Kerangka Teoritis Kerangka Teoritis dan Konseptual

juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka perlindungan hukum pemegang hak cipta atas praktik pembajak lagu dan musik dengan format MP3 Motion Picture Layers III.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka-kerangka yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang relevan untuk penelitian Soerjono Soekanto,1989 : 123. Bertolak dari dasar pemikiran tentang ciptaan-ciptaan atau karya cipta, maka sudah sewajarnya apabila Negara berkewajiban menjamin sepenuhnya perlindungan segala macam ciptaan yang merupakan karya intelektual manusia sebagai produk olah pikirnya baik di bidang ilmu pengetahuan maupun seni dan sastra. Setiap pemegang hak cipta di bidang laku dan musik berhak memperoleh perlindungan secara yuridis atas karyanya dan Negara memiliki kewajiban untuk menjamin sepenuhnya perlindungan segala macam ciptaan yang merupakan karya intelektual. Berkaitan dengan hal di atas, menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka 1993: 11 menjelaskan bahwa: “......bahwa hak merupakan role atau peran yang bersifat fakultatif. Kewajiban adalah role atau peranan yang sifatnya imperatif, karena tidak boleh tidak harus dilaksanakan”. Berkaitan dengan hak itu, dalam mengkaji kewajiban notebene atas kekayaan intelektual merupakan kewajiban dari Pemerintah maka harus juga melihat bagaimana tinjauan dari sosiologisnya. Menurut Soerjono Soekanto 1980: 251 menjelaskan bahwa: “Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan yang sebenarnya merupakan wadah yang berisi hak dan kewajiban tertentu. Sedangkan hak dan kewajiban adalah merupakan peran role, dengan demikian seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu disebut sebagai pemegang peran role occupant, suatu hak adalah kewenangan yang dialah menanggung bebantugas yang harus diemban”. Kewajiban pemerintah dalam usaha perlindungan hukum terhadap pemegang hak cipta di bidang lagu dan musik merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan, dan mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial yang diartikan sebagai sistem. Tindak pidana pembajakan lagu dan musik dapat dikatakan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat atas dengan kemampuan intelektual tertentu. Sehingga dalam pelaksanaannya kejahatan itu tidak menggunakan kekerasan terhadap korbannya. Namun, secara material korban mengalami kerugian yang sangat besar. Sebagai suatu bentuk tindak pidana yang dilakukan dengan sangat canggih dan merugikan dalam jumlah yang umumnya sangat besar dan terus menerus. Indonesia sebagai salah satu Negara yang juga wajib memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak cipta. Pemerintah berhasil mengesahkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak cipta lagu dan musik atas praktik pembajakan, karena secara singkat dalam undang-undang tersebut mulai memperluas hak-hak yang dimiliki oleh pemegang hak cipta lagu dan musik. Undang-undang tersebut juga bertujuan agar pelaksanaan fungsi hukum pidana mampu berjalan secara optimal dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak cipta lagu dan musik. Sehubungan dengan hal tersebut, pelaksanaan fungsi hukum pidana dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak cipta lagu dan musik secara teoritis dapat diartikan sebagai sarana penanggulangan kejahatan atau tindak pidana yang bersifat subsidiaritas atau dikenal dengan istilah ultimum remedium, yang merupakan bagian dari upaya penanggulangan kejahatan atau politik kriminal criminal policy Sudarto, 1983 : 69. Berkaitan dengan hal di atas, fungsi hukum pidana secara umum dapat dibedakan menjadi: 1. Fungsi Umum Hukum Pidana, yaitu untuk mengatur atau menyelenggarakan tata kehidupan masyarakat. 2. Fungsi Khusus Hukum Pidana, yaitu untuk melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak memperkosanya, dengan sanksi pidana yang sifatnya lebih tajam dari sanksi cabang hukum lainnya. Fungsi khusus hukum pidana dalam rangka memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi 3 tiga fungsi, yaitu: 1. Fungsi Primer, yaitu sebagai sarana dalam penaggulangan kejahatan atau sarana untuk mengontrol atau mengendalikan masyarakat. 2. Fungsi Sekunder, yaitu untuk menjaga agar penguasa dalam menanggulangi kejahatan itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan dalam hukum pidana. 3. Fungsi Subsider, yaitu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan hendaknya menggunakan upaya lain terlebih dahulu. Apabila dipandang saranaupaya lain kurang memadai barulah digunakan hukum pidana Ultimum Remedium. Berkaitan dengan upaya perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri. 2. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. 3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. 5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan ada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Soerjono Soekanto, 1983 : 5

2. Konseptual