Perlindungan hukum bagi pemegang hak cipta terhadap pemberi lisensi karya cipta lagu

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

KURNIALIF TRIONO NIM: 1111048000030

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

LAGU. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M.

Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Tujuan dari skripsi ini untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pemegang hak cipta dikaitkan dengan legal standing Yayasan Karya Cipta Indonesia dalam memberikan lisensi kepada pihak lain dan memungut royalti pada putusan MA No. 36 K/N/HaKI/2006.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sedangkan Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah suatu kasus yang telah menjadi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor MA No. 36 K/N/HaKI/2006.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa legalitas Yayasan Karya Cipta Indonesia dalam memungut royalti atas karya cipta lagu didasarkan pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta. Selain itu legal standing Yayasan Karya Cipta Indonesia didasarkan pada pemberian kuasa oleh pencipta kepada Yayasan Karya Cipta Indonesia.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Pemegang Hak Cipta, Lisensi, Royalti, Lembaga Manajemen Kolektif.

Pembimbing : Dr. H. Nahrowi, S.H., M.H. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.


(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.

3. Dr. Nahrowi, SH, MH., dan Fahmi Muhammad Ahamdi, M.Si., dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam memberikan nasihat, kritik dan saran untuk membangun penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum, sebagai dosen penasihat akademik yang telah memberikan nasihat dan arahan.

5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi ilmu pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis.

6. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas pengorbanan kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Edy Sunarko dan Ibunda Jumainah, yang telah memberikan segala dukungan baik materil maupun immateril serta doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1.

7. Kakak Arwan Subakti, dan Irna Dwi Wahyuni yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi S1.

8. Seluruh keluarga besar Bentong Residence (BR), Ilyas Aghnini, Andrio, Idham Katiasan, Rudi Hartono, Dadan Gustiana, Rifki Alpiandi, Febyo Hartanto, Syawal Ritonga, Lisanul Fikri, Nevo Amaba, Ian Nurdiansyah, Bara Muhammad, Muhammad Iqbal, Angga Ariyana terima kasih atas dukungan dan pengalaman yang telah diberikan selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka. Amin.

Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak-pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, Juli 2015 Penulis

Kurnialif Triono


(8)

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II PERLINDUNGAN HAK CIPTA DALAM HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA A. Perlindungan Hukum Hak Cipta 1. Pengertian Hak Cipta ... 14

2. Subjek Hak Cipta ... 15

3. Hak Ekonomi dan Hak Moral ... 16

4. Pendaftaran Hak Cipta ... 18

5. Jangka Waktu Hak Cipta ... 20

6. Penggunaan Wajar (Fair-Dealing) ... 24

7. Penyelesaian Sengketa ... 26

B. Lisensi 1. Pengertian Lisensi ... 27

2. Jenis-Jenis Lisensi Hak Cipta ... 29

C. Yayasan Karya Cipta Indonesia 1. Sejarah Pendirian Yayasan Karya Cipta Indonesia(YKCI) ... 31

2. Tujuan Berdirinya Yayasan Karya Cipta Indonesia(YKCI) ... 32

3. Tugas atau Usaha Yayasan Karya Cipta Indonesia(YKCI) ... 33

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 35

BAB III PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA ANTARA YKCI DAN CV PANGRANGO A. Posisi Kasus ... 36

B. Putusan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Putusan Nomor: 22/HAK CIPTA/2006/PN.NIAGA.JKT.PST ... 37 C. Putusan Hakim Mahkamah Agung


(9)

A. Pertimbangan Hukum Dalam Perkara Antara CV. Pangrango dan Yayasan Karya

Cipta Indonesia. ... 49

B. Legal Standing Yayasan Karya Cipta Indonesia ... 54

C. Perlindungan Lembaga Manajemen Kolektif Dalam Undang-Undang Hak Cipta Untuk Melindungi Karya Cipta Lagu Di Indonesia ... 61

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN ... 71


(10)

3. Putusan Mahkamah Agung No.036 K/N/HaKI/2006


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perlindungan hak cipta lagu khususnya terhadap ciptaan musik atau

lagu menjadi masalah serius di Indonesia. Bahkan Indonesia pernah

dikecam dunia Internasional, karena lemahnya perlindungan terhadap hak

cipta musik atau lagu.1

Perlindungan hukum terhadap suatu karya cipta digital merupakan

masalah yang wajib mendapat perhatian dari negara. Pengaturan masalah

hak cipta di Indonesia sebenarnya bukanlah masalah atau hal yang baru,

karena Indonesia mengenal hak cipta pertama kali dalam Auteurswet 1912(Undang-Undang Hak Cipta 1912), yang kemudian diganti dengan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang telah empat

kali mengalami perubahan. Perubahan pertama terjadi pada tahun 1987

dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang hak cipta.

Selanjutnya perubahan kedua terjadi pada tahun 1997 melalui

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1987 tentang hak cipta sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 yang disahkan Presiden RI pada 7

Mei 1997. Pada tahun 2002 dibuatlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun

1 Hendar Tanu Atmaja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2003),

h. 1.


(12)

2002 tentang Hak Cipta. Kemudian pada tahun 2014 diperbaharui menjadi

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 sebagai langkah penyempurnaan

terhadap beberapa ketentuan yang memberi perlindungan hukum terhadap

berbagai karya cipta/ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra

dengan cara penyesuaian dengan persetujuan (Agreement on Trade

Related Aspect Of Intellectual property rights) TRIPs2.

Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara tegas

mengatur tentang pengertian pencipta, ciptaan yang dilindungi, serta

hak-hak yang melekat kepada pencipta atau yang berkaitan dengan ciptaannya

(misalnya hak untuk memperbanyak suatu karya cipta, hak untuk

mengumumkan karya cipta, kepada publik, hak untuk mengalihwujudkan

dan lain-lain). Pengaturan ini membawa konsesi hak-hak yang boleh

dinikmati dan dilaksanakan oleh pencipta atau pemegang hak cipta.3

Pada hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta terdapat

hak untuk memberikan izin atau lisensi atas karya ciptanya kepada para

pengguna(users) untuk kepentingan komersial. Pemberian izin atau lisensi dari pencipta atau pemegang hak cipta (pemberi kuasa) kepada para

2 TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights) merupakan perjanjian

internasional di bidang HKI terkait perdagangan. Perjanjian ini merupakan salah satu kesepakatan di bawah organisasi perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization) yang bertujuan menyeragamkan sistem HKI di seluruh negara anggota WTO. Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), h. 47

3 OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta:


(13)

penggunanya biasanya disertai imbalan atau pembayaran kompensasi yang

harus dibayar oleh pengguna komersial yang dinamakan royalti.

Banyaknya para pengguna atas karya cipta lagu dan tersebarnya

tempat pengguna lagu tersebut seperti karaoke, hotel, diskotik, restoran, dan

lain-lain, menyebabkan pencipta atau pemegang hak cipta sulit untuk

memantau sendiri penggunaan ciptaannya. Begitu luasnya penggunaan lagu

oleh masyarakat berkaitan dengan menyiarkan, memperuntukan, atau

memperdengarkan lagu tersebut, tidak mungkin pencipta lagu atau

pemegang hak terkait sendiri melaksanakan pemberian lisensi, memungut

royalti dan memperkarakan bilamana ada orang secara tidak sah atau tanpa

izin melakukan penyiaran, mempertunjukan, atau mendengar lagu.4 Di

sebuah negara yang wilayahnya sangat luas seperti Indonesia, penggunaan

ciptaan yang tidak berdasarkan izin dari pencipta bisa terjadi di mana saja

dan kapan saja tanpa dapat dimonitor oleh si pencipta. Belum lagi

penggunaan ciptaan di negara lain, maka diperlukan suatu wadah yang dapat

memantau penggunaan ciptaan untuk mencegah penggunaan karya cipta

lagu.

Oleh karena itu, perlunya wadah pengadministrasian kolektif hak

cipta adalah untuk memudahkan masyarakat meminta izin jika hendak

memakai karya cipta lagu dan memungut royalti atas penggunaan karya

cipta lagu tersebut. Tanpa wadah seperti itu, untuk pemakaian ciptaan,

masyarakat akan menghadapi kesulitan jika harus menemui para pencipta


(14)

untuk meminta izin atas penggunaan lagu tersebut dan memungut royalti,

begitu juga sebaliknya.

Pada Putusan MA Nomor 036 K/N/HaKI/2006 antara CV

Pangrango QQ HP2 diwakili oleh Aminah Ridziq dengan kuasa hukumnya

Ezrin Rosep sebagai pemohon kasasi dahulu Tergugat; melawan Yayasan

Karya Cipta Indonesia(YKCI) diwakili oleh Dahuri dengan kuasa

hukumnya Efran Hemi Juni sebagai termohon kasasi dahulu Penggugat. CV

Pangrango adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa

penginapan(perhotelan) yang bernama Hotel Pangrango, dalam kegiatan

usahanya tersebut telah mempergunakan karya cipta musik dan lagu dari

dalam maupun luar negeri dengan cara memutar, menyiarkan,

memperdengarkan karya cipta musik tersebut melalui alat/sarana pesawat

televisi, tape recorder serta dalam bentuk live music, sehingga karya cipta tersebut dapat di dengar orang lain yaitu para konsumennya. Akibat dari

perbuatan CV Pangrango dalam menjalankan kegiatan mengumumkan

lagu/musik di lingkungan usaha tanpa izin dari pemegang hak cipta, YKCI

mengalami kerugian materil maupun kerugian immateril.

Menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk

mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi CV Pangrango

tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

tertanggal 20 Juli 2006 Nomor : 22/ HAK CIPTA/ 2006/

PN.NIAGA,JKT.PST.. Atas dasar persona standi in judicio, YKCI tidak berwenang untuk menagih suatu royalti atas hak cipta, karena dalam


(15)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 hanya menyebut tentang hak dari

pencipta, antara lain memberi lisensi kepada pihak lain(pasal 45), yang

artinya mereka inilah yang dapat menuntut hak-haknya bila ada yang

melanggar.

Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisis kasus yang berkaitan

dengan lembaga manajemen kolektif di Indonesia, yaitu kasus antara

Yayasan Karya Cipta Indonesia dengan CV. Pangranggo. Kasus ini

menimbulkan ketidakpastian hukum dikarenakan belum adanya aturan

perundang-undangan yang mengatur tentang peran dan kewenangan

lembaga manajemen kolektif dalam memungut royalti atas karya cipta lagu

yang bersifat komersial. Selain itu, penggunaan karya cipta lagu dalam

kegiatan usaha yang dilakukan oleh CV. Pangrango ini tidak memiliki izin

lisensi dari pemegang hak cipta yakni Yayasan Karya Cipta Indonesia.

Untuk menjawab persoalan-persoalan yang diuraikan di atas, maka

dibutuhkannya suatu perangkat hukum yang dapat menjembatani antara

pencipta dan para pengguna karyanya untuk mengumumkan atau

memperbanyak suatu ciptaan yaitu dengan cara pemberian lisensi dari

pemegang hak cipta kepada penggunanya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan Latar Belakang Masalah maka dapat diidentifikasi beberapa

permasalahan terkait lembaga manajemen kolektif, yaitu:


(16)

b. Apa yang menjadi kendala Lembaga Manajemen Kolektif dalam

melakukan pemungutan royalti dari para pengguna(users) komersial? c. Bagaimana legal standing Lembaga Manajemen Kolektif dalam hal

mengajukan gugatan terhadap hak memberikan lisensi?

d. Siapa yang berhak memberi lisensi dan mendapatkan royalti atas

pemakaian lagu?

e. Jenis pemakaian lagu yang bagaimana yang harus mendapat lisensi dari

pemegang hak cipta?

f. Bagaimana perlindungan lembaga manajemen kolektif dalam

Undang-Undang Hak Cipta untuk melindungi karya cipta lagu di Indonesia?

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga

dapat mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan

masalah. Penulis hanya membahas mengenai penggunaan karya cipta lagu

tanpa seizin pemegang hak cipta oleh lembaga manajemen kolektif pada

Putusan MA Nomor 036 K/N/HaKI/2006.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di

atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan


(17)

22/HAK CIPTA/2006/PN.NIAGA.JKT.PST serta bagaimana

pertimbangan Hakim Agung dalam Putusan MA Nomor 036

K/N/HaKI/2006?

b. Bagaimana legal standing YKCI dalam hal mengajukan gugatan terhadap hak memberikan lisensi?

c. Bagaimana perlindungan lembaga manajemen kolektif dalam

Undang-Undang Hak Cipta untuk melindungi karya cipta lagu di Indonesia?

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan

masalah. Secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui dasar hukum majelis hakim dalam memutuskan

perkara antara CV. Pangrango dan YKCI dalam Putusan PN Nomor

22/HAK CIPTA/2006/PN.NIAGA.JKT.PST serta pertimbangan

Hakim Agung dalam Putusan MA Nomor 036 K/N/HaKI/2006

b. Untuk mengetahui legal standing YKCI dalam mengajukan gugatan terhadap hak memberikan lisensi?

c. Untuk mengetahui perlindungan lembaga manajemen kolektif

dalam Undang-Undang Hak Cipta untuk melindungi karya cipta


(18)

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan dalam hukum HKI, utamanya mengenai perlindungan

hukum bagi pemegang hak cipta terhadap pemberian lisensi karya

cipta lagu. Selain itu adanya tulisan ini dapat menambah

perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi

juga bagi perkembangan hukum HKI.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka

acuan dan landasan bagi penulisan lanjutan, dan mudah-mudahan

dapat menjadi bahan informasi dan masukan baik bagi pemerintah

maupun semua pihak yang terkait dalam rangka penyiapan dan

penyempurnaan perangkat hukum di bidang HKI.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang berasal dari

studi dokumentasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada pada

skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai


(19)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada

penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah

penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau

data sekunder belaka.5 Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi

berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum kekayaan

intelektual khususnya di bidang Hak Cipta. Sedangkan sifat dari

penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan

data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar

dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau

mencoba merumuskan teori baru.

2. Pendekatan Masalah

Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, akan digunakan

beberapa pendekatan, yaitu:6

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang

berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pemegang hak cipta

5 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),

(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 14.

6 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia


(20)

terhadap pemberian lisensi karya cipta lagu, di antaranya : Undang

Nomor 19 tahun 2002 yang diperbaharui menjadi Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

b. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan Kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah suatu kasus yang telah menjadi

putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini

Putusan Mahkamah Agung Nomor 036 K/N/HaKI/2006. Dalam

menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami oleh peneliti

adalah ratio deciendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya.7

3. Sumber Data

Pada penelitian ini, penulis mencari dan mengumpulkan data yang

diperlukan untuk menyelesaikan pokok-pokok permasalahan pada

penelitian ini. Data yang digunakan hanya data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan.

Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau

data-data kepustakaan yang tersaji dalam literatur untuk menyelesaikan

permasalahan yang dibahas.


(21)

Pada penelitian kepustakaan, data yang dipergunakan adalah

bahan-bahan pustaka yang terdiri dari tiga macam bahan-bahan hukum, yaitu sebagai

berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat8,

yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 jo. Undang-Undang

Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta

2) Konvensi Bern di bidang hak cipta,

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer9, yaitu:

1) Berbagai hasil penelitian mengenai Hak Cipta dan lisensi Hak

Cipta;

2) Berbagai buku yang membahas mengenai Hak Cipta, lisensi

Hak Cipta, dan buku tentang perundang-undangan.

3) Yurisprudensi MA

4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi dokumentasi yakni upaya untuk memperoleh data dari

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press), h. 52 9 Ibid, h.53


(22)

penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dan

sumber lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data-data yang

terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode

tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada

dengan berdasarkan pendekatan yuridis normatif.

5. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah

penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk

memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah,


(23)

manfaat penulisan, metode penelitian, sistematika penulisan yang

berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas skripsi ini.

BAB II PERLINDUNGAN HAK CIPTA DALAM HUKUM KEKAYAAN

INTELEKTUAL DI INDONESIA

Pada bab ini akan dijelaskan tentang tinjauan umum tentang hak

cipta, lisensi, Yayasan Karya Cipta Indonesia, dan tinjauan (review) kajian terdahulu

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN

Pada bab ini akan dijelaskan tentang pertimbangan hakim dalam

memutuskan perkara di Pengadilan Niaga dan juga Mahkamah

Agung

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK CIPTA

TERHADAP PEMBERIAN LISENSI KARYA CIPTA LAGU

Pada bab ini akan dijelaskan tentang analisis putusan Mahkamah

Agung, legal sanding YKCI, dan juga kewenangan YKCI dalam

memungut royalti.

BAB V Penutup


(24)

BAB II

PERLINDUNGAN HAK CIPTA DALAM HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA

A. Perlindungan Hukum Hak Cipta 1. Pengertian Hak Cipta

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

mengenal dua jenis hak yang terkandung dalam suatu ciptaan, yaitu hak

cipta (copyrights) dan hak terkait (neighboring rights). Kedua jenis hak ini merupakan hak eksklusif yang bersifat ekonomis bagi pemilik suatu ciptaan.

Istilah yang berhubungan dengan hak cipta mempunyai pengertian dan

pendapat yang berbeda antara para ahli yang satu dengan yang lain.1

Sedangkan pengertian baku dari hak cipta telah diatur dalam Pasal 1 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sebagai hak eksklusif, hak cipta mengandung dua esensi hak, yaitu

hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights).2 Hak ekonomi

1

Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), h. 61

2 Henry Soelistiyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, (Jakarta: Rajawal Pers, 2011), h. 47. 14


(25)

adalah hak eksklusif pencipta untuk memperoleh manfaat ekonomi dari

karya ciptanya dan produk-produk terkait. Kandungan hak ekonomi

meliputi hak untuk mengumumkan (perfoming rights) dan hak untuk memperbanyak (mechanical rights) ciptaan tersebut. Hak moral terdiri dari

paternity right (hak untuk diidentifikasi sebagai pengarang atau direktur

suatu karya), integrity right (hak untuk menolak perubahan atas suatu karya), dan privacy right (hak pemanfaatan foto dan film).3

Sedangkan hak terkait sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal

49 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, yaitu bentuk

lain dari suatu ciptaan yang telah ada sebelumnya yang telah berwujud

menjadi ciptaan yang baru. Misalnya syair lagu yang dinyanyikan, karya

sinematografi dari sebuah novel, film dokumenter tentang suatu peristiwa

atau fenomena alam, dan lain-lain.4

Adapun kandungan hak moral meliputi hak pencipta untuk

dicantumkan namanya dalam ciptaan dan hak pencipta untuk melarang

pihak lain untuk mengubah ciptaannya.

2. Subjek Hak Cipta

Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta, bahwa “pencipta adalah seorang atau beberapa orang

3 Chairul Anwar, Hak Cipta: Pelanggaran Hak Cipta dan PerUndang-Undangan Terbaru

Hak Cipta Indonesia, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 1999). h. 94 4

Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), h. 72


(26)

secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan

berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau

keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.” Dengan sendirinya pencipta juga menjadi pemegang hak cipta, tetapi tidak

semua pemegang hak cipta adalah penciptanya.

Sedangkan pengertian pemegang hak cipta adalahpencipta sebagai

pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau

pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak

tersebut. Sebagaimana yang dimaksudkan oleh pasal 1 butir 4

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Dengan demikian, pencipta hak cipta otomatis menjadi Pemegang

Hak Cipta, yang merupakan Pemilik Hak Cipta. Sedangkan hal yang

menjadi pemegang hak cipta tidak harus penciptanya, tetapi bisa pihak lain

yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari Pencipta atau Pemegang Hak

Cipta yang bersangkutan.5

3. Hak Ekonomi dan Hak Moral

Hak Moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta(termasuk

pelaku) yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun. Dari

segi moral seseorang atau badan hukum tidak diperkenankan untuk

melakukan perubahan terhadap sesuatu hasil karya cipta, baik itu mengenai

5 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, (Bandung: Alumni, 2003), h.


(27)

judul, isi, apalagi penciptanya. Hal demikian dapat dilakukan apabila

mendapat izin dari pencipta atau ahli warisnya jika pencipta meninggal

dunia.6

Pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, hak moral

yang dimaksud pada pasal ini yaitu: Pencipta atau ahli warisnya berhak

menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan

dalam Ciptaannya; Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak

Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan

Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya; Pencipta tetap berhak

mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam

masyarakat.

Adapun hak moral yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu; hak untuk

mencantumkan namanya pada karya tersebut; hak untuk menggunakan

nama aliasnya atau nama samparan; hak untuk mengubah ciptaannya sesuai

dengan kepatutan dalam masyarakat; hak untuk mengubah judul dan anak

judul ciptaannya; dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi

ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat

merugikan kehormatan diri atau reputasinya.7

6 Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia, (Bandung: Alumni. 2014), h. 69

7 Distorsi Ciptaan adalah tindakan pemutarbalikan suatu fakta atau identitas; Mutilasi

Ciptaan adalah proses atau tindakan menghilangkan sebagian ciptaan; Modifikasi Ciptaan adalah pengubahan atas Ciptaan. Penjelasan atas Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.


(28)

Hak Cipta juga memiliki hubungan dengan

kepentingan-kepentingan yang bersifat hak ekonomi. Adanya kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan

yang bersifat ekonomi di dalam hak cipta tersebut, merupakan suatu

perwujudan dari hak cipta itu sendiri, yaitu bahwa ciptaan yang merupakan

produk olah pikir manusia itu mempunyai nilai.

Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang

hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaannya.8 Hak

ekonomi ini selalu berbeda pada setiap Undang-Undang hak cipta, baik

terminologinya, jenis hak yang diliputinya, ruang lingkup dari tiap jenis hak

ekonomi tersebut. Sedangkan hal yang dimaksud dengan hak ekonomi

adalah hak yang dimiliki seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan

atas ciptaannya.

4. Pendaftaran Hak Cipta

Menurut undang-undang hak cipta di Indonesia, sistem pendaftaran

hak cipta atas karya cipta dilakukan secara pasif, artinya bahwa semua

permohonan diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian hak

pemohon, kecuali sudah jelas ada pelanggaran hak cipta. Sikap pasif ini

yang membuktikan bahwa Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia

menganut sistem pendaftaran deklaratif. Fungsi pendaftaran hak cipta

8 Tomy Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual di Era Global : Sebuah Kajian


(29)

dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian dalam hal terjadi sengketa

mengenai hak cipta.9

Dalam pencatatan hak cipta, permohonan dapat dilakukan oleh

pencipta, pegang hak cipta, pemilik hak terkait, atau kuasanya kepada

Menteri Hukum dan HAM secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

Permohonan tersebut dilakukan secara elektronik dan/atau non elektronik

dengan melampirkan:

a. Menyertakan contoh Ciptaan, produk Hak Terkait, atau penggantinya;

b. Melampirkan surat pernyataan kepemilikan ciptaan dan Hak terkait; dan

c. Membayar biaya.

Setelah itu kementrian akan melakukan pemeriksaan terhadap

permohonan yang telah memenuhi persyaratan. Pemeriksaan tersebut

bertujuan untuk mengetahui Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diajukan

tersebut tidak sama dengan ciptaan yang tercatat dalam daftar umum ciptaan

atau objek kekayaan intelektual lainnya.

Dalam memberikan keputusan, kementrian dapat menerima atau

menolak permohonan dalam waktu paling lama 9 bulan terhitung sejak

tanggal diterimanya permohonan. Dalam hal menerima permohonan,

menteri menerbitkan surat pencatatan Ciptaan dan mencatat dalam daftar

umum Ciptaan. Dalam hal menolak Permohonan, menteri memberitahukan

penolakan tersebut secara tertulis kepada pemohon disertai alasan.

9 OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta:


(30)

Pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta, daftar umum ciptaan ini memuat:

a. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, atau nama pemilik produk

Hak Terkait ;

b. tanggal penerimaan surat Permohonan;

c. tanggal lengkapnya persyaratan; dan

d. nomor pencatatan Ciptaan atau produk Hak Terkait.

5. Jangka Waktu Hak Cipta

Perlindungan hak cipta atas suatu ciptaan mulai berlaku secara

otomatis sejak ciptaan ada atau diumumkan. Sedangkan lama masa

perlindungan hukum yang diberikan bervariasi berdasarkan jenis ciptaan.

Lamanya perlindungan hak cipta atas suatu ciptaan dapat ditinjau dari dua

sumber yaitu menurut konvensi internasional yang mengatur tentang hak

cipta dan dari Undang-Undang hak cipta.

a. Menurut Konvensi Internasional

Menurut ketentuan Konvensi Bern dan TRIPs, sebagian besar

ciptaan dilindungi selama masa hidup pencipta dan terus menerus

berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.10

Sedangkan di bidang sinematografi, lamanya perlindungan hak cipta adalah

10 Tim Lindsey, ed., Hak Kekayaan Intelektual : Suatu Pengantar, (Bandung : PT. Alumni,


(31)

50 tahun sejak dipublikasikan kepada publik atau 50 tahun setelah

pembuatan ciptaan sinematografi tersebut.

Ciptaan di bidang fotografi atau potret diatur secara khusus dalam

Pasal 7 ayat 4 Konvensi Bern, yaitu minimal 25 tahun sejak pembuatan

potret dengan catatan negara anggota bebas menentukan sendiri lamanya

perlindungan terhadap fotografi atau potret. Standar lamanya perlindungan

yang ditetapkan oleh Konvensi Bern adalah standar perlindungan minimum.

Berdasarkan Pasal 7 ayat 6 Konvensi Bern, negara-negara anggota

Konvensi Bern diberi kebebasan untuk menambah jangka waktu

perlindungan hak cipta dari standar minimum yang ditentukan oleh

Konvensi Bern.

Dalam Pasal 12 TRIPs Agreement, lamanya perlindungan hak Cipta yang diberikan sesuai dengan ketentuan Konvensi Bern, yaitu selama hidup

pencipta dan tidak boleh lebih dari 50 tahun terhadap karya lainnya, kecuali

terhadap ciptaan di bidang fotografi atau potret.

b. Menurut Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia

Pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 belum adanya

pengaturan mengenai masa berlaku Hak Moral pencipta, sehingga

menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai hak moral ini. Namun, pada

pasal 57 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak

cipta, hak moral pencipta untuk mencantumkan namanya pada ciptaannya,

menggunakan nama aliasnya atau samarannya, mempertahankan haknya


(32)

tanpa batas waktu. Sedangkan hak moral pencipta untuk mengubah

ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat, mengubah judul dan

anak judul ciptaan berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta

atas Ciptaan yang bersangkutan.

Pada dasarnya Undang-Undang Hak Cipta mengenal beberapa

ketentuan jangka waktu perlindungan hak ekonomi. Hal ini diatur dalam

Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002,

sebagai berikut:

Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang

Hak Cipta, Hak Cipta atas Ciptaan:

a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;

b. drama atau drama musikal, tari, koreografi;

c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;

d. seni batik;

e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

f. arsitektur;

g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;

h. alat peraga;

i. peta;

j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai, berlaku selama hidup

Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah

Pencipta meninggal dunia.


(33)

a. Program Komputer;

b. sinematografi;

c. fotografi;

d. database; dan

e. karya hasil pengalihwujudkan, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun

sejak pertama kali diumumkan.

Adapun berapa perubahan pada perlindungan hak ekonomi atas

ciptaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2014 tentang hak cipta, berlaku selama hidup pencipta dan terus

berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Ciptaan

yang dimaksud antara lain:

a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,

kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;

g. karya arsitektur;

h. peta; dan


(34)

Sedangkan untuk perlindungan hak ekonomi sebagaimana dimaksud

pada Pasal 59 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta

berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman

terhadap ciptaan:

a. karya fotografi;

b. Potret;

c. karya sinematografi;

d. permainan video;

e. Program Komputer;

f. perwajahan karya tulis;

g. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi,

aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

h. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi

budaya tradisional;

i. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca

dengan Program Komputer atau media lainnya; dan

j. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut

merupakan karya yang asli,

6. Penggunaan Wajar (Fair-Dealing)

Untuk menyeimbangkan hak-hak pemilik hak cipta dengan

kepentingan masyarakat luas untuk memperoleh akses informasi,


(35)

penggunaan-penggunaan ciptaan tertentu tanpa perlu izin pencipta atau

pemegang hak cipta.11

Perbuatan-perbuatan di bawah ini tidak digolongkan sebagai

pelanggaran hak cita dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan

atau dicantumkan dan juga bukan untuk tujuan komersial:

a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan

kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan

kepentingan yang wajar dari Pencipta;

b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun

sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar

Pengadilan;

c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun

sebagian, guna keperluan:

1) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu

pengetahuan; atau

2) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran

dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari

Pencipta.

11 Tim Lindsey, ed., Hak Kekayaan Intelektual : Suatu Pengantar, (Bandung : PT. Alumni,


(36)

d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan

sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali

jika Perbanyakan itu bersifat komersial;

e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara

terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh

perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan,

dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk

keperluan aktivitasnya;

f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan

teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;

g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh

pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk

digunakan sendiri.

7. Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa pelanggaran hak cipta dan hak terkait selain

dapat dituntut secara pidana juga secara perdata ke pengadilan niaga di

wilayah domisili hukum pelaku pelanggaran. Di samping itu, pada Pasal 65

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberi

peluang kepada para pihak untuk menyelesaikan perselisihan hak cipta,

yang ada di antar mereka melalu jalur nonlitigasi, seperti melalui alternatif


(37)

Penyelesaian sengketa tindak pidana pelanggaran hak cipta, hak

terkait, dan hak moral diadili oleh pengadilan tempat tindak pidana itu

dilakukan (locus delicti). Akan tetapi, gugatan keperdataan sehubungan dengan hak cipta harus diajukan ke pengadilan niaga sebagai pengadilan

khusus yang berwenang untuk mengadili sengketa di bidang niaga.12

Penyelesaian sengketa alternatif, termasuk arbitrase di Indonesia

saat ini telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri,

yaitu Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tersebut, dapat kita temui

sekurangnya ada enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar

pengadilan, yaitu konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberi

pendapat hukum, dan arbitrase.

Hal yang dinamakan arbitrase adalah pemutusan suatu sengketa oleh

seorang atau berapa orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa

sendiri, di luar hakim atau pengadilan.

Agar alternatif penyelesaian sengketa ini dapat berfungsi dengan

baik sesuai kehendak para pihak, perumusan klausul alternatif penyelesaian

sengketa harus dibuat sebaik mungkin dengan menghilangkan celah-celah

hukum sebanyak mungkin. Perumusan yang baik akan mencegah

berlarutnya proses penyelesaian sengketa alternatif, serta memberi

kepastian pelaksanaan kesepakatan maupun putusan yang dicapai, diperoleh

12 Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,


(38)

atau diambil sehubungan dengan alternatif penyelesaian sengketa yang

dipilih.

B. Lisensi

1. Pengertian Lisensi

Pengertian lisensi dalam Law Dictionary karya PH Collin yang ditulis kembali oleh Gunawan Widjaja dalam bukunya yang berjudul

lisensi, di mana lisensi di definisikan sebagai:13“Official documents which allows someone to do something or to use something. Permission given by

someone to do something which would otherwise be ilegal.”

Rumusan tersebut lebih menekankan pada pemberian izin dalam

bentuk dokumen (tertulis) untuk melakukan sesuatu atau untuk

memanfaatkan sesuatu, yang tanpa izin tersebut merupakan suatu perbuatan

yang tidak sah atau tidak diperkenankan oleh hukum.

Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau

Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau

memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan

tertentu.

13 PH Collin, “Law Dictionary” dalam Gunawan Widjaja, ed., Lisensi, (Jakarta: PT.


(39)

2. Jenis-Jenis Lisensi Hak Cipta

Dari berbagai kepustakaan dapat diketahui bahwa ada dua macam

lisensi yang dikenal dalam praktek pemberian lisensi, yaitu:14

a. Lisensi Umum;

Lisensi umum adalah lisensi yang dikenal secara luas dalam praktek,

yang melibatkan suatu bentuk negosiasi antara pemberi lisensi dan

penerima lisensi.

b. Lisensi Paksa, Lisensi Wajib

Adapun lisensi wajib atau compulsory licenses yang diatur dalam 84 sampai 86 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur

tentang lisensi wajib guna mendukung kemajuan ilmu pengetahuan,

penelitian, dan pengembangan di Indonesia.

Pada dasarnya, ada empat penggunaan karya cipta yang harus

melalui Pemberian Lisensi, yaitu:15

a. Lisensi Mekanikal (Mechanical Licenses)

Lisensi Mekanikal diberikan kepada Perusahaan Rekaman sebagai

bentuk izin penggunaan karya cipta. Seseorang pencipta lagu dapat

melakukan negosiasi langsung atau melalui penerbit musiknya dengan siapa

saja yang menginginkan lagu ciptaannya untuk di eksploitir. Artinya, siapa

saja yang ingin merekam, memperbanyak, serta mengedarkan sebuah karya

14 Gunawan Widjaja, Lisensi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 17

15 Syarifuddin, Perjanjian Lisensi dan Pendaftaran Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni,


(40)

cipta bagi kepentingan komersial, berkewajiban mendapatkan lisensi

mekanikal.

Bila sebuah lagu telah di liris secara komersial untuk pertama

kalinya dan telah melewati batas waktu yang disepakati bersama, pencipta

lagu dapat memberikan lisensi mekanikal untuk lagu ciptaannya tersebut

kepada siapa saja yang memerlukannya untuk dieksploitasi kembali.

Biasanya bentuk rilis album kedua dan selanjutnya ini diterbitkan dalam

bentuk album seleksi atau kompilasi.

b. Lisensi Pengumuman / Penyiaran (Peforming Licenses)

Lisensi penyiaran adalah salah satu bentuk izin yang diberikan oleh

pemilik hak cipta bagi lembaga-lembaga penyiaran seperti televisi, radio,

konser dan lain-lain. Setiap kali lagu ditampilkan atau diperdengarkan

kepada umum untuk kepentingan komersial, penyelenggara siaran tersebut

berkewajiban membayar royalti kepada pencipta lagunya. Pemungutan

royalti perforimng rights ini pada umumnya dikelola atau ditangani oleh

sebuah lembaga administrasi kolektif hak cipta.

c. Lisensi Sinkronisasi (Synchronization Licenses)

Lisensi ini diberikan untuk kepentingan pengumuman sebuah lagu

dalam bentuk cetakan, baik untuk partitur musik maupun kumpulan notasi

dan lirik lagu-lagu yang diedarkan secara komersial. Hal ini banyak

diproduksi dalam bentuk buku nyanyian atau dimuat pada majalah musik

dan lain-lain.


(41)

Melalui sebuah lisensi sinkronisasi, pengguna dapat

mengeksploitasi ciptaan seseorang dalam bentuk visual image untuk

kepentingan komersial. Visual image ini biasanya berbentuk video, DVD,

VCD, MP3, program televisi atau audio visual lainnya.

e. Lisensi Luar Negeri (Foreign Licenses)

Lisensi Luar Negeri ini adalah sebuah lisensi yang diberikan

pencipta lagu atau penerbit musik kepada sebuah Perusahaan Agency di

sebuah negara untuk mewakili mereka dalam memungut royalti lagunya

atas penggunaan yang dilakukan oleh penggunanya di negara bersangkutan

bahkan di seluruh dunia.

C. Yayasan Karya Cipta Indonesia

1. Sejarah Pendirian Yayasan Karya Cipta Indonesia(YKCI)

Yayasan Karya Cipta Indonesia(YKCI) adalah sebuah wadah

kolektif manajemen yang didirikan pada tanggal 12 Juni 1990 di Jakarta.

YKCI ini berperan sebagai pemegang hak cipta lagu yang di beri kuasa oleh

pencipta untuk menarik royalti atas pemakaian karya cipta lagu oleh pelaku

usaha sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak

cipta.

YKCI didirikan oleh para pencipta lagu dan para musisi Indonesia,

khususnya yang tergabung dalam PAPPRI (Persatuan Artis Pencipta Lagu

dan Penata Musik Rekaman Indonesia) dengan didukung oleh para sarjana


(42)

Para pencipta lagu terdiri dari mereka yang senior seperti H. Mutahar,

Maladi hingga yang lebih muda seperti Tito Soemarsono, Ebiet G. Ade, Elfa

Secioria.16

Selain pencipta dalam negeri, YKCI berafiliasi dengan 158 lembaga

sejenis di 86 negara-negara di dunia. Hal ini dimungkinkan dengan adanya

perjanjian kerja sama resiprokal yang dirintis sejak Januari 1991 dengan

lembaga Pencipta di Belanda yang bernama BUMA STEMRA. Karya cipta

lagu yang dapat didaftarkan meliputi semua jenis pop, jazz, hingga dangdut

yang direkam dalam bentuk kaset, piringan hitam, CD, dan produk rekaman

suara lainnya untuk keperluan single, album, dan lain-lain.

2. Tujuan Pendirian Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI)

Pada Pasal 4 Anggaran Dasarnya, tujuan didirikannya Yayasan

Karya Cipta Indonesia yaitu:

a. Mengurus kepentingan para Pencipta Indonesia yang hak ciptanya

dikuasakan kepada Yayasan KCI, terutama dalam rangka

pemungutan fee / royalti bagi pemakaian hak ciptanya oleh orang lain untuk kepentingan penggunaan yang bersifat komersial baik di

dalam maupun di luar negeri;

b. Mewakili kepentingan para Pencipta luar negeri, terutama dalam

rangka pemungutan fee / royalti atas pemakaian hak cipta asing oleh

16 Tim Lindsey, ed., Hak Kekayaan Intelektual : Suatu Pengantar, (Bandung : PT. Alumni,


(43)

orang lain untuk kepentingan penggunaan yang bersifat komersial di

wilayah Indonesia;

c. Mewakili, mempertahankan dan melindungi kepentingan para

Pencipta atas pelanggaran hak cipta; dan

d. Meningkatkan kreativitas para Pencipta melalui pendidikan,

pembinaan, pengembangan dan kemampuan pengetahuan dalam

bidang musik.17

3. Tugas atau Usaha Yayasan Karya Cipta Indonesia dalam Pemberian Lisensi dan Pemungutan Royalti

Tugas utama dari Yayasan Karya Cipta Indonesia adalah

memberikan lisensi kepada pengguna dan melakukan pemungutan

royalti atas karya cipta lagu tersebut. Hal ini didasarkan atas pemberian

kuasa dari pencipta kepada YKCI. Pada Pasal 5 anggaran dasar YKCI

dijelaskan bahwa tugas atau usaha YKCI dalam menjalankan tujuannya

yaitu:

a. Melaksanakan administrasi bersama (collecting administration) atas pemakaian hak cipta dari para Pencipta pada umumnya, Pencipta

lagu pada khususnya, baik Ciptaan Indonesia maupun asing;

b. Melakukan pemungutan fee / royalti atas pemakaian hak cipta untuk kepentingan komersial baik berupa pertunjukan maupun penyiaran

dan penggandaan melalui media cetak maupun alat mekanik

(mechanical right);


(44)

c. Mendistribusikan pemungutan fee / royalti tersebut dalam sub b kepada yang berhak setelah dipotong biaya administrasi; dan

d. Berperan serta secara aktif dalam kegiatan pendidikan pembinaan

dan pengembangan dalam rangka peningkatan kreativitas,

pengetahuan, dan kemampuan para Pencipta lagu.

Selain itu dasar hukum YKCI dalam memberikan lisensi karya cipta

lagu dan pemungutan royalti terdapat pada Pasal 45 Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2002, yaitu:

1) Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain

berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

2) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku

untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban

pemberian royalti kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi.

4) Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta oleh

penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak


(45)

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebagai bahan tinjauan atas literatur yang berkaitan dengan topik

pembahasan, atau bahkan yang memberi inspirasi dan mendasari

dilakukannya penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil

penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan

dibahas, sebagai berikut:

“Penerapan Pembayaran Royalti bagi Pencipta Lagu dalam Hak

Cipta atas Kegiatan Usaha Karaoke Oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia

(KCI)”. Skripsi yang disusun oleh Iffah dari UIN Syarif Hidayatullah pada

tahun 2013 menjelaskan penerapan pembayaran royalti bagi pencipta lagu

atas usaha karaoke oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia

Buku OK. Saidin yang berjudul “Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual” diterbitkan oleh Rajawali Pers, Jakarta, tahun 2013. Pada buku karangan Saidin hanya menjelaskan secara singkat tentang pembayaran

royalti terhadap suatu karya cipta

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis

menganalisis putusan mengenai pemungutan royalti karya cipta lagu oleh

YKCI dan tentang perlindungan hukum terhadap karya cipta lagu dan

pemberian lisensi Hak Cipta dalam karya cipta lagu ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2014. Sehingga terdapat perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat


(46)

BAB III

PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA ANTARA YKCI DAN CV PANGRANGO

A. Posisi Kasus

Pada tahun 2006, terjadi sebuah kasus antara Yayasan Karya Cipta

Indonesia dengan Hotel Pangrango. Gugatan yang diajukan oleh Yayasan

Karya Cipta Indonesia terhadap Hotel Pangrango dikarenakan adanya

kegiatan usaha yang mempergunakan karya cipta musik atau lagu dengan

cara cara memutar, memperdengarkan, menyiarkan karya cipta lagu atau

musik tanpa seizin pemegang hak cipta.

Adapun lagu atau musik yang diumumkan atau diperdengarkan

tergugat, sebagai berikut:

- Greased Ligtning, cipt. J. Travolta, Olivia N. Jhon, B. Palace Boy,

Warren Casey & Jim;

- It Must Have Been Love, cipt Piere H. Gessel;

- I Don’t Want Miss A Thing, cipt Steven Taylor;

Yayasan Karya Cipta Indonesia dalam gugatannya menyatakan

bahwa Hotel Pangrango dalam kegiatan usahanya telah memutar atau

memperdengarkan karya cipta lagu atau musik baik dalam negeri maupun

luar negeri, sehingga dapat dikategorikan “mengumumkan” sesuai dengan

Undang-Undang hak cipta. Oleh karena itu, tergugat (CV Pangrango) wajib

terlebih dahulu meminta izin kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu


(47)

atau musik tersebut, yang dalam hal ini adalah Penggugat (YKCI). Namun,

hal ini tidak dilakukan oleh Tergugat.

Penggugat dalam permohonan provisinya meminta kepada Majelis

Hakim Niaga Jakarta Pusat untuk menghentikan kegiatan pengumuman

lagu atau musik sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum

tetap. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi

Penggugat (YKCI) selaku pemegang hak cipta sebagai akibat penggunaan

karya cipta lagu atau musik yang dilakukan oleh Tergugat tanpa seizin

Penggugat.

Terhadap gugatan tersebut, Tergugat (CV. Pangrango) menyatakan

bahwa antara Pimpinan Pusat PHRI dengan YKCI sedang melakukan

negosiasi tentang masalah royalti lisensi musik. Tidak hanya itu tergugat

juga mempertanyakan mengenai legalitas YKCI dalam memungut royalti

karya cipta lagu.

B. Putusan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

PN Nomor: 22/HAK CIPTA/2006/PN.NIAGA.JKT.PST

Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) dalam hal ini sebagai

penggugat dalam persidangan di Pengadilan Niaga Jakarta Selatan,

mengajukan gugatan kepada terhadap CV Pangrango dalam hal ini sebagai

tergugat.

Penggugat adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang


(48)

pemegang hak cipta musik dan lagu yang berwenang untuk mengelola hak

eksklusif khususnya hak ekonomi para pencipta dari dalam maupun luar

negeri. Sedangkan tergugat adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam

bidang jasa penginapan (perhotelan) yang bernama Hotel Pangrango yang

berkedudukan di Jalan Padjajaran Nomor 32 Kota Bogor.

Dalam dalil-dalil gugatan yang diajukan, pada pokoknya

mengajukan dalil-dalil gugatan sebagai berikut:

Pertama, Tergugat dalam menjalankan kegiatan usahanya tersebut,

tergugat telah mempergunakan karya cipta musik dan lagu dari dalam

maupun luar negeri dengan cara memutar, menyiarkan, dan

memperdengarkan karya cipta musik dan lagu. Sehingga karya cipta

tersebut dapat didengar oleh orang lain yaitu para konsumennya

Kedua, tergugat juga menyediakan menu tambahan berupa makanan

dan minuman untuk para konsumennya, serta memutar lagu-lagu Indonesia

atau lagu asing untuk diperdengarkan kepada para konsumen dengan tujuan

menambah rasa nyaman bahkan memeriahkan dalam suasana di lingkungan

hotel.

Ketiga, Hotel Pangrango dalam menjalankan kegiatan usahanya dan

operasionalnya telah melakukan kegiatan pengumuman lagu atau musik

dengan tujuan menambah nyaman para tamu dengan cara memutar karya

cipta musik atau lagu melalui pesawat televisi yang tersedia di setiap kamar

dan melalui seperangkat elektronik di mana karya musik dan lagu tersebut


(49)

Keempat, Hotel Pangrango dalam kegiatan usahanya telah bersifat

komersial dengan adanya jasa sewa kamar serta menjual makanan dan

minuman yang dipesan oleh konsumennya, sehingga memutar lagu atau

musik di tempat usahanya dapat dikualifikasikan telah melakukan kegiatan

pengumuman, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2002, maka secara hukum tergugat harus mendapat izin

terlebih dahulu dari pencipta yang dalam hal ini Penggugat.

Kelima, Hotel Pangrango telah menggunakan karya cipta musik dan

lagu sebagaimana diuraikan di atas sejak 18 Mei 2004, hingga gugatan ini

diajukan, tergugat tidak memperoleh izin dari penggugat sebagai pemegang

hak cipta;

Keenam, Yayasan Karya Cipta Indonesia telah mengingatkan

tergugat untuk segera mengurus izin pengumuman musik atau lagu

termasuk dengan pembayaran royaltinya melalui surat, yaitu:

- Surat Nomor : LD/BOTABEK044050081. Tanggal 18 Mei 2004,

perihal lisensi pengumuman musik;

- Surat Nomor : LD/BOTABEK04070105 Tanggal 2 Juli 2004,

perihal Surat Peringatan I;

- Surat Nomor : LD/BOGOR04070105 Tanggal 13 Juli 2004, perihal

Surat Peringatan II;

Akan tetapi sampai saat ini Tergugat tidak pernah ada tanggapan


(50)

dengan saja terus melakukan kegiatan pengumuman musik atau lagu di

tempat usahanya.

Maka berdasarkan uraian di atas, apa yang telah dilakukan Tergugat

dalam melakukan kegiatan usahanya mengumumkan karya cipta lagu-lagu

Indonesia atau lagu asing tanpa izin penggugat adalah bertentangan dalam

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagaimana

tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta yang berbunyi: Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun dalam provisinya, Yayasan Karya Cipta mengajukan

permohonan kepada hakim agar ada tindakan sementara sebagai berikut:

Pertama, kegiatan pengumuman yang dilakukan oleh tergugat

membawa kerugian bagi penggugat baik kerugian materiil maupun kerugian

yang lebih besar di kemudian hari, berdasarkan pasal 56 ayat 3

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berbunyi : Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan

atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta. Sehingga


(51)

yang memeriksa perkara ini, untuk memerintahkan kepada tergugat untuk

menghentikan kegiatan pengumuman lagu atau musik sampai dengan

adanya kelautan hukum yang tetap.

Kedua, penggugat mohon kepada majelis ketua Pengadilan Niaga

Jakarta untuk segera melakukan sita jaminan (convesartoir beslag) terhadap harta kekayaan tergugat berupa:

a. Sebidang tanah dan bangunan di atasnya yang terletak di Jalan

Padjajaran Nomor 32 Kota Bogor milik tergugat;

b. Seluruh alat-alat yang digunakan untuk mengumumkan lagu atau

musik tergugat.

Adapun dalam pokok perkara, Yayasan Karya mengajukan gugatan

kepada Hotel Pangrango, sebagai berikut:

Pertama, akibat dari perbuatan tergugat dalam menjalan kegiatan

mengumumkan lagu atau musik di lingkungan usaha tanpa izin penggugat

sejak 18 Mei 2004 sampai dengan gugatan ini diajukan, penggugat

mengalami kerugian materil, di mana bahwa kerugian material berupa hak

ekonomi pencipta atas ciptaannya telah Siangar oleh tergugat, maka

Penggugat menggugat Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp.

9.428.400.000,- (sembilan miliar empat ratus dua puluh delapan juta empat

ratus ribu rupiah). Secara tunai dan seketika kepada Penggugat, dengan

perincian sebagai berikut.

Kedua, selain kerugian material yang diderita oleh penggugat juga


(52)

terhadap perlindungan hukum dan penegakan undang-undang hak cipta

khususnya karya cipta lagu atau musik. Sehingga mengakibatkan

semangat berkreasi dalam industri musik atau lagu menjadi berkurang atau

menjadi tidak sama sekali. Maka sudah sewajarnya jika penggugat

menggugat tergugat untuk membayar ganti rugi immateril sebesar Rp

10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) secara tunai dan seketika kepada

penggugat.

Ketiga, adanya perbuatan tergugat, penggugat memohon kepada

tergugat untuk meminta maaf di Harian Umum Pikiran Rakyat, Kompas,

dan Media Indonesia selama 3 hari.

Keempat, untuk menjamin kepastian hukum, penggugat kepada

majelis ketua Pengadilan Niaga Jakarta untuk membayar uang paksa

sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)

Kelima, untuk menghindari tergugat tidak mematuhi perkara ini,

penggugat mohon kepada majelis ketua Pengadilan Niaga Jakarta untuk

menjatuhkan putusan yang dapat dijatuhkan terlebih dahulu (uitvoerbar bij

voorad)

Keenam, Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara

Atas gugatan Penggugat, tergugat mengajukan eksepsi pada

pokoknya:

1. Surat Kuasa tidak memenuhi ketentuan biaya materi

2. Antara Pimpinan Pusat PHRI(Perhimpunan Hotel dan Restoran


(53)

3. Mohon diputus terlebih dahulu (putusan sela) dengan dasar sebagai

berikut

- Karena syarat formal dalam penggunaan bea materi tidak

dipenuhi oleh penggugat, maka telah melanggar

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 yaitu Pasal 7 ayat 5 dan ayat 9

dan Pasal 11 ayat 1, maka cukup alasan untuk diputus terlebih

dahulu.

- Antara Pengurus Pusat PHRI dengan YKCI sedang

mengadakan negosiasi mengenai royalti lisensi musik.

Terhadap gugatan yang diajukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,

maka hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan

tanggal 20 Juli 2006 yaitu Putusan Nomor : 22/ HAKCIPTA/ 2006/

PN.NIAGA.KT.PST yang amar putusannya berbunyi:

Dalam Provisi :

-Menolak tuntutan Provisi Penggugat

Dalam Eksepsi:

-Menolak Eksepsi tergugat;

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan penggugat sebagian

2. Menyatakan gugatan tergugat telah melakukan pengumuman

karya cipta lagu atau musik tanpa izin penggugat

3. Menghukum tergugat membayar kerugian materil sebesar Rp


(54)

4. Menghukum tergugat membayar biaya perkara sebesar

Rp.5.000.000(lima juta rupiah)

5. Menolak gugatan tergugat selebihnya;

C. Putusan Hakim Mahkamah Agung Putusan Nomor 036/K/N/HaKI/2006

Setelah sudah dijatuhkannya putusan Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang terbuka untuk umum pada

tanggal 20 Juli 2006, kemudian Tergugat dengan perantara kuasanya

berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 9 Agustus 2006 diajukan

permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 16 Agustus 2006 sebagaimana

ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor: 25/ Kas/ HKI-Hak Cipta/

2006/ PN.Niaga Jkt Pst. jo. Nomor 22/ HKI-Hak Cipta/ 2006/ PN.NIAGA/

JKT.PST yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat,

permohonan mana disusul oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan

yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat pada

tanggal 23 Agustus 2006

Setelah itu Termohon Kasasi/Penggugat yang pada tanggal 25

Agustus 2006 telah menerima salinan memori kasasi dari pemohon kasasi,

pengajuan kontra memori kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan

Negeri/Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 28 September 2006.

Atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi,


(55)

Pertama, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam perkara a quo tidak menerapkan hukum serta melanggar hukum sehingga putusan a quo harus dibatalkan

Kedua, pertimbangan hukum putusan yang dihubungkan dengan

keterangan saksi-saksi diperoleh fakta-fakta yang menyatakan

terbukti/tergugat melakukan kegiatan pengumuman lagu atau musik. Bahwa

menurut Pemohon Kasasi, pertimbangan hukum tersebut adalah keliru dan

tidak tepat serta tidak berdasarkan hukum, karena di dalam persidangan

saksi dari Tergugat/Pemohon Kasasi/Brahim Arsyad telah menjelaskan:

Tidak ada live show dan tidak punya alat audio memutar lagu yang

disalurkan ke kamar”

Ketiga, pemohon kasasi keberatan dengan pertimbangan hukum

yang menyimpulkan telah terbukti tergugat melakukan pengumuman karya

cipta lagu atau musik tanpa izin dari Penggugat. Antara pemohon kasasi

dengan termohon kasasi belum pernah mengadakan pertemuan, hanya

dalam bentuk surat peringatan.

Keempat, penggugat dalam memungut royalti pernah dapat somasi

dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) dalam Harian Kompas

10 Juli 2006 dengan judul “Pemberitahuan dan Somasi terbuka terhadap

YKCI”, menyatakan YKCI yang menagih dan memungut royalti tersebut

tidak sah dan tidak berdasarkan hukum. Dengan adanya somasi dari ASIRI,

maka legalitas dari YKCI dalam memungut royalti dan memberikan izin


(56)

Terlepas dari alasan-alasan kasasi tersebut di atas dengan tidak perlu

mempertimbangkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon

Kasasi menurut pendapat Mahkamah Agung, Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum yaitu

kurang mempertimbangkan persona standi in judicio dari Penggugat. Bahwa persona standi in judicio dari Penggugat sangat penting dipertimbangkan lebih dahulu untuk menghindari terjadinya kekeliruan

siapa yang sebenarnya berwenang untuk bertindak menagih suatu royalti

atas suatu hak cipta.

Menurut majelis hakim pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2002, hanya disebut tentang hak dari pencipta, yaitu antara lain memberikan

lisensi kepada pihak lain (Pasal 45), yang artinya mereka inilah yang dapat

menuntut hak-haknya bila ada yang melanggar.

Bahwa penggugat di dalam gugatannya menuntut Tergugat karena

telah mengumumkan lagu:

- Greased Ligtning, cipt. J. Travolta, Olivia N. Jhon, B. Palace Boy,

Warren Casey & Jim;

- It Must Have Been Love, cipt Piere H. Gessel;

- I Don’t Want Miss A Thing, cipt Steven Taylor;

Penggugat dalam mengajukan gugatan ini atas nama Yayasan Karya

Cipta Indonesia, sehingga menentukan pertanyaan apakah YKCI ini berhak


(57)

mempunyai hubungan hukum dengan ketiga orang pencipta lagu tersebut di

atas, maka hakim melihat dari beberapa bukti;

1. Dalam bukti P-7, berupa surat kuasa dengan Juliane Andanti,

pekerjaan karyawati, memberi kuasa kepada YKCI. Di dalam surat

ini tidak jelas pemberi kuasa mewakili siapa dan apakah seorang

karyawati berhak untuk mewakili suau perusahaan

2. Di dalam bukti P-8, berupa surat kuasa dari Anton Sastra Wijaya,

Direktur Suara Mobishindo, memberi kuasa kepada YKCI, surat

kuasa ini berlaku sampai dengan tanggal 18 November 1999 dan

dapat diperpanjang 3 tahun berikutnya.

3. Di dalam bukti P-9, berupa surat kuasa dari Johannes AK. Soerjoko,

Direktur Utama Aquarius/EMI, memberi kuasa kepada YKCI yang

berlaku sampai dengan tanggal 7 Febuari 1997 dan dapat dipernjang

3 tahun;

Surat kuasa (bukti P-7) adalah tidak sah, karena pemberi kuasa tidak

jelas mewakili siapa dan apakah seorang karyawati berhak untuk mewakili

suatu perusahaan, sedangkan surat kuasa (Buki P.8 dan P.9) sudah tidak

berlaku lagi.

Bahwa dari pertimbangan tersebut diatas maka legal standing

penggugat untuk mewakil ketiga pencipta lagu yang diklaim oleh penggugat

telah diumumkan oleh Tergugat, tidak ada, sehingga gugatan Penggugat


(58)

Majelis Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi

dari pemohon kasasi CV Pangrango tersebut, dan membatalkan putusan

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tanggal 20 Juli 2006 Nomor22/ HAK

CIPTA/ 2006/ PN.NIAGA.JKT.PST

Dalam Provisi:

- Menolak tuntutan provisi Penggugat

Dalam Eksepsi:

- Menolak Eksepsi Tergugat

Dalam Pokok Perkara:


(59)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK CIPTA ATAS KARYA CIPTA LAGU

A. Pertimbangan Hukum Dalam Perkara Antara CV. Pangrango dan Yayasan Karya Cipta Indonesia.

Putusan MA Nomor 036 K/N/HaKI/2006 merupakan sebuah

putusan yang menyelesaikan kasus hukum antara CV. Pangrango dan

Yayasan Karya Cipta Indonesia, karena adanya penggunaan lagu yang

bersifat komersial dalam kegiatan usahanya tanpa izin dari pemegang hak

cipta. Yayasan Karya Cipta Indonesia merupakan sebuah lembaga

manajemen kolektif di Indonesia berbentuk badan hukum nirlaba di

Indonesia untuk memungut royalti atas karya cipta lagu oleh para pengguna

yang bersifat komersial.1 Pada tingkat Pengadilan Niaga, Yayasan Karya

Cipta Indonesia selaku Penggugat mengajukan gugatan terhadap CV.

Pangrango yaitu sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa

penginapan (perhotelan) yang bernama Hotel Pangrango yang

berkedudukan di Jalan Padjajaran Nomor 32 Kota Bogor.

CV. Pangrango dalam bidang jasa penginapan yang bernama Hotel

Pangrango telah mempergunakan karya cipta musik atau lagu dari dalam

1 Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang

diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Penjelasan Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014.


(60)

maupun luar negeri kepada para konsumennya dengan cara memutar,

memperdengarkan, menyiarkan karya cipta lagu atau musik melalui

alat/sarana pesawat televisi, radio/tape recorder (background music), serta dalam bentuk live show. Oleh karena itu, Yayasan Karya Cipta Indonesia menggugat CV. Pangrango atas kegiatan usaha yang dilakukan oleh

Tergugat (CV. Pangrango). Selain kegiatan usaha tersebut, CV. Pangrango

juga menyediakan menu tambahan berupa makanan dan minuman untuk

para konsumennya, serta memutar lagu-lagu Indonesia atau lagu asing

untuk diperdengarkan kepada para konsumen dengan tujuan menambah rasa

nyaman bahkan memeriahkan dalam suasana di lingkungan hotel.

Kegiatan usaha Tergugat yang telah bersifat komersial dengan

adanya jasa sewa kamar serta menjual makanan dan minuman yang dipesan

oleh konsumennya, sehingga memutar lagu atau musik di tempat usahanya

dapat dikualifikasikan telah melakukan kegiatan pengumuman,

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2002 yang berbunyi

“Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.”

Sehingga secara hukum tergugat dalam kegiatan usahanya yang

mengumumkan musik atau lagu, harus mendapat izin terlebih dahulu dari

pencipta atau pemegang hak cipta yang dalam hal ini penggugat (Yayasan

Karya Cipta Indonesia). Di mana penggugat adalah sebuah yayasan yang


(61)

nama pemberi kuasa dalam memberi izin kepada para pengguna, untuk

mengumumkan atau menggunakan lagu-lagu dalam negeri maupun lagu

asing termasuk dalam pengelolaan hak ekonomi para pencipta yang berupa

royalti.

Adapun musik atau lagu yang diperdengarkan atau diumumkan

tergugat antara lain:

1. Greased Ligtning, cipt. J. Travolta, Olivia N. Jhon, B. Palace Boy,

Warren Casey & Jim;

2. It Must Have Been Love, cipt Piere H. Gessel;

3. I Don’t Want Miss A Thing, cipt Steven Taylor;

Berdasarkan kegiatan usaha yang telah dilakukan oleh Tergugat

dalam mengumumkan karya cipta lagu-lagu Indonesia ataupun lagu asing

tanpa izin penggugat. Maka hal ini bertentangan dengan Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagaimana tertuang dalam Pasal

2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang

berbunyi:

“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi

pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutuskan terhadap

gugatan yang diajukan Yayasan Karya Cipta Indonesia pada tanggal 20 Juli

2006 yaitu Putusan Nomor : 22/ HAKCIPTA/ 2006/ PN.NIAGA.KT.PST

dengan amar putusannya. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


(62)

atau musik tanpa izin penggugat dan menghukum tergugat membayar

kerugian materil sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) beserta

biaya perkara sebesar Rp.5.000.000(lima juta rupiah).

Adanya putusan Pengadilan Niaga tersebut, pihak CV. Pangrango

sangat keberatan atas pertimbangan hukum pada putusan tersebut. Akhirnya

melalui kuasa hukumnya, Ezrin Rosep, SH mengajukan permohonan kasasi

di Mahkamah Agung pada tanggal 16 Agustus 2006. Sebagaimana tertuang

dari Akta Permohonan Kasasi Nomor: 25/ Kas/ HKI-Hak Cipta/ 2006/

PN.Niaga Jkt Pst. jo. Nomor 22/ HKI-Hak Cipta/ 2006/ PN.NIAGA/

JKT.PST yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat.

Permohonan kasasi tersebut diajukan atas keberatan-keberatan yang

diajukan oleh Pemohon Kasasi, antara lain mengenai judex facti2 dalam

perkara bersangkutan (a quo) tidak menerapkan hukum serta melanggar hukum. Antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi belum pernah

mengadakan pertemuan, hanya dalam bentuk surat peringatan saja. Selain

itu, termohon kasasi dahulu penggugat dalam memungut royalti pernah

dapat somasi dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) dalam

Harian Kompas 10 Juli 2006. Dengan adanya somasi dari ASIRI, maka

legalitas dari YKCI dalam memungut royalti dan memberikan izin untuk

mengumumkan/menyiarkan lagu-lagu tidak sah. Oleh karena itu, cukup

2 Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex facti, yang berwenang memeriksa

fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut


(63)

alasan dan dasar hukumnya bagi Pemohon Kasasi untuk mengajukan

permohonan kasasi.

Permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi kepada

majelis hakim Mahkamah Agung dalam memori kasasinya tersebut.

Menurut majelis hakim Mahkamah Agung, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

telah salah menerapkan hukum yaitu kurang mempertimbangkan persona

standi in judicio3dari Penggugat. Personastandi in judicio dari penggugat

sangat penting dipertimbangkan lebih dahulu untuk menghindari terjadinya

kekeliruan siapa yang sebenarnya berwenang untuk bertindak menagih

suatu royalti atas suatu hak cipta.

Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa di dalam

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, hanya disebut tentang hak dari pencipta,

yaitu antara lain memberikan lisensi kepada pihak lain (Pasal 45

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002), yang artinya mereka inilah yang dapat

menuntut hak-haknya bila ada yang melanggar.

Atas dasar pertimbangan tersebut maka legal standing4 Yayasan Karya Cipta Indonesia dalam mewakili para pencipta tidak ada. Sehingga

Majelis Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari

pemohon kasasi CV Pangrango tersebut, dan membatalkan putusan

3Persona standi in judicio adalah setiap person atau orang yang mempunyai kepentingan

hukum dapat mengajukan gugatan/permohonan ke Pengadilan

4Legal standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi

syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi.


(64)

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tanggal 20 Juli 2006 Nomor 22/ HAK

CIPTA/ 2006/ PN.NIAGA.JKT.PST

B. Legal Standing Yayasan Karya Cipta Indonesia

Yayasan Karya Cipta Indonesia merupakan sebuah lembaga

manajemen kolektif di Indonesia berbentuk badan hukum nirlaba di

Indonesia untuk memungut royalti atas karya cipta lagu oleh para pengguna

yang bersifat komersial. Tugas dari Yayasan Karya Cipta Indonesia ini

adalah memungut royalti untuk para pemilik atau pencipta(pemberi kuasa)

dari pengguna maupun pelaku usaha yang bersifat komersial dan

mendistribusikannya kembali kepada para pemilik atau pencipta tersebut.

Pada kasus antara Yayasan Karya Cipta Indonesia dan CV.

Pangrango dalam hal kegiatan mengumumkan karya cipta lagu atau musik

tanpa seizin pemegang hak cipta. Yayasan Karya Cipta Indonesia

mengajukan gugatan terhadap CV. Pangrango, karena telah

mempergunakan karya cipta musik atau lagu dari dalam maupun luar negeri

kepada para konsumennya dengan cara memutar, memperdengarkan,

menyiarkan karya cipta lagu atau musik melalui alat/sarana pesawat televisi,

radio/tape recorder(background music), serta dalam bentuk live show. Dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Agung, Majelis Hakim

berpendapat bahwa legal standing Yayasan Karya Cipta Indonesia dalam mewakili para pencipta tidak ada. Selain itu, Hakim Mahkamah Agung


(65)

hanya menyebut tentang hak dari pencipta, yaitu antara lain memberikan

lisensi kepada pihak lain (Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002),

yang artinya mereka inilah yang dapat menuntut hak-haknya bila ada yang

melanggar.

Berdasarkan yurisprudensi Putusan MA No. 038 K/N/HaKI/2005

terjadi kasus antara YKCI melawan Hotel Sahid Jaya Internasional serta

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang dimenangkan oleh

pihak YKCI. Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa Yayasan Karya

Cipta Indonesia berhak memberikan izin lisensi dan memungut royalti atas

penggunaan karya cipta lagu yang bersifat komersial. Kewenangan YKCI

tersebut didasarkan pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

tentang hak cipta dan surat kuasa perjanjian kerja sama antara YKCI dengan

para pencipta.

Menurut penulis, jika dikaitkan dengan yurisprudensi Putusan MA

No. 038 K/N/HaKI/2005, pertimbangan hakim mahkamah agung dalam

memutuskan perkara antara YKCI dengan Hotel Pangrango tidak tepat

karena tidak sesuai dengan yurisprudensi sebelumnya. Majelis Hakim

Mahkamah Agung dalam menyelesaikan perkara antara YKCI dengan

Hotel Pangrango telah salah menafsirkan Pasal 45 yang terdapat di

Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pasal 45

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 diatur tentang hak pemberian lisensi, bahwa:


(66)

berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.“

Pada pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 disebutkan

bahwa pihak yang berhak memberikan lisensi kepada pihak lain adalah

pemegang hak cipta. Namun, hakim Mahkamah Agung malah menafsirkan

pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 dengan menyebutkan

bahwa pihak yang berhak memberikan lisensi kepada pihak lain adalah

“pencipta”. Di sini terdapat perbedaan antara penafsiran hakim Mahkamah

Agung mengenai siapa yang berhak memberikan lisensi kepada pihak lain.

Jika kita kaitkan dengan pengertian pemegang hak cipta pada Pasal

1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 yang berbunyi: Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih

lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Pengertian pemegang

hak cipta ini menurut penulis bisa pencipta itu sendiri atau bisa pihak lain

yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari pencipta. Dalam hal ini, pihak

lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari pencipta adalah Yayasan

Karya Cipta itu sendiri sebagai pemegang hak cipta

Menurut penulis, jika hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa

pihak yang dapat menuntut hak-haknya bila ada yang melanggar dalam hal

ini mengajukan gugatan adalah pencipta. Berarti Hakim Mahkamah Agung

telah salah menafsirkan pasal-pasal yang terdapat di Undang-Undang Hak


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Karya Cipta Lagu dan Musik Dalam Bentuk Ringtone Pada Telepon Seluler

13 202 108

Analisis Yuridis mengenai Perlindungan Hukum Pemegang Hak Cipta atas praktik Pembajakan Lagu dan Musik dengan Format Mp3 (Motion Picture Experts Layer III)

1 107 90

Perlindungan Hukum Pemegang Hak Cipta Terhadap Pembajakan Hak Cipta Lagu Atau Musik

3 107 147

Perlindungan hukum bagi pemegang hak cipta terhadap pemberi lisensi karya cipta lagu

2 16 198

PERAN KARYA CIPTA INDONESIA DALAM PERLINDUNGAN HAK CIPTA LAGU YANG DIGUNAKAN SECARA KOMERSIAL Peran Karya Cipta Indonesia Dalam Perlindungan Hak Cipta Lagu Yang Digunakan Secara Komersial(Studi Perlindungan Hukum Terhadap Lagu).

1 11 17

PERAN KARYA CIPTA INDONESIA DALAM PERLINDUNGAN HAK CIPTA LAGU YANG DIGUNAKAN SECARA KOMERSIAL Peran Karya Cipta Indonesia Dalam Perlindungan Hak Cipta Lagu Yang Digunakan Secara Komersial(Studi Perlindungan Hukum Terhadap Lagu).

0 4 12

PENDAHULUAN Peran Karya Cipta Indonesia Dalam Perlindungan Hak Cipta Lagu Yang Digunakan Secara Komersial(Studi Perlindungan Hukum Terhadap Lagu).

0 4 11

PERLINDUNGAN HAK CIPTA TERHADAP KARYA SENI Perlindungan Hak Cipta Terhadap Karya Seni (Studi Perlindungan Hukum Terhadap Lukisan).

0 4 19

PERLINDUNGAN HAK CIPTA ATAS KARYA MUSIK Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Musik (Studi Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Lagu).

0 2 14

PERLINDUNGAN HAK CIPTA ATAS KARYA MUSIK Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Musik (Studi Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Lagu).

0 2 22