JANGAN BIARKAN PUASAMU SIA-SIA

3. Maksiat secara umum.

Perhatikanlah petuah yang sangat bagus dari Ibnu Rajab Al Hambali berikut, “Ketahuilah bahwa amalan taqorub (mendekatkan diri) pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat 74 tidak akan

sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.”

Sejelek-jelek puasa adalah yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat di bulan Ramadhan pun masih terus jalan. Sebagian salaf mengatakan, “Tingkatan puasa yang paling rendah adalah hanya meninggalkan minum dan makan saja.” 75

Apakah Maksiat Membatalkan Puasa?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang asalnya mubah 76 tidaklah sempurna sampai seseorang meninggalkan keharaman. Barangsiapa

yang melakukan yang haram disertai mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah, maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu beralih mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang yang bermaksiat tetap dianggap sah dan tidak diperintahkan untuk mengqoho’ puasanya menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus (seperti makan, minum dan jima’) dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.” 77

73 HR. Ibnu Khuzaimah 3/242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih. Mengenai makna laghwu dan rofats telah diterangkan sebe lumnya pada pembahasan “Hikmah di Balik Puasa Ramadhan”.

74 Ada bentuk syahwat yang sebenarnya boleh dilakukan ketika tidak berpuasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri.

75 Latho’if Al Ma’arif, hal. 277.

76 Makan, minum, jima’ di luar puasa adalah suatu yang asalnya mubah (dibolehkan). Ketika puasa hal ini dilarang dan termasuk pembatal puasa.

77 Latho’if Al Ma’arif, hal. 277-278.