ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PERILAKU DALAM TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELANGGARAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI KPPU

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PERILAKU DALAM TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELANGGARAN

HUKUM PERSAINGAN USAHA DI KPPU Oleh

MUHAMMAD WAHYU SUDRAJAT

Persaingan usaha yang tidak sehat merupakan tindakan yang sangat merugikan dalam dunia usaha dan perekonomian nasional. Untuk itu, lahirlah aturan hukum persaingan dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU No. 5 Tahun 1999 menentukan dibentuknya KPPU sebagai pengawas dan penyelesaian setiap perkara pelanggaran hukum persaingan usaha. Dalam melaksanakan tugasnya, KPPU diberikan kewenangan untuk mengatur sendiri tata cara penangan perkaranya, dengan menetapkan Kep. KPPU No. 5 Tahun 2000 yang disempurnakan menjadi PerKom No. 1 Tahun 2006. Salah satu alasan lahirnya PerKom No. 1 Tahun 2006 adalah adanya tambahan tahap Perubahan Perilaku sebagai salah satu bagian dari tahap dalam penanganan perkara di KPPU. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tahap Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha di KPPU? Untuk itu, penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi lengkap, jelas, dan sistematis tentang tahap Perubahan Perilaku sebagai salah satu bagian dari tahap penanganan pelanggaran dalam UU No. 5 Tahun 1999.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan normatif-empiris dengan tipe non judicial case study. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder dengan metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Setelah data terkumpul, selanjutnya diolah dengan cara pemeriksaan data (editing), rekonstruksi data (reconstructing), dan sistematisi data (systematizing). Analisis yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa alasan KPPU menetapkan Perubahan Perilaku sebagai salah satu tahap dalam tata cara penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha adalah sebagai bentuk peringatan KPPU berupa teguran kepada pelaku usaha yang diduga melanggar untuk merubah perilakunya; menumbuhkan


(2)

kesadaran atau itikad baik kepada pelaku usaha terlapor untuk melaksanakan penetapan Perubahan Perilaku; untuk mempermudah pemeriksaan perkara dan mempersingkat jangka waktu penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha.

Tata cara Perubahan Perilaku merupakan bagian dari tata cara penanganan perkara di KPPU yang harus pula diawali dengan adanya dugaan pelanggaran hukum persaingan usaha yang dilaporkan atau diketahui oleh KPPU. Untuk itu, KPPU melakukan penelitian dan klarifikasi laporan, kemudian dilanjutkan dengan pemberkasan yang diikuti dengan gelar laporan yang dihadiri oleh anggota Komisi. Jika gelar laporan dinyatakan layak, maka dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan melalui penetapan Komisi. Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan untuk memperoleh pengakuan dan bukti awal yang cukup dari pelaku usaha terlapor tentang dugaan pelanggaran yang dituduhkan kepadanya. Berdasarkan bukti awal yang cukup, KPPU mengajukan tawaran Perubahan Perilaku kepada pelaku usaha terlapor yang diduga melanggar. Tawaran Perubahan Perilaku yang diterima, ditindaklanjuti oleh KPPU dengan membuat keputusan berupa Penetapan Perubahan Perilaku yang diikuti dengan monitoring penetapan Perubahan Perilaku. Penetapan tersebut, akan menghentikan sementara (suspend) suatu penanganan perkara sebelum dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan. Sementara itu, tawaran Perubahan Perilaku yang tidak diterima, maka terhadap penanganan perkaranya akan dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan. Perubahan Perilaku ditetapkan dalam suatu Penetapan Komisi, yang memberikan akibat hukum dalam penanganan perkara bagi KPPU dan bagi pelaku usaha terlapor. Bagi pihak KPPU, adanya penetapan perubahan perilaku, berakibat KPPU melakukan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan. Hasil monitoring tersebut mempengaruhi terhadap jalannya penanganan perkara di KPPU. Sedangkan bagi pihak pelaku usaha terlapor, adanya Penetapan Perubahan Perilaku, berakibat terlapor harus melaksanakan isi penetapan yang berisikan komitmen untuk merubah perilakunya berdasarkan bukti awal adanya dugaan pelanggaran yang menciptakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Jika terlapor melaksanakan penetapan tersebut, maka penanganan perkara dihentikan hanya sampai pada tahap Perubahan Perilaku ini, sedangkan jika terlapor tidak melaksanakan penetapan tersebut, maka penanganan perkaranya dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan.


(3)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 6

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Hukum Persaingan Usaha ... 9

1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha ... 9

2. Lingkup Hukum Persaingan Usaha ... 13

3. Pihak-pihak dalam Hukum Persaingan Usaha ... 18

B.Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ... 21

1. Status KPPU ... 21

2. Tugas dan Wewenang ... 23

C.Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU ... 25

D.Kerangka Pikir ... 30

III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Tipe Penelitian ... 33

B. Pendekatan Masalah ... 34

C. Data dan Sumber Data ... 34

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

E. Analisis Data ... 37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Alasan Perubahan Perilaku ... 38

B.Tata Cara Perubahan Perilaku ... 44

1. Dugaan Pelanggaran ... 46

2. Penelitian dan Klarifikasi Laporan ... 48

3. Pemberkasan ... 49

4. Gelar Laporan ... 51

5. Pemeriksaan Pendahuluan ... 52

6. Perubahan Perilaku ... 54

C.Akibat Hukum Perubahan Perilaku ... 57

1. KPPU ... 59


(4)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(5)

DAFTAR PUSTAKA Literatur

Fuady, Munir. 1999. Hukum Anti Monopoli dalam Menyongsong Era Persaingan Sehat. P.T Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hermansyah. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Kencana. Jakarta.

Ibrahim, Johnny. 2009. Hukum Persaingan Usaha.Bayumedia. Malang.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum.Citra Aditya Bakti. Bandung.

Prayoga, Ayudha. 1999. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia. Proyek Elips. Jakarta.

Simorangkir, J.C.T., Erwin, Rudi T. dan Prasetyo, J. T. 2007. Kamus Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.

Siswanto, Arie. 2004. Hukum Persaingan Usaha. Ghalia Indonesia, Bogor.

Sitompul, Asril. 1999. Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Universitas Lampung, 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Unila Press. Bandar Lampung.

Usman, Rachmadi. 2004. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wibowo, Destivano dan Harjon Sinaga. 2005. Hukum Acara Persaingan Usaha. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaya. 1999. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli. Raja Grafindo. Jakarta.


(6)

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Website

http://www.tempointeraktif.com (diakses 5 Desember 2009) http://www.majalahtrust.com (diakses 9 Desember 2009) http://www.kppu.go.id (diakses 20 desember 2009) http://www.kapanlagi.com diakses 22 Desember 2009)


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan lapangan usaha dan kesempatan berusaha yang sama bagi setiap warga negara untuk berperan aktif dalam mengisi pembangunan ekonomi tersebut. Kesempatan berusaha yang sama dan tersedianya lapangan usaha mencerminkan tumbuh dan berkembangnya jenis usaha dan jumlah perusahaan. Lahirnya berbagai jenis kegiatan ekonomi dan banyaknya jumlah perusahaan akan menciptakan adanya persaingan usaha.

Persaingan usaha umumnya terjadi antar perusahaan sejenis dan dalam lingkup atau daerah pemasaran yang sama, di mana masing-masing perusahaan saling berusaha untuk mengungguli perusahaan lainnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, persaingan usaha menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif berupa adanya persaingan sehat (fair competition) yang melahirkan kemajuan usaha, sedangkan dampak negatif dari persaingan usaha yaitu melahirkan adanya persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang menyebabkan keterpurukan ekonomi.


(8)

Persaingan usaha yang sehat (fair competition) secara ideal akan memberikan pengaruh yang positif bagi para pelaku usaha, para konsumen dan bagi perekonomian negara. Bagi pelaku usaha, persaingan sehat dapat menimbulkan motivasi untuk meningkatkan efisiensi, produktifitas, inovasi, dan kualitas produk yang dihasilkannya. Bagi konsumen, dengan adanya persaingan mereka akan menikmati adanya penurunan harga, kebebasan memilih produk karena banyak pilihan dan kualitas produk yang lebih baik. Bagi perekonomian negara, persaingan usaha yang sehat dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan demokrasi dalam bidang ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, tanpa adanya monopoli dan pemusatan kekuasaan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Berbeda dengan persaingan usaha sehat, dalam persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition) cenderung akan berakibat negatif bagi pelaku usaha pesaing, konsumen dan pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi pelaku usaha pesaing, adanya persaingan usaha tidak sehat dapat mematikan usahanya, menaikkan harga barang yang harus dibayar bagi konsumen serta dapat menciptakan monopoli dalam suatu bidang usaha oleh satu atau lebih pelaku usaha yang berada di bawah kontrol manajemen dari pemilik perusahaan yang sama.

Persaingan usaha tidak sehat, dengan segala macam bentuk dan jenisnya merupakan tindakan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha karena dapat mematikan usaha pelaku usaha lain yang sejenis dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha yang melakukan persaingan


(9)

yang tidak sehat tersebut. Persaingan usaha tidak sehat bertujuan bahwa pelaku usaha berkeinginan berada pada posisi tunggal dengan mencegah calon pesaing bagi dirinya atau kelompoknya atau menyingkirkan pesaingnya secara tidak wajar, tidak jujur (curang) atau melawan hukum. Oleh karena itu, persaingan usaha tidak sehat memang sangat merugikan bagi dunia usaha pada umumnya, sehingga harus dicegah dan dihilangkan serta menghukum para pelaku usaha yang terbukti telah melakukan tindakan curang tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu regulasi dari pemerintah dalam kerangka hukum persaingan usaha yang dijadikan sebagai landasan hukum atau rule of the game untuk dapat mencegah atau menindak pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat.

Saat ini, Indonesia telah memiliki aturan hukum persaingan usaha yang digunakan sebagai aturan untuk menjaga iklim persaingan usaha agar tetap sehat. Hukum persaingan usaha Indonesia tersebut dimuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat UU No. 5 Tahun 1999). UU No. 5 Tahun 1999 diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, yang berlaku satu tahun kemudian sejak diundangkan yaitu secara resmi berlaku pada tanggal 5 Maret 2000.

Amanat UU No. 5 Tahun 1999 menentukan secara tegas bahwa lahirnya undang-undang ini memerlukan dibentuknya lembaga pengawas dan sekaligus lembaga yang menangani setiap perkara pelanggaran hukum persaingan usaha. Lembaga tersebut adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU atau Komisi). Saat ini, telah terbentuk dua periode KPPU yang ditunjuk dan


(10)

dilantik oleh Presiden dengan tugas utama adalah pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement)di samping tugas-tugas lain yang diamanatkan oleh UU No. 5 Tahun 1999.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999, KPPU diberikan kewenangan secara independen untuk melakukan pengawasan terhadap perbuatan atau kegiatan persaingan usaha dan menangani setiap perkara pelanggaran serta mengatur sendiri tata cara penanganan perkaranya. Berdasarkan kewenangan tersebut, sampai saat ini KPPU telah mengeluarkan dua ketentuan yang mengatur tentang penanganan dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 yaitu Keputusan KPPU No. 05/KPPU/Kep/IX/2000 tentang Tata Cara penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya disingkat Kep. KPPU No. 05 Tahun 2000). Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan transparansi dan efektifitas penanganan perkara di KPPU, Keputusan KPPU tersebut disempurnakan dan dicabut dengan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU (selanjutnya disingkat PerKom No. 1 Tahun 2006).

Lahirnya PerKom No. 1 Tahun 2006 antara lain untuk menyempurnakan dan menambah tahapan penanganan perkara pelanggaran di KPPU. Penanganan perkara menurut Kep. KPPU No. 05 Tahun 2000 dimulai dengan adanya penerimaan dan penelitian laporan dugaan pelanggaran. Selanjutnya, jika terdapat bukti yang lengkap dan mendukung maka akan dilanjutkan pada tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Hasil Pemeriksaan Pendahuluan menentukan adanya bukti awal pelanggaran yang cukup, maka akan dilanjutkan pada tahap


(11)

Pemeriksaan Lanjutan. Dalam Pemeriksaan Lanjutan itu, KPPU melakukan pembuktian terhadap dugaan pelanggaran dengan alat bukti yang ditentukan dalam hukum acara. Hasil Pemeriksaan Lanjutan ditetapkan dalam Putusan Komisi yang berisi terbukti atau tidak terbukti pelaku usaha melanggar hukum persaingan usaha. Namun demikian, melalui PerKom No. 1 Tahun 2006 dilakukan penyempurnaan dalam tata cara penanganan perkara di KPPU dengan melakukan tambahan tata cara penanganan baru yaitu berupa tahapan Perubahan Perilaku oleh pelaku usaha yang diikuti dengan monitoring oleh KPPU yang sebelumnya tidak termuat dalam Kep. KPPU No. 05 Tahun 2000.

Tahapan Perubahan Perilaku berada antara tahap Pemeriksaan Pendahuluan dan berakhir sebelum dimulainya tahap Pemeriksaan Lanjutan. Lahirnya tahap Perubahan Perilaku dalam tata cara penanganan perkara di KPPU bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi pelaku usaha yang melanggar hukum persaingan usaha agar mengakui dan merubah perilakunya serta tidak mengulangi perbuatannya yang diduga melanggar sebelum dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan. Untuk itu, lahirnya tahap Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara di KPPU dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 dilakukan dengan melihat alasan-alasan tertentu dan dilakukan berdasarkan tata cara tertentu sebagaimana dimuat dalam PerKom No. 1 Tahun 2006. PerKom No. 1 Tahun 2006 telah mengatur tata cara Perubahan Perilaku, namun belum secara rinci mengatur tentang tata cara perubahan perilaku tersebut. Berdasarkan praktik penanganan perkara di KPPU, dalam pelaksanaan tata cara perubahan perilaku adalah kewenangan KPPU dengan tetap berpedoman pada PerKom No. 1 Tahun 2006.


(12)

Perubahan Perilaku yang diberikan oleh KPPU kepada pelaku usaha yang diduga melanggar dilakukan berdasarkan suatu penetapan Perubahan Perilaku. Setelah tahap Perubahan Perilaku ditempuh, maka penetapan Perubahan Perilaku yang dihasilkan dari tahap tersebut akan menimbulkan akibat hukum tertentu bagi pelaku usaha yang melanggar dan berpengaruh pula terhadap jalannya penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha di KPPU terhadap dugaan pelanggaran yang sedang ditangani tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk skripsi mengenai tahap Perubahan Perilaku sebagai salah satu bagian dari tata cara penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha di KPPU. Untuk itu, judul penelitian ini adalah Analisis Yuridis Perubahan Perilaku dalam Tata Cara Penanganan Perkara Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha di KPPU.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tahap Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha di KPPU?

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi pokok bahasannya adalah:

a. alasan Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara di KPPU; b. tata cara Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara di KPPU;


(13)

c. akibat hukum Perubahan Perilaku terhadap penanganan perkara di KPPU.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi ruang lingkup pembahasan dan ruang lingkup bidang ilmu. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah tata cara Perubahan Perilaku sebagai salah satu tahap dalam penanganan perkara di KPPU berdasarkan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006, yaitu meliputi alasan, tata cara dan akibat hukum Perubahan Perilaku. Ruang lingkup bidang ilmunya adalah Hukum Ekonomi khususnya Hukum Persaingan Usaha.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok bahasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi secara lengkap, rinci, dan sistematis mengenai:

a. alasan Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara di KPPU; b. tata cara Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara di KPPU;

c. akibat hukum Perubahan Perilaku terhadap penanganan perkara di KPPU.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai dua aspek kegunaan yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.


(14)

a. Kegunaan Teoritis

(1) Sebagai bahan untuk memperluas pengetahuan tentang tahap Perubahan Perilaku sebagai salah satu tahap dalam tata cara penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha di KPPU;

(2) Sebagai sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya aspek-aspek hukum ekonomi yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha.

b. Kegunaan Praktis

(1) Memperoleh pemahaman yang lengkap, rinci, dan sistematis mengenai tahap Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha di KPPU berdasarkan PerKom No. 1 Tahun 2006;

(2) Sebagai saran atau masukan bagi pengambil kebijakan untuk penyempurnaan dan pembaharuan hukum persaingan usaha di masa mendatang.

(3) Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Persaingan Usaha

1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha

Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1976. Hlm. 849). Untuk itu, dikatakan suatu persaingan jika memuat unsur-unsur (Arie Siswanto. 2004. Hlm. 13) sebagai berikut:

a. ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli; b. ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.

Menurut Thomas J. Anderson menyatakan bahwa persaingan dapat terjadi dalam berbagai bidang. Persaingan dalam bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama di antara sekian banyak persaingan antar manusia, kelompok masyarakat, atau bahkan bangsa. Salah satu bentuk persaingan dalam di bidang ekonomi adalah persaingan usaha (business competition) yang secara sederhana bisa didefinisikan sebagai persaingan antara para penjual dalam “merebut” pembeli dan pangsa pasar (Arie Siswanto. 2004. Hlm 13-14). Kondisi persaingan dalam dunia usaha merupakan bentuk karakteristik utama dari sistem ekonomi pasar yang memang lebih banyak memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha dibandingkan dengan kondisi anti-persaingan yang menghendaki


(16)

adanya pemusatan kekuatan ekonomi dan menghambat pelaku usaha pesaingnya untuk masuk ke dalam pasar. Berdasarkan pendapat di atas maka secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi anti-persaingan, cenderung akan berdampak buruk di pasar. Untuk itu, diperlukan suatu regulasi dari pemerintah dalam kerangka hukum persaingan usaha yang dijadikan sebagai landasan hukum untuk dapat mencegah atau menindak pelaku usaha yang menciptakan kondisi anti-persaingan tersebut.

Hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha (Hermansyah. 2008. Hlm. 2). Hukum persaingan (Competition Law) merupakan instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan (Arie Siswanto. 2004. Hlm. 25). Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui secara umum bahwa yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur perilaku pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dengan tujuan menciptakan kesempatan berusaha yang sama dan menghindari adanya pemusatan kekuatan ekonomi.

Keberadaan hukum persaingan usaha adalah untuk mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan efektif pada suatu pasar tertentu, dengan tujuan mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi sehingga mampu bersaing dengan para pesaingnnya (Hermansyah. 2008. Hlm. 13). Saat ini Indonesia telah memiliki pengaturan tentang persaingan usaha sebagai suatu sistem dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang


(17)

digunakan untuk menata terselenggaranya proses dan kegiatan persaingan usaha di Indonesia. Tata urutan perundang-undangan yang dapat digunakan dalam penanganan perkara hukum persaingan usaha adalah sebagai berikut:

a. Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dipublikasikan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33. UU No. 5 Tahun 1999 merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang mengatur secara rinci dan komprehensif mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. UU No. 5 Tahun 1999 mengamanatkan untuk membentuk suatu lembaga independen yang bertugas untuk mengawasi dan menjalankan serta menindak pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999, maka dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Selain tentang pembentukan KPPU, Keppres tersebut berisikan tujuan, tugas, fungsi dan tata kerja KPPU sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UU No. 5 Tahun 1999 untuk menegakan hukum persaingan usaha.

KPPU diberikan kewenangan untuk membuat peraturan yang mendukung tugas dan fungsinya sebagai lembaga penegak hukum persaingan usaha (Pasal 34 ayat (4), Pasal 35 huruf (f) dan Pasal 38 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999). Peraturan tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Keputusan KPPU No. 5/KPPU/Kep/IX/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap Undang-Undang


(18)

Nomor 5 tahun 1999. Sebagaimana diubah dan dicabut dengan ditetapkan Peraturan KPPU Nomor 1/KPPU/Per/IV/ 2006 tentang Penanganan Perkara di KPPU. Kedua peraturan tersebut membicarakan mengenai tata cara penanganan perkara di KPPU, yang dimulai dari cara penyampaian laporan dugaan pelanggaran sampai pelaksanaan putusan komisi;

(2) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Perma tersebut merupakan pengaturan mengenai tata cara pengajuan upaya keberatan terhadap putusan KPPU, tata cara pemeriksaan keberatan, dan pelaksanaan putusan;

(3) Keputusan KPPU Nomor 06 Tahun 2000 tentang Kode Etik dan Mekanisme Kerja KPPU. Keputusan ini terkait dengan perilaku dan tindakan dalam melaksanakan tugas dan wewenang KPPU agar tidak menyimpang dari ketentuan yang ada;

(4) Keputusan KPPU Nomor 07 Tahun 2000 tentang Kelompok Kerja KPPU. Keputusan ini terkait dengan penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha, yaitu dengan membentuk kelompok kerja agar lebih efisien;

(5) Keputusan KPPU Nomor 08 Tahun 2000 tentang Tata Cara Dengar Pendapat KPPU. Keputusan ini terkait dengan kegiatan yang dilakukan oleh KPPU dalam mendapatkan informasi dari pihak-pihak tertentu dalam melaksanakan UU No. 5 Tahun 1999.


(19)

b. Perjanjian atau kontrak

Perjanjian atau kontrak dalam hal ini adalah setiap hubungan bisnis harus dilandasi oleh perjanjian atau kontrak dan memenuhi syarat sah sebagai perjanjian. Untuk itu, perjanjian atau kontrak ini dapat menjadi dasar hukum bagi hubungan hukum tersebut, sedangkan perjanjian yang dibuat serta berisi klausula yang melanggar undang-undang tidak dapat dijadikan dasar hukum bahkan pelanggarannya dikenakan sanksi.

c. Yurisprudensi

Yurisprudensi dalam hal ini adalah putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (artinya tidak dilakukan atau ada upaya hukum keberatan) terkait dengan masalah hukum persaingan usaha, yang menjadi sumber putusan itu meliputi putusan KPPU, putusan Pengadilan Negeri, dan putusan Mahkamah Agung tentang perkara persaingan usaha.

d. Kebiasaan dan Kepatutan dalam Kegiatan Bisnis

Kebiasaan atau kepatutan dalam hal ini adalah kebiasaan atau kepatutan yang telah diakui oleh pelaku ekonomi dapat menjadi dasar hukum antara lain seperti MoU (Memory of Understanding) yang merupakan kebiasaan yang sering dilakukan dan mengikat sebagai perjanjian bagi pihak yang membuatnya.

2. Lingkup Hukum Persaingan Usaha

Secara rinci hukum persaingan usaha termuat dalam UU No. 5 Tahun 1999. UU No. 5 Tahun 1999 mengatur larangan-larangan dari perbuatan atau kegiatan yang


(20)

dapat menciptakan persaingan usaha tidak sehat dan praktik monopoli yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Lingkup materi larangan yang dimuat dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan penyalahgunaan posisi dominan sebagai berikut:

a. Perjanjian yang dilarang

Perjanjian yang dilarang adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, di mana perbuatan tersebut melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 atau menciptakan persaingan usaha tidak sehat.

Perjanjian yang dilarang diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999, meliputi:

(1) Oligopoli, yaitu membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa untuk kepentingan sendiri (Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999);

(2) Penetapan harga, yaitu pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggannya (Pasal 5 - Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999);

(3) Pembagian wilayah, yaitu pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang atau jasa sehingga dapat mengakibatkan


(21)

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999).

(4) Pemboikotan, yaitu pelaku usaha melakukan perjanjian melakukan pemboikotan untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lain (Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999);

(5) Kartel, yaitu pelaku usaha melakukan persekongkolan dengan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan atau wilayah atas suatu barang serta untuk memperoleh posisi monopoli (Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999);

(6) Trust, yaitu pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan jasa (Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999);

(7) Oligopsoni, yaitu pelaku usaha melakukan perjanjian untuk menciptakan keadaan pasar ekonomi yang permintaannya dikuasai oleh pelaku usaha tertentu yang melakukan perjanjian (Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999);

(8) Integrasi vertikal, yaitu pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan dan proses lanjutan (Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999);


(22)

(9) Perjanjian tertutup, yaitu pelaku usaha yang melakukan perjanjian rahasia dan atau tertutup dengan pelaku usaha manapun untuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999); dan (10)Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu pelaku usaha melakukan perjanjian

dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan-ketentuan tidak wajar atau dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat (Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999).

b. Kegiatan yang dilarang

Kegiatan yang dilarang adalah suatu usaha, aktifitas atau perbuatan seorang pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha yang dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama yang mana usaha, aktifitas atau perbuatan tersebut melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.

Kegiatan yang dilarang diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999, meliputi:

(1) Monopoli, yaitu penguasaan atas produksi barang dan jasa oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha yang dapat mengakibatkan praktik monopoli da persaingan usaha tidak sehat (Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999);

(2) Monopsoni, yaitu menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. (Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999);


(23)

(3) Penguasaan pasar, yaitu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha melakukan satu atau beberapa kegiatan dengan menolak dan atau mengahalangi pelaku usaha pesaingnya atau mematikan usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan (Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1999); dan (4) Persekongkolan, yaitu pelaku usaha melakukan kegiatan persekongkolan

untuk menentukan pemenang suatu tender dan membatasi atau menghalangi produksi dan pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya (Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999).

c. Posisi dominan

Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dalam kaitannya dengan pangsa pasar yang dikuasainya, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di pasar bersangkutan dalam kaitannya dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang dan jasa tertentu (Pasal 1 Angka 4 UU No. 5 Tahun 1999). Pada prinsipnya, UU No. 5 Tahun 1999 tidak melarang pelaku usaha menjadi besar dan mempunyai posisi dominan di pasar. UU No. 5 Tahun 1999 hanya melarang jika posisi dominan tersebut disalahgunakan oleh pelaku usaha yang menghambat pelaku usaha pesaingnya untuk masuk ke dalam pasar sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Hermansyah. 2008. Hlm. 48).

Posisi Dominan diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999, meliputi:


(24)

(1) Posisi dominan yang bersifat umum, yaitu pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung; (2) Jabatan rangkap, yaitu seseorang atau pelaku usaha menduduki jabatan

direksi atau komisaris pada suatu perusahaan dan pada waktu bersamaan menduduki posisi yang sama di perusahaan yang lain dengan keterkaitan pasar yang erat dan dalam pasar ekonomi yang sama serta menggunakan posisinya untuk kepentingan pelaku usaha tersebut (Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999);

(3) Kepemilikan saham, yaitu pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, dalam bidang usaha yang sama, pasar yang sama atau memiliki kegiatan usaha yang sama dan mengakibatkan penguasaan sampai 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu (Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999);

(4) Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, yaitu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha melakukan peleburan, pengambilalihan dan penggabungan dengan tujuan untuk penguasaan pasar dan melakukan persaingan usaha tidak sehat (Pasal 28 dan Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999).

3. Pihak-Pihak dalam Hukum Persaingan Usaha

Pihak-pihak dalam hukum persaingan usaha adalah pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perkara pelanggaran hukum persaingan usaha. Pihak-pihak tersebut adalah:


(25)

a. Pelaku Usaha

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi (Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999). Berdasarkan pengertian tersebut, jelas tidak membedakan antara pelaku usaha asing dengan pelaku usaha dalam negeri. Pelaku usaha dalam hal ini adalah mereka menjalankan kegiatan usahanya di wilayah hukum Indonesia, mereka itulah yang termasuk pelaku usaha sebagai pihak dalam perkara pelanggaran hukum persaingan usaha sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1999.

b. Terlapor

Menurut Pasal 1 angka 23 Keputusan KPPU No 05/KPPU/Kep/IX/2000 yang dimaksud dengan terlapor adalah setiap orang atau pihak yang dilaporkan oleh pelapor, sedangkan menurut Pasal 1 angka 25 PerKom No. 1 Tahun 2006 yang dimaksud dengan terlapor adalah pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diduga melakukan pelanggaran. Penyebutan “terlapor” terhadap pelaku usaha membawa suatu konsekuensi tertentu dan tidak hanya didasarkan kepada alasan pemeriksaannya yaitu karena adanya laporan atau inisiatif dari Komisi sendiri. Sebagai perbandingan, di dalam KUHAP seorang yang diduga melakukan tindak pidana tidak otomatis ditetapkan sebagai tersangka, tetapi harus ada bukti permulaan yang cukup untuk dapat ditetapkan sebagai tersangka (Pasal 17


(26)

KUHAP). Pengertian bukti yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana (Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga. 2005. Hlm. 20).

c. Pelapor

Menurut Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, apabila ada “Terlapor”, maka terdapat istilah “Pelapor”. Istilah Terlapor disebutkan pertama kali di dalam ketentuan Pasal 38 UU No. 5 Tahun 1999 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut di dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 PerKom No. 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa perlapor adalah setiap orang yang menyampaikan laporan kepada Komisi, mengenai telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran.

d. Pihak Lain

UU No. 5 Tahun 1999 tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan pihak lain. Namun, apabila kita membaca UU No. 5 Tahun 1999 tersebut dengan seksama, pihak lain dapat diartikan sebagai saksi dan dapat diartikan sebagai pelaku usaha lain. Definisi pihak lain ini tidak jelas karena tidak menjelaskan kapan pelaku usaha tertentu disebut pihak lain dan kapan saksi ditetapkan sebagai pihak lain. Ketidakjelasan ini pada akhirnya menyulitkan Komisi, karena untuk dapat menyatakan pelaku usaha tertentu bersalah dan melanggar ketentuan suatu Pasal UU No. 5 Tahun 1999, Komisi harus membuktikan bahwa seluruh unsur dari pasal yang dituduhkan harus terbukti, termasuk siapa yang dimaksud dengan pihak lain ini (Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga. 2005. Hlm. 14).


(27)

B. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Pelaksanaan suatu aturan hukum memerlukan adanya suatu lembaga yang memperoleh kewenangan dari negara. Dengan kewenangannya itu diharapkan lembaga pengawas tersebut dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya serta mampu bertindak secara independen (Johnny Ibrahim. 2009. Hlm. 260). Untuk itu, Pasal 30 UU No. 5 Tahun 1999 mengamanatkan untuk membentuk lembaga independen yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pihak lain, dengan tugas utama untuk mengawasi pelaksaaan UU No. 5 Tahun 1999.

Implementasi dari ketentuan Pasal 30 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada tanggal 18 Juli 1999. Berdasarkan Keputusan Presiden ini dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang biasa disingkat KPPU (Hermansyah. 2008. Hlm 74-75).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa keberadaan KPPU sebagai lembaga pengawas dan lembaga penyelesaian perkara pelanggaran adalah sangat penting. Adanya KPPU sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 1999 dapat meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan persaingan usaha secara sehat dan kondusif.

1. Status KPPU

KPPU adalah suatu lembaga yang khusus dibentuk oleh dan berdasarkan Undang-Undang untuk mengawasi jalannya Undang-Undang-Undang-Undang (Ahmad Yani & Gunawan


(28)

Wijaya. 2000. Hlm. 53). KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden. KPPU juga adalah lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus-kasus persaingan usaha (Hermansyah. 2008. Hal. 72). KPPU ini diharapkan dapat bertugas secara independen, terlepas dari pengaruh pemerintah walaupun Komisi ini bertanggung jawab kepada Presiden dan biaya-biaya untuk pelaksanaan tugas komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan) (Asril Sitompul. 1999. Hlm. 85).

KPPU berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan dapat pula membuka Kantor Perwakilan di setiap Provinsi. Susunan organisasi KPPU terdiri dari Komisi dan Sekretariat. Anggota KPPU wajib melaksanakan tugas dan berpegang pada asas keadilan, serta wajib memenuhi tata tertib yang telah disusun KPPU. Untuk kelancaran tugasnya KPPU dibantu oleh sekretariat terutama di bidang teknis dan administrasi, KPPU juga dapat membentuk kelompok kerja sesuai dengan kebutuhan apabila diperlukan. (Rachmadi Usman. 2004. Hlm. 104).

Independensi sebagai status utama dari KPPU sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 5 Tahun 1999, harus benar-benar dapat diterapkan. Hal tersebut dikarenakan agar KPPU dapat bertindak netral dan bebas dari berbagai konflik kepentingan, yang dapat mempengaruhi penegakan hukum persaingan usaha.


(29)

2. Tugas dan Wewenang

Berdasarkan Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999, tugas KPPU adalah sebagai berikut: a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999;

b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999;

c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999;

d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999;

e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU No. 5 Tahun

1999;

g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan Pasal 36 UU No.5 Tahun 1999, ditentukan bahwa wewenang KPPU adalah sebagai berikut:


(30)

a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;

d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;

h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;

i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;


(31)

j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;

k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan tugas dan wewenang KPPU di atas, maka UU No. 5 Tahun 1999, menentukan tugas dan wewenang tersebut secara luas yang mencakup unsur wewenang administratif (Pasal 47), unsur quasi legislative power vide Pasal 35 (f) dan unsur quasi judicial power vide Pasal 36 (l). Di kemudian hari, tiga kekuasaan yang berada dalam tangan satu lembaga akan banyak menimbulkan persoalan baik dari segi keseimbangan (check and balance) maupun dari segi pelaksanaannya (Johnny Ibrahim. 2009. Hlm. 265).

C. Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU

Tata cara terdiri dari dua kata yaitu kata tata dan kata cara. Cara adalah jalan (aturan, sistem) melakukan (berbuat dsb) sesuatu (Pusat Bahasa Pendidikan Nasional. 2002. Hlm. 194). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, tata aturan biasanya dipakai dalam kata majemuk; kaidah aturan dan susunan; cara menyusun; sistem (Peter Salim dan Yenny Salim. 2002. Hlm. 1551), sedangkan cara adalah jalan, aturan sistem untuk melakukan atau berbuat sesuatu (Peter Salim dan Yenny Salim. 2002. Hlm. 261). Berdasarkan pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa tata cara penanganan perkara di KPPU adalah


(32)

aturan yang dijadikan pedoman oleh KPPU dalam melakukan penyelesaian dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999.

UU No. 5 Tahun 1999 ini bersifat lengkap, karena mencakup peraturan dan petunjuk pelaksanaan berkenaan dengan masalah-masalah yang bersifat substansial dan prosedural. Secara prosedural undang-undang ini telah mengatur mengenai tata cara penanganan perkara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 UU No. 5 Tahun 1999. Selanjutnya, ketentuan tersebut diimplementasikan lebih lanjut dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 yang lahir untuk menggantikan Keputusan KPPU No. 5/KPPU/Kep/IX/2000 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap UU No. 5 Tahun 1999 yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan efektifitas penanganan perkara di KPPU (Hermansyah. 2008. Hlm. 95).

PerKom No. 1 Tahun 2006 mengatur tata cara penanganan perkara di KPPU. Setiap dugaan pelanggaran hukum persaingan usaha lahir berdasarkan laporan pelaku usaha yang dirugikan atau masyarakat dan atau berasal dari inisiatif KPPU dengan melakukan monitoring pelaku Usaha. Untuk itu, setiap dugaan pelanggaran yang diterima oleh KPPU, akan diproses dengan tahapan sebagai berikut:

a. Penelitian Klarifikasi Laporan

Menurut Pasal 1 angka (11) PerKom No. 1 Tahun 2006, Penelitian dan Klarifikasi Laporan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi untuk mendapatkan kelengkapan dan kejelasan laporan dari pelapor. Hasil


(33)

Penelitian dan Klarifikasi Laporan dibuat dalam bentuk resume hasil laporan yang kemudian dilakukan Pemberkasan.

b. Pemberkasan

Menurut Pasal 1 angka (12) PerKom No. 1 Tahun 2006, adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi untuk meneliti kembali resume laporan atau resume monitoring guna menyusun laporan dugaan pelanggaran. Hasil Pemberkasan dituangkan dalam bentuk laporan dugaan pelanggaran yang kemudian disampaikan kepada Komisi untuk dilakukan Gelar Laporan.

c. Gelar Laporan

Menurut Pasal 1 angka (4) PerKom No. 1 Tahun 2006, Gelar Laporan adalah penjelasan mengenai laporan dugaan pelanggaran yang disampaikan oleh Sekretariat Komisi kepada Komisi dalam suatu Rapat Gelar Laporan. Komisi menilai layak atau tidaknya dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran.

d. Pemeriksaan Pendahuluan

Menurut Pasal 1 angka (14) PerKom No. 1 Tahun 2006, Pemeriksaan Pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan. Terhadap hasil Pemeriksaan Pendahuluan, tim pemeriksa menyimpulkan pengakuan terlapor dan/atau bukti awal yang cukup terhadap dugaan pelanggaran yang dituduhkan kepada terlapor


(34)

(Hermansyah. 2008. Hlm 111). Dalam ketentuan Pasal 37 PerKom No. 1 Tahun 2006, ditentukan bahwa Komisi dapat menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan, meskipun terdapat bukti pelanggaran, apabila terlapor mengakui pelanggaran tersebut dan bersedia untuk merubah perilakunya. Tahap ini dinamakan dengan Tahap Perubahan Perilaku.

Perubahan Perilaku merupakan tahap kalanjutan dari tahap Pemeriksaan Pendahuluan yang ditawarkan kepada terlapor setelah memperoleh bukti awal yang cukup terhadap dugaan pelanggaran berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999. Jika dalam dalam pelaksanaan tahap Perubahan Perilaku KPPU menilai telah terjadi Perubahan Perilaku dari terlapor, maka penanganan perkaranya dihentikan, sedangkan jika tidak terjadi Perubahan Perilaku dari terlapor, maka penanganan perkara di lanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan.

e. Pemeriksaan Lanjutan

Menurut Pasal 1 angka (15) PerKom No. 1 Tahun 2006, Pemeriksaan Lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran. Pemeriksaan Lanjutan dilakukan apabila KPPU telah menemukan indikasi adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Namun, apabila KPPU memerlukan waktu lebih yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus maka dapat dilakukan perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan. Jangka waktu Pemeriksaan Lanjutan adalah 60 (enam puluh) hari sejak berakhirnya


(35)

Pemeriksaan Pendahuluan dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari (Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga. 2005. Hlm. 19).

f. Sidang Majelis Komisi

Menurut Pasal 1 angka (24) PerKom No. 1 Tahun 2006, Sidang Majelis Komisi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi untuk menilai ada atau tidak adanya bukti pelanggaran guna menyimpulkan dan memutuskan telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana diatur dalam undang-undang.

g. Putusan Komisi

Menurut Pasal 1 angka 18 PerKom No. 1 Tahun 2006, Putusan Komisi adalah penilaian Majelis Komisi yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana diatur dalam undang-undang. Penilaian tersebut berdasarkan Hasil Pemeriksaan Lanjutan dan seluruh surat dan/atau dokumen atau alat bukti lain yang disertakan di dalamnya termasuk pendapat atau pembelaan terlapor (Pasal 54 ayat (1) PerKom No. 1 Tahun 2006). Apabila terbukti telah terjadi pelanggaran, Majelis Komisi dalam Putusannya menyatakan terlapor telah melanggar ketentuan undang-undang dan menjatuhkan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang, di mana putusan tersebut terbuka untuk umum. Hal ini seperti yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999 dan Pasal 57 PerKom No. 1 Tahun 2006.


(36)

D.Kerangka Pikir

Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian maka dapat disusun bagan dan uraian sebagai kerangka pikir dalam penelitian ini sebagai berikut:

Berdasarkan bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa:

UU No. 5 Tahun 1999 merupakan peraturan yang mengatur tentang perbuatan/kegiatan persaingan usaha yang dilarang karena dapat melahirkan praktik persaingan usaha tidak sehat dan praktik monopoli oleh para pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha. Dalam pelaksanaannya, UU No. 5 Tahun 1999 mengamanatkan untuk membentuk lembaga yang bertugas sebagai lembaga

UU No. 5 Tahun 1999

KPPU

Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006

Perubahan Perilaku sebagai tahapan penanganan di KPPU

Alasan Perubahan Perilaku

Akibat Hukum Perubahan Perilaku Tata Cara Perubahan


(37)

pengawas dan penyelesaian setiap pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU adalah lembaga independen yang diangkat dengan Keputusan Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam menyelesaikan perkara pelanggaran, KPPU diberikan kewenangan oleh UU No. 5 Tahun 1999 untuk membuat peraturan sendiri termasuk tentang tata cara penanganan perkara pelanggaran terhadap UU No.5 Tahun 1999. Saat ini, peraturan tata cara penanganan perkara pelanggaran yang dibuat oleh KPPU dan masih berlaku adalah PerKom No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU.

Lahirnya PerKom No. 1 Tahun 2006 adalah untuk menyempurnakan dan menambah tahapan penanganan perkara yang sebelumnya tidak diatur dalam Kep. KPPU No. 5 Tahun 2000. Penyempuraan aturan penangaan perkara yang lahir berdasarkan PerKom No. 1 Tahun 2006 adalah dengan dimasukan Perubahan Perilaku sebagai salah satu tahap dalam penanganan perkara di KPPU.

Perubahan Perilaku merupakan tahap pilihan yang ditawarkan kepada terlapor (pelaku usaha yang diduga melanggar) untuk melakukan Perubahan Perilaku berdasarkan suatu penetapan KPPU. Sebagai bagian dari tata cara penganan perkara, maka Perubahan Perilaku merupakan tahapan yang berada di antara tahap Pemeriksaan Pendahuluan dan berakhir sebelum dimulainya tahap Pemeriksaan Lanjutan. Untuk itu, setiap Perubahan Perilaku yang ditetapkan oleh KPPU terhadap pelaku usaha terlapor harus dimulai sejak awal adanya dugaan pelanggaran yang berasal baik laporan dari pelaku usaha atau masyarakat yang dirugikan maupun berdasarkan inisiatif dari KPPU itu sendiri untuk memonitoring


(38)

suatu peristiwa hukum yang berindikasi menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Dugaan pelanggaran yang masuk ke KPPU dinyatakan layak untuk dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan jika telah dilakukan penelitian dan klarifikasi serta pemberkasan oleh sekretariat KPPU. Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari terlapor berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dituduhkan dan/atau mendapatkan bukti awal yang cukup mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor. Setelah diperoleh bukti awal dan sebelum dilanjutkan menuju tahap Pemeriksaan Lanjutan, KPPU terlebih dahulu akan menawarkan kepada terlapor untuk mengakui perbuatannya dan meminta untuk merubah perilakunya. Penawaran tersebut merupakan awal dimulainya tahap Perubahan Perilaku. UU No. 5 Tahun 1999 secara umum tidak menentukan Perubahan Perilaku sebagai bagian dari tata cara penanganan perkara di KPPU. Peraturan yang dijadikan pedoman mengenai Perubahan Perilaku adalah PerKom No. 1 Tahun 2006.

Lahirnya tahap Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara di KPPU dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 dilakukan dengan melihat alasan-alasan tertentu dan dilakukan berdasarkan tata cara tertentu sebagaimana dimuat dalam PerKom No. 1 Tahun 2006. Setelah tahap Perubahan Perilaku ditempuh, maka penetapan Perubahan Perilaku yang dihasilkan dari tahap tersebut akan menimbulkan akibat hukum tertentu bagi pelaku usaha yang melanggar dan berpengaruh pula terhadap jalannya penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha di KPPU terhadap dugaan pelanggaran yang sedang ditangani tersebut. Untuk itu, penelitian ini, akan mengkaji dan membahas tentang Perubahan Perilaku sebagai bagian dari


(39)

tata cara penanganan perkara di KPPU meliputi: alasan, tata cara, dan akibat hukum Perubahan Perilaku berdasarkan PerKom No. 1 Tahun 2006.


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Tipe Penelitian

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan lingkup penelitian, maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris. Penelitian hukum normatif-empiris (applied law reaserch). Penelitian hukum normatif-empiris adalah penelitian hukum yang mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat (Muhammad Abdulkadir. 2004. Hlm 134). Untuk itu, penelitian ini akan mengakaji dan membahas pelaksanaan tahap Perubahan Perilaku yang diatur dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 dalam praktik pelaksanaannya di KPPU sebagai lembaga yang menangani perkara pelanggaran hukum persaingan usaha dan menerapkan tahap perubahan perilaku terhadap pelaku usaha yang diduga melanggar.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah tipe deskriptif. Tipe penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan untuk memperoleh pemaparan atau gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu,


(41)

atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat (Abdulkadir Muhammad. 2004. Hlm. 50). Untuk itu, penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi lengkap, rinci dan sistematis tentang perubahan perilaku sebagai salah satu bagian dalam tata cara penanganan perkara berdasarkan PerKom No.1 Tahun 2006 dan praktik pelaksanaannya di KPPU.

B.Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian (Abdulkadir Muhammad. 2004. Hlm. 112). Berdasarkan pendapat tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah secara non judicial case study, yaitu penerapan hukum normatif pada peristiwa hukum tertentu sampai berakhir tanpa terjadi konflik (Abdulkadir Muhammad. 2004. Hlm. 149). Untuk itu, penelitian ini akan mengkaji dan membahas serta menganalis pelaksanaan dari tahap Perubahan Perilaku sebagai salah satu bagian tahap dalam tata cara penanganan perkara di KPPU berdasarkan PerKom No. 1 Tahun 2006.

C. Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis penelitian di atas, maka data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan staf KPPU yang terlibat secara langsung dalam pelaksanaan penanganan suatu perkara pelanggaran hukum


(42)

persaingan usaha di KPPU. Wawancara ini digunakan sebagai data utama dalam penelitian ini yang ditujukan untuk memperoleh gambaran dan penjelasan secara rinci mengenai penerapan Perubahan Perilaku sebagai bagian dari tata cara penanganan perkara di KPPU berdasarkan PerKom No. 1 Tahun 2006.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersumber bahan pustaka , meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan, meliputi:

(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

(2) Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU;

b. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari literatur, jurnal, dan makalah yang diperoleh melalui buku atau website.

D.Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah:


(43)

a. Studi pustaka

Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum atas masalah yang dikaji yang berasal dari berbagai sumber pustaka. Pengkajian tersebut dilakukan dengan cara membaca, menyadur, mencatat, dan mengutip ketentuan peraturan perundang-undangan hukum persaingan usaha dan peraturan pelaksanaannya serta literatur yang berhubungan dengan masalah dan pokok bahasan dalam penelitian ini.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap dengan Bapak Zaki Zein Badroen sebagai Kepala Bagian Advokasi KPPU dan Bapak Muhammad Reza sebagai Kepala Bagian Monitoring Putusan dan Litigasi KPPU yang terlibat secara langsung dalam penanganan perkara di KPPU. Wawancara ini digunakan untuk memperoleh data primer yang dapat memperjelas pelaksanaan dari PerKom No.1 Tahun 2006 dalam praktik penerapan Perubahan Perilaku di KPPU kepada pelaku usaha yang diduga melanggar.

2. Metode Pengolahan Data

Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk membahas masalah yang diteliti. Pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar (relevan) dengan pokok bahasan.

2. Rekonstruksi data (reconstructing) yaitu menyusun ulang secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.


(44)

3. Sistematisasi data (systematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika pokok bahasan dan sub pokok bahasan berdasarkan masalah dalam penelitian.

E. Analisis Data

Setelah data tersusun secara lengkap, rinci dan sistematis, maka tahap selanjutnya memberikan analisis data yang dilakukan secara kualitatif. Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis (Adbulkadir Muhammad. 2004. Hlm. 127). Hasil analisis dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif. Kesimpulan secara deduktif adalah suatu cara berpikir yang didasarkan pada analisis yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti yaitu mengenai Perubahan Perilaku dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 sebagai bagian dalam tata cara penanganan perkara di KPPU.


(45)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alasan Perubahan Perilaku

Perubahan Perilaku merupakan suatu bagian dari tahap dalam tata cara penanganan perkara di KPPU. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 dan Kep. KPPU No. 05 Tahun 2000, tahap Perubahan Perilaku belum dimuat sebagai bagian dari tahap penanganan perkara oleh KPPU. Perubahan Perilaku baru dimuat sebagai salah satu bagian dari tahap dalam tata cara penanganan perkara adalah dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 yang menggantikan Kep. KPPU No. 05 Tahun 2000. Sebagai suatu bagian yang lahir dengan ditetapkannya PerKom No. 1 Tahun 2006 yang menggantikan peraturan sebelumnya tentang tata cara penanganan perkara, maka perlu diketahui alasan lahirnya tahap Perubahan Perilaku tersebut sebagai bagian dari tata cara penanganan perkara di KPPU.

PerKom No. 1 Tahun 2006 secara explisit tidak menentukan definisi atau pengertian dari Perubahan Perilaku. Namun demikian, berdasarkan tahap penanganan perkara dan ketentuan pasal yang mengatur tentang Perubahan Perilaku dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 dapat dirumuskan bahwa Perubahan Perilaku merupakan suatu tahap dalam tata cara penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU yang dimulai saat bukti awal yang cukup telah diperoleh dan berakhir pada tahap Pemeriksaan Pendahuluan. Perubahan Perilaku adalah


(46)

suatu tahap penanganan perkara yang ditawarkan oleh KPPU kepada pelaku usaha yang diduga melanggar dan dapat menentukan suatu pelanggaran hukum persaingan usaha itu dapat diteruskan ke tahap selanjutnya yaitu ke tahap Pemeriksaan Lanjutan. Jika Perubahan Perilaku yang ditawarkan oleh KPPU diterima dan dilaksanakan oleh pelaku usaha (terlapor) maka terdapat kemungkinan perkara pelanggaran tersebut dapat dihentikan penanganannya hanya sampai pada tahap Perubahan Perilaku ini tanpa dilanjutkan ke tahap penanganan perkara selanjutnya.

Pendapat lain berdasarkan literatur dinyatakan bahwa Perubahan Perilaku adalah suatu bentuk itikad baik dari pelaku usaha yang diduga melanggar (terlapor) untuk mengakui dan merubah perilakunya. Bentuk itikad baik tersebut diwujudkan dalam suatu tindakan yang nyata (concrete), yaitu dengan segera membatalkan perjanjian dan/atau kegiatan dan/atau menghentikan penyalahgunaan posisi dominan yang diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1999 dan/atau membayar ganti kerugian (compensation) akibat pelanggaran yang dilakukannya (Hermansyah. 2004. Hlm. 113).

Secara khusus, PerKom No. 1 Tahun 2006 tidak menentukan alasan lahirnya tahap Perubahan Perilaku sebagai bagian dari tata cara penanganan perkara di KPPU. Alasan adanya tahap Perubahan Perilaku diketahui dari pendapat anggota KPPU dan wawancara dengan Staf KPPU yang terlibat langsung dalam penyusunan PerKom No. 1 Tahun 2006.

Menurut AM. Trianggraini (Anggota KPPU) menyatakan bahwa ditambahkannya tahap Perubahan Perilaku dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 karena KPPU


(47)

mengakui masih banyak pelaku usaha yang belum memahami UU No. 5 Tahun 1999. Pelaku usaha tersebut tidak memahami dan tidak menyadari bahwa perbuatan atau kegiatan yang dilakukannya telah melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Sebagai bentuk peringatan dari KPPU terhadap pelaku usaha yang melanggar tersebut, maka KPPU akan memanggil dan memberi peringatan kepada pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha untuk melakukan Perubahan Perilaku atas perbuatan atau kegiatan yang diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1999. (http://www.kapanlagi.com/h/0000222818.html diakses pada tanggal 22 Desember 2009 pukul 09.32).

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Zaki Zein Badroen (Ka. Bag Advokasi KPPU), Perubahan Perilaku dimuat dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 karena KPPU bertujuan bahwa pelaku usaha yang diduga melanggar mempunyai suatu kesadaran sendiri untuk merubah perilaku dan memperbaiki kesalahannya. Pemberian sanksi pelanggaran sebagaimana ditentukan dalam UU No. 5 Tahun 1999, dirasakan bukanlah langkah yang tepat tanpa dibarengi dengan itikad baik untuk melakukan perubahan perilaku dan tidak mengulanginya lagi. Hal tersebut terutama ditujukan bagi pelaku usaha yang besar. Pemberian sanksi denda sebagai kewenangan KPPU tidaklah membuat jera bagi pelaku usaha besar karena dari segi keuangan pengusaha besar mampu membayar denda tersebut, namun perbuatan/kegiatan yang melanggar tersebut masih dimungkinkan untuk diulangi lagi. Perubahan Perilaku perlu diterapkan agar perbuatan/kegiatan usaha yang diduga melanggar tersebut telah memberikan dampak atau kerugian bagi konsumen untuk itu perlu dihentikan dengan kesepakatan dari pelaku usaha yang melanggar itu dengan KPPU. Dengan demikian, menjadi alasan penting oleh


(48)

KPPU menjadikan Perubahan Perilaku sebagai salah satu tahap baru dalam tata cara penanganan perkara di KPPU dan termuat dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 yang menggantikan Kep. KPPU No. 5 Tahun 2000 yang tidak memuat Perubahan Perilaku sebagai bagian dari tata cara penanganan perkara di KPPU.

Perubahan Perilaku merupakan suatu aspek yang terpenting dalam penegakan hukum persaingan usaha, karena pemberian sanksi terhadap pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 dalam suatu putusan KPPU tanpa dibarengi dengan adanya Perubahan Perilaku, putusan tersebut tidak ada artinya. Pada dasarnya KPPU sebagai lembaga yang menangani berbagai bentuk pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 menginginkan kepada pelaku usaha yang melanggar, untuk menerima tawaran Perubahan Perilaku yang ditawarkan KPPU (wawancara dengan Bapak Zaki Zein Badroen selaku Ka Bag. Advokasi KPPU).

Tawaran Perubahan Perilaku oleh KPPU kepada terlapor (pelaku usaha yang melanggar) dilakukan dengan memperhatikan alasan dan pertimbangan hukum tertentu yang dapat dilihat dari bukti awal dari kegiatan dan/atau perbuatan yang diduga melanggar oleh KPPU. Berdasarkan penelitian dan klarifikasi atas dugaan pelanggaran baik berdasarkan laporan pelaku usaha yang dirugikan atau masyarakat ataupun inisiatif KPPU, maka Sekretariat KPPU melakukan indentifikasi perbuatan/kegiatan yang diduga melanggar. Jika terdapat bukti awal yang cukup maka KPPU akan melakukan pemberkasan atas dugaan pelanggaran yang diikuti dengan gelar laporan oleh Sekretariat KPPU yang dihadiri oleh Anggota KPPU yang ditunjuk untuk menanganani perkara tersebut (wawancara dengan Bapak Zaki Zen Badroen selaku Ka Bag. Advokasi KPPU).


(49)

Perubahan Perilaku dapat diberikan kepada pelaku usaha yang diduga melanggar, karena adanya harapan dari KPPU bahwa perbuatan atau kegiatan tersebut masih dapat diperbaiki. Tindakan tersebut diberikan oleh KPPU dengan alasan perbuatan atau kegiatan tersebut belum memberikan dampak nyata yang merugikan bagi pelaku usaha lain atau belum menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat antara lain berupa: kenaikan harga barang atau tidak adanya pilihan dari masyarakat terhadap barang atau jasa yang dibutuhkan. Menurut Bapak Zaki Zein Badroen (Ka Bag. Advokasi KPPU), tahap Perubahan Perilaku diberikan dengan tujuan untuk mempermudah KPPU dalam menyelesaikan setiap dugaan pelanggaran yang telah memiliki bukti awal yang cukup. Hal ini dilakukan terutama bagi pelaku usaha lokal di daerah-daerah, yang cukup jauh dari kantor pusat KPPU di Jakarta. Dengan demikian, dapat mempermudah KPPU dalam melaksanakan tugasnya selaku lembaga pengawas kegiatan persaingan usaha. Meskipun KPPU telah terdapat 5(lima) Kantor Perwakilan Daerah (KPD) dan berusaha mensosialisasikan UU No. 5 Tahun 1999, ternyata belum cukup, terutama jika pelanggaran terjadi di daerah. Salah satu contoh adalah praktik persekongkolan tender pengadaan barang dan jasa di daerah telah terjadi selama bertahun-tahun dan menjadi kebiasaan, sehingga terdapat pelaku usaha yang tidak menyadari bahwa tindakannya tersebut telah melanggar UU No. 5 Tahun 1999.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Muhammad Reza (Ka. Bag. Monitoring Putusan dan Litigasi KPPU) dinyatakan bahwa ditambahkannya Perubahan Perilaku sebagai salah satu bagian dalam tahap penanganan perkara karena terdapat dua alasan utama, yaitu:


(50)

1. karena pada waktu sebelum diberlakukannya PerKom No. 1 Tahun 2006 masih terdapat pelaku usaha yang belum mengetahui bahwa telah terdapat ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur mengenai larangan praktik monopoli yang menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Meskipun berdasarkan asas hukum dikenal sejak UU diundangkan maka semua orang dianggap mengetahui, akan tetapi KPPU masih memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk merubah perilakunya tersebut.

2. karena alasan efisiensi penanganan perkara, hal tersebut dapat terlihat jika terlapor bersedia untuk merubah perilakunya yang melanggar, sebagai akibat hukumnya maka penanganan perkaranya dihentikan. KPPU menilai dengan memberikan tawaran Perubahan Perilaku maka penanganan suatu perkara dapat diselesaikan dalam waktu singkat, tanpa harus menempuh semua tahapan penanganan yang terdapat dalam PerKom No. 1 Tahun 2006.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa alasan lahirnya tahap Perubahan Perilaku sebagai salah satu bagian dari tata cara penanganan perkara dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 adalah:

1. sebagai bentuk peringatan KPPU berupa teguran kepada pelaku usaha untuk merubah perilakunya berdasarkan bukti awal yang cukup atas dugaan pelanggaran yang telah dilakukan.

2. menumbuhkan kesadaran atau itikad baik kepada pelaku usaha terlapor untuk memperbaiki perilakunya yang melanggar melalui penetapan Perubahan Perilaku. Karena KPPU menilai bahwa pemberian sanksi bukanlah solusi yang tepat untuk memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang diduga melanggar (terlapor).


(51)

3. dengan adanya Perubahan Perilaku setiap perkara, KPPU menilai penanganan perkara dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat dari tahap penanganan perkara yang ditentukan dalm PerKom No. 1 Tahun 2006. Artinya perkara yang masuk ke KPPU dapat dihentikan penanganannya hanya sampai tahap Perubahan Perilaku ini, tanpa dilanjutkan kepada tahap penanganan perkara selanjutnya. Sehingga dapat lebih meringankan tugas KPPU sebagai lembaga penegak hukum persaingan usaha dalam menyelesaikan perkara pelanggaran yang setiap tahun jumlahnya selalu bertambah.

B. Tata Cara Perubahan Perilaku

UU No. 5 Tahun 1999 mengatur secara komprehensif perbuatan/kegiatan yang dilarang dilakukan oleh para pelaku usaha. Ada 2 (dua) aspek penting dari substansi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 yaitu mengatur secara materil kegiatan persaingan usaha dan mengatur secara formil penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha. Secara material perbuatan/kegiatan yang dilarang karena diduga menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 29 UU No. 5 Tahun 1999. Secara khusus, tata cara penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha diatur dalam Bab VII Pasal 38-46 UU No. 5 Tahun 1999.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999, maka ditentukan terdapat 2 (dua) tahap utama penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha, yaitu tahap Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan. Untuk itu, diperlukan pula peraturan pelaksana tersendiri sebagai ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan perkara di KPPU. UU No. 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan


(52)

kepada KPPU sebagai lembaga yang diamanatkan mengawasi kegiatan persaingan usaha untuk membuat peraturan pelaksanaan yang mengatur secara lengkap dan jelas tata cara penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha. Sampai saat ini, KPPU telah mengeluarkan peraturan yang mengatur mengenai tata cara penanganan perkara di KPPU, yaitu Kep. KPPU No. 5 Tahun 2000 yang selanjutnya disempurnakan dan dicabut dengan PerKom No. 1 Tahun 2006.

Dalam PerKom No. 1 Tahun 2006 ini, terdapat hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam Kep. KPPU No. 1 Tahun 2000, yaitu dengan ditambahkannya tahap Perubahan Perilaku sebagai bagian dari tahap dalam penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha di KPPU. Perubahan Perilaku diatur secara khusus dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 PerKom No. 1 Tahun 2006 sebagai penjelasan dari tata cara penanganan perkara dalam UU No. 5 Tahun 1999.

Berdasarkan tata cara penanganan perkara dalam PerKom No. 1 Tahun 2006, maka tahap Perubahan Perilaku adalah salah satu langkah awal peringatan oleh KPPU bagi pelaku usaha (terlapor) yang melanggar. Untuk melakukan Perubahan Perilaku maka tahap penanganan perkara di KPPU akan dimulai dari penanganan dugaan pelanggaran sampai Pemeriksaan Pendahuluan.

Berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 dan PerKom No. 1 Tahun 2006, tata cara Perubahan Perilaku dalam penanganan perkara di KPPU adalah sebagai berikut:


(53)

1. Dugaan Pelanggaran

Penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha oleh KPPU berawal dari adanya dugaan pelanggaran. Berdasarkan Pasal 38 dan Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1999, dugaan pelanggaran dapat diketahui KPPU dengan 2 (dua) cara, yaitu:

a. Monitoring Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (7) monitoring pelaku usaha adalah serangakaian kegiatan yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi untuk mendapatkan kelengkapan dan kejelasan mengenai pelanggaran yang diduga atau patut diduga dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan data dan informasi yang berkembang di masyarakat. Untuk dapat memperoleh kelengkapan dan kejelasan suatu dugaan pelanggaran, maka berdasarkan Pasal 9 PerKom No. 1 Tahun 2006 terdapat serangkaian tindakan yang dilakukan oleh KPPU, yaitu berupa:

(1) melakukan pengumpulan keterangan dan/atau data terkait dengan kegiatan pelaku usaha dan/atau pihak lain guna kepentingan monitoring;

(2) meminta keterangan pelaku usaha dan setiap orang yang dianggap mengetahui terjadinya dugaan pelanggaran;

(3) meminta keterangan dari instansi pemerintah;

(4) mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat buktinya.

Hasil dari kegiatan monitoring adalah berupa suatu kesimpulan tentang kejelasan dan kelengkapan dugaan ada atau tidak adanya pelanggaran UU No. 5 Tahun


(54)

1999, di mana kesimpulan tersebut dituangkan dalam suatu resume monitoring yang memuat:

(1) identitas pelaku usaha yang diduga melanggar; (2) perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga dilanggar;

(3) cara perjanjian dan/atau kegiatan usahadilakukan atau dampak perjanjian dan/atau kegiatan terhadap persaingan, kepentingan umum, konsumen dan/atau kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran; dan

(4) ketentuan undang-undang yang dilanggar

Berdasarkan resume monitoring tersebut, kemudian KPPU melakukan pemberkasan. Kegiatan pemberkasan dilakukan untuk menilai layak atau tidaknya dilakukan gelar laporan.

b. Laporan

Dugaan pelanggaran hukum persaingan usaha dapat juga diketahui oleh KPPU berdasarkan atas laporan dari setiap orang yang mengetahui atau dari pihak yang dirugikan atas dugaan pelanggaran tersebut (Pasal 38 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 38 UU No. 5 Tahun 1999 dan Pasal 12 PerKom No.1 Tahun 2006, penyampaian laporan atas dugaan pelanggaran dibuat secara tertulis dengan ditandatangani oleh pelapor dan dalam bahasa Indonesia yang diperkuat dengan keterangan jelas dan lengkap mengenai telah terjadi atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang dengan menyertakan identitas diri. Laporan tersebut langsung ditujukan kepada Ketua Komisi.


(1)

Dengan demikian, artinya perkara pelanggaran tersebut dihentikan penanganannya.

Apabila Komisi menilai bahwa terlapor tidak melaksanakan isi Penetapan Komisi, artinya bahwa terlapor tidak melaksanakan komitmen yang dibuat dalam penetepan Perubahan Perilaku maka Komisi menetapkan untuk menghentikan Monitoring Pelaksanaan Penetapan dan menetapkan untuk melakukan Pemeriksaan Lanjutan (Pasal 41 ayat (1) PerKom No. 1 Tahun 2006). Hal tersebut dilakukan karena tidak ada kesungguhan dan bentuk itikad baik dari terlapor untuk merubah perilakunya.

2. Pelaku Usaha Terlapor

Bagi pelaku usaha terlapor, adanya Penetapan Perubahan Perilaku berakibat untuk melaksanakan isi penetapan tersebut berdasarkan atau sesuai dengan komitmennya yang telah dibuat. Berdasarkan Pasal 37 Ayat (2) PerKom No. 1 Tahun 2006 bentuk pelaksanaan penetapan Perubahan Perilaku tersebut dilakukan dengan cara membatalkan perjanjian dan/atau menghentikan kegiatan dan/atau menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, yang diduga melanggar dan/atau membayar kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Zaki Zein Badroen (Ka Bag. Advokasi KPPU) menyatakan bahwa pelaku usaha bersedia melakukan Perubahan Perilaku, bukan berarti dia lepas dari segala sanksi yang mengancamnya, pelaku usaha terlapor tetap diberikan sanksi, khususnya berupa sanksi denda. Meskipun diberikan sanksi denda, tetapi sanksi tersebut tidaklah sama seperti sanksi denda


(2)

yang diberikan kepada pelaku usaha terlapor dalam putusan KPPU tentang bentuk pelanggaran dan saksi yang dikenakan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dengan penghentian penanganan, tidak menutup kemungkinan untuk membuka kasus itu kembali jika pelaku usaha mengulangi perbuatannya yang dahulu dilakukan Penetapan Perubahan Perilaku. Hal tersebut terkait dengan hak inisiatif KPPU dalam menangani dugaan pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 jo Pasal 7 PerKom No. 1 Tahun 2006. Jika pelaku usaha yang telah melakukan Perubahan Perilaku kembali melakukan perbuatan yang sama seperti perbuatan/kegiatan pelanggaran hukum persaingan usaha yang telah dilakukan sebelumnya, maka KPPU akan memberikan sanksi kepada terlapor dengan sanksi yang lebih berat dari sanksi yang dijatuhkan sebelumnya kepadanya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa Perubahan Perilaku yang ditetapkan dalam suatu Penetapan Komisi, memberikan akibat hukum dalam penanganan perkara bagi KPPU dan pelaku usaha terlapor. Bagi pihak KPPU, dengan adanya penetapan perubahan perilaku, maka KPPU melakukan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan. Hasil monitoring tersebut mempengaruhi terhadap jalannya penanganan perkara di KPPU. Sedangkan bagi pihak pelaku usaha terlapor dengan adanya Penetapan Perubahan Perilaku, maka terlapor harus melaksanakan penetapan yang berisikan komitmennya tersebut untuk merubah perilakunya yang telah diperoleh bukti awal menciptakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Jika terlapor melaksanakan penetapan tersebut, maka penanganan perkara dihentikan hanya sampai pada tahap Perubahan


(3)

Perilaku ini, sedangkan jika terlapor tidak melaksanakan penetapan tersebut, maka penanganan perkaranya dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan.


(4)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab empat, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Alasan KPPU menetapkan Perubahan Perilaku sebagai salah satu tahap dalam tata cara penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha adalah: a. sebagai bentuk peringatan KPPU berupa teguran kepada pelaku usaha yang

diduga melanggar untuk merubah perilakunya;

b. menumbuhkan kesadaran atau itikad baik kepada pelaku usaha terlapor untuk melaksanakan penetapan Perubahan Perilaku;

c. untuk mempermudah pemeriksaan perkara dan mempersingkat jangka waktu penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha.

2. Tata cara Perubahan Perilaku merupakan bagian dari tata cara penanganan perkara di KPPU yang harus pula diawali dengan adanya dugaan pelanggaran hukum persaingan usaha yang dilaporkan atau diketahui oleh KPPU. Untuk itu, KPPU melakukan penelitian dan klarifikasi laporan, kemudian dilanjutkan dengan pemberkasan yang diikuti dengan gelar laporan yang dihadiri oleh anggota Komisi. Jika gelar laporan dinyatakan layak, maka dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan melalui penetapan Komisi.


(5)

Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan untuk memperoleh pengakuan dan bukti awal yang cukup dari pelaku usaha terlapor tentang dugaan pelanggaran yang dituduhkan kepadanya. Berdasarkan bukti awal yang cukup, KPPU mengajukan tawaran Perubahan Perilaku kepada pelaku usaha terlapor yang diduga melanggar. Tawaran Perubahan Perilaku yang diterima, ditindaklanjuti oleh KPPU dengan membuat keputusan berupa Penetapan Perubahan Perilaku yang diikuti dengan monitoring penetapan Perubahan Perilaku. Penetapan tersebut, akan menghentikan sementara (suspend) suatu penanganan perkara sebelum dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan. Sementara itu, tawaran Perubahan Perilaku yang tidak diterima, maka terhadap penanganan perkaranya akan dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan.

3. Perubahan Perilaku ditetapkan dalam suatu Penetapan Komisi, yang memberikan akibat hukum dalam penanganan perkara bagi KPPU dan bagi pelaku usaha terlapor. Bagi pihak KPPU, adanya penetapan perubahan perilaku, berakibat KPPU melakukan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan. Hasil monitoring tersebut mempengaruhi terhadap jalannya penanganan perkara di KPPU. Sedangkan bagi pihak pelaku usaha terlapor, adanya Penetapan Perubahan Perilaku, berakibat terlapor harus melaksanakan isi penetapan yang berisikan komitmen untuk merubah perilakunya berdasarkan bukti awal adanya dugaan pelanggaran yang menciptakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Jika terlapor melaksanakan penetapan tersebut, maka penanganan perkara dihentikan hanya sampai pada tahap Perubahan Perilaku ini, sedangkan jika terlapor tidak melaksanakan


(6)

penetapan tersebut, maka penanganan perkaranya dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan.

B.Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran terhadap peran KPPU sebagai lembaga pengawas dan penegak hukum persaingan usaha serta kepada masyarakat pelaku usaha, yaitu sebagai berikut:

1. KPPU harus lebih meningkatkan sosialiasi terhadap ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, khususnya di daerah-daerah, misalnya dengan membuat seminar hukum persaingan usaha yang sasarannya utamanya para pelaku usaha, para lawyer dan instansi pemerintah daerah serta masyarakat. Selain itu, perlu dibentuk kantor perwakilan KPPU di setiap provinsi, sehingga dapat memudahkan dalam penanganan perkara pelanggaran di daerah. Dengan langkah tersebut, dapat memudahkan sosialisasi dan pemahaman terhadap No. 5 Tahun 1999. 2. Masyarakat pelaku usaha harus lebih aktif lagi untuk mencari tahu bagaimana

pengaturan yang mengatur tentang persaingan usaha, sehingga mereka tahu bagaimana seharusnya melakukan kegiatan persaingan yang sehat dalam usaha. 3. Pemahaman yang baik terhadap ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 oleh para

pihak tersebut, serta didukung dengan adanya Kantor Perwakilan Daerah di setiap provinsi, maka sebaiknya tahap Perubahan Perilaku ini sebaiknya dihapuskan. Hal ini dikarenakan dalam penanganan perkara di KPPU dengan langkah Perubahan Perilaku, pelaku usaha terlapor tidak diberikan kesempatan untuk menyangkal dugaan pelanggaran yang ditetapkan oleh KPPU, sehingga jalannya penanganan perkara terlihat adanya ketimpangan antara pelaku usaha terlapor dengan KPPU.


Dokumen yang terkait

ANALISIS HUKUM PUTUSAN KPPU NO. 21/KPPU-L/20087DAN PUTUSAN KPPU NO. 05/KPPU-L/2008 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA

0 3 2

ANALISIS HUKUM PUTUSAN KPPU NO. 21/KPPU-L/20087DAN PUTUSAN KPPU NO. 05/KPPU-L/2008 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA

0 5 12

PELANGGARAN HUKUM PERSAINGAN USAHA PADA PELAYANAN JASA PENANGANAN PESAWAT UDARA DI DARAT (GROUND HANDLING) DI BANDAR UDARA I GUSTI NGURAH RAI (Studi Putusan KPPU Nomor: 13/KPPU-I/2014)

1 22 100

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERANAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM MENANGGULANGI PERSAINGAN USAHA TENTANG PENETAPAN TARIF SMS OFF-NET (Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007).

0 2 12

PENDAHULUAN PERANAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM MENANGGULANGI PERSAINGAN USAHA TENTANG PENETAPAN TARIF SMS OFF-NET (Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007).

0 3 11

PENUTUP PERANAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM MENANGGULANGI PERSAINGAN USAHA TENTANG PENETAPAN TARIF SMS OFF-NET (Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007).

0 3 5

Pendekatan yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Menentukan Pelanggaran dalam Hukum Persaingan Usaha

0 0 21

KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA (STUDI PERBANDINGAN DI INDONESIA DENGAN NEGARA- NEGARA COMMON LAW SYSTEM ) AUTHORITY OF THE BUSINESS COMPETITION SUPERVISORY COMMISSION (KPPU) IN CASE MANAGEMENT

0 0 20

PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI NEGARA BERKEMBANG (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU DALAM PERKARA TEMASEK)

0 0 8

TINJAUAN TERHADAP MEKANISME PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 10