Hubungan Karakteristik Individu, Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, SANITASI LINGKUNGAN RUMAH, DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN TB PARU

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PADANGMATINGGI KOTA PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2014

Skripsi

Oleh

NURMALA SYARI LUBIS NIM.121021065

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, SANITASI LINGKUNGAN RUMAH, DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN TB PARU

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PADANGMATINGGI KOTA PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NURMALA SYARI LUBIS NIM.121021065

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU

SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DAN

PERILAKU TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PADANG

MATINGGI KOTA PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : NURMALA SYARI LUBIS

Nomor Induk Mahasiswa : 121021065

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Peminatan : Kesehatan Lingkungan

Tanggal Lulus : 28 Januari 2015

Disahkan Oleh : Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Surya Dharma, MPH Dr.dr. Wirsal Hasan, MPH

NIP. 195804041987021001 NIP. 194911191987011001


(4)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.

Jenis penelitian yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan sampel terdiri dari 49 sampel kasus, yaitu responden penderita TB Paru yang tercatat dalam buku register TB Paru, dan 49 sampel kontrol yaitu responden yang merupakan tetangga dari penderita TB Paru yang matching dengan kasus dalam hal umur dan jenis kelamin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penghasilan keluarga, status gizi responden, ventilasi rumah dan pencahayaan alami rumah. Hasil uji chi-square menunjukkan variabel penghasilan keluarga (p=0,001 OR=5,339), status gizi responden (p=0,001 OR=13,473), ventilasi rumah (p=0,001 OR=0,105), pencahayaan alami rumah (p=0,001 OR=0,192).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara penghasilan keluarga, status gizi responden, ventilasi rumah, dan pencahayaan alami rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan. Disarankan bagi petugas Puskesmas Padangmatinggi untuk meningkatkan upaya promosi kesehatan khususnya tentang gizi dan sanitasi lingkungan rumah dan melakukan pemantauan fisik rumah secara berkala untuk mencegah penularan serumah terhadap kejadian TB paru.

Kata Kunci : TB paru, Karakteristik individu, Sanitasi lingkungan rumah, Perilaku


(5)

ABSTRACT

Tuberculosis is a transmitted infectious disease caused by Mycobacterium Tuberculosis. In most cases, TB attacks the lungs; however, it also attacks organs. TB infection spread through the air, such as through droplet inhalation which contains bacil tubercle microbes derived from infectious person.

This study purpose is to analyze relationship among individual characteristic, home environmental sanitation and behavior in the incidence of pulmonary TB at Padangmatinggi health center working area in Padangsidimpuan city 2014.

Types the research used is case control design with samples consist of 49 samples of case, who suffered from pulmonary TB written in pulmonary TB book register and 49 samples control the respondent constituted the neighbours of the pulmonary TB sufferer with the matching by the case in terms of age and gender. The result of this research shows significant relationship among family income, respondent nutritional status, home ventilation and home natural exposure. Based on chi-square test it is known family income (p=0,001 OR=5,339), respondent nutritional status (p=0,001 OR=13,473), home ventilation (p=0,001 OR=0,105), home natural exposure (p=0,001 OR=0.192).

The conclusion of this research is that there is relationship among family income, respondent nutritional status, home ventilation and home natural exposure with pulmonary TB incidence in Padangmatinggi health center working area at Padangsidimpuan city. It is recommended that Padangmatinggi health center employe improve health promotion effort, specially about nutrition and home environment sanitation as well as home sanitation monitoring to prevent transmission of pulmonary TB at home.

Keywords : Pulmonary TB, individual characteristics, home environmental sanitation, behavior


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nurmala Syari Lubis

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 28 Oktober 1990 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah Anak ke : 1 dari 3 bersaudara

Alamat Rumah : Jl. ST.Batang Ari Harahap Gg. H.Oloan Kelurahan Padangmatinggi Kecamatan

Padangsidimpuan Selatan, Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera Utara

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Tahun 1996-2002 : SD Negeri 2 Padangsidimpuan 2. Tahun 2002-2005 : SMP Negeri 5 Padangsidimpuan 3. Tahun 2005-2008 : SMA Negeri 3 Padangsidimpuan 4. Tahun 2008-2011 : D3 Keperawatan USU

5. Tahun 2012-2014 : Fakultas Kesehatan Massyarakat Universitas Sumatera Utara


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Hubungan Karakteristik Individu, Sanitasi Lingkungan Rumah dan Perilaku terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014”.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bimbingan, bantuan, dan dukungan dari beberapa pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, serta Dosen Penguji II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak dr. Surya Dharma, MPH, sebagai Pembimbing I yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu membimbing dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Dr.dr. Wirsal Hasan, MPH, sebagai Pembimbing II yang telah banyak

membantu dan meluangkan waktu membimbing dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Prof.Dr.Dra. Irnawati Marsaulina, MS, sebagai Penguji I yang telah

memberikan bimbingan, saran, serta masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.


(8)

6. Ibu dr. Rusmalawaty, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Seluruh Dosen serta Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, khususnya Dosen dan Staf Departemen Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

8. Ibu dr.Pajariah selaku Kepala Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan beserta staf yang telah membantu dan memberi izin melakukan penelitian.

9. Kepeda Kesbangpol, Dinas Kesehatan, Lurah yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan yang telah memberikan bahan sebagai referensi dan izin untuk melakukan penelitian.

10. Teristimewa untuk orang tuaku tercinta, Ayahanda “Mahlil Lubis” dan Ibunda “Yetti Arnila” yang telah memberikan dukungan, doa, dan segalanya kepada penulis. Kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis tidak akan pernah tergantikan dan terlupakan.

11. Buat adik-adikku tersayang “Armi Avriyanti Lubis” dan Arni Ariyanti Lubis” yang memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Buat “ Rachmat Saleh Hasibuan “ yang telah memberikan dukungan dan doa. 13. Buat sahabat-sahabatku “ Destari umairo siregar, Devi eni pohan, Marlina sari,

Rizki sarjani, Mira, Kak Nur, Nisa, Fitri, dan semua teman-teman FKM yang selalu memberikan semangat dan senantiasa mendoakan penulis.


(9)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2015 Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan. ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Riwayat Hidup Penulis ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Lampiran ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... .... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUANPUSTAKA ... 8

2.1 Tuberkulosis Paru ... 8

2.1.1 Definisi ... 8

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis ... 8

2.1.3 Gejala Tuberkulosis ... 9

2.1.4 Cara Penularan ... 10

2.1.5 Penemuan Pasien Tuberkulosis ... 11

2.1.6 Pemeriksaan Tuberkulosis Paru ... 12

2.1.7 Upaya Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Tuberkulosis ... 14

2.2 Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru ... 16

2.2.1 Umur ... 16

2.2.2 Jenis Kelamin ... 17

2.2.3 Status Gizi ... 17

2.2.4 Status Ekonomi ... 19

2.2.5 Pekerjaan ... 20

2.2.6 Status Imunisasi BCG ... 21

2.3 Pengaruh Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru ... 21

2.3.1 Rumah Sehat ... 21


(11)

2.3.3 Kepadatan Hunian ... 24

2.3.4 Lantai Rumah ... 25

2.3.6 Ventilasi ... 26

2.3.7 Pencahayaan ... 27

2.4 Pengaruh Perilaku terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru ... 29

2.4.1 Pengetahuan (knowledge) ... 31

2.4.2 Sikap (attitude) ... 33

2.4.3 Praktik atau Tindakan (practice) ... 35

2.5 Kerangka Konsep ... 36

2.6 Hipotesis Penelitian ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian……… 38

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 38

3.2.2 Waktu Penelitian ... 38

3.3 Populasi dan Sampel... 38

3.3.1 Populasi... 38

3.3.2 Sampel ... 39

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.4.1 Data Primer ... 41

3.4.2 Data Sekunder ... 41

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 41

3.5.1 Variabel Penelitian ... 41

3.5.2 Definisi Operasional ... 42

3.6 Metode Pengukuran ... 43

3.6.1 Pengukuran Pengetahuan ... 43

3.6.2 Pengukuran Sikap ... 44

3.6.3 Pengukuran Tindakan ... 44

3.6.4 Pengukuran Sanitasi Lingkungan Rumah ... 45

3.6.5 Pengukuran Karakteristik Individu ... 47

3.7 Metode Pengolahan Data dan Analisa Data ... 48

3.7.1 Pengolahan Data ... 48

3.7.2 Analisa Data ... 48

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 49

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 49

4.2 Analisis Univariat ... 50

4.2.1 Karakteristik Responden ... 50

4.2.1.1 Jenis Kelamin ... 50

4.2.1.2 Kelompok Umur ... 51

4.2.1.3 Penghasilan Keluarga ... 52

4.2.1.4 Pekerjaan Responden ... 53

4.2.1.5 Status Gizi Responden ... 53


(12)

4.2.2.1 Pengetahuan Responden ... 54

4.2.2.2 Sikap Responden ... 57

4.2.2.3 Tindakan Responden ... 60

4.2.3 Kondisi Lingkungan Rumah Responden ... 63

4.2.3.1 Kepadatan Hunian Kamar Tidur ... 63

4.2.3.2 Ventilasi Rumah Responden ... 64

4.2.3.3 Lantai Rumah Responden ... 65

4.2.3.4 Pencahayaan Alami Rumah ... 66

4.3 Analisis Bivariat ... 67

4.3.1 Hasil Analisa Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 ... 67

BAB 5. PEMBAHASAN ... 72

5.1 Karakteristik Responden ... 72

5.2 Hubungan Penghasilan Keluarga dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 75

5.3 Hubungan Status Gizi Responden dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 77

5.4 Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 79

5.5 Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 80

5.6 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 81

5.7 Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 84

5.8 Hubungan Pencahayaan Alami Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 86

5.9 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 89

5.10 Hubungan Sikap dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 91

5.11 Hubungan Tindakan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan ... 92

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

6.1 Kesimpulan ... 95

6.2 Saran ... 95 DAFTAR PUSTAKA


(13)

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Masa Tubuh (IMT) untuk Indonesia

Tabel 4.1. Distribusi Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Tahun 2013

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Wilayah Kerja

Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan Keluarga di Wilayah

Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Tabel 4.7. Distribusi Pengetahuan Responden tentang Tuberkulosis Paru

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan terhadap Kejadian TB Paru dan Sanitasi Lingkungan Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.9 Distribusi sikap responden tentang Tuberkulosis Paru

Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap tentang Kejadian TB Paru Sanitasi Lingkungan Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.11 Distribusi tindakan responden tentang Tuberkulosis Paru

Tabel 4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Responden tentang Kejadian TB Paru dan Sanitasi Lingkungan Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 Tabel 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014


(14)

Tabel 4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Ventilasi Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Lantai Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.16. Distribusi Responden Berdasarkan Pencahayaan Alami Rumah Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

Tabel 4.17. Hasil Analisa Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Lampiran 2. Master Data

Lampiran 3. Print Out data SPSS Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

Lampiran 5. Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 6. Surat Telah Selesai Penelitian dari Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan


(16)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.

Jenis penelitian yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan sampel terdiri dari 49 sampel kasus, yaitu responden penderita TB Paru yang tercatat dalam buku register TB Paru, dan 49 sampel kontrol yaitu responden yang merupakan tetangga dari penderita TB Paru yang matching dengan kasus dalam hal umur dan jenis kelamin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penghasilan keluarga, status gizi responden, ventilasi rumah dan pencahayaan alami rumah. Hasil uji chi-square menunjukkan variabel penghasilan keluarga (p=0,001 OR=5,339), status gizi responden (p=0,001 OR=13,473), ventilasi rumah (p=0,001 OR=0,105), pencahayaan alami rumah (p=0,001 OR=0,192).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara penghasilan keluarga, status gizi responden, ventilasi rumah, dan pencahayaan alami rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan. Disarankan bagi petugas Puskesmas Padangmatinggi untuk meningkatkan upaya promosi kesehatan khususnya tentang gizi dan sanitasi lingkungan rumah dan melakukan pemantauan fisik rumah secara berkala untuk mencegah penularan serumah terhadap kejadian TB paru.

Kata Kunci : TB paru, Karakteristik individu, Sanitasi lingkungan rumah, Perilaku


(17)

ABSTRACT

Tuberculosis is a transmitted infectious disease caused by Mycobacterium Tuberculosis. In most cases, TB attacks the lungs; however, it also attacks organs. TB infection spread through the air, such as through droplet inhalation which contains bacil tubercle microbes derived from infectious person.

This study purpose is to analyze relationship among individual characteristic, home environmental sanitation and behavior in the incidence of pulmonary TB at Padangmatinggi health center working area in Padangsidimpuan city 2014.

Types the research used is case control design with samples consist of 49 samples of case, who suffered from pulmonary TB written in pulmonary TB book register and 49 samples control the respondent constituted the neighbours of the pulmonary TB sufferer with the matching by the case in terms of age and gender. The result of this research shows significant relationship among family income, respondent nutritional status, home ventilation and home natural exposure. Based on chi-square test it is known family income (p=0,001 OR=5,339), respondent nutritional status (p=0,001 OR=13,473), home ventilation (p=0,001 OR=0,105), home natural exposure (p=0,001 OR=0.192).

The conclusion of this research is that there is relationship among family income, respondent nutritional status, home ventilation and home natural exposure with pulmonary TB incidence in Padangmatinggi health center working area at Padangsidimpuan city. It is recommended that Padangmatinggi health center employe improve health promotion effort, specially about nutrition and home environment sanitation as well as home sanitation monitoring to prevent transmission of pulmonary TB at home.

Keywords : Pulmonary TB, individual characteristics, home environmental sanitation, behavior


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

bersifat tahan asam dan berbentuk batang aerobik yang merupakan organisme patogen maupun saprofit dan berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil dari pada sel darah merah. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tempat masuknya kuman ini melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman – kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Price dan Standridge, 2006).

Tuberkulosis menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Setiap tahun terdapat 8 juta penderita TB baru, dan akan ada 3 juta meninggal setiap tahunnya. Di Negara maju diperkirakan hanya 10 hingga 20 kasus baru tuberkulosis di antara 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian hanya berkisar antara 1 hingga 5 kematian per 100.000 penduduk. Sementara di Afrika diperkirakan mencapai 165 orang di antara 100.000 penduduk, dan di Asia 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk. Penduduk Asia lebih besar dibanding Afrika, sehingga jumlah absolut yang terkena TB paru di Benua Asia 3,7 kali lebih banyak dari pada Afrika (Achmadi, 2010).

Menurut WHO dalam kutipan Kunoli (2013), kasus TB Paru diperkirakan sebanyak 9 juta pertahun diseluruh dunia pada tahun 1999, dengan jumlah kematian


(19)

sebanyak 3 juta orang pertahun dari seluruh kematian tersebut dan 25% terjadi di negara berkembang. Sebanyak 75% dari penderita tersebut berusia 15-50 tahun (usia produktif).

Menurut Depkes RI (2012), kasus BTA+ pada laki-laki hampir 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada wanita. Sebesar 59,4% kasus BTA+ yang ditemukan berjenis kelamin laki-laki dan 40,6% kasus berjenis kelamin perempuan. Kasus TB Paru juga ditemukan paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,72% diikuti kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,38% dan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,26%. Sedangkan kasus TB Paru untuk kelompok umur 0-14 tahun merupakan proporsi yang paling rendah.

Tuberkulosis Paru juga merupakan salah satu emerging diseases. Indonesia termasuk ke dalam kelompok high burden countries, menempati urutan ketiga setelah India dan China berdasarkan laporan WHO tahun 2009 (Profil Kesehatan Indonesia, 2011). Di Indonesia meningkatnya infeksi HIV/AIDS maka penderita TB paru cenderung meningkat pula. Diperkirakan setiap tahun terdapat 500.000 kasus baru TB paru, yaitu sekitar 200.000 penderita terdapat disekitar puskesmas, sedangkan 200.000 ditemukan pada pelayanan rumah sakit atau klinik pemerintah dan swasta serta sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2011).

Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis paru antara lain kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat (seperti pada negara-negara yang sedang berkembang), kegagalan program TB yang diakibatkan oleh tidak memadainya tatalaksana kasus dan salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas


(20)

BCG, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan, serta dampak pandemi HIV (Depkes RI, 2011).

Penyakit tuberkulosis juga dapat berkembang jika memburuknya kondisi sosial ekonomi. Dimana keadaan ini mengarah pada perumahan yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini juga dapat menurunkan daya tahan tubuh dan memudahkan terjadinya infeksi (Achmadi, 2012). Menurut Tobing (2008), kondisi lingkungan terutama kondisi rumah juga memiliki peranan dalam penyebaran bakteri TB paru ke orang yang sehat. Bakteri TB paru yang terdapat di udara saat penderita TB paru bersin akan dapat bertahan hidup lebih lama jika keadaan udara lembab dan kurang cahaya. Penyebaran bakteri TB paru akan lebih cepat menyerang orang sehat jika berada dalam rumah yang lembab, kurang cahaya dan padat hunian.

Mikobakterium sangat sensitif terhadap sinar matahari. Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu, ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TB paru berbasis keluarga atau wilayah. Genteng kaca juga dipercaya dapat membantu masuknya sinar matahari ke dalam kamar dan mengeliminasi kuman – kuman atau bakteri yang berada di lantai atau tempat tidur (Achmadi, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Manullang (2011), tentang hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap kejadian tuberkulosis paru didapatkan bahwa, ventilasi ruangan rumah, sirkulasi udara dan cahaya matahari yang masuk kedalam rumah yang buruk dipengaruhi tindakan dan sikap masyarakat akibat pengetahuan yang kurang, pendidikan yang rendah juga dipengaruhi oleh pendapatan yang rendah.


(21)

Penelitian yang dilakukan oleh Ghea (2011), tentang hubungan perilaku penderita TB Paru dan kondisi rumah terhadap tindakan pencegahan potensi penularan TB Paru pada keluarga memperlihatkan bahwa dari lima variabel independen, empat variabel yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan tindakan pencegahan TB Paru yaitu : Pengetahuan, sikap, ventilasi, pencahayaan. Pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan tindakan pencegahan potensi penularan TB Paru pada keluarga mempunyai nilai p value paling kecil yaitu, p = 0,000.

Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (2004) dalam kutipan Achmadi (2010), menunjukkan bahwa prevalensi TB Paru berdasarkan pemeriksaan mikroskopik BTA Positif sebesar 104 per 100.000 dengan batas bawah 66 dan batas atas 142 pada selang kepercayaan 95%. Perbedaan yang bermakna ditemukan antara kawasan Jawa Bali yakni 59 per 100.000 dengan luar Jawa Bali 174 per 100.000. kawasan luar Jawa Bali memberikan angka yang lebih tinggi yaitu 189 per 100.000 dibanding Sumatera sebesar 160 per 100.000.

Hasil pendataan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara selama Tahun 2012, tercatat 82,57 persen penderita TB Paru BTA Positif di Sumatera Utara atau sebanyak 17.459 kasus. Angka penemuan kasus TB Paru BTA (+) di kota Padangsidimpuan pada tahun 2011 sebesar 291 kasus, tahun 2012 sebesar 308 dan pada tahun 2013 sebesar 352. Hal ini menunjukkan setiap tahun angka kejadian TB Paru di kota Padangsidimpuan mengalami peningkatan (Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan, 2013).


(22)

Wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan penderita TB Paru meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2010 jumlah penderita TB Paru sebanyak 106 orang, pada tahun 2011 jumlah penderita TB Paru sebanyak 131 orang, pada tahun 2012 jumlah penderita TB Paru sebanyak 121 orang dan pada tahun 2013 penderita TB Paru sebanyak 135 orang (Data Puskesmas Padangmatinggi, 2013).

Berdasarkan survei awal yang peneliti lakukan pada tanggal 6 sampai 9 Oktober 2014 terhadap 10 penderita TB Paru yang di observasi dan di wawancara dilapangan, ada 5 orang penderita TB Paru Positif saat bersin dan batuk tidak menutup mulutnya baik dengan kertas tissue, lap tangan ataupun dengan tangan dan membuang ludah atau dahak di sembarangan tempat. Dari hasil wawancara peneliti juga dapatkan jawaban terdapat 6 atau 60% diantaranya memiliki kondisi sanitasi rumah yang kurang baik. Sedangkan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan tentang TB Paru masih rendah yaitu 5 orang atau 50% dari 10 penderita berperilaku kurang sehat.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan tahun 2014”.

1.2 Rumusan Masalah

Diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya penyakit TB Paru adalah kondisi lingkungan yang kurang baik, kurangnya tindakan masyarakat dalam pencegahan TB paru yang dikerenakan pengetahuan masyarakat yang kurang, sehingga penyakit TB paru meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan


(23)

penelitian-penelitian terdahulu diduga ada hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan tahun 2014 “

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan tahun 2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sosial ekonomi penderita TB Paru yang berkunjung di Puskesmas Padangmatinggi

b. Mendeskripsikan karakteristik lingkungan meliputi kepadatan hunian, ventilasi lantai dan pencahayaan dari penderita TB Paru yang berkunjung di Puskesmas Padangmatinggi

c. Mendeskripsikan perilaku individu yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan penderita TB Paru yang berkunjung ke Puskesmas Padangmatinggi d. Mengetahui angka kejadian TB paru yang berkunjung di Puskesmas

Padangmatinggi

e. Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan kejadian TB paru yang berkunjung di Puskesmas Padangmatinggi

f. Menganalisis hubungan lingkungan dengan kejadian TB paru yang berkunjung di Puskesmas Padangmatinggi.


(24)

g. Menganalisis hubungan perilaku individu dengan kejadian TB Paru yang berkunjung di Puskesmas Padangmatinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Bagi Puskesmas Padangmatinggi, sebagai informasi mengenai masalah yang berkaitan dengan hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan.

b. Bagi penderita, sebagai acuan dalam rangka meningkatkan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru.

c. Secara teoritis dapat mendukung pengembangan ilmu pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku, serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk pengembangan ilmu kesehatan khususnya tentang TB Paru.

d. Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya baik dengan variabel yang sama maupun berbeda serta tempat yang berbeda pula.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah. Sebagian besar basil mikobakterium tuberkulosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airborne infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon (Alsagaff dan Mukty, 2005).

Menurut Wolinsky (1985), Tuberkulosis adalah suatu pernyakit infeksius yang kronik yang disebabkan oleh mikobakteria dari tuberkulosis yang kompleks yang disebut dengan mikobakterium tuberkulosis. Sedangkan menurut Price dan Standridge (2006), tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis.

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis

Tuberkulosis disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Basil Tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37º C dengan tingkat PH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah diri satu sampai dua (generation time) kuman membutuhkan waktu 14 – 20 jam (Aditama, 2002).

Dinding kuman tuberkulosis terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan


(26)

terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Tekanan oksigen pada bagian apikal paru – paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Amin dan Bahar, 2010).

2.1.3 Gejala Tuberkulosis

Gejala klinis penyakit tuberkulosis paru menurut Amin dan Bahar (2010), adalah:

a. Batuk/ Batuk Darah

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

b. Demam

Biasanya menyerupai demam influenza. Tetapi terkadang panas badan dapat mencapai 40-41º C. Sering kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari. Panas badan meningkat atau menjadi lebih tinggi bila proses berkembang menjadi progresif sehingga penderita merasakan badannya hangat atau muka terasa panas. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pesien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.


(27)

c. Sesak napas

Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru – paru.

d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung scapula atau di tempat – tempat lainnya). Hal ini terjadi karena gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.

e. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

2.1.4 Cara Penularan

Cara penularan dari TB Paru adalah melalui inhalasi dari droplet segar atau debu dari sputum yang kering yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kasus TB Paru. Hal tersebut akan diketahui dalam waktu yang lama setelah infeksi tuberkulosis bermanifestasi didalam tubuh penderita (Walter, J.B., 1982). Menurut Crofton (2002), Penderita TB Paru saat batuk akan mengeluarkan sejumlah percikan ludah yang tersembur ke udara dimana percikan ludah tersebut mengandung kuman tuberkulosis. Percikan ludah akan terbawa dengan aliran udara, jika ventilasi di dalam


(28)

ruangan baik. Namun jika di dalam ruangan yang tertutup, di dalam gubuk atau di dalam ruangan sempit maka percikan ludah tersebut melayang di udara dan akan bertambah jumlahnya setiap kali orang tersebut batuk. Orang yang berada di ruangan yang sama dengan orang yang batuk tersebut dan menghirup udara yang sama akan berisiko menghirup kuman tuberculosis.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien Tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), dan merupakan faktor resiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2011).

2.1.5 Penemuan Pasien Tuberkulosis

Menurut Depkes RI (2011), penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan tuberkulosis. Penemuan dan penyembuhan pasien tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis, penularan tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.

Penemuan kasus baru bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap aspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnose dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan


(29)

penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien (Depkes RI, 2011).

Pasien tuberkulosis yang sakit dengan dahak positif akan mengunjungi suatu tempat pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, poliklinik, atau dokter praktik), tetapi akan terdiagnosis hanya bila dahaknya diperiksa terhadap TB secara rutin. Hal ini merupakan penemuan kasus secara pasif. Penemuan kasus secara aktif yaitu dengan mengunjungi rumah-rumah penduduk dan meminta dahak untuk diperiksa (Crofton, 2002).

2.1.6 Pemeriksaan Tuberkulosis Paru a. Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah

Pemeriksaan darah tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk menyokong diagnosa tuberkulosis paru, karena hasil pemeriksaan darah tidak menunjukkan gambaran yang khas. Gambaran darah terkadang dapat membantu menentukan aktivitas penyakit (Alsagaff dan Mukty, 2005).

2. Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosa tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Pemeriksaan mikroskopi dahak dapat membantu menemukan etiologi. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu


(30)

sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum (Amin dan Bahar, 2010).

3. Tes Tuberkulin

Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan guna menunjukkan reaksi imunitas seluler yang timbul setelah 4-6 minggu penderita mengalami infeksi pertama dengan basil tuberkulosis (Alsagaff dan Mukty, 2005).

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U (Intermediate strength). Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.tuberculosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya (Amin dan Bahar, 2010). Menurut Price dan Standridge (2006), bila derivate protein tuberkulin yang telah dimurnikan (PPD) disuntikkan ke dalam kulit individu yang limfositnya sensitif terhadap tuberkuloprotein maka limfosit yang sensitif akan mengadakan reaksi dengan ekstrak tersebut dan menarik magrofak ke daerah tersebut

b. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial) (Amin dan Bahar, 2010). Menurut CDC (2000a) dalam


(31)

kutipan Price dan Standridge (2006), pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat. Ketidaknormalan apa pun pada foto dada seseorang yang positif HIV dapat mengindikasikan adanya penyakit tuberkulosis.

2.1.7 Upaya Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru Program pencegahan dan pemberantasan penyakit bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan dari penyakit menular dan mencegah penyebaran serta mengurangi dampak sosial akibat penyakit sehingga tidak menjadi masalah kesehatan (Entjang, 2000).

Menurut Alsagaff dam Mukty (2005), pencegahan infeksi TB paru meliputi : a. Pencegahan terhadap infeksi TB paru yaitu pencegahan terhadap sputum yang

infeksius dengan cara melakukan foto toraks dan uji tuberkulin secara mantoux, melakukan isolasi penderita dan mengobati penderita serta ventilasi harus baik dan juga kepadatan penduduk dikurangi.

b. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara memperbaiki standar hidup dengan makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna, lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup, usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur dan meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.


(32)

Menurut Entjang (2000), keberhasilan usaha pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada :

a. Keadaan sosial ekonomi masyarakat.

Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.

b. Kesadaran berobat si penderita.

Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.

c. Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang penyakit Tuberkulosis.

Tujuan program pemberantasan tuberkulosis di Indonesia adalah memutuskan mata rantai penularan tuberkulosis sampai pada prevalensi yang tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Menurut Depkes RI (2011), Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.


(33)

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 2.2 Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru

Beberapa karakteristik individu yang dapat menjadi faktor risiko terhadap kejadian penyakit TB paru adalah umur, jenis kelamin, status gizi, status ekonomi keluarga, pekerjaan, status imunisasi BCG.

2.2.1 Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Dari hasil penelitian yang di laksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai umur. Prevalensi TB paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002). 2.2.2 Jenis Kelamin

Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita TB Paru adalah wanita. Diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor resiko yang masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah, sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen (Achmadi, 2010).

Tuberkulosis menyerang perempuan lebih banyak daripada semua kasus kematian ibu akibat kehamilan dan persalinan. Tuberkulosis juga menyerang sekitar


(34)

satu juta perempuan per tahun lebih banyak daripada penyakit-penyakit infeksi manapun, dan lebih dari seperempat juta di antara mereka masih produktif secara ekonomi (Aditama, 2002).

2.2.3 Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB Paru. Kuman TB Paru merupakan kuman yang suka “tidur” hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk “bangun” dan menimbulkan penyakit, maka timbullah kejadian penyakit TB Paru. Oleh sebab itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik (Achmadi, 2010).

Terdapat hubungan timbal balik antara kekurangan gizi dan morbiditas penyakit infeksi yaitu kekurangan gizi yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh seperti protein dan zat besi, menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi (Dahlan, 2001).

Di Indonesia khususnya, cara pemantauan dan batasan berat badan normal orang dewasa belum jelas mengacu pada patokan tertentu. Sejak tahun 1985 berdasarkan laporan FAO/WHO/UNU bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Indeks (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Supariasa, 2002).


(35)

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: Berat badan (kg)

IMT =

Tinggi badan (m) x Tinggi Badan (m)

Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Masa Tubuh (IMT) untuk Indonesia

Kategori Keterangan IMT

Kurus

Kekurangan berat badan tingkat berat <17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,5

Normal >18,5 – 25,0

Gemuk

Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0 – 27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0

Sumber : Depkes RI, 1994

Hasil penelitian Supriyo (2011), tentang pengaruh perilaku dan status gizi terhadap kejadian TB paru di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa seseorang dengan status gizi kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian tuberkulosis paru sebanyak 7,583 kali lebih besar dibanding dengan status gizi baik (OR = 7,583).

Hasil penelitian Rukmini (2010), tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian tb paru dewasa di indonesia bahwa terdapat hubungan kejadian TB paru dengan status gizi (p = 0,003), yaitu orang yang gizi kurang/buruk mempunyai risiko terkena TB 2,184 kali lebih besar dibandingkan dengan yang gizi baik, bermakna secara statistik (95% CI = 1,315–3,629).


(36)

2.2.4 Status Ekonomi

Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya bakteri mycobacterium tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan perkapita. Sejalan dengan kenyataan bahwa pada umumnya yang terserang penyakit TB Paru adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (Tjiptoherijanto, 2008). Menurut WHO (2003) dalam kutipan Achmadi (2010), menyebutkan 90% penderita TB paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial-ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB paru bersifat timbal balik, TB paru merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB paru.

Pendapatan adalah tingkat penghasilan penduduk, semakin tinggi penghasilan semakin tinggi pula persentase pengeluaran yang dibelanjakan untuk barang, makanan, juga semakin tinggi penghasilan keluarga semakin baik pula status gizi masyarakat (BPS, 2006)

Hasil penelitian Kurniasari (2011), tentang faktor resiko kejadian tuberkulosis paru di Kecamatan Baturento Kabupaten Wonogiri menunjukkan bahwa status ekonomi yang kurang menyebabkan mereka tidak memiliki kemampuan untuk membuat rumah yang sehat atau memenuhi syarat, kurangnya pengetahuan untuk mendapatkan informasi kesehatan, kurangnya mendapat jangkauan pelayanan kesehatan dan kurangnya pemenuhan gizi yang berakibat pada daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah untuk terkena infeksi (OR = 74,7).


(37)

2.2.5 Pekerjaan

Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Pekerjaan bisa mempengaruhi seseorang terserang penyakit atau tidak. Seseorang yang bekerja terlalu padat dapat lupa dengan jadwal minum obatnya. Selain itu seseorang yang bekerja pada lingkungan yang mengandung banyak debu, polusi asap, akan mempengaruhi waktu yang dibutuhkan dalam penyembuhan penyakit TB (Notoatmodjo,2003)

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru (Corwin, 2009).

Hasil penelitian Supriyo (2011), tentang pengaruh perilaku dan status gizi terhadap kejadian TB paru di Kota Pekalongan menunjukan bahwa berdasarkan jenis pekerjaan, proporsi jenis pekerjaan responden paling banyak adalah buruh batik sebanyak 49 orang terdiri dari kasus 28 orang (40 %) dan kontrol 21 orang (30%), sedangkan pada kelompok kasus yang paling banyak adalah buruh batik yaitu 28 orang (40%) dan pada kelompok kontrol adalah buruh batik juga yaitu 21 orang (30%).


(38)

2.2.6 Status imunisasi BCG

Imunisasi BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil yang hidup yang telah dilemahkan atau dihilangkan virulensinya, Basil ini berasal dari suatu strain tuberkulosis bovin yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam laboratorium. Vaksin BCG merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. basil tuberkulosis dapat memasuki tubuh akan tetapi pada kebanyakan kasus daya pertahanan tubuh yang meningkat akan mengendalikan dan membunuh kuman-kuman tersebut (Crofton, 2002 ).

2.3 Pengaruh Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru

2.3.1 Rumah Sehat

Menurut UU No.4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (Sarudji, 2010). Rumah sehat adalah rumah idaman. Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi di dalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Oleh karena itu rumah haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya dapat berkarya untuk meningkatkan produktivitas (Syafrudin, Damayani & Delmaifanis, 2011).

Menurut Rumah sehat adalah sebuah rumah yang dekat dengan air bersih, berjarak lebih dari 100 meter dari tempat pembuangan sampah, dekat dengan sarana pembersihan, serta berada ditempat dimana air hujan dan air kotor tidak menggenang.

Menurut APHA (American Public Health Assosiation) rumah yang memenuhi persyaratan antara lain memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, dapat terhindar


(39)

dari penyakit menular dan terhindar dari kecelakaan-kecelakaan (Mubarak, 2009). Kondisi rumah yang baik penting untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Menurut Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999 rumah dikatakan sehat apabila memenuhipersyaratan empat hal pokok berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

2. Memenuhi kebutuhan psikologis seperti “privacy” yang cukup dan komunikasi

yang baik antar penghuni rumah.

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi penyediaan air bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas dari vector penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dari pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoatmodjo, 2011). Sedangkan lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan


(40)

terjadinya penyakit sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003).

2.3.2 Syarat Rumah Sehat

Persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut :

1. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan, seperti :

a. Debu total tidak lebih dari 150 µg m3.

b. Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam c. Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.

2. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.

Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit Tuberkulosis paru. Menurut Achmadi (2010) faktor resiko lingkungan adalah kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembapan.

2.3.3 Kepadatan hunian

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB paru (Achmadi, 2010). Menurut Mukono (2005), kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut.


(41)

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyababkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena di samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di dalam rumahnya (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Depkes RI (1993) dalam kutipan mukono (2005), kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per 8 m²) dan kepadatan tinggi (lebih 2 orang per 8 m² dengan ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun dihitung setengah). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar tidur minimal 8 m² dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruangan.

Hasil penelitian Putra (2011) tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang memiliki kondisi kepadatan hunian rumah yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru dibandingkan responden yang mempuyai kondisi kepadatan hunian yang baik

(OR = 5.95).

2.3.4 Lantai Rumah

Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk


(42)

mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya di naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen dan keramik (Suyono, 2005). Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembapan dalam ruangan. Lantai tanah, cenderung menimbulkan kelembapan, dengan demikian viabilitas kuman TB paru di lingkungan juga sangat dipengaruhi. (Achmadi, 2010).

Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono, 2005). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, lantai rumah tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen, lantai kedap air dan mudah dibersihkan.

Hasil penelitian Adnani (2006), tentang hubungan kondisi rumah dengan penyakit TBC Paru di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa risikountuk menderita TBC Paru 3 – 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat kesehatan (OR = 3,75).

2.3.6 Ventilasi

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulsi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembapan. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembapan.


(43)

Kelembapan dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibandingkan kelembapan diluar ruang (Achmadi, 2010). Menurut Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang/ kamar memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin kesegaran dan menyehatkan penghuninya.

Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus dan bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Menurut Mubarak dan Chayatin (2009), ada dua macam ventilasi yaitu ventilasi alamiah dan ventilasi buatan. Aliran udara dalam ruangan pada ventilasi alamiah terjadi secara alami melalui jendela, pintu, lubang-lubang dinding, angina-angin, dan sebagainya. Sedangkan pada ventilasi buatan aliran udara terjadi karena adanya alat-alat khusus untuk mengalirkan udara seperti mesin penghisap (AC) dan kipas angin.

Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembapan udara ruangan bertambah (Mukono, 2005). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.


(44)

Hasil penelitian Firdiansyah (2012), tentang pengaruh faktor sanitasi dan sosial ekonomi terhadap kejadian penyakit TB paru BTA positif di Kecamatan Genteng Kota Surabaya menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi buruk kemungkinan untuk sakit TB Paru BTA Positif sebesar 3,12 kali lebih besar daripada responden yang memiliki ventilasi baik (OR = 3,12).

2.3.7 Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak (Achmadi, 2008). Menurut Notoatmodjo (2003), kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata.

Menurut Notoatmodjo (2011), cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni : a. Cahaya alamiah, yakni matahari.

Cahaya ini sangat penting, karena dapat menbunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TB paru. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk kedalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, di samping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuknya cahaya.

Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela


(45)

itu harus ditengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca.

b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya.

Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati dalam waktu dua jam.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

Hasil penelitian Putra (2011), tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang memiliki kondisi pencahayaan yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru dibandingkan responden yang mempuyai pencahayaan yang baik (OR = 5,95).

2.4 Pengaruh Perilaku terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2012), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).


(46)

Berdasarkan batasan perilaku dari skinner, maka perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.

a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara dan menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek, yaitu perilaku pencegahan penyakit, perilaku meningkatkan kesehatan, dan perilaku gizi (makanan) dan minuman.

b. Perilaku pencarian dan penggunaan system atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

c. Perilaku kesehatan lingkungan

Seorang ahli lain Becker (1979) dalam kutipan Notoatmodjo (2012), membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan.

1. Perilaku hidup sehat (healthy life style) yaitu perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya atau pola/gaya hidup sehat (healthy life style).

2. Perilaku sakit (illness behavior) yaitu perilaku sakit yang mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, dan sebagainya.


(47)

3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yaitu orang sakit mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role).

Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2012), seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain, sesuai dengan tujuan pendidikan. Bloom menyebutnya ranah atau kawasan yakni: a) kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor (psychomotor). Dalam perkambangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.4.1 Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan.

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.


(48)

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memperjelas secara benar tentang objek yang diketahui, dan menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan suatu bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.


(49)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.

Hasil penelitian Putra (2011), tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang tingkat pengetahuannya rendah 4,667 kali lebih beresiko menderita TB Paru dibandingkan dengan responden dengan tingkat pengetahuannya tinggi (OR = 4.667).

2.4.2 Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.

a. Komponen pokok sikap

Dalam bagian lain Allport (1954), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu kepercayaan (keyakinan), kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, dan kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.


(50)

b. Berbagai tingkatan sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tindakan 1. Menerima ( receiving) yaitu orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible) yaitu bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden.

Hasil penelitian Putra (2011), tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang memiliki sikap tentang pencegahan TB Paru yang rendah beresiko 5,4 kali tertular TB Paru dibandingkan responden yang mempuyai sikap yang positif (OR = 5,4).


(51)

2.4.3 Praktik atau tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatus perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan antara lain :

a. Respons terpimpin (guided response) yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama.

b. Mekanisme (mecanism) yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat kedua.

c. Adopsi (adoption) yaitu suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

Hasil penelitian Putra (2011), tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok responden yang memiliki sikap tentang pencegahan TB Paru yang kurang beresiko 5,4 kali tertular TB Paru dibandingkan responden yang mempuyai tindakan pencegahan yang baik (OR = 5.4).


(52)

2.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep

2.6 Hipotesis Penelitian Karakteristik Individu : 1. Status gizi

2. Penghasilan 3. Pekerjaan Sanitasi Lingkungan Rumah:

1. Kepadatan hunian 2. Lantai rumah 3. Ventilasi 4. Pencahayaan

Perilaku:

1. Pengetahuan 2. Sikap

3. Tindakan


(53)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

Ha : Ada hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan.

Ho : Tidak ada hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan.


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian menggunakan metode survei yang bersifat analitik dengan desain case control yaitu untuk mengetahui hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah dan perilaku terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan yang terdiri dari 8 kelurahan tahun 2014.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November 2014.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

a. Populasi kasus adalah seluruh kasus Tuberkulosis Paru di wilayah kerja puskesmas padangmatinggi selama periode Januari sampai Oktober 2014 yang tercatat pada rekam medis sebanyak 82 orang.

b. Populasi kontrol adalah seluruh masyarakat yang tidak menderita Tuberkulosis Paru yang merupakan tetangga penderita.


(55)

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah jumlah kasus TB paru BTA (+) berdasarkan sumber dari Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan selama periode Januari sampai Oktober 2014 dengan kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria Kasus :

Kasus adalah semua responden penderita TB Paru yang berusia > 15 tahun yang tercatat dalam buku register TB Paru selama periode Januari sampai Oktober 2014 dan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan.

b. Kriteria Kontrol :

Kontrol adalah responden yang tidak mengalami penyakit TB Paru dan merupakan tetangga dari penderita TB Paru yang berada di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan.

c. Kriteria Pencocokan (Matching)

Pencocokan (matching) yaitu memilih kontrol dengan karakteristik yang sama dengan kasus dalam semua variabel yang mungkin berperan sebagai faktor risiko kecuali variabel yang diteliti (Sastroasmoro, 2002).

Pencocokan (matching) terdiri dari jenis kelamin (kelompok kasus dan kontrol berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan) dan umur (kelompok kasus dan kontrol berdasarkan usia produktif yaitu > 15 tahun).


(56)

Menurut Sastroasmoro (2002), perhitungan besar sampel menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap rasio odds sebagai berikut :

Keterangan :

n : besar sampel minimum P : Proporsi rata-rata

P1 : Proporsi paparan pada kelompok kasus

P2 : Proporsi paparan pada kelompok kontrol (0,34)

OR : Besarnya nilai Odds Rasio (3,12)

α : Tingkat kemaknaan (0,05) dengan Z (1,96) β : Kekuatan penelitian (80%) dengan Z (0,84)

Q : 1 – P

Nilai OR dan P2 diperoleh dari hasil penelitian Firdiansyah (2012).

Berdasarkan perhitungan sampel diperoleh besar sampel minimal untuk penelitian ini adalah 49 orang dengan perbandingan besar sampel kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 1:1 sehingga besar sampel kelompok kasus adalah 49 orang dan besar sampel kelompok kontrol adalah 49 orang. Besar sampel secara keseluruhan adalah 98 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara purposive sampling yaitu cara pengambilan sampel yang didasarkan pada pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010).

2 2 1 2 2 2 1 1 2 1

)

(

2

P

P

Q

P

Q

P

z

PQ

z

n

n

  ) 1 ( ) ( ) ( 2 2 2 1 P P OR P OR P   


(57)

3.4. Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

a. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara kepada responden yang di rumah tersebut ada penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal disekitarnya dengan menggunakan kuesioner.

b. Melakukan observasi dan pengukuran terhadap lingkungan fisik rumah penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal di sekitarnya.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari data tuberkulosis paru yang terdaftar di Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan di wilayah penelitian.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini adalah karakteristik individu (status gizi, penghasilan, pekerjaan), sanitasi lingkungan rumah (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan), perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan), sedangkan variabel dependennya adalah penderita TB paru di wilayah kerja puskesmas padangmatinggi kota padangsidimpuan. Pengukuran kondisi fisik rumah dan observasi terhadap sanitasi perumahan merupakan variabel pendukung penyebab kejadian Tuberkulosis Paru.


(58)

3.5.2. Definisi Operasinal

Definisi operasional yang dibuat tentang batasan-batasan dari istilah yang dipakai dalam penulisan, yaitu :

1. Penderita Tuberkulosis Paru adalah orang yang menderita penyakit Tuberkulosis Paru yang terdaftar dalam register TB Paru di Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan tahun 2014.

2. Status gizi adalah indeks massa tubuh (IMT) yang diperoleh dari pembagian antara berat badan dan tinggi badan.

3. Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama maupun tambahan (dalam rupiah) yang dikategorikan berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) = Rp. 1.505.850,-

4. Pekerjaan adalah kegiatan rutin yang dilakukan responden yang menghasilkan pendapatan keluarga.

5. Kepadatan hunian ruangan tidur adalah luas ruangan minimal 8 m², dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

6. Ventilasi rumah yang memenuhi syarat adalah rumah yang memiliki luas jendela/lubang udara pada rumah paling sedikit 10% dari luas lantai ruangan dan 50% dari luas jendela atau lubang udara harus dapat dibuka, sehingga ada aliran udara yang segar terus berlangsung.

7. Lantai rumah yang memenuhi syarat adalah kondisi kedap air, terbuat dari bahan yang cukup keras, kuat, rata dan mudah dibersihkan.


(59)

8. Pencahayaan alami yang memenuhi syarat adalah masuknya sinar matahari kedalam ruangan dan menyebar secara merata, terang dan tidak silau sehingga dapat membaca tulisan berita dikoran secara jelas.

9. Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh responden tentang penyakit Tuberkulosis Paru.

10. Sikap adalah cara responden memandang sesuatu hal yang telah diketahuinya tentang penyakit Tuberkulosis Paru.

11. Tindakan adalah perlakuan atau kegiatan yang dilakukan responden sebagai respon dari apa yang diketahuinya tentang penyakit Tuberkulosis Paru.

3.6. Metode Pengukuran

Untuk mengukur variabel pengetahuan, sikap dan tindakan pada penelitian ini didasarkan pada jawaban responden dari semua pertanyaan yang diberikan digunakan skala likert. ( Sugiono, 2007).

3.6.1. Pengukuran Pengetahuan

Pertanyaan pengetahuan 1-17 mempunyai nilai jawaban, jika menjawab a diberi skor = 2, jika responden menjawab b diberi skor = 1 dan jika responden menjawab c diberi skor = 0, sehingga didapat skor tertinggi adalah 34. Selanjutnya akan dikategorikan baik, sedang dan kurang dengan ketentuan sebagai berikut : a. Pengetahuan baik jika jawaban responsden nilainya > 75 % dari total skor

jawabanpada kuesioner atau skor >25.

b. Pengetahuan sedang jika jawaban responden nilainya 40% – 75 % dari total skor jawaban pada kuesioner atau skor 14 – 25.


(60)

c. Pengetahuan kurang jika jawaban responden nilainya 40 % dari total skor jawaban pada kuesioner atau skor < 14.

3.6.2. Pengukuran Sikap

Pertanyaan sikap 1 – 10 mempunyai nilai jawaban, jika responden menjawab setuju (a) akan diberi skor = 2, jika responden menjawab kurang setuju (b) akan diberi skor = 1 dan jika responden menjawab tidak setuju (c) maka diberi skor = 0, sehingga didapat skore tertinggi adalah 20. Selanjutnya akan dikategorikan baik, sedang dan kurang, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Sikap setuju, jika jawaban responden nilainya > 75 % dari total skor jawaban pada kuesioner = skor > 15.

b. Sikap kurang setuju, jika jawaban responden nilainya 40 – 75 % dari total skor jawaban pada kuesioner = skor 8 – 15.

c. Sikap tidak setuju, jika jawaban responden nilainya 40 % dari total skor jawaban pada kuesioner = skor < 8.

3.6.3. Pengukuran Tindakan

Pertanyaan 1 – 6 mempunyai nilai jawaban, jika responden menjawab a akan diberi skor = 2, jika responden menjawab b akan diberi skor = 1 dan jika responden menjawab c maka diberi skor 0. Sehingga di dapat skor tertinggi adalah 12. Selanjutnya akan dikategorikan baik, sedang dan kurang. Dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Tindakan baik jika jawaban responden nilainya > 75 % dari total skor jawaban pada kuesioner atau skor >9.


(61)

b. Tindakan sedang jika jawaban responden nilainya 40 – 75 % dari total skor jawaban pada kuesioner atau skor 5 – 9.

c. Tindakan kurang jika jawaban responden nilainya 40 % dari total skor jawaban pada kuesioner atau skor < 5.

3.6.4. Pengukuran Sanitasi Lingkungan Rumah

Adapun variabel yang dilakukan pengukuran sanitasi lingkungan rumah adalah sebagai berikut :

1. Kepadatan hunian kamar tidur, cara pengukuran dengan menggunakan pengamatan langsung (observasi). Skala pengukuran yang digunakan nominal yang dibagi dalam 2 kategori:

a. Memenuhi syarat, jika luas ruangan minimal 8 m², terdapat lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

b. Tidak memenuhi syarat, jika luas ruangan minimal 8 m² tidak dianjurkan lebih dari 2 orang tidur dalam satu kamar tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

2. Lantai rumah, cara pengukuran dengan menggunakan pengamatan langsung (observasi). Skala pengukuran yang digunakan adalah nominal yang dibagi dalam 2 kategori.

a. Memenuhi syarat, jika kondisi lantai kedap air, terbuat dari bahan yang cukup keras, kuat, rata dan mudah dibersihkan.

b. Tidak memenuhi syarat, jika kondisi lantai tidak kedap air, tidak terbuat dari bahan yang cukup keras, kuat, rata dan tidak mudah dibersihkan.


(1)

Gambar 10. Wawancara dengan ibu lasmi


(2)

Gambar 12. Lantai dan jendela salah satu rumah responden dimasuki cahaya matahari


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 6 129

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

1 1 16

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 0 2

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 0 8

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 1 26

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 1 3

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 0 32

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

2 3 16

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

2 4 2

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

4 7 9