Chuubu Karimantan No Dayaku Rawangan Zokuno Soushiki
CHUUBU KARIMANTAN NO DAYAKU RAWANGAN ZOKUNO SOUSHIKI
KERTAS KARYA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
KHAIRY RAMADHANI SIREGAR
NIM 072203008
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA
DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
(2)
CHUUBU KARIMANTAN NO DAYAKU RAWANGAN ZOKUNO SOUSHIKI
KERTAS KARYA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
KHAIRY RAMADHANI SIREGAR
NIM 072203008
Dosen Pembimbing
Dosen Pembaca
(Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum)
(Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum)
NIP 19600403 199103 1 001
NIP 19600919 198803 1 001
Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian
Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diplomat III
Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA
DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
(3)
Disetujui oleh :
Program Diploma Sastra dan Budaya
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi D3 Bahasa Jepang
Ketua,
Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum.
NIP 19620727 198703 2 005
(4)
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan
untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III
Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang
Pada
:
Tanggal
:
Hari
:
Program Diploma Sastra Budaya
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
1.
Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum
(
)
Prof. Syaiffudin, M.A., Ph.D.
NIP 19650909 199403 1 004
Panitia :
No. Nama
Tanda Tangan
2.
Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum
(
)
3.
Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum
(
)
(5)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Kertas Karya ini, sebagai persyaratan untuk memenuhi ujian akhir Diploma III
Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kertas karya ini
berjudul “Upacara Kematian Suku Dayak Lawangan Kalimantan Tengah”.
Penulis menyadari bahwa apa yang telah tertulis dalam Kertas Karya ini masih jauh dari
segi materi maupun penulisan. Demi kesempurnaan, penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca untuk kearah perbaikan.
Dalam kertas karya ini penulis telah banyak menerima bantuan dan dukungan serta doa
dari berbagai pihak yang cukup bernilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara.
2.
Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Program Studi Bahasa Jepang
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
3.
Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang dengan ikhlas telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sampai
Kertas Karya ini dapat diselesaikan.
4.
Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku dosen pembaca.
5.
Seluruh staf pengajar Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara, atas didikannya selama masa perkuliahan.
6.
Teristimewa kepada keluarga besar penulis, Emakku tercinta ibu terbaik seluruh dunia
Latifah Hanum dan Abah T. Dasnir Teiza, kakak-kakakku tersayang Nilawati, A.Md.,
Khairunisyah, S.Psi., Khairina, S.E., dan abang yang paling kusayang Abdul Hakim,
(6)
A.Md.,. Terimakasih atas doa yang telah dipanjatkan, memberikan motivasi dan semangat
sehingga selesainya perkuliahan dan penyusunan Kertas Karya ini.
7.
Teman-teman stambuk 07, terutama Ani, Tia, Dijah, Bunga, Ratna dan juga Kakak dan
Abang alumni, dan semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada
penulis dalam penyusunan Kertas Karya ini.
8.
Teman-teman spesial “Darkness Star” yang paling kusayang di dunia ini Mb’Icha, Dvida,
Rena, Achie, Slwa, Ina, Dini dan my BFF Fahmy “nyet”. Terima kasih atas semua waktu
dan pengorbanan kalian selama ini menemaniku di kala sedih dan setiap tawa bahagia.
Semua takkan mungkin tanpa kalian, sahabat sejati selamanya.
Akhir kata penulis memohon maaf kepada pembaca atas segala kesalahan dan
kekurangan dalam pengerjaan kertas karya ini. Penulis mengharapkan semoga Kertas Karya ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, Juli 2010
Penulis
KHAIRY RAMADHANI SIREGAR
NIM 072203008
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...
i
DAFTAR ISI
...
iii
BAB I
PENDAHULUAN ...
1
1.1 Alasan Pemilihan Judul ...
1
1.2 Tujuan Penulisan ...
1
1.3 Pembatasan Masalah ...
2
1.4 Metode Penulisan ...
2
BAB II
GAMBARAN UMUM SUKU DAYAK LAWANGAN
3
2.1 Daerah Persebaran Suku Dayak Lawangan ...
3
2.2 Agama dan Kepercayaan ...
3
2.3 Mata Pencaharian ...
3
BAB III
UPACARA KEMATIAN SUKU DAYAK LAWANGAN KALIMANTAN
TENGAH ...
5
3.1 Persiapan Upacara Kematian Suku Dayak Lawangan
5
3.1.1 Pemberitahuan Kabar Kematian ...
3.1.2 Memandikan Mayat ...
3.1.3 Membungkus Mayat ...
3.2 Pelaksanaan Upacara Kematian Suku Dayak Lawangan
3.2.1 Menjaga Jenazah Selama Satu Malam Penuh ....
3.2.2 Membuat Peti dan Memasukkan Jenazah ke
DalamPeti ...
3.2.3 Menguburkan Mayat ...
(8)
3.3 Pelaksanaan Upacara Setelah Penguburan Mayat ...
13
3.3.1 Upacara Pengusiran Roh-Roh Jahat ...
3.3.2 Upacara Wara (Menghantarkan Arwah ke Akhirat)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN ...
16
4.1 Kesimpulan ...
16
4.2 Saran ...
16
DAFTAR PUSTAKA ...
17
BAB I PENDAHULUAN
(9)
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Propinsi Kalimantan Tengah mempunyai masyarakat yang terdiri dari beberapa suku
bangsa budaya dan kebiasaannya yang berbeda. Perbedaan tersebut menjadi ciri khas dalam tiap
suku bangsa sehinnga dapat menjadi karakteristik yang membedakan antara satu suku bangsa
dengan suku bangsa lainnya.
Dengan berkembangnya media komunikasi modern, maka budaya asing semakin banyak
masuk ke Propinsi Kalimantan Tengah. Sehingga generasi muda dikhawatirkan akan terpengaruh
oleh budaya tersebut. Masalahnya adalah budaya asing tidak semuanya diterima dalam tata
krama suatu suku bangsa, sehingga tiap-tiap suku bangsa harus memperkuat aspek budaya
sendiri agar dapat digunakan untuk mempertahankan kebudayaan yang telah ada.
Berdasarkan dengan diatas tersebut, maka penulis memilih judul Upacara Kematian Suku
Dayak Lawangan Kalimantan Tengah ini.
1.2. Tujuan Penulisan
1.
Untuk menambah pengetahuan penulis sendiri tentang upacara kematian suku bangsa
Dayak Lawangan.
2.
Untuk mengetahui tata cara upacara kematian suku Dayak Lawangan.
3.
Sebagai salah satu syarat kelulusan dari program studi D3 Bahasa Jepang Universitas
Sumatera Utara..
1.3. Pembatasan Masalah
Dalam kertas karya ini penulis hanya menjelaskan gambaran umum tentang jalannya
upacara kematian suku bangsa Dayak Lawangan. Upacara ini meliputi beberapa tahap yaitu
persiapan upacara kematian, pelaksanaan upacara pada hari kematian, dan pelaksanaan upacara
setelah penguburan mayat.
(10)
1.4. Metode Penulisan
Dalam penulisan kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan, yaitu
dengan cara membuka buku serta mengumpulkan data-data yang ada kaitannya dengan judul
kertas karya ini.
BAB II GAMBARAN UMUM
(11)
2.1. Daerah Persebaran Suku Dayak Lawangan
Daerah perkampungan suku Dayak Lawangan didirikan memanjang sejajar dengan sungai, di sisi kiri dan kanan jalan darat yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya di dalam perkampungan itu. Jalan kampung ini berawal dan berakhir pada kedua ujung kampung tersebut.
Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau yang dilalui oleh garis khatulistiwa, dengan sinar matahari yang berlimpah–limpah dan curah hujan yang besar hal ini diakibatkan juga karena banyaknya laut / selat yang mengelilinginya. Dengan iklim yang seperti ini sebagian besar Kalimantan Tengah ditutupi oleh hutan-hutan tropis yang lebat, yang memberi kesempatan kepada binatang untuk hidup bebas dan liar di dalamnya, seperti : kera, beruk, orang utan, rusa, kijang, babi, beruang, ular berbisa dan lain-lain.
Selain hutan tropis di Kalimantan Tengah juga banyak dilalui sungai-sungai besar maupun kecil, danau-danau dan rawa-rawa di bagian pesisirnya.Sungai-sungai juga mempunyai peranan penting dalam pelbagai kegiatan manusia setempat, misal, sebagai sumber pengairan bagi ladang mereka, sebagai satu-satunya sumber air minum, jalur lalu lintas untuk mengadakan hubungan dengan kampung-kampung lain.
Suku Dayak Lawangan mendiami sebelah Timur sungai Barito.
2.2. Agama dan Kepercayaan
Suku Dayak Lawangan mempunyai sistim kepercayaan lama yang diperoleh secara turun temurun dikenal dengan istilah kaharingan, sehingga orang-orang banyak mengenal agama asli penduduk Kalimantan Tengah sebagai Kaharingan. Istilah Kaharingan ini sebenarnya hanya sering digunakan di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.
Istilah kaharingan pada awal mulanya muncul pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, nama kaharingan diusulkan oleh Damang Y. Salilah untuk memberi nama pada kepercayaan berkembang Kalimantan Tengah. Sebelum diperkenalkannya istilah kaharingan, semua kepercayaan berkembang di Kalimantan Tengah dahulunya dikenal dengan berbagai nama, misalnya agama Tempon, Telon, agama Helo, Hiden, Kapir, dan sebagainya. Penggunaan istilah Kaharingan yang pada awal mulanya direstui oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia tersebut kemudian terus berlanjut.
(12)
Seiring dengan perkembangan lebih lanjut agama Kaharingan kemudian bergabung ke dalam kelompok agama Hindu. Jadi dewasa ini secara resmi istilah Kaharingan kemudian bergabung ke dalam agama Hindu. Suku Dayak Lawangan penganut Kaharingan percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal akan tinggal di Gunung Lumut, yang terletak di hulu sungai Mea (Kalimantan Tengah).
Setelahnya agama Kristen masuk dan disebarkan ke daerah hulu sungai beberapa tahun yang silam, dan ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap penduduk setempat.
Demikian juga dengan agama Islam, telah banyak penduduk yang merubah kepercayaan lama mereka dan menggantinya.
2.3. Mata Pencaharian
Mata pencaharian Suku Dayak Lawangan di Kalimantan Tengah masih tergantung dengan alam sekitarnya, seperti :
1. Berburu, hutan-hutan tropis menyimpan banyak binatang di dalamnya merupakan tempat yang baik untuk melalukan perburuan. Perburuan dialkukan baik siang ataupun malam hari, tergantung kepada jenis binatang yang diburu. Berburu hanya dilakukan oleh laki-laki dewasa, sedangkan kaum wanita serta anak-anak hanyalah membantu apabila dibutuhkan.
2. Meramu, sebagaimana berburu, meramu juga merupakan mata pencaharian sambilan yang dilakukan sesudah masa bertanam padi. Hasil ramuan biasanya, hanya digunakan untuk kebutuhan sendiri. Ini dilakukan oleh kaum pria da wanita yang sudah dewasa di hutan-hutan yang terdapat di sekitar daerah pemukiman.
3. Perikanan, pencarian ikan dilakukan di rawa, sungai, danau dan laut.
4. Pertanian, pertanian di ladang merupakan mata pencaharian pokok Suku Dayak Lawangan. Pekerjaan ini melibatkan seluruh anggota keluarga bahkan juga keluarga-keluarga lain.
5. Kerajinan, para penduduk membuat kerajinan dari rotan, tanduk, dan kayu. Hasilnya adalah topi, tas, pakaian, gagang mandau, patung dan ukir-ukiran.
BAB III
(13)
3.1. Persiapan Upacara Kematian Suku Dayak Lawangan 3.1.1. Pemberitahuan Kabar Kematian
Pada waktu seseorang meninggal dunia, salah satu keluarga akan memukul gong berulang-ulang yang berarti pemberitahuan bahwa baru saja ada orang yang meninggal dunia. Ini dilakukan ketika si sakit telah meninggal dunia. Ini bertujuan memberitahukan kepada tetangga-tetangga disekelilingnya dan masyarakat di kampung tersebut bahwa ada seseorang yang meninggal dunia. Biasanya spontanitas tetangga dan masyarakat di kampung tersebut akan berdatangan ke tempat tersebut walaupun tengah malam ataupun hujan lebat sekalipun
3.1.2. Memandikan Mayat
Setelah itu dilakukan pemandian mayat yang pada hakekatnya akan sama saja seperti pada agama yang lain. Pada saat jenazah dimandikan hingga diangkat kerumah jenazah, orang membunyikan satu gong dengan irama cepat dan berturut-turut. Di rumah jenazah orang meletakkan jenazah. Bila yang meninggal adalah laki-laki maka kakinya diarahkan ke hilir sungai, sedangkan bila wanita sebaliknya yaitu kakinya diarahkan ke hulu sungai.
3.1.3. Membungkus Mayat
Biasanya membungkus mayat itu dengan kain putih. Tetapi sebelum mayat itu di bungkus, lebih dahulu harus disediakan perlengkapan sebagai berikut:
a. Uang tutup mata yaitu perak yang ditaruh pada kedua buah mata mayat yang tertutup itu. Hal ini menandakan bahwa orang mati telah benar-benar mati.
b. Lamiang (sejenis merjan merah) dimasukkan ke dalam mulut si mati. Menurut
kepercayaan masyarakat pada waktu si mati ini diantarkan rohnya oleh Wandian Wara roh-roh orang Lawangan yang mati terdahulu berkumpul dan mengucapkan selamat datang kepada yang mati belakangan ini. Kepada roh yang baru datang ini, ia disuruh meludah oleh roh penyambut
(14)
kedatangannya. Apabila ia tidak bisa meludah, yang berarti air liurnya itu benar telah mati. Jelas tidak bisa meludah karena mulut mayat ini dimasukan dan disumbat oleh lamiang.
c. Pada genggaman kedua belah tangannya dimasukkan uang perak. Benda ini berguna dalam perjalanan si mati ke tempat tujuan nanti, sebagai bekal dalam perjalanan. Orang Dayak Lawangan percaya bahwa roh si mati, sama keadaannya pada waktu hidup didunia, ia membutuhkan uang untuk berbelanja.
d. Pada dadanya, terutama di bagian ulu hati diletakkan uang, sasiri (sejenis mangkuk kecil) dan sebutir telur ayam. Ini merupakan tanda yang menunjukkan kesedihan, dan perlambang si mati seolah-olah sedih berpisah dengan sanak keluarganya
3.2. Pelaksanaan Upacara Kematian Suku Dayak Lawangan 3.2.1. Menjaga Jenazah Selama Satu Malam Penuh
Minih hantu yaitu menjaga jenazah selama satu malam penuh. Untuk mengisi waktu orang-orang yang ikut berjaga melakukan berbagai jenis permainan misalnya main kartu, berlemparan dengan beras panas, dan sebagainya. Permainan-permainan yang dilakukan selama berjaga dinamakan parusik liaw.
Selama menjaga jenazah pada malam hari beberapa anggota keluarga duduk menghadapi jenazah dan yang lainnya duduk menghadap ke pintu, hal semacam ini oleh suku dayak Lawangan disebut mamali. Mereka yang ikut mamali tidak ikut kegiatan parusik liaw. Kegiatan mamali dibedakan menurut jenis kelamin orang yang meninggal, bila yang meninggal laki-laki maka kaum wanitalah yang duduk mamali, dan bila yang meninggal adalah wanita, maka yang duduk mamali adalah para kaum lelaki.
Seseorang yang sedang ikut upacara mamali menginginkan sesuatu atau ada keperluan tertentu, ia hanya mengambil patung kayu yang berada dalam sebuah wadah yang berisi beras terletak di depannya dan memukulkan patung tersebut pada kepalanya. Melalui isyarat yang diberikan itu orang-orang yang berada di sekitarnya akan segera membantu. Patung kayu yang dipergunakan tersebut dianggap sebagai lambang dari diri orang yang ikut mamali.
(15)
3.2.2. Membuat Peti dan Memasukkan Jenazah ke Dalam Peti
Manampa ruang yaitu kegiatan membuat peti jenazah di hutan. Sebelum pohon kayu yang akan digunakan untuk prti jenazah ditebang terlebih dahulu orangmemoles atau memerciki pohon tersebut dengan darah ayam atau darah babi. Pohon kayu yang ditebang umumnya cukup besar karena harus dapat menampung tubuh orang yang meninggal tadi , dan hanya jenis pohon kayu tertentu pula yang dapat dibuat sebagai peti jenazah. Batang pohon yang ditebang akan dibentuk sesuai dengan ukuran tubuh orang yang meninggal, dan terdiri dari dua bagian yaitu bagian tipis sebelah atas dibuat untuk tutup dan yang tebal dipahat sehingga tersedia ruang untuk meletakkan jenazah. Sebagai pengikat untuk menyatukan antara tutup dan tubuh peti dibuatkan anyaman rotan sebanyak tujuh buah bagi jenazah laki-laki dan lima buah bagi jenazah wanita. Ketika orang yang membawa peti jenazah tiba dirumah orang membunyikan satu gong secara berturut-turut. Sewaktu jenazah dimasukkan ke dalam peti sekali lagi gong dibunyikan. Perlengkapan lain yang disertakan pada peti jenazah yakni pakaian bagi jenazah wanita dan sumpit serta parang/mandau bagi jenazah laki-laki.
3.2.3. Menguburkan Jenazah
Sebelum jenazah dibawa ke kuburan dirumah dilakukan penuturan tentang kehidupan orang yang meninggal tersebut. Tuturan-tuturan sedih yang mengisahkan riwayat kehidupan dari orang yang sudah meninggal, biasanya dilakukan oleh seorang wanita yang sudah berumur (tua). Sewaktu mengucapkan kata-katanya si wanita yang lebih dikenal dengan panatun, menangis tersedu-sedu dan menambah sedihnya suasana di tempat kematian.
Setelah itu orang mengangkat jenazah keluar rumah diiringi bunyi gong serta peti jenazah dipayungi. Pada saat orang mengangkat peti jenazah, bagian kaki harus dikeluarkan terlebih dahulu, dan peti jenazah tersebut tidak boleh langsung dibawa ke luar rumah, melainkan harus dibawa keluar melalui ambang pintu sebanyak tujuh kali bagi jenazah laki-laki dan tiga kali bagi jenazah perempuan. Setelah peti jenazah diangkat keluar kemudian dibawa ke tempat
(16)
penguburannya atau sering juga diletakkan dalam sebuah rumah-rumahan yang diberi atap dan bertiang empat buah.
3.3. Pelakasanaan Upacara Setelah Penguburan Mayat 3.3.1. Upacara Pengusiran Roh-Roh Jahat
Kematian dipercaya mendatangkan roh-roh jahat, jadi seusai penguburan selalu diadakan upacara mengusir roh jahat. Selain mengusir roh jahat upacara ini juga upacara pengucapan syukur dan mohon bantuan dewa untuk menentramkan suasana yang dianggap tidak seimbang karena kematian salah seorang anggota keluarga.Upacara ini dilakukan tiga hari setelah pemakaman bagi orang kebanyakan (orang biasa), dan tujuh hari setelah pemakaman bagi golongan bangsawan, kepala desa/kampong, dan tokoh masyarakat lainnya.
Di upacara ini orang memotong ayam dan babi dan darahnya dipergunakan sebagai alat membersihkan semua peralatan yang digunakan pada upacara kematian. Untuk keperluan upacara dipanggil tiga orang pemimpin upacara yang mengetahui pelaksanaan upacara dan orang-orang tersebutlah yang melaksanakannya. Sebagai hidangan untuk para dewa (sangiang) disediakan daging ayam yang telah dimasak, dan sangiang ini adalah dewa pelindung manusia. Supaya roh-roh jahat tidak murka kepada manusia maka bagi roh-roh jahat disediakan juga hidangan-hidangan tertentu yaitu ayam yang telah dimasak pula.
3.3.2. Upacara Wara (Menghantarkan Arwah Ke Akhirat)
Upacara Wara merupakan akhir kegiatan upacara kematian yang dikenal Suku Dayak Lawangan yang memeluk kepercayaan Kaharingan. Bagi orang kaya, pada saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia mereka dapat segera menyelenggarakan upacara tiwah begitu upacara-upacara awal selesai dilakukan. Orang-orang kaya ini tidak perlu menunggu satu atau dua tahun seperti orang-orang umum yang miskin. Upacara ini dilakukan setelah masa panen sebabnya pada waktu itu dianggap sebagai masa tenggang dari semua kegiatan pertanian, dan pada masa panen masyarakat memiliki persediaan bahan makanan yang cukup.
(17)
Setelah semua persiapan untuk menyelenggarakan upacara selesai, maka upacara dapat dimulai. Upacara wara umumnya dipimpin oleh sedikitnya tujuh orang dan paling banyak sembilan orang. Dari kelompok pemimpin upacara ini ditunjuk seorang pimpinan umum. Dan yang lain menjadi anggota biasa yang memiliki masing-masing tugas. Tugas dari pemimpin upacara tersebut yaitu mengantarkan arwah ke dunia akhirat. Upacara ini diadakan tergantung dari keadaan ekonomi keluarga pelaksananya. Upacara ini bisa berlangsung selama tiga hari, tujuh hari atau lebih dari satu bulan.
Pada awal mula upacara, menggali kuburan dan mengambil peti, kemudian dikumpulkan pada tempat khusus yang telah disediakan sebelumnya. Jenazah dibersihkan oleh anggota keluarga dan pada akhir upacara tulang-tulang akan dibakar. Karena upacara pembakaran tulang ini hanya simbolisnya saja, masih banyak sisa-sisa tulang yang tidak ikut dibakar. Sisa tulang-tulang tersebut dibungkus dengan kain berwarna merah, diletakkan dalam gong lalu diangkat ke tempat menyimpan tulang. Di situlah tulang-tulang akan disimpan selama-lamanya.
Dalam tugasnya memimpin upacara, para pemimpin upacara duduk berjejer dalam balai upacara dan masing-masing memegang sebuah tambur. Sambil mengucapkan kata-kata tertentu mereka memukul tambur dengan irama yang khas. Selama upacara berlangsung setiap malam hari para pria dan wanita baik tua ataupun muda menyanyi sambil menari mengelilingi jenasah. Dan sering pula gerak dan tari-tarian dilakukan secara massal oleh pemimpin upacara dan anggota keluarga dari orang yang meninggal, bahkan para pengunjung atau turis pun ada yang turut bergabung dalam upacara ini.
(18)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Masyarakat Dayak Lawangan memiliki kebudayaan yang beraneka ragam, mulai dari
kesenian sampai tata cara kehidupan sehari-hari. Upacara kematian merupakan salah satu wujud
kebudayaan. Hal ini disebabkan karena upacara kematian ini muncul dari keadaan yang ada
dalam masyarakat setempat. Upacara kematian ini merupakan aturan yang di buat oleh nenek
moyang berdasarkan ajaran agama maupun kepercayaan bersama masyarakat setempat, yang
telah diwariskan kepada generasi berikutnya.
Secara umum upacara kematian suku bangsa Dayak Lawangan hampir sama dengan
upacara kematian suku bangsa lainnya yang berada di Kalimantan Tengah. Sebab masyarakat
Kalimantan Tengah banyak yang menganut agama Kaharingan. Namun demikian, agama Kristen
dan Islam pun telah banyak mempengaruhi perkembangan upacara adat di Kalimantan Tengah.
Menurut kepercayaan mereka bahwa orang-orang yang telah meninggal rohnya akan
terus menjalani kehidupan di alam baka. Oleh karena itu, dilakukanlah upacara tradisional oleh
suku bangsa Dayak Lawangan agar arwah yang telah meninggal bisa tenang di alam sana.
4.2. Saran
Kita sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki beraneka ragam kebudayaan sebaiknya ikut berperan dalam membina dan memantapkan kebudayaan nasional agar kebudayaan daerah akan terus tumbuh dan tidak hilang. Perlunya rasa saling pengertian antara sesama golongan dalam masyarakat berbudaya agar tercipta kedamaian. Dan pemerintah serta ahli budaya sebaiknya memberikan informasi dan menjaga kelestarian upacara kematian suku bangsa Dayak Lawangan agar masyarakat luas mengetahui sekaligus memahami makna yang terkandung didalamnya.
(19)
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Ahmad, Drs. dan Sastrosuwondo, Sumantri.1985. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional.
Dyson, L.1980. Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1)
kedatangannya. Apabila ia tidak bisa meludah, yang berarti air liurnya itu benar telah mati. Jelas tidak bisa meludah karena mulut mayat ini dimasukan dan disumbat oleh lamiang.
c. Pada genggaman kedua belah tangannya dimasukkan uang perak. Benda ini berguna dalam perjalanan si mati ke tempat tujuan nanti, sebagai bekal dalam perjalanan. Orang Dayak Lawangan percaya bahwa roh si mati, sama keadaannya pada waktu hidup didunia, ia membutuhkan uang untuk berbelanja.
d. Pada dadanya, terutama di bagian ulu hati diletakkan uang, sasiri (sejenis mangkuk kecil) dan sebutir telur ayam. Ini merupakan tanda yang menunjukkan kesedihan, dan perlambang si mati seolah-olah sedih berpisah dengan sanak keluarganya
3.2. Pelaksanaan Upacara Kematian Suku Dayak Lawangan 3.2.1. Menjaga Jenazah Selama Satu Malam Penuh
Minih hantu yaitu menjaga jenazah selama satu malam penuh. Untuk mengisi waktu orang-orang yang ikut berjaga melakukan berbagai jenis permainan misalnya main kartu, berlemparan dengan beras panas, dan sebagainya. Permainan-permainan yang dilakukan selama berjaga dinamakan parusik liaw.
Selama menjaga jenazah pada malam hari beberapa anggota keluarga duduk menghadapi jenazah dan yang lainnya duduk menghadap ke pintu, hal semacam ini oleh suku dayak Lawangan disebut mamali. Mereka yang ikut mamali tidak ikut kegiatan parusik liaw. Kegiatan mamali dibedakan menurut jenis kelamin orang yang meninggal, bila yang meninggal laki-laki maka kaum wanitalah yang duduk mamali, dan bila yang meninggal adalah wanita, maka yang duduk mamali adalah para kaum lelaki.
Seseorang yang sedang ikut upacara mamali menginginkan sesuatu atau ada keperluan tertentu, ia hanya mengambil patung kayu yang berada dalam sebuah wadah yang berisi beras terletak di depannya dan memukulkan patung tersebut pada kepalanya. Melalui isyarat yang diberikan itu orang-orang yang berada di sekitarnya akan segera membantu. Patung kayu yang dipergunakan tersebut dianggap sebagai lambang dari diri orang yang ikut mamali.
(2)
3.2.2. Membuat Peti dan Memasukkan Jenazah ke Dalam Peti
Manampa ruang yaitu kegiatan membuat peti jenazah di hutan. Sebelum pohon kayu yang akan digunakan untuk prti jenazah ditebang terlebih dahulu orang memoles atau memerciki pohon tersebut dengan darah ayam atau darah babi. Pohon kayu yang ditebang umumnya cukup besar karena harus dapat menampung tubuh orang yang meninggal tadi , dan hanya jenis pohon kayu tertentu pula yang dapat dibuat sebagai peti jenazah. Batang pohon yang ditebang akan dibentuk sesuai dengan ukuran tubuh orang yang meninggal, dan terdiri dari dua bagian yaitu bagian tipis sebelah atas dibuat untuk tutup dan yang tebal dipahat sehingga tersedia ruang untuk meletakkan jenazah. Sebagai pengikat untuk menyatukan antara tutup dan tubuh peti dibuatkan anyaman rotan sebanyak tujuh buah bagi jenazah laki-laki dan lima buah bagi jenazah wanita. Ketika orang yang membawa peti jenazah tiba dirumah orang membunyikan satu gong secara berturut-turut. Sewaktu jenazah dimasukkan ke dalam peti sekali lagi gong dibunyikan. Perlengkapan lain yang disertakan pada peti jenazah yakni pakaian bagi jenazah wanita dan sumpit serta parang/mandau bagi jenazah laki-laki.
3.2.3. Menguburkan Jenazah
Sebelum jenazah dibawa ke kuburan dirumah dilakukan penuturan tentang kehidupan orang yang meninggal tersebut. Tuturan-tuturan sedih yang mengisahkan riwayat kehidupan dari orang yang sudah meninggal, biasanya dilakukan oleh seorang wanita yang sudah berumur (tua). Sewaktu mengucapkan kata-katanya si wanita yang lebih dikenal dengan panatun, menangis tersedu-sedu dan menambah sedihnya suasana di tempat kematian.
Setelah itu orang mengangkat jenazah keluar rumah diiringi bunyi gong serta peti jenazah dipayungi. Pada saat orang mengangkat peti jenazah, bagian kaki harus dikeluarkan terlebih dahulu, dan peti jenazah tersebut tidak boleh langsung dibawa ke luar rumah, melainkan harus dibawa keluar melalui ambang pintu sebanyak tujuh kali bagi jenazah laki-laki dan tiga kali bagi jenazah perempuan. Setelah peti jenazah diangkat keluar kemudian dibawa ke tempat
(3)
penguburannya atau sering juga diletakkan dalam sebuah rumah-rumahan yang diberi atap dan bertiang empat buah.
3.3. Pelakasanaan Upacara Setelah Penguburan Mayat 3.3.1. Upacara Pengusiran Roh-Roh Jahat
Kematian dipercaya mendatangkan roh-roh jahat, jadi seusai penguburan selalu diadakan upacara mengusir roh jahat. Selain mengusir roh jahat upacara ini juga upacara pengucapan syukur dan mohon bantuan dewa untuk menentramkan suasana yang dianggap tidak seimbang karena kematian salah seorang anggota keluarga.Upacara ini dilakukan tiga hari setelah pemakaman bagi orang kebanyakan (orang biasa), dan tujuh hari setelah pemakaman bagi golongan bangsawan, kepala desa/kampong, dan tokoh masyarakat lainnya.
Di upacara ini orang memotong ayam dan babi dan darahnya dipergunakan sebagai alat membersihkan semua peralatan yang digunakan pada upacara kematian. Untuk keperluan upacara dipanggil tiga orang pemimpin upacara yang mengetahui pelaksanaan upacara dan orang-orang tersebutlah yang melaksanakannya. Sebagai hidangan untuk para dewa (sangiang) disediakan daging ayam yang telah dimasak, dan sangiang ini adalah dewa pelindung manusia. Supaya roh-roh jahat tidak murka kepada manusia maka bagi roh-roh jahat disediakan juga hidangan-hidangan tertentu yaitu ayam yang telah dimasak pula.
3.3.2. Upacara Wara (Menghantarkan Arwah Ke Akhirat)
Upacara Wara merupakan akhir kegiatan upacara kematian yang dikenal Suku Dayak Lawangan yang memeluk kepercayaan Kaharingan. Bagi orang kaya, pada saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia mereka dapat segera menyelenggarakan upacara tiwah begitu upacara-upacara awal selesai dilakukan. Orang-orang kaya ini tidak perlu menunggu satu atau dua tahun seperti orang-orang umum yang miskin. Upacara ini dilakukan setelah masa panen sebabnya pada waktu itu dianggap sebagai masa tenggang dari semua kegiatan pertanian, dan pada masa panen masyarakat memiliki persediaan bahan makanan yang cukup.
(4)
Setelah semua persiapan untuk menyelenggarakan upacara selesai, maka upacara dapat dimulai. Upacara wara umumnya dipimpin oleh sedikitnya tujuh orang dan paling banyak sembilan orang. Dari kelompok pemimpin upacara ini ditunjuk seorang pimpinan umum. Dan yang lain menjadi anggota biasa yang memiliki masing-masing tugas. Tugas dari pemimpin upacara tersebut yaitu mengantarkan arwah ke dunia akhirat. Upacara ini diadakan tergantung dari keadaan ekonomi keluarga pelaksananya. Upacara ini bisa berlangsung selama tiga hari, tujuh hari atau lebih dari satu bulan.
Pada awal mula upacara, menggali kuburan dan mengambil peti, kemudian dikumpulkan pada tempat khusus yang telah disediakan sebelumnya. Jenazah dibersihkan oleh anggota keluarga dan pada akhir upacara tulang-tulang akan dibakar. Karena upacara pembakaran tulang ini hanya simbolisnya saja, masih banyak sisa-sisa tulang yang tidak ikut dibakar. Sisa tulang-tulang tersebut dibungkus dengan kain berwarna merah, diletakkan dalam gong lalu diangkat ke tempat menyimpan tulang. Di situlah tulang-tulang akan disimpan selama-lamanya.
Dalam tugasnya memimpin upacara, para pemimpin upacara duduk berjejer dalam balai upacara dan masing-masing memegang sebuah tambur. Sambil mengucapkan kata-kata tertentu mereka memukul tambur dengan irama yang khas. Selama upacara berlangsung setiap malam hari para pria dan wanita baik tua ataupun muda menyanyi sambil menari mengelilingi jenasah. Dan sering pula gerak dan tari-tarian dilakukan secara massal oleh pemimpin upacara dan anggota keluarga dari orang yang meninggal, bahkan para pengunjung atau turis pun ada yang turut bergabung dalam upacara ini.
(5)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Masyarakat Dayak Lawangan memiliki kebudayaan yang beraneka ragam, mulai dari
kesenian sampai tata cara kehidupan sehari-hari. Upacara kematian merupakan salah satu wujud
kebudayaan. Hal ini disebabkan karena upacara kematian ini muncul dari keadaan yang ada
dalam masyarakat setempat. Upacara kematian ini merupakan aturan yang di buat oleh nenek
moyang berdasarkan ajaran agama maupun kepercayaan bersama masyarakat setempat, yang
telah diwariskan kepada generasi berikutnya.
Secara umum upacara kematian suku bangsa Dayak Lawangan hampir sama dengan
upacara kematian suku bangsa lainnya yang berada di Kalimantan Tengah. Sebab masyarakat
Kalimantan Tengah banyak yang menganut agama Kaharingan. Namun demikian, agama Kristen
dan Islam pun telah banyak mempengaruhi perkembangan upacara adat di Kalimantan Tengah.
Menurut kepercayaan mereka bahwa orang-orang yang telah meninggal rohnya akan
terus menjalani kehidupan di alam baka. Oleh karena itu, dilakukanlah upacara tradisional oleh
suku bangsa Dayak Lawangan agar arwah yang telah meninggal bisa tenang di alam sana.
4.2. Saran
Kita sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki beraneka ragam kebudayaan sebaiknya ikut berperan dalam membina dan memantapkan kebudayaan nasional agar kebudayaan daerah akan terus tumbuh dan tidak hilang. Perlunya rasa saling pengertian antara sesama golongan dalam masyarakat berbudaya agar tercipta kedamaian. Dan pemerintah serta ahli budaya sebaiknya memberikan informasi dan menjaga kelestarian upacara kematian suku bangsa Dayak Lawangan agar masyarakat luas mengetahui sekaligus memahami makna yang terkandung didalamnya.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Ahmad, Drs. dan Sastrosuwondo, Sumantri.1985. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional.
Dyson, L.1980. Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan