Design Construction of Collapsible Trap to Catch Mud Crab (Scylla serrata).

(1)

DIDIN KOMARUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rancang Bangun Bubu Lipat untuk Menangkap Kepiting Bakau (Scylla serrta) merupakan karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Didin Komarudin


(3)

DIDIN KOMARUDIN. Design Construction of Collapsible Trap to Catch Mud Crab (Scylla serrata). Supervised by GONDO PUSPITO and ROZA YUSFIANDAYANI.

Collapsible trap is the most popular fishing gear to catch of mud crab. This fishing gear has weakness, because its construction was adopted from other country without any aclimatization with behavior of Indonesian mud crab. The main objective of this research is to determine suitable design of collapsible trap to catch the mud crab. This research consists of two steps. First step is called as research of trap parts. The objectives of this step are to determine suitable mesh size of trap entrance, suitable slope of trap entrance, shape and size of trap entrance, and suitable colour of shelter. Second step is called as new design trap trial. The objectives of this step are to obtain the most productive design of trap and to determine influence of lid instalation at the top of trap as a shelter. The method of all researchs are laboratory experiment. The result showed that the suitable mesh size of trap entrance was 1 inchi, the suitable slope of trap entrance was 40o, the suitable shape of trap entrance was square with height of 5 cm. The distance between wires was 2-3 cm. The colour that was choosen by mud crab was black. So, this colour could be used by the trap as a shelter. The catch number of four types trap were significantly different (Fcount= 95.52 > Ftab= 2.74).

Most of mud crabs were caught in new design trap (B) (59.2% from total catch) and fewer crabs were caught by fishermen trap (N) (0,05% from total catch). This trap has dimension of 50 × 50 × 16 (cm). The catch number of trap with lid and without lid was significantly different (Fcount= 125.59 > Ftab= 4.41). The catch

number of trap with lid was 89 crabs (96.7% from total catch). While, the catch number of trap without lid was 3 crabs (3,3% from total catch).


(4)

DIDIN KOMARUDIN. Rancang Bangun Bubu Lipat untuk Menangkap Kepiting Bakau (Scylla serrata). Dibimbing oleh GONDO PUSPITO dan ROZA YUSFIANDAYANI.

Permintaan pasar terhadap kepiting bakau sangat tinggi, sehingga nilai jualnya menjadi semakin meningkat. Salah satu kelebihan kepiting dibandingkan dengan komoditas laut lainnya adalah memiliki kemampuan bertahan hidup yang lama di udara terbuka. Hal ini menyebabkan kepiting selalu dalam kondisi segar ketika sampai di tangan konsumen.

Kepiting bakau hidup di perairan sekitar mangrove. Daerah mangrove memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan daerah perairan lainnya. Dasar perairan sekitar mangrove berupa lumpur dan lumpur berpasir. Hutan mangrove dipenuhi oleh akar-akar mangrove yang rapat, sehigga tidak semua alat tangkap bisa dioperasikan di lokasi ini.

Salah satu alat tangkap yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap kepiting bakau adalah bubu lipat. Bubu lipat dipilih karena memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah mudah dioperasikan di sekitar akar-akar mangrove dan hasil tangkap yang diperoleh dalam kondisi hidup dengan anggota tubuh yang lengkap. Namun, bubu ini diduga kurang efektif karena merupakan hasil introduksi dari luar negeri dan memiliki kelemahan konstruksi pada beberapa bagian-bagiannya. Oleh karena itu, perbaikan konstruksi bubu yang disesuaikan dengan tingkah laku kepiting bakau di Indonesia perlu dilakukan..

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan konstruksi bubu yang tepat untuk menangkap kepiting bakau. Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu penelitian bagian-bagian bubu dan uji coba bubu. Penelitian bagian-bagian bubu bertujuan untuk menentukan ukuran mata jaring dan sudut lintasan masuk yang sesuai, menentukan bentuk dan bukaan mulut bubu yang sesuai, dan menentukan warna tutupan bubu yang sesuai. Adapun penelitian uji coba bubu bertujuan untuk membuktikan bahwa produktivitas bubu desain baru lebih baik dari desain standar dan untuk menentukan pengaruh penggunaan tutupan pada bubu.

Penelitian menggunakan metode percobaan pada skala laboratorium. Untuk menentukan ukuran mata jaring yang sesuai, 4 ukuran mata yang berbeda yaitu 0,5; 0,75; 1; dan 1,25 inci diujicoba. Selanjutnya untuk menentukan sudut kemiringan lintasan masuk digunakan 3 sudut yang berbeda, yaitu 20o, 40o, dan 60o. Adapun untuk menentukan bentuk dan bukaan mulut bubu didasarkan atas studi literatur (desk study). Selanjutnya untuk menentukan warna tutupan yang sesuai untuk bubu, 2 warna berbeda yaitu warna putih dan hitam dibandingkan. Adapun untuk menentukan produktifitas bubu, digunakan 4 jenis bubu yang berbeda. Spesifikasi masing-masing bubu sebagai berikut 1) Bubu modifikasi (M) dengan dimensi 50 × 30 × 20 (cm) dan dipasang kisi pada pintu masuknya; 2) Bubu modifikasi mulut menyudut (P) yang memiliki dimensi 50 × 30 × 20 (cm) dan dipasang kisi yang lebih pendek pada bagian tengah pintu masuknya; 3) Bubu desain dan ukuran baru (B) yang memiliki dimensi 50 × 50 × 16 (cm) dan dipasang kisi pada pintu masuknya; dan 4) Bubu nelayan (N) yang memiliki ukuran 50 × 30 × 20 (cm) dengan pintu masuk berupa celah.


(5)

mulut 5 cm. Selain itu, pada mulut tersebut dipasang juga kisi dengan prinsip kerja naik turun dan terbuat dari kawat. Jarak antar kisi 2-3 cm. Warna penutup yang dipilih oleh kepiting adalah warna hitam. Jumlah hasil tangkap pada 4 jenis bubu berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 95% (Fhit= 95,52 > Ftab= 2,74). Bubu yang paling banyak menangkap kepiting bakau adalah bubu desain dan ukuran baru (B) (57,35% dari total hasil tangkapan), selanjutnya diikuti oleh bubu modifikasi (M) (21,17% dari total hasil tangkapan), kemudian bubu dengan posisi mulut menyudut (P) (10,57% dari total hasil tangkapan), dan yang paling sedikit adalah bubu nelayan (N) (0,05% dari total hasil tangkapan). Jumlah hasil tangkapan bubu yang menggunakan tutupan dan tanpa tutupan berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 95% (Fhit= 125,59 > Ftab= 4,41). Bubu dengan penutup memperoleh hasil tangkapan sebanyak 89 kepiting (96.7% dari total hasil tangkapan), sedangkan bubu tanpa penutup memperoleh kepiting sebanyak 3 individu (3,3% dari total hasil tangkapan).


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, dan tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

DIDIN KOMARUDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

NIM : C451100031

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc. Dr. Roza Yusfiandayani. S.Pi.

Ketua Anggota

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(9)

Bubu lipat yang banyak digunakan nelayan merupakan hasil introduksi dari luar negeri. Bubu tersebut digunakan apa adanya tanpa dilakukan penyesuaian terhadap tingkah laku kepiting bakau yang ada di Indonesia. Perubahan yang dilakukan hanya pada ukuran bubu yang dijadikan lebih kecil dibandingkan dengan bubu dari negara asalnya. Padahal bubu tersebut masih memiliki kelemahan pada konstruksi beberapa bagiannya. Hal ini tentu saja akan membuat produktivitas bubu menjadi tidak maksimal.

Permasalahan di atas dapat diatasi dengan cara memperbaiki konstruksi bubu lipat. Produktifitas bubu yang telah diperbaiki diharapkan dapat lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini dibuat untuk menghasilkan bubu lipat yang sesuai dengan harapan nelayan, yaitu dapat meningkatkan hasil tangkapan kepiting bakau.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc. dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukannya selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ismawan Tallo selaku mahasiswa program Doktor sekolah pascasarjana IPB yang telah banyak membantu dalam pengadaan alat dan bahan untuk pengamatan di laboratorium, sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat berjalan lancar. Selanjutnya, ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Sdr. Arrif dan Sdri. Jessy yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian. Terakhir, penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak dan Ibu, serta semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis guna perbaikan tulisan ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juli 2012


(10)

Penulis dilahirkan di Sumedang pada hari kamis tanggal 06 Pebruari 1986 dari Bapak Engkos dan Ibu Esih. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri Conggeang, Sumedang pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2009.

Pada tahun 2010 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB. Selama perkuliahan penulis aktif menjadi asisten mata kuliah Alat Penangkapan Ikan (PSP221) dan Teknologi Alat Penangkapan Ikan (PSP321) pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

DAFTAR ISTILAH ... vii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Kerangka Pemikiran ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Hipotesis ... 6

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Kepiting Bakau ... 7

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ... 7

2.1.2 Penyebaran dan habitat ... 11

2.1.3 Kebiasaan makan ... 12

2.1.4 Daur hidup kepiting bakau ... 12

2.2 Bubu ... 14

2.2.1 Deskripsi ... 14

2.2.2 Konstruksi bubu lipat ... 16

2.2.3 Umpan ... 16

3 METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Waktu dan Tempat ... 19

3.2 Alat dan Bahan ... 19

3.2.1 Penelitian bagian-bagian bubu ... 19

1) Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu.. ... 21

2) Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu .. 21

3) Penelitian penentuan tinggi pintu bubu ... 22

4) Penelitian penentuan warna tutupan ... 22

3.2.2 Penelitian rancangan bubu ... 23

3.3 Metode Penelitian ... 23

3.3.1 Penelitian bagian-bagian bubu ... 23

1) Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu ... 23

2) Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu . 25 3) Penentuan tinggi pintu masuk bubu ... 25

4) Penentuan warna tutupan ... 26

3.3.2 Ujicoba bubu ... 27

3.3.3 Penelitian warna tutupan ... 29

3.4 Analisis Data ... 29

3.4.1 Analisis regresi ... 30


(12)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Konstruksi Bubu Lipat ... 33

4.1.1Ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu ... 33

1)Ukuran mata jaring ... 33

2)Pola pergerakan kepiting merayapi lintasan masuk ... 35

4.1.2 Sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu ... 37

1) Pengaruh sudut kemiringan lintasan masuk terhadap kepiting ... 37

2)Sudut lintasan masuk yang sesuai ... 40

4.1.3 Bentuk dan Bukaan Mulut Bubu ... 41

1)Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat standar nelayan ... 41

2)Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat baru ... 42

4.1.4 Warna tutupan ... 47

4.2 Konstruksi Baru Bubu Kepiting Bakau (Scylla serrata) ... 48

4.2.1 Desain bubu ... 48

1)Bubu modifikasi (M) ... 49

2)Bubu dengan mulut menyudut (P) ... 49

3)Bubu dengan desain dan ukuran baru (B) ... 50

4.2.2. Hasil ujicoba bubu ... 51

4.2.3 Aplikasi Tutupan pada Bubu ... 52

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Karakteristik setiap spesies kepiting bakau ... 9

2 Ukuran kepiting yang digunakan ... 20

3 Analisis data ... 30

4 Perlakuan dan ulangan ... 31

5 Tabel sidik ragam atau tabel ANOVA ... 32


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bubu lipat ... 3

2 Kerangka pemikiran ... 5

3 Jenis-jenis kepiting bakau Scylla spp. (a) Scylla serrtata, (b) Scylla oceanic, (c) Scylla tranquebarica dan (d) Scylla serrata var paramamosain ... 8

4 Daur hidup kepiting ... 13

5 Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa) ... 13

6 Bubu berbentuk balok (a) dan kubah (b) ... 16

7 Bagian-bagian kepiting bakau ... 19

8 Model lintasan masuk bubu ... 21

9 Bentuk balok tutupan ... 22

10 Ilustrasi tampak depan susunan peralatan untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu ... 24

11 Ilustrasi tampak depan susunan peralatan untuk menentukan tinggi pintu masuk mulut bubu ... 26

12 Ilustrasi posisi penempatan balok penutup di dalam akuarium ... 27

13 Susunan bubu pada ujicoba bubu ... 28

14 Susunan bubu pada ujicoba tutupan bubu ... 29

15 Bagian-bagian kaki renang kepiting bakau ... 34

16 Bar pada mata jaring ... 34

17 Hubungan antara lebar kaki renang dengan panjang bar pada jaring dengan ukuran 1 inci ... 35

18 Pola pergerakan kepiting melewati lintasan masuk ... 36

19 Sudut pada lintasan masuk ... 37

20 Frekuensi keberhasilan kepiting melewati lintasan masuk sudut α = 20o, 40o, dan 60o ... 39

21 Bentuk dan bukaan mulut bubu nelayan ... 42

22 Hubungan antara tebal karapas dengan panjang dan lebar karapas serta berat kepiting ... 45

23 Posisi pengukuran tebal karapas kepiting bakau ... 46

24 Kisi-kisi pada mulut bubu ... 46


(15)

26 Ilustrasi posisi penempatan tutupan terhadap posisi kepiting ... 48

27 Bubu modifikasi (M) ... 49

28 Bubu dengan mulut menyudut (P) ... 50

29 Bubu dengan desain dan ukuran baru (B) ... 50

30 Jumlah tangkapan kepiting pada masing-masing bubu ... 52

31 Frekuensi hasil tangkapan kepiting pada bubu dengan tutupan dan tanpa tutupan ... 53


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Alat-alat penelitian ... 61 2 Bubu modifikasi dan rancangan baru ... 67 3 Tabel ANOVA ... 70


(17)

DAFTAR ISTILAH

Bar : Panjang sisi mata jaring antara dua simpul yang berdekatan.

Desain : Pola rancangan yang menjadi dasar pembuatan suatu benda.

Efektivitas : Pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya.

Karapas : Bagian keras yang menutupi punggung dan bagian bawah (plastron) tubuh suatu individu hewan (biasanya pada kepiting dan kura-kura).

Konstruksi : Susunan-susunan yang saling terhubung sehingga menjadi suatu kesatuan.

Model : Rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi.

Modifikasi : Perubahan yang dilakukan untuk tujuan penyempurnaan.

Bubu : Alat penangkap berupa jebakan.

Ukuran layak tangkap : Ukuran minimal suatu spesies dapat ditangkap. Pada ukuran ini diperkirakan spesies tersebut sudah matang gonad.


(18)

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi

Kepiting bakau memiliki nama lokal yang berbeda-beda di setiap negara, seperti ketam batu di Malaysia, mud crab atau kepiting lumpur (Australia), kepiting samoan (Hawai), tsai jim (Taiwan), alimago (Filipina), nokogiri gozami (Jepang), dan kepiting bakau (Indonesia) (Moosa et al. 1975). Organisma ini tergolong pada Famili Portunidae. Klasifikasi kepiting bakau (Scylla spp.), menurut Kasry (1996), adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Kelas : Crustaceae Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub Ordo : Branchyura Famili : Portunidae Sub Famili : Lipilinae Genus : Scylla

Spesies : Scylla spp.

Penjelasan klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut, filum Arthropoda atau binatang berkaki ruas, kelas Krustasea (udang-udangan), sub kelas Malacostraca (udang-udangan tingkat tinggi), ordo Dekapoda (binatang bertungkai sepuluh), sub ordo Branchyura (mempunyai kaki untuk merayap), dan famili Portunidae (mempunyai pasangan kaki terakhir berbentuk dayung) (Estampador 1949; Stephenson dan Campbell 1960; Stephenson 1967; Sarington 1976; dan Warner 1977, diacu dalam Fujaya 1996).

Keanan et al. (1998) menyebutkan terdapat 4 jenis kepiting bakau di alam. Masing-masing adalah Scylla serrata, Scylla serrata var paramamosin, Scylla tranquebarica, dan Scylla olivacea. Adapun menurut Fushimi and Watanabe (2001), jenis kepiting bakau adalah Scylla serrata, Scylla serrata var paramamosin, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanic. Gambar 3 menjelaskan keempat spesies kepiting bakau.


(19)

(a) (b)

(c) (d)

Sumber: Shih (2009)

Berdasarkan warna pada tubuhnya, masing-masing spesies kepiting bakau memiliki ciri-ciri berikut (Moosa et al. 1975):

1) Scylla serrata, warna hijau cokelat sampai kemerah-merahan seperti karat; 2) Scylla oceanica, warna kehijauan menuju keabu-abuan hampir seluruh bagian

tubuh kecuali bagian perut;

3) Scylla tranquebarica, berwarna kehijauan buah zaitun namun agak hitam dengan sedikit garis cokelat pada kaki renangnya; dan

4) Scylla serrata var paramamosain, warna dasar hijau merah kecokelatan atau cokelat keungu-unguan/keabu-abuan.

Karakteristik masing-masing spesies kepiting bakau berdasarkan morfologi tubuhnya disajikan pada Tabel 1 (Keanan et al. 1998).

Gambar 3 Jenis-jenis kepiting bakau Scylla spp. (a) Scylla serrata, (b) Scylla oceanic, (c) Scylla tranquebarica dan (d) Scylla serrata var paramamosain.


(20)

Tabel 1 Karateristik setiap spesies kepiting bakau

Jenis Ciri morfologis

Scylla serrata Pola poligon dan

warna

Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari ungu, hijau, sampai hitam kecoklatan.

Duri pada dahi Tinggi, tipis dan agak tumpul dengan tepian yang cenderung cekung dan membulat

Duri pada bagian luar cheliped

Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus

Scylla tranquebarica Pola poligon dan warna

Chela dan dua pasang pada kaki jalan pertama berpola poligon serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi. Pola poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan Scylla serrta

Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi celah sempit Duri pada bagian luar

cheliped

Dua duri tajam pada propundus dan sepasang duri tajam pada carpus

Scylla

paramamosain

Pola poligon dan warna

Chela dan kaki-kakinya berpola poligon untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu sampai cokelat kehitaman.

Duri pada dahi Tajam berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus dan membentuk ruang yang kaku.

Duri pada bagian luar cheliped

Pada fase dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus dan sepasang duri agak tajam yang berukuran sedang pada bagian propundus, sedangkan pada fase juvenil, duri dibagian luar carpus tajam.

Scylla olivacea Pola poligon dan

warna

Chela pada kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Warna bervariasi dari orange kemerahan sampai cokelat kehitaman. Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi ruang yang

sempit. Duri pada bagian luar

cheliped

Umumnya tidak terdapat duri pada

carpus, sedangkan pada bagian

propundus duri mengalami reduksi dari tajam ke tumpul.


(21)

Bentuk dan ukuran kepiting sangat beragam. Walau demikian, ada beberapa kesamaan yang dimiliki oleh seluruh jenis kepiting. Kepiting mempunyai

chelipeds, tiga pasang kaki jalan, dan satu pasang kaki renang. Chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang, dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh (Prianto 2007). Ukuran chelipeds kanan pada kondisi normal lebih besar dibandingkan dengan kiri. Masing-masing bagian ujung chelipeds

berwarna kemerah-merahan. Adapun kaki renang atau kaki dayung terdapat pada urutan terakhir dari deretan kaki-kaki kepiting (Kasry 1996). Persamaan lainnya adalah tubuh kepiting ditutupi dengan karapas atau disebut juga exoskeleton.

Karapasmerupakan kulit luar yang keras yang berfungsi untuk melindungi organ dalam yang berada pada bagian kepala, badan, dan insang (Prianto 2007). Warnanya menyerupai lumpur atau sedikit kehijauan. Pada bagian kiri dan kanan karapas terdapat sembilan buah duri tajam. Selain itu, pada bagian depan karapas di antara dua tungkai mata kepiting terdapat empat buah duri (Kasry 1996).

Kepiting bakau memiliki beberapa ciri khusus yang mudah dikenali. Ciri-ciri tersebut, menurut Moosa et al. (1975), diantaranya adalah:

1) Karapas berbentuk bulat pipih, dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan (gigi anterolateral). Empat buah duri terdapat di antara kedua matanya;

2) Pasangan kaki jalan pertama (sapit) mempunyai bagian propodus menggembung dengan permukaan licin. Ukurannya cukup besar dibandingkan dengan kaki jalan lain. Kaki ini berfungsi untuk memegang; 3) Pasangan kaki jalan terakhir berbentuk pipih pada ruas terakhir dan berfungsi

sebagai alat renang;

4) Perbedaan antara kepiting betina dan kepiting jantan dapat dilihat melalui ruas-ruas abdomennya. Ruas-ruas abdomen kepiting jantan lebih sempit dibandingkan dengan kepiting betina. Perbedaan lain adalah kepiting jantan menggunakan pleopod yang terletak di bawah abdomen sebagai alat kopulasi, sedangkan kepiting betina menggunakannya sebagai tempat meletakkan telur; dan


(22)

5) Warna karapas dipengaruhi oleh lingkungan. Kepiting bakau yang berwarna dasar hijau keabu-abuan biasanya hidup pada perairan terbuka, sedangkan yang berwarna hijau merah kecokelat-cokelatan hidup dalam lubang di daerah bakau.

2.1.2 Penyebaran dan habitat

Penyebaran kepiting bakau secara geografis meliputi wilayah Indo-Pasifik, mulai dari Teluk Mossel di Afrika Selatan sampai pantai timur Afrika. Kemudian penyebarannya bergerak ke arah timur, mulai dari India, Srilangka, Malaysia, Indonesia, hingga Filipina. Penyebaran ke utara meliputi Thailand, Cina, dan Taiwan, sedangkan ke selatan meliputi Papua Nugini, Australia, dan pulau-pulau di utara Selandia Baru. Kepiting bakau terdapat pula pada beberapa pulau di Lautan Pasifik, seperti di Kepulauan Carolina, Kepulauan Mariana, Samoa, Kepulauan Tuamoto dan Hawaii (Heasman 1980, diacu dalam Tossin 1992). Spesies Scylla serrata di Australia tersebar mulai dari Broome di Australia Barat, Teluk Carpentaria di Australia Utara dan berlanjut menyusuri pantai timur Australia, mulai dari Selat Torres di utara hingga Port Jackson (Sydney) di bagian selatan. Adapun di Indonesia, spesies ini terdapat hampir di seluruh pantai dan perairan payau di sekitar hutan bakau. Menurut Cholik dan Hanafi (1991), kepiting bakau di Indonesia tersebar di sekitar perairan Sumatera Utara, Riau, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.

Sebaran kepiting bakau menurut kedalamannya hanya terbatas pada paparan benua (continental shelf) atau pada kisaran kedalaman 0-32 meter. Walau demikian, kepiting juga pernah tertangkap oleh alat tangkap trawl sejauh 75 km dari pantai pada kedalaman 25 m (Moosa et al. 1975).

Kepiting bakau memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas perairan. Organisma ini biasanya hidup pada salinitas antara 2-38 ppt (Hill 1974, diacu dalam Vay 2001). Nelayan Bone, Sulawesi Selatan, biasa menangkap kepiting bakau di perairan pantai dengan salinitas antara 15-30 ppt, kondisi dasar perairan lumpur berpasir dan kecepatan arus antara 0,06-1,6 m/detik (Mallawa 1991).


(23)

2.1.3 Kebiasaan makan

Larva kepiting bakau memakan plankton. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa larva kepiting yang baru menetas biasanya hanya mengkonsumsi fitoplankton. Setelah beberapa lama, larva tersebut cenderung memilih zooplankton sebagai makanannya (Sara et al. 2006). Adapun kepiting muda menyukai udang dan moluska terutama kerang-kerangan (Wiliams 1978,

diacu dalam Fujaya 1996). Kepiting dewasa tidak memilih-milih jenis makanan. Setelah dewasa kepiting bakau memakan segala jenis bangkai (omnivorous scavenger). Kepiting dewasa memakan kulit kodok, ikan rucah, isi perut binatang, siput, kerang-kerangan dan tiram (Chen 1976, diacu dalam Fujaya 1996).

Aktivitas pencarian makanan yang dilakukan oleh kepiting bakau berlangsung pada malam hari, sehingga hewan ini dikelompokkan ke dalam hewan nokturnal. Jarak yang dapat ditempuh kepiting bakau ketika mencari makanan mencapai 219-910 m. Pada saat matahari akan terbit, kepiting bakau akan membenamkan diri kembali ke dalam lumpur.

2.1.4Daur hidup kepiting bakau

Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan bakau. Kepiting betina secara berangsur-angsur -- sesuai dengan perkembangan telurnya -- akan beruaya ke laut untuk memijah. Sebaliknya, kepiting muda akan beruaya ke pantai atau muara sungai untuk mencari makanan dan perlindungan (Le Reste 1976, diacu dalam Tossin 1992). Sara et al. (2006) menyatakan bahwa keberadaan larva kepiting di perairan dapat menentukan kualitas perairan tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif terhadap perubahan kualitas perairan. Daur hidup kepiting bakau dan larva kepiting disajikan pada Gambar 4 dan 5.


(24)

Sumber: Kanna (2002) Gambar 4 Daur hidup kepiting.

Sumber: Davey (2000) Gambar 5 Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa).

Kepiting muda pada tingkat juvenil sulit terlihat di perairan hutan bakau. Hal ini dikarenakan kepiting memiliki kecenderungan untuk membenamkan diri di dalam lumpur. Selain itu, kepiting muda lebih menyukai tempat-tempat


(25)

terlindung, seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan (creek), di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau (Heasman 1980

diacu dalam Tossin 1992). Kepiting jantan dewasa biasanya tetap berada di perairan bakau atau estuari. Kepiting banyak ditemukan pada dasar perairan yang berlumpur, atau pada tempat yang banyak terdapat makanannya.

2.2 Bubu 2.2.1 Deskripsi

Bubu diklasifikasikan ke dalam kelompok perangkap dan penghadang atau

traps and guiding barriers. Jenis alat tangkap ini pada umumnya dikenal dengan nama fish pots atau fish basket (Von Brandt 2005). Bubu merupakan alat tangkap yang dipasang secara pasif (Sudirman dan Mallawa 2000; Baskoro dan Effendy 2005). Organisma yang menjadi tujuan tangkapannya adalah jenis-jenis organisma non ikan dan ikan. Jenis-jenis organisma non ikan terdiri atas kepiting dan udang, sedangkan jenis-jenis ikan meliputi ikan demersal, ikan karang, ikan hias dan ikan terbang (Puspito 2009).

Konstruksi bubu dirancang agar mudah dimasuki oleh organisma air, tetapi sulit untuk membebaskan diri (Sudirman dan Mallawa 2000). Bagian-bagian utamanya terdiri atas badan bubu, rangka, mulut, tempat umpan, dan pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan (Slack and Smith 2001). Pada umumnya, jumlah pintu masuk pada bubu sebanyak 1 atau 2 buah (Von Brandt 2005).

Bentuk bubu bermacam-macam, diantaranya adalah tabung silinder, tabung segi banyak, kubah setengah lingkaran (Slack and Smith 2001), kerucut, kubus, dan balok (Monintja dan Martasuganda 1991). Bentuk umum bubu yang digunakan oleh nelayan Indonesia adalah kubah, prisma segitiga dan tabung silinder (Subani dan Barus 1989).

Bubu dapat dioperasikan pada tempat-tempat dimana jenis alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan. Misalnya daerah berkarang, celah karang, lubang-lubang di antara bebatuan, perairan yang sangat dalam, atau perairan dengan pantai berupa tebing yang tinggi dan terjal (Puspito 2009). Pengoperasiannya, menurut Sudirman dan Mallawa (2000), dilakukan dengan cara dipasang secara menetap di dalam air pada jangka waktu tertentu. Bubu dapat dipindahkan dari satu tempat ke


(26)

tempat lain dengan mudah, baik menggunakan perahu maupun tanpa menggunakan perahu (Von Brandt 2005).

Menurut lokasi pemasangannya, bubu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu bubu yang dipasang di dekat pantai (inshore potting) dan jauh dari pantai (offshore potting) (Sainsbury 1996). Rinciannya adalah:

1) Bubu yang dipasang di dekat pantai (inshore potting)

Lokasi pemasangan bubu biasanya di daerah estuari, pantai, dan teluk. Kedalaman perairan tempat bubu ini dipasang berkisar antara 1,8-75 m. Karakteristik bubu inshore potting adalah berukuran kecil dan ringan, sehingga dapat dioperasikan menggunakan perahu yang berukuran kecil. Jumlah nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 1 - 2 orang.

2) Bubu yang dipasang jauh dari pantai (offshore potting)

Bubu yang termasuk offshore potting berukuran lebih besar dan lebih berat jika dibandingkan dengan bubu inshore potting. Perahu yang digunakan berukuran besar dan dilengkapi dengan perlengkapan yang mendukung operasi penangkapan di laut lepas. Bubu yang termasuk ke dalam kelompok ini dioperasikan hingga kedalaman perairan 900 m atau lebih.

Selanjutnya Sainsbury (1996) menambahkan bahwa menurut metode pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi dua, yaitu:

1) Sistem tunggal

Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal dilakukan dengan cara bubu dipasang satu per satu di dasar perairan. Bubu biasanya diberi pemberat agar posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali.

2) Sistem rawai

Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir dilakukan setelah seluruh bubu selesai dipasang.


(27)

2.2.2 Konstruksi bubu lipat

Bubu lipat yang umum digunakan terdiri atas dua macam, yaitu berbentuk balok dan kubah (Gambar 6). Keduanya biasa digunakan untuk menangkap rajungan (Archdale 2006). Adapun bubu lipat yang biasa digunakan untuk menangkap kepiting bakau berbentuk balok.

Bagian-bagian bubu lipat diantaranya adalah rangka bubu, badan bubu, mulut bubu, pengunci, dan tempat umpan. Rangka bubu terbuat dari besi dengan diameter (ø) 0,4 mm. Besi yang digunakan merupakan jenis besi yang tidak mudah berkarat. Adapun badan bubu biasanya terbuat dari jaring polyethylene

(PE) dengan ukuran mata 4 cm (Jirapunpipat 2008). Mulut bubu pada bubu berbentuk balok berupa celah, sedangkan pada bubu kubah berbentuk corong dengan diameter 15 cm (Archdale et al. 2007).

Bubu lipat memiliki dimensi yang berbeda di beberapa negara. Menurut Archdale et al. (2007), bubu lipat di Jepang memiliki dimensi panjang (63 cm) ×

lebar (46 cm) × tinggi (18 cm). Adapun bubu lipat berbentuk kubah memiliki dimensi panjang (73 cm) × lebar (53 cm) × tinggi (27 cm). Menurut Jirapunpipat (2008), bubu lipat di Thailand berdimensi panjang (40 cm) × lebar (27 cm) ×

tinggi (12 cm).

(a) (b)

Sumber: Archdale et al. (2007) Gambar 6 Bubu berbentuk balok (a) dan kubah (b).

2.2.3 Umpan

Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan dengan menggunakan bubu. Jenis umpan yang biasa


(28)

digunakan pada bubu terdiri atas beberapa jenis ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis, yaitu ikan rucah. Ada pula yang menggunakan umpan buatan, seperti pelet. Walau demikian, daya tarik umpan alami lebih baik dibandingkan dengan umpan buatan (Miller 1990).

Mackie et al. (1980) menjelaskan bahwa keefektifan semua jenis umpan berhubungan dengan laju difusi zat-zat kimia yang larut ke dalam lingkungan. Gunarso (1985) menambahkan ikan tertarik pada umpan disebabkan oleh rangsangan kimiawi (rasa dan bau), bentuk, gerakan, dan warna yang direspon oleh indera penciuman dan penglihatan. Menurutnya, bau pada umpan juga digunakan untuk mengusir ikan, seperti ekstrak kulit ikan cucut untuk mengusir atau menghalau ikan salmon agar berenang menuju tempat pemijahan di hulu sungai.


(29)

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu penelitian terhadap bagian-bagian bubu dan penelitian terhadap rancangan bubu yang dibuat berdasarkan penelitian sebelumnya. Penelitian bagian-bagian bubu dilaksanakan antara bulan Desember 2011 sampai dengan April 2012. Adapun penelitian terhadap rancangan bubu dilaksanakan antara bulan Mei-Juni 2012. Kedua penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Penelitian bagian-bagian bubu

Penelitian bagian-bagian bubu yang dilakukan mencakup penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu, sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu, bentuk dan bukaan mulut bubu, dan warna shelter atau tutupan yang tepat untuk diaplikasikan pada bubu. Keempat penelitian tersebut menggunakan bahan yang sama, yaitu 30 kepiting bakau (Scylla serrata) dan media air laut. Ukuran panjang dan lebar karapas kepiting yang digunakan dituliskan pada Tabel 2, sedangkan bentuk morfologinya dijelaskan pada Gambar 7.

Gambar 7 Bagian-bagian kepiting bakau.

Dactylus

Propundus

Carpus Merus

Kaki renang Kaki jalan

Antena Mata Karapas


(30)

Tabel 2 Ukuran kepiting yang digunakan No. Kode

kepiting Panjang karapas (cm) Lebar karapas (cm) Tebal karapas (cm) Berat (cm) Jenis kelamin

1 A 7,45 11,15 4,1 220 Betina

2 B 8,2 10,85 3,7 250 Betina

3 C 7,5 10,6 4,2 159 Betina

4 D 7,6 11,2 4,42 180 Betina

5 E 7,35 11 4,4 212 Betina

6 F 6,95 9,7 3,95 203,72 Jantan

7 G 9,5 10,1 3,8 198,58 Betina

8 H 7 9,95 4 220 Jantan

9 I 6,65 9,4 3,7 185 Betina

10 J 6,75 10,2 4 230 Jantan

11 K 6,6 9,45 3,7 195 Jantan

12 L 6,2 8,85 3,6 143,64 Jantan

13 M 6,1 8,8 3,6 105 Jantan

14 N 6 8,75 3,6 145 Jantan

15 O 7,5 11,2 4,5 273,46 Jantan

16 P 6,9 9,7 3,85 230 Jantan

17 Q 7,05 10,2 3,95 220,21 Jantan

18 R 8,45 11,55 4,4 251,19 Betina

19 S 7,9 10,95 4,4 223,23 Betina

20 T 8,45 11,25 4,45 282,03 Betina

21 U 7,75 11,7 4,45 332,76 Jantan

22 V 6,8 9,45 3,9 203,25 Jantan

23 W 7 9,7 3,85 232,64 Jantan

24 X 7,65 10,75 4,4 277,4 Jantan

25 Y 7,5 10,4 4,15 222,91 Betina

26 Z 6,65 9,75 3,85 193,38 Jantan

27 AA 6,45 9,25 3,85 180 Betina

28 AB 6,05 8,7 3,4 125 Jantan

29 AC 7,3 10,3 4,15 238,13 Jantan

30 AD 6,95 9,85 3,95 159,3 Jantan

Peralatan utama yang digunakan pada penelitian bagian-bagian bubu adalah 2 unit akuarium, 1 unit filter air, dan kamera (Lampiran 1). Kedua akuarium terdiri atas 1 unit akuarium penampung kepiting dan 1 unit akuarium sebagai tempat ujicoba. Akuarium penampung memiliki dimensi panjang 60 cm, lebar 60 cm, dan tinggi 45 cm. Adapun akuarium untuk ujicoba bagian-bagian bubu


(31)

memiliki dimensi panjang 150 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 50 cm. Peralatan lain yang digunakan pada keempat penelitian dijelaskan berikut ini.

1) Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu

Penelitian untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu menggunakan 4 jaring dengan ukuran mata (mesh size) yang berbeda. Keempat ukuran mata ini biasa digunakan oleh nelayan untuk membuat bubu. Ukuran mata yang digunakan adalah 0,5 inci, 0,75 inci, 1 inci dan 1,25 inci. Jaring tersusun atas benang jaring yang terbuat dari bahan polyethylene 210D/6. Setiap jaring dipasang pada kerangka berbentuk 4 persegi panjang berukuran 20 × 47 (cm) yang terbuat dari kawat berdiameter 0,4 cm. Keempat model lintasan masuk bubu ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Model lintasan masuk bubu.

2) Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu

Alat yang digunakan pada penelitian sudut lintasan masuk mulut bubu adalah model mulut bubu. Ukuran mata jaring yang digunakan disesuaikan dengan ukuran mata jaring yang mudah dilewati oleh kepiting pada penelitian 1 atau penentuan ukuran mata jaring. Model mulut bubu menggunakan salah satu konstruksi pada Gambar 8.

0,5 inci

0,75 inci 1 inci


(32)

3) Penelitian penentuan tinggi pintu bubu

Penelitian penentuan tinggi pintu bubu dilakukan setelah penelitian ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu dilakukan. Alat yang digunakan adalah model lintasan masuk dan bidang datar yang diletakkan pada ujung atas lintasan masuk. Bidang datar berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kaca berukuran panjang 47 cm, lebar 20 cm dan tebal 0,4 cm.

4) Penelitian penentuan warna tutupan

Penelitian warna tutupan dilakukan menggunakan 2 konstruksi tutupan berbentuk balok. Ukuran balok adalah panjang 25 cm, lebar10 cm, dan tinggi 10 cm. Tutupan tersusun atas 5 lembar kaca dengan ketebalan 0,3 cm. Masing-masing sisi luar balok kaca, kecuali pada bagian yang tidak tertutup oleh kaca, dibalut dengan plastik berwarna hitam dan putih. Sebuah lampu tubular lamp

(TL) berdaya 24 watt digunakan untuk menerangi bagian atas akuarium. Bentuk tutupan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Bentuk balok tutupan.

10 cm 25 cm


(33)

3.2.2 Penelitian rancangan bubu

Bahan yang digunakan pada penelitian bubu adalah 30 kepiting bakau, air laut dan 4 macam bubu. Bubu terdiri atas bubu standar dan 3 macam bubu yang dibuat berdasarkan hasil penelitian bagian-bagian bubu. Peralatan yang digunakan meliputi bak fiberglass berbentuk silinder dengan diameter 150 cm dan dalam 70 cm, filter air berbentuk balok dengan dimensi panjang × lebar × tinggi adalah 150

× 20 × 20 cm, kamera, plastik tutupan berwarna hitam, dan lampu dengan kekuatan 300 watt.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian bagian-bagian bubu dan ujicoba bubu menggunakan metode percobaan. Kedua penelitian dilakukan di laboratorium pada kondisi penelitian yang terkontrol. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat yang ditimbulkan oleh perlakuan terhadap variabel respon atau variabel yang diperhatikan. Jenis perlakuan yang diberikan pada penelitian bagian-bagian bubu adalah ukuran mata jaring, sudut kemiringan lintasan masuk bubu, ketinggian pintu bubu, dan warna tutupan. Sementara jenis perlakuan pada penelitian ujicoba bubu adalah jenis bubu. Perlakuan diujikan hanya pada satu jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata.

Prosedur kerja yang lakukan pada kedua penelitian melalui beberapa tahapan yang dibedakan berdasarkan jenis penelitiannya. Masing-masing adalah:

3.3.1 Penelitian bagian-bagian bubu

1) Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu

Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu menggunakan sudut kemiringan α =20o. Besaran sudut ini sangat biasa digunakan oleh nelayan untuk membuat bubu. Tahapan penelitiannya adalah sebagai berikut:

(1) Jaring dengan ukuran mata 0,5 inci diletakkan melintang pada bagian tengah akuarium uji yang berisi air laut setinggi 50 cm dengan sudut kemiringan 20o;

(2) Pada bagian depan jaring diletakkan 1 kepiting bakau dan pada bagian lainnya umpan berupa ikan;


(34)

(3) Pergerakan kepiting melewati jaring diamati dengan kamera yang diletakkan di atas akuarium;

(4) Waktu yang diperlukan kepiting untuk melewati jaring lintasan -- dimulai ketika kepiting menyentuh sisi bawah dan melewati sisi atas jaring – dihitung. Selain itu, pola pergerakan dan manuver kepiting di atas jaring diamati untuk mengetahui kemudahan atau kesulitan kepiting bergerak melewati jaring; dan

(5) Pengujian yang sama dilakukan terhadap 6 kepiting. Ulangan untuk setiap kepiting sebanyak 3 kali.

Kepiting yang digunakan memiliki lebar karapas 9 cm. Kepiting dengan ukuran tersebut diduga sudah mengalami matang gonad pertama kali. Hal tersebut ditunjukkan dengan terjadinya perkawinan pada akuarium penampungan yang dilakukan kepiting yang memiliki lebar karapas 9,1 cm. Menurut Hill (1975)

diacu dalam Vay (2001) kepiting bakau dengan spesies Scylla serrata mengalami matang gonad untuk pertama kalinya pada lebar karapas antara 8,3-14,4 cm dan terjadi pada usia 1-1,5 tahun. Susunan peralatan yang digunakan dalam menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu disajikan pada Gambar 10.

α

Kamera

Gambar 10 Ilustrasi tampak depan susunan peralatan untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu.


(35)

2) Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu

Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu dilakukan dengan cara memberikan perlakuan sudut α yang berbeda pada model mulut bubu, yaitu 20o, 40o, dan 60o. Adapun jaring yang digunakan disesuaikan dengan hasil penelitian penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu. Urutan penelitiannya adalah: (1) Jaring diletakkan melintang pada bagian tengah akuarium uji yang berisi air

laut setinggi 50 cm dengan sudut kemiringan 20o;

(2) Satu kepiting diletakkan di depan jaring dan umpan berupa ikan di belakang jaring;

(3) Kepiting dibiarkan bergerak melintasi jaring;

(4) Pola pergerakan kepiting di atas permukaan jaring direkam dan waktu kepiting melewati jaring dihitung;

(5) Pengujian yang sama dilakukan terhadap kepiting yang sama sebanyak 3 kali ulangan;

(6) Kerja yang sama dilakukan pada kepiting yang sama, tetapi pada sudut kemiringan α = 40o dan 60o; dan

(7) Penelitian diulang dengan menguji 5 kepiting lainnya. Ukuran kepiting yang digunakan adalah 11,5 cm; 10,85 cm; 7,6 cm; 7,35 cm; dan 8,85 cm

Posisi penempatan alat di dalam akuarium sama dengan Gambar 10 pada penelitian penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu.

3) Penentuan tinggi pintu masuk bubu

Pada penelitian ini, jaring yang digunakan dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu disesuaikan dengan hasil dari 2 penelitian sebelumnya. Adapun tinggi pintu masuk bubu dihitung dari bagian sisi atas jaring ke arah atas. Tahapan penelitian penentuan tinggi pintu masuk – sesuai dengan Gambar 11 -- adalah sebagai berikut:

(1) Kepiting diletakkan di depan jaring dan umpan di belakang jaring;

(2) Lembaran kaca mendatar diposisikan sejauh 2 cm – sesuai dengan ketebalan karapas kepiting layak tangkap -- di atas sisi bagian atas jaring;


(36)

sisi atas jaring dan kaca;

(4) Pergerakan kepiting menaiki jaring dan melewati celah diamati;

(5) Seandainya kepiting dapat melewati celah, maka kepiting diposisikan di belakang jaring dan umpan di depan jaring. Selanjutnya kepiting dibiarkan bergerak melewati celah. Jika kepiting tidak dapat melewati celah, maka ketinggian pintu dinaikkan 0,5 cm;

(6) Pengujian dianggap selesai ketika kepiting tidak mengalami kesulitan melewati pintu masuk, baik dari depan maupun belakang jaring; dan

(7) Jumlah ulangan untuk setiap kepiting sebanyak 3 kali; dan (8) Proses yang sama dilakukan untuk 5 kepiting berikutnya.

4) Penentuan warna tutupan

Penentuan warna tutupan menggunakan lampu sorot yang ditempatkan di atas akuarium. Ini dimaksudkan agar kepiting lebih terangsang untuk mencari perlindungan. Urutan penelitian penentuan warna tutupan – berdasarkan Gambar 12 -- adalah sebagai berikut:

(1) Tutupan berbentuk balok dengan warna putih dan hitam ditempatkan pada salah satu sisi lebar akuarium dan posisi keduanya berdampingan;

(2) Satu kepiting diposisikan di depan kedua tutupan dan lampu dinyalakan;

α

Kamera

Gambar 11 Ilustrasi tampak depan susunan peralatan untuk menentukan tinggi pintu masuk mulut bubu.


(37)

(3) Kepiting dibiarkan bergerak memilih warna tutupan yang disukai;

(4) Kepiting ditetapkan menyukai satu warna tutupan jika kepiting uji coba masuk ke dalam balok tutupan yang dimaksud;

(5) Pengujian diulang dengan mengubah posisi balok tutupan; (6) Uji yang sama dilakukan terhadap 5 kepiting lainnya; (7) Satu kepiting diuji sebanyak 6 ulangan; dan

(8) Warna tutupan yang paling sering didatangi dinyatakan sebagai warna tutupan yang paling disukai oleh kepiting bakau.

3.3.2 Ujicoba bubu

Penelitian rancangan bubu dilakukan untuk membuktikan apakah bubu yang dibuat dapat direspons dengan baik oleh kepiting. Bubu diharapkan dapat mudah dimasuki oleh kepiting dan kepiting yang terperangkap sulit untuk membebaskan diri. Tiga bubu yang dibuat terdiri atas 2 jenis bubu yang merupakan modifikasi bubu standar dan 1 lainnya bubu dengan rancangan baru. Ketiganya dirancang sesuai dengan hasil penelitian bagian-bagian bubu. Jumlah dan ukuran kepiting yang masuk pada masing-masing bubu dianalisis untuk melihat efektivitas ketiga jenis bubu yang dibuat. Adapun langkah-langkah penelitiannya berdasarkan Gambar 13 adalah sebagai berikut:


(38)

(1) Satu bubu standar (nelayan) dan 3 bubu baru diletakkan berhadapan di dalam bak pengamatan, sehingga pada bagian tengah bak terdapat pertemuan mulut dari keempat bubu tersebut;

(2) Pada bagian tengah bak diletakkan 25 ekor kepiting bakau dengan ukuran yang bervariasi;

(3) Kepiting dibiarkan untuk bergerak dan masuk ke dalam bubu yang dipilihnya;

(4) Pola pergerakan kepiting memasuki bubu diamati;

(5) Perlakuan tersebut dilakukan sebanyak 20 kali ulangan dengan beberapa kali mengacak kembali posisi bubu; dan

(6) Jumlah dan ukuran kepiting yang masuk pada masing-masing bubu pada setiap ulangan dicatat. Selanjutnya data tersebut diolah untuk menentukan bubu yang paling efektif;

Ket: A = Bubu nelayan (sebagai kontrol) B = Bubu rancangan baru (B) C = Bubu modifikasi (M)

D = Bubu modifikasi mulut menyudut (P)

Gambar 13 Susunan bubu pada ujicoba bubu.

A

B

C

D

75 cm

30 cm


(39)

3.3.3 Penelitian warna tutupan bubu

Penelitian warna tutupan bubu dilakukan dengan cara memberikan perlakuan tutupan warna hitam pada bubu. Jenis bubu yang digunakan adalah bubu yang memiliki kemampun menangkap kepiting paling baik berdasarkan hasil ujicoba bubu. Jumlah bubu yang digunakan sebanyak 4 unit. Dua bubu diberi tutupan, sedangkan 2 lainnya tidak diberi tutupan. Urutan penelitiannya berdasarkan Gambar 14 adalah sebagai berikut:

(1) Dua bubu dengan tutupan dan 2 bubu tanpa tutupan diletakkan selang-seling dan secara melingkar pada bak pengamatan;

(2) Pada bagian tengah bak diletakkan 17 ekor kepiting bakau dengan ukuran yang bervariasi;

(3) Lampu pijar pada bagian atas kolam dinyalakan. Hal ini dilakukan untuk merangsang kepiting bergerak masuk ke dalam bubu;

(4) Kepiting dibiarkan bergerak dan masuk kedalam bubu yang dipilihnya; (5) Jumlah dan ukuran kepiting yang masuk pada masing-masing bubu dicatat;

dan

(6) Perlakukan yang sama dilakukan sebanyak 10 kali ulangan, dengan merubah susunan bubu pada bak percobaan.

Gambar 14 Susunan bubu pada ujicoba tutupan bubu.

75 cm 30 cm


(40)

3.4 Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada masing-masing perlakukan berbeda-beda. Secara lengkap, analisis data yang akan dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Analisis data

No. Tujuan Analisis

1. Menentukan kenormalan ukuran kepiting bakau yang digunakan pada percobaan

Regresi 2. Menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut

bubu

Deskriptif 3. Menentukan sudut kemiringan lintasan masuk mulut

bubu

Deskriptif 4. Menentukan tinggi pintu bubu Deskriptif 5. Menentukan warna tutupan Deskriptif 6. Membuktikan bahwa efektifitas bubu lipat hasil

rancangan lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat yang digunakan oleh nelayan

Analysis of variance (Rancangan acak lengkap)

7. Membuktikan bahwa bubu lipat dengan tutupan memberikan hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan bubu lipat tanpa tutupan

Analysis of variance (Rancangan acak lengkap)

3.4.1 Analisis regresi

Analisis regresi merupakan analisis yang menggambarkan sekumpulan teknik statistika yang menjadi dasar pengambilan kesimpulan (inferensia) tentang hubungan antar peubah-peubah yang terukur. Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linear tunggal. Model umum untuk analisis regresi tersebut yaitu (Matjik dan Sumertajaya, 2000):

Y = β0+ β1x + ε Keterangan :

Y : Peubah tak bebas atau peubah respon;

β0 : Intersep/perpotongan dengan sumbu tegak;

β1 : Kemiringan/gradien;

x : Peubah bebas atau peubah penjelas; dan


(41)

Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara tebal dengan panjang, lebar, dan berat kepiting. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kenormalan ukuran kepiting, sehingga ukuran kepiting-kepiting yang digunakan pada penelitian dapat mewakili ukuran kepiting pada umumnya yang berada di alam.

3.4.2 Rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor

Rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor digunakan untuk membandingkan tingkat efektifitas bubu hasil rancangan dengan bubu yang digunakan nelayan. Selain itu, digunakan juga untuk membandingkan tingkat efektivitas antara bubu yang diberi tutupan dan yang tidak. Menurut Matjik dan Sumertajaya (2000), perhitungan RAL satu faktor adalah sebagai berikut:

Tabel 4 Perlakuan dan ulangan Ulangan

(r)

Perlakuan (t)

Total ulangan

1 2 3 4 5 6

1 11 21 31 41 51 61 Y.1

2 12 22 32 42 52 62 Y.2

3 13 23 33 43 53 63 Y.3

Total perlakuan

(Yi.)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Total keseluruhan

(Y..)

Model linier: Yij= μ + i+ εij Keterangan :

Yij : Nilai respon pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j;

μ : Rataan umum;

i : Pengaruh perlakuan ke-i;

εij : Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j;

i : 1,…,t dan j= 1,…,r; dan

r : Ulangan dan t = perlakuan. Asumsi : εij ~ N (0, 2) dan ∑ i = 0


(42)

Hipotesis: Ho: 1= … = 6 = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati); dan

H1: i≠0 (minimal ada satu perlakuan yang berpengaruh terhadap respon).

Tabel 5 Sidik ragam atau tabel ANOVA Sumber

keragaman

Derajat bebas (DB)

Jumlah kuadrat

(JK)

Kuadrat tengah (KT)

F-hitung

Ulangan sama r1 = r2= … = rt = r

Perlakuan t– 1 JKP KTP KTP/KTG

Galat t (r– 1) JKG KTG

Total tr– 1 JKT

Ulangan tidak sama r1≠ r2≠ … ≠ rt≠ r

Perlakuan t– 1 JKP KTP KTP/KTG

Galat ∑(rt– 1) JKG KTG Total (∑rt) – 1 JKT


(43)

Bubu lipat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau berbentuk balok dengan pintu masuk terdapat pada kedua sisi bubu. Konstruksi bubu tersusun atas kerangka besi yang diselimuti oleh jaring. Bubu dilengkapi dengan pengunci dan tempat umpan. Untuk perbaikan konstruksi bubu, penelitian difokuskan pada perbaikan beberapa bagian bubu, yaitu ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu, sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu, dan bukaan mulut bubu.

4.1.1 Ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu 1) Ukuran mata jaring

Pengujian ukuran mata jaring lintasan masuk menggunakan ukuran mata jaring 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci. Kepiting secara umum dapat melalui semua ukuran mata jaring. Menurut Kasry (1996), kepiting memiliki 5 pasang kaki salah satunya 1 pasang kaki renang yang berada pada urutan terakhir. Secara berurutan bagian-bagian kaki renang tersebut adalah coxa, basiischium, merus, carpus, propondus, dan dactylus (Siahainenia 2008) (Gambar 15). Kaki ini berfungsi membantu pergerakan kepiting, baik untuk berenang maupun berjalan. Berdasarkan hasil pengamatan, kepiting mengalami kesulitan ketika melintasi jaring dengan ukuran mata 0,5; 0,75 dan 1,25 inci. Pada jaring dengan ukuran mata 0,5 dan 0,75, kepiting mengalami kesulitan berjalan karena bagian dactylus

pada kaki renangnya sulit untuk mendapatkan pijakan. Ukuran mata jaring yang terlalu kecil menyebabkan kaki renang sulit bergerak melewati jaring. Kepiting mengalami kesulitan pula ketika melewati jaring dengan ukuran mata 1,25 inci. Penyebabnya, kaki renang kepiting selalu terperosok masuk ke dalam jaring, karena ukuran mata jaring yang terlalu besar. Kepiting relatif lebih mudah merayapi jaring dengan ukuran mata 1 inci. Hal ini disebabkan ukuran lebar kaki renang kepiting (bagian dactylus) tidak terlalu berbeda dengan panjang bar mata jaring dengan ukuran mata 1 inci. Bar adalah panjang sisi mata jaring antara dua simpul yang berdekatan (Prado and Dremiere 1990). Ukuran bar berbanding lurus


(44)

dengan ukuran mata jaring. Semakin besar ukuran mata jaring, maka bar akan semakin panjang. Posisi bar pada satu mata jaring dijelaskan pada Gambar 16.

Kepiting dengan lebar karapas (carapace width, CW) 9 cm memiliki lebar kaki renang rata-rata 1,3 cm. Lebar tersebut tidak jauh berbeda dengan panjang

bar mata jaring 1 inci, yaitu 1,27 cm, sehingga kaki renang dapat dengan mudah menapak pada mata jaring dan melakukan tolakan pada bar. Panjang bar pada keempat ukuran mata yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 6. Adapun ilustrasi hubungan antara ukuran kaki renang kepiting dengan panjang bar jaring mata jaring 1 inci ditunjukkan pada Gambar 17.

Gambar 15 Bagian-bagian kaki renang kepiting bakau.

Sumber: Siahainenia (2008)

Gambar 16 Bar pada mata jaring.

Sumber: Prado and Dremiere (1990) Bar


(45)

Tabel 6 Panjang bar pada setiap ukuran mata jaring

No. Ukuran mata jaring Panjang bar

(cm)

inci cm

1. 0,50 1,27 0,64

2. 0,75 1,91 0,95

3. 1,00 2,54 1,27

4. 1,25 3,18 1,59

2) Pola pergerakan kepiting merayapi lintasan masuk

Kepiting yang dijadikan sampel uji selalu diposisikan pada bagian tengah lintasan masuk. Jaring yang dijadikan lintasan memiliki ukuran mata 1 inci, atau disesuaikan dengan hasil penelitian mengenai penentuan ukuran mata jaring lintasan yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 5 pola pergerakan kepiting melewati lintasan masuk (Gambar 18), yaitu: 1. Kepiting bergerak ke bagian kiri, kemudian merayap naik melalui sisi kiri

lintasan masuk;

2. Kepiting berjalan lurus melewati bagian tengah lintasan masuk;

Gambar 17 Hubungan antara lebar kaki renang dengan panjang bar pada jaring dengan ukuran mata 1 inci.

L=1,3 cm

Jaring dengan ukuran mata 1 inci

P= 2,69 cm

1,27 cm


(46)

3. Kepiting bergerak ke bagian kanan, kemudian merayap naik melalui sisi kanan lintasan masuk;

4. Kepiting berjalan pada bagian tengah, kemudian setelah berada pada bagian tengah lintasan selanjutnya kepiting bergerak ke sisi kiri lintasan dan melanjutkan perjalanannya hingga melewati lintasan; dan

5. Kepiting berjalan pada bagian tengah, kemudian bergerak ke sisi kanan lintasan dan melanjutkan perjalanannya hingga melewati lintasan.

Pola pergerakan yang paling dominan dilakukan oleh kepiting adalah pola nomor 1, 3 dan 4. Berdasarkan hasil pengamatan, kepiting lebih sering berjalan menyamping ke arah kiri dan kanan tubuhnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Archdale et al. (2006) yang menyebutkan bahwa sebagian besar kepiting yang masuk ke dalam bubu berbentuk balok adalah dengan cara menyamping, yaitu sebesar 33%. Cara masuk lainnya adalah dengan cara maju ke depan (3%), mundur (27%), dan sisanya tidak masuk ke dalam bubu (37%). Adapun pada bubu berbentuk kubah, 100% kepiting masuk dengan cara menyamping. Selanjutnya hasil pengamatan Yulianto (2011) menyimpulkan bahwa kepiting bakau berjalan menyamping menggunakan kaki-kaki jalannya

Gambar 18 Pola pergerakan kepiting melewati lintasan masuk.

4

5

1 2


(47)

untuk mendekati mangsa atau umpan atau untuk menjauhi stimulus gangguan yang diberikan. Selain kelima pola gerakan tersebut, kepiting dapat melewati lintasan masuk dengan cara berenang tanpa menyentuh lintasan masuk sama sekali. Menurut Nybakken (1992), kepiting dapat berenang dengan cepat di dalam air dengan menggunakan kaki renangnya dan dapat berlari di tempat yang tidak berair dengan menggunakan kaki-kaki jalannya. Kepiting betina dewasa yang sudah matang gonad sangat memanfaatkan kemampuan renangnya untuk mencapai perairan yang dalam guna melakukan pemijahan (Siahinenia 2008).

4.1.2 Sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu

1) Pengaruh sudut kemiringan lintasan masuk terhadap kepiting

Bubu lipat yang digunakan oleh nelayan memiliki konstruksi mulut dengan lintasan masuk yang membentuk sudut tertentu. Besar sudut kemiringan lintasan masuk α relatif landai, yaitu antara 15-20o. Sudut pada lintasan masuk mulut bubu secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Sudut pada lintasan masuk.


(48)

Uji coba dilakukan terhadap 3 sudut yang berbeda, yaitu α = 20, 40 dan 60o. Adapun ukuran mata jaring yang digunakan adalah 1 inci. Penentuan ukuran mata tersebut didasarkan pada percobaan sebelumnya yang menunjukkan bahwa jaring dengan ukuran mata 1 inci lebih mudah dilalui kepiting.

Hasil penelitian dengan melakukan 15 kali ulangan pada lintasan dengan sudut α = 20o memberikan hasil 13 kali kepiting berhasil melewati lintasan masuk dan 2 kali kepiting tidak melewati lintasan masuk. Pada sudut α = 40o, 9 kali kepiting berhasil melewati lintasan dan 6 kali tidak melewati lintasan. Selanjutnya pada sudut α = 60o, 8 kali kepiting berhasil melewati lintasan dan 7 kali tidak melewati lintasan. Kegagalan kepiting melewati lintasan lebih banyak disebabkan oleh keengganan kepiting bergerak karena sudah terlalu sering dijadikan sampel uji. Hal ini ditunjukkan dengan tingkah laku kepiting yang diam saja di titik awal dan tidak menyentuh lintasan sama sekali. Jumlah kepiting yang berhasil dan gagal melewati lintasan masuk secara lebih jelas ditunjukkan pada Gambar 20.

Lintasan masuk dengan sudut α = 20o terlihat sangat mudah dilalui oleh kepiting. Bahkan dengan kemampuan renangnya, kepiting dapat melalui lintasan tanpa mengenai jaring lintasan. Pada sudut α = 40o, kepiting masih dapat melintasi lintasan masuk dengan mudah. Adapun pada sudut sudut α = 60o, kepiting mengalami kesulitan untuk melewati lintasan dibandingkan dengan kedua sudut lainnya. Walau demikian, secara umum kepiting dapat melintasi seluruh sudut, sehingga dapat dikatakan besar sudut kemiringan lintasan tidak dapat menghambat pergerakan kepiting. Fungsi kaki kepiting, menurut Warner (1977)

diacu dalam Yulianto (2011), selain digunakan untuk berjalan juga digunakan untuk memanjat. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, kepiting bahkan dapat memanjat konstruksi jaring yang diposisikan tegak lurus α =90o. Dalam pergerakannya, kaki-kaki kepiting mampu mencengkeram dan memegang badan jaring.


(49)

13 2 0 5 10 15

Lewat Tidak Lewat

F re k u en si

α = 20o

9 6 0 5 10 15

Lewat Tidak Lewat

F re k u en si

α = 40o

8 7 0 5 10 15

Lewat Tidak Lewat

F

rek

u

en

si

α = 60o

Gambar 20 Frekuensi keberhasilan kepiting melewati lintasan masuk pada sudut α = 20o, 40o, dan 60o.

Tidak lewat

Tidak lewat


(50)

2) Sudut lintasan masuk yang sesuai

Besar sudut pada lintasan masuk berpengaruh terhadap volume ruang pada bagian bawah bubu. Alasan nelayan menggunakan sudut yang rendah adalah agar kepiting dapat dengan mudah memasuki bubu. Padahal semakin rendah lintasan masuk, maka volume ruang pada bagian bawah bubu menjadi semakin sempit.

Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting menunjukkan bahwa kepiting memiliki sifat soliter dan selalu menjaga jarak dengan kepiting lainnya. Ini sejalan dengan hasil penelitian Suryani (2006) dan Yulianto (2011) yang mendapatkan kepiting memiliki daerah teritorial sendiri. Kepiting akan menyerang kepiting lainnya jika merasa terganggu atau ketika memperebutkan makanan. Warner (1977) diacu dalam Yulianto (2011) menyebutkan bahwa tingkah laku sosial kepiting jika digambarkan pada kehidupan sosial manusia adalah unfriendly (tidak ramah). Kepiting cenderung hidup secara soliter dan selalu menghindar dari kepiting lainnya. Interaksi dalam kelompok kepiting cenderung bersifat kompetitif daripada kooperatif. Perkelahian akan terjadi jika satu kepiting bertemu dengan kepiting lainnya. Untuk menghindari perkelahian, salah satu kepiting biasanya segera menghindari pertemuan.

Peningkatan volume ruangan bubu akan mengurangi gesekan antar kepiting. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperbesar sudut lintasan masuk. Menurut Miller (1990), volume ruang yang lebih besar pada bubu akan meningkatkan hasil tangkapan. Semakin besar ruangan di dalam bubu akan mengurangi kompetisi perebutan ruang, sehingga hasil tangkapan yang masuk ke dalam bubu akan lebih banyak. Selain itu, organisme tangkapan dengan ukuran yang besar akan lebih tenang berada di dalam bubu dibandingkan dengan organisma tangkapan yang berukuran kecil.

Kepiting bakau mendiami daerah mangrove (Vay 2001 dan Wijaya et al.

2010). Jenis substrat dasar perairan yang disukainya berupa lumpur dan lumpur berpasir (Getter 1985, diacu dalam Tupan et al. 2005 dan Siahainenia 2008). Kondisi dasar perairan tersebut berpengaruh terhadap bubu lipat yang digunakan. Bubu yang memiliki sudut lintasan masuk yang rendah akan mengakibatkan mulut tertutup lumpur, karena bubu akan amblas ke dalam lumpur ketika bubu diletakkan di dasar perairan. Oleh karena itu, volume ruang di dalam bubu perlu


(51)

diperbesar dengan cara meningkatkan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu.

Berdasarkan hasil penelitian sudut kemiringan, sudut α = 20, 40 dan 60o tidak dapat menghambat pergerakan kepiting. Seluruh kepiting dapat melewati lintasan dengan ketiga sudut tersebut. Dengan demikian, ketiga sudut tersebut dapat digunakan untuk membuat bubu. Berdasarkan hasil pengamatan, sudut α = 20 dan 60o sebaiknya tidak digunakan. Sudut α = 20o terlalu rendah meskipun paling mudah dilalui oleh kepiting. Selain itu, pintu masuk bubu mudah tertutup lumpur. Adapun sudut α = 60o terlalu tinggi, sehingga perancangan pintu masuk bubu agak sulit dilakukan.

Lintasan masuk bubu dengan sudut kemiringan α = 60o lebih sulit dilalui oleh kepiting dibandingkan dengan α = 20 dan 40o. Berdasarkan pengamatan, kenampakan umpan oleh kepiting menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepiting masuk kedalam bubu. Kepiting akan lebih cepat mendekati umpan yang terlihat, sehingga sudut lintasan α = 60o sebaiknya tidak dipakai karena menghalangi penglihat kepiting terhadap umpan. Oleh karena itu, sudut yang paling tepat untuk diaplikasikan pada pembuatan lintasan masuk mulut bubu adalah 40o.

4.1.3 Bentuk dan bukaan mulut bubu

1) Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat standar nelayan

Bubu lipat yang digunakan nelayan untuk menangkap kepiting bakau memiliki konstruksi yang hampir sama dengan bubu lipat di beberapa negara. Secara umum bubu lipat berbentuk balok. Bubu dengan konstruksi ini banyak digunakan di Jepang (Vay 2001), Thailand (Jirapunpipat 2008) dan di Indonesia, misalnya di Desa Mayangan Kecamatan Legon Kulon Kabupaten Subang (Iskandar dan Rusdi 2011).

Ukuran bubu lipat bervariasi pada setiap daerah. Bubu lipat yang ada di Thailand memiliki dimensi 40 × 27 × 12 (p×l×t) (cm) (Jirapunpipat 2008). Adapun bubu lipat di Indonesia memiliki 3 ukuran yang berbeda, yaitu ukuran kecil 40 × 25 × 15 (cm), sedang 45 × 28 × 18 (cm), dan besar (50 × 30 × 20 (cm).


(52)

Bubu lipat standar yang digunakan oleh nelayan memiliki bukaan mulut berbentuk celah (Gambar 21). Celah tersebut memiliki bukaan yang tidak standar untuk setiap bubu. Beberapa bubu memiliki celah yang cukup elastis, sehingga mudah untuk terbuka. Beberapa lainnya memiliki celah dengan kekenduran yang rendah sehingga sulit terbuka.

Berdasarkan hasil pengamatan laboratorium, bentuk mulut bubu standar yang berupa celah akan menyulitkan kepiting untuk memasuki bubu. Kepiting yang merayap melalui dinding pengarah bubu akan sedikit-demi sedikit berpindah ke bagian tengah celah mulut bubu. Hal ini dikarenakan, bagian tersebut memiliki bukaan mulut yang paling besar dibandingkan dengan bagian sisi-sisinya. Beberapa kepiting gagal memasuki bubu dikarenakan duri-duri pada bagian karapas dan capitnya tersangkut pada jaring di pintu masuk. Selain itu, ukuran kepiting yang lebih besar dibandingkan dengan bukaan celah mulut menyebabkan kepiting tidak dapat masuk ke dalam bubu.

2) Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat baru

Model bukaan pintu bubu standar berbentuk celah yang digunakan nelayan menyulitkan kepiting untuk keluar dari dalam bubu sekaligus menyulitkan kepiting untuk masuk. Archdale et al. (2007) melakukan penelitian untuk melihat

Mulut tampak depan

Celah mulut Lintasan masuk


(53)

kemampuan rajungan (swimming crab) (Charybdis japonica dan Portunus pelagicus) keluar dari dua jenis bubu. Bubu yang digunakan berbentuk balok dengan mulut berbentuk celah dan bubu berbentuk kubah dengan mulut berupa corong. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa seluruh kepiting yang digunakan pada uji coba tidak dapat keluar dari bubu berbentuk balok dengan mulut berbentuk celah. Adapun pada bubu berbentuk kubah, seluruh kepiting dapat keluar. Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan prinsip kerja bubu, yaitu memudahkan biota yang menjadi target penangkapan untuk masuk, namun menyulitkannya untuk keluar.

Berdasarkan studi literatur, beberapa peneliti melengkapi mulut masuk bubu dengan menambahkan deretan kisi yang dipasang secara permanen. Kisi terbuat dari bahan plastik. Salah satu penelitiannya dilakukan oleh Zulkarnain et al.

(2011) yang memasang kisi pada mulut bubu lipat untuk menangkap lobster. Kelemahan kisi plastik adalah ukuran bukaan mulut bubu sering berubah, karena sangat tergantung pada kelenturan plastik yang digunakan. Jenis bahan kisi yang digunakan pada penelitian ini adalah kawat yang didesain dapat bergerak naik-turun. Kisi dipasang pada bagian sisi atas mulut dengan kemiringan tertentu. Dengan demikian kisi akan terbuka ketika terdorong oleh kepiting yang akan masuk dan akan menutup kembali dengan sendirinya akibat gravitasi setelah kepiting masuk ke dalam bubu. Jarak antar kisi adalah 2-3 cm.

Penggunaan kisi dapat meningkatkan hasil tangkapan. Hal ini diakibatkan biota yang menjadi target penangkapan menjadi lebih mudah masuk. Mason (1970) diacu dalam Miller (1990) menyatakan bahwa hasil tangkapan Cancer pagurus meningkat kurang lebih 50% pada bubu yang menggunakan kisi. Selain itu, penggunaan kisi akan menyulitkan biota untuk keluar dari bubu. High (1976)

diacu dalam Miller (1990) menyatakan bahwa setelah dilakukan pengamatan selama 12 hari, hanya 5% Cancer magister yang dapat keluar dari bubu yang menggunakan kisi. Adapun pada bubu yang tidak menggunakan kisi, 100%

Cancer magister dapat keluar.

Tinggi celah mulut bubu dalam penelitian ini didasarkan pada tebal karapas kepiting bakau. Kepiting bakau yang digunakan sebagai dasar penentuan ukuran celah pintu masuk harus memiliki ukuran yang normal. Berdasarkan uji regresi,


(54)

nilai koefisien determinasi (R2) antara tebal dan panjang karapas dari 30 kepiting bakau yang digunakan sebagai sampel sebesar 0,9491. Hal ini berarti bahwa 94,91% tebal karapas dapat dijelaskan oleh panjang karapas, sehingga hubungan keduanya sangat erat karena mendekati 100% (Santoso 1999). Hubungan yang erat juga ditunjukkan oleh nilai R2 antara tebal - lebar karapas dan tebal – berat kepiting dengan nilai masing-masing sebesar 0,9505 dan 0,933 (Gambar 22). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepiting yang digunakan memiliki perbandingan ukuran ukuran yang proporsional, sebagaimana ukuran kepiting pada umumnya. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka kepiting tersebut dapat digunakan sebagai dasar penentuan tinggi celah bubu.

Tebal karapas kepiting bakau yang menjadi patokan adalah tebal karapas kepiting yang layak tangkap (Gambar 23). Rata-rata tebal karapas kepiting tersebut adalah 3,5 cm, sehingga ukuran tersebut merupakan tinggi minimal dari bukaan mulut pintu masuk bubu. Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kepiting dapat melewati suatu celah selama celah tersebut lebih besar dari tebal karapasnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka tinggi celah pintu masuk bubu yang digunakan adalah sebesar 5 cm (Gambar 24). Besarnya celah masuk bubu akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Hasil penelitian Koike and Ogura (1977) diacu dalam Miller (1990) menunjukkan bahwa bubu dengan diameter pintu masuk 30 cm memperoleh rata-rata hasil tangkapan spider crab

(Chionoechetes japonicus) sebanyak 6,4 individu per bubu, sedangkan bubu dengan diameter 50 cm memperoleh rata-rata hasil tangkapan 13,9 individu per bubu.


(55)

t = 0,552 p + 0,1387

R² = 0,9491

0 15 30 45

0 20 40 60 80

T eb al t (m m )

Panjang p (mm)

t = 0,3549 l + 3,6

R² = 0,9505

0 15 30 45

0 20 40 60 80 100 120

T eb al t (m m )

Lebar l (mm)

t = 0,1095 b + 20,882

R² = 0,9331

0 15 30 45

0 50 100 150 200

T eb al t (m m )

Berat b (mm)

Gambar 22 Hubungan antara tebal karapas dengan panjang dan lebar karapas serta berat kepiting.


(56)

Bukaan mulut bubu yang dirancang, dipasangi kisi yang terbuat dari kawat. Kisi berfungsi untuk menghalangi kepiting agar tidak dapat keluar dari bubu. Setiap dua kisi terbuat dari satu kawat yang terhubung. Ini dimaksudkan agar kisi tidak mudah bergeser, sehingga jarak antar kisi tidak berubah-ubah (Gambar 24).

Gambar 23 Posisi pengukuran tebal karapas kepiting bakau. Tebal t

5 cm

2-3 cm


(57)

4.1.4 Warna tutupan

Bubu lipat biasanya dioperasikan oleh nelayan pada dua selang waktu yang berbeda. Pertama, bubu lipat dipasang pada sore hari kemudian pada pagi hari keesokannya diangkat dan dibawa pulang. Kedua, bubu dipasang sore hari, kemudian keesokan paginya diangkat untuk diambil hasil tangkapannya. Bubu tidak dibawa pulang, tetapi dipasang kembali untuk diangkat pada sore harinya. Dengan kata lain, metode pengoperasian bubu yang kedua dilakukan pada dua selang waktu, yaitu malam dan siang hari.

Aktivitas kepiting pada pagi dan siang hari cenderung lebih rendah dibandingkan dengan malam hari. Saat hari terang, kepiting bersembunyi pada lubang atau daerah yang gelap. Menurut Yulianto (2011), kepiting bakau tergolong hewan nokturnal. Oleh karena itu, bubu yang dioperasikan pada siang hari sebaiknya dapat juga difungsikan sebagai tempat berlindung bagi kepiting. Cara ini dapat dilakukan dengan menambahkan tutupan pada bagian atas bubu. Warna tutupan yang diujicobakan adalah warna hitam. Pemilihan warna hitam didasarkan pada sifat kepiting yang aktif mencari makan pada malam hari dan selalu mencari tempat persembunyian yang gelap pada pagi dan siang hari (Moosa

et al. 1975). Selain itu, hasil penelitian Almada (2001) menjelaskan bahwa waktu makan kepiting terjadi pada malam hari, yaitu antara pukul 18.00-06.00 dengan waktu makan dominan antara pukul 18.00-24.00. Frekuensi makan dan aktivitas kepiting bakau pada siang hari jauh lebih rendah dibandingkan dengan malam hari.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kepiting memilih tutupan berwarna hitam pada seluruh ulangan dibandingkan dengan putih (Gambar 25). Hal ini diduga karena kebiasaan kepiting yang cenderung aktif pada malam menyebabkannya lebih menyukai daerah gelap, sehingga kepiting akan mencari tempat persembunyian ketika kondisi lingkungannya terang. Ilustrasi posisi penempatan tutupan terhadap posisi kepiting ditunjukkan pada Gambar 26.


(58)

4.2 Konstruksi Baru Bubu Kepiting Bakau (Scylla serrata) 4.2.1 Desain bubu

Berdasarkan hasil penelitian terhadap ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu, sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu dan bukaan mulut bubu, maka 3 konstruksi bubu kepiting yang baru didesain dan diujicoba (Lampiran 2).

30

0 0

10 20 30

Hitam Putih

F

re

k

u

en

si

Warna tutupan

Gambar 25 Frekuensi pemilihan warna tutupan.


(59)

1) Bubu modifikasi (M)

Bubu modifikasi memiliki ukuran yang sama dengan bubu standar milik nelayan. Modifikasi yang dilakukan pada bubu hanya berupa penambahan deretan kisi pada bagian mulut bubu. Tinggi celah mulut masuk adalah 5 cm dan jarak antar kisi 2 cm. Selain itu, perubahan juga dilakukan pada sudut lintasan pintu masuk menjadi α = 40o. Jaring yang digunakan berbahan sintetis polyethylene

(PE) 210D6 dengan ukuran mata 1,25 inci. Kisi terbuat dari kawat besi ber diameter 0,4 mm. Gambar 27 memberikan penjelasan desain dan konstruksi bubu modifikasi.

2) Bubu dengan mulut menyudut (P)

Ukuran bubu dengan mulut menyudut tidak berbeda dengan bubu standar. Modifikasi bubu terdapat pada panjang mulut yang lebih pendek dan diposisikan pada bagian tengah bubu. Panjang pintu masuk adalah 20 cm dan tingginya 5 cm. Jarak antar kisi sejauh 2 cm. Sudut lintasan masuk mulut bubu sebesar α = 40o. Jaring berbahan sintetis polyethilene (PE) 210D6 dengan ukuran mata 1,25 inci. Kisi-kisi pada celah mulut bubu menggunakan kawat yang terbuat dari besi dengan diameter 0,4 mm. Desain dan konstruksi bubu ditunjukkan pada Gambar 28.

Mulut tampak depan

Celah mulut Lintasan masuk

5 cm 2 cm

50 cm 20 cm

30 cm


(60)

3) Bubu dengan desain dan ukuran baru (B)

Bubu dengan desain baru memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda dengan bubu standar. Persamaannya hanya pada volume bubu sebesar 27.840 cm3. Bubu memiliki tinggi 16 cm. Bagian alasnya berbentuk persegi dengan ukuran 45 × 45 (cm) (Gambar 29). Sudut lintasan masuk bubu sebesar α = 40o. Jaring yang digunakan untuk menutupi bubu berbahan Polyethilene (PE) 210D6 dengan ukuran mata 1,25 inci. Ukuran mata jaring yang digunakan pada lintasan masuk adalah 1 inci. Pada mulut bubu dipasang deretan kisi yang terbuat dari bahan kawat dengan diameter 0,4 mm.

Mulut tampak depan

Celah mulut Lintasan masuk

5 cm

2 cm

45 cm 16 cm

45 cm

Gambar 29 Bubu dengan desain dan ukuran baru (B). Mulut tampak depan

Celah mulut Lintasan masuk

5 cm

20 cm

50 cm 20 cm

30 cm


(61)

4.2.2. Hasil ujicoba bubu

Jumlah kepiting yang digunakan pada uji penangkapan sebanyak 25 individu dengan ulangan yang dilakukan sebanyak 20 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah hasil tangkapan masing-masing bubu berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (Fhit= 95,52 > Ftab= 2,74). Bubu desain dan ukuran baru (B) memperoleh hasil tangkapan yang yang paling banyak, yaitu 152 kepiting (57,35% dari total hasil tangkapan) dengan jumlah rata-rata hasil tangkapan pada setiap ulangan sebanyak 7,6 kepiting. Selanjutnya diikuti oleh bubu modifikasi (M) (27,17%) dan bubu dengan posisi mulut menyudut (P) (10,57%). Adapun hasil tangkapan yang paling sedikit terjadi pada bubu nelayan (N), yaitu sebanyak 13 kepiting (0,05%) dari total hasil tangkapan) dengan jumlah rata-rata hasil tangkapan pada setiap ulangan sebanyak 0,65 kepiting (Gambar 30).

Bubu lipat desain dan ukuran baru (B) memperoleh hasil tangkapan yang paling banyak. Jumlah tangkapan terbanyak pada bubu ini adalah 11 kepiting. Jumlah tersebut jauh melebihi hasil tangkapan terbanyak bubu nelayan yang hanya berjumlah 4 kepiting. Hal ini disebabkan luas bagian dasar bubu B lebih besar dibandingkan dengan bubu lainnya, sehingga kepiting lebih nyaman berada di dalam bubu. Volume bubu yang semakin besar menyebabkan jumlah tangkapan semakin banyak (Miller 1990). Kepiting bakau selalu berusaha memiliki daerah teritorial tertentu karena sifatnya yang soliter. Dengan mikian, ukuran bubu yang lebih besar akan meningkatkan daya tampung bubu, sehingga jumlah kepiting yang tertangkap akan meningkat. Namun demikian, ukuran bubu kepiting bakau tidak dapat dibuat terlalu besar, karena terbentur pada kondisi daerah pengoperasiannya yang berada di daerah hutan bakau. Bubu berukuran besar sangat sulit dioperasikan di antara akar bakau yang relatif rapat.

Ukuran bubu yang besar mampu mengurangi usaha kepiting untuk meloloskan diri dari bubu. Munro (1974) diacu dalam Miller (1990) membuat hipotesis bahwa organisme yang terperangkap pada bubu berukuran kecil memiliki peluang yang besar untuk keluar. Hipotesis tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh Miller (1978) diacu dalam Miller (1990) yang menyebutkan bahwa


(1)

Lampiran 1 Alat-alat penelitian (Lanjutan)

Filter akuarium


(2)

Lampiran 1 Alat-alat penelitian (Lanjutan)


(3)

Lampiran 2 Bubu modifikasi dan rancangan baru

Bubu modifikasi (M) (tampak depan)


(4)

Lampiran 2 Bubu modifikasi dan rancangan baru (Lanjutan)

Bubu modifikasi mulut menyudut (P)


(5)

Lampiran 2 Bubu modifikasi dan rancangan baru (Lanjutan)

Bubu dengan desain dan ukuran baru (B) (tampak samping)


(6)

Lampiran 3 Tabel ANOVA

Tabel ANOVA untuk pengujian konstruksi bubu yang berbeda

Sum of squares df Mean square F Sig.

Between groups 584.238 3 194.746 95.519 .000

Within groups

154.950 76 2.039 Ftab:

2.738666667

Total 739.188 79

Tabel ANOVA untuk pengujian pengaruh tutupan pada bubu

Sum of squares df Mean square F Sig.

Between groups 369.800 1 369.800 125.592 .000

Within groups 53.000 18 2.944 Ftab: 4.41