Profil Buruh Gendong Artikel Buruh Gendong

D. Profil Buruh Gendong

Para buruh gendong yang menjadi subyek penelitian ini diantaranya ada yang mempunyai hubungan darah, seperti ibu dan anak, kakak dan adik, bibi dan keponakan, dan sebagainya. Buruh gendong yang mempunyai hubungan darah sebagai anak dan ibu adalah ibu ID dan Ibu SU. Ibu ID mengikuti jejak Ibu SU menjadi buruh gendong. 1. Ibu ID Ibu ID, seorang ibu muda berusia 20 tahun kini telah mempunyai seorang anak. Pendidikan formalnya sampai lulus SMP. Alamat asalnya di daerah Sukoharjo, Sumber Agung, Kecamatan Bulu. Di Yogyakarta, ia bertempat di rumah bapak SI yang terletak di sebelah utara pasar Giwangan. Dengan biaya Rp. 1.300.000,- ia mengontrak satu kamar yang ditempati beberapa orang. Sehingga ia jauh lebih ringan dalam membayar uang kontrakan karena harga tersebut dibagi beberapa orang. Ibu ID baru bekerja sebagai buruh gendong sejak 1 bulan yang lalu. Inipun karena terpaksa lilitan perekonomian keluarga yang kurang mencukupi kebutuhan akhirnya mendorong dirinya untuk ikut ibunya ke pasar Giwangan bekerja sebagai buruh gendong. Ia mulai bekerja dari jam 06.00 pagi – 19.00 malam. Pada masa awal-awal ini ia senang bekerja sebagai buruh gendong karena bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Meskipun pada awalnya ia merasa berat, namun lama-lama ia pun bisa menjalaninya. Bagaimanapun tuntutan hidup yang membuatnya mencoba untuk bertahan. Sementara itu pihak keluarganya terutama suaminya juga tidak keberatan ia bekerja sebagai buruh gendong. Justru sang suami mendukung mengingat penghasilannya yang kurang mencukupi karena kerjanya sebagai buruh tidak banyak. Bahkan sekarang ini bila ia ditanya, ia senang menjadi buruh gendong karena bisa mandiri. Menurut Ibu ID, pekerjaan sebagai buruh gendong merupakan profesi pokok. Sehingga ia hanya menggantungkan pada penghasilan sebagai buruh gendong yang setiap harinya ia mendapatkan sekitar Rp. 20.000,- . Untuk setiap kali menggendongkan barang ia diberi upah Rp. 1000,-. Dari penghasilannya itu ia gunakan untuk memberi uang jajan pada anaknya dan juga untuk memenuhi kebutuhan harian. Meskipun ibu ID termasuk pekerja baru di lingkungannya, namun ia sudah mempunyai banyak teman di sekitar pasar Giwangan, terutama teman sesama buruh gendong. Selama bekerja juga tidak mengalami hambatan yang berarti, bahkan ia juga mengungkapkan bahwa di pasar tidak ada pungutan sama sekali. Karena masih baru, maka iapun belum ikut organisasi apapun. Selama sebulan inipun hubungan dengan tetangga di daerah asal juga cukup baik. Ibu ID mempunyai harapan, bila sudah besar nanti anaknya bisa sekolah sampai tinggi dan sukses sehingga bisa lebih baik dari pada dirinya. 2. Ibu SU Ibu SU adalah ibu kandung dari ibu ID. Usianya hampir setengah abad, yaitu 45 tahun. Alamat asalnya di Sukoharjo, Sumber Agung, Kecamatan Bulu. Sedangkan di Yogyakarta ia bertempat di rumah bapak SI dengan membayar biaya kontrak per tahun Rp. 1.300.000,- dibagi beberapa orang. Pendidikan ibu SU cukup minim karena ia tidak sampai lulus SD. Anaknya hanya satu yaitu Ibu ID yang baru belakangan ini mengikuti jejaknya bekerja sebagai buruh gendong. Ibu SU sudah cukup lama bekerja sebagai buruh gendong, yaitu sejak tahun 1975 sampai sekarang. Jadi sudah mencapai sekitar 32 tahun lamanya. Dorongan pertama waktu ia memutuskan menjadi buruh gendong adalah untuk mencari uang. Himpitan ekonomi keluarga sangat ia rasakan. Sampai sekarang ia masih rutin bekerja mulai dari jam 6 pagi sampai 19.00 malam. Sebenarnya sampai saat ini ia merasa capek bekerja sebagai buruh gendong. Namun ia tidak beralih bekerja yang lain karena baginya dengan menjadi buruh gendong cukup mudah hanya memerlukan tenaga saja dan tidak memerlukan modal besar. Prinsipnya kerja pelan-pelan saja yang penting menghasilkan. Karena ia hanya menggantungkan penghasilan lewat kerja ini saja. Ia tidak mempunyai pekerjaan sampingan. Sedangkan suaminya bekerja sebagai pemborong sumur musiman, sehingga penghasilannya tidak menentu. Oleh karena itu, suaminya pun mendukung pekerjaannya itu. Dalam sehari, Ibu SU bisa mendapatkan Rp. 25.000,-. Bahkan bisa mencapai Rp. 30.000,- kalau lembur. Sehingga dari penghasilan itu ia bisa gunakan untuk makan sehari-hari, membiayai sekolah anak, kondangan, dan lain-lain. Sementara itu hubungan dengan sesama teman buruh gendong biasa-biasa saja, jarang terjadi masalah. Sedangkan hubungan dengan tetangga asal juga bagus. Menurut ibu SU, sekarang ini jauh lebih baik kondisi kerjanya mengingat sudah tidak ada pungutan liar lagi, berbeda dengan dulu. Apalagi jika dibandingkan dulu ketika menjadi buruh gendong di pasar Beringharjo, ibu SU mengatakan bahwa bekerja di Beringharjo lebih capek tetapi penghasilannya juga banyak. Sedangkan di pasar Giwangan sekarang ini bekerjanya tidak terlalu capek tetapi penghasilan juga tidak terlalu banyak. Harapannya ke depan, anaknya bisa hidup enak. Meskipun sekarang ini anaknya telah mengikutinya bekerja di pasar Giwangan sebagai buruh gendong, namun ia masih tetap berharap kelak anaknya akan bernasib lebih baik darinya. Lain halnya dengan dua orang buruh gendong berikut yang mempunyai hubungan saudara sebagai kakak dan adik. 3. Ibu NE Ibu NE, terlihat dari raut wajahnya sudah menampakkan usia senja. Hal ini terbukti ketika ditanya usianya sekarang ini, ia pun menjawab sudah 58 tahun. Ia tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Sekarang ini ia mengontrak di Mendungan, Giwangan, Yogyakarta dengan biaya Rp. 1.300.000,- per tahun dibagi 3 orang dengan teman yang lain. Sebab satu kamar dipakai bertiga. Sedangkan alamat asalnya berada di Kunden, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Ia mempunyai tiga anak. Ibu NE bekerja sebagai buruh gendong sejak tahun 1968. waktu itu ia tidak mempunyai aktifitas apa-apa, selain ibu rumah tangga. Oleh karena itu ia kemudian memutuskan menjadi buruh gendong. Ia bekerja rutin dari jam 14.00 siang sampai jam 6 pagi. Ketika ditanya perasaannya bekerja menjadi buruh gendong selama ini, ia menjawab enak-enak saja. Apalagi suami dan anak-anaknya juga mendukung. Mengingat kehidupan keluarga mereka juga tidak layaknya seperti yang lain yang bisa sering berkumpul. Hal ini dikarenakan suaminya bekerja di Cirebon sebagai pedagang mie. Anaknya yang ke-3 pun juga mengikuti jejak sang ayah berdagang mie di Cirebon. Dengan hasil kerjanya, Ibu NE bisa memenuhi biaya sekolah anak-anaknya. Oleh karena itu, ia hanya menggantungkan penghasilannya pada pekerjaan sebagai buruh gendong. Bekerja sebagai buruh gendong merupakan profesi pokok. Upah setiap kali menggendongkan barang Rp. 1000,-. Dalam satu hari mendapatkan penghasilan Rp. 50.000,-. Bila dibandingkan ketika masih di Beringharjo ternyata sama saja. Ibu NE juga menjelaskan bahwa hubungannya dengan sesama teman buruh gendong cukup baik. Demikian pula dengan para tetangga di daerah asal, bahkan kalau pulang ia pun membawa buah dan lain-lain sebagai oleh-oleh. Ia berharap pada kehidupannya mendatang ia bisa beristirahat tidak bekerja lagi sebagai buruh gendong kalau anaknya sudah selesai sekolah semuanya. 4. Ibu NI Ibu NI merupakan saudara kandung dari ibu NE. Usianya lebih dari 50 tahun. Ia sendiri tidak tahu dengan pasti berapa umur yang sebenarnya, hanya dengan kira-kira saja. Ia juga tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Anaknya berjumlah 4 orang, dan yang sudah menikah 2 orang. Ia berasal dari Kecamatan Tawang Sari, kelurahan Pojok, Kabupaten Sukoharjo. Ia menceritakan bahwa di daerah asalnya susah untuk mendapatkan air, sehingga tidak bisa bertani. Bahkan untuk keperluan sehari-hari pun terpaksa harus membeli air per tangki Rp. 75.000. Oleh karena kondisi inilah yang membuatnya bertekad bulat untuk mengadu nasib di Yogyakarta dengan bekerja sebagai buruh gendong. Sekarang inipun ia tinggal di Mendungan, Giwangan dengan membayar biaya kost sebesar Rp. 1.300.000,- per tahun dibagi tiga orang termasuk dirinya. Ibu NI mengungkapkan bahwa ia sudah bekerja jadi buruh gendong selama 30 tahun lebih. Dengan tujuan untuk mendapatkan uang yang cukup untuk membiayai anak- anaknya. Terlebih lagi, ibu NI sudah menjanda sejak 14 tahun yang lalu, sehingga otomatis yang memenuhi segala kebutuhan keluarga adalah dia sendiri. Ia bekerja sejak jam 04.00 dini hari sampai 18.00 sore. Dengan penghasilan sehari Rp. 15.000,-, dan kalau lembur bisa mencapai Rp. 25.000,-, ia bisa mengalokasilan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila dibandingkan ketika di pasar Beringharjo dulu, lebih enak di Beringharjo, tetapi lebih bebas dan tenteram di Giwangan. Ketika ditanyakan mengenai perasaannya, ia pun menceritakan sebenarnya susah sekali, agar bisa mendapatkan uang untuk makan anak-anak. Namun ia tidak mempunyai pilihan lain, selain memilih bekerja sebagai buruh gendong. Karena disamping tanpa modal ia pun tidak perlu mempunyai keahlian khusus. Ia bersyukur, selama ini anak- anaknya mendukung pilihan pekerjaannya itu. Meskipun sebenarnya tetapi di daerah asal ia mempunyai sawah, tetapi ia meminta orang lain untuk menggarap sawahnya itu dengan sistem bagi hasil. Selama ini hubungan dengan teman sesama buruh gendong penuh dengan dinamika. Kadang ramai karena saingan sama-sama cari uang, namun kadang juga rukun. Ibu NI juga mengatakan hubungan dengan tetangga di desa cukup rukun, sehingga ringan apabila ada tetangga yang hajatan. Ia juga mengungkapkan suka-duka selama bekerja sebagai buruh gendong, kalau dapat sedikit disyukuri dan banyak pun juga disyukuri. Tidak perlu mengeluh. Jadi hidup dibawa enak. Harapannya di masa yang akan datang, ia bisa menghidupi anak cucu, agar bisa hidup enak dan bisa sukses. 5. Ibu JU Ibu JU, usia 35 tahun. Pendidikannya hanya sampai kelas 4 SD. Anaknya 2 orang, yang sulung usianya 14 tahun dan yang bungsu berusia 12 tahun. Ibu JU berasal dari Tegalmulyo, Puron, Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Sekarang ini ia kost di rumah bapak SI di Mendungan dengan biaya Rp. 1.300.000,- per tahun dibagi tiga orang. Sudah cukup lama ia bekerja sebagai buruh gendong tepatnya 15 tahun. Terlebih lagi dengan pendapatan yang cukup lumayan dalam sehari bisa meraih Rp. 50.000,-. Bahkan terkadang bisa mencapai Rp. 80.000,-. Sebenarnya ia menjadi buruh gendong berawal dari sekedar ikut-ikutan buleknya yang terlebih dahulu jadi buruh gendong. Akhirnya karena juga terdorong desakan kondisi ekonomi keluarga yang minim ia pun memutuskan menjadi buruh gendong. Sejak pertama bekerja sampai sekarang ini, ia mempunyai jadwal sendiri untuk menggendong barang di pasar yaitu dari jam 14.00 siang sampai jam 07.00 pagi. Bisa dibayangkan berapa jam waktu ia gunakan dalam sehari untuk bekerja. Namun sampai saat ini ketika ditanya mengenai perasaannya, ia pun merasa senang karena penghasilan yang didapatnya cukup lumayan dan bisa digunakan untuk biaya sekolah anak-anak, serta untuk makan sehari-hari. Apalagi suaminya yang sehari-hari bertani juga mendukung. Ia tidak mempunyai aktifitas lain selain bekerja sebagai buruh gendong. Suka-duka yang ia rasakan selama ini bila mendapatkan banyak uang ia senang, namun beban berat yang harus dipikul setiap harinya sudah tentu menjadi konsekuensi yang harus ditanggungnya. Hubungan ibu JU dengan teman sesama buruh gendong selama ini cukup baik, hal ini juga ia tunjukkan dengan keikutsertaannya pada paguyuban di pasar Giwangan. Demikian pula hubungannya dengan tetangga di daerah juga cukup baik. Harapannya di masa depan, anak-anak bisa hidup dengan enak, bisa sekolah sampai tinggi. 6. Ibu PA Ibu PA mempunyai pendidikan yang cukup lumayan, yaitu sampai lulus SMP. Usianya 38 tahun dan mempunyai 2 anak, masing-masing sedang bersekolah di STM dan SMP. Alamat asalnya di Candi, Ngeco, Weru, Kabupaten Sukoharjo. Sekarang ini ia kost di daerah Mendungan, Giwangan. Ibu PA sudah bekerja selama 5 tahun menjadi buruh gendong. Ia terpaksa harus bekerja untuk mencari uang guna memenuhi kebutuhan keluarga, mengingat penghasilan suaminya sebagai buruh selama ini kurang mencukupi. Terlebih lagi suaminya juga mendukung. Ia bekerja dari jam 04.00 pagi sampai jam 18.00 malam. Sampai saat ini pun ia tidak mempunyai aktivitas lain selain bekerja di pasar Giwangan. Meskipun begitu ketika ditanya perasaannya selama bekerja 5 tahun ini, ia pun merasa senang karena mempunyai banyak teman. Di samping itu penghasilannya pun bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam sehari ia bisa mengantongi Rp. 20.000,-. Ia senang jika dapat penghasilan banyak, namun sebaliknya ia juga merasa susah kalau sedang sepi karena jarangnya pengguna jasa yang memintanya menggendongkan barang. Ia berharap kelak anaknya bisa hidup enak tidak seperti dirinya. 7. Ibu LA Ibu LA adalah perempuan separuh baya yang berusia 55 tahun. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Suaminya bekerja sebagai petani di daerah asalnya yaitu di Pandak, Bantul. Jumlah anaknya 4 orang, terdiri atas 3 laki-laki dan 1 perempuan. Yang masih sekolah 1 orang. Selama ini ia nglaju dari Bantul – Giwangan. Karena jaraknya masih bisa ditempuh dengan naik bis. Ia sudah bekerja selama 20 tahun, dengan dorongan untuk mencari uang guna menghidupi keluarga. Ia mulai bekerja dari jam 14.00 siang sampai jam 11 malam. Ia senang bila mendapatkan pengguna jasa yang banyak karena banyak pula penghasilan yang didapatnya. Namun ia juga susah kalau pengguna jasanya hanya sedikit. Rata-rata dalam sehari ia bisa mendapatkan Rp. 25.000,- . Sampai saat ini tidak ada masalah dengan keluarga karena semuanya mendukung. Terlebih lagi dengan penghasilannya itu ia bisa menyekolahkan anak-anaknya. Namun di samping bekerja sebagai buruh gendong ia juga bertani, sebab sawah milik orang tua dipasrahkan ke bu LA dengan sistem bagi hasil panen. Selama ini kehidupan di tengah teman sesama buruh gendong dijalani Ibu LA dengan baik, meskipun ia nglaju tetapi tetap mempunyai banyak teman. Demikian pula hubungannya dengan tetangga di Pandak, Bantul. Suka-duka selama bekerja ia ungkapkan dengan rasa senang bila mendapatkan banyak uang untuk kebutuhan keluarga dan sekolah anak. Susahnya kalau badan capek dan tidak bisa bekerja. Ia mempunyai harapan di masa yang akan datang, jangan sampai anak-anak menjadi buruh gendong supaya besok orang tua ada tumpangan untuk hari tua. 8. Ibu RI Ibu RI berusia 50 tahun, sama sekali tidak mengenyam pendidikan. Anaknya 3 orang, terdiri atas 1 perempuan dan 2 laki-laki. Ia berasal dari Bulu, Sukoharjo. Sedangkan di Yogyakarta ia kost di Mendungan, tepatnya di rumah Pak PU dengan biaya kost Rp. 50.000,- per bulan. Ia sudah bekerja 35 tahun menjadi buruh gendong karena himpitan ekonomi keluarga. Dengan harapan mendapatkan uang yang cukup, maka ia memutuskan bekerja menjadi buruh gendong. Terlebih lagi keluarganya sangat mendukung. Bahkan sampai saat ini ia tidak mempunyai aktifitas lain. Selama ini ia bekerja dari jam 2 siang sampai jam 11 malam. Ketika ditanyakan perasaannya, ia merasa senang dan susah. Ia tidak bisa menceritakan secara detail. Kalau mendapatkan banyak uang, ia pun senang. Demikian pula sebaliknya. Penghasilan yang diperolehnya tiap hari berkisar Rp. 20.000,-. Penghasilan ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Selama ini hubungan dengan teman sesama buruh gendong baik-baik saja. Demikian pula hubungan dengan tetangga di daerah asal pun juga baik. Ia mempunyai pengharapan di masa depan kebutuhan keluarga bisa tercukupi semuanya. 9. Ibu YA Ibu YA, seorang perempuan separuh baya berusia 55 tahun. Anaknya cukup banyak berjumlah 6 orang terdiri atas 1 laki-laki dan 5 perempuan. Ia berasal dari Ngentong, Gilangharjo, Pandak, Bantul. Sehingga ia tidak perlu kost, karena setiap hari ia bisa nglaju dari Bantul – Giwangan. Ibu YA sudah bekerja sebagai buruh gendong selama 18 tahun. Karena dorongan kondisi perekonomian keluarga yang mendesak, akhirnya ia memutuskan untuk bekerja di pasar mulai dari jam 13.00 siang sampai 11.00 malam. Iapun senang bisa bekerja. Apalagi keluarga juga mendukung. Sampai saat ini pun ia tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai buruh gendong. Dalam sehari ia bisa memperoleh uang sebesar Rp. 20.000,-. Dari penghasilan ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Selama ini ia menjalin hubungan baik dengan teman sesama buruh gendong. Demikian pula dengan hubungan dengan tetangga di daerah asal pun baik pula. Ia tidak mempunyai harapan apa-apa ketika ditanya. Bahkan ia pun tidak bisa menceritakan suka-duka selama menjadi buruh gendong, alasannya karena memang itulah pekerjaan satu-satunya 10. Ibu PI Ibu PI, masih cukup muda karena usianya baru 31 tahun. Suaminya buruh tani. Pendidikannya sampai tamat SD. Anaknya 2 orang, laki-laki semua. Ia berasal dari Gading, Giritirto, Purwosari, Gunung Kidul. Sedangkan di Yogyakarta ia tidak kost dimanapun karena selama ini ia tidur di pasar dengan membayar Rp. 2000,- per hari. Ibu PI bekerja sebagai buruh gendong sudah 5 tahun dengan dorongan keluarga karena kondisi keuangan yang minim. Ia mulai bekerja dari jam 12 siang sampai jam 11 malam. Sebenarnya ia terpaksa menjadi buruh gendong karena ia tidak punya modal apa- apa kecuali tenaga. Dalam sehari ia bisa mendapatkan penghasilan Rp. 30.000,- yang kemudian digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, membiayai sekolah anak, menyumbang bila ada hajatan. Meskipun aktifitas harian Ibu PI menjadi buruh gendong di pasar Giwangan, namun ia kadang pulang ke daerah asal kalau sedang panen. Ia menjalin hubungan baik dengan teman sesama buruh gendong. Hubungan dengan tetangga di daerah asal baik- baik saja, malah kalau ada hajatan harus pulang. Suka-dukanya selama bekerja bila mendapat banyak uang ia senannng, namun dia susah bila tidak mendapat duit tetapi sumbangan banyak karena banyak tetangga yang sedang mempunyai hajatan. Ia berharap di masa yang akan datang agar anak-anaknya jangan sampai menjadi seperti orang tua mereka. 11. Ibu TU Ibu TU, seorang perempuan dengan 2 anak. Anak pertamanya sudah menikah dan yang bungsu masih sekolah. Usia Ibu TU 41 tahun. Ia hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 1 SD. Ia berasal dari Candi, Weru, Kabupaten Sukoharjo. Sekarang ini ia kos di rumah ibu SI dengan biaya Rp. 1.250.000,- dibagi 6 orang. Karena satu kamar ditempati enam orang. Sudah cukup lama ibu TU bekerja sebagai buruh gendong. Kurang lebih sudah 25 tahun lamanya. Sementara itu suaminya yang bekerja sebagai petani pun juga mendukung pilihannya bekerja menjadi buruh gendong. Ia pun bekerja dari jam 04.00 pagi sampai 18.00 malam. Perasaannya selama bekerja, ramai, capek tetapi juga senang. Suka – dukanya selama bekerja yaitu sukanya bisa menyekolahkan anak dan bisa membuat rumah. Dukanya pada capeknya menggendong barang. Dalam sehari ia biasanya memperoleh Rp. 20.000,-. Bahkan kalau lembur bisa sampai Rp. 150.000,- yang kemudian dibagi 5 – 6 orang. Penghasilannya ini digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak dan memenuhi kebutuhan keluarga. Selama ini hubungan dengan teman sesama buruh gendong baik-baik saja. Demikian pula dengan para tetangga di daerah asal. Kalau ada hajatan pada kumpul kerukunan. Harapannya ke depan, ia bisa hidup enak dan anak-anak pun enak pula. Berikut ini dua buruh gendong yang mempunyai hubungan sebagai kakak-adik dan sekaligus sebagai istri ke-1 dan istri ke-2 dari suami mereka. Ibu WE dan ibu PO. Ibu WE adalah sang kakak, sedangkan ibu PO adalah sang adik. 12. Ibu WE Ibu WE, berusia 55 tahun, suaminya sekaligus juga suami adiknya selama ini bekerja sebagai petani. Anaknya 3 orang. Ia berasal dari dusun Jaten, Triharjo, Pandak, Bantul. Selama ini ia nglaju dari Bantul – Giwangan. Ibu WE sudah 20 tahun bekerja sebagai buruh gendong, karena himpitan ekonomi keluarga. Ia bekerja mulai dari jam 2 siang sampai 18.00 sore. Perasaannya bekerja sebagai buruh gendong selama ini senang mendapatkan banyak uang, tetapi kalau tidak mendapat uang ia menjadi susah karena banyak saingan di pasar. Sikap keluarga mendukung, suami dan anak mendukung. Malahan anaknya juga ikut menjadi buruh gendong. Dalam sehari ia bisa mendapatkan uang sebesar Rp. 20.000,-. Upah rata-rata satu kali gendong besarnya Rp. 1.000,-. Dari penghasilannya ini dapat digunakan untuk membiayai sekolah anak, makan sehari-hari, dan sosialisasi nyumbang : bahasa Jawa. Selama ini hubungan dengan teman sesama buruh gendong baik-baik saja, meskipun kadang-kadang saingan juga. Ia merasa susah kalau langganannya diambil teman. Sedangkan hubungan dengan tetangga di daerah asal baik pula. Ia mempunyai harapan di masa depan agar anaknya bisa sekolah semua. Biasanya bila Ibu WE lebih awal pulang ke rumah, maka Ibu PO adik kandung ibu WE sebagai istri muda suaminya cepat-cepat pulang. Sedangkan bila istri muda pulang lebih awal, maka Ibu WE tetap bekerja di pasar. 13. Ibu PO Ibu PO, merupakan adik kandung dari Ibu WE yang juga diperistri oleh suami ibu WE. Usia ibu PO 40 tahun. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Anaknya berjumlah 6 orang, terdiri dari 2 laki-laki dan 4 perempuan. 2 diantaranya masih sekolah. Ia berasal dari dukuh Jaten, Pandak, Bantul. Setiap hari ia nglaju dari Bantul – Giwangan Ibu PO sudah bekerja menjadi buruh gendong selama 25 tahun. Ia bekerja mulai dari jam 12 siang sampai jam 22.00 malam. Penghasilan per hari Rp. 20.000,-. Terkadang ia merasa senang karena penghasilannya bisa digunakan untuk menyekolahkan anak, mencukupi rumah tangga. Namun ia juga susah kalau tidak mendapatkan uang yang seperti diharapkannya. Selama ini keluarganya mendukung. Sementara itu hubungan dengan teman sesama buruh gendong baik. Demikian pula hubungan dengan tetangga di daerah asal pun baik pula. Ketika ditanyakan mengenai harapannya di masa depan, ia mengatakan bahwa ia berharap kelak anaknya jangan sampai anak menjadi buruh gendong seperti dirinya.

E. Analisa Data 1. Faktor Pendukung