Pulut Kuning; Studi Etnofood Tentang Kuliner Pada Masyarakat Melayu Deli Kecamatan Hamparan Perak

(1)

PULUT KUNING

(Studi Etnofood Tentang Kuliner Pada Masyarakat Melayu Deli Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mendapat gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi

Disusun Oleh : Azhari Ichlas Siregar

090905014

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N 2 0 1 5


(2)

(3)

PERNYATAAN ORIGINALITAS

PULUT KUNING

(Studi Etnofood Tentang Kuliner Pada Masyarakat Melayu Deli Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Mei 2015


(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Pulut Kuning (Studi Etnofood Tentang Kuliner Pada Masyarakat Melayu Deli Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang), disusun oleh Azhari Ichlas Siregar, NIM 090905014, berjumlah 105 halaman dengan 4 gambar dan 4 tabel.

Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan mendeskripsikan makanan tradisional, yakni pulut kuning yang memiliki simbol dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak. Pulut kuning adalah makanan tradisional masyarakat Melaui yang memiliki simbol dan keterkaitan dengan kehidupan kebudayaan masyarakat Melayu secara umum. Simbol yang dimiliki oleh pulut kuning adalah representasi kehidupan kebudayaan masyarakat Melayu dan menjadi fokus penelitian ini.

Proses penelitian yang dilakukan menggunakan metode etnografi yang bertujuan mendeskripsikan secara utuh dan menyeluruh mengenai pulut kuning pada masyarakat Melayu Hamparan Perak, dengan menggunakan pendekatan observasi dan wawancara terhadap masyarakat Melayu Hamparan Perak. Dalam proses pengumpulan data lapangan yang dilakukan, peneliti menemui beberapa informan yang mengetahui seluk-beluk pembuatan dan simbol pulut kuning di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

Penelitian ini mendapatkan data lapangan bahwa pulut kuning merupakan makanan tradisional masyarakat Melayu Hamparan Perak yang memiliki simbol ekspresi, simbol kultural, dan simbol identitas bagi masyarakat Melayu Hamparan perak, selain itu pulut kuning selain memiliki simbol kultural juga turut memiliki simbol ekspresi kuliner tradisi yang dapat menjadi dasar pengembangan kuliner dalam lingkup ketahanan pangan dan juga kekayaan tradisi Melayu secara umum dan secara khusus. Kesimpulan dari penelitian ini sampai pada pulut kuning memiliki kekuatan yang menyatukan kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak (silaturahim) dan juga simbol kultural masyarakat Melayu yang berkaitan dengan kebudayaan Islam, gagasan pengembangan pulut kuning menjadi kekuatan kultural dan juga kekayaan tradisi kuliner yang berdampak pada kegiatan pariwisata maupun identitas.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayahNya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pulut Kuning; Studi Etnofood Tentang Kuliner Pada Masyarakat Melayu Deli Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang” dengan baik. Skripsi ini di susun untuk di ajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana ilmu sosial dalam bidang Antropologi Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua saya Syahrul Siregar dan Nurliana Situmorang yang penuh cinta dan kasih sayang telah membesarkan dan setia mendoakan, mendukung, dan selalu menyemangati serta selalu mencukupi kebutuhan penulis. Semoga apa yang saya berikan saat ini dapat menambah kebanggaan bagi orangtua. Selama penyusunan skripsi ini penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan kelemahan. Untuk itu penulis membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun guna perbaikan di masa yang akan datang.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini dan penulis ucapkan terimakasih kepada :


(6)

1. Bapak Prof. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Bapak Nurman Achmad, S.Sos., M.Soc.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi dukungan kepada saya dengan sebaik mungkin dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Kepada seluruh dosen ilmu Antropologi Sosial dan dosen pengajar mata kuliah, yang telah memberikan materi kuliah selama penulis menjalankan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Kepada Drs. Yance, Msi yang telah memberikan saya perhatian lebih dalam menjalani masa kuliah dan senantiasa memberikan pelajaran, nasihat, pandangan-pandangan kritis yang sedikit banyaknya telah mengubah saya menjadi manusia yang bertanggungjawab dan mampu menyelesaikan kuliah saya sesuai dengan yang di harapkan.

6. Terimakasih kepada aparatur Desa Hamparan Perak atas bantuan dan kerjasamanya selama saya melakukan penelitian.

7. Terimakasih kepada seluruh informan yang ada di Desa Hamparan Perak yang telah bersedia menjadi informan dan banyak membantu saya dalam proses penelitian.

8. Terimakasih kepada sahabat-sahabat terdekat saya abangda Avena Matondang, Tino Saragih, Rebecca, Rizna, Nessya Presella, Yola, Ali Agasi. Together we stand NagaIX.


(7)

9. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan di Antropologi Sosial 2009: Bastian, Rizky Aceh, Christian Sidabalok, Edi Jait, Firky, Asrul Fahmi, Razakiko, Lita, Zulfa, Creyssant, Indah, Tripresar John, Yohana, Adit, Enggi, Intan, Naya, Daniel Lalan Tobing, Samuel, Sarly dan semuanya. Tak ada satupun waktu yang tak berkesan saat kebersamaan masih menjadi milik kita semua. Sukses untuk kita semua.

10. Devi Aini Nur Ritonga, terimakasih telah memberikanku semangat dengan caramu sendiri yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Setelah ini masih banyak yang akan kita perjuangkan bersama. Terimakasih untuk waktu dan kebersamaan di tiga tahun belakangan ini semoga kita bisa menatap mimpi, cita-cita, dan meraih kehidupan bahagia dimasa yang akan datang.

11. Terimakasih kepada tante Nurmala Situmorang yang telah melengkapi kebutuhan saya selama saya menjalani masa kuliah.

12. Terimakasih kepada adik-adikku tersayang Adriana Siregar dan Fitria Anggina Siregar yang selalu mendoakan, menyemangati dan terus memaksa agar segera menyelesaikan skripsi ini.

13. Terimakasih untuk BFF group, Devi, Yudha, Topan, Jibriel, Dedek, Mira, Bibib, Fahmi, Buny, dan Pipin yang sedikit banyaknya telah memberi semangat dan membawa saya kedalam lingkungan kehidupan para sosialita.

14. Terimakasih untuk para kerabat lintas stambuk Jonathan, Nunuk, Rendi, Junjung, Andri, Gorat, Bendri, Fajrin, Septian, Bistok, Adi, Redno dan semuanya yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu sukses untuk kita semua.


(8)

15. Untuk kedua sahabat lama saya Belman Maruli Tua Sirait dan Mika Haposan Sitorus yang saat ini sedang berjuang di Ibu Kota Negara untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Banyak hal yang tidak mungkin kita lupakan saat kita bersama, dari masa putih abu hingga kita merantau menginjakkan kaki di Kota Medan. Terimakasih atas bantuan kalian yang tidak mungkin dilupakan.

16. Terimakasih untuk teman-teman satu rumah saya terdahulu di Sembada, Lalan, Tommy, Aldi, Bismi, Roby, Bang Moses, Bang Jefri, Iqbal, yang telah mengajarkan saya pengalaman di dunia event organizer. Semoga pengalaman ini sedikit banyaknya dapat membantu saya di kehidupan masa mendatang.

Dan kepada semua yang tidak dapat disebutkan satu per satu saya ucapkan terimakasih untuk dukungan, doa, serta semangat sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2015


(9)

RIWAYAT HIDUP

Azhari Ichlas Siregar, lahir di Pematang Siantar pada tanggal 3 November 1990. Anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Syahrul Siregar dan Nurliana Situmorang, beragama Islam dan berdarah Batak.

Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas dari SMA Negeri 1 Pematang Siantar pada tahun 2007 dan melanjutkan pendidikan strata satu di Universitas Medan Area pada tahun 2008-2009 kemudian pada tahun 2009 penulis mengikuti SPMB dan lulus seleksi untuk masuk di Departemen Antropologi – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Pengalaman organisatoris yang pernah penulis ikuti diantaranya adalah : Kabid. Pengembangan Minat dan Bakat, MPI Komisariat Universitas Sumatera Utara, Panitia Dies Natalis Departemen Antropologi, FISIP-USU, Panitia Diskusi “Islam dan Stigma Teroris; Suatu Pandangan Antropologi Agama” yang diselenggarakan oleh Laboratorium Antropologi, FISIP-USU bekerjasama dengan Kesbangpolinmas serta turut serta sebagai crew pada kegiatan JKT48 Indonesian Tour Concert pada tahun 2013. Penulis juga merupakan anggota tim asistensi pada Sekretariat Dewan DPRD Kota Medan periode tahun 2014-2018, alamat email


(10)

penulis : azhariichlas@icloud.com.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan dan penyusunan penelitian ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial pada bidang antropologi dari departemen antropologi. Skripsi ini berjudul “Pulut Kuning (Studi Etnofood Tentang Kuliner Pada Masyarakat Melayu Deli Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)”.

Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dalam menulis kepustakaan dan materi penulisan. Namun, berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan ketabahan, kesabaran dan kekuatan sehingga kesulitan tersebut dapat dihadapi.

Dalam penulisan skripsi ini dilakukan pembahasan secaea holistik mengenai simbol pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak di Kabupaten Deli Serdang. Pembahasan tersebut diuraikan dari bab I sampai dengan bab V. Adapun penguraian yang dilakukan oleh penulis pada skripsi ini adalah :

Bab I penelitian yang dilakukan ini merupakan deksripsi mengenai simbol yang terdapat pada pulut kuning, adapun pulut kuning adalah salah satu kuliner tradisi masyarakat Melayu yang masih ada hingga saat ini.


(11)

Bab II memuat deskripsi mengenai wilayah Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang dan juga deskripsi masyarakat Melayu Hamparan Perak.

Bab III deskripsi mengenai pulut kuning, mencakup bahan baku dan proses pembuatan pulut kuning, simbol warna, ritual dan makna yang terkandung pada penyajian pulut kuning.

Bab IV proses penggalian makna pulut kuning dalam kehidupan masa kini yang dapat menjadi pendukung dalam kehidupan secara luas, mencakup pengembangan kehidupan kebudayaan, pariwisata berbasis kebudayaan dan juga pelestarian nilai-nilai kehidupan kultural Melayu.

Bab V memuat kesimpulan dan saran penelitian mengenai pulut kuning pada masyarakat Melayu Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, Mei 2015 Penulis


(12)

Azhari Ichlas Siregar DAFTAR ISI

Pernyataan Originalitas ... i

Abstrak ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Riwayat Hidup ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Gambar ... xii

Daftar Tabel ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 4

1.2.1 Ethnofood ... 4

1.2.2 Simbol Penyajian Makanan ... 6

1.2.3 Masyarakat Melayu Deli ... 7

1.3 Perumusan Masalah ... 8

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 9

1.5Lokasi Penelitian ... 10

1.6Metode Penelitian ... 10

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data ... 11

1.7 Analisis Data ... 14

1.8Pengalaman Lapangan ... 15

BAB II SUKU MELAYU HAMPARAN PERAK ... 22

2.1 Definisi Melayu ... 22

2.2 Suku Melayu Hamparan Perak ... 26

2.2.1 Sejarah Pendudukan Hamparan Perak ... 26

2.2.2 Letak Lokasi ... 28

2.2.3 Kependudukan ... 30

2.2.4 Bahasa ... 32

2.3Sistem Kekerabatan Suku Melayu Hamparan Perak ... 32

2.4Upacara-upacara Pada Masyarakat Melayu ... 41

BAB III PULUT KUNING ... 42

3.1 Deskripsi Pulut Kuning ... 42

3.2 Proses Pembuatan dan Tata Cara Penyajian Pulut Kuning .. 43

3.3 Simbol Pada Pulut Kuning ... 47

3.4 Upacara Menggunakan Pulut Kuning ... 50

3.4.1 Upacara Perkawinan ... 50


(13)

3.4.3 Upacara Mendirikan Rumah ... 59

3.4.4 Upacara Melahirkan ... 61

3.4.5 Upah-upah ... 62

3.4.6 Upacara Khatam Al-quran ... 66

BAB IV MAKNA SIMBOLIS PULUT KUNING ... 74

4.1 Simbolis Pulut Kuning ... 74

4.1.1 Simbol Warna ... 75

4.1.2 Simbol Penyajian ... 76

4.1.3 Simbol Bale ... 78

4.1.4 Simbol Upacara ... 80

4.2 Eksplorasi Nilai Pada Pulut Kuning ... 83

4.3 Pulut Kuning dan Tradisi Islam ... 90

4.4Pulut Kuning dan Percampuran Budaya ... 96

4.5Pulut Kuning dan Simbol Yang Melekat Padanya ... 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

5.1 Kesimpulan ... 100

5.2 Saran ... 102


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Keterangan Halaman

Gambar 1 Dunia Melayu 25

Gambar 2 Sketsa Lokasi Penelitian 28

Gambar 3 Rumah Melayu Hamparan Perak 44


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Keterangan Halaman

Tabel 1 Penduduk Hamparan Perak Berdasarkan Suku Bangsa 30 Tabel 2 Komposisi Penduduk Menurut Agama 31 Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan

Tingkat Mata Pencaharian 31


(16)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Pulut Kuning (Studi Etnofood Tentang Kuliner Pada Masyarakat Melayu Deli Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang), disusun oleh Azhari Ichlas Siregar, NIM 090905014, berjumlah 105 halaman dengan 4 gambar dan 4 tabel.

Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan mendeskripsikan makanan tradisional, yakni pulut kuning yang memiliki simbol dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak. Pulut kuning adalah makanan tradisional masyarakat Melaui yang memiliki simbol dan keterkaitan dengan kehidupan kebudayaan masyarakat Melayu secara umum. Simbol yang dimiliki oleh pulut kuning adalah representasi kehidupan kebudayaan masyarakat Melayu dan menjadi fokus penelitian ini.

Proses penelitian yang dilakukan menggunakan metode etnografi yang bertujuan mendeskripsikan secara utuh dan menyeluruh mengenai pulut kuning pada masyarakat Melayu Hamparan Perak, dengan menggunakan pendekatan observasi dan wawancara terhadap masyarakat Melayu Hamparan Perak. Dalam proses pengumpulan data lapangan yang dilakukan, peneliti menemui beberapa informan yang mengetahui seluk-beluk pembuatan dan simbol pulut kuning di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

Penelitian ini mendapatkan data lapangan bahwa pulut kuning merupakan makanan tradisional masyarakat Melayu Hamparan Perak yang memiliki simbol ekspresi, simbol kultural, dan simbol identitas bagi masyarakat Melayu Hamparan perak, selain itu pulut kuning selain memiliki simbol kultural juga turut memiliki simbol ekspresi kuliner tradisi yang dapat menjadi dasar pengembangan kuliner dalam lingkup ketahanan pangan dan juga kekayaan tradisi Melayu secara umum dan secara khusus. Kesimpulan dari penelitian ini sampai pada pulut kuning memiliki kekuatan yang menyatukan kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak (silaturahim) dan juga simbol kultural masyarakat Melayu yang berkaitan dengan kebudayaan Islam, gagasan pengembangan pulut kuning menjadi kekuatan kultural dan juga kekayaan tradisi kuliner yang berdampak pada kegiatan pariwisata maupun identitas.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Istilah berburu dan meramu yang merujuk pada perilaku manusia pra-sejarah, merupakan pola yang berkaitan dengan konsumsi dalam hal ini makanan. Berburu hewan dan meramu menjadi makanan yang kelak menjadi sumber tenaga bagi individu masyarakat pra-sejarah.

Kenyataan sejarah tersebut kini berkembang sesuai dengan konteks ruang dan waktu, dimana berburu dan meramu telah berkembang menjadi pola konsumsi makanan yang berkaitan dengan sumber makanan atau bahan dasar, pola penyajian, dan ritual yang melingkupi pola konsumsi makanan tersebut. Pola konsumsi makanan tidak hanya sekedar bentuk pemenuhan keinginan individu manusia terhadap kebutuhan tenaga melainkan juga berkembang menjadi pola konsumsi yang mengikutsertakan aspek lainnya dalam kehidupan.

Perkembangan hidup manusia yang terbagi pada beberapa fase dimulai dari zaman pra-sejarah hingga pada zaman modern saat sekarang ini, berkaitan dengan pola konsumsi dan jenis makanan. Makanan yang pada zaman pra-sejarah merupakan makanan yang tersedia di alam sekitar dan diproses secara sederhana kini telah mengalami perkembangan menjadi makanan yang memiliki nilai luas dan diproses secara kompleks.


(18)

Makanan bagi manusia sejatinya adalah sebentuk pemenuhan kebutuhan energi secara biologis, dimana kebutuhan atas energi tersebut terdapat dilingkungan sekitar kehidupan. Pada tahapan perkembangan pemenuhan atas kebutuhan energi tersebut, makanan yang berasal dari alam atau lingkungan hidup dimanifestasikan kedalam bentuk simbol-simbol yang berkaitan dengan kehidupan, tidak hanya sekedar sebagai tanda melainkan juga turut menyimpan beragam hal yang berkaitan dengan makanan, kehidupan dan pola konsumsi.

Beberapa penelitian mengenai makanan, pola konsumsi, hingga simbol yang terdapat pada makanan telah dilakukan dalam rentang waktu yang panjang dalam lingkup kajian antropologi (Claude Levi-Strauss:1965, Sutton:2001, Counihan:2004). Hal tersebut turut memberikan gambaran mengenai pentingnya peran makanan, pola konsumsi dan simbol yang terdapat pada makanan terhadap kehidupan kebudayaan manusia.

Pemahaman Strauss (1965) terhadap strukturalism juga dipengaruhi oleh aspek makanan yang kemudian memunculkan pemikiran mengenai “culinary triangle”, dimana dalam kajian tersebut Strauss (1965) membagi antara makanan mentah dan makanan masak yang merepresentasikan pemikiran manusia atas nature dan culture.

Mengutip Foster dan Anderson (1978) bahwa makanan juga memiliki keterkaitan terhadap hubungan sosial yang tercipta dalam kehidupan masyarakat dan juga sebagai cara berkomunikasi diantara mereka, sehingga makanan bukan saja sebagai proses mengkonsumsi melainkan juga sebagai proses yang menggambarkan keterkaitan antar individu dalam kehidupan pola hubungan sosial


(19)

yang tercipta melalui kegiatan makan.

Pentingnya arti konsumsi makanan menjadi perhatian kajian antropologi, yang terbagi atas tata cara pengumpulan bahan makanan, proses pembuatan, penyajian dan ritual hingga nilai asupan nutrisi. Hal ini memberi gambaran singkat bahwa makanan berpengaruh dalam kehidupan manusia secara luas.

Dalam kehidupan masyarakat Melayu di Kota Medan, pola konsumsi makanan juga memiliki rentang perjalanan sejarah dan kompleksitas dalam penyajiannya yang dalam hal ini dimanifestasikan dalam bentuk penyajian pulut kuning. Penelitian ini terfokus pada aspek simbol penyajian makanan pada masyarakat Melayu di Kota Medan, dalam hal ini simbol penyajian makanan yang diberi nama pulut kuning.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa makanan pulut kuning termasuk jenis makanan yang memiliki simbol penyajian dalam kehidupan masyarakat Melayu, pulut kuning disajikan pada kesempatan waktu tertentu; seperti pada acara upah-upah (memberkati), perkawinan, dan bentuk ritus kehidupan lainnya.

Selain memiliki dimensi ruang dan waktu penyajian tertentu, pulut kuning juga memiliki tekstur warna makanan yang terkait dengan kehidupan masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Melayu Deli dimana warna kuning disebut juga sebagai warna kebesaran atau sebagai representasi kemegahan, kejayaan bagi masyarakat Melayu Deli yang seiring dengan istilah yang erat dalam kehidupan mereka, yakni 'takkan surut Melayu di bumi.


(20)

1.2 Tinjauan Pustaka

Untuk mendukung dan menjadikan penelitian ini sejalan dengan konteks antropologi, terdapat beberapa literatur dan pemikiran mengenai etnofood dan makanan, simbol pada penyajian makanan serta masyarakat Melayu Deli sebagai pendukung dari perilaku kebudayaan yang berkaitan dengan penelitian ini

1.2.1 Etnofood

Etnofood atau etnografi makanan adalah suatu bentuk kajian yang berkembang dalam ranah antropologi secara luas pada saat sekarang ini, makanan tidak hanya dilihat dan dideskripsikan sebagai pola konsumsi manusia melainkan berkaitan dengan beragam aspek hidup lainnya.

Berkaitan dengan penggunaan kajian etnofood dalam penelitian ini, kiranya pendapat dari Deutsch dan Miller (2009:3) dapat memberikan gambaran mengenai hal tersebut :

“ . . . states that food studies is the interdisciplinary field of study of food and culture, investigating the relationships between food and the human experience from a range of humanities and social science perspectives, often times in combination.”

Pendapat Deutsch dan Miller (2009:3) tersebut mendefiniskan kajian mengenai makanan merupakan sebentuk kajian interdisiplin melingkupi makanan dan kebudayaan yang mencari hubungan keterkaitan antara makanan dengan pengalaman manusia dalam rentang kemanusiaan dan perspektif ilmu sosial.


(21)

Lebih lanjut, Belasco (2008:6) merunutkan perkembangan mengenai kajian makanan dalam perspektif sosial dan kultural :

“Food studies emerged some thirty years ago because scholarship is following wider urban middle-class culture, which, since the seventies, has become much more interested in food-related matters of taste, craft, authenticity, status and health.”

Belasco (2008:6) berpendapat bahwa kajian mengenai makanan telah mulai berkembang semenjak tiga dekade yang lalu yang disebabkan oleh mengikuti budaya masyarakat urban kelas menengah, yang mana pada waktu itu memiliki ketertarikan terhadap hubungan makanan dengan citarasa, kerajinan, otentik, status dan kesehatan.

Budaya makan tidak lepas dari pengaruh perilaku manusia dan kebudayaan yang melingkupi kehidupan manusia tersebut, Skowroński (2007:362) mengatakan budaya makan adalah :

“food culture is a set of practices, habits, norms and techniques, applied to food and eating; it encompasses food production, distribution and consumption, it also includes foodstuffs and other material artifacts.”

Beragam pendapat tersebut dalam penelitian ini dipergunakan sebagai landasan berfikir dan melihat fenomena etnofood dalam tataran kehidupan masyarakat, yaitu masyarakat Melayu Deli yang direpresentasikan pada bentuk penyajian pulut kuning.


(22)

1.2.2 Simbol Penyajian Makanan

Sutton (Counihan, 2004:25) memberikan pandangan mengenai keterkaitan antara makanan dan simbol penyajian, yang didefinisikannya sebagai berikut :

“Certain foods can become emblematic 'objects of memory', symbols of the past that are no longer regularly consumed because too difficult to prepare or no longer palatable or customary.”

Pendapat Sutton mengenai simbol penyajian makanan tersebut juga didukung oleh pendapat Mintz dan Du Bois (2002:107) yang menyatakan bahwa etnografer telah mendapatkan masukan mengenai kaitan kajian bagaimana manusia menghubungkan makanan yang dikonsumsi kepada bentuk ritual, simbol dan kepercayaan hidup. Secara lebih lengkap Mintz dan Du Bois (2002:107) menuliskan :

“Ethnographers have found multiple entry points for the study of how humans connect food to rituals, symbols, and belief systems. Food is used to comment on the sacred and to reenact venerated stories. In consecrated contexts, food "binds" people to their faiths through "powerful links between food and memory". Sometimes the food itself is sacred through its association with supernatural beings and processes.”

Selain sebagai bentuk simbol ingatan, makanan juga memiliki simbol terhadap kesehatan fisik dan mental sebagaimana yang ditunjukkan oleh pola konsumsi makanan tersebut, Counihan (2004:32) mengatakan hal tersebut :

“Older Florentines did not think exclusively or primarily about the body as an aesthetic object but as a symbol of inner states—of mental and physical health. They derived this belief out of a past where hunger and infectious disease were chronic and where a thin body represented vulnerability.”


(23)

Wilk (1999) juga menyatakan pendapatnya mengenai simbol dalam penyajian makanan, dimana simbol penyajian makanan merupakan bentuk lain dari ekspresi identitas suatu kehidupan masyarakat, Wilk (1999:244) mengungkapkan hal tersebut sebagai :

“It is an anthropological truism that food is both substance and symbol, providing physical nourishment and a key mode of communication that carries many kinds of meaning (Counihan and Van Esterik 1997). Many studies have demonstrated that food is a particularly potent symbol of personal and group identity, forming one of the foundations of both individuality and a sense of common membership in a larger, bounded group. What is much less well understood is how such a stable pillar of identity can also be so fluid and changeable, how the seemingly insur-mountable boundaries between each group's unique dietary practices and habits can be maintained, while diets, recipes, and cuisines are in a constant state of flux (Warde 1997:57-77).”

Simbol yang terangkum dalam makanan (bahan baku, teknik pengolahan dan penyajian) menjadi sebentuk nilai yang melingkupi makanan tersebut sebagai bagian dari ekspresi identitas dan berkaitan pula dengan budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut, seperti tatacara atau ritual dalam penyajian makanan.

1.2.3 Masyarakat Melayu Deli

Masyarakat Melayu Deli dalam konteks penelitian ini adalah masyarakat yang memiliki dan mempergunakan nilai budaya Melayu dalam kehidupan mereka, terutama dalam hal yang berkaitan dengan kuliner pulut kuning.

Penjelasan mengenai masyarakat Melayu Deli dalam hal ini berkaitan dengan identitas masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan Melayu, baik secara umum dan khusus.


(24)

Pemahaman dan pengertian Melayu itu selalu berbeda-beda menurut ilmuwan maupun orang awam, namun dari perbedaan itulah didapatkan makna yang luas ataupun sedikit mengikuti konsep dan defenisi yang akan dipergunakan. Menurut Hussein (1984:3-4) kata Melayu ialah kata yang bermakna luas dan agak kabur. Maksud kata yang bermakna luas itu ialah Melayu itu merangkumi suku bangsa serumpun di Nusantara yang pada dahulu kala dikenal oleh orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa yang terkenal dalam bidang perniagaan. Masyarakat Melayu juga dikenal handal dan mahir dalam bidang pelayaran dan juga turut berperan dalam aktivitas pertukaran barang.

Pendapat tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat Melayu yang kompleks dan terdiri dari beragam suku bangsa serumpun, dimana salah satunya adalah masyarakat Melayu Deli.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, studi bahasa yang diangkat dalam penelitian ini akan dipermudah dengan perumusan masaalah yang bertujuan untuk mendapatkan fokus objek kajian dan sekaligus sebagai pembatas bagi permasalahan yang diangkat agar tidak meluas. Permasalahan yang utama dalam penelitian ini yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

2. Bagaimana bentuk penyajian pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak ?

3. Apa makna yang terkandung dalam penyajian pulut kuning pada masyarakat Melayu Hamparan Perak ?


(25)

4. Bentuk-bentuk upacara yang mengiringi penggunaan pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak ?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat penelitian diperlukan untuk dapat menjadi patokan atau tolok ukur kegiatan penelitian yang dilakukan dan sejalan dengan pemikiran awal mengenai penelitian ini. Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah :

1.4.1. Tujuan Penelitian

Sebagai penelitian yang berbentuk etnografi, secara sederhana penulisan diharapkan memenuhi tujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan secara utuh dan menyeluruh pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak,

2. Mendeskripsikan bentuk penyajian dan proses pembuatan serta makna yang terkandung dari pulut kuning ditengah-tengah masyarakat Melayu Hamparan Perak.

1.4.2. Manfaat penelitian

Manfaat yang di harapkan dari penelitian ini adalah, secara akademis penelitian ini akan menambah wawasan keilmuan dalam bidang antropologi.

Penelitian ini juga bermanfaat untuk melihat makanan tradisional (etnofood) dalam perkembangan saat ini, khususnya keberadaan pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu di Hamparan perak, dan juga sebagai


(26)

sebentuk gambaran kekayaan khasanah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat yang direpresentasikan pada bentuk makanan tradisional.

1.5 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Melayu yang berdiam di wilayah Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang dikenal sebagai basis tempat tinggal masyarakat Melayu dan memiliki basis kebudayaan Melayu yang erat kaitannya dengan keberadaan kuliner tradisional pulut kuning yang menjadi fokus perhatian penelitian.

Adapun lokasi penelitian di wilayah Hamparan Perak turut mencakup beberapa wilayah sekitar lainnya untuk semakin memperkuat dan menambah keterangan deskripsi mengena pulut kuning yang bersifat holistik.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang bermaksud menggambarkan secara terperinci mengenai pulut kuning pada masyarakat Melayu di Hamparan Perak, selain melihat pulut kuning sebagai suatu jenis makanan tradisional masyarakat Melayu, juga akan melihat pulut kuning sebagai suatu keseluruhan, hal ini sejalan dengan Goodenough (1970:101) :

“When I speak of describing a culture, then formulating a set of standards that will meet this critical test is what I have in mind. There are many other things, too, that we anthropologists wish to know and try to describe. We have often reffered to these other


(27)

things as culture, also consequently ”.

“Ketika berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis ini adalah tujuan dari menguraikan suatu budaya. Ada banyak hal lain, juga yang terkait dengan hal tersebut, maka kita sebagai antropolog ingin mengetahui dan berusaha untuk menguraikan budaya tersebut. Kita sering masuk ke berbagai hal lain dari perihal budaya, hal ini merupakan konsekwensi dari menguraikan suatu budaya.”

Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah orientasi teoritik dalam bentuk kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif, cara memasak, cara-cara penyajian, ataupun makna yang terkandung pada pulut kuning itu justru digunakan sebagai data dalam penelitian ini.

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal mendeskripsikan tentang pulut kuning pada masyarakat Melayu di Hamparan Perak, maka dilakukan penelitian lapangan sebagai suatu upaya untuk memperoleh data primer. Selain itu diperlukan juga penelitian dari berbagai sumber kepustakaan sebagai upaya untuk memperoleh data sekunder. Dalam penelitian kualitatif, untuk memperoleh data primer tersebut, metode yang digunakan adalah metode observasi atau pengamatan dan wawancara.

Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu : Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian. Menurut penulis, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk menjelaskan


(28)

fenomena yang terjadi, oleh karena itu diperlukan suatu aktivitas dengan langsung mendatangi tempat penelitian dan melakukan pengamatan. Pengamatan akan dilakukan pada setiap kegiatan atau peristiwa yang dianggap perlu atau berhubungan dengan tujuan penelitian.

Metode yang dipakai adalah observasi (partisipasi maupun non-partisipasi) observasi partisipasi membantu untuk memahami lingkungan dan menilai keadaan yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan) dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan, yang mana dalam observasi jenis ini peneliti tidak hanya sebatas melakukan pengamatan, tetapi juga ikut serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dimana penelitian ini dilakukan, seperti bergabung dalam persiapan acara perkawinan yang mempergunakan pulut kuning sebagai bagian penyajian makanan upacara untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam, hal ini tidak tidak terlalu sulit bagi peneliti dikarenakan peneliti merupakan penduduk Kota Medan sendiri, observasi diharapkan dapat berjalan dengan baik oleh karena sebelumnya telah dilakukan pra-penelitian dan peneliti telah membangun rapport yang baik. Walaupun demikian peneliti akan berusaha berfikir secara objektif sehingga data yang diperoleh dilapangan adalah benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan.

Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Informan disini adalah individu yang memasak dan menyajikan pulut kuning sebagai informan utama, para tokoh-tokoh adat dan masyarakat Melayu lainnya


(29)

sebagai informan biasa. Para individu yang memiliki kemampuan memasak dan menyajikan pulut kuning adalah mereka yang secara luas mengetahui seluk beluk tentang pulut kuning tersebut secara menyeluruh, selain para individu yang mengerti akan proses penyajian dan memasak pulut kuning tersebut tokoh-tokoh adat dan masyarakat Melayu dikategorikan sebagai informan untuk memperoleh pengetahuan masyarakat luas tentang makna pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu di Hamparan Perak. Besar kecilnya jumlah informan tergantung pada data yang diperoleh di lapangan.

Wawancara mendalam ini dilakukan dengan mendatangi para individu yang dianggap mempunyai dan memiliki pengetahuan yang luas dan lengkap tentang sejarah, asal-usul, tata-cara penyajian hingga memasak pulut kuning. Hal ini perlu dilakukan karena pengetahuan akan sejarah, asal-usul pulut kuning tersebut memberikan sumbangan yang berarti dalam memahami makna dan merupakan tema pokok penelitian yang akan dilakukan.

Teknik wawancara juga dilakukan dengan cara komunikasi verbal atau langsung dengan informan utama maupun informan biasa dengan berpedoman pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mendapatkan data konkrit yang lebih rinci dan mendalam. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis untuk mencatat bagian-bagian yang penting dari hasil wawancara dan tape recoder serta video kamera yang digunakan untuk merekam proses wawancara dalam rangka antisipasi terhadap keabsahan data yang diperoleh ketika melakukan wawancara serta sebagai bahan video lapangan etnografi (field video ethnography).


(30)

Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki keterkaitan fungsi dengan salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, data sekunder dalam penelitian ini adalah :

Studi kepustakaan sebagai teknik pengumpul data selanjutnya, dimaksudkan peneliti sebagai suatu sarana pendukung untuk mencari dan mengumpulkan data dari beberapa buku dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah penelitian guna lebih menambah pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian ini. Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya, hal ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap memiliki keterkaitan sebagai suatu lokasi yang mewakili keberadaan pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu.

1.7 Analisis Data

Penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, pengamatan dan wawancara mendalam, yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan. Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.


(31)

Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada di dalam fokus penelitian. Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan yang lain dan diinterpretasikan secara kualitatif.

Peneliti juga akan menggunakan pendekatan yang sifatnya teoritis yakni pendekatan fenomenologis. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap masyarakat dalam situasi-situasi tertentu. Ada berbagai cabang penelitian kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya “dari segi pandangan mereka”.

1.8 Pengalaman Lapangan

Selasa pagi yang cerah dengan penuh semangat dan kepercayaan diri,pergi ketempat penelitian yang akan menjadi bahan skripsi saya. Dengan pengalaman saya selama mengikuti perkuliahan dan tugas - tugas di lapangan menjadi bekal saya untuk melakukan penelitian sesuai dengan metode yang saya pahami. Dengan menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam dari rumah saya, akhirnya saya pun tiba di Kecamatan Hamparan Perak.

Saya memilih lokasi ini karena Kecamatan Hamparan Perak adalah kecamatan yang paling luas teritorialnya dan jumlah penduduk yang paling banyak diantara wilayah lainnya. Kondisi jalan yang buruk menjadikan mobilitas warga sekitar menjadi sulit ditambah lagi dengan banyaknya truk - truk yang


(32)

berukuran besar melintasi lokasi ini.

Tidak berapa lama saat memasuki lokasi ini saya langsung menuju kantor Kepala Desa Slemak untuk mengutarakan apa yang menjadi tujuan saya ke desa ini. Saya berbicara langsung dengan Kepala Urusan Umum, Ibu Hayani (45 tahun). Beliau menilai keputusan yang tepat menjadikan Desa Slemak sebagai lokasi penelitian karena desa ini adalah desa dimana jumlah penduduk mayoritas suku Melayu, terbesar diantara desa-desa yang berada di Kecamatan Hamparan Perak. Menurut saya penduduk disini adalah penduduk yang ramah. Saya mendapatkan sambutan yang hangat ditempat ini. Bahkan Ibu Hayani pun berniat untuk menunjukkan dan mengantarkan saya langsung ke tempat dimana saya dapat menemukan informan yang tepat untuk saya. Niat baik beliau sangat saya apresiasi, namun saya memahami bahwa kedudukan beliau sebagai aparatur desa cukup vital peranannya. Saya pun hanya meminta beliau untuk menjelaskan lokasi rumah informan saya agar dapat saya temukan. Ibu Hayani dengan keramahtamahannya pun menjelaskan kepada saya lokasi, nama, dan karakter calon informan saya ini. Beliau juga bersedia jika saya memerlukan data apapun tentang Desa Slemak siap untuk membantu. Ibu Hayani juga mempermudah saya dengan tidak melibatkan saya ke dalam urusan birokrasi yang mengharuskan saya membawa surat penelitian dari kampus. Dari informasi dan penjelasan yang diberikan oleh Ibu Hayani, saya pun menuju alamat yang menjadi informan saya.

Tidak jauh dari kantor kepala desa, saya tiba dirumah Ibu Hj. Rubiah (77 tahun). Rumah yang berbentuk rumah panggung ini menurut saya adalah rumah sederhana namun memiliki ciri khas dengan corak dan arsitektur Melayu yang


(33)

cukup kuat. Di rumah itu saya di sambut oleh 5 orang, diantaranya Ibu Hj. Rubiah (77 tahun), Bapak Ramlan (51 tahun) anak Ibu Rubiah, Ibu Liza (46 tahun) menantu Ibu Rubiah, Ibu Hasnah (26 tahun) cucu Ibu Rubiah, dan Rafa (1 tahun) cicit Ibu Rubiah. Rumah Ibu Rubiah ditempati juga oleh anak dan cucunya. Setelah berkenalan dengan seluruh penghuni rumah, saya pun mengutarakan maksud dan kedatangan saya kerumah ini. Seluruh penghuni rumah Ibu Hj. Rubiah menyambut dengan hangat serta menunjukkan sikap yang sangat antusias setelah saya mengutarakan maksud dan tujuan saya, terlebih lagi maksud dan tujuan saya untuk mengangkat tentang kuliner khas Melayu yang tentunya menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari yang menjalankan adat dan istiadat Melayu. Saya mulai mewawancarai Ibu Rubiah dengan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan skripsi saya. Karena pendengaran Ibu Rubiah sedikit terganggu, saya pun dibantu oleh kedua anak Ibu Rubiah untuk menjelaskan beberapa pertanyaan yang saya maksud dengan bahasa yang berlogat Melayu agar Ibu Rubiah lebih mudah untuk mengerti. Saya juga dibantu oleh anak-anak beliau menafsirkan maksud kata demi kata Ibu Rubiah. Di umur Ibu Rubiah yang tergolong lanjut usia ini, menurut saya Ibu Rubiah masih cukul baik dalam menuangkan isi pikiran beliau lewat kata-kata dan masih banyak pengalaman hidup beliau yang masih diingat meski telah terjadi pada puluhan tahun silam. Saat asik berbincang dengan Ibu Rubiah, cucu beliau menghidangkan secangkir teh hangat kepada saya sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu dan sebagai tuan rumah yang baik. Saya berterimakasih karena disambut dengan baik di rumah ini. Pertanyaan demi pertanyaan yang saya ajukan dijawab dengan


(34)

antusias, baik oleh Ibu Rubiah sendiri maupun anak-anak dari Ibu Rubiah. Pertanyaan demi pertanyaan berlalu, waktu pun tak terasa begitu cepat bergulir. Kertas yang menjadi catatan hasil wawancara saya sudah tertulis penuh 4 halaman. Saya merasa informasi yang saya dapatkan untuk hari pertama turun ke lapangan ini sudah cukup. Saya mengakhiri wawancara ini dengan ucapan terimakasih kepada Ibu Rubiah dan keluarga serta memohon maaf apabila ada kata-kata yang salah serta ucapan yang menyinggung perasaan mereka. Ditengah terik matahari saya pun memutuskan untuk pulang dan kembali kerumah saya.

Pada kamis siang saya kembali berangkat ke Hamparan Perak untuk melakukan penelitian. Saya berniat untuk berangkat di pagi hari, namun karena saya tidur larut malam, saya pun terbangun kesiangan di keesokan harinya. Perjalanan hari kedua saya menuju Hamparan Perak kali ini saya tidak sendiri.

Saya di temani oleh senior sekaligus teman dekat saya di kampus. Saya biasa memanggilnya Bang Tatak. Kami bertemu di Simpang Tiga Marelan kemudian kami bersama menuju Hamparan Perak. Rute perjalanan yang kami tempuh kali ini berbeda dengan rute kepergian saya sebelumnya. Kami melewati rute perkebunan tebu milik PTPN II. Di perjalanan ditengah luasnya hamparan kebun tebu milik PTPN II ini, kondisi jalan sangat buruk. Jalan hanya berupa pasir dan batu. Kondisi jalan sangat sepi, tidak seperti halnya jalanan seperti biasanya dimana kendaraan dari kedua arah sibuk berlalu lalang. Di pertengahan kebun terlihat beberapa pekerja sedang mengarahkan mesin penggiling tebu yang siap untuk di panen. Kondisi jalan yang buruk serta tidak adanya tiang listrik dan penerangan lampu jalan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan jalan


(35)

ini saat malam hari.

35 menit perjalanan akhirnya kami pun sampai di Hamparan Perak. Menurut saya rute perjalanan ini lebih hemat waktu dan jarak. Hanya saja kondisi jalan sangat buruk. Kami langsung menuju kantor kepala desa Slemak guna mengambil data tentang desa ini. Saya bertemu dengan Ibu Idharani (38 tahun) Kepala Urusan Pemerintahan. Saya mengutarakan maksud kedatangan saya dan Ibu Idharani pun memberikan kepada saya beberapa data terbaru yang saya butuhkan. Ibu Idharani menurut saya memiliki karakter yang berjiwa muda, ramah, dan cepat beradaptasi dalam memahami seseorang. Asik berbincang dengan Ibu Idharani, seorang bapak pun datang menghampiri kami dan ikut berbincang bersama kami. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan kedatangan saya di Desa Slemak ini. Ternyata beliau adalah Kepala Dusun III, Bapak Abu Yahman. Beliau menjelaskan beberapa data mengenai kondisi masyarakat yang ada di Desa Slemak ini. Beliau juga memberikan informasi kepada saya bahwa pada hari Minggu ada warga Dusun III yang akan melangsungkan upacara pernikahan. Beliau juga mengatakan bahwa pada upacara pernikahan tersebut menggunakan adat Melayu karena kedua mempelai suku Melayu. Saya berniat untuk datang ke acara pernikahan tersebut agar dapat memperhatikan dan memahami penggunaan pulut kuning pada upacara tersebut. Kami berbincang dan saya mencatat beberapa informasi yang penting.

Bapak Abu Yahman dengan kebaikan hatinya menunjukkan rumah yang akan membuat pulut kuning yang akan di hidangkan pada acara pernikahan tersebut. Saya pun dengan senang hati menuju rumah yang dimaksud Bapak Abu


(36)

Yahman. Tidak jauh dari kantor kepala desa, saya pun tiba di rumah Ibu Aisyah (44 tahun).

Ibu Aisyah dikenal sebagai orang yang sering menerima pesanan pembuatan pulut kuning untuk upacara-upacara, baik upacara pernikahan, pemberian nama anak, khitan, dan melepas anak mengaji kepada tuan guru. Ibu Aisyah juga sangat memahami cara pembuatan, bahan, makna-makna, serta fungsi yang ada di dalam pembuatan pulut kuning yang di sajikan. Saya pun melakukan wawancara kepada Ibu Aisyah. Pada saat saya melakukan wawancara, Ibu Aisyah di temani anak perempuannya yang duduk di bangku kelas II SMA. Dedek (18 tahun) yang duduk di bangku kelas II SMA ini sering membantu Ibu Aisyah dalam pembuatan pulut kuning. Pesanan cukup banyak disetiap minggunya karena selain menyediakan untuk acara-acara perkawinan, warga juga sering memesan untuk acara perwiritan. Ibu Aisyah mengakui bahwa warga lebih terbantu dengan menempah pulut kuning kepadanya karena menghemat waktu dan rasa yang enak. Ibu Aisyah juga kebanjiran orderan pulut kuning saat mendekati hari-haru besar Islam. Ibu Aisyah juga sempat menunjukkan kepada saya bahan-bahan pembuatan pulut kuning dengan beragam bentuk sajian. Saya sangat terbantu dengan keterangan yang diberikan Ibu Aisyah karena sangat padat dan jelas. Terlebih lagi penjelasan ini saya dapatkan langsung dari orang yang benar-benar memahami serta sudah lama menetap di Hamparan Perak ini. Setelah berbincang cukup lama, saya pun mengakhiri wawancara dan pamit untuk pulang. Saya berencana untuk kembali lagi di hari minggu saat upacara pernikahan di laksanakan agar dapat melihat langsung penggunaan pulut kuning di acara tersebut.


(37)

Minggu pagi saya sudah tiba di rumah dimana akan di langsung kan pernikahan. Saya pun meminta izin kepada tuan rumah pemilik hajatan untuk melakukan beberapa dokumentasi. Mereka pun mengizinkan saya. Bapak Sulaiman (55 tahun) sebagai perwakilan keluarga pihak laki-laki dengan antusias menjelaskan beberapa tahapan-tahapan penggunaan pulut kuning. Menurut Bapak Sulaiman, peran pulut kuning tidak dapat tergantikan sebagai bagian dari berbagai upacara-upacara pada tradisi Melayu. Bapak Sulaiman tidak dapat terlalu lama berbincang kepada saya karena peran sebagai wali keluarga pada upacara pernikahan ini. Upacara pernikahan tidak berlangsung lama. Setelah saya memperhatikan beberapa tahapan-tahapan pada upacara pernikahan saya pun pulang kerumah karena saya sudah merasa cukup dengan beberapa informasi yang telah saya dapatkan baik di hari itu, maupun di hari-hari sebelumnya. Saya sangat berterimakasih atas kerjasama dan bantuan serta kemudahan yang diberikan kepada saya saat melakukan penelitian di desa ini. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat berharga dan luar biasa menurut saya karena tulisan hasil penelitian saya ini nantinya akan menjadi skripsi sekaligus sebagai pengetahuan bagi yang membutuhkannya.


(38)

BAB II

SUKU MELAYU HAMPARAN PERAK

2.1 Definisi Melayu

Melayu secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk suku bangsa walau pada beberapa bentuk juga diartikan sebagai kelompok masyarakat yang berdiam di pesisir pantai, dalam penulisan ini Melayu didefinisikan sebagai suatu kesatuan masyarakat dan sebagai identitas etnik yang berdiam di wilayah Hamparan Perak.

Dalam pengetahuan masyarakat Melayu secara umum dikenal beberapa bentuk Melayu, yaitu : Melayu Deli, Melayu Serdang, Melayu Riau, Melayu Pesisir dan lain sebagainya. Beberapa bentuk Melayu tersebut merupakan suatu penamaan terhadap masyarakat yang tinggal dan berdiam diwilayah tersebut, yang secara singkat dapat dikatakan sebagai menghubungkan antara kesatuan masyarakat dan wilayah.

Melayu yang menjadi fokus perhatian penulisan ini merupakan bagian dari Melayu Deli, dimana kesatuan hidup Melayu Deli pada perkembangannya merupakan bentuk kehidupan yang dipimpin oleh Sultan (Kesultanan) Deli dengan daerah kekuasaan mencakup wilayah pesisir Tanah Deli hingga wilayah pegunungan yang berbatasan dengan Tanah Karo.


(39)

Pada perkembangan saat ini bentuk identitas Melayu erat kaitannya dengan pengaruh agama Islam, hal ini dikarenakan identitas Melayu yang dimiliki masyarakat pesisir pantai adalah suatu proses interaksi masyarakat pesisir dengan pedagang yang berlabuh untuk melakukan perdagangan hasil alam.

Pedagang yang melakukan perjalanan laut dan menyinggahi pelabuhan di pesisir kepulauan Sumatera pada umumnya adalah pedagang yang berasal dari Arab atau dikenal dengan istilah Hadramaut, interaksi dengan pedagang asal Hadramaut tersebut berproses menjadi pencampuran kebudayaan antara masyarakat pesisir dan pedagang yang menciptakan adaptasi kebudayaan yang kemudian mengakar dan membentuk suatu identitas Melayu yang berkaitan erat dengan agama Islam.

Menurut Sinar (2010:85), istilah Melayu asli digunakan oleh orang-orang Melayu di Sumatera Utara yang maknanya merujuk kepada orang Melayu yang kedua orangtuanya adalah keturunan atau berdarah Melayu. Sedangkan kategori kedua ialah orang-orang yang menganggap dirinya sendiri dan dipandang sebagai Melayu karena faktor perkawinan dengan golongan Melayu asli. Secara genealogis mereka adalah keturunan etnik-etnik di seluruh Nusantara. Kelompok kedua ini lazim disebut dengan Melayu Semenda, dan selanjutnya kelompok ketiga yang disebut dengan Melayu Seresam, maksudnya mereka ini secara genealogis berasal dari etnik-etnik rumpun Melayu di Nusantara dan tidak terikat oleh perkawinan dengan keturunan Melayu asli, namun mereka ini diakui sebagai orang Melayu.


(40)

Menurut Salazar (1989:28-29), istilah Melayu artinya selalu merujuk kepada Kepulauan Melayu yang mencakup kepulauan di Asia Tenggara, yang bermakna sebagai etnik atau orang Melayu Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Sementara menurut Belwood (1985:49) Melayu juga sering dihubungkan dengan kepulauan Melayu yang mencakup kepulauan di Asia Tenggara dan ditafsirkan menurut tempat dan kawasan yang berbeda seperti Sumatera. Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang tinggal di Palembang sekitarnya. Di Borneo (Kalimantan) perkataan Melayu selalu ditafsirkan dengan yang beragama Islam. Sedangkan yang di semenanjung Malaysia dikaitkan Melayu itu dengan orang yang berkulit coklat atau sawo matang. Lain pula halnya dengan Hall (1968:77-78) yang mengatakan bahwa istilah Melayu berasal dari bahasa Sanksekerta yang dikenal sebagai Malaya, yakni daratan yang dikelilingi oleh lautan.

Kelompok ras Melayu digolongkan sebagai kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepulauan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Menurut Gathercole (1983:88-91) seorang antropolog bangsa Inggris yang telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik, dan etnologi yang menunjukkan bahwa golongan Melayu Polinesia ialah golongan pelaut yang pada waktu dahulu pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia, menurutnya ras Melayu Polinesia ini adalah kelompok penjajah yang dominan pada waktu dahulu yang meliputi kawasan disebelah barat hingga ke Madagaskar dan sebelah timur hingga ke kepulauan Easter, sebelah utara hingga ke Hawai, dan sebelah selatan hingga ke Selandia Baru.


(41)

Sementara itu menurut Wan Hasim (1991:15-19) mengatakan bahwa Melayu dikaitkan dengan beberapa hal, seperti sistem ekonomi, politik, dan budaya. Dari segi ekonomi, Melayu Polinesia ialah masyarakat yang masih menggunakan tradisi pertanian dan perikanan hingga saat ini. Dari segi ekonomi, orang Melayu adalah pelaut dan pedagang yang handal di lautan Hindia dan Pasifik, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Dari segi politik sistem kerajan Melayu menganut pola pemerintahan beraja, yang dimulai di Campa (Kamboja pada masa kini) dan Funan, tepatnya di Kamboja dan Vietnam Selatan di awal abad masehi. Dari kerajaan Melayu tua ini berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra dan di sepanjang pantai timur tanah Melayu, yang termasuk didalamnya Kelantan dan Trengganu. Kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka dan kemudian menjadi Pattani.

Keberadaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, orang Melayu menyadari mereka berada di wilayah Negara Indonesia, dan menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa memiliki kebudayaan Melayu.

Gambar 1 Dunia Melayu


(42)

Mereka merasa bersaudara secara etnisitas dengan masyarakat Melayu di berbagai tempat. Secara budaya baik bahasa dan wilayah, memiliki alur budaya yang sama, namun tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap kawasan budaya Melayu. Secara geopolitik, Dunia Melayu pada umumnya dihubungkan dengan Negara-negara bangsa yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan alur budaya utama Melayu, antara lain : Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan sebahagian etnik Melayu di Kamboja dan Vietnam dan tempat lainnya.

2.2 Suku Melayu Hamparan Perak

2.2.1 Sejarah Penduduk Hamparan Perak

Keberadaan masyarakat Melayu Hamparan Perak tidak lepas dari proses sejarah asal muasal keberadaan mereka diwilayah tersebut, menurut kepercayaan masyarakat Melayu Hamparan Perak dahulunya daerah Hamparan Perak merupakan daerah yang bertaburan uang emas dan perak yang diakibatkan oleh perang yang terjadi antara kerajaan Aceh dalam memperebutkan Putri Hijau dari Kesultanan Melayu.

Putri Hijau merupakan putri dari Sultan Deli yang memiliki kecantikan luar biasa dan karena kecantikannya itu terpancar cahaya hijau yang kemudian dilihat oleh Sultan Aceh, kemudian Sultan Aceh berniat meminang Putri Hijau yang kemudian ditolak oleh Sultan Deli, penolakan itu pada akhirnya berujung


(43)

pada perang diantara keduanya.

Perang yang terjadi antara Sultan Aceh dengan Sultan Deli dikisahkan menggunakan emas dan perak sebagai peluru meriam yang saling mereka tembakkan satu sama lain, ketika peluru emas dan perak ditembakkan dan berhamburan di tanah maka pasukan Sultan Deli berebut untuk mengumpulkan emas dan perak tersebut yang berujung pada kekalahan Sultan Deli.

Kekalahan Sultan Deli dalam perang tersebut berakibat pada dibawanya Putri Hijau oleh Sultan Aceh menuju wilayah Aceh melalui jalur laut, dalam perjalanan membawa Putri Hijau ke wilayah Aceh tanpa disadari oleh Sultan Aceh ternyata diikuti oleh dua saudara laki-laki Putri Hijau, yakni Mambang Diajat dan Mambang Diajib.

Sesampainya di pelabuhan Aceh, saudara laki-laki Putri Hijau Mambang Diajat berubah menjadi seekor naga yang kemudian membawa kembali Putri Hijau kembali ke Deli melalui lautan sedangkan saudara laki-laki Putri Hijau lainnya yakni Mambang Diajib berubah menjadi meriam yang menembak bala tentara Sultan Aceh tanpa henti, karena menembak tiada henti akhirnya meriam tersebut pecah dimana pecahannya terlontar hingga wilayah Karo dan pecahan lainnya sampai di Tanah Deli.

Cerita lainnya yang berkembang di masyarakat Melayu mengenai Hamparan Perak, dahulunya didaerah tersebut terdapat hamparan air limpahan laut yang pada siang hari terkena sinar matahari dan mengakibatkan hamparan air tersebut berkilauan layaknya perak, yang kemudian menjadi penamaan wilayah tersebut menjadi Hamparan Perak.


(44)

Cerita demi cerita yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak kemudian dijadikan sebagai cerita asal muasal sejarah Hamparan Perak dan keberadaan masyarakat Melayu di Kampung Hamparan Perak.

2.2.2 Letak Lokasi

Hamparan Perak merupakan salah satu kampung1

Gambar 2

(desa) yang termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Jarak antara kampung Hamparan Perak dengan ibukota kecamatan terentang kurang lebih 3 Km, dan jarak dari ibukota kecamatan ke ibukota kabupaten sejauh 39 Km. Sedangkan jarak dari kampung Hamparan Perak ke ibukota propinsi lebih kurang 18 Km.

Sketsa Lokasi Penelitian

Sumber : peta Kecamatan Hamparan Perak, 2014. (data diolah penulis).

1 Dalam penulisan ini, wilayah Hamparan Perak disebutkan sebagai kampung dikarenakan istilah tersebut lebih sering dipergunakan dan memiliki kaitan yang kuat terhadap nilai sejarah, sosio-kultural Hamparan Perak. Bandingkan dengan penamaan wilayah dengan istilah desa yang merupakan bentuk kebijakan masa lalu (orde baru) yang menyamaratakan semua istilah wilayah kesatuan terkecil menjadi desa.


(45)

Kampung Hamparan Perak adalah wilayah dataran rendah yang dikelilingi oleh kampung lainnya, dan keberadaan kampung Hamparan Perak tidak jauh dari selat Malaka yang pada masa lalu menjadi lalu-lintas perdagangan.

Adapun batas-batas kampung Hamparan perak sebagai berikut : 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Terjun

4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kelambir 5. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Baharu 6. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Terjun

Luas wilayah kampung Hamparan Perak lebih kurang 1200 Ha dengan perincian luas pemukiman penduduk sekitar 20 Ha, luas areal pertanian 1130 Ha dan sisanya merupakan lahan yang dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk bercocok tanam seperti palawija, kelapa dan beragam tanaman lainnya.

Kampung Hamparan Perak terbagi kepada tujuh dusun, yakni dusun I sampai dengan dusun VII. Dusun I dan dusun II berada pada posisi kiri dan kanan jalan lintas Medan – Hamparan Perak, kedua dusun tersebut juga menjadi pintu masuk menuju wilayah Hamparan Perak dan sekitarnya.

Untuk mencapai kampung Hamparan Perak dibutuhkan waktu kurang lebih 40 menit dari Kota Medan, dan terdapat sarana angkutan umum yang setiap harinya menghubungkan kebutuhan transportasi masyarakat Hamparan Perak menuju Kota Medan dan wilayah sekitar lainnya.


(46)

2.2.3 Kependudukan

Masyarakat penduduk kampung Hamparan Perak terdiri dari beragam latar belakang etnis, hal ini juga menggambarkan keragaman kehidupan yang ada di wilayah kampung Hamparan Perak. Lebih lanjut data kependudukan masyarakat Hamparan Perak adalah :

Tabel 1

Penduduk Hamparan Perak Berdasarkan Suku Bangsa

Suku Bangsa Jumlah Persen %

Melayu Jawa Batak Cina Padang Aceh Banjar 1346 Jiwa 828 Jiwa 198 Jiwa 81 Jiwa 42 Jiwa 13 Jiwa 12 Jiwa

52,41% 32,86% 7,86% 3,21% 1,67% 0,52% 0,48% Sumber: Kantor Kepala Desa Hamparan Perak, 2014.

Komposisi masyarakat kampung Hamparan Perak didominasi oleh keberadaan etnis Melayu, hal ini dikarenakan etnis Melayu dianggap sebagai etnis tempatan di wilayah tersebut. Keberadaan etnis Jawa yang menjadi pengisi komposisi masyarakat kampung Hamparan Perak tidak lepas dari dibukanya wilayah tersebut menjadi lahan perkebunan di masa penjajahan kolonial, etnis Jawa yang berada di wilayah Hamparan Perak pada saat ini merupakan generasi kedua dan ketiga perantauan Jawa yang berada di Hamparan Perak.


(47)

Komposisi Penduduk Menurut Agama

Agama Jumlah Persen %

Islam Kristen Budha 2350 Jiwa 97 Jiwa 73 Jiwa 93,25% 3,85% 2,90%

Total 2520 Jiwa 100.00%

Sumber : Kantor Kepala Desa Hamparan Perak, 2014.

Berdasarkan tabel diatas dapat dideskripsikan bahwasanya Islam merupakan agama mayoritas di kampung Hamparan Perak, hal ini berkaitan dengan keberadaan etnik Melayu di wilayah tersebut yang melekatkan keberadaan etnik Melayu dengan pengaruh Islam. Keberadaan agama selain Islam di kampung Hamparan Perak menggambarkan kehidupan antar umat beragama yang aman, tertib dan saling hormat-menghormati.

Tabel 3

Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Mata Pencaharian Mata

Pencaharian

Jumlah Persen

Buruh Lepas Wiraswasta PNS Petani Mocok-mocok 396 Jiwa 739 Jiwa 391 Jiwa 960 Jiwa 34 Jiwa 15,71% 29,32% 15,51% 45,72% 3,74%

Total 2520 Jiwa 100.00%

Sumber : Kantor Kepala Desa Hamparan Perak, 2014.

Mata pencaharian masyarakat kampung Hamparan Perak didominasi sebagai petani, dan mata pencaharian ini menjadi ciri khas wilayah Hamparan Perak yaitu “petani daun pisang” disamping tanaman lainnya, yaitu kelapa dan pepaya.


(48)

2.2.4 Bahasa

Masyarakat Melayu yang dianggap sebagai etnis tempatan di wilayah Hamparan Perak dan juga sebagai masyarakat yang dominan dari sisi komposisi penduduk Hamparan Perak hal ini menyebabkan bahasa yang digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang dipergunakan dalam kehidupan masyarakat Hamparan Perak memiliki ciri khusus, yakni penggunaan lafal “e” disetiap akhir kata.

Penggunaan bahasa Melayu dalam kehidupan masyarakat Hamparan Perak juga bagian dari strategi adaptasi kehidupan bagi masyarakat etnis lainnya yang berdiam diwilayah tersebut.

2.3. Sistem Kekerabatan Suku Melayu Hamparan Perak

Sistem kekerabatan merupakan suatu sistem yang tercipta dari adanya hubungan antara seseorang dengan orang lain yang didasarkan pada hubungan darah, yaitu hubungan yang timbul karena faktor keturunan dan didasarkan pada hubungan perkawinan, yaitu hubungan yang muncul akibat dari proses perkawinan antara seseorang dengan orang lain.

Proses kekerabatan yang terjadi karena dua faktor tersebut, yaitu faktor keturunan dan faktor perkawinan mempunyai bagian-bagian lain didalamnya yang dapat menjelaskan tentang hal tersebut secara menyeluruh.

Sistem kekekarabatan merupakan suatu pola jaringan hubungan yang pada kemunculannya didasarkan pada kemunculan teori evolusi keluarga yang dikemukakan oleh para ahli antropologi pada pertengahan abad ke-19 seperti ; J.


(49)

Lubbock, J.J Bachoffen, G.A Wilken dan lain-lain. Kemunculan teori evolusi keluarga dimulai dengan memperhatikan kehidupan hewan dan membandingkannya dengan kehidupan manusia.

Menurut J.J Bachoffen kehidupan keluarga atau sistem kekerabatan dimulai dengan teori evolusi yang dikembangkannya, yaitu : pada awalnya kehidupan berjalan dengan kondisi kehidupan seperti hewan, dimana diantara mereka tidak terdapat hubungan, bebas tanpa ikatan, pada periode ini kehidupan disebut dengan promiskuitas, selanjutnya dengan adanya perkembangan pola pikir, manusia mulai menyadari hubungan antara seorang ibu dan anak-anaknya yang menjadi keluarga inti, karena anak-anaknya hanya mengenal ibu tanpa mengenal ayahnya maka periode ini disebut dengan matriarkat, perkawinan antara ibu dengan anaknya yang berjenis kelamin pria dihindari, sehingga hal ini memunculkan adat eksogami (perkawinan luar kelompok), keadaan dikembangkan dengan kemunculan peran ayah sebagai kepala keluarga dalam kelompoknya, masa ini disebut dengan patriarkat, pada masa ini adat eksogami sudah berkembang pada adat endogami, yaitu perkawinan dalam batas-batas kelompok, pada periode berikutnya adat endogami pada anak-anaknya dapat berhubungan dengan leluasa dengan anggota kerabat ayah maupun ibu, sehingga patriarkat makin lama makin hilang dan berubah menjadi susunan kekerabatan yang oleh Wilken disebut susunan parental.

Pada pokoknya sistem kekerabatan yang disebabkan oleh faktor keturunan menimbulkan pola keturunan berdasarkan pada pola matriarkat (keturunan berdasarkan pihak ibu) dan pola patriarkat (keturunan berdasarkan pihak ayah).


(50)

Selain faktor keturunan, sistem kekerabatan dapat muncul dengan adanya perkawinan, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya ada dua pokok yang menjadi dasar dari perkawinan tersebut, yaitu adat eksogami (perkawinan luar kelompok) dan adat endogami (perkawinan dalam kelompok), daru dua hal tersebut nantinya akan memunculkan adat-adat menetap setelah perkawinan, pembatasan jodoh dalam perkawinan.

Perkawinan pada masyarakat Melayu Hamparan Perak sebagi suatu cara untuk menghasilkan hubungan kekerabatan, masih memegang adat mereka dalam perkawinan tersebut, hal ini dimulai sejak masa pendekatan antara pihak laki-laki dan perempuan (pada masyarakat Melayu biasa disebut dengan barce), dimana pihak laki-laki dan perempuan tidak bisa bertemu langsung, untuk itu dipergunakan jasa seorang tali keranjang (perantara) untuk menyampaikan pesan diantara laki-laki dan perempuan tersebut, tali keranjang tersebut bisa laki-laki maupun perempuan dan merupakan teman dari laki-laki dan perempuan yang berada dalam masa pendekatan tersebut, apabila hal ini sudah dilakukan dan berlanjut maka akan ada satu masa dimana laki-laki dan perempuan tersebut saling berjumpa dari jarak yang berjauhan dan saling memberikan tanda untuk menuju suatu tempat keramaian, seperti pekan (pasar yang diadakan dalam seminggu sekali), hal ini dilanjutkan dengan kedatangan pihak laki-laki kerumah pihak perempuan dengan tujuan meminang perempuan tersebut, apabila hal ini disetujui oleh pihak perempuan maka akan ditentukan waktu untuk melangsungkan perkawinan diantara laki-laki dan perempuan tersebut.


(51)

Adat menetap setelah perkawinan dalam masyarakat Melayu Hamparan Perak, menganut adat virilokal, sehingga sepasang suami-istri tersebut diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kerabat suami.

Dalam perkawinan pada masyarakat Melayu Hamparan Perak, ada adat mereka dalam menentukan dengan siapa boleh melakukan perkawinan, hal ini disebut dengan istilah impal larangan. Impal larangan merupakan permohonan perkawinan kepada pihak perempuan oleh pihak laki-laki, dimana permohonan ini merupakan permohonan perkawinan antara laki-laki anak dari saudara pria dan anak perempuan dari saudara perempuan sekandung, dalam hal ini laki-laki memegang peranan dalam memutuskan apakah dia mau atau tidak dengan perempuan tersebut.

Perkawinan erat kaitannya dengan mas kawin, dalam hal ini mas kawin merupakan sebagai ganti harga diri perempuan tersebut, dan jumlah mas kawin tersebut ditentukan pihak perempuan.

Perkawinan juga mempunyai kaitan dengan warisan, dimana dalam pembagian warisan laki-laki juga memegang peranan kuat sehingga laki-laki mendapatkan bagian mutlak dan perempuan mendapatkan bagian setengah dari warisan tersebut.

Upacara perkawinan suku Melayu Hamparan Perak mempunyai syarat-syarat yang berdasar pada adat mereka seperti harus adanya bidan (dukun) pengantin bagi laki-laki maupun perempuan yang selalu berada disamping kedua calon mempelai, adanya acara inai kecil, inai besar, kenduri, pasu (kolam yang berisi air) yang menggambarkan suku Melayu yang tinggal didaerah pesisir


(52)

pantai, kelongkong (kelapa muda), bunga-bunga (4 macam), upik pinang, kesemua hal tersebut mempunyai arti terhadap hidup mereka sebagai masyarakat yang hidup di pesisir pantai dan bekerja sebagai nelayan.

Acara perkawinan pada masyarakat Melayu Hamparan Perak lazimnya diadakan dalam tiga hari tiga malam, dimana semua orang bekerja sama yang menggambarkan bahwa mereka semua merupakan kerabat.

Dalam upacara perkawinan Melayu Hamparan Perak selalu ada pesan-pesan yang terkandung di dalam setiap kegiatannya, hal ini menandakan adat yang memang masih dianut masyarakat tersebut sangat kuat dan menyaring setiap budaya luar yang masuk ke dalam masyarakat mereka.

Kekerabatan adalah kelompok yang terdiri dari kesatuan individu yang diikat oleh sekurang-kurangnya 6 unsur, yaitu :

• Sistem norma-norma yang mengatur tingkah-laku warga kelompok

• Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya

• Interaksi yang intensif antarwarga kelompok

• Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antarwarga kelompok

• Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok

• Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif, atau harta pusaka tertentu.

Dengan demikian hubungan kekerabatan merupakan unsur pengikat bagi suatu kelompok kekerabatan. Sistem kekerabatan merupakan unsur pokok dalam pembentukan kelompok individu yang ada dimuka bumi ini. Dari sistem kekerabatan ini akan muncul sistem-sistem lain yang berdasarkan pada sistem


(53)

kekerabatan itu sendiri.

Sistem-sistem lain yang muncul yang didasarkan pada sistem kekerabatan itu sendiri ialah marga, gelar adat adalah salah satu contoh dari sekian banyak contoh sistem yang berdasar pada kekerabatan. Marga dan gelar adat merupakan suatu penganugerahan kepada individu anggota kelompok karena didasarkan pada faktor kekerabatan tersebut, yaitu faktor keturunan dan faktor perkawinan

Gelar adat merupakan suatu hal yang muncul disebabkan kekerabatan, seperti marga, yang muncul karena kekerabatan yang disebabkan oleh faktor keturunan. Pada masyarakat di Hamparan Perak yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat Melayu, marga dan gelar adat diturunkan dari garis keturunan ayah atau yang biasa disebut dengan patriarkat.

Sistem kekerabatan terbagi atas dua bagian, yaitu : berdasarkan hubungan darah (keturunan), dan berdasarkan hubungan perkawinan, sehingga kekerabatan yang disebabkan oleh hubungan darah maupun perkawinan menghasilkan istilah kekerabatan (istilah menyapa dan istilah menyebut) pada masyarakat Melayu Deli Hamparan Perak, yaitu :

4. Ayung (anak pertama / anak sulung) 5. Angah (anak kedua)

6. Alang /Ayang (anak ketiga) 7. Udo/Ude (anak keempat) 8. Utih (anak kelima) 9. Andak (anak keenam) 10.Atam (anak ketujuh)


(54)

Apabila dalam suatu keluarga tersebut mempunyai anak yang lebih dari delapan orang, maka anak yang kesembilan menggunakan istilah panggilan seperti anak pertama (ayung), dan istilah kekerabatan ini tidak terpengaruh apabila salah satu dari anak dalam keluarga tersebut meninggal, istilah kekerabatan ini tidak terikat pada jenis kelamin tertentu sehingga istilah kekerabatan ini bisa digunakan baik untuk laki-laki maupun perempuan, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan dan dari hasil observasi dilapangan.

Istilah kekerabatan untuk menyapa dan menyebut tidak terdapat perbedaan yang terlalu mencolok, hanya saja untuk membedakan istilah kekerabatan antara laki-laki dan perempuan digunakan kata pak (laki-laki) dan kak (perempuan), contohnya untuk menyapa laki-laki yang merupakan anak ketiga dalam suatu keluarga, maka dipergunakan istilah kekerabatan “pak’lang”, sedangkan untuk perempuan digunakan istilah “kak’ngah” untuk menyapa perempuan yang merupakan anak kedua dalam suatu keluarga Melayu Hamparan Perak.

Istilah kekerabatan dalam masyarakat Melayu Hamparan Perak untuk menyebut kepada orang tua dari ego adalah ayah (laki-laki) dan omak (perempuan), untuk menyebut saudara sekandung orang tua ego, baik laki-laki maupun perempuan menggunakan istilah uwak/wak dan ditambah dengan istilah menyapa, sedangkan untuk menyebutkan anak dari saudara laki-laki ayah/ibu digunakan istilah kemanakan, dan anak dari saudara perempuan ibu/ayah digunakan istilah keponakan, penggunaan istilah ini sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat tersebut, karena pengaruh adat Melayu yang kuat pada


(55)

diri masing-masing anggota masyarakat tersebut.

Masyarakat Melayu Hamparan Perak memiliki gelar adat yang diwariskan oleh orang tua mereka, yaitu :

Tabel 4

Gelar Adat Masyarakat Melayu Gelar adat

ayah

Gelar adat ibu Anak Laki-laki Anak perempuan

Tengku Tengku Tengku Tengku

Tengku ---

(tanpa gelar)

Tengku Tengku

---

(tanpa gelar)

Tengku Megat Megat

Tengku Datin Tengku Tengku

Datuk Datuk Datuk Datin

---

(tanpa gelar)

Datin Wan Wan

Datuk Tengku Wan Wan

OK Datin OK OK

OK ---

(tanpa gelar)

OK OK

Sumber : penulis, hasil penelitian antara bulan September 2014 – Februari 2015.

Gelar adat yang diperoleh melalui keturunan melalui garis keturunan ayah dalam masyarakat Melayu, akan terputus apabila gelar adat yang diwariskan oleh orang tua ego kepada ego dan kemudian ego kawin dengan orang lain yang berada di luar kelompoknya (eksogami) maka anak yang lahir dari hasil perkawinan ego, tidak akan mendapatkan gelar adat tersebut karena sudah terputus oleh karena perkawinan eksogami tersebut.

Konsep gelar adat pada masyarakat Melayu mengikuti prinsip patrilineal, prinsip patrilineal, yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturnan pria, sehingga semua kaum kerabat ayah termasuk dalam batas kekerabatannya, sedang semua kaum kerabat ibu berada di luar batas itu.


(56)

Penyebutan gelar adat pada masyarakat Melayu Hamparan Perak juga mengikuti 10 prinsip universal yang berfungsi untuk menganalisa sistem-sistem istilah kekerabatan, sehingga dalam penyebutan untuk menyapa dan menyebut (term of address, term of reference) akan terlihat posisi seseorang tersebut dalam kelompoknya yang didahului oleh gelar adatnya, ke-10 prinsip tersebut, yaitu :

• Generasi

• Percabangan keturunan

• Umur

• Kelamin dari anggota kerabat

• Kelamin dari kerabat yang menghubungkan

• Kelamin dari si pembicara

• Perbedaan antara kerabat “darah” dan kerabat karena “nikah”

• Apakah kerabat yang menghubungkan masih hidup atau telah meninggal

Principle of polarity (prinsip polarisasi/penyebaran)

• Umur dari kerabat penghubung

dengan mengikuti ke-10 prinsip ini maka akan terjadi keseimbangan dalam penyebutan dan menyapa serta menghindarkan dari kesalahan penyebutan dan menyapa. Gelar adat sendiri digolongkan sebagai penyebutan untuk menyapa, dengan tutur yang lebih halus.

Pada masa sekarang ini gelar adat tersebut masih digunakan sebagai suatu identitas kelompok terhadap kelompok lainnya, masyarakat Melayu Hamparan Perak pada umumnya menganggap gelar adat merupakan suatu kehormaatan yang


(57)

diperoleh melalui serangkaian usaha yang dihargai oleh kelompoknya terhadap dirinya, gelar adat sendiri berlaku sepanjang hayat si pemegang gelar adat tersebut.

2.4 Upacara-upacara Pada Masyarakat Melayu

Kegiatan upacara pada masyarakat Melayu pada umumnya dilakukan sejalan dengan proses kehidupan, seperti kelahiran, sunat rasul, perkawinan, memasuki dan membangun rumah, khatam Al-quran dan upah-upah.

Upacara-upacara yang dilakukan pada kehidupan masyarakat Melayu merupakan suatu prosesi inisiasi dalam alur kehidupan, dimana pada tiap kegiatan upacara dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas berkah kehidupan yang telah diterima selama ini.

Pada umumnya kegiatan upacara-upacara pada masyarakat Melayu selalu disertai oleh adanya pulut kuning, yang tidak hanya sebagai makanan upacara melainkan juga sebagai simbol representasi kebudayaan Melayu dan juga sebagai perekat hubungan antar individu Melayu.

Penelitian yang telah dilakukan ini terbatas pada bentuk-bentuk upacara pada masyarakat Melayu yang menggunakan pulut kuning sebagai bagian dari unsur kelengkapan upacara.


(58)

BAB II

SUKU MELAYU HAMPARAN PERAK

2.1 Definisi Melayu

Melayu secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk suku bangsa walau pada beberapa bentuk juga diartikan sebagai kelompok masyarakat yang berdiam di pesisir pantai, dalam penulisan ini Melayu didefinisikan sebagai suatu kesatuan masyarakat dan sebagai identitas etnik yang berdiam di wilayah Hamparan Perak.

Dalam pengetahuan masyarakat Melayu secara umum dikenal beberapa bentuk Melayu, yaitu : Melayu Deli, Melayu Serdang, Melayu Riau, Melayu Pesisir dan lain sebagainya. Beberapa bentuk Melayu tersebut merupakan suatu penamaan terhadap masyarakat yang tinggal dan berdiam diwilayah tersebut, yang secara singkat dapat dikatakan sebagai menghubungkan antara kesatuan masyarakat dan wilayah.

Melayu yang menjadi fokus perhatian penulisan ini merupakan bagian dari Melayu Deli, dimana kesatuan hidup Melayu Deli pada perkembangannya merupakan bentuk kehidupan yang dipimpin oleh Sultan (Kesultanan) Deli dengan daerah kekuasaan mencakup wilayah pesisir Tanah Deli hingga wilayah pegunungan yang berbatasan dengan Tanah Karo.


(59)

Pada perkembangan saat ini bentuk identitas Melayu erat kaitannya dengan pengaruh agama Islam, hal ini dikarenakan identitas Melayu yang dimiliki masyarakat pesisir pantai adalah suatu proses interaksi masyarakat pesisir dengan pedagang yang berlabuh untuk melakukan perdagangan hasil alam.

Pedagang yang melakukan perjalanan laut dan menyinggahi pelabuhan di pesisir kepulauan Sumatera pada umumnya adalah pedagang yang berasal dari Arab atau dikenal dengan istilah Hadramaut, interaksi dengan pedagang asal Hadramaut tersebut berproses menjadi pencampuran kebudayaan antara masyarakat pesisir dan pedagang yang menciptakan adaptasi kebudayaan yang kemudian mengakar dan membentuk suatu identitas Melayu yang berkaitan erat dengan agama Islam.

Menurut Sinar (2010:85), istilah Melayu asli digunakan oleh orang-orang Melayu di Sumatera Utara yang maknanya merujuk kepada orang Melayu yang kedua orangtuanya adalah keturunan atau berdarah Melayu. Sedangkan kategori kedua ialah orang-orang yang menganggap dirinya sendiri dan dipandang sebagai Melayu karena faktor perkawinan dengan golongan Melayu asli. Secara genealogis mereka adalah keturunan etnik-etnik di seluruh Nusantara. Kelompok kedua ini lazim disebut dengan Melayu Semenda, dan selanjutnya kelompok ketiga yang disebut dengan Melayu Seresam, maksudnya mereka ini secara genealogis berasal dari etnik-etnik rumpun Melayu di Nusantara dan tidak terikat oleh perkawinan dengan keturunan Melayu asli, namun mereka ini diakui sebagai orang Melayu.


(60)

Menurut Salazar (1989:28-29), istilah Melayu artinya selalu merujuk kepada Kepulauan Melayu yang mencakup kepulauan di Asia Tenggara, yang bermakna sebagai etnik atau orang Melayu Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Sementara menurut Belwood (1985:49) Melayu juga sering dihubungkan dengan kepulauan Melayu yang mencakup kepulauan di Asia Tenggara dan ditafsirkan menurut tempat dan kawasan yang berbeda seperti Sumatera. Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang tinggal di Palembang sekitarnya. Di Borneo (Kalimantan) perkataan Melayu selalu ditafsirkan dengan yang beragama Islam. Sedangkan yang di semenanjung Malaysia dikaitkan Melayu itu dengan orang yang berkulit coklat atau sawo matang. Lain pula halnya dengan Hall (1968:77-78) yang mengatakan bahwa istilah Melayu berasal dari bahasa Sanksekerta yang dikenal sebagai Malaya, yakni daratan yang dikelilingi oleh lautan.

Kelompok ras Melayu digolongkan sebagai kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepulauan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Menurut Gathercole (1983:88-91) seorang antropolog bangsa Inggris yang telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik, dan etnologi yang menunjukkan bahwa golongan Melayu Polinesia ialah golongan pelaut yang pada waktu dahulu pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia, menurutnya ras Melayu Polinesia ini adalah kelompok penjajah yang dominan pada waktu dahulu yang meliputi kawasan disebelah barat hingga ke Madagaskar dan sebelah timur hingga ke kepulauan Easter, sebelah utara hingga ke Hawai, dan sebelah selatan hingga ke Selandia Baru.


(61)

Sementara itu menurut Wan Hasim (1991:15-19) mengatakan bahwa Melayu dikaitkan dengan beberapa hal, seperti sistem ekonomi, politik, dan budaya. Dari segi ekonomi, Melayu Polinesia ialah masyarakat yang masih menggunakan tradisi pertanian dan perikanan hingga saat ini. Dari segi ekonomi, orang Melayu adalah pelaut dan pedagang yang handal di lautan Hindia dan Pasifik, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Dari segi politik sistem kerajan Melayu menganut pola pemerintahan beraja, yang dimulai di Campa (Kamboja pada masa kini) dan Funan, tepatnya di Kamboja dan Vietnam Selatan di awal abad masehi. Dari kerajaan Melayu tua ini berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra dan di sepanjang pantai timur tanah Melayu, yang termasuk didalamnya Kelantan dan Trengganu. Kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka dan kemudian menjadi Pattani.

Keberadaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, orang Melayu menyadari mereka berada di wilayah Negara Indonesia, dan menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa memiliki kebudayaan Melayu.

Gambar 1 Dunia Melayu


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini merupakan jawaban dari rumusan penelitian yang terdapat pada bab I penulisan skripsi, adapun kesimpulan merupakan hasil penelitian lapangan yang didasarkan pada proses observasi dan wawancara penelitian.

Adapun kesimpulan penelitian yang berdasarkan rumusan masalah penelitia adalah :

Penyajian pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak merupakan suatu bentuk kehidupan kebudayaan yang terangkum pada penyajian pulut kuning dalam beragam upacara-upacara ritus kehidupan maupun acara lainnya.

Penyajian pulut kuning adalah suatu upaya menjaga dan melestarikan kebudayaan Melayu pada umumnya dan kebudayaan Melayu Hamparan Perak pada khususnya. Dalam penulisan ini penyajian pulut kuning adalah suatu nilai kebudayaan yang terfokus pada kebudayaan pangan (etnofood) masyarakat Hamparan Perak yang memiliki nilai eksternal sebagai simbol perekat kehidupan antar sesama masyarakat Melayu Hamparan dan juga simbol kebudayaan


(2)

masyarakat Melayu yang direpresentasikan pada penggunaan warna kuning yang berarti sebagai warna kebesaran Melayu.

Penyajian pulut kuning juga merepresentasikan kekayaan lingkungan Melayu, dimana bahan penyajian dan pembuatan pulut kuning merupakan bahan yang didapat dari lingkungan tempat tinggal.

Makna dalam penyajian pulut kuning pada masyarakat Melayu Hamparan Perak sebagaimana didapatkan dari penelitian ini merupakan makna kekayaan ekologis melalui bahan pembuatan pulut kuning, seperti pulut, kunyit, daun pandan, kelapa dan lain sebagainya yang diperoleh dari sekitar tempat tinggal. Selain itu, makna penyajian pulut kuning juga mewakili keberadaan kebudayaan Melayu yang sejalan dengan ungkapan “'takkan mati Melayu di bumi”, dimana hal tersebut berarti sebagai proses pelestarian kebudayaan Melayu melalui penyajian pulut kuning.

Pulut kuning selain sebagai bentuk makanan (konsumsi) juga memiliki makna-makna simbolis Melayu yang diejawantahkan melalui simbol warna, simbol tepak atau bale, upacara pelaksanaan, dan tata cara memasak pulut kuning. Bentuk upacara yang menggunakan pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak merupakan wujud ekspresi dan identitas kebudayaan Melayu yang tetap bertahan hingga saat ini, upacara ritus kehidupan yang diwarnai oleh kehadiran pulut kuning sebagai bahan konsumsi juga menghadirkan kebudayaan Melayu secara mikro.

Keberadaan upacara ritus kehidupan yang menghadirkan pulut kuning juga merupakan keterikatan kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak terhadap


(3)

proses daur hidup (life cycle) yang memiliki makna dimana pulut kuning dihadirkan sebagai materi yang berakar pada kebudayaan Melayu.

Secara umum kesimpulan penelitian ini adalah pulut kuning merupakan bentuk micro culture yang menghadirkan kebudayaan Melayu secara utuh melalui tahapan proses hingga penyajian pulut kuning yang turut pula menghadirkan identitas dan ekspresi kebudayaan Melayu yang bersaing dengan kehidupan masa kini.

5.2. Saran

Selain memuat kesimpulan, penelitian ini juga memberikan masukan dalam bentuk saran yang dapat memberikan dukungan dan kritisi terhadap keberadaan pulut kuning dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak, adapun saran penelitian :

1. Pulut kuning sebagai ekspresi identitas kebudayaan masyarakat Melayu yang harus tetap dijaga dan dilestarikan keberadaannya hingga saat ini sebagai perekat sosial diantara masyarakat Melayu,

2. Proses pembuatan pulut kuning harus dijaga dalam kaidah kultural Melayu untuk dapat memberikan rasa otentik terhadap pulut kuning,

3. Pulut kuning merupakan bagian dari strategi pangan dalam kehidupan kultural Melayu yang dapat dijadikan sebagai bagian dari ketahanan pangan secara global,

4. Kekayaan kuliner tradisi harus menjadi pola konsumsi masyarakat secara umum, untuk dapat menjadi filterisasi masakan instan dan impor yang kian


(4)

marak beredar dan kurang sesuai dengan pola konsumsu dan gizi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 1986.

Belwood, Peter. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Sidney: Academic Press Australia. 1985.

Counihan, Carole M. Around the tuscan Table; Food, Family, and Gender in Twentieth-Century Florence. New York and London: Routledge. 2004.

. . . Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1994.

Gathercole, Peter. Pacific Adventure. The Unisco Courier Civilization of the Sea. 1983.

Hall, D.G.E. Sejarah Asia Tenggara. Diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo, Surabaya: Usaha Nasional. 1988.

Hasjmy, Ali. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.

Husein, Ismail. Antara Dunia Melayu dan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: University Kebangsaan Malaysia. 1984.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1975.

Mat Noor, Shuhirdy et al. Pulut Kuning in Malay Society: The Beliefs and Practices Then and Now. Asian Social Science; Vol. 9, No. 7; 2013. (p.29-40).

Mintz, Sidney W dan Christine M. Du Bois. The Anthropology of Food and Eating. Annu. Rev. Anthropol. 2002. 31:99-119.


(5)

Naim, Mochtar. Dunia Melayu Dunia Islam. Makalah. 2011.

Purwadi, Upacara Tradisional Jawa: menggali untaian kearifan lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Salazar, Z.A. The Malay, Malayan, and Malay Civilization; A Cultural and Anthropological Concepts in the Philippines. Jurnal Budaya 1. 1989.

Siewicz, Agnieszka. Anthropology as an Inspiration to Food Studies; Building Theory and Practice. Dalam Anthrowebzin 3/2011. (p.143-148).

Sinar, Tengku Thyrhaya Zain. Kajian Linguistik Fungsional Sistemik Terhadap representasi Ideologi Ketuhanan, Alam, dan Manusia dalam Budaya Teks Melayu Serdang. Disertasi Doktoral, Program Studi Linguistik, Universitas Sumatera Utara. 2010. (tidak diterbitkan)

Wan Hashim. Dunia Melayu dan Tersebar Luasnya Rumpun Bangsa Melayu, dalam Mohd Yusof Hasan, Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1991. (hal. 15-19)

Wilk, Richard R. “Real Belizean Food” : Building Local Identity in the Transnational Caribbean. American Anthropologists, New Series, Vol. 101, No. 2. (Jun., 1999), pp. 244-255.

Wurianto, Arif Budi. Aspek Budaya Pada Tradisi Kuliner Tradisional di Kota Malang Sebagai Identitas Sosial Budaya (Sebuah Tinjauan Folklore). Laporan Penelitian PDK, Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang. 2008.

Yasraf Amir Piliang. Dunia Yang Dilipat, Yogyakarta: Jala Sutra, 2004

Internet :

WAP Indosiar, Berita Teropong “Agar Mbah Merapi Tidak Marah” dikutip dalam Januari 2015.

Biliater Situngkir, “Upacara Horja Bius Adat Budaya Batak Toba yang Telah

Hilang” dikutip dalam


(6)