BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2015-2025 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi,
pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan budaya sosial. Menurut Hendrik L Blum derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu,
Lingkungan, Prilaku, Pelayanan Kesehatan dan Keturunan. Dari keempat faktor tersebut menurut Blum faktor lingkungan dan perilaku adalah faktor yang paling
besar mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat
1.2
. Penyakit Tubercolusis atau yang sering disebut TB Paru adalah infeksi
menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis.Tuberculosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian mortalitas, angka
kejadian penyakit morbiditas, maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIVAIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya
menjadi komitmen global dalam program MDGs. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1995,
diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB paru di seluruh dunia. Diperkirakan 95 kasus TB dan 98 kematian akibat TB di dunia terjadi
pada negara-negara berkembang dan 75 penderita TB adalah kelompok usia
produktif 15-50 tahun. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas
3
. Di kawasan Asia Tenggara, data World Health Organization WHO
menunjukkan bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 dari kasus TB di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Indonesia menempati
urutan ketiga di dunia setelah India dan China dalam hal jumlah penderita TB paru, sekitar 583 ribu orang dan diperkirakan sekitar 140 ribu orang meninggal dunia tiap
tahun akibat TB Paru
3.4
. Salah satu indikator yang diperlukan dalam pengendalian TB paru adalah
Case Detection Rate CDR, yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan
ada dalam wilayah tersebut. Kementrian Kesehatan menetapkan target CDR minimal pada tahun 2009 sebesar 70, sementara CDR Sumatra Barat pada tahun 2009 baru
48,3, hal ini belum mencapai target yang diharapkan. Dari data Dinkes Propinsi Sumatera Barat pada tahun 2008 kasus TB paru sebanyak 3.678 dan pada tahun
2009 sebanyak 3.732 orang
5.6
. Kota Solok merupakan daerah tingkat dua yang berada di Propinsi Sumatera
Barat, dilihat dari posisi geografis dari Kota Solok sangat potensial menjadi tempat berkembangnya penyakit menular termasuk juga penyakit TB Paru. Hal ini
dikarenakan Kota Solok berada di jalur Lintas Sumatera yang sangat padat dan tinggi mobilitas penduduknya, sehingga masuk dan keluarnya penyakit tidak terdeteksi
dengan baik. Jumlah penduduk Kota Solok tahun 2010 adalah sekitar 59.396 orang. Angka CDR atau penemuan kasus BTA + di Kota Solok tahun 2009 adalah sebesar
32,9 yaitu 29 orang, dan pada tahun 2010 sebesar 51 atau 47 orang. Dalam dua
tahun terakhir terjadi peningkatan kasus hal ini membuktikan bahwa perkembangan TB Paru di Kota Solok terus meningkat dan harus diwaspadai
7
. Berdasarkan penelitian kasus kontak yang dilakukan Chandra Wibowo dan
kawan-kawan di Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Manado, terdapatnya dalam sputum sumber kontak BTA + secara bermakna akan meningkatkan resiko terjadinya
TB Paru 36,5 kali lebih besar dibandingkan kontak dengan sumber yang tidak mengandung BTA+. Dalam penelitian tersebut terdapat faktor resiko yang paling
berperan terhadap kejadian TB Paru pada kasus kontak adalah usia, jenis kelamin, status gizi, status ekonomi, kondisi sanitasi rumah, perilaku, dan pekerjaan. Beberapa
hal yang dapat mendorong perubahan perilaku yaitu pengetahuan Knowledge, sikap Atitude dan tindakan Practice. Begitu juga dengan Kondisi sanitasi rumah
beberapa faktor yang mempengaruhi adalah terdiri dari kepadatan hunian, jenis lantai, ventilasi, dan kelembaban
8.1
. Dari semua faktor resiko diatas tidak semuanya yang berpengaruh terhadap
penyakit TB Paru di Kota Solok. Hal ini dapat kita lihat dari status gizi masyarakat Kota Solok yang masih cukup baik dari standar gizi buruk yang ditetapkan WHO
yaitu 10 dari jumlah balita, sedangkan Kota Solok masih jauh dibawahnya yaitu 0.6 atau 28 orang balita dari total 4889 orang balita. Untuk Kondisi Sanitasi dapat
dilihat dari data kunjungan lapangan Klinik Sanitasi, dari total kunjungan pasien TB yang dirujuk ke Klinik Sanitasi ada sekitar 21 kasus yang di kunjungi langsung
kelapangan untuk mengecek kondisi sanitasi rumah pendertita TB Paru. Dari 21 kunjungan tersebut ada 12 rumah yang kondisi sanitasinya kurang baik atau sekitar
57 dari total kunjungan kerumah pasien TB Paru. Dari data tersebut terlihat faktor resiko kondisi sanitasi sangat berpengaruh pada penyakit TB Paru
7
.
Berdasarkan survei awal yang peneliti lakukan terhadap 10 penderita TB Paru yang di observasi dan di wawancara dilapangan, terdapat 6 atau 60
diantaranya memiliki kondisi sanitasi rumah yang kurang baik. Sedangkan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan tentang TB Paru masih rendah yaitu 7 orang atau
70 dari 10 penderita berperilaku kurang sehat. Dari status ekonomi 5 orang dikategorikan keluarga miskin dan 5 orang non keluarga miskin.
Dari uraian dan tren perkembangan penyakit TB Paru yang terjadi di Kota Solok, maka peneliti ingin melihat hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah
dengan kejadian TB Paru di Kota Solok tahun 2011.
1.2 Rumusan Masalah