Refleksi Hukum Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat Melayu (Studi di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang)
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
POLA MIGRASI DI PROVINSI SUMATERA UTARA DAN
KAITANNYA DENGAN HUKUM DAN KEPENDUDUKAN
Surianingsih
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract: Migration is population movement from one to another within one
country. There have been various characteristics that can be learned from
migration as one of the general forms of population mobility, including its
motivation, typology, impact and correlations. Migration is a normal social
phenomenon in a country which happens mainly due to the push factor in better
fulfilling primary needs in variuos aspects. This behavior is also influenced by
ethnic tradition that encourages migration to other communities outside their
own territories.
Kata Kunci: Migrasi, Hukum, Kependudukan
Migrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas penduduk dalam sebuah negara. Pada
dasarnya migrasi adalah suatu fenomena sosial yang normal dan biasa saja. Permasalahan
timbul apabila migrasi menjadi tidak terkendali dan menimbulkan dampak sosial bagi suatu
daerah dan akhirnya dapat mempengaruhi pembangunan masyarakat dalam suatu wilayah serta
dapat menimbulkan berbagai rentetan resiko yang ada didalam aktivitas migrasi tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut suatu pemerintahan daerah atau otoritas sebuah wilayah
maupun kawasan harus memperhatikan masalah migrasi ini dengan serius dan senantiasa
melakukan updating atas informasi dan data sejak dini, dan selanjutnya menerapkan
pendekatan, strategi dan metode yang sesuai dalam situasi dan kondisi sehubungan dengan
migrasi tersebut. Menurut Soetomo, beberapa negara sedang berkembang menghadapi
masalah pemukiman yang dilengkapi sarana dan prasarana yang dapat merupakan dampak
migrasi penduduk yang tidak terkontrol terutama dalam bentuk urbanisasi (Soetomo, 2006:
33). Oleh sebab itu timbul pertanyaan mengapa orang pindah dari suatu tempat ke tempat lain?
Hal ini merupakan pertanyaan yang cukup mendasar. Dikatakan demikian karena secara
prinsipil mobilisasi penduduk tidak terlepas dari upaya memenuhi salah satu atau beberapa
kebutuhan dasar manusia yang meliputi 2 hal, baik kebutuhan pangan, sandang, papan, dan
sebagainya, semua ini menyangkut karena manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan
manusia lain, manusia harus bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial suka hidup
berkelompok. Di dalam kelompoknya mereka saling membutuhkan satu sama lain dalam
berbagai macam aspek kehidupan, wilayah, tempat tinggal, dan tempat kegiatan hidup
kelompok manusia tersebut, baik berupa desa, pinggiran atau kota. Ketika kehidupan
bermasyarakat pada suatu wilayah terganggu, kemungkinan tersebut dapat mendorong mereka
untuk melakukan perpindahan dari tempat yang lama ke suatu tempat yang baru. Dengan
tujuan, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga mencari kegiatan hidup sehingga
kelompok manusia (penduduk) tersebut adakalanya harus memilih bermigrasi keluar dari
daerah tempat tinggalnya. Kegiatan migrasi yang dilakukan oleh penduduk Indonesia pada
umumnya, karena keadaan kemasyarakatan dan perekonomian yang dapat dikatakan homogen,
143
Universitas Sumatera Utara
Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...
misalnya kondisi suatu desa yang menyebabkan kesempatan dan peluang kerja sangat terbatas,
sedangkan di kota terdapat kondisi dan situasi yang sebaliknya. Deferensiasi antara desa dan
kota sangat tajam, keadaan inilah yang memicu keinginan penduduk untuk bermigrasi keluar
dari wilayahnya, karena Kota merupakan tempat berkumpul dan bertemunya aneka ragam
kegiatan ekonomi, dan terdapat macam-macam suku, bangsa, agama, kepentingan dan lain
sebagainya. Sehingga masyarakatnya sangat heterogen dan kompleks, dan bagi penduduk yang
telah meninggalkan pekerjaannya di desa, dengan tujuan mencari nafkah di kota, tidak terlepas
dari kemampuan mereka untuk dapat menyesuaikan hidupnya di kota. Lebih-lebih apabila
mereka tidak memiliki keterampilan (skill) yang dapat dihandalkan, hal ini merupakan
tantangan baru yang tidak ringan bagi mereka yang datang dari desa. Pemenuhan kebutuhan
hidup “dinegeri orang” tentunya sangat dipengaruhi pula oleh tradisi atau sifat umum kesukaan
yang mendorong untuk pergi merantau (bermigrasi). Misalnya Suku Minang Kabau dan Batak
di Sumatera Utara atau Suku Bugis di Sulawesi. Banyak orang yang pergi merantau di
antaranya kaum pria kategori usia muda (20 – 30 tahun). Di Suku Minang Kabau orang yang
pergi merantau merupakan suatu kewajiban, apalagi bila si pria masih belum mampu secara
financial untuk memenuhi tanggung jawab keluarga, sementara ia telah berada dalam rentang
usia siap menikah. Jika kebiasaan ini tidak dijalankan, si pria bisa dijadikan bahan cemooh oleh
masyarakat sekelilingnya. Biasanya dalam periode di negeri orang inilah, orang minang kabau
yang merantau mulai mencari suatu bidang usaha untuk menghidupi dirinya bidang usaha yang
dipilih adalah berdagang atau membuka restoran Padang. Dan tak jarang pula mereka akhirnya
menetap didaerah tujuan, migrasi demikian disebut oleh suku Minang Kabau dengan merantau
Cina. (Wiki, 2007). Merantau berarti: a) pergi meninggalkan kampung halaman dan
berinteraksi dengan etnik/suku; b) dilakukan dengan suka rela dan atas kemauan sendiri; c)
dalam waktu yang singkat maupun lama; d) dalam rangka mencari rezeki, menuntut ilmu atau
menambah pengalaman; e) dengan keinginan untuk kembali (non permanen); f) didorong
sistem sosial yang ada. (Mantra, 1985: 166-167). Seperti diketahui bahwa sitem kekerabatan
suku minang adalah sistem garis keturunan ibu (matrilinial) sehingga harta warisan jatuh
kepada keturunan perempuan, sehingga laki-laki merasa tidak berhak, keadaan ini membuat
laki-laki minang cenderung merantau. Walaupun perantau laki-laki tersebut membawa serta
istrinya seorang perempuan minang pula.
Selanjutnya menurut Ensiklopedia Indonesia perilaku migrasi juga dilatarbelakangi
keadaan di mana pembangunan yang tidak merata dan lebih banyak terpusat di kota-kota besar
terutama di Pulau Jawa, sehingga banyak penduduk Indonesia merantau untuk mencari
pekerjaan atau memperoleh pendidikan yang lebih baik di daerah lain. (Merantau, 2007: 1).
Berbagai macam aspek kehidupan dapat diketahui sehubungan dengan pola migrasi, baik yang
berkaitan dengan hubungan antar individu dan kelompok atau antar kesukuan (etnografis),
kesehatan fisik dan mental, dan sebagainya (Weisenberg, 1991: 1). Jika ditinjau dari segi
sosiologi, para migran ini cenderung dapat menimbulkan lapisan-lapisan sosial atau stratastrata sosial baru yang nantinya menjadi beban kota dan juga menjadi kerja keras pula bagi
pemerintah kota, karena para migran ini, jika tidak berhasil hidup layak di kota maka mereka
akan menjadi gelandangan, pengemis, dan pengamen jalanan. Mereka juga sering membentuk
daerah atau hunian kumuh dan liar di tengah-tengah kota yang tentunya bertentangan dengan
masterplan atau tata ruang perkotaan atau tata ruang daerah. Akibatnya mereka menjadi
sasaran penertiban peraturan oleh aparat pemerintah. Mereka sering di kejar-kejar oleh petugas
penertiban peraturan karena mengakibatkan keresahan masyarakat, dan juga tidak sedap
dipandang mata karena kesemrawutan yang mereka ciptakan tersebut. Keberadaan para migran
ini akan mempengaruhi paling tidak empat hal, yakni terhadap penyerapan tenaga kerja,
terhadap perkembangan sarana sosial masyarakat sekitar, terhadap perkembangan infrastruktur,
dan terhadap pendapatan masyarakat sekitar. Dengan demikian masalah migrasi yang juga
144
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
mencakup urbanisasi merupakan masalah yang kompleks yang meliputi berbagai aspek baik
kesehatan, pendidikan, pemukiman, sosial ekonomi dan sosial budaya dan aspek hukum.
PENGERTIAN DASAR MIGRASI
Migrasi adalah salah satu faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk
disuatu wilayah, pengaruh ini dapat dilihat dikota-kota besar seperti di Indonesia, yakni di
Jakarta, Surabaya, Medan dan sebagainya. Migrasi adalah gejala gerak horizontal untuk
pindah tempat tinggal dan pindahnya bisa tidak terlalu dekat, melainkan melintasi batas
administrasi, pindah ke unit administrasi lain, misalnya kelurahan, kabupaten kota, sedangkan
yang jauh jaraknya dilakukan melintasi negara. Dengan kata lain migrasi merupakan
perpindahan penduduk dari satu unit geografis ke unit geografis lainnya. Unit geografis
tersebut dapat berarti suatu daerah administratif. Migrasi ini disebut juga migrasi internal.
Sedangkan Nani Suwondo menyebutnya dengan istilah Migrasi Nasional yakni perpindahan
penduduk dari suatu daerah ke daerah lain tetapi dilakukan dalam satu negara. Ada lagi
Migrasi keluar negara lain yang disebut migrasi internasional yang terdiri dari emigrasi atau
keluar ke negara lain, dan imigrasi yakni masuk ke negara lain. Migrasi Internasional tersebut
lebih peka daripada migrasi dalam negeri (Nasional) karena sering menimbulkan masalah
politik karena masing-masing negara membuat peraturan-peraturan tentang syarat yang harus
dipenuhi oleh warga negara asing yang ingin masuk ke negara tersebut sehingga frekuensi arus
migrasi Internasional sangat kecil dan negara Indonesia termasuk negara yang arus migrasi
Internasionalnya kecil. (Mantra, 1985: 157 -158). Ada pula migrasi psikososial yakni penduduk
yang pindah dari kota dengan alasan terlalu banyak orang dikota, migrasi ini selalu dilakukan
golongan menengah ke atas yang memiliki fasilitas dan sarana transport yang memadai,
sedangkan migrasi fisiososial yakni migran yang karena alasan kesehatan bermigrasi keluar
wilayahnya untuk mempercepat penyembuhan penyakit yang dideritanya selanjutnya migrasi
internasional (migrasi antar bangsa) tidak begitu berpengaruh terhadap bertambah atau
berkurangnya jumlah penduduk suatu negara kecuali karena bencana alam atau karena perang
dan lain sebagainya. Tidak berpengaruhnya terhadap pertumbuhan penduduk pada negara
tujuan di sebabkan peraturan atau Undang-Undang yang diberlakukan oleh banyak negara,
biasanya sangat ketat dan amatlah sulit bagi seseorang untuk menjadi warga negara/menetap
secara permanen di negara lain. Seperti diketahui negara Indonesia termasuk negara yang ketat
peraturannya untuk menerima warga negara lain untuk menjadi warga negara Indonesia. Jika
kita melihat sejarah masa lalu bahwa negara Indonesia pada tahun 1959 dengan adanya
migrasi internasional tersebut sehingga orang Tionghoa exsodus karena tidak diakuinya
berkewarganegaraan ganda sesuai dengan ketentuan PP No. 10 Tahun 1959, akibatnya ±
150.000 jiwa orang Tionghoa kembali ke RRC (Suhaimi, 1982: 14).
Selanjutnya dapat dilihat, jenis migrasi antara lain: (a). Migrasi masuk (in migration)
yakni masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan (area of distination). (b). Migrasi
keluar (out migration) yakni perpindahan penduduk keluar dari satu daerah asal (area of
origin). (c). Migrasi netto (net migration) yakni selisih antara migran yang masuk dan yang
keluar, apabila migrasi yang masuk lebih dari yang keluar maka disebut migrasi netto positif,
dan bila migrasi keluar lebih besar maka disebut netto negatif. (d). Migrasi Bruto (gross
migration) yaitu jumlah migrasi keluar dan masuk. (e). Migrasi total (total migration) yaitu
seluruh kejadian migrasi semasa hidup (life time migration) dan migrasi pulang (return
migration). Menurut Ross Steele, migrasi meliputi perpindahan ke rumah sebelah yang
jaraknya hanya beberapa meter dari rumah lama, tetapi mencakup juga perpindahan ke negara
lain yang jaraknya beribu-ribu kilometer. Sedangkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
menyatakan bahwa migrasi adalah suatu perpindahan tempat tinggal dari satu unit administratif
ke unit administratif lainnya. (Wahyu. 1985: 35). Dengan demikian migrasi yang dilakukan
145
Universitas Sumatera Utara
Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...
oleh penduduk sangat mempengaruhi tertib administrasi disuatu tempat tujuan. Hal ini secara
langsung mengakibatkan perubahan komposisi penduduk dalam suatu wilayah tujuan, dengan
tidak memandang jarak jauh atau dekatnya tempat yang menjadi tujuan para migran, baik
menetap secara permanen maupun non permanen.
MIGRASI DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Aktivitas perpindahan penduduk mempunyai dampak yang sangat berarti bagi daerahdaerah di mana migrasi itu terjadi, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosiologi, maupun disiplin
kependudukan itu sendiri. Sesuai hal tersebut di atas, Provinsi Sumatera Utara yang letak
geografisnya di antara 10 – 40 Lintang Utara dan 980 – 1000 Bujur Timur dengan ketinggian
daerah permukaan laut) – 1418 m sebelah utara berbatasan dengan Nanggroe Aceh Darussalam
dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Riau sebelah Barat
dengan Samudera Hindia dan memiliki luas wilayah 71680 km persegi, dengan jumlah
penduduk ± 12.500.000 jiwa. Provinsi Sumatera Utara, sejak zaman penjajahan Belanda telah
mengalami arus perpindahan penduduk yang bersifat internasional atau disebut migrasi
internasional, yang terjadi pada waktu itu karena migrasi merupakan aktivitas yang sangat
penting dampaknya bagi landasan pembangunan daerah Sumatera Utara, khususnya berkaitan
dengan sektor pertanian dan perkebunan. Sumatera Utara merupakan provinsi keempat yang
terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara
keadaan tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,26 juta jiwa, dan dari hasil Sensus
Penduduk 2005 jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 11,5 juta jiwa. Dari estimasi jumlah
pendudul keadaan juni 2005 menjadi 12.326.678 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Sumatera
Utara tahun 2000 – 2005 adalah 1,50 % pertahun. Namun jika ditinjau dari arus perpindahan
penduduk yang bersifat internal, di Provinsi Sumatera Utara, maka yang menjadi daerah
sasaran dalam aktivitas perpindahan penduduk antar kabupaten/kota adalah daerah perkotaan,
sehingga daerah perkotaan ini bisa dikatakan menjadi primadona masuknya arus migrasi. Lebih
spesifik lagi, daerah tersebut paling diminati dan menjadi incaran para migran adalah kota
Medan yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara. (BKKBN Provsu, 2007: 54)
Keadaan tersebut tentunya mempengaruhi persebaran penduduk. Persebaran
penduduk ini kemudian sangat berpengaruh pada pola pemukiman suatu daerah yang
dipengaruhi pula oleh iklim, letak dan bentuk dataran/tanah, kesuburan tanah, sumber alam,
sosial budaya, dan tekhnologi (BKKBN Provsu, 2007: 56). Oleh sebab itu tidak
mengherankan bila hasil sensus penduduk kota Medan yang mewakili 6 kota di Sumatera Utara
diperoleh angka 27,9%. Angka tersebut merupakan angka tertinggi masuknya arus migrasi dari
13 kabupaten yang mewakili ± 21 kabupaten di Sumatera Utara. Dengan demikian tidak
dipungkiri lagi bahwa Kotamadya Medan memang primadona dalam derasnya arus migrasi di
Sumatera Utara. Dalam menganalisa fenomena migrasi di Provinsi Sumatera Utara, pola yang
digunakan adalah pola Life Time Migration atau pola migrasi semasa hidup. (BPS Kota
Medan, 2003). Di samping migran masuk juga Sumatera Utara mengalami migran keluar di
mana penduduk Sumatera Utara pindah dari daerahnya ke provinsi luar dengan berbagai
motivasi. DKI Jakarta merupakan tujuan utama migran dari Sumatera Utara karena daya tarik
Kota Jakarta yang sangat besar sesuai dengan kedudukannya sebagai pusat pemerintahan,
pendidikan, perdagangan dan sebagainya. Selanjutnya jumlah arus migran terbanyak kedua
yang keluar adalah dengan tujuan Provinsi Riau (dahulu mencakup BATAM) yang oleh para
ahli disebut dengan istilah “ migran jarak dekat”. Selanjutnya dengan perkembangan
pembangunan perekonomian provinsi Sumatera Utara pada tahun – tahun terakhir ini
memungkinkan kembali arus migrasi masuk ke Sumatera Utara meningkat. Bahwa migran
yang masuk saat ini adalah migran non-transmigrasi, yakni migran profesional atau migran
146
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
yang masuk untuk bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, karena adanya pengembangan
sektor perdagangan, industri, pendidikan dan usaha bisnis lainnya (BKKBN Provsu, 2007: 57).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA MIGRASI ANTAR
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Pengaturan hukum yang berkenaan dengan masalah migrasi dapat direfer pada
Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera. Menurut jiwa Undang-Undang tersebut berbagai aspek kependudukan
harus dapat dikontrol atau dikendalikan termasuk
jumlah dan mobilisasinya
atau
perpindahannya. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk diarahkan pada
pengendalian kuantitas, perkembangan kualitas serta pengarahan mobilitas penduduk sebagai
potensi sumber daya agar menjadi kekuatan pembangunan dengan cara mewujudkan keserasian
dan keseimbangan kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk. Sehubungan dengan hal
tersebut perlu ada policy yang tepat yang didukung data yang lengkap dan akurat termasuk
memahami tentang karakteristiknya. Sehubungan dengan arus migrasi misalnya pemahaman
dan kejujuran melihat fakta yang sebenarnya diperlukan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya migrasi.
Untuk dapat mengetahui pergerakan migrasi di setiap wilayah di suatu negara,
terutama jika ingin membandingkan antara satu daerah dengan daerah lainnya, tentunya perlu
ada suatu pemahaman yang sama terlebih dahulu sesuai dengan indikator-indikator yang lazim
dipergunakan. Tetapi dalam penulisan ini tidak berpretensi untuk melakukan suatu
perbandingan tetapi sekedar memberikan deskripsi di Sumatera Utara. Secara geofrafis terlihat
bahwa persebaran penduduk di Provinsi Sumatera Utara tidak merata di wilayah pantai barat,
dataran tinggi dan pantai timur. 62,13 persen penduduk tinggal di wilayah pantai timur yang
relatif lebih subur bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Secara teoritis ada beberapa teori
yang berkaitan dengan faktor-faktor pendorong atau motivasi terjadinya migrasi sebagai
berikut: (1) Teori Grativitasi (Teori Tarik). Menurut Ravenstain yang dikenal sebagai bapak
migrasi. Teori ini menyatakan: a. Semakin jauh jarak, semakin berkurang volume migrasi. b.
Setiap arus migran yang benar, akan menimbulkan arus balik sebagai gantinya. c.
Adanya perbedaan desa dengan kota sehingga terjadi migrasi. d. Wanita cenderung
bermigrasi ke daerah yang dekat letaknya. e. Kemajuan teknologi akan mengakibatkan
intensitas migrasi. f. Motif utama migrasi adalah faktor ekonomi. (Hartono, 1990: 22).
Selanjutnya Faktor-faktor penarik lain adalah: a. Ada rasa superior ditempat yang baru, atau
kesempatan untuk memasuki lapangan kerja baru yang lebih cocok. b. Kesempatan
mendapatkan pendapatan yang lebih baik. c. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih
tinggi. d. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan. Misalnya iklim,
perumahan, sekolah dan fasilitas – fasilitas kemasyarakatan lainnya. e. Ajakan dari orang
yang diharapkan sebagai tempat berlindung. f. Adanya aktivitas-aktivitas dikota besar,
yakni tempat-tempat hiburan, pasar kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang desa atau
kota kecil. (2) Teori dorong yang menyebabkan arus migrasi adalah: a. Makin berkurangnya
sumber daya alam, menurunnya permintaan atas barang tertentu yang bahan bakunya makin
susah di peroleh seperti hasil kayu, tambang atau pertanian. b. Kurangnya lapangan pekerjaan
ditempat asal, misalnya dipedesaan akibat masuknya tekhnologi baru. c. Adanya tekanan
diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal. d. Tidak cocok lagi dengan adat budaya
ditempat asal. (pada umumnya anak-anak remaja). e.Alasan pekerjaan atau perkawinan
sehingga sulit mengembangkan karir. f. Karena bencana alam, banjir, gempa bumi, wabah
penyakit, perang, dan kemarau panjang dan lain sebagainya. Menurut Everest Lee teori dorong
ini ada 4 (empat) faktor penting bagi seseorang untuk bermigrasi yaitu: a. Faktor yang terdapat
di daerah asal. b. Faktor yang terdapat di daerah tujuan. c. Faktor rintangan atau penghambat,
147
Universitas Sumatera Utara
Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...
hal ini berbeda bagi masing-masing individu, ada yang memandang ringan dan ada pula yang
memandangnya sebagai hal yang berat (tidak dapat diatasi), contoh: Jarak yang jauh, dan
biaya transport sehingga menjadi penghalang bagi seseorang untuk bermigrasi. d. Faktor
Pribadi/Individu yakni kepastian seseorang dalam mengambil keputusan untuk bermigrasi
kedaerah lain (Hartono, 1990: 23).
Dari teori tersebut mempunyai makna, perpindahan penduduk yang terjadi antar
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dipengaruhi banyak faktor salah satunya bahwa
daerah tempat asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan, serta lingkungan
dan keadaan alamnya tidak mendukung, mengakibatkan terbatasnya sumber daya yang
dibutuhkan dari daerah tersebut. Disisi lain dapat dilihat, daya tampung daerah tujuan dan
keadaan lingkungannya sangat menjanjikan dengan tersedianya lapangan kerja, peluang
meningkatkan pendapatan, sarana hiburan, pendidikan yang lebih baik, kesehatan dan lain
sebagainya. Namun pada umumnya, migrasi bersifat selektif artinya bahwa yang pindah dan
menempati tempat baru, memiliki karakteristik kependudukan yang khas, yakni mengenai
umur, pendidikan, status sosial, kebudayaan dan sebagainya. Banyak golongan penduduk muda
dari daerah-daerah luar kota Medan yang pandai dan berkemampuan dalam bidang materi
lebih memilih bermigrasi ke kota Medan, dengan tujuan untuk menambah ilmu atau menuntut
ilmu di Perguruan Tinggi yang tidak tersedia didesa asalnya. Tetapi, setelah menyelesaikan
atau menamatkan studi, mereka lebih suka tinggal di kota Medan. Begitu pula bagi mereka
yang memang lahir dan menetap di kota Medan enggan untuk meninggalkan kota Medan.
Dengan demikian golongan penduduk yang berilmu di kota Medan terus meningkat jumlahnya
bila dibandingkan dengan diluar kota Medan. Tetapi sebaliknya para migran tersebut beraneka
ragam watak dan latar belakang kehidupannya datang ke kota Medan, belum tentu bisa
ditolerir, sebab kota Medan pun mempunyai batas-batas kemampuan untuk menampung para
migran. Jika dipandang dari aspek hukum dan kependudukan maka migrasi yang terjadi di kota
Medan dapat mengakibatkan peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, pertambahan
jumlah penyandang penyakit sosial dan pelanggar hukum seperti gelandangan dan pengemis,
pengamen-pengamen dai pinggir jalan dan peningkatan intensitas tindak kriminalitas terhadap
harta kekayaan seperti pencurian, perampokan, termasuk tindak kriminalitas berupa
pencemaran dan perusakan lingkungan, antara lain membuang sampah maupun limbah
disembarangan tempat serta memanipulasi data kependudukan. Keadaan tersebut di atas
merupakan problema yang harus diatasi dan dicari solusinya sesuai peraturan yang berlaku
juga sekaligus menjadi acuan dan pertimbangan faktual dalam perancangan peraturan yang
akan diberlakukan.
UPAYA-UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM
PENANGGULANGAN ARUS MIGRASI DI KOTA MEDAN
Dalam era globalisasi terdapat kecenderungan desentralisasi dan pendelegasian
wewenang yang lebih luas. Pemerintah pusat lebih memusatkan perhatiannya pada masalahmasalah yang bersifat makro, dan hal itu akan membuka peluang bagi masyarakat dan
pemerintah daerah serta masyarakat lokal dan untuk menangani masalah-masalah lokal dan
daerah. Walaupun dari sudut alokasi dana kecenderungan juga semakin kecil yang dialokasikan
ke pemerintah daerah bagi keperluan pembanguna daerah. Beberapa pengamat ekonomi
memperkirakan bahwa pada era 2000-an, kondisinya tidak memungkinkan bagi pemerintah
pusat untuk memperbesar pengeluaran pembangunan guna mempertahankan momentum
pembangunan daerah sebagaimana era 1970-an (Tjiptoherijanto, 1987: 113). Dengan demikian
apabila momentum pembangunan daerah tersebut ingin dipertahankan maka potensi sumber
daya daerah itu sendiri yang harus dimobilisasi (Soetomo, 2006: 33). Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, keberadaan Kota Medan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara sekaligus
sebagai pusat tujuan pergerakan migrasi khususnya urbanisasi perlu mendapat perhatian serius
148
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
dari pengamat, perguruan tinggi dan khususnya dari pemerintah kota. Penyiapan informasi dan
data akurat sejak dini dapat membantu mempersiapkan usulan kebijakan atau policy yang tepat
untuk mengantisipasi dan mengatasi problematika yang berakar dari migrasi penduduk.
Pengalaman Jakarta perlu menjadi bahan kajian pemerintah kota sehingga berbagai masalah
yang sekarang dihadapi Ibu Kota negara Republik Indonesia tersebut dapat diminimalisir oleh
kota Medan jika menghadapi masalah serupa. Secara geografis kota Medan terletak antara 020
29’ 30’-020 47’ 30’ dan 980 47’ 36’ Bujur Timur berbatasan dengan Selat Malaka, dan sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Langkat, sebelah selatan dengan kabupaten Deli Serdang
luas wilayah 265, 10 KM2 yang terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Dan saat ini usia
kota Medan sudah 400 tahun lebih menunjukkan bahwa kota Medan keberadaannya sebagai
kota terbesar nomor tiga setelah Jakarta dan Surabaya, dengan demikian sebagai kota besar
sudah tentu banyak memiliki berbagai daya tarik bagi masyarakat/penduduk di luar dan kota
Medan, apalagi kota Medan berkembang begitu cepat menuju Medan Metropolitan mengikuti
arus perkembangan zaman, sehingga keinginan penduduk luar kota Medan untuk berimigrasi
sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari kepadatan penduduk kota Medan yakni 7.681 per km2
(sensus penduduk 2005). Masuknya migran ke kota Medan apabila tidak dikendalikan, maka
dapat berdampak negatif terhadap proses pembangunan kota Medan sendiri.
KESIMPULAN
Umumnya pelaksanaan pembangunan sosial dalam mengatasi suatu dampak sosial
dari suatu permasalahan kemasyarakatan seperti migrasi ini, memerlukan strategi khusus yang
merupakan bagian dari strategi untuk melaksanakan kebijakan sosial. Kebijakan sosial itu pada
akhirnya merupakan respon terhadap masalah sosial (Soetomo, 2007: 372). Beberapa kebijakan
sosial tentatif yang perlu dikaji dan dikembangkan untuk menjadi kebijakan sosial (social
policy) dalam peraturan perundang-undangan antara lain: a. Melalui penataan di bidang
kependudukan, yang diregistrasikan dalam administrasi kependudukan. Yang artinya setiap
penduduk yang bermukim dikota Medan harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang
syah. b. Perlu adanya sorotan terhadap migrasi ini, secara sinkronisasi antara kabupaten dan
kota antara kabupaten dan desa dan terkoordinasi, sebab kota sudah terlalu padat penduduknya.
Sehingga dapat mengakibatkan polusi dan pencemaran lingkungan karena banyaknya
pemukiman kumuh dipinggir sungai yang dapat mengakibatkan banjir di kota. Oleh karena itu
masyarakat kota harus turun tangan. c. Untuk menanggulanginya diharapkan dengan kesadaran
sendiri para migran u kembali ke daerah asal untuk meningkatkan taraf hidup di daerah
asalnya. d. Instansi terkait harus berperan dan sungguh-sungguh bekerja untuk memulangkan
Migran ke daerah asal tanpa biaya yang memberatkan, dan bila perlu diberi bekal materi
secukupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2003.
Bintarto, 1984. Urbanisasi dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Guy Standing. 1987. Konsep-konsep Mobilitas di Negara Berkembag. Puslit Kependudukan
UGM.
Haris Abdul Adika Nyoman. 2002. Gelombang Migrasi dan Konflik Kepentingan Regional.
Lesti Yokyakarta.
149
Universitas Sumatera Utara
Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...
Hartono, H, CS. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Bumi Aksara.
Harus Suhaimi. 1981. Lokakarya Kependudukan. USU
Http://id.wiki.pedia : org/wiki merantau. 2007
Wahyu. M S, 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha Nasional.Surabaya.
Arif. M. 1990. Migrasi Antar Provinsi. Makalah Seminar ke pendudukan dan lingkungan
hidup.
Mantra, Ida Bagus. 1985. Pengantar Studi Demografi.
Prawiro, Ruslan. 1983. Kependudukan Teori, Fakta dan Masalah. Alumni Bandung.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10/ 1992 tentang Migrasi.
Soetomo, 2006. Strategi-starategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar Jakarta.
Suwondo Nani. 1982. Hukum dan Kependudukan di Indonesia. Bina Cipta Bandung.
Tjiptoherijanto, Prijono. 1987. Perspektif Daerah Dalam Pembangunan Nasional. Fakultas
Ekonomi UI Jakarta.
Witenberg, Abraham A. 1991. Migrasi dan Asimilasi. Terjemahan oleh Tim SPS Ilmu Hukum
UI Jakarta.
150
Universitas Sumatera Utara
POLA MIGRASI DI PROVINSI SUMATERA UTARA DAN
KAITANNYA DENGAN HUKUM DAN KEPENDUDUKAN
Surianingsih
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract: Migration is population movement from one to another within one
country. There have been various characteristics that can be learned from
migration as one of the general forms of population mobility, including its
motivation, typology, impact and correlations. Migration is a normal social
phenomenon in a country which happens mainly due to the push factor in better
fulfilling primary needs in variuos aspects. This behavior is also influenced by
ethnic tradition that encourages migration to other communities outside their
own territories.
Kata Kunci: Migrasi, Hukum, Kependudukan
Migrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas penduduk dalam sebuah negara. Pada
dasarnya migrasi adalah suatu fenomena sosial yang normal dan biasa saja. Permasalahan
timbul apabila migrasi menjadi tidak terkendali dan menimbulkan dampak sosial bagi suatu
daerah dan akhirnya dapat mempengaruhi pembangunan masyarakat dalam suatu wilayah serta
dapat menimbulkan berbagai rentetan resiko yang ada didalam aktivitas migrasi tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut suatu pemerintahan daerah atau otoritas sebuah wilayah
maupun kawasan harus memperhatikan masalah migrasi ini dengan serius dan senantiasa
melakukan updating atas informasi dan data sejak dini, dan selanjutnya menerapkan
pendekatan, strategi dan metode yang sesuai dalam situasi dan kondisi sehubungan dengan
migrasi tersebut. Menurut Soetomo, beberapa negara sedang berkembang menghadapi
masalah pemukiman yang dilengkapi sarana dan prasarana yang dapat merupakan dampak
migrasi penduduk yang tidak terkontrol terutama dalam bentuk urbanisasi (Soetomo, 2006:
33). Oleh sebab itu timbul pertanyaan mengapa orang pindah dari suatu tempat ke tempat lain?
Hal ini merupakan pertanyaan yang cukup mendasar. Dikatakan demikian karena secara
prinsipil mobilisasi penduduk tidak terlepas dari upaya memenuhi salah satu atau beberapa
kebutuhan dasar manusia yang meliputi 2 hal, baik kebutuhan pangan, sandang, papan, dan
sebagainya, semua ini menyangkut karena manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan
manusia lain, manusia harus bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial suka hidup
berkelompok. Di dalam kelompoknya mereka saling membutuhkan satu sama lain dalam
berbagai macam aspek kehidupan, wilayah, tempat tinggal, dan tempat kegiatan hidup
kelompok manusia tersebut, baik berupa desa, pinggiran atau kota. Ketika kehidupan
bermasyarakat pada suatu wilayah terganggu, kemungkinan tersebut dapat mendorong mereka
untuk melakukan perpindahan dari tempat yang lama ke suatu tempat yang baru. Dengan
tujuan, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga mencari kegiatan hidup sehingga
kelompok manusia (penduduk) tersebut adakalanya harus memilih bermigrasi keluar dari
daerah tempat tinggalnya. Kegiatan migrasi yang dilakukan oleh penduduk Indonesia pada
umumnya, karena keadaan kemasyarakatan dan perekonomian yang dapat dikatakan homogen,
143
Universitas Sumatera Utara
Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...
misalnya kondisi suatu desa yang menyebabkan kesempatan dan peluang kerja sangat terbatas,
sedangkan di kota terdapat kondisi dan situasi yang sebaliknya. Deferensiasi antara desa dan
kota sangat tajam, keadaan inilah yang memicu keinginan penduduk untuk bermigrasi keluar
dari wilayahnya, karena Kota merupakan tempat berkumpul dan bertemunya aneka ragam
kegiatan ekonomi, dan terdapat macam-macam suku, bangsa, agama, kepentingan dan lain
sebagainya. Sehingga masyarakatnya sangat heterogen dan kompleks, dan bagi penduduk yang
telah meninggalkan pekerjaannya di desa, dengan tujuan mencari nafkah di kota, tidak terlepas
dari kemampuan mereka untuk dapat menyesuaikan hidupnya di kota. Lebih-lebih apabila
mereka tidak memiliki keterampilan (skill) yang dapat dihandalkan, hal ini merupakan
tantangan baru yang tidak ringan bagi mereka yang datang dari desa. Pemenuhan kebutuhan
hidup “dinegeri orang” tentunya sangat dipengaruhi pula oleh tradisi atau sifat umum kesukaan
yang mendorong untuk pergi merantau (bermigrasi). Misalnya Suku Minang Kabau dan Batak
di Sumatera Utara atau Suku Bugis di Sulawesi. Banyak orang yang pergi merantau di
antaranya kaum pria kategori usia muda (20 – 30 tahun). Di Suku Minang Kabau orang yang
pergi merantau merupakan suatu kewajiban, apalagi bila si pria masih belum mampu secara
financial untuk memenuhi tanggung jawab keluarga, sementara ia telah berada dalam rentang
usia siap menikah. Jika kebiasaan ini tidak dijalankan, si pria bisa dijadikan bahan cemooh oleh
masyarakat sekelilingnya. Biasanya dalam periode di negeri orang inilah, orang minang kabau
yang merantau mulai mencari suatu bidang usaha untuk menghidupi dirinya bidang usaha yang
dipilih adalah berdagang atau membuka restoran Padang. Dan tak jarang pula mereka akhirnya
menetap didaerah tujuan, migrasi demikian disebut oleh suku Minang Kabau dengan merantau
Cina. (Wiki, 2007). Merantau berarti: a) pergi meninggalkan kampung halaman dan
berinteraksi dengan etnik/suku; b) dilakukan dengan suka rela dan atas kemauan sendiri; c)
dalam waktu yang singkat maupun lama; d) dalam rangka mencari rezeki, menuntut ilmu atau
menambah pengalaman; e) dengan keinginan untuk kembali (non permanen); f) didorong
sistem sosial yang ada. (Mantra, 1985: 166-167). Seperti diketahui bahwa sitem kekerabatan
suku minang adalah sistem garis keturunan ibu (matrilinial) sehingga harta warisan jatuh
kepada keturunan perempuan, sehingga laki-laki merasa tidak berhak, keadaan ini membuat
laki-laki minang cenderung merantau. Walaupun perantau laki-laki tersebut membawa serta
istrinya seorang perempuan minang pula.
Selanjutnya menurut Ensiklopedia Indonesia perilaku migrasi juga dilatarbelakangi
keadaan di mana pembangunan yang tidak merata dan lebih banyak terpusat di kota-kota besar
terutama di Pulau Jawa, sehingga banyak penduduk Indonesia merantau untuk mencari
pekerjaan atau memperoleh pendidikan yang lebih baik di daerah lain. (Merantau, 2007: 1).
Berbagai macam aspek kehidupan dapat diketahui sehubungan dengan pola migrasi, baik yang
berkaitan dengan hubungan antar individu dan kelompok atau antar kesukuan (etnografis),
kesehatan fisik dan mental, dan sebagainya (Weisenberg, 1991: 1). Jika ditinjau dari segi
sosiologi, para migran ini cenderung dapat menimbulkan lapisan-lapisan sosial atau stratastrata sosial baru yang nantinya menjadi beban kota dan juga menjadi kerja keras pula bagi
pemerintah kota, karena para migran ini, jika tidak berhasil hidup layak di kota maka mereka
akan menjadi gelandangan, pengemis, dan pengamen jalanan. Mereka juga sering membentuk
daerah atau hunian kumuh dan liar di tengah-tengah kota yang tentunya bertentangan dengan
masterplan atau tata ruang perkotaan atau tata ruang daerah. Akibatnya mereka menjadi
sasaran penertiban peraturan oleh aparat pemerintah. Mereka sering di kejar-kejar oleh petugas
penertiban peraturan karena mengakibatkan keresahan masyarakat, dan juga tidak sedap
dipandang mata karena kesemrawutan yang mereka ciptakan tersebut. Keberadaan para migran
ini akan mempengaruhi paling tidak empat hal, yakni terhadap penyerapan tenaga kerja,
terhadap perkembangan sarana sosial masyarakat sekitar, terhadap perkembangan infrastruktur,
dan terhadap pendapatan masyarakat sekitar. Dengan demikian masalah migrasi yang juga
144
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
mencakup urbanisasi merupakan masalah yang kompleks yang meliputi berbagai aspek baik
kesehatan, pendidikan, pemukiman, sosial ekonomi dan sosial budaya dan aspek hukum.
PENGERTIAN DASAR MIGRASI
Migrasi adalah salah satu faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk
disuatu wilayah, pengaruh ini dapat dilihat dikota-kota besar seperti di Indonesia, yakni di
Jakarta, Surabaya, Medan dan sebagainya. Migrasi adalah gejala gerak horizontal untuk
pindah tempat tinggal dan pindahnya bisa tidak terlalu dekat, melainkan melintasi batas
administrasi, pindah ke unit administrasi lain, misalnya kelurahan, kabupaten kota, sedangkan
yang jauh jaraknya dilakukan melintasi negara. Dengan kata lain migrasi merupakan
perpindahan penduduk dari satu unit geografis ke unit geografis lainnya. Unit geografis
tersebut dapat berarti suatu daerah administratif. Migrasi ini disebut juga migrasi internal.
Sedangkan Nani Suwondo menyebutnya dengan istilah Migrasi Nasional yakni perpindahan
penduduk dari suatu daerah ke daerah lain tetapi dilakukan dalam satu negara. Ada lagi
Migrasi keluar negara lain yang disebut migrasi internasional yang terdiri dari emigrasi atau
keluar ke negara lain, dan imigrasi yakni masuk ke negara lain. Migrasi Internasional tersebut
lebih peka daripada migrasi dalam negeri (Nasional) karena sering menimbulkan masalah
politik karena masing-masing negara membuat peraturan-peraturan tentang syarat yang harus
dipenuhi oleh warga negara asing yang ingin masuk ke negara tersebut sehingga frekuensi arus
migrasi Internasional sangat kecil dan negara Indonesia termasuk negara yang arus migrasi
Internasionalnya kecil. (Mantra, 1985: 157 -158). Ada pula migrasi psikososial yakni penduduk
yang pindah dari kota dengan alasan terlalu banyak orang dikota, migrasi ini selalu dilakukan
golongan menengah ke atas yang memiliki fasilitas dan sarana transport yang memadai,
sedangkan migrasi fisiososial yakni migran yang karena alasan kesehatan bermigrasi keluar
wilayahnya untuk mempercepat penyembuhan penyakit yang dideritanya selanjutnya migrasi
internasional (migrasi antar bangsa) tidak begitu berpengaruh terhadap bertambah atau
berkurangnya jumlah penduduk suatu negara kecuali karena bencana alam atau karena perang
dan lain sebagainya. Tidak berpengaruhnya terhadap pertumbuhan penduduk pada negara
tujuan di sebabkan peraturan atau Undang-Undang yang diberlakukan oleh banyak negara,
biasanya sangat ketat dan amatlah sulit bagi seseorang untuk menjadi warga negara/menetap
secara permanen di negara lain. Seperti diketahui negara Indonesia termasuk negara yang ketat
peraturannya untuk menerima warga negara lain untuk menjadi warga negara Indonesia. Jika
kita melihat sejarah masa lalu bahwa negara Indonesia pada tahun 1959 dengan adanya
migrasi internasional tersebut sehingga orang Tionghoa exsodus karena tidak diakuinya
berkewarganegaraan ganda sesuai dengan ketentuan PP No. 10 Tahun 1959, akibatnya ±
150.000 jiwa orang Tionghoa kembali ke RRC (Suhaimi, 1982: 14).
Selanjutnya dapat dilihat, jenis migrasi antara lain: (a). Migrasi masuk (in migration)
yakni masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan (area of distination). (b). Migrasi
keluar (out migration) yakni perpindahan penduduk keluar dari satu daerah asal (area of
origin). (c). Migrasi netto (net migration) yakni selisih antara migran yang masuk dan yang
keluar, apabila migrasi yang masuk lebih dari yang keluar maka disebut migrasi netto positif,
dan bila migrasi keluar lebih besar maka disebut netto negatif. (d). Migrasi Bruto (gross
migration) yaitu jumlah migrasi keluar dan masuk. (e). Migrasi total (total migration) yaitu
seluruh kejadian migrasi semasa hidup (life time migration) dan migrasi pulang (return
migration). Menurut Ross Steele, migrasi meliputi perpindahan ke rumah sebelah yang
jaraknya hanya beberapa meter dari rumah lama, tetapi mencakup juga perpindahan ke negara
lain yang jaraknya beribu-ribu kilometer. Sedangkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
menyatakan bahwa migrasi adalah suatu perpindahan tempat tinggal dari satu unit administratif
ke unit administratif lainnya. (Wahyu. 1985: 35). Dengan demikian migrasi yang dilakukan
145
Universitas Sumatera Utara
Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...
oleh penduduk sangat mempengaruhi tertib administrasi disuatu tempat tujuan. Hal ini secara
langsung mengakibatkan perubahan komposisi penduduk dalam suatu wilayah tujuan, dengan
tidak memandang jarak jauh atau dekatnya tempat yang menjadi tujuan para migran, baik
menetap secara permanen maupun non permanen.
MIGRASI DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Aktivitas perpindahan penduduk mempunyai dampak yang sangat berarti bagi daerahdaerah di mana migrasi itu terjadi, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosiologi, maupun disiplin
kependudukan itu sendiri. Sesuai hal tersebut di atas, Provinsi Sumatera Utara yang letak
geografisnya di antara 10 – 40 Lintang Utara dan 980 – 1000 Bujur Timur dengan ketinggian
daerah permukaan laut) – 1418 m sebelah utara berbatasan dengan Nanggroe Aceh Darussalam
dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Riau sebelah Barat
dengan Samudera Hindia dan memiliki luas wilayah 71680 km persegi, dengan jumlah
penduduk ± 12.500.000 jiwa. Provinsi Sumatera Utara, sejak zaman penjajahan Belanda telah
mengalami arus perpindahan penduduk yang bersifat internasional atau disebut migrasi
internasional, yang terjadi pada waktu itu karena migrasi merupakan aktivitas yang sangat
penting dampaknya bagi landasan pembangunan daerah Sumatera Utara, khususnya berkaitan
dengan sektor pertanian dan perkebunan. Sumatera Utara merupakan provinsi keempat yang
terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara
keadaan tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,26 juta jiwa, dan dari hasil Sensus
Penduduk 2005 jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 11,5 juta jiwa. Dari estimasi jumlah
pendudul keadaan juni 2005 menjadi 12.326.678 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Sumatera
Utara tahun 2000 – 2005 adalah 1,50 % pertahun. Namun jika ditinjau dari arus perpindahan
penduduk yang bersifat internal, di Provinsi Sumatera Utara, maka yang menjadi daerah
sasaran dalam aktivitas perpindahan penduduk antar kabupaten/kota adalah daerah perkotaan,
sehingga daerah perkotaan ini bisa dikatakan menjadi primadona masuknya arus migrasi. Lebih
spesifik lagi, daerah tersebut paling diminati dan menjadi incaran para migran adalah kota
Medan yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara. (BKKBN Provsu, 2007: 54)
Keadaan tersebut tentunya mempengaruhi persebaran penduduk. Persebaran
penduduk ini kemudian sangat berpengaruh pada pola pemukiman suatu daerah yang
dipengaruhi pula oleh iklim, letak dan bentuk dataran/tanah, kesuburan tanah, sumber alam,
sosial budaya, dan tekhnologi (BKKBN Provsu, 2007: 56). Oleh sebab itu tidak
mengherankan bila hasil sensus penduduk kota Medan yang mewakili 6 kota di Sumatera Utara
diperoleh angka 27,9%. Angka tersebut merupakan angka tertinggi masuknya arus migrasi dari
13 kabupaten yang mewakili ± 21 kabupaten di Sumatera Utara. Dengan demikian tidak
dipungkiri lagi bahwa Kotamadya Medan memang primadona dalam derasnya arus migrasi di
Sumatera Utara. Dalam menganalisa fenomena migrasi di Provinsi Sumatera Utara, pola yang
digunakan adalah pola Life Time Migration atau pola migrasi semasa hidup. (BPS Kota
Medan, 2003). Di samping migran masuk juga Sumatera Utara mengalami migran keluar di
mana penduduk Sumatera Utara pindah dari daerahnya ke provinsi luar dengan berbagai
motivasi. DKI Jakarta merupakan tujuan utama migran dari Sumatera Utara karena daya tarik
Kota Jakarta yang sangat besar sesuai dengan kedudukannya sebagai pusat pemerintahan,
pendidikan, perdagangan dan sebagainya. Selanjutnya jumlah arus migran terbanyak kedua
yang keluar adalah dengan tujuan Provinsi Riau (dahulu mencakup BATAM) yang oleh para
ahli disebut dengan istilah “ migran jarak dekat”. Selanjutnya dengan perkembangan
pembangunan perekonomian provinsi Sumatera Utara pada tahun – tahun terakhir ini
memungkinkan kembali arus migrasi masuk ke Sumatera Utara meningkat. Bahwa migran
yang masuk saat ini adalah migran non-transmigrasi, yakni migran profesional atau migran
146
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
yang masuk untuk bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, karena adanya pengembangan
sektor perdagangan, industri, pendidikan dan usaha bisnis lainnya (BKKBN Provsu, 2007: 57).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA MIGRASI ANTAR
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Pengaturan hukum yang berkenaan dengan masalah migrasi dapat direfer pada
Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera. Menurut jiwa Undang-Undang tersebut berbagai aspek kependudukan
harus dapat dikontrol atau dikendalikan termasuk
jumlah dan mobilisasinya
atau
perpindahannya. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk diarahkan pada
pengendalian kuantitas, perkembangan kualitas serta pengarahan mobilitas penduduk sebagai
potensi sumber daya agar menjadi kekuatan pembangunan dengan cara mewujudkan keserasian
dan keseimbangan kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk. Sehubungan dengan hal
tersebut perlu ada policy yang tepat yang didukung data yang lengkap dan akurat termasuk
memahami tentang karakteristiknya. Sehubungan dengan arus migrasi misalnya pemahaman
dan kejujuran melihat fakta yang sebenarnya diperlukan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya migrasi.
Untuk dapat mengetahui pergerakan migrasi di setiap wilayah di suatu negara,
terutama jika ingin membandingkan antara satu daerah dengan daerah lainnya, tentunya perlu
ada suatu pemahaman yang sama terlebih dahulu sesuai dengan indikator-indikator yang lazim
dipergunakan. Tetapi dalam penulisan ini tidak berpretensi untuk melakukan suatu
perbandingan tetapi sekedar memberikan deskripsi di Sumatera Utara. Secara geofrafis terlihat
bahwa persebaran penduduk di Provinsi Sumatera Utara tidak merata di wilayah pantai barat,
dataran tinggi dan pantai timur. 62,13 persen penduduk tinggal di wilayah pantai timur yang
relatif lebih subur bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Secara teoritis ada beberapa teori
yang berkaitan dengan faktor-faktor pendorong atau motivasi terjadinya migrasi sebagai
berikut: (1) Teori Grativitasi (Teori Tarik). Menurut Ravenstain yang dikenal sebagai bapak
migrasi. Teori ini menyatakan: a. Semakin jauh jarak, semakin berkurang volume migrasi. b.
Setiap arus migran yang benar, akan menimbulkan arus balik sebagai gantinya. c.
Adanya perbedaan desa dengan kota sehingga terjadi migrasi. d. Wanita cenderung
bermigrasi ke daerah yang dekat letaknya. e. Kemajuan teknologi akan mengakibatkan
intensitas migrasi. f. Motif utama migrasi adalah faktor ekonomi. (Hartono, 1990: 22).
Selanjutnya Faktor-faktor penarik lain adalah: a. Ada rasa superior ditempat yang baru, atau
kesempatan untuk memasuki lapangan kerja baru yang lebih cocok. b. Kesempatan
mendapatkan pendapatan yang lebih baik. c. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih
tinggi. d. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan. Misalnya iklim,
perumahan, sekolah dan fasilitas – fasilitas kemasyarakatan lainnya. e. Ajakan dari orang
yang diharapkan sebagai tempat berlindung. f. Adanya aktivitas-aktivitas dikota besar,
yakni tempat-tempat hiburan, pasar kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang desa atau
kota kecil. (2) Teori dorong yang menyebabkan arus migrasi adalah: a. Makin berkurangnya
sumber daya alam, menurunnya permintaan atas barang tertentu yang bahan bakunya makin
susah di peroleh seperti hasil kayu, tambang atau pertanian. b. Kurangnya lapangan pekerjaan
ditempat asal, misalnya dipedesaan akibat masuknya tekhnologi baru. c. Adanya tekanan
diskriminasi politik, agama, suku di daerah asal. d. Tidak cocok lagi dengan adat budaya
ditempat asal. (pada umumnya anak-anak remaja). e.Alasan pekerjaan atau perkawinan
sehingga sulit mengembangkan karir. f. Karena bencana alam, banjir, gempa bumi, wabah
penyakit, perang, dan kemarau panjang dan lain sebagainya. Menurut Everest Lee teori dorong
ini ada 4 (empat) faktor penting bagi seseorang untuk bermigrasi yaitu: a. Faktor yang terdapat
di daerah asal. b. Faktor yang terdapat di daerah tujuan. c. Faktor rintangan atau penghambat,
147
Universitas Sumatera Utara
Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...
hal ini berbeda bagi masing-masing individu, ada yang memandang ringan dan ada pula yang
memandangnya sebagai hal yang berat (tidak dapat diatasi), contoh: Jarak yang jauh, dan
biaya transport sehingga menjadi penghalang bagi seseorang untuk bermigrasi. d. Faktor
Pribadi/Individu yakni kepastian seseorang dalam mengambil keputusan untuk bermigrasi
kedaerah lain (Hartono, 1990: 23).
Dari teori tersebut mempunyai makna, perpindahan penduduk yang terjadi antar
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dipengaruhi banyak faktor salah satunya bahwa
daerah tempat asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan, serta lingkungan
dan keadaan alamnya tidak mendukung, mengakibatkan terbatasnya sumber daya yang
dibutuhkan dari daerah tersebut. Disisi lain dapat dilihat, daya tampung daerah tujuan dan
keadaan lingkungannya sangat menjanjikan dengan tersedianya lapangan kerja, peluang
meningkatkan pendapatan, sarana hiburan, pendidikan yang lebih baik, kesehatan dan lain
sebagainya. Namun pada umumnya, migrasi bersifat selektif artinya bahwa yang pindah dan
menempati tempat baru, memiliki karakteristik kependudukan yang khas, yakni mengenai
umur, pendidikan, status sosial, kebudayaan dan sebagainya. Banyak golongan penduduk muda
dari daerah-daerah luar kota Medan yang pandai dan berkemampuan dalam bidang materi
lebih memilih bermigrasi ke kota Medan, dengan tujuan untuk menambah ilmu atau menuntut
ilmu di Perguruan Tinggi yang tidak tersedia didesa asalnya. Tetapi, setelah menyelesaikan
atau menamatkan studi, mereka lebih suka tinggal di kota Medan. Begitu pula bagi mereka
yang memang lahir dan menetap di kota Medan enggan untuk meninggalkan kota Medan.
Dengan demikian golongan penduduk yang berilmu di kota Medan terus meningkat jumlahnya
bila dibandingkan dengan diluar kota Medan. Tetapi sebaliknya para migran tersebut beraneka
ragam watak dan latar belakang kehidupannya datang ke kota Medan, belum tentu bisa
ditolerir, sebab kota Medan pun mempunyai batas-batas kemampuan untuk menampung para
migran. Jika dipandang dari aspek hukum dan kependudukan maka migrasi yang terjadi di kota
Medan dapat mengakibatkan peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, pertambahan
jumlah penyandang penyakit sosial dan pelanggar hukum seperti gelandangan dan pengemis,
pengamen-pengamen dai pinggir jalan dan peningkatan intensitas tindak kriminalitas terhadap
harta kekayaan seperti pencurian, perampokan, termasuk tindak kriminalitas berupa
pencemaran dan perusakan lingkungan, antara lain membuang sampah maupun limbah
disembarangan tempat serta memanipulasi data kependudukan. Keadaan tersebut di atas
merupakan problema yang harus diatasi dan dicari solusinya sesuai peraturan yang berlaku
juga sekaligus menjadi acuan dan pertimbangan faktual dalam perancangan peraturan yang
akan diberlakukan.
UPAYA-UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM
PENANGGULANGAN ARUS MIGRASI DI KOTA MEDAN
Dalam era globalisasi terdapat kecenderungan desentralisasi dan pendelegasian
wewenang yang lebih luas. Pemerintah pusat lebih memusatkan perhatiannya pada masalahmasalah yang bersifat makro, dan hal itu akan membuka peluang bagi masyarakat dan
pemerintah daerah serta masyarakat lokal dan untuk menangani masalah-masalah lokal dan
daerah. Walaupun dari sudut alokasi dana kecenderungan juga semakin kecil yang dialokasikan
ke pemerintah daerah bagi keperluan pembanguna daerah. Beberapa pengamat ekonomi
memperkirakan bahwa pada era 2000-an, kondisinya tidak memungkinkan bagi pemerintah
pusat untuk memperbesar pengeluaran pembangunan guna mempertahankan momentum
pembangunan daerah sebagaimana era 1970-an (Tjiptoherijanto, 1987: 113). Dengan demikian
apabila momentum pembangunan daerah tersebut ingin dipertahankan maka potensi sumber
daya daerah itu sendiri yang harus dimobilisasi (Soetomo, 2006: 33). Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, keberadaan Kota Medan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara sekaligus
sebagai pusat tujuan pergerakan migrasi khususnya urbanisasi perlu mendapat perhatian serius
148
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006
dari pengamat, perguruan tinggi dan khususnya dari pemerintah kota. Penyiapan informasi dan
data akurat sejak dini dapat membantu mempersiapkan usulan kebijakan atau policy yang tepat
untuk mengantisipasi dan mengatasi problematika yang berakar dari migrasi penduduk.
Pengalaman Jakarta perlu menjadi bahan kajian pemerintah kota sehingga berbagai masalah
yang sekarang dihadapi Ibu Kota negara Republik Indonesia tersebut dapat diminimalisir oleh
kota Medan jika menghadapi masalah serupa. Secara geografis kota Medan terletak antara 020
29’ 30’-020 47’ 30’ dan 980 47’ 36’ Bujur Timur berbatasan dengan Selat Malaka, dan sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Langkat, sebelah selatan dengan kabupaten Deli Serdang
luas wilayah 265, 10 KM2 yang terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Dan saat ini usia
kota Medan sudah 400 tahun lebih menunjukkan bahwa kota Medan keberadaannya sebagai
kota terbesar nomor tiga setelah Jakarta dan Surabaya, dengan demikian sebagai kota besar
sudah tentu banyak memiliki berbagai daya tarik bagi masyarakat/penduduk di luar dan kota
Medan, apalagi kota Medan berkembang begitu cepat menuju Medan Metropolitan mengikuti
arus perkembangan zaman, sehingga keinginan penduduk luar kota Medan untuk berimigrasi
sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari kepadatan penduduk kota Medan yakni 7.681 per km2
(sensus penduduk 2005). Masuknya migran ke kota Medan apabila tidak dikendalikan, maka
dapat berdampak negatif terhadap proses pembangunan kota Medan sendiri.
KESIMPULAN
Umumnya pelaksanaan pembangunan sosial dalam mengatasi suatu dampak sosial
dari suatu permasalahan kemasyarakatan seperti migrasi ini, memerlukan strategi khusus yang
merupakan bagian dari strategi untuk melaksanakan kebijakan sosial. Kebijakan sosial itu pada
akhirnya merupakan respon terhadap masalah sosial (Soetomo, 2007: 372). Beberapa kebijakan
sosial tentatif yang perlu dikaji dan dikembangkan untuk menjadi kebijakan sosial (social
policy) dalam peraturan perundang-undangan antara lain: a. Melalui penataan di bidang
kependudukan, yang diregistrasikan dalam administrasi kependudukan. Yang artinya setiap
penduduk yang bermukim dikota Medan harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang
syah. b. Perlu adanya sorotan terhadap migrasi ini, secara sinkronisasi antara kabupaten dan
kota antara kabupaten dan desa dan terkoordinasi, sebab kota sudah terlalu padat penduduknya.
Sehingga dapat mengakibatkan polusi dan pencemaran lingkungan karena banyaknya
pemukiman kumuh dipinggir sungai yang dapat mengakibatkan banjir di kota. Oleh karena itu
masyarakat kota harus turun tangan. c. Untuk menanggulanginya diharapkan dengan kesadaran
sendiri para migran u kembali ke daerah asal untuk meningkatkan taraf hidup di daerah
asalnya. d. Instansi terkait harus berperan dan sungguh-sungguh bekerja untuk memulangkan
Migran ke daerah asal tanpa biaya yang memberatkan, dan bila perlu diberi bekal materi
secukupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2003.
Bintarto, 1984. Urbanisasi dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Guy Standing. 1987. Konsep-konsep Mobilitas di Negara Berkembag. Puslit Kependudukan
UGM.
Haris Abdul Adika Nyoman. 2002. Gelombang Migrasi dan Konflik Kepentingan Regional.
Lesti Yokyakarta.
149
Universitas Sumatera Utara
Surianingsih: Pola Migrasi di Provinsi Sumatera Utara ...
Hartono, H, CS. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Bumi Aksara.
Harus Suhaimi. 1981. Lokakarya Kependudukan. USU
Http://id.wiki.pedia : org/wiki merantau. 2007
Wahyu. M S, 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha Nasional.Surabaya.
Arif. M. 1990. Migrasi Antar Provinsi. Makalah Seminar ke pendudukan dan lingkungan
hidup.
Mantra, Ida Bagus. 1985. Pengantar Studi Demografi.
Prawiro, Ruslan. 1983. Kependudukan Teori, Fakta dan Masalah. Alumni Bandung.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10/ 1992 tentang Migrasi.
Soetomo, 2006. Strategi-starategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar Jakarta.
Suwondo Nani. 1982. Hukum dan Kependudukan di Indonesia. Bina Cipta Bandung.
Tjiptoherijanto, Prijono. 1987. Perspektif Daerah Dalam Pembangunan Nasional. Fakultas
Ekonomi UI Jakarta.
Witenberg, Abraham A. 1991. Migrasi dan Asimilasi. Terjemahan oleh Tim SPS Ilmu Hukum
UI Jakarta.
150
Universitas Sumatera Utara