Latar Belakang Mud Crab’s (Scylla serrata Forskal 1775) Response to Different Decaying Level of Gold Snail (Pomacea canaliculata Lamarck 1822) Bait

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan berbagai jenis umpan dalam penangkapan kepiting bakau Scylla serrata Forskal 1775 telah banyak diteliti. Almada 2001 meneliti tentang tingkat kesukaan kepiting bakau terhadap umpan belut, kulit sapi dan ikan nila pada skala laboratorium. Amaludin et al. 2005 meneliti tentang penggunaan umpan ikan selar Selar sp dan ikan keting Aurius spp pada alat tangkap wadong untuk penangkapan kepiting bakau. Penangkapan kepiting bakau menggunakan alat tangkap pintor dengan umpan belut laut, ikan pari dan usus ayam diteliti oleh Triputra et al. 2008. Umpan memiliki peranan penting dalam menarik kepiting bakau untuk mendekati alat tangkap bubu trap Tiku 2004. Di perairan pantai daerah Pemalang kepiting bakau ditangkap dengan menggunakan bubu atau pancing dengan umpan. Salah satu jenis umpan yang digunakan adalah keong emas Pomacea canaliculata Lamarck 1822. Umpan ini dipilih karena mudah didapat, harganya relatif murah, serta dianggap sebagai hama tanaman pertanian yang perlu diberantas. Keong emas yang digunakan sebagai umpan biasanya dipakai yang kondisi organ tubuhnya masih dalam keadaan segar. Dalam praktiknya keong emas yang masih hidup diambil dagingnya dan langsung digunakan sebagai umpan. Sementara itu dalam penangkapan kepiting bakau di perairan daerah Cilacap nelayan menggunakan bangkai belut, ular dan ikan rucah Amaludin et al. 2005. Kepiting bakau dikenal sebagai pemakan segala bangkai omnivorous- scavenger Ariola 1940 dan Moosa et al. 1985 dalam Mulya 2000. Kepiting bakau umumnya memangsa gastropoda, bivalve dan berbagai hewan-hewan kecil yang dapat mereka tangkap, tetapi mereka juga pemakan bangkai yang giat vigorous scavenger Hill 1976. Sebagai pemakan bangkai mereka mudah tertangkap dengan perangkap berumpan baik dalam penangkapan komersial maupun rekreasional Hill 2007. Kepiting bakau adalah pemakan bangkai yang rakus voracious scavenger, yang dapat mencari dan memangsa bangkai di perairan estuarin yang keruh dan berhutan bakau. Kepiting bakau adalah pemakan bangkai oportunistik opportunistic scavenger Webley 2008. Garthe et al. 1996 menyatakan berbagai hewan karnivora dan omnivora akan segera memangsa bangkai segar begitu mereka menemukannya karena ini merupakan sumber nutrisi yang setara dengan mangsa yang biasa mereka tangkap dalam kondisi hidup. Ketika jumlah bangkai dalam suatu ekosistem berlimpah maka kestabilan populasi opportunistic scavenger akan lebih terjaga. Opportunistic scavenger umumnya mengadopsi strategi duduk dan menunggu sit and wait strategy untuk mencari bangkai Rose dan Polis 1998 dalam Webley 2008 sehingga bangkai yang diperoleh adalah bangkai yang sudah membusuk. Bertolak dari hal ini, maka diduga penggunaan keong emas dalam kondisi segar sebagai umpan adalah kurang tepat dan jika umpan ini dibiarkan mengalami degradasi mutu membusuk akan memberikan stimulus yang lebih efektif terhadap respons kepiting bakau. Hal ini menarik untuk diteliti mengingat bahwa Lokkeborg 1990 dalam Ferno 1994 menyatakan bahwa asam amino merupakan attractant utama yang menarik ikan pada perikanan long line dengan umpan ikan mackerel. Pertanyaannya adalah apakah kepiting bakau memiliki pola yang sama dalam ketertarikannya terhadap attractant umpan. Dalam perairan keruh atau gelap maka penglihatan menjadi tidak berfungsi dalam pencarian bangkai dan kemoresepsi akan lebih berfungsi seperti digunakan oleh banyak gastropoda dan krustasea estuarin Ferner dan Weissburg 2005. Kemoresepsi adalah mekanisme biologis organisme berupa pengenalan atas stimulus kimiawi untuk mengumpulkan informasi tentang kimia lingkungan internal dan eksternalnya yang terkait erat dengan stimulus kimiawi umpan yang ditangkap oleh organ reseptor kepiting bakau. Hill 1978 menyatakan bahwa kemoresepsi lebih dominan pada aktivitas pemangsaan oleh kepiting bakau. Perbedaan atau perubahan kimiawi umpan mempengaruhi stimulus kimiawi yang dihasilkan dan akhirnya juga akan berpengaruh terhadap kemoresepsi yang timbul. Artinya, susunan kimiawi umpan berhubungan erat dengan kemoresepsi yang selanjutmya berpengaruh terhadap ketertarikan kepiting bakau terhadap umpan. Menurut laporan dari BP2TP 2008 keong emas mengandung protein yang cukup tinggi 16 – 50. Penyimpanan daging atau senyawa yang mengandung protein pada suhu kamar akan mendegradasi protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti hipoksantin dan trimetilamin yang menjadi indikator kebusukan daging. Umur simpan diduga menyebabkan perbedaan kadar senyawa-senyawa tersebut yang diikuti pula dengan perbedaan sifat-sifat organoleptik seperti bau, kenampakan, rasa, dan tekstur. Perbedaan organoleptik umpan dan kadar senyawa-senyawa hasil degradasi diduga akan memberikan stimulus yang berbeda terhadap kemoresepsi kepiting bakau. Beberapa parameter mikrobiologi dan kimiawi dapat digunakan untuk melihat degradasi umpan tingkat kebusukan selama penyimpanan, seperti TPC Total Plate Count, pH, dan TVBN Total Volatile Basic Nitrogen. Penyimpanan pada suhu kamar akan meningkatkan kadar bakteri total dalam umpan, mengubah pH, dan selanjutnya mengubah kadar TVBN.

1.2 Permasalahan