Nasionalisme Moro sebagai identitas perjuangan bangsa Moro dalam konflik Filipina

(1)

NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS

PERJUANGAN BANGSA MORO

DALAM KONFLIK FILIPINA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora

Oleh :

SITI AISYAH

NIM.105022000852

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Tiada kata yang pantas terucap selain puji syukur kehadirat Allah swt atas segala limpahan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada kekasih Allah dan manusia termulia, Nabi Muhammad saw, yang telah membuka zaman baru bagi peradaban dunia.

Dalam studi di perguruan tinggi, skripsi telah menjadi keharusan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis membahas skripsi yang berjudul “Nasionalisme Moro Sebagai Identitas Perjuangan Bangsa Moro dalam Konflik Filipina”.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor beserta seluruh jajaran rektorat UIN Syarif Hidayatyllah yang telah memfasilitasi mahasiswa menempuh studi.

2. Dr. Abd. Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora beserta seluruh jajarannya. Drs. H. Ma’ruf Misbah dan Usep Abdul Matin, S.Ag., MA., MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu dalam proses perkuliahan.

3. Dr. Amelia Fauzaia, MA. yang di tengah kesibukannya selaku direktur CSRC telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberikan arahan yang sangat berguna ke arah terwujudnya skripsi ini.


(3)

4. Dosen, beserta seluruh staf pengajar Fakultas Adab dan Humaniora yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran selama penulis menemph studi.

5. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Perupusatakaan Nasional yang telah menyediakan berbagai sumber yang dibutuhkan untuk menulis skripsi ini.

6. Kedua orang tuaku tercinta yang telah memberikan do’a restunya dan motivasi moril maupun materil dengan penuh keikhlasan yang sangat berharga bagi penulis.

7. Teman-teman Sejarah dan Peradaban Islam angkatan 2005 yang telah memberikan dorongan moril selama menempuh studi di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

Akhir kata, penulis mendoakan semoga amal perbuatan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah swt. Penulis berharap hasil yang penulis tuangkan dalam skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Jakarta, Januari 2010 Siti Aisyah


(4)

DAFTAR ISI

NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN BANGSA MORO DALAM KONFLIK FILIPINA

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan... 4

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Kontribusi Penulisan...7

E. Studi Kepustakaan... 7

F. Sumber dan Metode Penelitian... 8

G. Jadwal Penelitian... 5

H. Sistematika Penulisan...15

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAH FILIPINA TERHADAP KONDISI SOSIAL MUSLIM...17

A. Kelompok-Kelompok Etnik di Filipina...17

B. Kebijakan Diskriminasi Terhadap Sosial Keagamaan...25

C. Diskriminasi Kebijakan Ekonomi... 28

BAB III PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI... 32

A. Perjuangan Pada Masa Kolonial...32

B. Diskriminasi Pemerintah Filipina dan Perjuangan Bangsa Moro...45

C. Bersatunya Para Pemimpin Islam...46

BAB IV NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN MUSLIM FILIPINA... 48

A. Pencarian Identitas dalam Organisasi-Organisasi Moro... 48

B. Nasionalisme Moro sebagai Identitas Muslim Filipina...53

C. Konflik Internal dan Perdebatan Identitas... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...70

Daftar Pustaka...73


(5)

ABSTRAK

Seperti halnya Indonesia, Filipina merupakan Negara kepulauan dengan penduduk plural dari berbagai etnik. Namun semenjak masa kolonialisme Spanyol pada abad ke-16, Filipina mengalami konflik berkepanjangan yang berlangsung hingga saat ini. Para ahli yang mengamati sejarah dan perkembangan konflik di Filipina, seperti Cesar A Majul berkesimpulan bahwa konflik yang terjadi di Filipina merupakan konflik agama sejak asa kolonialisme Spanyol.

Tulisan-tulisan Cesar A Majul sangat membantu karena ia adalah orang yang secara langsung bersentuhan dengan konflik Moro. Dan bersama Nur Misuari serta pemimpin Islam lainnya, Majul membuat kesepakatan pemimpin Islam bersatu. Beberapa tulisannya adalah Dinamika Islam di Filipina dan Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. Tulisan Jamail Kamlian Bangsamoro Society and Culture merupakan pustaka yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.

Masyarakat Muslim yang mendiami wilayah Selatan Filipina, sejak masa kolonialisme Spanyol hingga Amerika melakukan perlawanan yang kemudian berlanjut hingga pasca kemerdekaan Filipina. Menariknya, sejak lahirnya intelektual muslim, masyarakat Muslim Filipina yang sejak masa kolonialisme Spanyol dikenal dengan sebutan Moro, melalui MNLF (Moro National Liberation Front) mengeluarkan manifesto bahwa masyarakat muslim merupakan sebuah bangsa yang disebut Bangsa Moro. Tentunya aneh jika dalam sebuah negara terdapat rasa nasionalisme yang berbeda. Dalam hal ini Nur Misuari, seorang muslim moderat, melalui MNLF mengusung kemerdekaan Bangsa Moro (bukan negara Islam). Dalam skripsi ini, Nasionalisme Moro sebagai identitas perjuangan Muslim Filipina merupakan tesis pokok dalam pembahasan skripsi ini.


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama terbesar kedua yang dianut rakyat Filipina setelah Katolik. Sedikitnya terdapat 3 juta orang Islam di Filipina pada tahun 1975, atau 7 persen dari seluruh penduduk negara tersebut yang berjumlah 42. 070.600. Namun masyarakat Muslim sejak kemerdekaan Filipina dianggap sebagai warga negara kelas dua karena merasa didiskriminasikan.1

Diskriminasi terhadap Muslim Filipina saat ini pada dasarnya tidak terlepas dari rangkaian sejarah kolonialisme Spanyol atas Filipina. Di mana jauh sebelum Spanyol melakukan ekspansi ke Filipina, terdapat tiga kesultanan Muslim yang mempunyai pengaruh cukup luas di kepulauan Filipina, yakni; Kesultanan Sulu (meliputi wilayah Sulu, Basilan, Palawan, Negros, Panay, Mindoro, dan Iloco di sebelah utara pulau-pulau Luzon), Kesultanan Manguindanao, dan Kesultanan Buayan.

Penjajahan bangsa Eropa ke Asia Tenggara, termasuk penjajahan Spanyol (1565-1876) atas Filipina tentunya bukan hanya bertujuan memperoleh kemenangan secara ekonomi dan perluasan kekuasaan, melainkan juga mempunyai misi menyebarkan agama Kristen (Gold, Glory, Gospel).2 Namun, apa yang dilakukan Spanyol tentunya mendapat perlawanan dari masyarakat Muslim yang mengorganisir diri. Terutama di selatan pulau-pulau Palawan, Sulu

1

Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina (Jakarta, LP3ES, 1989). h.13

2


(7)

dan Mindanao. Sehingga meski terjadi peperangan berkali-kali, Spanyol tidak pernah mampu menaklukkan kepulauan tersebut.

Minoritas Muslim Filipina ini didiskriminasi oleh pemerintah Filipina seperti halnya pada masa kolonial, khususnya di Filipina Selatan yang dihuni oleh komunitas Muslim. Masyarakat Moro beranggapan, pemerintah Filipina hendak menghancurkan kebudayaan Islam untuk digantikan dengan kebudayaan Barat yang pada dasarnya merupakan suatu pencerminan dari peradaban Kristen dari kolonialisme Spanyol dan Amerika.

Situasi tersebut memaksa masyarakat Muslim mengangkat senjata untuk mempertahankan diri. Perjuangan ini dipimpin oleh Moro National Liberation Front (Front Nasional Pembebasan Moro) yang dipimpin Profesor Nur Misuari, seorang dosen dari Universitas Filipina.3

OKI dan Libia memainkan peranan mediator antara pemerintah Filipina dengan MNLF sehingga melahirkan persetujuan bagi otonomi tiga belas Provinsi di Selatan di mana terdapat prosentase Muslim yang besar. Tiga belas Provinsi tersebut adalah Pulau Palawan, Tawi-Tawi, Sulu, Basilan, Zamboanga del sur, Zamboanga del Norte, Kota Batu Utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Kota Batu Selatan, Lanao del Sur, Lanau del Norte, dan Davao del Sur. Namun Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Marcos pasca perjanjian Tripoli hanya menyatakan bahwa Muslim merupakan mayoritas di Tawi-tawi, Sulu, Basilan, Manguindanao dan Lanao Sur.4

3

Al Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam : Studi Harakah Darul Islam dan MNLF

(Jakarta, Darul Falah, 2003). h.135

4

Garni Janto Bambang Wahyudi, Kerjasama Regional ASEAN Menghadapi Terorisme Internasional, (Jakarta, 2003). H.23


(8)

Ali Kettani dalam bukunya, Minoritas Muslim, menganggap pemerintah Filipina tidak pernah ingin memberikan penyelesaian yang adil. Sehingga menurutnya tidak heran jika perjanjian itu segera macet, dan memunculkan konflik antara Tentara Filipina dan milisi MNLF. Dari Maret 1968 sampai Maret 1982, lebih dari 100.000 orang sipil Muslim dibunuh oleh tentara Filipina, lebih dari 300.000 rumah orang Muslim dihancurkan dan lebih dari 50 desa, kota kecil dan besar telah diratakan oleh tentara Filipina, termasuk Jolo. Pada tahun 1972 Tentara Filipina diperbesar jumlahnya menjadi sekitar 300.000 prajurit dan 50.000. sekitar 3 juta Muslim telah ditelantarkan dan banyak sekali masjid, sekolah dan tanaman dihancurkan.5

Dari latar belakang masalah ini, yang dijelaskan bukanlah proses perjalanan konflik dan diskriminasi terhadap Muslim Filipina dari masa kolonialisme Spanyol hingga kemerdekaan Filipina. Yang menarik bagi penulis adalah identitas yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perlawanan terhadap kekuatan asing dan pemerintah Filipina. Tentunya, ini didasarkan bahwa seluruh perjuangan pasti membutuhkan suatu rumusan konsepsi dalam gerakannya. Konsepsi yang dihadirkan memunculkan identitas dalam memperjuangkan eksistensi gerakan tersebut. Hal ini juga terjadi dalam masyarakat Muslim Moro yang memperjuangkan eksistensinya. Mereka membutuhkan identitas. Apakah Islam sebagai Identitasnya, atau Nasional Moro, tentunya kita dapat melihatnya dalam rangkaian historis yang merupakan satu kesatuan utuh dengan kondisi Muslim Filipina saat ini.

5


(9)

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial masyarakat Muslim Filipina mengalami konflik yang berkepanjangan sejak kolonialisme Spanyol. Hal ini berimbas pada masalah struktur sosial baik politik, ekonomi ataupun keagamaan. Ini memungkinkan adanya gerakan dari masyarakat muslim Filipina untuk melakukan gerakan dalam rangka menunjukkan eksistensinya agar diperhitungkan oleh pemerintah. Sehingga dapat diklasifikasikan permasalahannya sebagai berikut

a. Masyarakat Muslim Filipina mengalami konfllik yang berkepanjangan dari masa kolonialisme Spanyol

b. Masyarakat Muslim Filipina membutuhkan wadah dalam bentuk organisasi untuk memperjuangkan aspirasinya.

c. Untuk itu, maka organisasi yang memperjuangkan masyarakat Muslim Filipina membutuhkan sebuah identitas perjuangan.

2. Batasan Masalah

Sebelum melangkah lebih jauh, agar pembahasan skripsi ini tidak mengalami pelebaran dan tetap fokus pada masalah yang akan diungkap, tentunya kita akan menggunakan landasan teoritis mengenai siapa itu bangsa Moro? Apa itu Identitas?.

a. Munculnya Istilah Moro

Masyarakat Muslim Filipina terdiri dari berbagai etnik yang sangat beragam. Seperti yang akan dijelaskan dalam Bab II, setidaknya ada sebelas etnik


(10)

yang tersebar di Filipina Selatan. Banyaknya etnik ini tentunya memunculkan pertanyaan para ahli mengenai etnik mana sebenarnya yang disebut Moro?.

Menurut Cesar Adib Majul, kata Moro bukanlah istilah baru yang dimunculkan pemerintah Filipina untuk menyebut sekelompok gerakan yang mengatas-namakan Moro (Moro National Liberation Front). Namun tentunya istilah tersebut tidak muncul dengan sendirinya seiring dengan dideklarasikannya kemerdekaan Filipina pada tahun 1946.

Kata Moro bagi masyarakat Muslim Filipina mempunyai kebanggaan tersendiri, karena menurut Majul merupakan simbol perlawanan yang berlangsung selama ratusan tahun sejak masa Spanyol.6

Tesis Majul dikuatkan dalam Ensiklopedi Tematis Islam yang menelusuri akar kata Moor dalam kamus Latin. Dalam hal ini Moro adalah komunitas Muslim Filipina. Istilah Moro sendiri merupakan kosakata yang sudah beredar ratusan tahun di Filipina, tercatat sejak awal invasi Spanyol ke wilayah Filipina pada tahun 1565. Moro, seperti yang dijelaskan dalam ensiklopedi tematis Islam berasal dari kata ‘Moor’ atau ‘Moriscor’ yang berasal dari istilah latin ‘Mauri’, istilah yang sering digunakan orang-orang Romawi kuno untuk menyebut penduduk penduduk wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di Filipina dan menemukan komunitas yang memiliki adat dan istiadat seperti orang-orang Moor di Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang Islam Filipina dengan istilah Moro.7

Sampai saat ini tidak ada perdebatan di antara para ahli mengenai asal istilah Moro yang digunakan Muslim Filipina dalam beberapa organisasinya

6

Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina (Jakarta, LP3ES, 1989). h.113

7

Iik Arifin Mansurnoor, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol.5 (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2003). h. 477


(11)

(MNLF dan MILF). Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Moro adalah seluruh masyarakat Filipina Selatan yang beragama Islam yang disatukan dengan perasaan terdiskriminasikan bersama sejak kolonialisme Spanyol.

b. Makna dan Istilah Identitas

Identitas adalah sesuatu yang melekat di diri manusia maupun benda. Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Serapan dijelaskan bahwa Identitas merupakan kondisi dimana dua benda atau keadaan sama atau identik, sifat dimana sesuatu pada dasarnya tidak berubah dan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang;jati diri.8

Namun dalam pembahasan skripsi ini, yang dimaksud Identitas adalah jargon yang diusung masyarakat Muslim dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme asing dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Filipina.

Agar tidak terjadi pelebaran dalam masalah ini, maka penulisan skripsi ini di batasi pada masalah identitas dari tahun 1965-1986.

3. Rumusan Masalah

Penulisan skripsi ini dirumuskan dalam tiga pertanyaan: 1. Bagaimana proses munculnya bangsa Moro di Filipina? 2. Bagaimana perjalanan konflik yang dilalui bangsa Moro?

3. Identitas apa yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme asing dan diskriminasi yang dilakukan Pemerintah Filipina?

8

Kamaruzzaman, Aka dan M Dahlan, Kamus Ilmiah Serapan, (Yogyakarta: Absolut, 2005. h.131


(12)

C. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Memahami kondisi sosial dan berbagai permasalahan di Filipina.

2. Mengetahui identitas yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perjuangan mempertahankan eksistensi.

3. Memahami kebijakan pemerintah Filiipina terhadap Muslim dan tujuan perjuangan Muslim di Filipina.

D. Kontribusi

Adapun kontribusi penulisan skripsi ini di antaranya: 1. Menambah khazanah kepustakaan sejarah Islam

2. Masyarakat Muslim Filipina akan memahami rangakaian sejarah perkembangan identitas mereka dalam perjuangan mempertahankan eksistensinya. Sehingga pada akhirnya, tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan konsepsi perjuangan selanjutnya.

E. Studi Kepustakaan

Sudah banyak akademisi yang membahas mengenai konflik di Filipina. Tulisan Cesar A Majul sebagai sumber primer sangat membantu dalam penyusunan skripsi. Penjelasan dalam Dinamika Islam di Filipina, diawali dengan penggambaran etnik-etnik yang ada di Filipina Selatan. Lebih jelasnya lagi ia membahas mengenai perjuangan bangsa Moro ketika terjadi konflik dengan pemerintah Filipina beserta perjanjian-perjanjian damai yang dibuat di kedua belah pihak.


(13)

Dalam bukunya, Dinamika Islam di Filipina dilampirkan beberapa sumber primer seperti pernyataan pemimpin Islam bersatu, perjanjian tripoli, manifesto pembentukan Republik Bangsa Moro, dan lain-lain. Ini bisa disebut sebagai sumber primer karena Cesar A Majul merupakan salah seorang intelektual muslim Moro dari College of Arts & Sciences U.P. Diliman, Quezon City yang ikut menandatangani kesepakatan para pemimpin Islam untuk bersatu.

Selain Cesar A Majul, Jamail Kamlian dalam bukunya Bangsamoro Society and Culture merupakan peneliti sosial Filipina yang dipakai dalam penulisan skripsi ini. Berbeda dengan Cesar A Majul, Kamlian lebih menekankan pada perkembangan aspek sosial budaya masyarakat Moro dalam rangkaian historis konflik bangsa Moro sejak masa kolonial.

Namun dari beberapa studi tersebut tidak ada satu pun yang secara langsung membahas mengenai identitas bangsa Moro dalam memperjuangkan eksistensinya. Seluruhnya hanya membahas mengenai rangkaian historis konflik beserta usaha-usaha penyelesaiannya. Hanya satu peneliti yang membahas sekilas mengenai teori identitas dan minoritas, yakni Erni Budiwati dalam sebuah artikelnya, Minoritas Muslim di Filipina. Namun lagi-lagi penjelasan mengenai identitas hanya ditulis sekilas tanpa dibahas secara mendetile.

f. Sumber dan Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Bertitik tolak pada model penelitian yang bersifat literal, maka dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis terhadap sumber data pustaka (library research). Studi kepustakaan atau library research


(14)

yaitu menggambarkan sumber-sumber kepustakaan yang ada kaitannya dengan masalah pokok yang telah dirumuskan, yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdiri dari buku-buku, majalah, jurnal dan lain sebagainya yang ada relevansinya dengan kajian skripsi ini.9 Data tersebut kemudian penulis analisis berdasarkan deskriptif terhadap narasi, adapun alat untuk menganalisis masalah-masalah sosial yang muncul, penulis menggunakan pendekatan kualitatif.

Data-data tersebut kemudian diolah dengan cara menelaah, membandingkan serta menganalisanya dengan pendekatan normatif kualitatif. Bogdan dan Taylor yang dikutip Moleong menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati..10 Penelitian kualitatif juga merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan mannusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam peristiwanya.11

2. Metode Penelitian dan Pendekatan

1). Metode Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mencapai penulisan sejarah, maka upaya untuk merekonstruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode sejarah. Pengumpulan data atau sumber sebagai langkah pertama kali, dilanjutkan dengan metode penggunaan bahan dokumen. Adapun acuan dari

9

Mardalis, Metodologi Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h.25

10

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h.3

11


(15)

penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan sejarah menurut Louis Gottschalk dalam bukunya Mengerti Sejarah.

Penulisan sejarah harus bersumber pada empat aktivitas pokok, yaitu :

• Penggunaan objek yang berasal dari zaman itu dan pengumpulan data-data harus tercetak, tertulis, dan sumber lisan yang boleh jadi relevan.

• Menghindari bahan-bahan atau bagian-bagian daripadanya yang tidak otentik.

• Menyimpulkan kesaksian yang dapat terpercaya mengenai bahan-bahan yang otentik.

• Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sebuah kisah atau penyajian yang berarti.

Mengacu pada definisi Louis Gottschalk tentang empat kegiatan dalam metode sejarah tersebut, maka penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Dalam tahap pertama penulis melakukan pencarian dan mengumpulkan data, baik data primer maupun sekunder. Proses pencarian dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode library research berupa kunjungan ke beberapa perpustakaan seperti: Perpustakaan UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI dan lain-lain.

Sumber primer yang penulis gunakan berupa buku-buku mengenai tentang Filipina seperti karya Cesar A Majul Dinamika Islam di Filipina dan Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. Karya Majul sebagai sumber primer karena ia merupakan orang yang ikut berperan langsung di lingkungan intelektual Moro.


(16)

Selain itu penulis juga menggunakan buku Jamail Kamlian, Bangsamoro Society and Culture. Adapun sumber sekunder di antaranya adalah Peter Gowing, The Moro Wars dan beberapa penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

b. Kritik

Kritik merupakan tahap pengklasifikasian data-data yang layak dijadikan sumber atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sebenar-benarnya. Data-data yang sudah penulis peroleh kemudian diuji validitasnya dengan melakukan kritik atas data tersebut. Kritik dilakukan agar sumber yang dipakai dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

c. Interpretasi

Selanjutnya, dari data yang sudah dikritik tersebut, penulis melakukan interpretasi atau penafsiran tentang persisnya peristiwa yang terjadi. Ini dilakukan untuk mencari keterkaitan antara masing-masing sumber untuk mencari fakta yang ada. Dengan begitu dapat disimpulkan data yang dimaksud dalam penulisan ini.

d. Historiografi

Tahapan ini merupakan proses akhir dari penelitian, yakni tahapan penulisan hasil penelitian setelah data yang ada dinterpretasikan dengan mengacu pada fakta-fakta historis.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deduktif atau pola umum-khusus, yakni dimulai dari awal bangsa Moro hingga bagaimana perjuangan organisasi-organisasi Moro dalam memperjuangkan eksistensinya.


(17)

2) Pendekatan

Karena skripsi ini membahas mengenai identitas yang digunakan Muslim Filipina dalam memperjuangkan eksistensinya, maka teori yang digunakan adalah teori identitas sosial. Sebagai sebuah teori, identitas sosial tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori di mana bisa membimbing kita untuk membandimgkan diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang beda. Setidaknya ada tiga variable yang mempengaruhi hubungan pembedaan anta kelompok dalam situasi soaial yang nyata.12 Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok meraka sebagai konsep diri mereka. Secara subjektif mereka pasti mengidentifikasikan kelompok yang relevan. Hal ini tadak cukup dari orang lain saja yang mengidentivikasikan seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosial yang memnungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara siknifikan. Ketiga, kelompoknya tidak membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada kelompok lain; out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group.

Menurut Sarben dan Allen (1968), identitas soaial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan

12

Marck Bracher, Jacques Laqan, Diskursus, dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Jalasutra, 2000). H.82


(18)

mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaanya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandingannya adalah antara in-group dan out group. In groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out groups.13

Identitas sosial juga menghasilkan representasi sosial yang keluar dari individu-individu yang berkumpul serta memiliki pendangan dan emosi yang sama. Representasi sosial dapat didefinisikan sebagai prinsip hubungan symbol balik yang terorganisasi. Mereka memperkenalkan letak individu dalam hubungannya dengan objek sosial secara siknifikan. Individu adalah objek yang melekat dalam jaringan relationship. Moscovici (1981) mengartikan sosial representasikan sebagai kumpulan konsep, statements dan asal penjelasan dalam kehidupan sebagai bagian dari konunikasi inter-individual yang merupakan equivalent dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai mitos dan system kepercayaan dalam masyarakat tradisonal. Representasi sosial juga merupakan informal keseharian, sebagai keinginan individu untuk memahami dunia.

Representasi sosial dari tiap-tiap identitas adalah berbeda. Masing-masing identitas memiliki pandangannya dan pemahamannya terhadap dunia. Dari siti timbullah stereotype, jika anda berasal dari kelompok tersebut maka sifat-sifat anda tidak jauh dari apa yang ada dalam skema akan sifat-sifat kelompok anda

13


(19)

Sifat-sifat kelompok di mana individu berasal pastilah membawa sifat kelompoknya.14

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Yang dimaksud sumber primer dalam penelitian ini yaitu sumber-sumber yang ditulis langsung oleh intelektual muslim Filipina ataupun para tokoh yang terlibat langsung dalam situasi nasional Filipina. Setidaknya ada dua penulis, yakni Cesar A Majul yang terlibat langsung dalam kesepakatan pemimpin Islam Filipina bersatu dan Jamail Kamlian yang merupakan intelektual Moro. Di antara tulisan-tulisan Cesar A Majul : Dinamika Islam di Filipinai dan Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. Dalam buku pertamanya, Cesar melampirkan dokumen-dokumen primer berupa kesepakatan pemimpin Islam Filipina untuk bersatu, Kesepakatan Perjanjian Tripoli, dan Manifesto Pembentukan Republik Bangsa Moro. Adapun tulisan Jamail Kamlian yaitu Bangsamoro Society and Culture yang menjelaskan sosial kebudayaan muslim Filipina secara historis.

Adapun sumber sekunder adalah sumber-sumber yang ditulis oleh para akademisi yang menekuni mengenai problematika Muslim Filipina. Baik orang Indonesia yang tergabung dalam peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ataupun para peneliti asing seperti Peter Gowing.

14

Marck Bracher, Jacques Laqan, Diskursus, dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Jalasutra, 2000). H.95


(20)

4. Analisis Data

Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis maka dianalisa untuk menemukan kesimpulan akhir dari penelitian ini. Yang pertama adalah mengkritik sumber-sumber, baik primer ataupun sekunder. Dalam tulisan Majul misalnya, pasti terdapat kecondongan terhadap masyarakat Muslim, karena secara obyektif ia berada dalam kelompok Muslim. Tetapi apa yang dilukiskannya merupakan penggambaran kondisi sosial Filipina.

Setelah ditelaah dari berbagai sumber yang diperoleh, maka ditemukan adanya perbedaan identitas yang diusung dari berbagai periode. Kondisi sosial yang mengiringi perjuangan muslim Filipina berbeda-beda, sehingga mereka mencari identitas baru yang lebih relevan. Saat ini ada satu organisasi yang diakui di dunia internasional dengan identitas yang diusungnya, Nasionalisme Moro.

G. Jadwal Penelitian

Harus disadari bahwa penelitian ini merupakan tugas akhir akademis. Sehingga penelitian ini dilakukan dengan bimbingan intensif kepada dosen tertentu. Namun setidaknya waktu penulisan ini dijadwalkan selama tiga bulan dimulai bulan September. Bulan pertama penulis menelusuri dan membaca sumber, bulan kedua menganalisis dan mengkritisi, dan bulan terakhir melakukan perbaikan-perbaikan berdasaran arahan pembimbing.

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN


(21)

perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penulisan serta sistematika penulisan

BAB II PETA SOSIAL-POLITIK MUSLIM FILIPINA

Menguraikan tentang kondisi sosial Filipina ayang melatar belakangi konflik setelah penjajahan Spanyol hingga saat ini BAB III PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI

Menjelaskan kronologis konflik Filipina dari masa penjajahan Spanyol hingga pasca kemerdekaan Filipina. Serta menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kolonialisme Spanyol dan Amerika yang dilanjutkan sampai pemerintahan Filipina untuk orang muslim.

BAB IV POLITIK IDENTITAS DALAM PERJUANGAN BANGSA MORO

Membahas tentang identitas yang diusung oleh Muslim Filipina dalam mempertahankan eksistensi bangsa Moro. Mulai perjuangan melawan Spanyol hingga diskriminasi pasca kemerdekaan Filipina. Dan dijelaskan pula mengenai perpecahan organisasi masyarakat Filipina Selatan karena perbedaan pandangan mengenai identitas yang digunakan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk penelitian lanjutan.


(22)

BAB II

PETA KONDISI SOSIAL MUSLIM FILIPINA

A. Kelompok-Kelompok Etnik di Filipina

Filipina merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang terletak di bagian Barat Daya lautan teduh. Negara yang ber-ibukota Manila ini mempunyai luas wilayah 301.000 km2 yang mencakup 7100 pulau. Dua pulaunya yang terbesar adalah pulau Luzon di Utara dengan luas 104.699 Km, dan Pulau Mindanao di bagian Selatan dengan luas 94.630 Km15. Di Utara Filipina berbatasan dengan laut Cina dan Taiwan, di Selatan dengan wilayah laut kepulauan Indonesia, sedangkan di Timur dengan Samudra Pasifik dan di Barat dengan Laut Cina Selatan.

Jumlah penduduk Muslim Filipina sejak adanya sensus penduduk tahun 1903 oleh Amerika, mengalami peningkatan. Namun dalam hal ini tidak ditemukan data penduduk Filipina pada masa Spanyol. Pada tahun 1903 penduduk Muslim berjumlah 763.500, kemudian meningkat pada tahun 1918 sebanyak 1.314.000 jiwa. Kemudian dua tahun setelah Filipina merdeka, 1948 jumlah penduduk Muslim menjadi 1.9234.000 jiwa.16

Dari sensus penduduk tahun 1990, penduduk Muslim Filipina berkisar antara lima sampai enam juta jiwa, atau sekitar 8,5% dari total penduduk negeri itu yang berjumlah + 66.000.000.17 Pada bulan Juli 2001, diketahui total penduduk Filipina berjumlah 82.841.518 jiwa. Dari total jumlah tersebut, 83 % di

15

Alfian, Peran Pihak Ketiga Dalam Resolusi Konflik; Kasus Indonesia dan Libya dalam Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah Filipina dengan Moro National Liberation Front (MNLF), (Jakarta: UI, 2000). h.23

16

Ibid.h.36

17

Cesar Adib Majul, Filipina dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Jakarta: Mizan, 2001). h.65


(23)

antaranya beragama Katolik, 9% Protestan, 5% Islam dan 3% Budha dan lain-lain. Adapun mayoritas Muslim menempati bagian Selatan Filipina seperti Pulau Mindanao, Kepulauan Sulu, Palawan, dan Tawi-tawi.18

Penduduk asli Filipina merupakan orang-orang yang telah mendiami wilayah Filipina sejak awal. Sampai kini, setidaknya ada tiga suku bangsa yang dianggap sebagai penduduk asli Filipina, yaitu: 19

1. Negrito

Suku bangsa negrito ini mendiami wilayah sekitar laut Sulu. Mereka adalah suku bangsa pertama yang mendiami wilayah Filipina. Mereka mengembangkan pertanian dataran rendah, namun kemudian terdesak ke daerah pegunungan.

2. Melayu

Suku bangsa Melayu merupakan kelompok penduduk kedua yang datang ke Filipina. Mereka datang dan kemudian melakukan kawin campur dengan orang Negrito. Selanjutnya mereka terbagi ke dalam berbagai kelompok yang berbeda dan tersebar ke wilayah lain di Filipina. 20

3. Igorit dan Ifugao

Orang-orang Igorit dan Ifugao mendiami wilayah pegunungan Cordilerra di bagian Utara Filipina. Mereka sejak ratusan tahun silam terkenal sebagai petani terasing di Banaue. Daerah tersebut saat ini merupakan salah satu tempat wisata yang favorit.

18

Peran Pihak Ketiga dalam Resoluisi Konflik. h 36

19

Lamijo, Syarfuan Rozi, Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina, (Jakarta : LIPI, 2003). h.23

20


(24)

Dari tiga suku asli Filipina, kemudian berkembang menjadi banyak etnik. Setidaknya di Filipina terdapat lebih dari 75 kelompok etnis yang sebagian besar di antaranya merupakan keturunan Melayu, di mana saat ini sebanyak 91% merupakan kelompok Melayu Kristen dan 4% Melayu Muslim. Selebihnya adalah 1,5 % Cina dan kelompok etnis yang lain sebesar 3%. Adapun kelompok-kelompok etnis yang ada di Filipina adalah sebagai berikut:21

1. Kelompok etnis yang berada di Pulau Luzon, antara lain:

Ivatan, Ilocano, Tinggian, Apayao, Kalinga, Balangao, Kankanay, Kankanaey, Bago, Bontoc, Ifugao, Ibaloi, Ikalahan/Kalanguya, Iwak, Isinay, Pengasinan, Ga’dang, Ibanag, Itawit, Malaweg, Yigad, Ilongot, Kampangan, Palanan, Tagalog, Bicol, Negrito, dan Sambal.

2. Kelompok etnis yang berada di Kepulauan Visayas, antara lain:

Masbateno, Abaknon, Rombloanon, Bantoanon, Aklanon, Kinitaya/Hamtikanon, Hiligaynon, Sulod, Bikidnon, Boholano, Cebuano, dan Waray.

3. Kelompok etnis yang berada di Pulau Mindanao antara lain:

Manabo, Sangil/Sangir, Maranao, Ilanun, Tiruray, Tasaday, T’boli, B’laan, Kamiguin, Subanun, Mamanwa, Butuanon, Kamayo, Bagobo, Mandaya, Klagan, dan Kalibugan.

4. Kelompok etnis yang mendiami Pulau Palawan antara lain:

Tagbanwa, Agutayanaen, Kuyonen, Pala’wan, Milibog, Batak, dan Taut Batu. 5. Kelompok etnis yang mendiami Pulau Sulu/Tawi-tawi antara lain:

Yakan, Sama, Sama dilaut, Tausug, dan Jama mapun.22

21

Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina. h.20

22


(25)

Dari 75 kelompok etnis di Filipina, masyarakat Muslim Filipina menurut John L Esposito dan Cesar Adib Majul, diklasifikasikan menurut 12 kelompok etnik, yakni: Manguindanao, Maranao, Iranun, Tausug, Samai, Yakan, Jama mapun, Palawani, Kalagan, Kalibugan, Sangil dan Badjo.23 Dengan demikian, Moro pada dasarnya hanya sebutan bangsa Spanyol terhadap Muslim Filipina, bukan nama etnik. Karena masyarakat Muslim di Filipina terdiri dari berbagai etnik. Berikut ini data etnik yang mayoritas Muslim di Filipina Tahun 1975.24

Nama Kelompok Populasi (perkiraan 1975)

Manguindanao Maranao dan Iranun Tausug

Samal Yakan Jama Mapun

Kelompok-kelompok Palawan (Palawani dan Molbog) Kalagan

Kolibugan Sangil

674.000 670.000 492.000 202.000 93.000 15.000 10.000 5.000 4.000 3.000

Dalam hal ini berbeda dengan John L Esposito dan Cesar Adib Majul, Lamijo dan Syarfuan Rozi menyebut 13 kelompok etnik dalam masyarakat Muslim Filipina. Perbedaannya hanyalah pada peletakkan etnik Badjao atau Samal Laut. Mungkin John L Esposito dan Cesar Adib Majul tidak

23

Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. hal.65

24


(26)

meletakkannya karena dianggap sama dengan etnik Samal. Di bawah ini adalah 13 etnik hasil sensus tahun 1980.25

Kelompok Etno-Linguistic Jumlah Presentase Maranao

Manguindanao Tausug (Jolo, Sulu) Sama (Sama’a, Samal) Yakan

Sangil (Sangir) Badjao (Samal Laut) Kolibugan (Kalibugan)

Jama Mapun (Samal Cagayan) Iranum (Ilanun)

Palawanon (Muslim Pinalawan) Kalagan (Muslim Tagakalo) Molbog (Melebuganon) 742.962 644,548 502,918 244.160 196.000 77.000 28.5346 15.417 14.347 12.542 10.500 7.902 7.500 29,7 25,7 20,1 9,7 7,8 3,2 1,1 0,6 0,6 0,5 0,4 0,3 0,3

Total 2.504.332 100

Mayoritas masyarakat Muslim tinggal di bagian Selatan Filipina, yakni di Pulau Mindanao dan di Kepulaun Sulu. Orang Manguindano marupakan kelompok terbesar dan paling banyak tinggal di daerah Cotabato di Mindanao, Sultan Kudarat, Cotabato Utara dan Selatan. Orang Maranao tinggal di dua proponsi Lanao del Sur dan Lanao del Norte., Iranun atau Illanun mendiami daerah Lanao sekitar Teluk Illana dan daerah sebelah Utara Cotabato. Tausug dan Samal tinggal di Kepulaun Sulu. Jama Mapun tinggal di Cagayan desulu. Masyarakat Kalangan tinggal di sepanjang pantai Teluk Davao. Orang Yakan di

25


(27)

Basilan. Sangil tinggal di Davao. Orang Kalibugan tinggal di Zamboanga del Sur. Sedangkan masyarakat Palawani tinggal di Pulau Palawan Selatan dan orang Molbog di dekat Pulau Balabae dekat pantai Utara Kalimantan.26

Secara geografis, masyarakat Moro yang terdiri dari banyak etnik mendiami bagian Selatan Filipina dan memiliki identitas tersendiri. Dari segi sejarah maupun secara sosio kultural berbeda dengan orang Filipina Utara. Sebutan Moro sendiri berasal dari bangsa Spanyol yang datang ke Filipina. Hal ini bisa dimaklumi karena masyarakat Muslim Filipina mempunyai kepercayaan yang sama dengan bangsa Moor yang sejak lama mendiami Spanyol.27

Ada lebih dari seratus bahasa dan dialek berbeda di Filipina. Namun bahasa Tagalog digunakan oleh lebih dari lima belas juta penduduk Filipina, sedangkan bahasa Inggris dimengerti oleh tak kurang dari tiga belas juta penduduk Filipina. Adapun beberapa bahasa utama di Filipina antara lain:

1. Tagalog dan Cebuanon, dipakai di Cebu, Bohol, Negros Occidental, Bastern Leyte, dan sebagian Mindanao.

2. Hiligaynon, dipakai di Negros Iccidental dan popinsi Panay. 3. Waray, dipakai di Samar dan Western Leyte.

4. Bikolano, dipakai di Profinsi Bikol.

5. Kampapangan, digunakan di Pampangan dan Tarlac.

6. Ilokano, digunakan di Pengasinan, La Union dan propinsi Ilocos. 7. Manguindanao, digunakan di beberapa wilayah Muslim Mindanao.

26

Peran Pihak Ketiga Dalam Resolusi Konflik. hal.24

27


(28)

8. Tausog, digunakan oleh orang-orang Islam Zamboanga dan Kepulauan Sulu.28 Banyaknya etnik dalam masyarakat Muslim Filipina menyebabkan tidak ada bahasa khusus yang digunakan masyarakat Muslim Filipina, namun setidaknya mayoritas menggunakan bahasa Tausog dan Manguindanao.

Adapun sistem sosial dalam masyarakat Moro pada masa kolonial terbagi menjadi tiga kelas, yakni kelas Datu, orang bebas, dan budak. Kelompok Datu merupakan keturunan aristokrat, kaya, memiliki jabatan politik, dan status sosial yang tinggi. Orang bebas (freeman) merupakan orang yang tidak memiliki kekayaan, tidak punya prestise ataupun pengikut, tapi bukan budak. Sedangkan budak adalah kelas paling rendah. Saat ini budak tidak ada lagi, yang tersisa hanyalah Datu dan orang biasa. 29

A.1. Dampak Pluralitas Etnis di Filipina

Kondisi Muslim Filipina yang plural tentunya menimbulkan persaingan antar etnis. Hal ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal kedatangan Spanyol. Di mana tiga kesultanan Muslim di Filipina, yakni kesultanan Sulu, Mindanao dan Buayan tidak melakukan kerjasama dalam menghadapi kolonialisme Spanyol. Setidaknya selama empat tahap Perang Moro dengan Spanyol, baru pada tahap terakhirlah mereka sadar harus memunculkan sikap bersatu pada 1645.30 Dalam tahap terakhir ini selama peperangan dengan Pihak Spanyol, pemerintahan Sultan

28

Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina. h. 27

29

Ibid. h. 25

30


(29)

menjadi lebih disentralisasikan untuk tujuan-tujuan pertahanan terhadap Spanyol sebagai common enemy.31

Multi etnis di Filipina sebenarnya sangat merintangi proses integrasi. Bahkan dalam kelompok-kelompok Muslim pun perbedaan-perbedaan etno-kultur cukup fundamental dalam memberi dampak serius persaingan bahkan pada saat-saat bahaya bersama dihadapi. Sultan dan Datu sering terjadi konflik, bahkan bekerjasama dengan orang Kristen yang mereka benci untuk menghancurkan Sultan atau Datu di tempat lain.32

Konflik antara elit ini bisa dilihat pada penguasa Muslim di Cotabato yang bernama Datu Uttu. Ia menyediakan perahu-perahu bagi orang Spanyol untuk menyerang kelompok –kelompok Muslim yang menolak tunduk padanya. Selain itu, selama masa pendudukan Amerika, beberapa kelompok menandatangani pakta perdamaian, sementara beberapa kelompok Muslim lainnya tetap mengadakan perlawanan.

Pemberontakan Datu Ali yang dimulai tahun 1903 merupakan salah satu pemberontakan yang sangat hebat pada periode Amerika, dapat dipatahkan karena Datu Ali dibunuh berdasarkan informasi yang diberikan oleh Datu Piang. Kompetisi antara para Datu tersebut sebenarnya hanyalah mendapat harta kekayaan dan pengaruh.33

Kesamaan agama nampaknya tidak membuat persatuan masyarakat yang terdiri dari banyak etnis berjalan dengan lancar. Multi etnis justru mempersulit integrasi masyarakat jika yang dicita-citakan masyarakat Islam menjadi sebuah

31

Al Chaidar, Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara; Telaah Perbandingan Atas Terbentuknya Diskursus Politik Islam Dalam Gerakan-Gerakan Pembentukan Negara di Indonesia dan Filipina Pasca Kolonialisme, (Jakarta: Tesis Universitas Indonesia, 1992). h. 61

32

Ibid. hal.206

33


(30)

bangsa. Masyarakat Muslim yang terdapat di Thailand misalnya, multi etnis menyebabkan masyarakat Muslim tidak bersatu dalam melakukan perlawanan terhadap diskriminasi pemerintah.34

Ternyata sentimen etnis juga terlihat pada konflik internal Moro National Liberation Front (MNLF)pada tahun 1977, ketika itu petinggi MNLF yang tidak suka dengan kepemimpinan Nur Misuari melakukan pembusukan dengan mengambil isu komunis dikatakan bahwa Nur Misuari sebenarnya orang Komunis yang berlindung dalam selimut Islam. Hashim Salamat (1942-2003), yang ketika itu menjadi menjabat anggota Komite Sentral MNLF memecat Nur Misuari dari kedudukannya sebagai Ketua Komite. Salamat menyatakan bahwa Nur Misuari sedang berpaling dari Islam, karena lebih menyukai metode Komunis, dan bahwa ia sedang kehilangan kepercayaan dari banyak komandan lapangan Bangsa Moro Army (BMA). Nur Misuari kemudian menyerang balik dengan cara memecat Salamat dari Komite Sentral, dan memasukkan lebih banyak anggota dari etnisnya sendiri, yakni etnis Tausug.35

B. Kebijakan Terhadap Sosial Keagamaan

Sistem pendidikan pasca kemerdekaan Filipina pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem yang diperkenalkan Amerika dan kemudian dikembangkan pada masa persemakmuran. Manuel Quezon mengatakan bahwa dalam rezimnya tidak ada tempat bagi para Datu dan Sultan. Ini bisa kita mengerti karena Manuel Quezon menghendaki kesultanan menjadi wilayah integral Negara Filipina.

34

Erni Budiwanti, Minoritas Muslim di Filipina, Thailand dan Myanmar; Masalah Represi Politik (Jakarta: LIPI, 2003). h.129

35


(31)

Sistem pendidikan Filipina pada masa Amerika sebenarnya menerapkan kurikulum yang sama bagi setiap anak Filipina di semua daerah tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan agama, kultural dan tidak mempertimbangkan bahwa orang-orang Islam memiliki beberapa karakteristik agama yang unik dan sejarah mereka sendiri. Serta Undang-Undang nasional akan diterapkan secara sama terhadap orang-orang Islam dan Kristen.

Namun dengan adanya kebijakan tersebut mendapat reaksi keras dari umat Islam yang membuat presiden Quezon menyadari bahwa orang-orang Islam memiliki kode etik sendiri yang berharga dan memiliki sistem undang-undang yang menguasai aspek kehidupan mereka. Beliau pun gagal menyadari bahwa undang-undang nasional yang dibentuk tanpa perwakilan para pemilih Islam karena ini dirasakan asing bagi orang Islam Filipina yang warisan kulturalnya diambil secara besar-besaran dari masyarakat Melayu.36 Padahal menurut hemat penulis, apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika pada waktu itu bertujuan untuk mengintegrasikan masyarakat Filipina yang sejak masa kolonialisme Spanyol mengalami konflik antara masyarakat Utara dan Selatan. Kemungkinan yang membuat masyarakat Muslim Filipina berontak terhadap Amerika adalah menyangkut diskriminasi dalam politik migrasi.

Sementara itu, para pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan pemerintah yang baru, merupakan rencana yang sengaja dilaksanakan untuk mematikan Islam di Filipina. Ketika diproklamirkan kemerdekaan di Filipina, masyarakat Muslim meminta perlakuan khusus dan pembentukan hukum serta pengadilan syari’ah yang memungkinkan mereka melaksanakan haknya dalam

36

Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h. 11


(32)

memperaktekkan hukum Islam secara penuh, karena orang-orang Muslim merasa sulit menerima undang-undang nasional Filipina, kerena berasal dari nilai Barat dan Kristen.37

Orang-orang Islam tidak menyukai sistem pendidikan baru yang menekankan ide-ide progresif Barat yang berguna untuk menciptakan kerakyatan nasional baru yang cocok. Aturan-aturan perilaku didasarkan pada nilai-nilai Barat. Buku-buku sejarah mengajarkan bahwa orang-orang Filipina Selatan, yang telah memerangi orang-orang Spanyol adalah kelompok perampok dan pedagang budak. Karena hal ini, orang-orang Islam Filipina tidak bersemangat untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Walaupun begitu, di Filipina masih terdapat sejenis pendidikan pesantren atau sekolah pandita (ustadz atau guru). Sekolah ini diselenggarakan di rumah atau di Masjid. Sekolah pandita adalah sebuah lembaga pendidikan yang menjadi sekolah lokal.38

Pada tahun 1976, dalam masa pemerintahan Presiden Marcos (1965-1982), konflik antara gerakan Muslim yang tergabung dalam MNLF dengan Pemerintah Filipina berakhir dengan kesepakatan Tripoli yang isinya masyarakat Moro mendapat hak otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan. Perjanjian tersebut tidak berjalan dengan lancar, namun Pemerintah Filipina membentuk Kementrian Urusan Islam (KUI) pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah formal yang megah diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka.

Dalam menjalankan tugasya, kementrian Urusan Islam menekankan integrasi dengan membuka kesempatan kepada Masyarakat moro untuk berperan

37

Dinamika Islam Filipina. h. 15

38


(33)

aktif dalam pembangunan dan kehidupan bernegara sejajar dengan masyarakat Filipina lainnya. Penekanan kementrian ditujukan kepada pembinaan lembaga sosial budaya dan ekonomi. Prioritas diberikan kepada pembinaan pelayanan hukum Islam kepada masyarakat Moro. Untuk itu dibentuklah badan peradilan syari’at yang sejajar dengan peradilan umum. Bagi keperluan ini pengembangan sumber pelaksana hukum syari’at (kadi) juga dilancarkan.

Di samping itu dilakukan usaha untuk meningkatkan fasilitas budaya dan keagamaan bagi masyarakat Muslim. Usaha ke arah ini terlihat dengan penunjukkan amir al hajj (pemimpin rombongan haji nasional) pada musim haji 1982, pengadaan perlombaan membaca al Qur’an secara luas dan rutin, pembinaan masjid, dan koordinasi kegiatan para ulama.39

Bagaimanapun seriusnya usaha pemerintah melalui KUI, namun sebagian masyarakat Muslim meragukan ketulusan Marcos dalam menyelesaikan persoalan Moro dan beranggapan bahwa program pembangunan di Filipina Selatan hanyalah kedok ke arah integrasi yang merugikan. Karena itu, para tokoh perlawanan, terutama MNLF masih mendapat dukungan luas, kendati tidak dalam bentuk konkret perlawanan bersenjata.

C. Diskriminasi Kebijakan Ekonomi

Sejak Filipina memperoleh kemerdekaan, tahun 1946, Pemerintah Manila membuat program pemukiman bagi orang Kristen dari Luzon dan Visaya di wilayah Moro berdasarkan UU No. 1888 tanggal 22 Juni 1957 dibentuklah

Commission On National Integration. Program ini sebenarnya kelanjutan dari

39


(34)

politik integrasi yang dilakukan Amerika. Pada waktu itu, masyarakat Moro tidak merasa terganggu, karena administrasi wilayah diatur oleh kalangan mereka sendiri. Tetapi dengan dukungan pemerintah, para pemukim Kristen mulai mengambil alih posisi straregis di bidang politik dan ekonomi, segera setelah mereka memenuhi tanah Moro. Kondisi ini mengakibatkan Muslim Moro makin terpinggir. Padahal semula program ini bertujuan mendorong semangat berproduksi, pertanian, industri rumah tangga dan lain-lain dengan cara-cara yang lebih modern. Tetapi ini tidak berdampak signifikan bagi masyarakat Moro.40

Dengan adanya kondisi semacam ini, tampaknya motivasi pemerintah Manila dalam proses migrasi dan pembangunan dinilai negatif, bukan hanya murni untuk pemerataan pemukiman di daerah Selatan, sehingga Cesar A Majul beranggapan tujuan Pemerintah Filipina adalah untuk mengurangi dan menghancurkan peran orang Islam di sana.

Selain itu, kaum Moro merasa bahwa pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak pernah mencapai daerahnya. Akhirnya di kalangan Moro terjadilah apa yang disebut erosi identitas kultural, teralienasi dari pembangunan ekonomi, terasing dari wilayah kehidupannya sendiri. Mereka menjadi kian asing di negeri sendiri.41

Pada masa pemerintahan Marcos atau setelah penandatanganan perjanjian Tripoli, bangsa Moro diberikan hak otonom untuk mengelola wilayah Filipina Selatan. Bidang ekonomi dan finansial, wilayah Filipina Selatan mempunyai sistem tersendiri. Pada tahun 1977, keluar dekrit Presiden Filipina untuk mendeklarasikan adanya otonomi di wilayah Filipina Selatan dan tahun 1979

40

Djunaedi Mahbub, Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan, (Jakarta: PT Al Ma’arif, 1975). h. 31

41


(35)

kembali dekrit Presiden dikeluarkan untuk mengimplementasi adanya wilayah otonomi Filipina Selatan.42

Dengan kesepakatan itu, pihak MNLF diberikan hak otonomi untuk mengelola wilayah Filipina Selatan di bidang ekonomi dan finansial, misalnya wilayah Filipina Selatan mempunyai sistem tersendiri. Tetapi perincian bagaimana mengoperasikan sistem itu dan bagaimana hubungan dengan pemerintah pusat dan Manila tidak begitu jelas, sehingga masyarakat Filipina Selatan tidak bisa berharap banyak pada kesepakatan otonomi tersebut.43

Awal bulan Agustus 1973, didirikanlah Bank Amanah Filipina untuk memenuhi beberapa tujuan: untuk membangun kelas pengusaha wiraswasta Muslim yang lebih besar, untuk melatih kaum muda Islam memperoleh keahlian perbankan dan pengetahuan ekonomi yang canggih, dan membantu dana rehabilitasi daerah-daerah yang menyedihkan di daerah Selatan.

Pada tahun 1974 Administrasi Pembangunan Filipina Selatan(SPDA/Southern Philippines Development Authority) didirikan untuk meningkatkan hubungan ekonomi antara Muslim dan dan Non-Muslim pada batas regional.44

Nyatanya, banyak usaha pemerintah Filipina untuk mengeksploitasi hasil tambang atau sumber daya alam lainnya di wilayah masyarakat Moro di Mindanao. Banyak usaha dari pemerintah Filipina untuk mengeksploitasi hasil tambang ini untuk keuntungan berbagai proyek industri tambang ini untuk keuntungan berbagai proyek industri di Utara Filipina. Tingginya investasi untuk

42

Erni Budiwanti, Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai, (Jakarta: LIPI, 2001). h. 92

43

Problematika Minoritas Muslim Asia Tenggara. h.109

44

Durorudin Mashad, Gerakan Resistensi Minoritas Muslim Filipina, Thailand, dan Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2004). h. 171


(36)

menggali sumber-sumber tambang di Mindanao ini semakin mempertinggi disparitas atau kesenjangan di antara minoritas Muslim Moro dan Mayoritas Katolik. Setelah kemerdekaan Filipina, pemerintah bahkan menarik lebih banyak investor asing dari berbagai perusahaan multidimensional untuk mendirikan industri-industri besar di Mindanao guna memenuhi harapan pemerintah akan peningkatan ekspor Filipina, namun tidak memenuhi kebutuhan lokal Masyarakat Muslim Moro di Mindanao.45

Pada umumnya, persoalan ketidakadilan ekonomi sebenarnya telah berlangsung lama di kalangan kelompok minoritas secara etnis ataupun agama. Menurut Tri Nuke Pujiastuti, diskriminasi tersebut didukung oleh beberapa hal,

pertama, pada kenyataannya kelompok minoritas tinggal di wilayah terpisah dengan kelompok mayoritas; kedua, masih rendahnya fasilitas-fasilitas ekonomi yang mereka miliki; ketiga, pelemahan konflik budaya; atau keempat, diskriminasi yang dilakukan kelompok mayoritas. 46

45

Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h. 138

46


(37)

BAB III

PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI

A. Perjuangan Pada Masa Kolonial

A.1. Perlawanan Terhadap Imperialisme Spanyol (1565-1876)

Bangsa Spanyol menginjakkan kaki pertama kali di Filipina pada tanggal 16 Maret 1521 di pulau Samar melalui sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan. Kedatangan Magellan disambut oleh dua raja dari Filipina Utara, yaitu Kolambu dan Siagu. Magellan kemudian ke Cebu untuk menemui Raja Humabon. Raja Humabon dan 800 orang Cebuano lainnya dibaptis menjadi Kristen. Dalam hal ini, Magellan setuju membantu Raja Humabon untuk memadamkan pemberontakan Lapu-lapu di sekitar pulau Mactan. Magellan terbunuh dalam sebuah pertempuran antara pasukan Spanyol dan pasukan Lapu-lapu pada tanggal 27 April 1521. dia menyebut wilayah baru itu “Philippine”, sebagai penghormatan kepada raja Philip II yang berkuasa di spanyol ketika itu.47

Filipina secara resmi menjadi koloni bangsa Spanyol pada tahun 1565, ketika raja Philip II menunjuk Miguel Lopez de Lagazpi sebagai Gubernur Jenderal yang pertama. Ia selanjutnya memilih Manila sebagai Ibu Kota wilayah koloni itu pada tahun 1571, karena dianggap potensial. Kedatangan Lagazpi di manila tidaklah di sambut dengan baik, karena orang Islam di Manila pimpinan raja Sulaiman (1570-1582) tidak mudah tunduk dalam kekuasaan orang Spanyol dan mereka memahami maksud dan tujuan dari kebijakan yang akan diterapkan di Manila. Selama sekitar 200 tahun awal masa penjajahan Spanyol di Filipina,

47

Carlos P Romulo, Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3, (Jakarta: Grolier Internasional, PT Widyadara, 2003). h. 254.


(38)

masyarakat muslim terisolasi dari dunia luar. Baru setelah berakhirnya ‘perang tujuh tahun” dengan Inggris pada tahun 1762, yang ditandai dengan perjanjian Paris (1763) di mana Manila dikembalikan pada Spanyol, Filipina mulai membuka dengan dunia luar, dan kemudian pada tahun ini juga, Miguel Lopez de Lagazpe berhasil menaklukan Luzon Visayas.

Awal kedatangan bangsa Spanyol di Manila, Legazpi melakukan hubungan langsung dengan raja Sulaiman. Mereka telah membuat pernyataan yang mana pernyatan tersebut hanya sebuah siasat dari Legazpi. Walaupun demikian pada akhirnya Spanyol melakukan pemberontakan di Manila. Mereka mulai menembak dan merampok orang-orang Islam. Manila menjadi markas besar Spanyol pada tahun 1571 ketika bangsa Spanyol mulai menetapkan peraturan untuk masyarakat muslim.48

Dalam memperpanjang pengaruh kolonialnya, bangsa Spanyol memperingatkan masyarakat muslim bahwa jika ingin berdamai dengan mereka, maka muslim Filipina harus membayar upeti, jika menolak maka harta muslim Filipina akan di ambil paksa oleh Spanyol. Selain itu pula, masyarakat muslim Filipina wajib memberkan empat puluh orang laki-laki yang berumur antara 16 sampai 60 tahun untuk dipekerjakan kepada Spanyol. Walaupun demikian masyarakat muslim tidak pernah menyerah.49

Kedatangan bangsa Spanyol di Filipina pada tahun 1565 untuk mendirikan koloni serta mengkristenisasi penduduk asli Filipina, menghalangi penyebaran Islam selanjutnya ke Utara dari Kalimantan, dan ke Selatan Filipina arah Luzon

48

Perang Moro. h. 30

49

T.J.S George, Revolt in Mindanao; the Rise of Islam in Philippine Politics, (Oxford University Press, 1980). h. 32-33.


(39)

dan kepulauan Visayan. Sejak saat itu penyebaran Islam terbatas sampai ke kepulauan Sulu dan Mindanao sebelah Barat.

Sejarah menunjukan bahwa pertentangan penduduk yang di utara dan penduduk Islam bermula dari permusuhan antara orang Spanyol dan kaum Muslimin. Spanyol yang datang ke Filpina pada tahun 1565 untuk mendirikan koloni dan memasukkan penduduknya ke dalam agama Kristen telah menghalangi penyebaran Islam yang dilakukan dari Brunai (Kalimantan) para mahdumin

(pendakwah Islam) yang juga berperan sebagai pedagang dari Kalimantan tiba di Filipina pada tahun 1520 secara besar-besaran sehingga Manila pun telah menjadi sebuah kerajaan Islam dibawah pemerintahan sultan Brunai. 50

Filipina dijajah Spanyol selama lebih kurang 377 tahun. Periode Spanyol di Filipina merupaka era kristenisasi bangsa Filipina. Hampir semua kepulauan di Filipina, kecuali Mindanao, dikristenkan. Dengan kekerasan, persuasi atau menundukan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Spanyol berhasil memperluas pengaruhnya ke hampir seluruh Barangay (perkampungan) di Filipina. Spanyol menghadapi perlawanan yang gigih dari kesultanan-kesultanan di Filipina selatan, Sulu, manguindanao, dan Buayan yang mana memiliki kesatuan politik dan telah dikembangkan jauh lebih melabihi struktur Barangay

yang sederhana.

Orang-orang Spanyol memaksa kaum pribumi yang telah memasuki agamanya untuk menjadi sekutu mereka dalam pertempuran. Misalnya ketika terjadi perang antara bangsa Spanyol dengan kekuatan muslim di bawah pimpinan Sultan Nasruddin (1656). Kaum pribumi ini digunakan sebagai pandayung,

50

Dalam hal ini Cesar A Majul tidak menjelaskan dengan rinci siapa nama seseorang yang dimaksud. Lihat Dinamika Islam Filipina. h. 9


(40)

pelempar tombak, atau prajurit-prajurit untuk menyerang perkampungan-perkampungan Islam yang mana mereka telah diindoktrinasi dengan kepercayaan bahwa mereka sedang melakukan pelayan agama. Kaum ini disebut kaum Indio oleh Spanyol.51

Rentetan peperangan yang panjang antara orang-orang Spanyol dan Islam dinamakan “perang moro”, dan dilanjutkan sampai masa kekuasaan Spanyol di Filipina berakhir. Peperangan ini pada akhirnya menambah ketegangan yang terjadi sekarang antara orang-orang Islam dan Kristen. Ekspedisi bangsa Spanyol banyak menghancurkan komunitas-komunitas Islam dan daerah pertanian, menghancurkan perokonomian dan kehidupan orang-orang Spanyol serta selama ekspedisi kota-kota Islam banyak dikosongkan. Akhirnya dengan kemenangannya beberapa sultan dipaksa mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan kolonial di Manila dan banyak para datu secara sukarela menyerah dan menerima perlindungan Spanyol.

Tahun 1596 kapten Esteban Rodriguez de Figuroa diperintahkan untuk mendirikan suatu benteng tetap di selatan bagi kepentingan Spanyol dan pada tahun 1578 Figuroa juga menyerang Sulu. Sebelum menjalani tugasnya sang kapten mendatangani kontrak dengan pemerintah Spanyol yang isinya menjanjikan kedudukan sebagai gubernur pulau Mindanao untuk de Figuroa dan ada semacam bagi hasil atas segala sesuatu yang dihasilkan dari penduduk asli Mindano. Cita-citanya belum terwujud, karene Figuroa terbunuh dalam suatu serangan mendadak di Tampacan. Anak buahnya yang moralnya jatuh karena

51

Istilah Indio menunjukan sebutan kepada kaum pribumi yang menjadi Kristen. Sedangkan moro sebutan untuk orang-orang yng beragama Islam. Kaum pribumi yang menyembah berhala dan tinggal di gunung-gunung dan dipedalam pulau-pulau besar disebut infieles. Istilah Filipino dipakai bagi orang-orng Sapnyol yang lahir di Filipina sedangkan peninsula yaitu orang-orang Spanyol yang lahir di Spanyol.


(41)

kehilangan pemimpin, mengundurkan diri ke suatu daerah terpencil beberapa kilometer dari kota Zamboanga sekarang.52

Karena kegagalan itu, Spanyol akhirnya menerapkan stretegi lain, mereka mendirikan benteng di dua tempat di pulau Mindanao. Benteng pertama adalah di ujung semenanjung Zamboanga dan di Caraga yang terletak di ujung timut laut Pulau Mindanao. Dari kedua tempat itu, yang sebenarnya berfungsi sebagai “pos pengawas”, bisa diawasi gerakan kaum Moro yang menyerang Spanyol di pulau Luzon. Biasanya “rute” penyerangan adalah melalui ujung Semenanjung Zamboanga dan pulang melalui sisi timur pulau yaitu dekat dengan Caraga.53

Tahun 1645 terjadi perjanjian antara bangsa Spanyol dan Sultan Manguindanao, yang isinya memaksa sultan untuk mengakui penutupan daerah pantai Sibuguey sampai Davao Gulf dan memperpanjang ke dalam daerah Maranao. Spanyol juga menghina sultan Nasruddin dan melanjutkan usahanya untuk melakukan perubahan di Filipina. Kerena hal itulah, maka pada tahun 1656 tejadi konflik antara orang Manguindanao dan orang Spanyol. Dalam konflik tersebut Sultan Manguindanau mendeklarasikan sebagai ‘jihad’ dan memangggil Sultan-Sultan dari Sulu, Ternate, dan Makassar untuk segera bangkit secara serentak membantunya dalam membela Syariat Islam, yang oleh Spanyol hendak di hancurkan dan diganti dengan undang-undang sekular bikinan mereka. Menurut Cesar A Majul, Spanyol belum pernah menemukan seorang pemimpin Islam yang mengagumkan seperti Nasruddin.54

52

Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan. h.31

53

Al Chaidar, Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara, Telaah Perbandingan atas Terbentuknya Diskukrsus Politik Islam dalam Gerakan Pembentukan Negara di Indonesia dan Filipina Pasca Kolonial, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993).h.216

54


(42)

Pada Tahun 1663 bangsa Spanyol meninggalkan Moluccas dan Zamboanga, sehingga pada akhirnya terjadi perdamaian antara orang spanyol dan Muslim di Filipina. Tetapi perdamaian tersebut tidak berjalan lama, karena pada tahun 1718 orang Spanyol memutuskan untuk mengulangi kembali penjajahnya di Zamboanga.55

Selama berlangsungnya peperangan Moro dan strategi Spanyol dalam “memecah belah dan menaklukan” telah meninggalkan warisan sikap-sikap yang pahit, yang tidak dapat dihapus dalam beberapa generasi. Kepahitan masih berlangsung dalam beberapa golongan penduduk Filipina. Meski umat Islam di selatan Filipina relatif bersatu namun stategi tersebut dapat memecah bagian-bagian penting persatuan umat Islam di kepualauan itu. Islam akhirnya terpisah dari ikatan-ikatan politik otonom, karena hancurnya tiga kekuatan Islam di Filipina.Sehingga pada fase selanjutnya, Islam menjadi agama yang mempribadi, kehilangan ruh bahwa Islam sebagai sebuah umat.

Menjelang akhir abad 19, kebijakan resmi Spanyol tidak difokuskan pada politik kristenisasi, tetapi berusaha mengubah pola fikir masyarakat Moro agar patuh pada kekuasaan Spanyol. Padahal sebelumnya, sejak tahun 1635 pemerintah Spanyol menetapkan sebuah garnisun untuk melindungi missionaris Kristen di Zamboanga. Tiga ratus orang Spanyol dan seribu pasukan Visayan membangun benteng raksasa yang digunakan jesuit untuk melakukan kristenisasi.56

Perang Moro nampaknya tidak akan pernah selesai, meskipun Spanyol mengeluarkan dana yang besar untuk peperangan. Yang paling menderita akibat peperangan ini menurut Delor Angeles yang dikutip Peter Gowing adalah Kristen

55

Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. h. 42

56

A Rahman Zainuddin, Sejarah Minoritas Muslim di Filipina, Thailand da Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h. 31


(43)

Filipina. Karena orang-orang Kristen harus membayar pajak yang amat berat untuk membiayai parang yang mahal. Mereka yang tidak sanggup membayar pajak dijadikan pekerja paksa yang hampir tidak berhenti membangun kapal-kapal untuk berekspedisi angkatan laut Spanyol, sedangkan sebagian lagi yang masih muda dan kuat bertugas sebagai tukang-tukang dayung kapal yang menyerang kedudukan kaum Moro57.

Pada tahun 1896 dan 1898 terjadi revolusi Filipina yang menyebabkan bangsa Spanyol menarik pasukannya dari wilayah Muslim untuk dikonsentrasikan di Utara. Pada masa-masa ini para pemimpin revolusi Filipina yang berasal dari Filipina Utara berusaha menarik dukungan Muslim Filipina Selatan untuk membantu melawan Spanyol. Namun Muslim Moro memandang keduanya, bangsa Spanyol ataupun Filipina adalah musuh.58

Wilayah Mindanao dan Sulu di Selatan Filipina tidak pernah bisa ditundukkan oleh pasukan Spanyol. Namun demikian, Spanyol tetap menganggapnya sebagai bagian dari koloninya. Hal ini terbukti dengan ditandatanganinya Traktat Paris pada 1989 yang mengalihkan hak penguasaan wilayah Filipina, termasuk Filipina Selatan kepada Amerika dengan harga 20 juta dollar AS. Sejak itu, Amerika mengambil alih kekuasaan di Filipina.59

A.2. Perlawanan Terhadap Imperialisme Amerika (1898-1946)

Tahun 1898, kemenangan Amerika atas Spanyol menandai perpindahan kekuasan atas Filipina ke tangan Amerika. Meskipun status Sulu dan Mindanao

57

Delor Angeles, The Moro Wars, dalam Peter G. Gowing dan Robert D McAmis, (Manila: Solidarided Publishing House, 1974).h.27-32

58

Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. h.65

59


(44)

sendiri belum sepenuhnya berada di bawah kontrol penuh Spanyol, namun keduanya dimasukkan dalam perjanjian penyerahan tersebut.

Kedatangan Amerika di Filipina Selatan pada tahun 1898 sebenarnya tidak membuat kaget Muslim di sana. Ketika angkatan laut Amerika menduduki Zamboanga kepala suku muslim berkumpul bersama untuk membahas perdagangan dengan mereka dan Muslim siap bertempur dengan kebijakan baru orang Amerika. Serangan yang rutin dan serangan balasan ini pada akhirnya mirip seperti pemberontakan pada masa Spanyol.60

Seperti Spanyol, Amerika mempunyai satu kesatuan tentara, administrasi, dan strategi ekonomi untuk menyelesaikan misinya di Filipina. Penjajahan Amerika atas Filipina dimulai sejak armada pimpinan Laksamana Dewey mengalahkan Spanyol di teluk Manila. Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika ditandai dengan perjanjian Paris pada tanggal 10 Desembar 1898, yang sekaligus mengakhiri perang amerika Spanyol. Dalam perjanjian tersebut ternyata Spanyol memasukkan pula wilayah Moro dengan mengklaim sebagai daerah koloninya, padahal Spanyol sama sekali tidak pernah bisa menguasai wilayah itu. Tindakan Spanyol itu merupakan tindakan yang tidak sah dan tidak bermoral. Mereka tidak berhak untuk menyerahkan wilayah moro pada Amerika Serikat, sebab mereka tidak berdaulat di Moro, dan masyarakat Moro pun tidak dimintai pendapatnya lebih dahulu.

Kedatangan Amerika di Filipina (1989) tidak sekedar muatan politis, tapi juga memiliki kepentingan ekonomi, mereka tertarik dengan sumber daya alam di wilayah selatan, sebab di Laut Sulu terdapat deposit minyak bumi.61 Pada masa

60

Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h. 135

61


(45)

Amerika, Filipina sepenuhnya dibaratkan. Sistem demokrasi yang dipakai Filipina hingga saat ini adalah warisan dari kolonialisme Amerika. Di Asia Tenggara yang paling banyak mengalami pembaratan adalah Filipina. Dan dua dekade setelah kemerdekaan, Filipina mengalami ketergantungan terhadap Amerika terutama secara ekonomi. Filipina secara kelembagaan juga sangat terkait dengan ekonomi bisnis Amerika. Kapitalisme Filipina disumbangkan oleh peninggalan sistem liberal Amerika sedangkan feodalismenya diwariskan secara mendalam dari Spanyol. Karakteristik bangsa Fipilina adalah sangat Barat.

Ketika bangsa Amerika sampai ke wilayah Muslim, mereka memandang orang Islam seperti orang-orang Indian Amerika yang harus ditertibkan. Berbeda dengan kolonial Spanyol, kolonial Amerika tidak menganjurkan permusuhan Islam dan Kristen, melainkan memperkenalkan proses rasional dalam system administrasi kenegaraan dan komunitas Islam diajak untuk bekerja sama dalam proyek-proyek Negara dan menganjurkan pembauran orang Kristen dan Islam dengan cara mengajak orang Kristen menetap di Mindanao. Sebelum Perang Dunia I Amerika sedikitnya mendirikan tujuh koloni pertanian di daerah-daerah Islam tradisional. Orang Amerika tidak seperti Spanyol yang mana tidak menganjurkan permusuhan Kristen-Islam. Bahkan Amerika menetapkan kebijakan resmi bahwa membiarkan kehidupan agama orang-orang Islam dan kebiasaan ritual tidak terusik.62

Hubungan Amerika dengan penguasa Muslim di Sulu dibawa pertama kali oleh misi Jenderal John Bates. Tujuan Bates ini adalah untuk menetralisir orang-orang Muslim yang tertuang dalam Bates Agreement tahun 1899. Dengan

62


(46)

persetujuan ini Muslim Filipina mengakui kedaulatan Amerika dan setuju untuk membantu memerangi perompak (bajak laut) dan orang-orang yang melawan otoritas dan martabat pemimpin Sulu maupun pemimpin-pemimpin yang lain. Sebaliknya, orang Amerika berjanji untuk menghormati martabat dan kekuasaan Sultan Sulu dan beberapa pemimpin-pemimpin yang lain serta tidak mencampuri masalah agama mereka dan membayar gaji sultan dan pemimpin-pemimpin orang Islam.

Muslim Filipina melihat bahwa perjanjian ini terdiri dari poin-poin yang berbeda dengan Amerika. Pemimpin Islam tampaknya percaya bahwa dengan berdiplomasi dengan mereka, Amerika tidak ikut campur terhadap masalah internal dan menjamin cara kehidupan mereka.

Kebijakan Amerika di Filipina hanya sedikit di terapkan di daerah Moro sejak periode pendudukan militer. Kebijakan untuk tidak mencampuri masalah internal orang moro, kini banyak usaha dengan giat di jalankan Amerika. Mereka mengembangkan, membudayakan, mendidik dan melatih masyarakat Muslim Filipina dalam pendidikan pemerintahan demokrasi Amerika.63

Persetujuan Bates ini kehilangan relevansinya ketika pada bulan Agustus tahun berikutnya terjadi bentrokan berdarah antara orang-orang Amerika dan pemimpin –pemimpin lokal Muslim. Pada tahun 1904 Amerika secara resmi menghapus persetujuan ini. Meski kedatangan Amerika pertama kali bukan untuk mengkristenkan orang-orang Muslim di Mindanao, namun pada akhirnya juga melakukan pekerjaan missionary atau dakwah Kristen terhadap orang-orang Islam. Jendral Samuel Summer, komandan Angkatan Darat Amerika Serikat di

63

Kamlian, Jamail, Bangsamoro Society and Culture, Iligian Centre for Peace Education Research, 2001. 16


(47)

Mindanao antara tahun 1902 hingga 1903 menulis bahwa orang Islam adalah seorang yang berbeda dari kami dalam hal perkataan, kata dan aksi, dan agama mereka akan menjadi penghalang serius bagi peradaban Kristen. Selama agama Islam berlaku, peradaban Anglo-Saxon akan memperlambat kemajuan. Sementara presiden Mc Kinley merasa berdosa jika tidak mencoba untuk mengangkat, membudayakan dan mengkristenkan orang-orang Muslim Moro.64

Pembatalan perjanjian tersebut merupakan sebuah isyarat amerika Serikat untuk mendirikan atau menetapkan wewenang mutlak atas Filipina. Menurut sekretaris perang, Elihu Root mengatakan bahwa kebijakan amerika terhadap filipina telah melalui keputusan Mahkamah agung amerika dalam bangsa chrokee.

Kemudian administrasi kolonial Amerika dengan cepat membudayakan orang Islam yang mana tak dapat di elakkan lagi bahwa ini bermaksud untuk mengkristenkan orang Islam.

Gubernur pertama Amerika di wilayah muslim, Jendral Mayor Leonardo Wood mengatakan bahwa orang Islam tak lain adalah orang liar yang hidup di bawah hukum berat dan tidak ada alasan untuk Wood menetapkan kebijakan yang buruk.

Gubernur terakhir Amerika di wilayah muslim, Frank Carpenter berhasil mengurangi gambaran jelek para penganut agama Islam, memperkenalkan sistem sekolah umum dan hukum yang bijak. Sistem pendidikan dan hukum ini telah menolong peletakan pondasi bagi konversi besar-besaran orang Muslim ke dalam cara hidup kristen. Kaum Muslim yang enggan berimitasi dengan orang-orang nasionalis telah memiliki perlawananya tersendiri, nasionalisme tersendiri.65

64

Revolt In Mindanao. h. 58

65


(48)

Periode Carpenter merupakan sebuah ketenangan selingan. Pada awalnya, beberapa orang tingkat tinggi orang Islam melawan kebijakan Amerika. Pemerintah militer telah menentukan kebijakan dengan kontrol langsung dari seorang jendral di Mindanao dan setiap pemimpin memimpin empat daerah. Tiga abad melewati hidup berperang dengan orang spanyol, maka orang Islam yakin bahwa mereka dapat mengalahkan orang amerika dengan baik. Kelompok-kelompok Islam telah menyebar untuk menjaga tekanan dari resimen infantry Amerika yang telah menyebar sepanjang Selatan.

Tahun 1906 terjadi pemberontakan antara orang Muslim Filipina dengan Amerika. peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Bud dajo yang merupakan pembalasan Muslim Filipina. Penyebab peristiwa ini adalah penetapan kebijakan Amerika seperti perpajakan yang merupakan kebijakan Amerika tetapi suatu kebijakan yang membebankan Orang Muslim. Selain itu persiapan untuk menghapus secara besar-besaran orang Muslim di Jolo.

Dengan bertujuan untuk menghalangi pertempuran tersebut, sekitar 600 orang Islam yang mencakup wanita-wanita dan anak-anak melakukan perjalanan ke kawah dalam memadamkan bukit vulcano di Dajo. Mereka bersenjata keris, tombak dan beberapa senapan. Sedangkan di sisi Amerika, 800 pasukan memperlihatkan mereka membawa banyak senjata modern dalam baju baja orang Amerika. Muslim Filipina mengabaikan mereka dan dengan penuh ejekan dan hinaan menolak peluang untuk mengungsikan anak-anak dan wanita-wanita mereka. Sebagaimana pendirian mereka, bahwa kematian dalam peperangan adalah lebih baik daripada hidup di bawah orang kafir. Seluruh kelompok Islam


(49)

telah dihancurkan dan menurut sejarawan-sejarawan Bud Dajo bukanlah sebuah pertempuran tetapi sebuah pembantaian besar-besaran.66

Tahun 1902 Filipina mengumumkan pembentukan panita untuk kemerdekaan Filipina. Penguasa sipil dan militer mulai untuk melihat kebijakan Amerika di Mindanao, Itu dilakukan untuk menentukan kebijakan dasar dan kebijakan atas orang Muslim untuk integrasi ke dalam politik Filipina. Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut adalah desakan dari nasionalis-nasionalis Kristen Filipina bahwa daerah orang Islam tak dapat dipisahkan dari bangsa Filipina. Akhirnya Amerika dan Filipina menyadari bahwa Mindanao dan Sulu sangat penting sebagai sumber penghasilan mereka yang akan datang. Dalam hal ini Amerika menafsirkan bahwa perlawanan orang Muslim tidak lain adalah untuk menentang kebijakan mereka yang permasalahannya lebih kompleks.67

Sebenarnya, para nasionalis Filipina yang merupakan intelektual di Filipina Utara, sudah memproklamirkan kemerdekaan Filipina pada tanggal 12 Juni 1898, para nasionalis Filipina memproklamasikan kemerdekaan mereka sebagai jalan terbentuknya Republik Filipina setahun kemudian. Dalam menuju kemerdekaan, tentara nasional Filipina pimpinan Aquinaldo serta pasukan-pasukan gerilya lainnya mengadakan perlawanan, sehingga Amerika mengeluarkan Undang-Undang darurat perang, dan baru dicabut kembali pada tahun 1901 ketika nasionalis Filipina dapat dikalahkan.68

Amerika dengan cepat memperkenalkan pemerintahan dalam negeri untuk rakyat Filipina, dimulai dengan Badan Legislatif dua kamar pada tahun 1934 dengan janji kemerdekaan 10 tahun kemudian. Namun Amerika tidak mampu

66

Revolt in Mindanao. h. 31.

67

Sejarah Minoritas Muslim Filipina, Thailand dan Myanmar. h. 38

68


(50)

memberi kemerdekaan pada tahun 1944 seperti yang dijanjikan, karena Jepang menduduki kepulauan itu antara tahun 1944 dan tahun 1945 selama Perang Dunia II.

Pada tahap Perang Dunia II, baik bangsa Filipina, Amerika ataupun Moro sama-sama bertempur melawan Jepang, meskipun perjuangan mereka dilakukan secara terpisah tanpa satu komando. Setelah Jepang mampu dikalahkan, maka Amerika memerdekakan Filipina pada tanggal 4 Juli 1946.69

B. Diskriminasi Pemerintah Filipina dan Perjuangan Bangsa Moro

Sebenarnya bila dicermati lebih lanjut, konflik kelompok minoritas dengan penguasa, dipengaruhi oleh sikap dan tindakan penguasa terhadap kelompok minoritas. Sikap dan tindakan pemerintah dapat dilihat dari pola-pola kebijakannya.70

Dari tahun 1920, di bawah pemerintahan Filipina, masyarakat Muslim masih banyak mendapat diskriminasi. Memang pada saat itu pemerintahan Filipina tidak berjalan sepenuhnya sendiri, tetapi masih adanya kontrol dari Amerika

Selama pemerintahan Ferdinand Marcos, persoalan umat Muslim diselesaikan dengan setengah hati. Terbukti dengan adanya peristiwa Jabidah pada awal tahun 1968.71 Peristiwa Jabidah tersebut membangkitkan keraguan dan ketakutan yang pada akhirnya intelektual Moro berkeinginan untuk menyatukan bangsa Moro. Pemerintah Filipina mengabulkan permintaan orang muslim tetapi pemerintah

69

Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3, (Jakarta: Grolier International, PT Widyadara, 2003). h. 255

70

Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipian, Thailand,, dan Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h. 17

71


(51)

tidak menjalankan sepenuhnya. Dengan keadaan seperti ini, banyak organisasi yang bermunculan.72

Setelah pemerintah Filipina menyatakan keadaan perang pada tahun 1972, pemerintah menertibkan semua senjata yang ilegal atau liar untuk diserahkan kepada yang berwenang. Tetapi sebagian kelompok Muslim menolak untuk menyerahkan, kerena menurutnya mereka akan kalah dengan pemerintah dan orang Kristen. Selain itu, dengan menyerahkan senjatanya mereka akan terbuka bagi serangan-serangan kelompok Kristen. Tindakan tentara untuk menyita senjata dan amunisi di bario-bario (regional) dan kota-kota pedalaman Sulu, menyebabkan timbulnya perlawanan dan pertempuran yang sporadis. Pengumuman tentang batas waktu untuk penyerahan semua senjata pada tanggal 25 Oktober, menghasilkan apa yang dinamakan “pemberontakan Marawi”. 73

C. Bersatunya Para Pemimpin Islam

Banyaknya Insiden yang mengorbankan masyarakat muslim ini kemudian disusul dengan pertikaian bersenjata di antara penduduk yang berlainan agama itu di Mindanao. Pada mulanya terjadi di daerah Upi, bagian Selatan Cotabato dan menjalar ke tempat lain di Cotabato Utara. Dalam situasi demikian, masyarakat Muslim menyebut kelompok Kristen yang menyerang dengan sebutan ‘Ilagas’.

Istilah Ilagas sebetulnya ditujukan kepada kelompok-kelompok pertahanan desa komunitas Kristen, terutama dari suku-suku Ilongo. Tetapi ketika situasi semakin panas, Ilagas berarti kelompok-kelompok balas dendam. Pada tanggal 19 Juni 1971 surat-surat kabar memberitakan terjadinya pembantaian terhadap 70

72

W.K. Che Man, Muslim Separatism: The Moros of Southern Philippines and the Malays of Southern Thailand, (Oxford University Press, 1990).h. 77

73


(52)

orang di sebuah masjid di Barrio Manili, Cotabato Utara. Para pembunuh membantai wanita dan anak-anak. Berita yang tersebar mengatakan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kaum Ilagas yang seharusnya di bawah kendali Police Constibulary (Satuan Polisi Khusus).

Dampak dari pembantaian Barrio itu adalah pembentukan kelompok-kelompok perlawanan Muslim yang kemudian disebut sebagai ‘black-shirts’’, kelompok berbaju hitam yang kemudian diketahui sebagai organ militer dari MIM. Kontak pertama gerilyawan Black-Shirt dengan Police Constabulary terjadi pada Agustus 1971 di Bulton, Provinsi Cotabato Utara.74

Sebagai implikasi dari berbagai tindakan kekerasan yang terjadi pada Muslim Filipina, pada tanggal 21 Juli 1971, para tokoh Muslim, seperti pemimpin tradisional (datu), dan Ulama di Mindanao mengeluarkan manifesto yang menuntut pemerintah segera bertindak untuk menghentikan berbagai aksi kekerasan atas bangsa Moro.75 Dalam manifesto itu disebutkan bahwa jika Pemerintah Filipina tidak melakukan tindakan yang adil, maka ummat Islam tanpa memandang kepentingan pribadi, politik dan etnis akan memperjuangkan ummat Islam dengan harta dan jiwa.76

74

Ibid. h. 171

75

Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai. h.92

76


(53)

BAB IV

NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN MUSLIM FILIPINA

A. Pencarian Identitas dalam Organisasi-Organisasi Moro

Dalam suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari banyak etnis seperti di Filipina, nilai-nilai agama cenderung dilihat sebagai sarana mengatur aspek ritual bagi penganutnya. Akan tetapi pada saat penganut suatu agama minoritas tidak merasa keberadaannya disejajarkan dengan kelompok mayoritas, kelompok minoritas tersebut akan terus mencari jalan supaya keberadaannya diperhitungkan. Pasca kolonial, usaha yang dilakukan bangsa Moro untuk memperjuangkan eksistensinya adalah melalui organisasi. Sehingga Moro telah mengalami pergumulan yang panjang untuk mendapatkan eksistensi dan identitasnya.77

Carmen Abu Bakar dalam meneliti masyarakat Tausug, diketahui bahwa sebenarnya masyarakat Filipina lebih cenderung menggunakan identitas agama dibandingkan identitas etnis.78 Wajar jika organisasi-organisasi yang muncul pertama kali di Moro adalah organisasi yang mengatasnamakan Islam. Namun sebagai kelompok minoritas, masyarakat Muslim di Filipina sangat dipengaruhi peran Negara dalam menciptakan kondisi sosial politik, yang sangat menentukan dinamika konstruksi identitas mereka.

Unsur etnis dan agama memang merupakan daya tarik tersendiri bagi kelompok minoritas dalam menonjolkan identitasnya, tetapi itu bukan

77

Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h.10

78

Saiful Muzani (edt), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993). h.203


(1)

Republik Arab Libya- Dr. Ali Abdussalam Treki, Menteri Negara Urusan Luar Negeri.

Kerajaan Arab Saudi – Yang Mulia Salah Abdalla El-Fadl, Duta besar kerajaan Arab Saudi untuk Republik Arab Libya.

Republik Senegal – Tuan Abubakar Othman Si, Wakil republik Senegal dan Kuasa Usaha Senegal di Kairo.

Republik Demokratik Somalia – Yang Mulia Bazi Mohamed Sufi, Dutabesar Republik Demokratik Somalia untuk Republik Arab Libya.

Dengan bantuan Yang Mulia Dr. Ahmed Karim Gai, Sektretaris Jendral Konperensi Islam, dan sebuah delegasi dari Sekretariat Jenderal Konferensi yang terdiri dari tuan Qasim Zuheri, Asisten Sekretaris Jenderal, dan Tuan Aref Ben Musa, Direktur Departeman Politik.

Dalam perundang-undangan itu yang ditandai oleh semangat kerukunan dan saling pengertian, dicapai persetujuan mengenai hal-hal berikut:

Pertama : Pembentukan Otonomi di bagian Selatan Filipina, di dalam kerangka kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Filipina.

Kedua : Daerah-daerah otonom bagi kaum Muslim di bagian Selatan Filipina itu akan meliputi;

1. Basilan 2. Sulu 3. Tawi-Tawi

4. Zamboanga del Sur 5. Zamboanga del Norte 6. Cotabato Utara


(2)

7. Maguindanao 8. Sultan Kudarat 9. Lanao del Norte 10.Lanao del Sur 11.Davao del Sur 12.Cotabato Selatan 13.Palawan

14.Semua kota dan desa yang terletak di daerah-daerah tersebut di atas. Ketiga :

1. Politik Luar Negeri akan merupakan wewenang Pemerintah Pusat Filipina. 2. Urusan pertahanan Nasional akan merupakan urusan Pemerintah Pusat,

dengan persyaratan bahwa pengaturan-pengaturan bagi penggabungan pasukan-pasukan Front Pembebasan Nasional Moro ke dalam Angkatan Bersenjata Filipina akan dibicarakan kemudian.

3. Di daerah-daerah otonom, orang-orang Islam akan berhak untuk membentuk Pengadilan-pengadilan mereka sendiri yang menerapkan ketentuan-ketentuan Syari’ah. Kaum Muslim akan diwakili di semua pengadilan, termasuk Mahkamah Agung. Wakil-wakil kaum Muslim di Mahkamah Agung akan diangkat sesuai dengan rekomendasi pejabat-pejabat di daerah otonom dan dari Mahkamah Agung. Dekrit-dekrit akan dikeluarkan oleh Presiden Republik mengenai pengangkatan mereka, dengan mempertimbangkan semua klasifikasi yang dituntut para calon. 4. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan berhak


(3)

dengan syarat bahwa soal-soal yang menyangkut hubungan antara badan-badan pendidikan dan keilmuan itu dan sistem pendidikan umum di negara itu akan dibicarakan kemudian.

5. Kaum Muslim akan mempunyai sistem administrasi mereka sendiri dengan tujuan-tujuan Otonomi dan lembaga-lembaganya. Hubungan antara sistem administrasi itu dan sistem administrasi pusat akan dibicarakan kemudian.

6. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan mempunyai sistem ekonomi dan keuangannya sendiri. Hubungan antara sistem ini dan sistem ekonomi dan keuangan pusat akn dibicarakan kemudian.

7. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan berhak untuk diwakili dan berpartisipasi dalam Pemerintah Pusat dan semua organ Negara. Jumlah wakil itu dan cara-cara partisipasinya akan ditetapkan kemudian.

8. Pasukan Keamanan Regional Khusu akan dibentuk di daerah-daerah otonom bagi kaum Muslim di Filipina Selatan. Hubungan antara pasukan-pasukan itu dan pasukan-pasukan keamanan pusat akan ditetapkan kemudian. 9. Sebuah Majelis Legislatif fan sebuah Dewan Eksekutif akan dibentuk di

daerah-daerah otonom bagi kaum Muslim. Majelis Legislatif akan dibentuk melalui pemilihan langsung, dan Dewan Eksekutif akan dibentuk melalui pemilihan langsung, dan Dewan Eksekutif akan dibentuk melalui pengangkatan-pengangkatan oleh Majelis legislatif. Sebuah dekrit mengenai pembentukan kedua badan itu akan dikeluarkan oleh Presiden


(4)

Republik. Jumlah anggota majelis dan dewan itu akan ditentukan kemudian.

10.Tambang-tambang dan sumber-sumber mineral akan berada di bawah wewenang Pemerintah Pusat, dan suatu presentase yang layak dari penghasilan tambang-tambang dan sumber-sumber mineral itu akan digunakan untuk kepentingan daerah-daerah otonom.

11.Sebuah komite campuran akan dibentuk, terdiri dari wakil-wakil Pemerintah Pusat Republik Filipina dan wakil-wakil Front Pembebasan Nasional Moro. Komite campuran itu akan bersidang di Tripoli dalam periode antara tanggal 5 Februari dan satu tanggal yang tidak akan melampaui tanggal 3 Maret 1977. Tugas Komite adalah untuk mempelajari secaa rinci hal-hal yang masih harus dibicarakan lebih lanjut untuk dicari pemecahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini.

12.Gencatan senjata akan diumumkan segera setelah penandatanganan Persetujuan ini, dengan syarat bahwa ia akan mulai berlaku (menjelang) tanggal 20 januari 1977. Sebuah komite gabungan akan dibentuk di antara kedua belah pihak dengan bantuan Organisasi Konferensi Islam yang diwakili oleh Komisi Tingkat Empat Negara yang akan mengawasi pelaksanaan gencatan senjata itu. Komite Gabungan itu juga akan ditugaskan untuk mengawasi hal-hal berikut ini :

a. Pelaksanaan pemberian amnesti penuh di daerah-daerah otonom dan penghapusan semua tuntutan dan ketentuan hukum yang ditimbulkan


(5)

b. Pembebasan semua tahanan politik yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di Filipina Selatan.

c. Pengembalian semua pengungsi yang telah meninggalkan daerah mereka di Filipina Selatan.

d. Pemberian jaminan kebebasan bergerak dan mengadakan rapat.

13.Sebuah sidang gabungan akan diadakan di jeddah dalam minggui pertama bulan Maret 1977 untuk memarap apa yang telah disimpulkan oleh komite yang disebut dalam Para 11.

14.Persetujuan final mengenai pembentukan otonomi seperti yang dimaksudkan dalam pragraf pertama dan kedua akan ditandatangani di Kota Manila, Republik Filipina, oleh Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Nasional Moro, dan oleh Konferensi Islam yang diwakili oleh Komisi Tingkat Menteri Empat Negara dan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam.

15.Segera setelah penandatanganan Persetujuan itu di Manila, sebuah Pemerintah Sementara akan dibentuk di daerah-daerah Otonom, dan diangkat oleh Presiden Filipina. Pemerintah sementara itu akan ditugasi mempersiapkan pemilihan anggota-anggota Majelis Legislatif di daerah-daerah otonom, dan memerintah daerah-daerah-daerah-daerah itu sesuai ktentuan-ketentuan Persetujuan ini sampai dibentuknya sebuah Pemerintah oleh Majelis Legislatif.

16. Pemerintah Filipina akan mengambil segala langkah yang diperlukan dalam pproses konstitusional untuk melaksanakan Persetujuan ini secara keseluruhan.


(6)

Keempat: Persetujuan ini akan mulai berlaku pada tanggal penandatanganannya.

Dibuat di kota Tripoli, pada tanggal 2 Muharram 1397 H yang bertepatan dengan tanggal 23 Desember 1976 M. Dalam tiga eksemplar yang asli dalam bahasa Arab, Inggris dan Perancis, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.

Untuk Pemerintah Republik Filipina

Yth. Carmelo Z Barbero Menteri Muda Pertahanan Nasional

Untuk Hubungan-Hubungan Sipil

Untuk Front Pembebasan Nasional Moro

Tuan Nur Misuari Ketua Front

Dr. Ali Abdussalam Treki Menteri Negara Urusan Luar Negeri Republik Arab Libya & Ketua Perundingan

Dr. Ahmad Karim Gai Sekretaris Jenderal Organisasi