BAB III MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PERKAWINAN
A. Konsepsi Umum Tentang Murtad
Pada zaman modern ini, kebebasan adalah termasuk dalam Hak Asasi Manusia. Kebebasan dalam hal ini dapat diartikan lebih lanjut dalam persoalan agama, sehingga
menimbulkan arti bahwa agama adalah hak azasi seseorang dalam menentukan dan memilihnya.
Islam sebagai agama juga telah menerangkan bahwa: “Tidak ada paksaan dalam agama” Banyak kalangan yang menafsirkan bahwa ayat ini menyatakan tidak ada
paksaan dalam memilih agama sehingga perbuatan murtad tidak dipersalahkan atau diperbolehkan. Penafsiran seperti ini sangat tidak beralasan karena menurut penulis ayat
ini menerangkan bahwa benar tidak ada paksaan dalam beragama, namun jika seseorang telah memilih Islamsebagai agamanya, maka ada ikatan dan kewajiban yang harus ia
lakukan dan taati dengan sepenuhnya, dan salah satunya adalah persoalan pelarangan pindah kepada agama lain murtad dan akibat hukumnya.
Persoalan kemurtadan seseorang dianggap sebagai suatu hal khusus dan penting jika dikaitan dengan perkawinan. Ada kesepakatan umum bahwa ikatan perkawinan tidak
dapat mengikat wanita muslimah dengan seorang laki-laki yang bukan Islam. Tetapi timbul kesukaran bila wanita itu menjadi murtad, sebagai salah satu cara untuk
melepaskan diri dari suami yang tidak baik, yang kejam atau yang tidak mereka sukai. Melihat fenomena yang banyak terjadi, perlu kiranya dibahas mengenai persoalan murtad
dalam bab ini, yang akan diterang sejelasnya mengenai persoa
35 36
Murtad adalah suatu kata yang jika terjadi akan mengakibatkan terjadinya putus terhadap sebuah perkawinan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-UndangNo.1
tahun 1974 tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum IslamKHI. Untuk memperluas pengetahuan mengenai konsepsi murtad dan hubungannya dengan
perkawinan akan dibahas dalam bab ini. Murtad yang dimaksud dalam penulisan skripsi adalah peralihan agama atau
perpindahan agama dari agama Islamkepada agama non-Islam. Namun peralihan atau perpindahan dari agama non-Islam kepada agama non-Islam lainya bukanlah dinamakan
murtad karena mereka tetap dalam keadaan kafir dan perpindahan dari agama Islam ke agama lain sama dengan pindah dari kebenaran ke wadah yang tidak benar.
Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. Ali Imran ayat 85 yang berbunyi: •
E Q JLY
”F–0
0ZZ 2
q 56 94
Z
7— A3B
; J \. \
\ ‚J
• Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima agama itudaripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Murtad adalah merupakan dosa besar yang dapat menghapus amal-amal saleh
sebelumnya Hukuman yang diancam oleh Allah sesuai dengan firman-Nya, dalam surat al-Baqarah ayat 217, yang berbunyi:
2 _ J ,
,
2 F 2 q
7— ˜J q5™
Ccd e fe q
F ~3C w17
A3B
0 l ?_ ; J \.
Ccd e f
~ š
?0, 7—
12 q „… 03
\ Artinya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Dan hadist Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda:
GM R F ی+ : W M G
Artinya : “Barangsiapa menganti agamanya Islamnya, maka bunuhlah ia”. H,R. At- Tirmidzi
Karena sesungguhnya Allah SWT mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk masuk kedalam dinul islam dan berpegang teguh dengannya,serta mewaspadai segala
sesuatu yang akan menyimpangkan mereka dari din yang suci ini.dia mengutus nabi- Nya,Muhammad SAW, dengan amanat da`wah yang suci dan mulia.Allah juga telah
mengingatkan hamba-Nya, barang siapa yang mengikuti seruan para rasul itu, maka dia telah mendapatkan hidayah ; dan siapa yang berpaling dari seruannya, maka ia telah
tersesat. Di dalam kitabullah, dia mengingatkan manusia tentang perkara-perkara yang menjadi sebab “ riddah “ murtad dari dinul islam dan perkara-perkara yang termasuk
kemusyrikan dan kekefiran . beberapa ulama rahimahumullah selanjutnya menyebutkan periagatan-peringatan Allah itu dalam kitab-kitab mereka. Mereka mengingatkan bahwa
sesungguhnya seorang muslim dapat di anggap murtad dari dinul islam di sebabkan beberapa hal yang bertentangan, sehingga menjadi halal darah dan hartanya. Di antara
sekian banyak hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang , syaikh Al imam Muhammad bin Abdul wahab, serta beberapa ulama lainnya menyebutkan sepuluh hal
yang bertentangan yang paling berbahaya dan paling banyak di lakukan oleh ummat islam. Dengan mengharap keselamatan dan kesejahteraan dari-Nya, kami paparkan
dengan ringkas sebagai berikut:
1.Mengadakan persekutuan dalam beribadah kepada Allah. dalam kaitan ini, Allah berfirman:
34 Ki0
5M J
La Q R›
3 J
„… 2
„œ D
y i0 •;› a3Q R›
Ÿi003 _ 4 q
6to •L
to c_l 7
moo p Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki- Nya. barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka Sesungguhnya
ia Telah tersesat sejauh-jauhnya. d34
a3Q R› Ÿi003
_ 4 q ¡†J
hi0 l
=Z
] ¢
qe y?0Z
„ • 3
K ?0tŠ
m£np Artinya : Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya
Allah ialah Al masih putera Maryam, padahal Al masih sendiri berkata: Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun. Termasuk dalam hal ini , permohonan pertolongan dan permohonan doa kepada
orang mati serta dan bernadzar dan menyembelih qurban untuk mereka . 2.Menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara doa , parmohonan syafaat, serta
sikap tawakkal kepada Allah. 3.Menolak untuk di kafirkan orang-orang musyrik , atau menyangsikan kekafiran mereka
, bahkan membenarkan madzhab mereka . 4.Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang daru Nabi Muhammad lebih
sempurna dan lebih baik , menganggap suatu hukum atau undang - undang lainnya lebih baik di bandingkan syariat Rasulullah , serta lebih mengutamakan hukum thaghut
di bandingkan ketetapan Rasulullah .
5 .Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah , meskipun di amalkannya . Dalam hal ini Allah berfirman :
C D
w1d e3 7—‚JLP
i0 • ¤
hi0 L¥ C
e q w1
m‡p
Artinya : Yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah Al Quran lalu Allah menghapuskan pahala-pahala amal-
amal mereka.
6. Mengolok- olok sebagian dari Din yang di bawa Rasulullah, misalnya tentang pahala atau balasan yang akan di terima . Allah berfirman :
67 Ÿi003
3i” ? w.Z P
„… y ‚¤ ¦ 6 m 3p
5M y?‹l
7 _
U JL
LP _ 7
w Z
34 m
p Artinya : “…Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok?Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman …”
7. Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih dari pada pertolongan dan bantuan yang di berikan kepada kaum muslimin
.Allah berfirman , yang artinya : “…Barang siapa di antara kamu, mengambil mereka orang-orang musyrik menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang dzalim,’’ Al-maidah ayat 5
8.Berpaling dari dinullah, baik karena dia tidak mau mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkanny. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
V J P7D
F 0 Ÿ3
3 ?
‰w7w § :
i0 1 Z
0d34 \
„• ‚J ]
‹4 ., mnnp
Artinya: Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang Telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, Kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya kami
akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa. As- sajadah ayat 22
Dari contoh murtad yang ada dalam penjelasan di atas, dapat disimpulan terjadinya murtad disebabkan karena tiga sebab:
1. Perbuatan yang mengkafirkan, seperti sujud pada berhala, menyembah bulan, batu
dan lain-lain. 2.
Perkataan yang mengkafirkan, seperti menghina Allah atau rasul-Nya, begitu juga memaki salah seorang Nabi Allah.
3. Itikad keyakinan seperti mengitikadkan alam kekal, Allah baru, menghalalkan zina,
menghalalkan minuman arak, begitu juga mengharamkan yang disepakati ulama akan halalnya.
B. Kedudukan Murtad Dalam Perkawinan Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan seseorang, terutama
dalam hubungannya dengan masyarakat seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak lainnya. Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat
mengenai larangan perkawinan yang mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan perkawinan. Larangan perkawinan itu dijelaskan antara lain pada Pasal 8 butir f yaitu
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
25
Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada Pasal 40 yakni dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu: a.
Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b.
Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. c.
Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
26
Kemudian pada Pasal 44 diterangkan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Di dalam Islam juga dikenal pernikahan yang tidak sah antara lain: 1.
Pernikahan mut’ah, yaitu nikah yang tujuannya semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu belaka, untuk bersenang-senang dan diadakan waktu
tertentu; sebentar atau lama. Nikah mut’ah ini pernah dihalalkan oleh Rasulullah saw di zamannya, kemudian beliau mengharamkan untuk selama-
lamanya. 2.
Pernikahan syiqhar, yaitu nikah tukar yaitu seorang laki-laki menikahkan seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki lain, dengan
perjanjian bahwa laki-laki lain itu menikahkan pula seorang wanita yang di bawah perwaliannya dengan laki-laki itu tanpa kesediaan membayar mahar.
27
Contoh si A menikahkan dengan putrinya dengan si B dengan syarat si B
25
Departemen Agama, Undang-Undang Perkawinan, h. 6
26
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, h. 241
27
Kamal Muchtar, Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet. 1, h.110
menikahkan putrinya dengannya, baik keduanya menyebutkan maharnya kepada pihak satunya atau tidak menyebutkan.
3. Pernikahan muhallil, yaitu nikah yang tujuannya untuk menghalalkan bekas
isteri yang telah ditalak tiga kali bagi suami yang telah mentalaknya itu, sehingga mereka dapat nikah kembali. Menurut Islam seorang wanita ditalak
tiga dan suaminya diharamkan rujuk kepadanya, kecuali bekas isteri telah nikah dengan laki-laki lain dengan perkawinan yang sebenarnya kemudian
bercerai atau suami keduanya meninggal dunia dan telah habis masa iddahnya.
Dari penggolongan ini timbul pertanyaan mengenai murtad, apakah mereka tidak termasuk musyrik ataukah masuk ke dalam golongan musyrik. Dalam permasalahan ini
ada berbagai pandangan sehingga timbul perbedaan apakah hukum menikahi mereka: 1. Hukum menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non muslim.
Seluruh ulama sejak masa sahabat sampai abad modern ini dan insya Allah sampai hari kiamat sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin
dengan pria non-muslim. Pada surat al-Baqarah ayat 221 menunjukan keharamannya. Keharaman itu mutlak artinya wanita Islam secara mutlak
haram menikah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam baik itu laki-laki musyrik atau ahli kitab.
28
Tujuan larangan ini adalah agar tidak terjadi penguasaan hak oleh suami yang non muslim atas isterinya yang muslim. Dan ini juga untuk menjaga martabat perempuan
muslim. Dan hal yang paling penting dikhawatirkan adalah sikap wanita yang lemah,
28
Teungku, Muhammad Hasbi, Hukum Antar Golongan, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. 1 . h. 94
sehingga mudah terpengaruh oleh prilaku lelaki yang menjadi suaminya. Perintah ini ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita muslimah kepada laki-laki
yang tergolong kafir musyrikin, keharaman ini tidak ada pembatasan atau pengikatnya. Dan apabila sempat terjadi pernikahan antara seorang lelaki non muslim dengan
perempuan muslim, seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa perkawinan itu harus dibatalkan, dan mereka harus dipisahkan , namun para ulama ini tidak menetapkan
hukuman yang dijatuhkan kepada lelaki non muslim tersebut. 2. Hukum menikah pria muslim dengan wanita bukan Islam.
a. Dengan wanita musyrikah Agama Islam melarang seorang pria muslim kawin dengan wanita musyrik,
yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lain seperti penyembah berhala, dewa-dewa atau ruh-ruh animisme. Secara mutlak hukum
perkawinan dengan wanita musyrik adalah haram. Sesuai dengan Q.s. al- Baqarah ayat 221.yang berbunyi:
5M
, F LP3Q R
STU V
W=
X Y=;Z
[ WQ J
\ C=LP3Q R[
9 ]
5M
,7 B P3Q R
STU ,
S_ C
7
[ WQ J
\ Ca3Q R[
9 ]
Ccd e f
_ A g34
?0, hi0
_ A g34
=Z ]
; J
D3j3 B3 C
0Z 1d
7 JKPLl
.
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. Q. S. al-Baqarah ayat 221
b. Dengan wanita atheis Perkawinan seorang muslim dengan wanita atheis hukumnya haram. Hal ini
berdasarkan mafhum dari surat al-Baqarah ayat 221. Seorang atheis sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian ia tidak mempunyai
agama, tidak mempercayai hari akhir, kitab suci maupun nabi-nabi Allah. Apabila seorang muslim dilarang untuk menikahi wanita musyrikah penyembah
berhala yang secara umum masih mengakui adanya Tuhan, maka sudah tentu mengawini wanita atheis lebih buruk keharamannya.
c. Dengan wanita murtaddah Mengawini wanita murtad hukumya juga haram. Yusuf Al Qardhawi
menyamakan wanita murtad dengan wanita musyrikah yang haram untuk dikawini. Seorang wanita yang murtad dari agama Islamdipandang tidak
beragama sekalipun ia pindah kepada agama samawi. Sehingga menikah dengan wanita yang tidak beragama samawi tergolong musyrikat dan
termasuk ke dalam larangan umum. [Q.S. al-Baqarah ayat 221].
Perbuatan murtad adalah dosa besar. Orang murtad tidak berhak mendapat bantuan apapun dari masyarakat Islam, tidak boleh melakukan perkawinan dengan
mereka, baik baru berumah tangga maupun melanjutkannya. Dalam hukum Islam, seseorang yang murtad dijatuhi hukuman mati. Tentu
setelah diberikan kesempatan untuk bertaubat, “Barangsiapa yang mengganti agamanya, bunuhlah ia”. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Tirmidzi. Berarti wanita yang murtad
seyogyanya dihukum mati menurut jumhur ulama, apabila hukum Islamditerapkan. Sementara Imam Hanafi berpendapat cukup dipenjara dan tidak perlu dibunuh.
Seorang muslim tidak diperbolehkan mengawini golongan murtaddah ini karena pada hakikatnya mereka sudah tidak punya hak untuk hidup. Apabila murtadnya di
tengah-tengah perkawinan maka perkawinannya menjadi fasakh rusak. Ia harus diceraikan. Jadi apabila ada pasangan suami isteri muslim, salah satunya baik suami atau
isteri keluar dari agama Islammenuju agama apapun atau sama sekali tidak beragama, maka perkawinannya menjadi batal.
29
Berkaitan dengan pasangan suami isteri yang berpindah agama, ada beberapa hukum penting yang wajib menjadi perhatian:
1 Jika suami isteri keduanya kafir kemudian setelah bersetubuh, isteri masuk Islam sedang suaminya tetap kafir, maka nafkah isteri tidak gugur, sebab yang terhalang
unutuk menikmati isteri adalah dari pihak suami padahal kalau suami mau menghilangkan halangan hukum dengan masuk Islam, ia dapat kembali menggauli
isterinya, karena itulah nafkah isteri tidak gugur.
30
2 Bila pasangan suami isteri kafir hanya satu yang masuk Islam maka:
29
Abdul, Mutaal, Perkawinan Campuran Menurut Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988 h. 8
30
Sayyid, Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung, PT. al-Ma’arif, 1996, jilid VII, h. 78
a Seorang suami yang memiliki isteri ahli kitab kemudian laki-laki tersebut masuk Islamsedang wanitanya tidak maka keduanya tetap pada pernikahannya. Hal ini
karena dalam Islammenurut jumhur ulama seorang muslim boleh menikahi wanita ahli kitab. Pasangan suami isteri ini masih bisa melanjutkan rumah
tangganya. b Suami isteri kafir yang bukan ahli kitab kemudian salah satunya masuk
Islammaka perkawinannya menjadi batal. Apabila salah satu masuk Islamsebelum masa idddah selesai maka bisa bersatu tanpa akad baru. Namun
apabila yang satu lagi masuk Islamnya setelah selesai masa iddah, maka jumhur ulama keduanya boleh kembali dengan akad nikah yang baru.
c Bila wanita kafir dan bersuami laki-laki kafir yang keduanya bukan ahli kitab, kemudian sang wanita masuk Islamsebelum terjadinya hubungan badan, maka
perkawinan mereka menjadi batal. d Bila pasangan muslim salah satu suami atau isteri murtad bila masuk agama
Yahudi atau Nasrani atau agama lainnya atau tidak beragama, maka keduanya harus dipisahkan karena perkawinannya batal, kecuali dia bertaubat masuk
Islam kembali sebelum masa iddah, bila taubat setelah masa iddah maka adanya harus diulang lagi.
31
Sehingga timbul pertanyaan bagaimanakah menikah dengan wanita dari golongan mereka? Jawaban dari pertanyaan ini adalah mengawini wanita dari golongan mereka
adalah haram, meskipun yang mereka punyai kitab yang berisi kebaikan-kebaikan atau berisi kata-kata bijak dan mempunyai nabi yang diakui sebagai perintis agama tersebut,
31
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam. Jakarta, PT. Khairil Bayan Tahun 2003, Cet. 1, h. 46-47
keberadaan mereka termasuk di dalam golongan musyrik karena di dalam al-Quran maupun sunnah yang menjelaskan keberadaan mereka, maka kembali kepada hukum
umum, sebagaimana yang telah diterangkan oleh al-Quran bahwa orang kafir selain ahli kitab adalah musyrik.
Persoalan perkawinan beda agama seringkali diremehkan dengan menggunakan taktik murtad. Dan biasanya untuk mengakali pihak keluarga atau catatan sipil, sang suami
pura-pura masuk Islam. Orang tua akan merasa senang karena sang anak bisa menarik calon suaminya memeluk agama Islam, demikian pula dengan keluarganya. Hal demikian
ini juga tidak selalu mulus karena belum tentu keluarga pasangan pria menerima murtadnya salah satu keluarga mereka. Setelah selesai menikah beberapa bulan atau
tahun sang suami pindah ke agama semula. Perbuatan pindah agama sementara itu, apakah hanya untuk melegalisasi perkawinannya atau punya tujuan lain seperti
kristenisasi, tidak akan berhasil andai kata sang isteri yang muslimah punya pendirian yang teguh.
Telah diketahui bahwa ulama sepakat bahwa riddahnya atau murtadnya keluar dari agama Islam seseorang dari suami isteri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan,
tetapi mereka berbeda pendapat dalam menggolongkan apakah termasuk talak atau termasuk fasakh. Di Indonesia putusnya ikatan perkawinan karena riddahnya seseorang
dari suami isteri termasuk fasakh dan dilakukan di depan Pengadilan Agama. “Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang jika orang itu menyatakan sendiri
dengan tegas di depan Pengadilan Agama itu bahwa ia keluar dari agama Islam.”
C. Konsepsi IslamTentang Murtad Dalam Perkawinan
Bagi seorang muslim yang menjalani perkawinan yang tidak sah, masyarakat akan mengucilkan dirinya dan keluarganya. Masyarakat muslim saat ini, terutama di
daerah perdesaan masih sangat sensitif kalau ada pasangan beda agama, apalagi jika pasangan muslim tersebut sampai pindah agama ikut suami atau isterinya. Masyarakat
masih menganggap hal tersebut sebagai aib baginya. Kalaupun tidak mengucilkan mungkin masyarakat tidak akan mempergaulinya dengan baik.
Para ulama sepakat bahwa bentuk kekufuran yang paling buruk adalah kemurtadan ar-riddah, kufur setelah Islam adalah lebih buruk daripada kufur yang asli.
Musuh Islam akan tetap berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengembalikan kekufuran kepada pada pemeluk Islam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 217, yang
berbunyi: “...mereka tidak henti-hentinya, memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu kepada kekafiran, seandainya mereka sanggup.
Kemudian Allah menjelaskan balasan orang yang mengikuti musuh yang menyesatkan dari ajaran agama itu dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 217
yang berbunyi: 2 _ J
,
, 2
F 2 q 7—
˜J q5™ Ccd
e fe q F ~3C
w17
A3B 0 l ?_
; J \. Ccd
e f ~
š ?0,
7— 12 q
„… 03 \
mno£p Artinya : “barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan kepada Islam, karena di dalamnya terkandung desersi, pemihakan dari satu umat kepada umat yang lain. Ia serupa dengan
pengkhianatan terhadap negara, karena dia menggantikan kesetiaan kepada negera lain, kaum yang lain.
32
Kemurtadan bukan sekadar terjadinya perubahan pemikiran, tetapi perubahan pemberian kesetiaan dan perlindungan, serta keanggotaan masyarakatnya kepada
masyarakat yang lain yang bertentangan dan bermusuhan dengannya. Islam menerapkan sikap yang tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya bila para pelaku menyatakan
kemurtadan diri mereka, dan menjadi pembantu pihak lain untuk melakukan kemurtadan. Karena sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius terhadap identitas
masyarakat dan menghancurkan dasar-dasar aqidahnya. Syaikh Islam, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa usaha melakukan kerusakan di
muka bumi dengan cara menyebarkan kekufuran dan keraguan terhadap agama Islam adalah lebih berat daripada melakukan kerusakan dengan cara mengambil harta benda
dan menumpahkan darah.
33
Penulis menjelaskan semua ini diakhir bab sebagai renungan tentang bahayanya murtad dan pengaruh yang akan diakibatkan oleh murtad, usaha untuk
menekan angka murtad harus dilakukan sejak dini oleh para ulama dan generasi muda Islam.
D. Status Hukum Apabila Salah Satu Pasangan Murtad 1. Menurut Fikih Islam
Ikatan perkawinan yang kekal dan abadi sepanjang masa merupakan harapan dan cita-cita bagi setiap pasangan suami isteri, keabadian tersebut diwujudkan dalam bentuk
keluarga yang harmonis, damai dan sejahtera.
32
Yusuf al-Qardhawy, Fiqh Prioritas; Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Quran Dan As- Sunnah [Fi Fiqhil Aulawiyat, Dirosah Jadiidah Fii Dhou’il Qur’an was Sunnah]
, diterjemah oleh Bahruddin F, cet.3 Jakarta: Robbani Press, 2002, hal. 188.
33
Ibid, h. 189
Oleh karena iti antara suami isteri perlu saling saling membantu dan melengkapi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bagi keluarganya, baik kebahagiaan
spiritual maupun material. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Usaha untuk
mempersukar perceraian itu hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan dengan disertai alasan-alasan tertentu sebagaimana yang telah diterapkan oleh Undang-Undang
Perkawinan tersebut. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikianlah bunyi pasal 2 ayat 1
dan 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. dari bunyi pasal tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata didasarkan pada
ketentuan hukum agama dari yang bersangkutan. Jadi, apabila ada perkawinan yang menyimpang dari norma-norma agama yang dipandang sebagai sesuatu yang menyalahi
hukum agama. Perkawinan itu juga harus dicatatkan pada pegawai pencatat nikah. Perkawinan yang demikian itulah yang dianggap sah, baik oleh hukum agama maupun
oleh hukum Negara. Di atas telah dijelaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu perkawinan menjadi fasakh batal apabila ada suatu kejadian, yaitu kejadian
yang mana menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dapat menghilangkan keabsahan perkawinan tersebut.
Menurut pandangan para ahli hukum fikih Islam, bahwa apabila dalam suatu perkawinan, salah satu pihak dari suami atau isteri berpindah agamamurtad, yaitu keluar
dari agama Islam kepada agama selain agama Islam, maka perkawinannya menjadi fasakh batal dan keduanya harus segera dipisahkan. perpindahan agamamurtadnya
salah satu pihak dari suami isteri merupakan suatu kejadian yang dapat mengakibatkan batalputusnya ikatan perkawinan demi hukum yaitu hukum Islam.Karena suatu
perkawinan dapat menjadi fasakh karena disebabkan oleh 2 hal yaitu: 1.
Apabila salah seorang dari suami-isteri murtad dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya fasakhbatal, disebabkan kemurtadan yang terjadi
belakangan ini. 2.
Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap dalam kekafirannya, maka akadnya fasakh.
34
Apabila suami atau istri murtad dari Islam, maka keduanya harus dipisahkan diceraikan. Karena murtad adalah salah satu sebab keduanya harus dipisahkan
berdasarkan kesepakatan
para ahli
fikih. Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal waktu, kapan dia harus dicerai,
dan hukum batalnya akad nikah keduanya. Ada tiga pendapat yang populer dalamhalini,yaitu.
PendapatPertama Akad nikah menjadi batal seketika itu juga, baik sebelum atau sesudah bersetubuh. Ini
adalah pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan salah satu dari dua riwayat yang ada
34
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah. Bandung, PT. al-Ma’arif, jilid VIII, 1980, Cet. 1 h, 133
dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri,
Abu Nur
dan Ibnu
Al-Mundzir. PendapatKedua.
Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahan tersebut batal seketika itu juga. Namun apabila murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka
pembatalan pernikahannya ditangguhkan hingga masa iddahnya habis. Jika orang yang murtad itu kembali masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka dia tetap pada
status pernikahannya. Dan jika dia masuk Islam setelah masa iddahnya habis, maka antara keduanya telah dinyatakan cerai sejak dia murtad. Pendapat ini dianut oleh
madzhab Syafi’iyah [4] dan Hanabaliyah dalam sebuah riwayat yang masyhur dari mereka
[5]. PendapatKetiga
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya,Ibnul Qayyim, apabila salah seorang dari pasangan suami-istri murtad, maka pernikahannya harus dibekukan. Apabila
dia kembali masuk Islam, maka pernikahannya sah lagi, baik dia masuk Islam sebelum bersetubuh atau setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis atau
sesudah masa iddahnya habis.
35
Akan tetapi Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan
agamamurtad dalam suatu perkawinan. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 38 hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan,
yaitu:
35
http:www.almanhaj.or.idcontent2287slash0 Apr 8, 08 4:30 AM
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusan pengadilan
Dan dalam pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, berbunyi:
1 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dpat hidup rukun sebagai suami isteri
Adapun perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c.
Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain e.
Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-Undang No 1 tahun 1974, suatu perkawinan baru dapat putus, apabila pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan
dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975, kecuali putusnya perkawinan karena kematian, karena tanpa diputuskan oleh pengadilan,
perkawinan itu telah putus dengan sendiri akibat adanya kematian tesebut. Jadi, apabila salah seorang dari suami isteri keluar dari agama Islammurtad, dan kemurtadan itu
belum atau tidak diajukan ke pengadilan, dan pengadilan belum memutuskannya, maka perkawinan mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda halnya menurut hukum
agama, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah. Dalam hal ini penulis berpendapat, apabila dalam rumah tangga mereka tidak ada
pertengkaran ataupun perselisihan yang disebabkan karena peralihan agama yang terjadi oleh salah satu pihak, maka perkawinan mereka tetap fasakh dan harus segera diputuskan.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, masalah mengenai perpindahan agama
ini dilihat dari pasal 4 mengenai keabsahan perkawinan yang berbunyi :”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat 1
Undang-Undang No. 1 tahun 1974. ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan keagamaankerohanian, oleh
karena itu, setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai
akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Perpindahan agamamurtad menurut kompilasi Hukum Islam merupakan suatu
kejadian yang dapat menghilangkan keabsahan perkawinan, karena hal tersebut sangat
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, yaitu adanya larangan perkawinan antara orang muslim dengan orang kafir. Ketentuan ini juga di perkuat dalam pasal 40 huruf c
yang berbunyi: ”dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu, diantaranya seorang wanita yang tidak beragama Islam.”dan
pada pasal 44 yang berbunyi:”seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.” Dilihat dari ketentuan bunyi pasal-pasal
diatas dapat ditarik istinbath hukum bahwa, setiap perkawinan yang dilakkan bertentangan dengan hukum Islam adalah tidak sah. Begitu pula, apabila dihubungkan
dengan masalah kemurtadan yang dilakukan oleh suamiisteri dalam perkawinan, hal tersebut dapat menyebabkan putusfasakhnya ikatan perkawinan mereka.
Dan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam:” perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding pengadilan agama, setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Menurut penulis, kata-kata “dapat” mengandung arti bahwa perceraian iti dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu, padahal
seharusnya pasal tersebut tidak perlu menggunakan kata “dapat”, melainkan secara otomatis perceraian terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Dan adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian diatur di dalam pasal 116 yang berbunyi: perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan
seperti tersebut di bawah ini: a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung. d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. f.
Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga. Berdasarkan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan baru putus,
apabila pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan dengan disertai alasan- alasan yang diatur dalam pasal 116 kompilasi hukum Islam, kecuali putusnya perkawinan
karena kematian, karena tanpa diputuskan oleh pengadilan , perkawinan itu telah putus dengan sendirinya akibat kematian tersebut.
Sedangkan berdasarkan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum diatas, bahwa perpindahan agamamurtad yang dilakukan oleh suami atau isteri dalam suatu
perkawinan dapat dijadikan satu alasan untuk memfasakhkan perkawinan dengan mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama, maka hakim berhak untuk
memfasidkan perkawinan dengan berdasarkan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Akan tetapi, apabila peralihan agama dalam suatu perkawinan, tetapi dalam hubungan perkawinan mereka tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, dengan
kata lain rumah tangga mereka tetap dalam keadaan rukun dan damai, dan mereka tetap mempertahankan perkawinannya, maka para ulama sepakat bahwa perkawinan mereka
tetap tidak sah, dikarenakan dalam pandangan hukum Islam hubungan yang dilakukan oleh orang muslim dan orang kafir adalah tidak halal dan hukumnya haram. Keharaman
perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan pertimbangan kemudharatan. Hal ini dikarenakan setelah perkawinan wanita tersebut
terikat kepada suaminya dan dibawah kekuasaannya.
36
BAB IV MURTAD DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA