Struktur Dunia

  STRUKTUR DUNIA

  

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Prodi S2 PEP UNY

Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.

  Kamis, 22 Oktober 2015, Pukul 07.30

  • – 09.10

    Direfleksikan oleh Lia Agustina

    http://justliy.blogspot.co.id/2015/10/mengenal-filsafat-lebih-dalam-bagian-2.html

  Semakin lama aku semakin penasaran dengan filsafat, semakin lama semakin tinggi tingkat curiosity ku terhadap satu mata kuliah ini apalagi mata kuliah filsafat ilmu ini yang dibawakan oleh Prof. Marsigit secara unik dan dengan metode yang berbeda dari mata kuliah yang lain. Sekali lagi pada hari ini Kamis, 22 Oktober 2015 diadakan lagi tes jawab singkat yang menimbulkan kekesalan dan penyesalan yang mendalam setelah tes itu, banyak dari kami yang mendapatkan nilai Do Re Mi (1, 2, 3), dan nilai yang memalukan itu kami dapatkan karena ternyata kami belum bisa berpikir secara filsafat seperti Prof. Marsigit. Awal dari ilmu pengetahuan adalah pertanyaan.

  

Aku masih bingung tentang “Bagaimana secara filsafat memandang sebuah pengalaman? Dan

pentingkah pengalama n itu?”.

  Aku ajukan pertanyaan ini terhadap Prof. Marsigit, M.A. Dan seperti inilah jawabannya….

  “Kita kadang memandang hanya dari satu sisi saja karena memang sifat manusia tidaklah sempurna tapi karena ketidaksempurnaan itulah kita bisa merasakan hidup ini, jika kita diberi satu saja kesempurnaan kita langsung saja tidak bisa hidup, misal kita diberi kesempurnaan mendengar, mendengar apapun yang ada dan yang mungkin ada langsung saja kita tidak bisa hidup, kita bisa mendengar siksa neraka misalnya. Itu barulah satu sifat saja, bayangkan manusia yang mempunyai bermilyar-milyar sifat. Maka itulah hebatnya Tuhan memberi ketidaksempurnaan kepada kita untuk hidup. Pengalaman adalah separuh dunia. Separoh yang lain adalah pikiran. Hidup tidak cuckup dunia, tetapi adalah juga akhirat.

  Membangun pengetahuan adalah separuhnya pengalaman dan separuhnya lagi logika. Maka berfilsafat adalah praktikkanlah pikiran anda dan pikirkanlah pengalaman anda. Dan ini dinamik setiap hari. Sebenar benar hidup adalah interaksi antara pikiran dan pengalaman. Karena ini olah pikir maka kita bisa praktik, praktiknya didalam laboratorium yang ada dan yang mungkin ada. Praktiknya filsafat, misalnya dengan bertanya dan memikirkan bagaimana/apakah kita bisa hidup dengan pengalaman saja, dan bagaimana kita hidup dengan pikiran saja.

  Contoh, dokter yang melayani dengan radio. Hanya dengan mendengarkan keluhan pasien, ia bisa mendiagnosa penyakitnya dengan analisis dari pengetahuan yang telah ia miliki sebelumnya. Dokter ini menggunakan metode Analitik Apriori yaitu bisa memikirkan walaupun tidak melihat secara langsung objeknya. Hanya dari pengetahuan yang sebelumnya sudah pernah ia dapatkan. Sebaliknya seorang Dokter Hewan, yang ingin memeriksa seekor Sapi yang sakit, ia harus memeriksanya dan memberikan tindakan secara langsung barulah ia dapat memikirkan penyakit sapi tersebut, maka dokter itu menggunakan metode Sintetik a posteriori (kehidupan pengalaman).

  Jadi, yang diatas, pikiran itu cenderung konsisten, absolut, koheren, analitik a priori, dan berlaku hukum Identitas; jika derajatnya dinaikkan lagi menuju spiritual, dan dinaikkan lagi nilai kebenarannya dan nilai Identitasnya adalah tunggal (monoisme atau kuasa Tuhan). Jika ditarik kebawah, dunia pengalaman cenderung sintetik a posteriori, yaitu dunianya yang nyata, konkret, dan bersifat Kontradiksi. Menurut Immanuel Kant, langit itu konsisten (para dewa terhadap daksa, kakak terhadap adik, dosen terhadap mahasiswa, ketua terhadap anggota, subjek terhadap predikat,

  …dst, semua tidak punya kesalahan). Semakin tinggi semakin kecil kontradiksi, sebenar benar yang tidak ada kontradiksi atau absolute adalah Tuhan.

  Semakin turun semakin besar kontradiksi, maka sebenar benar kontradiksi ada dalam predikatnya atau sifatnya. Sebenar benar ilmu adalah sintetik a priori menurut Immanuel Kant. Ilmu mu akan lengkap dan kokoh jika bersifat sintetik a priori. Contoh seni hanya untuk seni tidak untuk masyarakat maka itu hanyalah separuh dunia dan bersifat analitik a priori; contoh yang lain dari analitik a priori adalah matematika hanya untuk matematika, ilmu hanya untuk ilmu, singkatnya semua ilmu-ilmu murni bersifat analitik a priori. Oleh karena itu timbullah Metode saintifik, mencoba adalah fenomena sintetik, dan menyimpulkan adalah fenomena a priori.

  Sifat pengetahuan yang ada dalam pikiran adalah analitik, ukuran kebenarannya adalah konsisten/koherensi, sedang sifat dari pengetahuan pengalaman adalah sintetik, dan bersifat kontradiksi dan ukuran kebenaran adalah kecocokan/korespondensi. Dengan kontradiksi lah bisa ada produk baru. Yang diatas jika ditarik kebelakang adalah selaras dengn hal-hal yang ada dalam pikiran. Benda pikir itu tidak terhalang oleh ruang dan waktu. Itulah dunia pikiran, bersifat ideal, tetap, menuju kesempurnaan. Maka itu akan tersapu habis untuk semua tokoh filsafat yang berkemistri dengan pikiran mulai dari yang bersifat tetap (Permenides), rasionalisme (Descartes), Perfectionism, Formalisme, dll. Tapi itu adalah dunia transenden, semakin keatas semakin bersifat transenden atau beyond (dunianya para dewa). Engkau adalah transenden bagi adikmu, ketua adalah transenden bagi anggotanya, dan subjek juga transenden bagi para predikat-predikatnya. Maka transenden adalah sifatnya para dewa, dan pengalaman/kenyataan adalah dunianya para daksa. Tapi di dalam kehidupan sehari-hari, kita menjumpai, uniknya, hebatnya, dan bersyukurnya dunia pendidikan itu karena kita mengelola, berjumpa serta berinteraksi dengan anak kecil. Anak kecil adalah dunia bawah, dunia diluar pikiran, dunia konkret, dunia pengalaman. Ilmu bagi anak kecil bukanlah ilmu bagi orang dewasa. Mathematics is for mathematics, art is for art, science is for science,

  …dst itu adalah ilmunya orang dewasa (para dewa). Tapi untuk anak kecil, pameran seni tidak hanya untuk dipandang tapi harus bisa dipegang/disentuh karena itu adalah dunia anak; matematika adalah untuk dicoba atau dikerjakan, maka mengerjakan matematika itu adalah matematikanya anak kecil. Hakekat ilmu bagi anak adalah aktifitas/kegiatan. Orang dewasa jika ingin berinteraksi dengan anak kecil perihal matematika, harus melepas baju dewanya dan mengubah main set untuk memasuki dunia anak-anak. Jika pendidikan ingin berfungsi sebagai pembebas maka pendidik harus melepaskan ego kedewaannya untuk tidak berambisi absolut mengharapkan anak kecil menjadi seperti dirinya.

  Mendidik bukanlah suatu ambisi agar semua murid kita bisa seperti kita. Fungsi guru adalah memfasilitasi anak didiknya. Ada= potensi mengada= ikhtiar pengada= produk. Dunia mengalami dilema (anomaly) karena kekuatan pikir itu adalah hebat, kekuatan pikir memproduksi resep/rumus untuk digunakan, jika dinaikkan bisa menjadi postulat-postulat kehidupan. The power of mind (Francis Bacon) bisa merekayasa pikiran bisa mengkonstruk konsep sebagai resep kehidupan. Dan hasilnya menakjubkan sehingga lahirlah peradaban. Jadi peradaban adalah produk dari the power of mind.”

Ada sebuah pertanyaan lagi yang muncul dari Tyas, yaitu “Bagaimana orang atheis berfilsafat? Bisakah? Seperti apa?”

  Lalu seperti inilah jawaban dari Prof. Marsigit, M.A. Filsafat adalah dirimu sendiri. Tidak usah jauh-jauh sampai Yunani, yang aku sebut tadi yang absolute, yang ideal, yang realis, dst secara mikrokosmis ada atau mengenai diri kita sendiri. Ketika aku berdoa, aku adalah seorang spiritualis, so, my behave is as spiritualist. Tapi, begitu ada pencuri, saya bersikap tegas, determinist, dan otoritarian, so I behave as determinist. Maka demokratik, romantic, pragmatis itu tidak lain tidak bukan adalah dirimu sendiri, inilah yang disebut sebagai Mikrokosmis. Sedangkan makrokosmis adalah pikiran/pendapat para filsuf, ada sejarah dan tanggal lahirnya, dll. Oleh karena filsafat adalah dirimu sendiri maka sah-sah saja jika orang atheis mau berfilsafat.

  Filsafat peduli dengan ruang dan waktu, dan tujuannya adalah memperoleh kebahagiaan melalui olah pikir, oleh karena itu bersifat kontekstual. Supaya hidup berbahagia itu harus berkemistri dengan konteksnya. Strukturnya orang Indonesia jelas yaitu: material, formal, normatik, komandanmu sebelum engkau mengembarakan pikiranmu. Karena jika engkau mengembarakan pikiranmu tanpa menetapkan hatimu/spiritualmu sebagai komandanmu, bisa jadi pikiranmu tidak akan bisa kembali. Itulah fenomena linear (lurus tak kerujung), maka orang yang hanya mengandalkan pikiran saja, hidupnya linear seperti garis lurus, tidak mengerti hidupnya akan berhenti sampai dimana, dan tidak bisa kembali (merefleksikan hidup=bersyukur). Namun jika hidupnya dituntun oleh spiritualitas (interaksi linear dan siklik) maka pada setiap titiknya akan terjadi hermenitika kehidupan: pertama, fenomena menajam (dengan saintifik), fenomena mendatar (membudayakan/istiqomah), dan fenomena mengembang (konstruksi-membangun hidup). Manfaat berfilsafat kita mampu menjelaskan posisi kita secara berstruktur di dunia. Oleh karena itu metode Saintifik (pure science- natureweistessyaften) hanyalah sebagian kecil dari aspek kehidupan berhermenitika (ilmu humaniora-geistesweissenshaften).

  

Ada sebuah pertanyaan lagi yang muncul dari Ian Harum tentang Bagaimana cara filsafat untuk

menjawab suatu pertanyaan.

  Lalu seperti inilah jawaban dari Prof. Marsigit, M.A. Dunia itu berstruktur. Pagi-sore itu struktur dunia, laki-laki-perempuan adalah struktur dunia, logika-pengalaman itu struktur dunia, di sana dan di sini itu struktur dunia, siang

  • –malam itu struktur dunia, dst. Maka secara filsafat kita dapat menemukan lebih dari bermilyar pangkat semilyar struktur dunia. Kita harus bisa mengabstraksi/reduksi (memilih) yang mana struktur yang dipakai untuk membangun duniamu itu. Perkuliahan ini menggunakan struktur pikiran para filsuf yang satu dan yang lainnya. Jadi dunia dan akhirat penuh dengan struktur (full of structure). Jadi, secara filsafat untuk menjawab sebuah pertanyaan, begitu ada pertanyaan di suatu tempat dengan kesadaran full of structure, maka pertanyaanmu itu terang benderang kedudukannya, dilihat dari berbagai macam kedudukan struktur. Misal, wadah itu ada dimana? Tergantung strukturnya, bisa siang bisa malam. Kelembutan, wadahnya perempuan, kesigapan, wadahnya laki-laki, dll. Wadah itu ada dimana-mana, yang engkau pikirkan, katakan, sebutkan itu adalah wadah sekaligus isi. Kenapa isi? Karena setiap yang engkau sebut itu mempunyai sifat dan engkau tidak akan dapat menyebut sesuatu yang tidak mempunyai sifat. Maka sebenar benarnya dunia adalah penuh dengan sifat. Jadi, hidup adalah sifat itu sendiri, dari yang ada dan yang mungkin ada. Tujuan filsafat adalah menyadari struktur dunia. Sedangkan dengan spiritual kita menggenapkan diri menyadari struktur dunia-akhirat.