Perilaku Menyimpang Tokoh Utama dalam Novel Gerhana Kembar Karya Clara Ng: Tinjauan Psikosastra

Telangkai Bahasa dan Sastra, Januari 2015, 90-96 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266

Tahun ke-9, No 1

PERILAKU MENYIMPANG TOKOH UTAMA DALAM NOVEL GERHANA KEMBAR KARYA CLARA NG: TINJAUAN PSIKOSASTRA

Ratu Verawaty Ganesha Operation raturv@yahoo.com

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan perilaku menyimpang tokoh utama dan untuk menguraikan aspek-aspek kejiwaan tokoh utama dalam novel Gerhana Kembar. Data dikumpulkan dari novel Gerhana Kembar dikaji dengan menggunakan teori psikosastra dan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Dari analisis data disimpulkan hal-hal berikut ini: 1. Perilaku menyimpang yang dilakukan tokoh utama dalam novel Gerhana Kembar adalah perilaku seks menyimpang yaitu lesbian; 2. Faktor penyebab dua tokoh utama dalam novel Gerhana Kembar menjadi lesbian karena faktor psikologi dan faktor lingkungan; 3. Pengorbanan seorang lesbian kepada keluarganya lebih utama dari pada kebahagiaan yang akan diperoleh dengan pasangan lesbiannya. Novel Gerhana Kembar karya Clara Ng diciptakan atas dasar pengamatannya dan dorongan moralnya kepada kaum lesbian di Indonesia.
Kata Kunci: perilaku menyimpang, novel, psikosastra

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Karya sastra merupakan wujud dari sebuah proses gejolak dan perasaan seorang pengarang terhadap realitas sosial yang merangsang kesadaran pribadinya. Dengan kedalaman imajinasi, visi, asumsi, dan kadar intelektualitas yang dimiliki, seorang pengarang akan mencoba menggambarkan realitas yang ada ke dalam karya ciptanya. Suatu kenyataan bahwa seorang pengarang itu senantiasa terlibat dengan berbagai permasalahan. Jabrohim (2003: 157) mengatakan, “Dalam bentuk yang paling nyata, ruang dan waktu tersebut adalah masyarakat atau kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi”. Oleh karena itu, sebuah karya sastra bukanlah sebuah karya yang bersifat otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu diciptakan. Seorang pengarang menciptakan karya sastra yang dibuat secara selektif, menarik, dan dibentuk sesuai dengan tujuan sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman hidup manusia. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat. Dia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Damono (2002: 1) menyatakan bahwa karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Berdasarkan hal inilah sebuah karya sastra, dalam hal ini novel, perlu dianalisis agar dapat diambil manfaatnya. Untuk itu, novel
90

Ratu Verawaty
Gerhana Kembar karya Clara Ng penulis kaji berdasarkan teori psikosastra. Novel Gerhana Kembar setebal 358 halaman yang diterbitkan oleh Gramedia adalah kisah perjalanan hati. Novel ini merupakan kisah tentang keluarga, kisah tentang keberanian, kekuatan, dan ketabahan, serta kisah cinta yang tidak pernah kehilangan makna walau diberikan di antara dua perempuan. Gerhana Kembar menjadi novel yang sangat penting dalam catatan sejarah sastra Indonesia. Hal itu karena Gerhana Kembar pernah dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas sepanjang Oktober 2007 hingga Januari 2008, yang mengikuti jejak novel fenomenal karya legenda sastra Indonesia, Marga T. dengan Karmila pada tahun 1973. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Gerhana Kembar adalah novel bertema lesbian yang dibaca oleh puluhan ribu pembaca koran setiap harinya. Novel ini dibuat dengan kisah parallel antara tahun 1960-an dan masa sekarang. Novel ini mengisahkan tiga generasi nenek-ibu-cucu bernama Diana-ElizaLendy yang terangkai melalui sebuah naskah tua. Lendy yang berprofesi sebagai editor menemukan naskah yang diyakini sebagai naskah yang dibuat neneknya. Semakin lama membaca naskah itu, Lendy yakin naskah berjudul Gerhana Kembar tersebut merupakan kisah nyata.
Naskah Gerhana Kembar menceritakan tentang hubungan Fola dan Henrietta yang terjadi sekitar tahun 1960-an. Dua perempuan yang saling mencintai, tetapi permainan takdir membuat mereka tidak bisa bersama. Latar belakang 1960-an mengingatkan kita bahwa lesbianisme bukanlah produk dari kebudayaan modern. Hal ini membuka mata kita bahwa sesungguhnya lesbianisme sudah ada sejak zaman dahulu. Novel ini tidak hanya bercerita tentang lesbian, tetapi juga bercerita tentang menjadi perempuan, istri, ibu, anak, dan cucu, serta cinta dan kebahagiaan. Selain itu, novel yang bertema lesbian belum banyak dikaji di Fakultas Sastra USU. Di Indonesia, lesbian merupakan perilaku menyimpang. Masyarakat masih menganggapnya tabu karena berseberangan dengan norma-norma agama. Para lesbian dianggap sebagai makhluk kotor dan hina sehingga kehadiran mereka belum dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang menjunjung adat ketimuran. Oleh karena penolakan itu, mereka belum berani secara terang-terangan memublikasikan bahwa mereka adalah lesbian. Masalah lesbian dalam novel Gerhana Kembar ini sangat menarik untuk dikaji karena karya sastra merupakan cerminan hidup masyarakat. Jadi, secara otomatis novel Gerhana Kembar karya Clara Ng ini merupakan gambaran hidup sekelumit perempuan Indonesia yang mengalami masalah tentang kehidupan seksnya yang menyimpang yaitu lesbian.
2. Masalah

Pengkajian novel Gerhana Kembar karya Clara Ng ini dilakukan dengan pendekatan psikosastra. Adapun masalah yang akan dikaji adalah:
1) Perilaku menyimpang dua tokoh utama dalam novel Gerhana Kembar. 2) Aspek-aspek kejiwaan yang dialami oleh dua tokoh utama yang melakukan perilaku
menyimpang dalam novel Gerhana Kembar ditinjau dari psikosastra.
KERANGKA TEORI
1. Landasan Teori
Sastra sebagai “gejala kejiwaaan” mengandung fenomena-fenomena kejiwaan yang terlihat lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra (teks sastra) dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Hal ini dapat diterima karena sastra dan psikologi memiliki hubungan yang bersifat tidak langsung dan fungsional (Jatman, 1985: 165; Roekhan, 1987: 144). Hubungan tidak langsung artinya hubungan itu ada
91

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
karena baik sastra maupun psikologi kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama yakni jiwa manusia. Pengarang dan psikolog sama-sama manusia biasa. Mereka mampu menangkap masalah jiwa manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu, setelah mengalami proses pengolahan, diungkapkan dalam bentuk sebuah karya. Perbedaannya hanya sang pengarang mengemukakannya dalam bentuk karya sastra, sedangkan psikolog sesuai dengan keahliannya mengemukakannya dalam bentuk formulasi teoriteori psikologi. Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional yakni samasama berguna untuk sarana mempelajari jiwa manusia. Perbedaannya hanyalah gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan manusia yang imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil. Secara definitif, tujuan psikosastra adalah aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian, bukan berarti analisis psikosastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman kepada masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya. Misalnya, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan lainnya yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan kejiwaan (psycho). Psikosastra sebagai sebuah disiplin terdiri atas beberapa pendekatan studi yaitu (1) pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologis penulis dalam proses kreatif yang terproyeksi lewat karya ciptanya, (2) pendekatan tekstual yang mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra, dan (3) pendekatan reseptif pragmatis yang mengkaji aspek psikologis pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya sastra yang dinikmatinya serta proses rekreatif yang ditempuh dalam menghayati teks sastra. Pada dasarnya psikosastra memberikan perhatian pada pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra. Karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikosastra sebab dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan.
2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mendeskripsikan dan menganalisis perilaku menyimpang dua tokoh utama dalam
novel Gerhana Kembar. b. Mendeskripsikan dan menganalisis tinjauan psikosastra terhadap aspek-aspek
kejiwaan tokoh yang melakukan perilaku menyimpang dalam novel Gerhana Kembar.
METODE PENELITIAN
Adapun objek penelitian ini adalah data tulis dari teks novel Gerhana Kembar karya Clara Ng. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode membaca heuristik (membaca dari awal sampai akhir) dan hermeneutik (membaca berulang). Novel dibaca sebanyak tiga kali dan mencatat hal-hal yang menyangkut bahan analisis seperti bentuk perilaku menyimpang dan aspek kejiwaan tokoh dalam novel. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik catat pada kartu data. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan. Dari penelitian ini diperoleh data dan informasi melalui buku-buku tentang objek penelitian. (Semi, 1993: 8). Pendeskripsian dimulai dengan menjelaskan perilaku menyimpang dua
92

Ratu Verawaty
tokoh utama dan gambaran aspek-aspek kejiwaan tokoh dalam novel Gerhana Kembar. Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif yaitu penelitian yang sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual (Moleong dalam Jabrohim 2003: 23).

PEMBAHASAN
Dalam KBBI, perilaku artinya tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan, sedangkan menyimpang artinya menyalahi (kebiasaan, menyeleweng (dari hukum, kebenaran, dan agama). Menurut James W. Van den Zanden (dalam Blog Setetes Ilmu di Samudera Pengetahuan), perilaku menyimpang adalah suatu bentuk perilaku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas toleransi yang umumnya dilakukan terus-menerus. Dari beberapa defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku menyimpang bertentangan dengan masyarakat. Salah satu bentuk perilaku menyimpang adalah penyimpangan individual. Penyimpangan ini dilakukan seseorang dengan melakukan pelanggaran terhadap suatu norma yang berlaku dalam masyarakat. Bentuk penyimpangan individual yang berhubungan dengan masalah seks adalah lesbian. Masyarakat Indonesia masih menganggap hubungan heteroseksual (hubungan jenis kelamin berbeda) sebagai hubungan sosial yang sah menurut norma adat dan agama, sedangkan hubungan homoseksual (hubungan jenis kelamin yang sama) pada pria disebut gay dan pada wanita disebut lesbian adalah hubungan sosial yang tercela dan melanggar aturan sehingga homoseksual belum dapat diterima dalam masyarakat Indonesia. Psikosastra sebagai salah satu disiplin ilmu yang mengkaji tentang aspek kejiwaan tokoh dalam sebuah karya sastra dapat dikaitkan dengan perilaku menyimpang tersebut. Perilaku menyimpang yang terdapat dalam novel Gerhana Kembar karya Clara Ng adalah penyimpangan seksual berbentuk lesbian yang dilakukan dua tokoh utama, Fola dan Henrietta. Kedua tokoh utama dalam novel tersebut diceritakan menjalani sebuah hubungan seksual sesama perempuan yang mengatasnamakan cinta, seperti dalam kutipan berikut ini. “…mencintaimu. Ingin sekali Fola dapat mengatakan kata itu kepada Henrietta. Tapi bukankah kata itu terlalu awal untuk diucapkan? Bibirnya kering dan lidahnya sulit digerakkan” (GK: 72). Tokoh yang bernama Henrietta adalah orang yang bertindak lebih dulu untuk melakukan perilaku seksual dengan mencium pasangan lesbiannya, Fola. Hal itu digambarkan seperti kutipan berikut ini. “Lalu, tiba-tiba, Henrietta mengulurkan tangannya ke depan, melingkarkan tangannya tepat pada bahu Fola, memeluknya erat, dan mencium rambut Fola tepat di ubun-ubun. Ini lebih berupa gerakan spontan daripada ciuman lembut penuh kasih sayang. Fola menggeliat keras berusaha menjauh, tapi Henrietta tidak ingin berhenti. Malah bibir Henrietta terus bertubitubi menjelajahi telinga, tulang pipi, dan akhirnya menjadi sangat dekat dengan sudut bibir Fola. Ketika Fola nyaris berteriak untuk mengakhiri serbuan ini, gerakan Henrietta melambat. Dengan lembut Henrietta mengusapkan bibirnya pada ujung bibir Fola, menciumnya dengan ringan dan santai. Setelah itu dia melepaskan Fola dan membiarkan Fola berputar untuk mundur tiga langkah untuk menjauhi dirinya” (GK: 70). Dari gambaran di atas, Henrietta tampak bertindak agresif. Hal ini menyiratkan bahwa sifat pria ada dalam dirinya.
Stereotip jenis kelamin yang lazim pada pria bersifat agresif, mandiri, lebih dominan, aktif, percaya diri, senang bertualang, dan kurang tertarik memperhatikan penampilan diri. Semua sifat tersebut ada dalam perilaku Henrietta sehingga dapat disebut sebagai butch yaitu lesbian maskulin yang bertindak layaknya seorang pria. Sedangkan Fola menjadi lesbian feminin, disebut femme, karena sifatnya yang lemah lembut, peka terhadap perasaan, rapi, mengungkapkan perasaan dengan lembut, dan mudah menangis. Penampilan fisik Fola seperti dalam kutipan berikut ini. Rambutnya yang hitam kini panjang terurai sampai ke bahu. Setiap pagi, Fola mengikatnya kencang-
93

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
kencang ke belakang, membentuk kepang dua. Jepit rambut menahan rambutnya di sisi kanan dan kiri supaya tidak berjatuhan. Dia tidak mempunyai poni. Wajahnya agak sedikit bundar, sehingga akan tampak aneh apabila dahinya dipenuhi rambut.
Tubuh Fola ditutupi blus sederhana berwarna putih dan rok sebetis berwarna merah. Dia mengenakan sepatu pantofel hitam dengan hak rendah, sepatu kesukaannya. Fola perempuan manis yang selalu tampak anggun dengan pakaian yang dikenakannya. (GK: 13).
Pada kenyataannya kemunculan seseorang menjadi homoseksual bukan kehendaknya sendiri. Menurut Kartini Kartono (dalam Sa’abah, 131), perkembangan kemunculan lesbianisme dimulai ketika anak menginjak masa remaja. Pada masa ini, sikap biseksualitas (mencintai kawan putri juga mencintai kawan pria) mereka dapat berkembang ke arah abnormal karena faktor luar maupun dalam diri mereka yang akhirnya menggiring mereka menjadi lesbian. Dalam novel Gerhana Kembar terdapat dua faktor yang menyebabkan dua tokoh utama menjadi lesbian.
1. Faktor Psikologi
Salah satu kelompok dari wanita lesbian adalah mereka yang tidak memiliki tandatanda kelainan fisik yang terlalu mencolok. Jadi, mereka memiliki konstitusi jasmaniah sempurna wanita. Adapun tanda-tanda itu diakibatkan oleh faktor-faktor psikogin. Masa pubertas merupakan faktor terpenting bagi pemastian seksualitas wanita yaitu gadis puber ini akan menjadi wanita dewasa yang homoseksual atau akan menjadi heteroseksual. Hal tersebut terjadi karena objek seksual itu tidak selalu berwujud seorang pria saja, tetapi bisa juga berwujud seorang wanita. Misalnya saja, bentuk kecintaan anak gadis yang ditujukan pada seorang teman wanita. Dalam periode biseksual, periode mencintai seorang kawan pria dan sekaligus mencintai seorang kawan putri pada usia puber, sering terdapat tendens kelaki-lakian pada diri anak gadis yang diperkuat oleh faktor-faktor psikis seperti identifikasi yang terlalu ketat terhadap ayah. Faktor psikologi inilah yang menyebabkan Henrietta menjadi seorang lesbian yang bertindak sebagai butch yaitu lesbian maskulin. Pada masa puber, seorang anak berusia sekitar 10-12 tahun, Henrietta sering melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan pria seperti mengecat rumah bersama ayahnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini. “Aku hanya bercanda. Dulu waktu berusia sebelas atau dua belas tahun, aku sering membantu Ayah mengecat rumah” (GK: 67).
2. Faktor Lingkungan
Pada masa adolesensi, masa seorang anak menginjak remaja, terjadi proses kematangan yang berlangsung secara lambat dan teratur. Masa ini merupakan kunci dari perkembangan anak. Pada periode tersebut anak gadis banyak melakukan instropeksi dan mencari-cari sesuatu dalam dirinya. Akhirnya, ia menemukan akunya dalam artian menemukan harmoni baru antara sikap dalam diri sendiri dengan sikap ke luar pada dunia obyektif. Menurut banyak ahli, batas waktu adolesensi itu adalah 17-21 tahun. (Kartini, 1992) Seorang anak mulai merasa mantap dan stabil ketika mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Ia mempunyai pendirian tertentu dan memilih satu pola hidup. Fola dan Henrietta bertemu pertama kali ketika Fola berusia sekitar 21 tahun. Jadi, pada saat itu Fola sedang dalam masa adolesensi. Fola telah memutuskan bekerja sebagai seorang guru TK. Seperti dalam gambaran berikut ini. “Fola merapikan kertas-kertas pekerjaan murid-muridnya dan mengangkat kepala. Jam di pergelangan tangannya telah nyaris mendekati angka dua belas. Kelas telah hening sejak sepuluh menit yang lalu. Murid-murid mungilnya telah kembali ke rumah masing-masing” (GK:
94

Ratu Verawaty
60). Namun, pada masa itu, Fola belum memiliki seorang pacar kemudian ia bertemu dengan Henrietta, sosok perempuan yang membawa banyak perubahan dalam hidupnya. Faktor penyebab fola menjadi lesbian adalah faktor lingkungan, tepatnya lingkungan pertemanannya dengan Henrietta. Dikisahkan Fola adalah gadis periang, tetapi tidak diceritakan ia memiliki teman. Seolah-olah keseharian fola hanya dengan muridmuridnya. Jadi, begitu Henrietta muncul dan menawarkan sebuah hubungan pertemanan, Fola seakan tidak dapat menolak. Salah satu faktor seseorang menjadi lesbian karena orang-orang sekitarnya. Dalam hal ini, Fola menjadi lesbian karena Henrietta. Fola merasa sangat nyaman berada di dekat Henrietta. Itu menandakan dirinya merasa dilindungi dan diperhatikan. Henrietta memang bersikap baik karena seiring dengan berjalannya pertemanan mereka, keduanya saling mencintai. Hal itu tergambar seperti dalam kutipan berikut ini. “Fola tidak mengatakan terima kasih atau bahkan mencari-cari alasan untuk menolak ajakan Henrietta. Henrietta justru membuatnya merasa nyaman. Tatapan perempuan itu terlihat tulus dan jujur (GK: 50).
Ada beberapa jenis lesbian yang dapat dikaitkan dengan hubungan Henrietta dan Fola dalam novel Gerhana Kembar. Jenis lesbian itu adalah blatant homosexual pada Henrietta dan desperate homosexual dan secret homosexual pada Fola. Jenis lesbian pada tokoh Henrietta adalah jenis blatant homosexual yaitu hubungan lesbian yang terjadi ketika salah satu pasangannya berkepribadian laki-laki/maskulin. Seperti yang telah digambarkan pada karakteristik lesbian sebelumnya yang berperan sebagai laki-laki adalah Henrietta. Jenis lesbian yang dapat dikaitkan pada tokoh Fola ada dua bentuk yaitu desperate homosexual dan secret homosexual. Pada hubungan desperate homosexual biasanya kaum lesbian ini sudah menikah. Akan tetapi, mereka tetap menjalani kehidupan homoseksual dengan bersembunyi dari suaminya. Jenis lesbian ini dapat berlanjut ke jenis lain yaitu secret homosexual ketika kaum lesbian tersebut adalah mereka yang sudah menikah dan mempunyai anak. Kaum homoseksual ini pandai sekali menyembunyikan identitas sehingga tidak seorang pun tahu mereka homoseks. Hanya orang terdekatnya saja yang mungkin tahu. Ketika pertama kali Henrietta dan Fola bertemu, Fola belum menikah. Oleh karena Henrietta diterima sebagai pramugari, mereka berpisah. Selama perpisahan itulah Fola harus menikah dengan dengan Erwin. Padahal saat itu Fola telah mencintai Henrietta. Fola tidak pernah mencintai suaminya. Ia menikah karena terpaksa. Ia tidak tega melihat ibunya yang sedang sakit dan ibunya ingin agar Fola segera menikah dengan Erwin. Walaupun Fola telah menikah, ia tetap berhubungan dengan Henrietta. Diceritakan bahwa saat itu Fola sedang mengandung anak Erwin dan tanpa sengaja Fola dan Henrietta bertemu kembali setelah beberapa tahun terpisah. Hal itu tergambar seperti dalam kutipan berikut ini. “Fola! Ya ampun, kau benar-benar Fola!” mata Henrietta berbinar. Dia menatap ke arah perut Fola yang menggelembung (GK: 114). Sampai akhir hayatnya, Erwin tidak pernah tahu bahwa Fola, istri yang dicintainya, seorang lesbian. Hubungan Henrietta dan Fola terus berlanjut dan yang mengetahuinya pada saat itu hanya Eliza, anak Fola.
Bangsa Barat berpendapat bahwa kebebasan dan pemuasan badani merupakan hak sejak lahir. Pembatasan pemuasan seks seseorang oleh masyarakat adalah perbuatan keji. Pola pikir seperti inilah yang berperan memunculkan kaum homoseksual. Pola pikir yang melulu mencari kepuasan diri padahal batas kepuasan itu dalam dunia seks hampir tidak ada. Cinta lesbian sangat mendalam dan lebih hebat dari percintan pasangan normal. Mungkin hal tersebut benar adanya karena pada umumnya pasangan lesbian merasa sama-sama satu hati. Hal itu tergambar seperti dalam kutipan berikut ini. “Sesama perempuan biasanya mempunyai ikatan yang lebih kuat daripada hubungan antara lelaki dan perempuan” (GK: 98). Hubungan yang mengatasnamakan cinta pada pasangan tidak akan pernah lepas dari tindakan-tindakan yang mengarah pada hubungan seksual, baik itu sekadar ciuman, pelukan, ataupun hubungan badan. Henrietta dan Fola juga melakukan hubungan badan.
95


Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015
DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. (2002). Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Freud, Sigmund. (2006). Pengantar Umum Psikoanalisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hall. Calvin S. (1995). FREUD Seks, Obsesi, Trauma, dan Katarsis. Jakarta: Delapratasa. Jabrohim. (2003). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Jatman, Darmanto. (1985). Sastra, Psikologi, dan Masyarakat. Bandung: Alumni. Kartono, Kartini. (1992). Psikologi Wanita (Jilid 1) Mengenal Gadis Remaja dan Wanita
Dewasa. Bandung: Mandar Maju. Luxemburg, Jan van, dkk. (1989). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick
Hartoko.Jakarta: Gramedia. Mahayana, Maman S. (2005). Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi
Kritik. Jakarta: Bening Publishing. Moleong, Lexy J. (1989). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Nasution, Ikhwanuddin. (2003). “Hermeneutik: Sebuah Metode Penelitian Sastra”. dalam
Studi Kultura, Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya. Tahun 2 No. 4 Agustus. Fakultas Sastra USU. Ng, Clara. (2007). Gerhana Kembar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pradopo, Rachmat Djoko. (2003). “Penelitian Sastra Dengan Pendekatan Semiotik”. dalam Roduska, Bernad dan R. Turman S. 2008. Empat Teori Kepribadian. Jakarta: Restu Agung. Roekhan. (1987). “Ruang Lingkup Kajian Psikologi Sastra” dalam Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra dan Pengajaran oleh Nurhadi (Ketua Ed.). Malang: JPBSI FPBS IKIP Malang. ________ (1990). “Penelitian Tekstual dalam Psikologi Sastra: Persoalan Teori dan Terapan” dalam Sekitar Masalah Sastra. Aminuddin (ed.). Malang: YA3. Sa’abah, Marzuki Umar. (2001). Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam. Jogjakarta: UII Press. Sarwono, Sarlito Wirawan. (1997). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Semi, Atar. (1993). Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. (1990). Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh Melani Budianto. Jakarta: Gramedia. Blog Rahasia Bulan. Diakses 2 Januari 2008. Blog Setetes Ilu di Samudera Pengetahuan. Diakses 7 Maret 2007. http://en.wikipedia.org/Etimologi Lesbian.Diakses 14 Maret 2007. http://ratihkumala.com/wp-content/uploads/clara2.jpg. www.sepocikopi.com.
96