Hamemayu Hayuning Bawana

B. Hamemayu Hayuning Bawana

‘Hamemayu hayuning bawana’ artinya menjaga dan melestarikan berkah dan anugerah alam. Kesadaran ini menuntut perilaku dan tindakan manusia agar selalu selaras dan harmonis dengan tata hukum keseimbangan alam yang meliputi kehidupan seluruh makhluk.

Dalam konteks agama, barangkali ia sepadan dengan apa yang dimaksudkan dengan hubungan baik antarsesama manusia. Tetapi, konsepsi Kejawen yang tertuang dalam pokok ajaran hamemayu hayuning bawana lebih luas ditujukan bagi seluruh makhluk hidup, tanpa kecuali, bahkan terhadap semua ragam benda-benda alam. Bagaimana manusia harus bertindak kemudian dijabarkan melalui isi ajaran yang terkandung dalam Pusaka Hasta Brata seperti berikut ini.

Toleransi dan Perkauman | 33

1. Pusaka Hasta Brata (Wahyu Makutha Rama)

‘Hasta Brata’, atau dalam cerita pewayangan disebut pula sebagai ‘Wahyu Makutha Rama’, sesungguhnya merupakan ilmu Jawa yang berisi tentang bagaimana orang Jawa memahami alam semesta ini secara bijaksana. Anasir kedelapan unsur alam semesta menjadi petunjuk dan teladan perilaku sehari-hari manusia Jawa.

Semakin tinggi kualitas seseorang meneladani dan menerapkan sifat-sifat Hasta Brata ke dalam perilaku dan kehidupan sehari- harinya, semakin ia akan sinergis dan harmonis dalam menjalani jagad kecil dengan jagad besarnya. Pada tataran ini, level kesadaran spiritual seseorang mencapai kesadaran kosmologis, di mana terjadi keselarasan dan harmonisme antara tindakan dan perilaku manusia dengan hukum tata keseimbangan alam yang termaktub di dalam Pusaka Hasta Brata.

Kedelapan unsur alam semesta tersebut disimbolkan sebagai entitas delapan Dewa beserta sifat-sifatnya.

a. Mulat Laku Jantraning Bantala (Bumi; Bethara Wisnu)

b. Mulat Laku Jantraning Surya (Matahari; Bethara Surya)

c. Mulat Laku Jantraning Kartika (Bintang; Bethara Ismaya)

d. Mulat Laku Jantraning Candra (Rembulan; Bethari Ratih)

e. Mulat Laku Jantraning Samodra atau Tirta (Bathara Baruna)

f. Mulat Laku Jantraning Akasa (Langit; Bathara Indra)

g. Mulat Laku Jantraning Maruta (Angin; Bathara Bayu)

h. Mulat Laku Jantraning Agni (Api; Bethara Brahma) Kebulatan dalam menerapkan Hasta Brata dapat menumbuhkan

sikap dan tekad bulat dalam menetapkan diri pada kodrat Gusti Kang Akarya Jagad serta menjauhkan diri dari segala sikap berseteru dengan Tuhan. Sikap ini menuntun pada situasi batin yang selalu ‘eling’ dan waspada, sehingga dapat menselaraskan antara ucapan dengan perbuatan.

34 | Toleransi dan Perkauman

Selain itu, sikap sabar dalam menghadapi semua kesulitan dan penderitaan, berpendirian teguh dan tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu, tidak bersikap ‘gugon tuhon’ atau ‘anut grubyug (taklid)’, ‘ela-elu’, atau sikap asal–asalan, akan mewarnai keseharian.

Kebulatan tekad ini akan membawa manusia pada pikiran kritis, hati yang bersih, batin yang selalu bening dan tidak berprasangka buruk, serta tidak mencari-cari keburukan orang lain. Ia juga akan menuntut manusia untuk bersikap ‘legawa (ikhlas)’ dan menerima apa adanya akan hasil akhir (qona’ah) terhadap apa yang diperolehnya dengan tetap memiliki semangat juang dan selalu berusaha tanpa kenal putus asa.

Dimilikinya watak, sifat, karakter, dan tabiat sebagaimana terangkum dalam Hasta Brata dapat membuka “olah rasa” untuk selalu ‘eling’ dan mampu berkecimpung dalam pergaulan luas dengan segala tatanan masyarakat. Demikianlah nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung di dalam falsafah Hasta Brata yang menjadi pusaka pegangan Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bethara Kresna sewaktu ‘jumeneng’ (upacara penabalan) raja di ‘tlatah’ Ayodya Pala, yang diwejangkan (dinasihatkan) juga kepada Raden Arjuna.

2. Kautamaning Bebrayan

Banyak sekali kawruh (ilmu) Jawa yang secara otomatis termasuk sebagai bagian dari falsafah hidup Jawa yang tersebar luas di dalam budaya Jawa. Namun demikian, sebagai pedoman dalam berinteraksi antara sesama manusia, di antaranya yang paling menonjol adalah ajaran ‘kautamaning bebrayan’

Kautamaning bebrayan adalah keutamaan hidup dalam pola hubungan kekeluargaan yang harmonis, saling asah, saling asih, dan saling asuh. Kejawen tidak membatasi keluarga hanya berdasarkan

Toleransi dan Perkauman | 35 Toleransi dan Perkauman | 35

Untuk menjaga rasa kekeluargaan dengan masyarakat dan tetangga sekitarnya, prinsip Kejawen mengutamakan terciptanya hubungan yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat. Harmoni bukan dibangun berdasarkan homogenitas, melainkan heterogenitas atau keberagaman suku, bangsa, ras, sosial, dan budaya. Pandangan ini berdiri atas dasar prinsip bahwa heterogenitas merupakan anugerah besar dari Tuhan.

3. Sedulur Papat (Jagad makro)

Sebagaimana yang terjadi pada ajaran-ajaran pokok Kejawen, demikian pula ajaran tentang ‘kautamaning bebrayan’ mempunyai derivasi yang sangat beragam. Ajaran tentang ‘sedulur papat’ dalam Kejawen merupakan salah satu prinsip Kejawen dalam berhubungan antara sesama manusia dan bahkan seluruh makhluk hidup yang mengutamakan rasa kekeluargaan.

Ajaran sedulur papat keblat menganggap bahwa seluruh makhluk adalah saudara, baik antara sesama bangsa manusia, binatang, tumbuhan, bahkan makhluk halus. Hubungan persaudaraan ini diikat oleh rasa kasih sayang atau ‘welas asih’ dengan kesadaran bahwa kita semua makhluk hidup ( sagung titah dumadi) ciptaan Tuhan yang harus saling memberikan dan menerima kasih sayang. Kasih sayang bukan sekedar apa yang terucap di mulut. Tetapi, yang lebih utama adalah menghidupkan rasa welas asih di dalam hati. Kasih sayang tulus yang ada dalam ‘rahsa sejati’ akan menimbulkan getaran energi welas asih. Energi welas asih itu menjadi bahasa universal yang tidak hanya ditujukan untuk sesama bangsa manusia, tetapi juga untuk seluruh makhluk.

Bahasa universal welas asih berupa getaran energi yang lembut, yang mampu ditangkap oleh bangsa binatang, tumbuhan, dan

36 | Toleransi dan Perkauman 36 | Toleransi dan Perkauman