Akan tetapi, apabila peralihan agama dalam suatu perkawinan, tetapi dalam hubungan perkawinan mereka tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, dengan
kata lain rumah tangga mereka tetap dalam keadaan rukun dan damai, dan mereka tetap mempertahankan perkawinannya, maka para ulama sepakat bahwa perkawinan mereka
tetap tidak sah, dikarenakan dalam pandangan hukum Islam hubungan yang dilakukan oleh orang muslim dan orang kafir adalah tidak halal dan hukumnya haram. Keharaman
perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan pertimbangan kemudharatan. Hal ini dikarenakan setelah perkawinan wanita tersebut
terikat kepada suaminya dan dibawah kekuasaannya.
36
BAB IV MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA
BERSAMA
A. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974
36
Rahmat, Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, PT. Pustaka Setia, 2000, h. 132
1. Terhadap Status Anak
Seorang anak dikatakan sah atau tidak, tergantung kepada sah atau tidaknya suatu perkawinan yang menyebabkan lahirnya anak itu, dan tergantung juga kepada sah atau
tidaknya perkawinan tersebut. Dalam hal ini diartikan bahwa perkawinanlah yang akan menentukan status anak
sah atau tidak, jika suatu perkawinan itu sah, baik menurut hukum agama maupun Negara, maka anak yang akan dilahirkan mempunyai status anak sah, akan tetapi, apabila
perkawinan dari kedua orang tuanya itu tidak sah, maka anak yang akan dilahirkannya sudah pasti akan mempunyai status anak yang tidak sah.
Masalah kedudukan anak ini diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, yang berbunyi :”anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”. Dan dalam pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No 1 tahun 1974, menjelaskan :
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
pasal 44, ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan juga menetapkan:
1 Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya bilamana ia
dapat membuktikan bahwa isterinya yang telah berzina dan anak itu akibat dari pada perbuatan zina tersebut.
2 Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan
pihak yang berkepentingan. 56
Bersadasarkan pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, bahwa anak dikatakan sah apabila ia lahir dari perkawinan yang sah. Apabila perkawinan
rumah tangga yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada salah satu pihak menurut pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 1 tahun 1974, bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan di depan siding pengadilan, begitu juga dengan kemurtadan yang terjadi pada salah satu pihak dan belum diajukan ke pengadilan, maka perkawinan rumah
tangga tersebut tetap dianggap sah dan berlaku karena pengadilan belum memutuskannya.
Karena perkawinan itu masih dianggap sah menurut Undang-Undang No 1 tahu 1974, maka, hubungan mereka juga tetap dianggap sah dan bukan sebagai perbuatan zina,
begitu juga dengan anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah sah hukumnya.
Dan karena anak tersebut dianggap sah, maka konsekwensinya adalah sebagai berikut:
1. Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibu.
2. Anak mewarisi bapak dan ibu.
3. Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali dalam perkawinannya.
2. Terhadap Status Harta Bersama
Setelah secara resmi hakim memutuskan perceraian di antara keduanya yang diakibatkan oleh adanya peralihan agamamurtad yang dapat menyebabkan perselisihan
dan pertengkaran yang terus menerus di antara keduanya, maka akibat putusnya perkawinan ini dalam hal harta kekayaan harus diadakan pembagian, terutama terhadap
kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang lebih dikenal dengan harta bersama.
Sebelumnya ada beberapa macam harta, yang lazim dikenal di Indonesia antara lain:
1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usaha mereka
masing-masing, harta jenis ini adalah hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak suami atau isteri. Dan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 2,
semua itu tetap di bawah penguasaan masing-masing. 2.
Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai itu, mungkin berupa modal usaha, atau perabot rumah tangga ataupun rumah tempat
tinggal mereka suami isteri. Dan apabila terjadi perceraian maka harta ini kembali kepada orang tua keluarga yang memberikan semula.
3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung karena hibah atau warisan
dari orang tua mereka atau keluarga terdekat. 4.
Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan berlangsung atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka dan
disebut harta pencaharian. Harta ini menjadi harta bersama menurut Undang- Undang No. 1 tahun 1974 pasal 35 ayat 1, yang menyatakan bahwa harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
37
Tentang harta jenis pertama, kedua dan ketiga tidak menjadi persoalan lagi karena sudah pasti statusnya dikuasai masing-masing pihakjenis pertama. Dan jenis kedua
37
M. Idris Ramulyo, hukum perkawinan , kewarisan, hikum acara peradilan agama dan zakat menurut hukum Islam.
Jakarta: PT. Sinar Grafika , tahun 1995, Cet. 1 h. 28
kembali kepada asal dari mana datangnya harta semula itu. Sedangkan jenis ketiga harta tetap dikuasai kepala waris atau penguasa yang bersangkutan.
Yang menjadi masalah sekarang ini adalah, harta jenis keempat yakni harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan untuk menjawab pertanyaan tersebut di
atas menurut hukum Islam akan dikemukakan tentang harta bersama. Tentang ini dijelaskan dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 35
dinyatakan bahwa: harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat
tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan tersebut putus. Dengan begitu harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat
perkawinan tersebut putus baik oleh karena salah satu meninggal atau karena perceraian, maka seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta
bersama.
38
sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian, dalam hukum Islam suami maupun isteri berhak dan berwenang atas harta dan kekuasaan
masing-masing. Suami tidak berhak atas harta isterinya karena kekuasaan isteri terhadap hartanya tetap dan tidak berkurang disebabkan perkawinan, karena itu sang suami tidak
boleh mempergunakan harta isteri untuk membelanjai rumah tangga kecuali dengan izin sang isteri, bahkan harta kepunyaan istri yang dipergunakan untuk membelanjai rumah
tangga, menjadi utang suami dan suami wajib membayar kepada isterinya kecuali apabila isteri mau membebaskannya.
38
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradila Agama, t.t : P.T. Pustaka Kartini, 1990, Cet. 1 h. 299
Dalam hal pembagian harta kekayaan, maka menurut ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 35 yang berbunyi:
Pasal 35 ayat 1 harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 35 ayat 2 harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 ayat 1 mengenai harta bersama suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 36 ayat 2 mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Mengenai harta warisan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Asas hukum
yang diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat 2 tersebut merupakan asas teori hukum yang diatur dalam syariat hukum Islam, dimana isteri tetap memegang kekayaan sebagai
subyek hukum atas segala miliknya sendiri. Menguasai hasil pencaharian yang diperolehnya dari jerih payah yang dilakukannya, berhak menerima hibah dan warisan
selama perkawinannya berlangsung, dan dengan sendirinya menjadi hak dan berada di bawah penguasaannya sendiri.
39
Hal ini mengandung arti bahwa hanya harta benda yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang menjadi milik bersama yang harus dibagi menurut
hukumnya masing-masing, sedangkan harta kekayaan isteri yang berasal dari harta bawaan dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau wasiat tetap menjadi milik si isteri
dan dikuasai penuh olehnya. Begitu pula sebaliknya dengan harta kekayaan suami.
39
Ibid, h. 300.
Dan apabila pasal 35 ayat 2 dihubungkan dengan pasal 36, terdapat perbedaan antara harta bawaan dan pusaka warisan yang diperoleh salah satu pihak dan harta yang
diperoleh karena hibah atau berdasar usaha sendiri pada pihak lain, yaitu: 1.
Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam perkawinan: terhadap kedua harta inilah yang dimaksud oleh pasal 36 ayat 2, masing-masing
berhak dan berkuasa penuh menurut hukum atas harta-harta tersebut. 2.
Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau hasil jerih payah masing-masing termasuk pada kategori pasal 35 ayat 2, yaitu berada dibawah pengawasannya
masing-masing, tetapi penguasaannya tidak mutlak sepenuhnya seperti berlaku terhadap harta bawaan dan warisan. Jadi pengawasan ada di pihak-pihak tapi
bagaimana dan kemanfaatannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemiliknya. Dalam hal pembagian harta, semata-mata didasarkan kepada perceraian. Seperti
yang terdapat dalam pasal 37 bahwa: bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Jadi apabila perkawinan putus
karena perceraian, maka harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan harus dibagi dua bersama suami dan isteri. Mengenai hukum pembagiannya, maka Undang-Undang
memberi jalan : 1.
Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jka hukum tersebut
merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
3. Atau hukum-hukum lainnya.
40
Berdasarkan pasal 37 mengenai pembagian harta bersama ini didasarkan atas adanya perceraian dan tidak memandang adanya perbedaan agama. Yang disebabkan
karena berpindah agamamurtadnya salah seorang suami-isteri dalam suatu perkawinan. Jadi perbedaan agama bukanlah suatu penghalang dalam hal pembagian harta. Asal saja
di antara suami isteri itu telah resmi bercerai dan atas dasar keputusan hakim dalam siding pengadilan.
Harta bawaan seseorang, baik suami atau isteri yang diperoleh sewaktu masih dalam keadaan Islam yakni sebelum diantaranya murtadberalih agama, baik harta itu
diperoleh sebagai hadiah atau warisan dari orang tuanya, maka berarti anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan orang tuanya yang didapatkan sebelum orang tuanya
murtad. Lain halnya dengan harta yang diperoleh setelah orang tuanya murtad, menurut pandangan hukum Islam maka anak-anaknya atau ahli warisnya yang lain tidak dapat
menjadi ahli waris dari harta orang yang telah murtadberalih agama itu.
41
Jadi tidak dapat dilakukan pembagian warisan karena perbedaan agama. Dasarnya adalah dalam
terjemahan hadis Nabi saw yang berbunyi: Dari Usamah bin Yazid, bahwa Rasulullah bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang
kafir terhadap orang muslim.”
42
Dengan demikian, apabila suami isteri yang murtad itu mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk diadakan pembagian warisan terhadap harta mereka, maka
pengadilan agama menolak pengajuan tersebut. Dengan alasan bahwa pengadilan agama
40
Ibid, h. 308
41
T.M. Hasbi ash-Siddieqy. Fiqhul Mawaris. Hukum Waris Dalam Syariat Islam, Jakarta Bulan-Bintang, 1973 h. 62
42
Imam Muslim, Shahi Muslim, vol II, diterjemahkan oleh Mahmud Matraji, Beirut: Daar el- Fiqri, 1993 h. 273
tidak berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Dan masalah perbedaan agama yang disebabkan karena peralihan perpindahan agamamurtad adalah menjadi penghalang
dalam hal waris-mewaris.
B. Menurut Kompilasi Hukum Islam
1. Terhadap Status Anak
Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah, baik menurut hukum Negara maupun hukum agama, dimana ikatan perkawinan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku, terlebih lagi dengan ketentuan hukum Islam yang sangat menentukan keabsahan suatu perkawinan, dan
dengan sendirinya anak yang dilahirkannya akan sah pula. Perpindahan agamamurtad akan dapat mempengaruhi keabsahan suatu
perkawinan, demikian pula anak yang dilahirkannya akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat sekali, maka dalam pembahasan ini status anak itu dapat dibedakan menjadi
tiga golongan, yaitu: 1.
Anak yang dilahirkan sewaktu Islam, anak ini adalah anak muslim. Menurut kesepakatan para fuqoha.
2. Anak yang dikandung sewaktu Islam dan dilahirkan setelah murtad, maka
hukumnya adalah sama dengan anak yang dilahirkan sewaktu Islam, karena dia telah dibuahi sewaktu Islam.
3.Anak yang dikandung dan dilahirkannya setelah murtad, maka anak itu hukumnya adalah kafir, karena dia dilahirkan di antara kedua orang tuanya yang kafir, tidak
ada pendapat lain dalam masalah ini.
43
Oleh karena itu, apabila salah satu pihak yang beragama Islam tetap mengikuti pihak lain yang telah murtad dan hidup sebagai suami-isteri, maka perkawinan rumah
tangga mereka sudah tidak sah lagi haram menurut hukum Islamdan hubungan mereka adalah suatu perzinahan.
Dan dalam kompilasi hukum Islam, masalah kedudukan anak ini diatur dalam pasal 99 yang berbunyi:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut. Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatas, maka sah atau tidaknya anak itu sangat
ditentukan oleh keabsahan perkawinan dari kedua ibu bapaknya. Hal ini mengandung arti bahwa apabila seorang anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang di dalamnya
terdapat hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, maka menurut undang-undang, anak tersebut hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja.
Perpindahan agama adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nasab dari seorang anak, apabila kedua suami-isteri itu tetap melakukan hubungan badan layaknya
suami isteri setelah adanya peralihan agama dari salah satu pihak tanpa mengindahkan ketentuan hukum perkawinan yang melarang ikatan perkawinan mereka.
Hal ini dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam pasal 100 yang berbunyi:” anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga
43
Hasbi, Hukum Antar Golongan, h. 80
ibunya. Dan dalam pasal 101 juga menjelaskan:” seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, maka dapat meneguhkan pengingkaran
dengan li’an. Sedangkan dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, menegaskan bahwa: anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah pula”. Maka apabila perkawinan rumah tangga yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada salah satu
pihak, maka menurut pasal 40 huruf c dan pasal 44 yang melarang adanya perkawinan antar agama, perkawinan tersebut harus dibatalkandifasakhkan oleh hakim dalam sidang
agama. Dan dari penjelasan-penjelasan diatas, karena perkawinan tersebut tidak sah atau
telah difasakhkan menurut ketentuan hukum Islam, maka anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah haramtidak sah, sehingga akibatnya adalah sebagai
berikut: 1.
Anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya saja. 2.
Anak hanya mewarisi dari ibunya saja. 3.
Bila anak itu perempuan, maka bapak tidak berhak menjadi wali dalam perkawinannya.
2. Terhadap Status Harta Bersama
Salah satu akibat hukum yang di timbulkan dari perceraian antara suami-isteri yang diakibatkan oleh adanya peralihan agamamurtad, adalah dalam harta kekayaan harus
diadakan pembagian, terutama terhadap harta kekayaan yang diperoleh selama berlangsungya perkawinan yang lebih dikenal dengan harta bersama. Tetapi pada
dasarnya harta suami dan isteri tepisah, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri-sendiri maupun
harta yang diperoleh dari salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.
44
Sebagai dasar atas pendirian tersebut, dapat dipergunakan dalil yang berbunyi :”bagi laki-laki ada harta kekayaan
perolehan dari hasil usahanya sendiri dan bagi wanita ada harta kekayaan perolehan dari hasil usahanya sendiri Q.S. an-Nisa ayat 32.
Sebelum memasuki penjelasannya, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian harta bersama, satatus harta bersama, serta macam-macam wujud
harta bersama. Dalam pasal 85 kompilasi hukum Islam menjelaskan adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri. Dan dalam pasal 86 ayat 1 menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Ayat 2 Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Jadi, mengenai harta kekayaan atas usaha sendiri-sendiri, sebelum perkawinan
dan harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang dari mereka atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus
untuk mereka masing-masing, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun yang diperoleh sesudah mereka berada dalam ikatan perkawinan. Apabila terjadi perceraian
antara suami dan isteri maka dalam hal pembagian harta kekayaan, menurut ketentuan
44
Ramulyo, hukum perkawinan , kewarisan, hukum acara peradilan agama dan zakat menurut hukum Islam,
h. 30
hukum Islam harta kekayaan isteri tetap menjadi milik isteri dan harta kekayaan suami menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya.
Dan apabila selama perkawinan berlangsung diperoleh harta kekayaan, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa, maka
ini disebut dengan harta syirkah, yakni harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami dan isteri. Dengan demikian telah dibuka kemungkinan syirkah atau pekongsian
atas harta kekayaan suami isteri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu. Dalam hal ini harta kekayaan bersatu karena syirkah seakan-akan merupakan harta kekayaan
tambahan karena usaha bersama suami isteri selama perkawinan menjadi milik bersama, karena itu apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus karena perceraian atau talak
maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami isteri menurut pertimbangan sejauh mana usaha mereka suamiisteri turut berusaha dalam syirkah.
45
Dengan berdasarkan alasan bahwa pada umumnya sumai isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja
membanting tulang berusaha sekedar untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari- hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka.
Kompilasi hukum Islam juga menjelaskan tentang macam-macam harta bersama, yang tertuang dalam pasal 91 ayat 1 , 2, 3 dan 4 yang masing-masing berbunyi :
1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda
wujud atau tidak berwujud. 2.
Berbunyi harta bersama yang berwujud dapat meliput benda tidak bergerak dan surat-surat berharga.
3. Harta bersama yang berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.
45
Ibid, h. 31
4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya.
46
Harta bersama inilah yang menurut ketentuan pasal 97 harus diadakan pembagian harta seperdua antara suami an isteri, apabila terjadi perceraian hidup diantara keduanya.
Dan mengenai harta kekayaan masing-masing adalah dibawah kekuasaan masing- masing, sebagaimana yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam pasal 87
1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaannya masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. 2.
Suami dan isteri mempunnyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqoh atau lainnya.
Dari pengertian pasal tersebut diatas, telah jelas bahwa kedudukan harta masing- masing suami dan isteri, terpisah dari harta bersama. Harta pribadi dari suami dan isteri
meliputi hibah, wasiat dan pemberian yang dikhususkan untuknya. Dalam masalah harta masing-masing suami isteri tidak berhak dan tidak berwenang untuk menguasai antara
satu dan lainnya. Dan harta bawaan seseorang, baik suami atau isteri itu diperoleh sewaktu masih
dalam keadaan Islam, yakni sebelum dia murtadberalih agama dari agama Islam kepada agama selain Islam, baik itu harta diperoleh sebagai hadiah atau warisan menjadi pusaka
bagi para ahli warisnya, maka berarti anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan orang tuanya yang didapatkan sebelum orang tuanya murtad. Akan tetapi, apabila harta tersebut
diperoleh setelah orang tuanya murtad dan secara resmi perkawinan kedua orang tuanya
46
Abd. Manan, Pokok-pokok hukum perdata, h. 75-76
telah di fasidkan oleh hakim pengadilan, maka menurut pandangan hukum Islam terhadap harta yang dimiliki oleh salah seorang suami isteri yang murtad, maka anak-anaknya atau
ahli warisnya yang lain tidak dapat menjadi ahli waris dari harta orang yang telah murtad. Jadi tidak dapat dilakukan pembagian warisan karena perbedaan agama. Dasarnya
adalah dalam terjemahan hadis Nabi saw yang berbunyi: 8 9 , ی ی : 6 :1
; D5
R K X ی Y R K D5 X ی Y
SM F 1
Artinya : “Dari Usamah bin Yazid, bahwa Rasulullah bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang
muslim.”
47
Dengan demikian, apabila suami isteri yang murtad itu mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk diadakan pembagian warisan terhadap harta mereka, maka
pengadilan agama menolak pengajuan tersebut. Dengan alasan bahwa pengadilan agama tidak berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Dan masalah perbedaan agama
yang disebabkan karena peralihan agamamurtad adalah menjadi penghalang dalam hal waris-mewarisi.
47
Shahih Muslim, h. 273
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN