-MBU2002 pasal 14 yang mengatur kebijakan umum komite manajemen risiko terkait dengan jumlah
anggota dan tugas komite manajemen risiko. Peraturan lain yang mengatur KMR yaitu Peraturan Bank Indonesia PBI no 84PBI2006, PBI pasal 39 yang berisi
penjelasan tentang anggota komite manajemen risiko, Peraturan Menteri Keuangan PMK no 142PMK 0102009 tentang aturan manajemen risiko
lembaga  pembiayaan ekspor Indonesia, PBI no 58PBI2003 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan PBI no84PBI2006 tentang pelaksanaan
GCG bagi bank umum Pratika, 2011. Kompleksitas manajemen risiko membuat kualitas pengendalian internal lebih tinggi ketika adanya komite manajemen risiko
dibandingkan situasi tidak adanya komite manajemen risiko. Berikut  beberapa faktor yang diketahui  mempengaruhi keberadaan Komite
Manajemen Risiko.  Faktor dewan independen merupakan mekanisme yang penting untuk  mengendalikan perilaku manajemen dalam hal akuntabilitas dan
disclosure. Jumlah komisaris independen adalah indikator kunci independensi
dewan bagi manajemen. Hadirnya komisaris independen seharusnya
meningkatkan kualitas  pengendalian karena mereka tidak berafiliasi dengan perusahaan dan merupakan
perwakilan independen dari kepentingan shareholders.
Perusahaan dengan dewan independen akan memiliki agency cost
4
biaya agensi yang rendah bahkan mampu  melakukan fungsi pengendalian dengan lebih baik Subramaniam, et al., 2009.
Ukuran dewan komisaris yang besar dapat mempengaruhi terbentuknya komite baru Chen, et al., 2009. Apabila ukuran dewan komisaris besar, akan
memberikan sumber daya yang besar bagi dewan komisaris untuk melakukan pertukaran keahlian-keahlian, informasi, ide-ide, dan pikiran yang lebih luas
dalam melakukan tugas-tugasnya terhadap perusahaan. Ukuran dewan yang besar dalam perusahaan cenderung akan membentuk keberadaan Komite Manajemen
Risiko sebagai komite yang berfokus dalam manajemen risiko perusahaan Diani, 2013.
Rapat dewan komisaris secara potensial merupakan peristiwa penting  dalam manajemen sebuah perusahaan. Rapat dapat dijadikan forum untuk  menghindari
asimetri informasi tentang kondisi perseroan terutama terhadap  risiko dan manajemen risiko. Penelitian Zoort, et al.  dalam  Wahyuni, 2012:19
menunjukkan bahwa frekuensi rapat yang lebih tinggi berhubungan dengan penurunan insiden masalah pelaporan keuangan dan peningkatan kualitas audit
eksternal. Hal ini menuntut pelaporan yang lebih intensif terhadap kinerja dewan direksi. Sehingga, pembentukan Komite Manajemen Risiko diharapkan akan lebih
tinggi ketika frekuensi rapat dewan komisaris tinggi. Reputasi auditor eksternal dalam penggunaan jasa audit oleh perusahaan
merupakan salah satu kriteria penting untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan perusahaan. Perusahaan Auditor Big Four cenderung mendorong
5
kualitas mekanisme pengendalian internal yang tinggi diantara klien mereka apabila dibandingkan dengan perusahaan bukan Big Four Cohen,  et al., 2004.
Penelitian yang dilakukan oleh Yatim 2009 menunjukan adanya pengaruh positif antara reputasi auditor dengan keberadaan Komite Manajemen Risiko
.
Menurut  Carcello,  et al.,  2005 dalam Subramaniam,  et al.,  2009  sejak  agency cost
menjadi lebih tinggi pada organisasi yang lebih besar maka membutuhkan monitoring
yang lebih besar terhadap manajemen risiko. Perusahaan besar menciptakan potensi masalah keagenan yang lebih besar terkait pelaporan
keuangan. Penelitian mengenai Komite Audit telah banyak dilakukan di seluruh dunia.
Namun, penelitian yang menjelaskan faktor  –  faktor yang mempengaruhi keberadaan  Komite Manajemen Risiko  masih belum banyak dilakukan. Hal ini
dikarenakan Komite Manajemen Risiko  merupakan isu yang masih baru. Subramaniam et al 2009 melakukan penelitian mengenai hubungan corporate
governance, karakteristik perusahaan  dan pembentukan Komite Manajemen
Risiko  di Australia. Penelitian ini menggunakan  keberadaan  Komite Manajemen Risiko  dan tipe Komite Manajemen Risiko  sebagai variabel  dependen.
Karakteristik dewan dan  karakteristik perusahaan sebagai variabel  independen. Karakteristik dewan meliputi  dualitas CEO, komisaris independen dan ukuran
dewan. Karakteristik perusahaan  meliputi  reputasi auditor, tipe industri, kompleksitas industri, risiko pelaporan  keuangan dan leverage. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Komite Manajemen Risiko  berada pada  perusahaan dengan CEO independen dan ukuran dewan yang besar, selanjutnya Komite
6
Manajemen Risiko yang terpisah dari audit secara signifikan berhubungan positif dengan ukuran dewan  dan risiko pelaporan keuangan namun berhubungan
negative dengan kompleksitas  perusahaan yang besar.  Yatim 2009 melakukan penelitian mengenai hubungan antara pembentukan Komite Manajemen Risiko
dan struktur dewan. Penelitian ini menggunakan sampel 690 perusahaan yang listing di Bursa Malaysia pada tahun 2003. Variabel independen yang digunakan
yaitu proporsi komisaris independen, keahlian dewan, CEO independen dan kerajinan dewan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi komisaris
independen dan CEO independen berhubungan positif dengan Komite Manajemen Risiko  yang berdiri sendiri.  Wahyuni dan Harto 2012 meneliti pengaruh tata
kelola perusahaan dan karakteristik perusahaan terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko dan jenis Komite Manajemen Risiko, apakah itu dipisahkan
dan dikombinasikan dengan komite audit. Variabel yang terurai menjadi
Komisaris Independen, frekuensi pertemuan, jenis kepemilikan, reputasi auditor, ukuran anak perusahaan, risiko pasar, leverage, umur perusahaan, dan ukuran
perusahaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa variabel independen berpengaruh positif terhadap keberadaan  Komite Manajemen Risiko  antara lain,
anak perusahaan, dan ukuran perusahaan. Sedangkan variabel independen yang berpengaruh positif terhadap keberadaan dari Komite Manajemen Risiko terpisah
adalah frekuensi rapat dewan dan ukuran perusahaan. Pratika 2011 melakukan penelitian pengaruh keberadaan komite manajemen
risiko terhadap pengungkapan manajemen risiko. Pada penelitian ini keberadaan Komite Manajemen Risiko terpisah dari audit dan berdiri sendiri sebagai variabel
7
dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah komisaris independen, ukuran dewan, reputasi auditor,  segmen bisnis, proporsi piutang dan persediaan,
proporsi utang jangka panjang dan ukuran perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reputasi auditor berhubungan positif terhadap keberadaan
Komite Manajemen Risiko
.
Diani 2013 melakukan penelitian mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi keberadaan Risk Management Committee  pada
industri high profile. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Industri high profile
perusahaan  non finansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI tahun 2009 sampai 2011. Penelitian ini menggunakan 288 sampel. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah Keberadaan Komite Manajemen Risiko. Sementara itu, variabel independen dalam penelitian ini adalah komite
independen, ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, kompleksitas bisnis, dan risiko pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel
reputasi auditor berpengaruh positif secara signifikan terhadap keberadaan Komite Manajemen Risiko. Perusahaan yang laporan tahunannya diaudit oleh empat
perusahaan  Big Four cenderung untuk mengatur dan merekomendasikan untuk membentuk Risk Management Committee atau Komite Manajemen Risiko.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Subramaniam, et al. 2009 dan Diani 2013 yang menganalisis hubungan karakteristik dewan komisaris dan
perusahaan terhadap pengungkapan Risk Management Committee. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Subramaniam, et al. 2009 dan
Diani 2013 adalah pada sampel yang diambil,  variable yang diuji, metode pengukuran variabel, serta periode penelitian. Sampel yang digunakan dalam
8
penelitian Subramaniam, et al. 2009 menggunakan 200 perusahaan teratas yang terdaftar dalam Australian Stock Exchange dikurangi dengan perusahaan dibidang
funds and trust . Sementara itu, sampel yang digunakan oleh Diani 2013 adalah
perusahaan high profile yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. . Dari beberapa penelitian di atas terjadi perbedaan hasil kesimpulan atau
tidak konsisten sehingga penulis tertarik untuk meneliti kembali faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan manajemen risiko. Berdasarkan penjelasan di
atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor- faktor Yang Mempengaruhi  Keberadaan  Komite Manajemen Risiko
Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2014”
.
1.2. Perumusan Masalah