Hamemayu Hayuning Rat

A. Hamemayu Hayuning Rat

‘Hamemayu hayuning Rat’ bermakna bahwa manusia dituntut untuk tunduk kepada hukum Tuhan yang tercermin dalam hukum tata keseimbangan alam. Oleh karena itu, hukum tata keseimbangan alam memuat rumus-rumus kehidupan yang bersifat maha adil dan bijaksana. Kesadaran akan hamemayu hayuning Rat menuntut perilaku dan tindakan manusia agar selalu selaras dan harmonis

Toleransi dan Perkauman | 27 Toleransi dan Perkauman | 27

1. Konsepsi Ketuhanan

Kejawen memandang Tuhan sebagai suatu sumber kekuatan, sumber hidup, dan sumber hukum tata keseimbangan alam. Akan tetapi, ia tidak dapat dilukiskan dalam bentuk dan wujudnya. Kejawen hanya “menggambarkan” yang bukan gambaran wujud Tuhan. Ia menggambarkan bagaimana pengakuan dan cara pandang Kejawen terhadap eksistensi Tuhan.

“Gusti iku tan kêna kinira, tan kêna kinaya ngapa, adoh tanpa wangènan, cêdak tanpa sénggolan”. Artinya, Tuhan tidak dapat

diduga-duga dan dikira-kira, tidak pula dapat diumpamakan seperti apapun. Dikatakan jauh tetapi tidak ada jarak, dikatakan dekat tetapi tidak bersentuhan.

Kejawen berusaha memahami Tuhan secara lebih jelas dan sederhana tetapi bisa diterima nalar sehat. Mirip dengan tradisi

filsafat Yunani Kuno pada abad 500 sebelum Masehi, Kejawen memahami Tuhan dengan metode memahami diri sejati terlebih

dahulu. Karenanya, khazanah ilmu Kejawen sangat kaya akan ilmu yang mengupas dan menjabarkan tentang kesejatian diri pribadi.

Pada garis besarnya, Kejawen memandang manusia sebagai bagian dari alam semesta ( universe) yang memiliki kesamaan dengan unsur-unsur utama pembentuk, seperti halnya unsur pembentuk alam semesta, yakni unsur api, air, udara, dan tanah.

Dengan dasar pemahaman ini, Kejawen mengistilahkan manusia sebagai ‘jagad-alit’ atau mikrokosmos. Sedangkan alam semesta dipandang merupakan ‘jagad-agung’ atau makrokosmos. Kejawen menyadari bahwa dalam diri setiap manusia terdapat sukma atau

28 | Toleransi dan Perkauman 28 | Toleransi dan Perkauman

2. Sifat-sifat Tuhan

Tuhan diidentikkan sebagai segala sifat yang baik atau positif. Parameter yang digunakan oleh Kejawen untuk mengidentifikasi sifat baik dan positif Tuhan tercermin dalam sifat-sifat dan fungsi

dari delapan unsur alam, yang terdiri dari matahari, bumi (tanah), bulan, bintang, udara, langit atau angkasa, api, air atau samudra.

Dalam khazanah Kejawen, kedelapan unsur alam itu disebut sebagai ‘Pusaka Hasta Brata’ atau delapan macam ‘laku’ manusia. Laku yang dimaksud adalah jalan hidup yang ditempuh oleh seseorang. Kedelapan unsur alam itu diidentikkan dengan semua sifat-sifat positif sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam tata keseimbangan kosmos.

3. Ajaran Panunggalan

Salah satu ajaran spesifik dalam Kejawen adalah tentang ‘panunggalan’. Lazimnya, ia disebut sebagai ajaran ‘dwi-tunggal’,

‘roroning atunggil’, atau ‘manunggaling kawula Gusti’. Ajaran ini dapat dilihat pada tulisan Raja Mangkunegaran Solo, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara 4, atau Gusti Ingkang Wicaksana Sri Mangkunegoro kaping IV (1811-1887) dalam kitab serat Wedatama.

Ajaran panunggalan atau dwi-tunggal, atau lebih familiar dengan sebutan ‘jumbuhing kawula kalawan Gusti’, dalam dimensi spiritual

Toleransi dan Perkauman | 29 Toleransi dan Perkauman | 29

dimana manusia mengadopsi dan mengimplementasikan sifat-sifat Tuhan sebagai sifat-sifat diri pribadi manusia.

Sifat-sifat Tuhan itulah yang kemudian menjadi obor dalam setiap langkah kaki saat menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan demikian faktor yang sangat penting adalah bagaimana seseorang memahami sifat-sifat Tuhan, sebab hal itu akan sangat mewarnai pula sifat seseorang yang melakukan panunggalan. Bayangkan saja seorang umat yang menghayati konsep panunggalan, tetapi memahami Tuhan sebagai Mahamurka, kemudian menerapkan sifat kemurkaan ke dalam diri dan mewarnai kehidupan sehari- harinya.

Konsep panunggalan dalam Kejawen dilakukan secara sederhana dengan mengacu pada sifat-sifat positif sebagaimana tercermin dalam Pusaka Hasta Brata. Sebagai contoh, seseorang yang ‘mulat laku jantraning bumi’, atau menerapkan sifat-sifat bumi ke dalam dirinya, akan melahirkan individu dengan karakter sebagaimana dimiliki watak bumi atau tanah. Dan watak itu baru bisa dilihat apabila seseorang dapat mengimplementasikannya ke dalam perilaku kehidupan sehari-harinya.

4. Tentang Kehendak Tuhan

Kejawen memahami bahwa Tuhan membiarkan (mengizinkan) setiap manusia untuk berusaha mengungkap apapun rahasia yang ada di alam semesta ini sampai batas kemampuannya masing-masing. Jika ada seseorang yang mampu melihat masa depan, kemampuan itu tidak dinilai sebagai tindakan mendahului kehendak Tuhan.

Logika Kejawen membuat sebuah konklusi bahwa kehendak Tuhan sampai kapan pun tidak akan dapat didahului oleh kehendak

30 | Toleransi dan Perkauman 30 | Toleransi dan Perkauman

5. “Kitab Suci” Sastra Jendra

Seringkali pertanyaan yang diajukan untuk penghayat Kejawen berkaitan dengan kitab suci. Sebab, tiap-tiap agama memang memiliki kitab sucinya masing-masing. Akan tetapi, Kejawen sendiri bukanlah agama. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa Kejawen juga memiliki pegangan “kitab suci” yang berupa “ayat-ayat” yang tergelar di jagad raya ini.

Itulah yang dimaksud dengan ‘Sastra Jendra’. ‘Sastra’ adalah tulisan kalimat atau ayat, ‘jendra’ adalah alam semesta, atau dapat diartikan sebagai kalimat Tuhan. Alam semesta beserta seluruh tanda-tandanya sebenarnya merupakan “ayat” yang tersirat dan tersurat. Dengan demikian, sastra jendra menjadi jendela bagi manusia untuk berkomunikasi secara langsung dengan Ingkang Akarya Jagad (Tuhan).

Adapun bentuk komunikasi dan interaksi manusia dengan Tuhan ialah dengan cara mencermati segala keagungan Ilahi melalui ragam bahasa alam yang tersirat dan tersurat di jagad raya ini. Baru kemudian manusia meresponnya dengan kearifan dan kebijaksanaan perilaku.

Penghayat Kejawen tidak sungkan berguru kepada siapapun juga sekalipun terhadap seseorang yang dianggap bodoh. Asalkan

Toleransi dan Perkauman | 31 Toleransi dan Perkauman | 31

Dalam tradisi Kejawen, setiap individu bebas merdeka untuk mengeksplorasi keagungan Ilahi sejauh kemampuan mereka masing-masing. Rahasia kebesaran Tuhan tidak ada yang perlu ditabukan. Dengan prinsip dasar pemahaman ini, tidak sedikit para penghayat Kejawen yang mampu menjelajah ilmu pengetahuan alam seluas-luasnya dan mampu menyingkap rahasia gaib yang oleh tradisi lain justru menjadi larangan untuk disibak dan diungkapkan.

Dalam Kejawen, tindakan atau sifat manusia yang selaras dan harmonis dengan hukum tata keseimbangan alam akan dikategorikan sebagai tindakan positif atau merupakan amal kebaikan. Orang yang takwa kepada Tuhan berarti tindakan dan perilaku hidupnya selaras dan harmonis dengan sifat-sifat unsur alam, sebagaimana digambarkan dalam Pusaka Hasta Brata.

Sebaliknya, tindakan manusia yang menentang Tuhan, atau lazimnya disebut sebagai tindakan negatif, adalah tindakan manusia yang mengingkari sifat-sifat kedelapan unsur alam atau Pusaka Hasta Brata. Tindakan negatif itu merupakan tindakan yang merusak dan bertentangan dengan hukum tata keseimbangan

alam. Dalam Kejawen, hal tersebut diklasifikasi sebagai dosa besar atau kesalahan besar.

6. Purba Jati: Mengungkap Misteri Tuhan

Salah satu ajaran yang menarik dalam tradisi Kejawen adalah tulisan

32 | Toleransi dan Perkauman 32 | Toleransi dan Perkauman

“Jumenengnya zat Maha Wisesa kang Langgeng Ora Owah Gingsir”, dianggap sebagai sesuatu yang absolut. Kalimat ini mempunyai maksud bahwa berdirinya “sesuatu tanpa nama” yang ada, mandiri, dan paling berkuasa, mengatasi jagad raya sejak masih ‘awang- uwung’. Sesuatu inilah yang disebut ‘maha kuasa’, yang berarti sesuatu yang tanpa wujud, berada dan merasuk ke dalam energi hidup kita. Tetapi, banyak yang tidak mengerti dan memahami, karena keber-ada-annya lebih samar; tanpa arah; tanpa papan ( gigiring punglu); tanpa teman; tanpa rupa; sepi dari bau, warna, rupa; bersifat elok; bukan laki-laki bukan perempuan; dan bukan banci.