Pengertian Al-‘urf AL-‘URF ADAT ISTIADAT

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id selama ia belum berpisah dengan penjual. Hak khiar bagi pembeli telah dikenal umat Islam secara lua sehingga ia menjadi ‘urf dalam jual beli. Demikan pula dengan makna kata ahya menghidupkan tanah mati yang terdapat dalam hadist Nabi saw: Artinya: ”Dari Jabir bin Abdullah ra, dari Nabi saw, bahwa Nabi bersabda: Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia berhak memiliki tanah tersebut. HR. Tirmidzi. Dari hadist ini dipahami seseorang berhak memiliki tanah mati atau tanah yang tidak ada pemiliknya dengan syarat terlebih dahulu menghidupkan tanah tersebut melalui membersihkan dan menggarapnya. Hal ini dibolehkan dalam Islam, karena didasarkan pada hadist diatas yang tidak diikuti penjelasan lebih jauh. Atas dasar ini, nash telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menjalankan ketentuan tentang ihya al-mawat menghidupkan tanah mati sesuai dengan ‘urf yang berlaku dalam suatu masyarakat. Menjadi ‘urf sebagai landasan penetapan hukum atau ‘urf sendiri yang ditetapkan sebagai hukum bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemudahan dalam kehidupan manusia. Dengan berpijak pada kemaslahatan ini pula manusia menetapkan segala sesuatu yang mereka senangi dan mereka kenal. Adat kebiasaan seperti ini telah mengakar dalam suatu masyarakat sehingga sulit sekali ditinggalkan karena karena terkait dengan berbagai kepentingan hidup mereka. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Sekalipun demikian, tidakl semua kebiasaan masyarakat diakui dan diterima dengan alasan dibutuhkan masyarakat. Suatu kebiasaan baru diterima manakala tidak bertentangan dengan nash atau ijma’ yang jelas-jelas terjadi dikalangan ulama. Di samping itu, suatu kebiasaan dapat diakui Islam bila tidak akan mendatangkan dampal negatif berupa kemudharatan bagi masyarakat di kemudian hari. Perlu digaris bawahi bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf akan berubah seiring dengan perubahan masa dan tempat. Yusuf Qardhowi dengan mengambil pendapat Syatibi mengemukakan contoh ‘urf yang berubah karena perubahan tempat dan masa. Perubahan ‘urf karena perubahan tempat dapat diamati dalam masalah membuka tutup kepala. Menurut Syatibi, kata Qardhowi lebih lanjut, masalah menutp kepala bagi laki-laki pada masing- masing daerah terdapat perbedaan. Bagi masyarakat di daerah-daerah Timur, membuka tutup kepala dipandang sebagai suatu perbuatan yang kurang baik. Sementara di negara-negara barat, membuka tutup kepala merupakan sesuatu yang biasa, tidak jelek. Dalam hal ini, terdapat perbedaan kebiasaan antara dunia Timur dan Barat mengenai masalah tutup kepala. Selanjutnya Yusuf Qordhawi menjelasakan bahwa perubahan ‘urf karena perubahan waktu dapat dilihat dalam contoh yang dikemukakan Imam al-Qarafi dalam kitabnya A l-ahkam . Dalam kitab itu, al-Qarafi menjelaskan tentang kebolehan suami menahan mas kawin apabila terjadi pertengkaran antara suami istri. Kebolehan suami menahan mas kawin ini berlandaskan pada ucapan suami. Padahal sebelumnya tidak ada ketentuan seperti itu.