Di dunia perdagangan pangan dunia

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok,
yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya
memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas,
dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini
telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara.
Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan
restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok,
Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara
Tiongkok dan India.[53]

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu
mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk
menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk
menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam
mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan
pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di
semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam
lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan
angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja.
Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa
Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk

menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan
pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.
[54]

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal
kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi.
Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik
ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa
Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik
yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada
Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai
kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan
dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat
kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan
membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok
disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724
mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam
bahasa Arab).[55]


Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han
dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini.

Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka