Identifikasi Tingkat Kerawanan Bencana Alam Di Kawasan Perkotaan Nabire (Kabupaten Nabire Provinsi Papua)

(1)

IDENTIFIKASI TINGKAT KERAWANAN BENCANA ALAM

di KAWASAN PERKOTAAN NABIRE

(Kabupaten Nabire Provinsi Papua ) TUGAS AKHIR

Disusun dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

Disusun Oleh : JIWA ZARI MADINA

1.06.05.014

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA 2012


(2)

ABSTRAK

Perkembangan kota menyebabkan peningkatan aktvitas dan kebutuhan lahan untuk menunjang aktvitas tersebut, sementara lahan walaupun merupakan salah satu sumber daya alam yang paling berharga tetapi memiliki keterbatasan baik ketersediaan maupun kemampuan daya dukungnya. Kondisi fisik dasar lahan sangat mempengaruhi kesesuaian pemanfaatan lahan seperti lingkungan hidrologi, geomorfologi, geologi, tanah dan atmosfir (Catanese ed.,1992:338). Kota Nabire yang merupakan wilayah berbukit dengan kemiringan kearah utara, pemanfaatan lahan permukiman menempati wilayah dengan kemiringan di atas 10%, disisi lain kondisi tersebut merupakan kendala bagi pembangunan permukiman beserta fasilitasnya.

Pembangunan permukiman pada lahan dengan kemiringan diatas 10%, memerlukan banyak pertimbangan. Untuk itu perlu dilakukan kajian kesesuaian lahan permukiman yang berdasarkan karakterstik dasar di kota Nabire yang terdiri dari kemiringan, jenis tanah dan batuan, wilayah rawan bencana serta penyediaan prasarana mitigasi. Dengan diketahuinya kesesuaian lahan, pemanfaatan lahan khususnya untuk permukiman dapat dilakukan pada terutama wilayah yang tidak dan kurang sesuai baik pembangunan, penataan maupun pencegahan untuk keamanan dan kenyamanan penghuni pada wilayah yang kurang sesuai.

Kondisi fisik lahan yang berupa kemiringan, jenis tanah dan batuan, wilayah rawan bencana serta penyediaan prasarana mitigasi sangat mempengaruhi kesesuaian lahan untuk permukiman. Analisis wilayah rawan bencana, untuk gempa bumi dan tsunami secara deskriptif ditentukan posisi kota Nabire pada peta sebaran pusat gempa dan pesisir rawan tsunami, sedangkan wilayah rawan tanah longsor dan banjir merupakan hasil superposisi peta curah hujan, kemiringan, jenis tanah. Analisis penyediaan prasarana mitigasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kebutuhan pembuatan prasarana mitigasi yang didapat dari tingginya kerawanan bencana yang terdapat di Kota Nabire. Pengaturan berupa bimbingan teknis dalam pembangunan serta penataan permukiman perlu terus dilakukan terutama pada permukiman yang berada di sepanjang pesisir pantai yang rawan tsunami. Bimbingan teknis dapat berupa pemberian pengetahuan tentang bahaya tsunami dan tanah longsor sehingga diharapkan dapat mengurangi akibat dari bahaya bencana itu, bentuk konstruksi bangunan permukiman dan lingkungannya pembuatan permukiman selanjutnya diarahkan menjahui wilayah rentan tanah longsor maupun pesisir pantai rawan tsunami.


(3)

(4)

i

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur dihaturkan kepada Allah SWT, atas rahmat

dan hidayahNYA-lah penyusunan tugas akhir ini dapat diselesaikan. Dia yang

Maha Mengetahui, Dia yang Maha Berkehendak. Atas ridha-Nya pula tugas akhir

dengan judul “

Identifikasi Tingkat Kerawanan Bencana di Kawasan

Perkotaan Nabire

” ini bisa diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah

kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.

Tugas akhir ini mengambil judul Identifikasi Tingkat Kerawanan Bencana

di Kawasan Perkotaan Nabire. Kondisi kota Nabire yang berbukit dan terletak di

sepanjang pesisir pantai Utara di kawasan Kepala Burung pulau Papua tepatnya di

propinsi Papua, perkembangan pembangunan perumahan penduduk pada lahan

yang berkontur, dari wilayah yang landai sampai curam, sehingga penulis

memutuskan untuk meneliti kesesuaian lahan yang dimanfaatkan untuk

perumahan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

pihak terkait dalam penataan maupun pembangunan perumahan.

Penulisan tugas akhir ini merupakan bagian dari proses yang tak terpisahkan dari

kegiatan menuntut ilmu, namun ini bukan merupakan proses akhir melainkan

sebagai gerbang awal untuk terus berkarya demi kesejahteraan umat manusia

khususnya bangsa Indonesia.

Dalam kesempatan yang baik ini, penulis tidak lupa menyampaikan beribu

terima kasih, atas dukungan dan dorongan dalam penyelesaian Tugas Akhir ini,

kepada banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Tanpa jasa-jasa mereka, sulit rasanya tugas akhir ini bisa diselesaikan. Sehingga

dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih

yang mendalam kepada:

1.

Tuhan yang Maha Esa ALLAH SWT;

2.

Nabi Muhammad SAW;

3.

Papa ”Zainal Arifin ”dan mama ”Eva Musrini” (Alm)a

tas doa dan dukungan

yang diberikan terus-menerus selama penulis melaksanakan kerja praktik.

4.

Istriku ”Anandita Madina” yang selalu dan selamanya

memberikan dukungan


(5)

ii

5.

Kakak ku Maulana Larona,Nenek Tercinta (Alm), Om Jaya, Tante Noerma,

Adikku Vanny,Bevvy dan semua keluarga Baron yang selalu memberikan

dukungan doa dan moril kepada penulis.

6.

Teman-teman di basecamp Rezza, Willy, Ryan, enyot, iman, abang neng,

Hendra, gitra, deddy, asul, dan Yadi M.H yang selalu menyemangati penulis ;

7.

Ir. Romeiza Syafriharti, MT., selaku Ketua jurusan dan dosen penguji yang

inspiratif;.

8.

Ibu Rifiati Safariah, ST. M.T., selaku dosen wali sekaligus dosen

pembimbing, yang telah memberikan banyak sekali waktu, pemikiran, dan

saran sehingga tugas akhir ini menjadi lebih baik dan berarti;

9.

Bapak Teguh Widodo, S.Sos.,M.T. selaku dosen Pembimbing;

10.

Ibu Dr. Ir. Lia Warlina, M.Si., dan Bapak Harry selaku dosen Penguji handal

yang selalu memberikan semangat;

11.

Dosen Jurusan Prencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Komputer

Indonesia, Bandung;

12.

PWK Unikom angkatan

„04

dan „

05, yang selalu me

mberikan DO’A dan

semangat pada penulis dan Teh Vitri makasih atas kemudahan dalam

mengurus surat-surat;

13.

Dan seluruh pribadi yang sudah berjas yang tak dapat disebutkan satu persatu

dan jasamu yang tak dapat tertuliskan dalam secarik kertas ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang ada

dalam tugas akhir ini. Oleh karena itu saran dan kritikan yang membangun dari

berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga Allah SWT memberikan rahmatnya

kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama menyelesaikan tugas

akhir ini.

Bandung, Februari 2012


(6)

iii

Daftar Isi

Kata Pengantar ---i

Senarai Isi---iii

Senarai Gambar --- v

Senarai Tabel --- viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang --- 1

1.2 Rumusan Masalah --- 3

1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian --- 3

1.4 Ruang Lingkup --- 4

1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah --- 4

1.4.2 Ruang Lingkup Materi --- 6

1.5 Metodologi --- 6

1.5.1 Metode Pendekatan --- 6

1.5.2 Metode Pengumpulan Data --- 6

1.5.3 Metode Analisis --- 8

1.6 Sistematika Penulisan --- 10

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Operasional --- 11

2.2 Kajian Terhadap Sistem Informasi Geografis --- 12

2.2.1 Konsep dan Terminologi SIG --- 12

2.2.2 Metodologi GIS dalam Menganalisa Mitigasi Bencana --- 13

2.2.2 Proses Analisis Dalam GIS --- 16

2.2.2 Model Analisis Dalam GIS --- 20

2.3 Sarana Mitigasi Bencana --- 21

2.1 Definisi Tsunami --- 29

2.1 Terminologi Gempa --- 31

2.1 Definisi Longsor --- 37


(7)

iv

BAB 3 KONDISI DAN POTENSI WILAYAH PENELITIAN

3.1 Posisi Geografis --- 41

3.2 Identifikasi Sosial Kependudukan--- 42

3.3 Identifikasi Kondisi Fisik Alami --- 48

3.3.1 Topografi --- 48

3.3.2 Fisiografi --- 48

3.3.3 Sungai dan Pola Aliran Sungai --- 49

3.3.4 Geomorfologi --- 49

3.3.5 Jenjang Morfologi --- 54

3.3.6 Geologi --- 55

3.3.7 Klimatologi --- 57

3.4 Identifikasi Kawasan Perkotaan --- 59

3.4.1 Sebaran Permukiman Perkotaan --- 59

3.4.2 Kondisi Permukiman Perkotaan --- 60

3.4.3 Prasarana Air Bersih --- 61

3.4.4 Drainase --- 62

3.4.5 Ruang Terbuka Hijau --- 63

3.5 Identifikasi Bencana --- 63

3.6 Identifikasi Kondisi Sarana prasarana Mitigasi --- 63

BAB 4 ANALISIS 4.1 AnalisisTingkat Kerawanan BencanaGempa Bumi --- 72

4.1.1 Tinjauan --- 72

4.1.2 Analisis --- 76

4.2 Analisis Tingkat Kerawanan Bencana Tsunami --- 82

4.2.1 Tinjauan --- 82

4.2.2 Analisis --- 84

4.3 Analisis Tingkat Kerawanan Bencana Longsor --- 90

4.3.1 Tinjauan --- 90

4.3.2 Analisis --- 91

4.4 Analisis Tingkat Kerawanan Bencana Banjir --- 98

4.4.1 Tinjauan --- 98

4.4.2 Analisis --- 100


(8)

v

BAB 5 KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan --- 111

5.2 Rekomendasi --- 112

5.3 Kelemahan Studi --- 113


(9)

vi

Daftar Gambar

Gambar 1. 1 Peta Orientasi ... 5

Gambar 1. 2 Kerangka Pemikiran Studi ... 7

Gambar 1. 3 Metode Pengolahan Data Overlay ... 8

Gambar 1. 4 Kriteri Ketinggian Kemiringan Dan Fungsi Lahan ... 9

Gambar 2. 1 Terminologi SIG (ESRI, 1994 dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka) ... 14

Gambar 2. 2 Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis ... 14

Gambar 2. 3 Input/Output Data Dalam SIG ... 15

Gambar 2. 4 Penentuan Kawasan Berfungsi Lindung ... 18

Gambar 2. 5 Ilustrasi Hubungan Variabel Grafis Dan Basis Data Terhubung... 19

Gambar 2. 6 Keberadaan Escape Roads and Rute di zona rawan tsunami ... 22

Gambar 2. 7 Fasilitas bangunan penyelamatan tsunami, ... 23

Gambar 2. 8 Fasilitas perlindungan tsunami ... 25

Gambar 2. 9 Contoh Rambu Informasi Di Daerah Rawan Tsunami. ... 26

Gambar 2. 10 Contoh rambu “Tsunami Ready” di Pelabuhan Grays, Washington. ... 27

Gambar 2. 11 Konsep INA-TEWS dan Instrumen Sistem Peringatan Dini. ... 29

Gambar 2. 12 Terjadinya Tsunami ... 29

Gambar 2. 13 Tsunami. ... 30

Gambar 2. 14 Tumbukan Lempeng Samudera dan Lempeng Benua ... 34

Gambar 2. 15 Peta Kepulauan Indonesia pada Pertemuan 3 Lempeng... 34

Gambar 3. 1 Peta Administrasi Kawasan Perkotaan Nabire ... 43

Gambar 3. 2 Jumlah Penduduk Distrik Nabire Per Kampung Tahun 2007 ... 44

Gambar 3. 3 Fisiografi Nabire Yang Disusun Berdasarkan Sifat-Sifat Morfologi Dan Tektonik ... 48

Gambar 3. 4 Peta Topografi ... 51


(10)

vii

Gambar 3. 6 Peta Hidrogeologi ... 53

Gambar 3. 7 Kondisi Batuan ... 56

Gambar 3. 8 Peta Geologi ... 58

Gambar 3. 9 Persentase Luas Wilayah Distrik Nabire Per Kampung ... 59

Gambar 3. 10 Persentase Luas Penggunaan Lahan Di Distrik Nabire Tahun 2007 ... 60

Gambar 3. 11 Peta Guna Lahan ... 64

Gambar 3. 12 Jaringan Stasiun Seismik ... 66

Gambar 3. 13 Akibat Gempabumi Yang Terjadi Di Kota Nabire, Bangunan Rumah Memimpa Sebuah Mobil Angkutan Umum ... 67

Gambar 3. 14 Bangunan Rumah Yang Rubuh Akibat Gempabumi Di Kota Nabire ... 67

Gambar 3. 15 Jalan di Kota Nabire yang retak akibat gempabumi ... 68

Gambar 4. 1 Peta Pola Tektonik Wilayah Indonesia ... 74

Gambar 4. 2 Sebaran Daerah yang Berpotensi Gempa di Indonesia ... 73

Gambar 4. 3 Peta Seismotektonik Papua ... 74

Gambar 4. 4 Peta Wilayah Rawan Bencana Gempabumi Papua ... 75

Gambar 4. 5 Peta Percepatan Batuan Dasar Maksimum di Papua untuk Periode 50 Tahun. ... 75

Gambar 4. 6 Peta episentrum ... 77

Gambar 4. 7 Peta PGA ... 80

Gambar 4. 8 Peta Rawan Gempa ... 81

Gambar 4. 9 Peta Potensi Bahaya Tsunami di Indonesia ... 82

Gambar 4. 10 Peta Jarak Garis Pantai ... 86

Gambar 4. 11 Peta Topografi ... 87

Gambar 4. 12 Peta Kelerengan ... 88

Gambar 4. 13 Peta Rawan Tsunami ... 89

Gambar 4. 14 Nabire yang disusun berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektonik ... 90

Gambar 4. 15 Peta Kelerengan ... 93


(11)

viii

Gambar 4. 17 Peta Jenis Tanah ... 95

Gambar 4. 18 Peta Curah Hujan... 96

Gambar 4. 19 Peta Rawan Longsor ... 97

Gambar 4. 20 Grafik Curah Hujan Tahunan Kabupaten Nabire ... 99

Gambar 4. 21 Pola Curah Hujan Bulanan Kabupaten Nabire (data tahun 1984 – 2004) ... 99

Gambar 4. 22 Peta Topografi ... 101

Gambar 4. 23 Peta Curah Hujan... 102

Gambar 4. 24 Peta Sungai ... 103

Gambar 4. 25 Peta Rawan Banjir ... 104

Gambar 4. 26 Peta multi bencana ... 108


(12)

ix

Daftar Tabel

Tabel 1. 1 Kriteria Tingkat Kesesuaian Tapak Menurut Sifat Kepekaan Tanah ... 9

Tabel 1. 2 Kriteria Tingkat Kesesuaian Tapak Menurut Curah Hujan ... 9

Tabel 3. 1 Jumlah Penduduk Distrik Nabire Tahun 2004 - 2007 ... 44

Tabel 3. 2 Distribusi Dan Kepadatan Penduduk Di Distrik Nabire 2007 ... 45

Tabel 3. 3 Kepadatan Penduduk Kelurahan Kawasan Perkotaan Nabire Tahun 2007 ... 45

Tabel 3. 4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Kawasan Perkotaan Nabire ... 46

Tabel 3. 5 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia Kawasan Perkotaan Tahun 2007 ... 46

Tabel 3. 6 Penentuan Tipe Curah Hujan Menurut Schbidt Dan Fergusson ... 57

Tabel 3. 7 Luas Wilayah Distrik Nabire Menurut Kampung/Kelurahan Tahun 2008 ... 59

Tabel 3. 8 Pelayan Air Bersih Pdam ... 61

Tabel 3. 9 Potensi Sumber Air ... 63

Tabel 3. 10 Frekuensi Kejadian Bencana Pada Kampung/Kelurahan Di Distrik Nabire ... 68

Tabel 3. 11 Kondisi Eksisting Secara Visual Wilayah Penelitian ... 69

Tabel 4. 1 Magnitudo Tsunami (M) Skala Imamura ... 83

Tabel 4. 2 Penetapan Zonasi Kerusakan pada Berbagai Tipologi Pantai ... 83

Tabel 4. 3 Hasil Analisis Fisik Alami ... 106


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Jika dilihat secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang berada pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Australia, Benua Asia, Samudera Pasifik dan Lempeng Samudera Hindia. Selain itu di sebelah timur dan selatan Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari Pulau Sumatera kemudian Pulau Jawa, Nusa Tenggara dan berakhir di Sulawesi, dimana sisi dari pegunungan ini merupakan pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian besar didominasi oleh rawa-rawa.

Dengan karakteristik seperti ini, Indonesia memiliki potensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gempa bumi, tsunami, gunung berapi, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai tingkat kegempaan yang tinggi di dunia dimana lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan yang terjadi di Amerika Serikat (RAN PB, 2006-2009). Indonesia memiliki iklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan kemarau, selain itu Indonesia juga memiliki curah hujan yang tinggi. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, memiliki potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup menjadi semakin parah. Kerusakan lingkungan ini pada akhirnya akan memicu meningkatnya intensitas dan jumlah kejadian bencana hidrometorologi di banyak daerah di Indonesia.(Buku : Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana 2006-2009)

Berdasarkan data bencana dari BAKORNAS PB diketahui antara tahun 2003 – 2005 telah terjadi 1.429 kejadian bencana. Dari data tersebut, bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang paling sering terjadi, dengan jumlah sebanyak 53,3 % dari total kejadian bencana di Indonesia. Bencana hidrometeorologi yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1 %) diikuti bencana tanah longsor (16 %). Meskipun frekuensi kejadian bencana geologi (gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi) hanya 6,4% , namun bencana ini telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar, terutama akibat gempa bumi dan tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darulsalam dan Sumatera Utara pada ahir 2004, dimana akibat kejadian ini kerugian ditaksir mencapai empat puluh triliun rupiah (RAN PB, 2006). Tingginya angka tersebut salah satunya dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan informasi tentang kesesuaian lahan berdasarkan aspek fisik dan potensi bencana yang terkandung dalan suatu wilayah atau kawasan untuk permukiman.


(14)

2 Dilihat dari potensi bencana yang ada, Nabire merupakan daerah dengan potensi bencana (hazard potency) yang sangat tinggi. Beberapa potensi bencana yang ada antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Potensi bencana yang ada di Nabire dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Dari indikator-indikator diatas menggambarkan bahwa Nabire memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan. Disamping tingginya potensi bahaya utama, Nabire juga memiliki potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator diatas, perkotaan Nabire merupakan wilayah dengan potensi bencana yang sangat tinggi. Berdasarkan hasil dari wawancara, dari tahun 2005 sampai tahun 2010 terjadi 9 kali bencana diantaranya yaitu gempa bumi 4 kali,banjir 2 kali dan 3 kali bencana longsor.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan permukiman adalah adanya faktor-faktor potensi bencana dan pembatas fisik berupa relief, geologi dan hidrologi. Permasalahan relief dan geografi yang dihadapi di Distrik Nabire antara lain berada di dataran rendah yang berada di pesisir pantai dan merupakan daerah rawan gempa yang mempunyai potensi tsunami. Dengan kondisi yang demikian, permasalahan yang dihadapi berupa abrasi pantai dan erosi permukaan yang banyak terjadi pada waktu hujan. Hal ini dapat terlihat pada waktu musim penghujan dengan warna air permukaan yang mengalir berwarna coklat dan disertai dengan lumpur. Pada waktu kemarau permasalahan yang dihadapi berupa kekurangan air. Pada bagian selatan yang berelief berbukit dengan jenis batuan lempung, pasir, kerikil dan kerakal menghadapai permasalahan berupa pengatusan yang jelek serta jenis tanah gromusol. Jenis tanah ini memiliki sifat yang mudah merekah pada musim kemarau dan mudah menjadi lumpur pada musim penghujan sehingga pada kenampakan yang ada di perumahan penduduk pada saat ini terdapat retakan-retakan pada dinding rumah akibat adanya sifat tanah tidak stabil.

Dari latar belakang tentang bencana alam tersebut, mitigasi bencana perkotaan merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah Mitigasi. Mitigasi dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan bencana. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam(natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia(man-made disaster).


(15)

3 Berdasarkan hal tersebut di atas, lingkup atau lokasi penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah wilayah permukiman yang terdapat pada kawasan perkotaan, yang memiliki kompleksitas yang tinggi berdasarkan, kepadatan bangunan, aktifitas dan perilaku dari pengguna bangunan, maupun dari disain bangunan (pola sirkulasi).

Melalui upaya mitigasi ini diharapkan resiko terjadinya bencana dan dampaknya dapat dikurangi. Penataan penggunaan lahan dapat digunakan sebagai salah satu upaya mitigasi. Tujuan utama dari pengaturan penggunaan lahan adalah untuk mengurangi resiko dampak bencana pada aktivitas dan properti masyarakat serta infrastruktur umum. Melalui pengaturan penggunaan lahan tersebut penggunaan lahan seperti permukiman, pusat perekonomian serta infrastruktur akan diarahkan pada kawasan yang memiliki resiko dampak terendah. Dengan berada pada lokasi dengan resiko dampak terendah diharapkan aktivitas-aktivitas pada penggunaan lahan tersebut dapat berjalan dengan optimal. Untuk mengarahkan penelitian ini mitigasi akan dibuat dalam bentuk model. Model juga dapat diterapkan dalam berbagai bentuk permasalahan termasuk mitigasi bencana melalui pengaturan guna lahan. Melalui penyusunan model mitigasi dalam pengaturan penggunaan lahan ini maka model yang dihasilkan dapat diterapkan di Kota Nabire. Pemodelan tersebut dapat dilakukan dengan cara menyusun suatu klasifikasi lahan yang berbentuk Sistem Informasi Geografis.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagian besar permukiman yang berada di kawasan perkotaan Nabire merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi, hal ini dikarenakan Nabire merupakan daerah yang memiliki kondisi geografi yang memiliki potensi bencana, selain itu mayoritas dari seluruh permukiman yang terdapat di kawasan perkotaan Nabire berada pada daerah yang memiliki kondisi fisik lahan yang kurang sesuai dengan karakteristik fungsi lahan yang diterapkan dan dapat menyebabkan terancamnya permukiman tersebut oleh kemungkinan terjadinya bencana akibat proses geomorfologi seperti : banjir,gempa bumi, tsunami,longsor dan lain-lain.

Dengan adanya potensi-potensi bencana alam tersebut maka dibutuhkan suatu upaya mitigasi bencana alam. Berkaitan dengan upaya tersebut terdapat 3 pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian adalah Bagaimana tingkat kerawanan bencana alam di Kota Nabire

1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian

Dari permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi tingkat kerawanan bencana Dalam mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa sasaran penelitian, sebagai berikut :

Teridentifikasinya kerawanan bencana Gempa Bumi; Teridentifikasinya kerawanan bencana Tsunami; Teridentifikasinya kerawanan bencana Longsor; Teridentifikasinya kerawanan bencana Banjir;


(16)

4 Teridentifikasinya kerawanan Multi Bencana Kawasan Perkotaan;

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang akan dikaji dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi.

1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah

Wilayah studi yang menjadi obyek penelitian ini adalah Kawasan Perkotaan Nabire. Ruang lingkup wilayah perencanaan dalam penelitian ini adalah Distrik Nabire,Kota Nabire, Provinsi Papua. Untuk kawasan studi secara spesifik akan difokuskan pada wilayah bagian kota di Kabupaten Nabire yang dipandang memiliki juga potensi bahaya bencana. Secara administratif, Distrik Nabire memiliki batasan-batasan sebagai berikut :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Cenderawasih

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Air Mandidi dan Kelurahan Sanoba

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Waroki


(17)

5


(18)

6 Kawasan Perkotaan Nabire dipilih sebagai wilayah studi karena kawasan ini banyak terdapat permukiman padat dan wilayah yang memiliki aktifitas paling ramai dibandngkan dengan derah lainnya. Selain itu kawasan perkotaan Nabire ini juga merupakan pusat pelayanan bagi daerah lainnya, atau bisa disebut sebagai daerah pusat pelayanan kabupaten. Hal lain yang menitik beratkan penentuan wilayah ini adalah kabupaten Nabire ini pada masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi sebagai teras pembangunan untuk wilayah pedalaman Papua bagian tengah selain Timika.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada peta orientasi.

1.4.2 Ruang lingkup Materi

Ruang lingkup materi pada penelitian ini meliputi aspek aspek berikut ini :

Tinjauan kondisi eksisting kawasan perkotaan Nabire yang meliputi kondisi fisik, kejadian bencana, dan aspek penggunaan lahan

Memberikan rekomendasi penyediaan prasarana mitigasi dan arah pengembangan permukiman

1.5 Metodologi

1.5.1 Metode Pendekatan

Berdasarkan proses perencanaannya penelitian ini menggunakan pendekatan perencanaan bertahap, meliputi tahapan yang dimulai dari adanya (1) kondisi eksisting penggunaan lahan, (2) adanya fenomena bencana, (3) adanya isu masalah kerugian dan kerusakan, (4) timbulnya problematika yang meliputi masalah tata bangunan dan sempadan pantai, RTH, dan sarana prasarana mitigasi bencana. Sehinggga munculah suatu kebutuhan untuk penyusunan arahan pengembangan mitigasi bencana. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar kerangka pemikiran dibawah berikut ini.

1.5.2 Metode pengumpulan data

Metodologi merupakan cara atau metode yang digunakan dalam proses penelitian berdasarkan tujuan penelitian atau masalah yang akan diteliti. Metode pengumpulan data yang dilakukan pada kegiatan ini meliputi pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.sedangkan menurut bentuknya, data terbagi menjadi :data uraian, data table, peta, dan foto/sketsa.


(19)

7

Identifikasi Kondisi fisik dan Geografi lingkungan

Analisis Kondisi Fisik

Alamiah Kebencanaan

Analisis Tingkat Kerawanan:

Banjir Gempa Longsor Tsunami

Analisis Tingkat Kerawanan

Multi Bencana

Kesimpulan Rekomendasi

Gambar 1. 2 Kerangka Pemikiran Studi a) Metode pengumpulan data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan (wilayah studi) dengan cara mengamati dan meneliti wilayah yang sedang menjadi objek penelitian. Teknik yang dilakukan untuk memperoleh data primer adalah dengan metode observasi. Observasi yaitu pengamatan langsung secara visual untuk mengetahui dan mencatat keadaan wilayah sebenarnya di lapangan. Alat yang digunakan adalah lembar observasi. Data yang menggunakan teknik observasi yaitu untuk data fisik, perekonomian dan kelembagaan. Observasi yang dilakukan yakni dengan metode, pengamatan lengkap, yaitu seorang observer (peneliti) yang bukan peserta dalam peristiwa/kelompok.

b) Metode pengumpulan data sekunder

Data sekunder dapat berupa buku-buku di perpustakaan, instansi-instansi ataupun literature lainnya. Data ini umumnya sudah berpola sesuai dengan aturan masing–masing instansi dan untuk memperoleh data yang akurat sekurang-kurangnya data harus dalam interval 5 tahun terakhir. Cara memperoleh data sekunder yaitu dengan mendatangi instansi-instansi seperti :


(20)

8 Bappeda, Dinas tata kota, satpol PP kabupaten Nabire, dan instansi lainnya yang terkait dengan penelitian ini.

1.5.3 Metode analisis

a) Metode analisis kondisi fisik alamiah kaitannya dengan kebencanaan

Dalam menganalisis kondisi fisik alamiah menggunakan metode analisis Overlay berupa peta fisik alamiah yang disesuaikan dengan kriteria umum dan standar lainnya yang semuanya lebih kepada analisis kebencanaan yang akhirnya akan mendapat output berupa kajian kerentanan kebencanaan.

Gambar 1. 3 Metode Pengolahan Data Overlay

Susunan Layer Data

Peta Potensi Bencana

Peta Multi bencana

Texture Tanah

Lereng

Liputan Lahan Penggunaan Lahan

Curah Hujan

Databases

Attribute Data

Spatial Data

Rawan banjir

Rawan gempa

Rawan tsunami

Rawan longsor

1

2


(21)

9

Gambar 1. 4 Kriteri Ketinggian Kemiringan Dan Fungsi Lahan Sumber : The urban, rural regional planing field, 1980

Tabel 1. 1 Kriteria Tingkat Kesesuaian Tapak Menurut Sifat Kepekaan Tanah

Tabel 1. 2 Kriteria Tingkat Kesesuaian Tapak Menurut Curah Hujan

b) Metode analisis sarana dan prasarana mitigasi bencana

Studi pengembangan sarana dan prasarana mitigasi bencana terfokus kepada arahan pengembangan sarana dan prasarana mitigasi bencana. Mendukung output tersebut. Metode analisis dalam studi ini meliputi metode analisis perbandingan kriteria (teori) dengan kondisi


(22)

10 lapangan sebagai metode dalam analisis pengembangan sarana dan prasarana mitigasi bencana tersebut.

1.6 Sistematika Penulisan

Materi yang dibahas pada laporan penelitian ini memiliki sistematika pembahasan sebagai berikut :

Bab 1 Pendahuluan.

Bab ini membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup yang terdiri dari ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi, kajian pustaka, metodologi dan sistematika pembahasan.

Bab 2 Kajian Pustaka.

Bab ini menyampaikan mengenai landasan teori, penggunaan metode, dan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai bahan acuan dalam melaksanakan penelitian ini yang berhubungan dengan penelitian ini.

Bab 3 Kondisi dan Potensi Wilayah.

Bab ini membahas mengenai kondisi berkaitan dengan potensi fisik lingkungan dan penggunaan lahan serta karakteristik kependudukan dan kondisi sosial akonomi masyarakat.Selain itu digambarkan pula karakteristik wilayah meliputi sarana dan prasarana,serta kebijakan yang menunjang studi ini.

Bab 4 Analisis.

Bab ini membahas mengenai tahapan dan proses analisa studi meliputi tahap identifikasi bencana, tahap kesesuaian lahan dan kondisi fisik geografis.

Bab 5 Rekomendasi Pengembangan Wilayah Kawasan Perkotaan Nabire .

Bab ini membahas mengenai rangkuman hasil rangkaian penelitian kondisi lahan yang meliputi aspek fisik lingkungan dan aspek sarana dan prasarana serta menyampaikan zona aman yang layak dan aman untuk dikembangkan menjadi kawasan permukiman, rekomendasi, implikasi kebijakan penanggulangan kebakaran, kelemahan studi dan usulan studi.


(23)

11

Gambar 1. 1 Peta Orientasi

... 5

Gambar 1. 2 Kerangka Pemikiran Studi

... 7

Gambar 1. 3 Metode Pengolahan Data Overlay

... 8

Gambar 1. 4 Kriteri Ketinggian Kemiringan Dan Fungsi Lahan

... 9

Tabel 1. 1 Kriteria Tingkat Kesesuaian Tapak Menurut Sifat Kepekaan Tanah

9

Tabel 1. 2 Kriteria Tingkat Kesesuaian Tapak Menurut Curah Hujan

9


(24)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Operasional A. Bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Definisi bencana menurut UU No. 24 tahun 2007).

B. Mitigasi

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. (UU No. 24 tahun 2007)

C. Kerentanan

Vulnerability factors merupakan faktor peluang kerentanan terhadap bencana. Kerentanan merupakan faktor yang akan menentukan apakah bencana itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar atau tidak. Kerentanan juga merupakan faktor-faktor yang ikut mendukung atau ikut berpengaruh secara tidak langsung terhadap terjadinya suatu bencana. Beberapa definisi tentang kerentanan (vulnerability) memiliki penekanan yang berbeda, terminologi kerentanan digunakan dalam banyak literatur tentang bencana yang disebabkan oleh bahaya alam. Terdapat pula terminologi kerentanan yang lebih berorientasi terhadap besar atau kecilnya kerugian yang ditimbulkan karena bencana, misalnya definisi yang diberikan oleh Emergency Management Australia (EMA, 1998:9 dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka):

D. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,tanggap darurat, dan rehabilitasi (UU No. 24 tahun 2007).

E. Pencegahan Bencana

Adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana (UU No. 24 tahun 2007).


(25)

12

F. Risiko bencana

Adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibatbencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yangdapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnyarasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No. 24 tahun 2007)

G. Arahan

Adalah berasal dari kata “arah” pengertian arahan disini dapat didefinisikan sebagai kerangka dasar pertimbangan untuk tujuan pengembangan (Endang Putra, 1990 : 12 dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka)

H. Pengembangan

Adalah mewujudkan, memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang telah ada dalam lingkungan tertentu (UU No.26 Th. 2007 tentang Penataan Ruang).

I. Sarana

Fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya (Kamus Tata Ruang dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka).

J. Mitigasi Bencana

Upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No.27 Th. 2007 tentang Penataan Ruang).

K. Tsunami

Sederetan gelombang laut yang menjalar dengan panjang gelombang sampai 100 km dengan ketinggian beberapa puluh cm di tengah laut dalam (Badan meteorology dan geofisika)

L. Zona

Ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya (UU No.27 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil).

2.2 Kajian Terhadap Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.2.1 Konsep dan Terminologi SIG

Konsep peta telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan telah banyaknya gambar yang menyerupai peta perjalanan. Salah satunya seperti yang digambarkan oleh orang-orang Cro-Magnon pada dinding gua di Lascaux Prancis. Pada dinding gua terdapat gambar hewan dilengkapi dengan garis yang dipercaya sebuah rute migrasi hewan-hewan tersebut. Dari


(26)

13 zaman ke zaman petapun berkembang. Tidak hanya manfaat peta yang akhirnya disadari semakin luas. Teknologi pembuatan peta itu sendiri juga ikut berkembang.

GIS adalah singkatan dari Geographic Information System. Dalam bahasa Indonesia sendiri, GIS disingkat SIG yang artinya Sistem Informasi Geografi. Sistem Informasi Geografi adalah sebuah sistem yang dapat membantu memberikan gambaran yang lebih jelas tentang informasi dari sebuah tempat. Hasil akhir SIG dapat juga disebut Smart Maps. Hal ini dikarenakan hasil akhir SIG memang merupakan sebuah peta yang dilengkapi dengan data yang dibutuhkan oleh si pembuatnya. Smart Map inilah yang nantinya dapat membantu user, baik dalam menganalisis ataupun mengambil keputusan terhadap suatu daerah.

Sistem Informasi Geografis (SIG) muncul pada tahun 1967. Pertama kali SIG dipergunakan oleh Departemen Energi, Pertambangan dan sumber daya Ottawa, Ontario, Kanada. SIG yang pertama dikembangkan oleh Roger Tomlinson yang diberi nama CGIS (Canadian GIS). SIG ini digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan mengolah data yang dikumpulkan untuk CLI (Canadian Land Inventory = Inventarisasi Tanah Canada). Tujuannya untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Canada). Sedangkan Roger Tomlinson sendiri akhirnya mendapat julukan sebagai Bapak SIG (Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Nabire 2009).

2.2.2 Metodologi GIS dalam Menganalisis Mitigasi Bencana

GIS merupakan sistem komputer yang mampu memproses dan menggunakan data yang menjelaskan tentang tempat pada perumukaan bumi. Lebih lanjut GIS didefinisikan sebagai sekumpulan alat yang terorganisir yang meliputi hardware, software, data geografis dan manusia yang sumuanya dirancang secara efisien untuk dapat melihat, menyimpan, memperbaharui, mengolah dan menyajikan semua bentuk informasi bereferensi geografis (ESRI, 1994 dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka).

Selanjutnya GIS pada dasarnya dibuat untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis obyek serta fenomena yang posisi geografisnya merupakan karakteristik yang penting untuk di analisis (Aronoff, 1989 dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka). Secara garis besar data dalam GIS dibagi menjadi dua bagian, yaitu data spasial yang bereferensikan data geografis (koordinat) dan data atribut yang menjelaskan atau sebagai identitas dari data spasial.

Keunikan GIS jika dibanding dengan sistem pengelola basis data yang lain adalah kemampuan untuk menyajikan informasi spatial maupun non-spatial secara bersama. Sebagai contoh data GIS penggunaan lahan dapat disajikan dalam bentuk luasan yang masing-masing mempunyai atribut penjelasan baik itu tabuler, text, angka, maupun image file. Informasi yang berlainan tema disajikan dalam lapisan (layer) informasi yang berlainan lihat Gambar.


(27)

14

Gambar 2. 1 Terminologi SIG (ESRI, 1994 dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka)

Gambar 2. 2 Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis

(ESRI, 1994 dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka)

GIS

+

Database Software

Tools

The Re al Word Abstraction

or Simplification Use r

Results GIS Databases

Attribute Attribute Data Data Spatial Spatial Data Data

GIS

+

Database Software Tools

The Re al Word Abstraction

or Simplification Use r

Results GIS Databases

Attribute Attribute Data Data Spatial Spatial Data Data Attribute Attribute Data Data Spatial Spatial Data Data Texture Tanah

Lereng

Liputan Lahan Penggunaan Lahan

Curah Hujan

Susunan Layer Data

Databases Attribute Data Spatial Data layer_1 layer_2 Sm_Air BASISDATA SPASIAL BASISDATA ATRIBUT 2 3 4

1 Nama Luas ID

darto dodi dadi 250 200 150 4 5 6 ID 5 5 5 Tanah sawah hutan telaga ada tidak ada one to one relation

one to many relation 4

6 5

Setiap data spasial dihubungkan dengan data atribut. layer_1 layer_2 Sm_Air BASISDATA SPASIAL BASISDATA ATRIBUT 2 3 4

1 Nama Luas ID

darto dodi dadi 250 200 150 4 5 6 ID 5 5 5 Tanah sawah hutan telaga ada tidak ada one to one relation

one to many relation 4

6 5

Setiap data spasial dihubungkan dengan data atribut.


(28)

15 Kerangka input/output data/informasi dalam GIS dapat dilihat pada Gambar 2.3. Data input yang dapat dimasukkan dalam GIS adalah peta analog yang didigitasi, image/citra (citra satelit, poto udara) yang merupakan data spasial. Sedangkan data atribut dapat berupa data laporan statistik yang terkaitan dengan data spasial yang dapat berupa data tabular dan tekstual, dan juga dapat mengakses/linking dengan database management system yang sudah ada dengan syarat ada item relasinya. Sedangkan data output yang dapat dikeluarkan oleh GIS dapat berupa hasil analisis spasial berupa peta, laporan statistik, analisis statistik yang secara otomatis dapat dipetakan dalam data spasialnya, dan dapat dijadikan sebagai data input bagi database management sistem.

Gambar 2. 3 Input/Output Data Dalam SIG

(ESRI, 1994, dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka)

Dari definisi tersebut diatas, GIS jelas mempunyai karakteristik sebagai perangkat pengelola basis data (Database Management System (DBMS), sebagai perangkat analisa keruangan (spatial analysis) dan juga sekaligus proses komunikasi untuk pengambilan keputusan.

Lebih sederhana lagi GIS mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai database system dan sebagai alat analisis dan modeling yang berkaitan dengan informasi geografis. Ada tiga tugas utama yang diharapkan dari sistem informasi geografis adalah :

Penyimpanan, menajemen, dan integrasi data spasial dalam jumlah besar.

Kemampuan dalam analisis yang berhubungan secara spesifik dengan komponen data geografis. SIG Spatial Data Base Atribute Data Base Image Processing System Statistical Analysis System Map Digitizing System Geographic Analysis System Database Management System Cartographic Display System Image Statistical Report Maps Statistics Data Tabular Maps


(29)

16 Mengorganisasikan dan mengatur data dalam jumlah besar, sehingga informasi tersebut dapat digunakan semua pemakainya.

2.2.3 Proses Analisis dalam GIS

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian input/output data dalam GIS, bahwa struktur data GIS dibagi kedalam dua bagian, yaitu data spasial (keruangan/peta) dan data atribut (data tabular). Dengan demikian, dalam proses analisis dengan menggunakan GIS perlu dipahami dahulu prosedur/proses pemilihan variabel dan hubungan fungsional antar variabel.

a) Pemilihan Variabel

Pemilihan variabel disesuaikan dengan tingkat kebutuhan data dan informasi untuk maksud dan kegiatan tertentu (dalam hal ini untuk kepentingan perencanaan daerah). Sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, yaitu Penyusunan Rencana Induk Kebakaran, maka pemilihan variabel dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

Variabel dalam bentuk data grafis (peta), seperti peta administrasi, penggunaan lahan, ketinggian, kemiringan lereng, geologi, jenis tanah, tekstur tanah, air tanah, jaringan sungai, jaringan jalan, dan lain-lain.

Variabel dalam bentuk tabel (basis data), seperti kependudukan (jumlah penduduk, struktur penduduk berdasarkan umur, dll) dan perekonomian. Pembentukan data dalam bentuk tabel (basis data) tersebut, strukturnya harus disusun dalam bentuk basis data terhubung (relational database) dengan data grafis.

b) Hubungan Fungsional Antar Variabel

Hubungan fungsional antar variabel dibedakan menjadi 2, yaitu hubungan antar variabel dalam bentuk grafis dan hubungan antara variabel dalam bentuk grafis dengan variabel dalam bentuk tabel.

Hubungan Antar Variabel Grafis (Peta)

Hubungan ini dimaksudkan untuk membentuk peta baru yang diturunkan dari beberapa peta yang merupakan variabel berpengaruh/penentu dalam pembentukan peta baru tersebut. Hal ini biasanya dilakukan, misalnya untuk penentuan kesesuaian lahan.

Sebagai contoh dalam penentuan kawasan berfungsi lindung yang memanfaatkan hubungan antara variabel-variabel yang berpengaruh, dapat dilihat pada Gambar 2.4. Proses yang dilakukan adalah dengan melakukan superimpose (pertampalan) beberapa peta yang merupakan variabel berpengaruh.


(30)

17 Hubungan ini biasanya dilakukan untuk memetakan data atau informasi dalam bentuk tabel ke dalam bentuk grafis (peta), misalnya data kepadatan benduduk dalam bentuk tabel di tampilkan ke dalam bentuk data grafis/peta kepadatan penduduk.

Ilustrasi hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5. Proses yang dilakukan adalah proses query data yang mengakses data base tabular, dimana hasil query tersebut akan ditampilkan dalam peta, sehingga akan memudahkan untuk dipahami dan dimengerti.


(31)

18

Peta-peta yang

ditampalkan

(superimpose)

Peta baru yang

dihasilkan

Cagar Alam

Suaka Margasatwa Situs

Taman Nasional Taman Hutan Raya Taman Wisata Alam Taman Budaya

Kemiringan Lereng

No Kelas Skor

1 2 3 4 5

0 - 5% 5 - 15% 15 - 25% 25 - 40% > 40% 20 40 60 80 100 Curah Hujan

No Kelas Skor

1 2 3 4 5

s/d 1,36 mm/hr 1,36 - 2,07 mm/hr 2,07 - 2,77 mm/hr 2,77 - 3,48 mm/hr > 3,48 mm/hr

10 20 30 40 50 Kepekaan Tanah

No Kelas Skor

1 2 3 4 5 tidak peka kurang peka agak peka peka sangat peka 15 30 45 60 75 Kondisi Geologi, Geografi, Daerah Banjir, Data Pantai, Data Sungai

Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan

Cagar Budaya

Hutan Lindung (Memenuhi salah satu kriteria) dibawah ini : - skor > 175 - Kemiringan > 40% - Ketinggian > 2.000 m

- Skor 125 - 174 - Litologi : Poros - Ketinggian > 1.000 m - Vegetasi Penutup > 75% - Curah Hujan > 3,48 mm/hr

Kawasan Resapan Air

Kawasan Bergambut

- Kawasan Perlindungan Setempat - Sempadan Pantai

- Sempadan Sungai - Sempadan Danau - Sempadan Mata Air

Kawasan Rawan Bencana

Kawasan Berfungsi Lindung

Gambar 2. 4 Penentuan Kawasan Berfungsi Lindung

(contoh penggunaan hubungan antar variabel grafis/peta)


(32)

19 Luas Kecamatan 10 15 14 20 17 18 A B C D E F Jumlah Penduduk Kepadatan 200 150 280 200 170 360 20 10 20 10 10 20 BASIS DATA TERHUBUNG Basis Data : Kependudukan

(Penghubungan basis data dalam bentuk tabular ke dalam data grafis)

PETA KEPADATAN PENDUDUK

20 10

10 20

20 10

item pada PAT dan basis data terhubung

ada yang sama

Peta Batas Administrasi (Poligon)

Poligon Atribut Tables Peta Batas Administrasi

3 4

5 6

1 2

DATA GRAFIS (PETA)

Area Camat_id Kecamatan 10 15 14 20 17 18 1 2 3 4 5 6 A B C D E F

Gambar 2. 5 Ilustrasi Hubungan Variabel Grafis Dan Basis Data Terhubung


(33)

20

2.2.4 Model Analisis Dalam GIS

Ada beberapa model analisis yang dapat digunakan dalam GIS, yaitu:

1. Superimpose/Pertampalan Peta

Model analisis ini dilakukan dengan menampalkan dua atau lebih peta yang ada dalam sistem

database spatial. Ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik suatu obyek dengan banyak variabel.

Sebagai contoh kita ingin membangun peta kemampuan lahan berdasarkan kondisi fisik dasarnya (kemiringan, tutupan lahan, ketinggian, kondisi geologi, dan lain-lain) serta tingkat aksesibilitasnya, maka kita dapat melakukan proses pertampalan dari peta-peta tematik tersebut.

(ESRI, 1994, dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka)

2. Buffering/Distance

Proses Buffering/distance digunakan untuk membangunan jarak radius dari suatu obyek. Proses ini berguna untuk menentukan besar wilayah pengaruh dari suatu kegiatan.

Misalnya kita dapat menentukan lokasi untuk pembangunan sekolah baru yang dikaitkan dengan keberadaan sekolah yang sudah ada, kita dapat melakukan proses Buffering ini.

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu :

Pertama, tentukan variabel/data yang akan dilibatkan dalam proses analisis (misal landuse, ketinggian, lokasi kawasan rekreasi dan sekolah yang sudah ada).

Kedua, melakukan pembangunan peta baru dengan menurunkannya dari peta yang sudah ada. Dalam hal ini adalah dengan melakukan perhitungan kemiringan dan melakukan proses


(34)

21

Ketiga, lakukan reklasifikasi kemiringan dan jarak sesuai dengan kriteria kesesuaian lokasi untuk sekolah.

Keempat, lakukan pembobotan untuk masing-masing variabel yang dilibatkan lalu kombinasikan seluruh variabel tersebut, sehingga didapat score/nilai kesesuian lokasi untuk sekolah (ESRI, 1994, dalam Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) Bangka).

2.3 Sarana Mitigasi Bencana Gempa Dan Tsunami

Menurut kamus tata ruang, definisi sarana adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, Definisi mitigasi adalah proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalisasi dampak negatif bencana yang akan terjadi. Mitigasi juga merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.

Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali, dari yang fisik, seperti membangun bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang prosedural, seperti teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam penggunaan lahan.

Mitigasi atau tindakan mengurangi dampak suatu bencana sebenarnya bisa menjadi alat ampuh dalam menghadapi bencana. Melalui strategi itu, masyarakat bisa terlindung dari ganasnya bencana. Tak ada cara lain, kuncinya terletak pada sampai sejauh mana kita mampu membuat mitigasi yang andal baik secara fisik (struktural) maupun nonfisik (non-struktural). Secara fisik bisa melalui upaya teknis, baik buatan maupun alami. Sedangkan secara nonfisik menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi baik secara fisik maupun upaya lainnya. Upaya fisik meliputi pembuatan Jalur penyelamatan, break water (pemecah gelombang), sea wall (tembok laut), shelter (tempat perlindungan), artificial hill (bukit buatan), vegetasi pantai, retrofitting (penguatan bangunan) dan lain-lain. Sedangkan upaya nonfisik di antaranya pendidikan, pelatihan, penyadaran masyarakat, tata ruang, zonasi, relokasi, peraturan perundangan, dan penerapan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management-ICZM).

a) Jalur Penyelamtan (Escape Roads) dan Rute Penyelamatan (Escape Root)

Jalan penyelamatan dan rute penyelamatan bertujuan untuk memudahkan warga masyarakat untuk melakukan proses evakuasi penyelamatan ke tempat yang lebih aman. Standar yang digunakan untuk lebar jalan penyelamatan adalah minimal 6 meter dengan kualitas jalan aspal kelas I, selain dari jalan penyelamatan maka lebar jalan direncanakan minimal 4 meter dengan kualitas aspal kelas III. Rute penyelamatan (escape routes) direncanakan jalurnya menuju dearah atau kawasan yang secara morfologi berada pada ketinggian 10 mdpl.


(35)

22 Rutenya diarahkan sepanjang jalan lokal wisata dan jalan utama. Berikut petunjuk praktis penyusunan jalur evakuasi bencana tsunami :

• Menjauhi pantai / sungai

• Tidak melintasi sungai / jembatan

• Perlu dibuat beberapa jalur sejajar. Prioritas pada daerah pantai terbuka

• Untuk daerah landai, dibuat bertahap, tempat evakuasi sementara / evakuasi vertical

• Jalur perlu dipasangi rambu

Gambar 2. 6 Keberadaan Escape Roads and Rute di zona rawan tsunami b) Tempat Perlindungan (Shelter)

Kawasan pariwisata pantai rentan akan gempa dan tsunami maka bangunan penyelamatan yang banyak difungsikan sebagai bangunan penyelamatan berupa bangunan-bangunan fasilitas umum (seperti: mesjid yang berlantai atau meiliki ketinggian 12 m, sekolah berlantai, dan kantor desa) dan lapangan terbuka. Untuk bangunan yang direkomendasikan sebagai bangunan penyelamatan dari bencana luapan air baik itu gelombang tinggi ataupun banjir yakni bangunan


(36)

23 berlantai dua, dengan ketinggian 12 meter dari tanah dengan dimensi 10 m x 15 m. Petunjuk Praktis Bangunan Penyelamat (Escape Building / Tsunami Shelter) :

Persyaratan Bangunan

Bangunan sudah ada

Struktur beton bertulang

Cukup luas, memiliki ruang untuk tempat berkumpul

Secara fisik bangunan tamak kaku dan solid

Gambar 2. 7 Fasilitas bangunan penyelamatan tsunami,

(Sumber : Satake, 2006 dalam Hery Hidayat, Arahan pengembangan Sarana prasarana mitigasi bencana tsunami di zona wisata utama pangandaran.- Bandung : Teknik - Planologi (Perencanaan

Wilayah dan Kota), 2009.)

Bertingkat 2 lantai ke atas

Bangunan Tsunami Shelter Buatan minimal memiliki luasan 150 m2.

Arah panjang bangunan tegak lurus garis pantai

Gedung dirancang tahan gempa (engineering building) hotel/apartemen,

mall, kantor, perguruan tinggi (BUKAN sekolah, rumah, ruko dsb dengan

kekakuan minim)


(37)

24

c) Sabuk Hijau (Green Belt) / Vegetasi Pantai

Prinsip penataan ruang terbuka hijau di kawasan wisata bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu lingkungan yang aman, nyaman produktif dan berkelanjutan dan (2) menciptakan keserasian dengan tata massa bangunan sekitarnya sehingga dapat membentuk citra kawasan. Penataan tata hijau/RTH kawasan sempadan pantai merupakan bagain dari one costal one plan one management

yang telah disusun dalam kebijakan ICM (integrated Costal Management.). Untuk menciptakan kawasan pesisir yang tepadu dan selaras dengan ekologi kawasan pesisir sesuai, maka penataan RTH di Kawasan memiliki fungsi sebagai berikut:

Areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan,

Sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan,

Sarana rekreasi,

Pengamanan lingkungan hidup terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara,

Sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan,

Tempat pelindungan plasma nuftah,

Sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro, dan pengatur tata air.

Sarana mitigasi bencana tsunami mengingat kawasan pesisir memiliki potensi bencana tsunami yang cukup tinggi.

Sempadan pantai kawasan wisata memiliki potensi tata hijau yang baik. Untuk melindungi pantai dari tingkat abrasi dan dari potensi arus pasang tinggi dan bencana tsunami, maka ruang terbuka di sepanjang pantai diarahkan pada lokasi sebagai berikut :

Untuk pinggir pantai (batas pasir) adalah tanaman perdu dan ketapang sebagai suatu jalur (satu lapis) dan ke arah darat berupa pohon kelapa.

Lapisan Sempadan kedua, cocok ditanami tanaman campuran yang pendek (perdu) dan yang tinggi (pohon).

Sempadan pantai yang landai maka tanaman perdu dan ketapang sebagai suatu jalur (satu lapis) dan ke arah darat berupa pohon kelapa.(Hery Hidayat, Arahan pengembangan Sarana prasarana mitigasi bencana tsunami di zona wisata utama pangandaran.- Bandung : Teknik - Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota), 2009

)


(38)

25

d) Pemecah Ombak (Break Water) dan Sea Wall

Bangunan penahan gelombang tsunami di perairan dangkal pantai sebagai pertahanan pertama adalah pemecah gelombang (breakwater). Di pinggir pantai perlu dibangun dinding penghalang (tidal barrier) atau sea wall. Baik breakwater ataupun seawall tingginya disesuaikan minimal setengahnya dari pada yang pernah dan diperkirakan terjadi. Diupayakan pembuatan tanggul penghalang (dyke) beberapa lapis sebelum tsunami mencapai lokasi pemukiman.

Selain itu antara daerah bebas pantai dengan pemukiman perlu dibatasi pepohonan tinggi berakar serabut kuat untuk melindungi rumah-rumah dari terjangan langsung tsunami. Tanggul bisa berstatus permanen atau temporer , metode "buka-tutup" seperti pada pintu-pintu air irigasi muara sungai Numazu berjenis electric water gates dengan ukuran terbesar berketinggian hampir 10 m. Fungsinya untuk mencegah terjadi upstreaming gelombang tsunami masuk muara sungai yang berakibat genangan tsunami merayap jauh menimbulkan banjir bandang dadakan di bantalan-bantalan sungai.

Gambar 2. 8 Fasilitas perlindungan tsunami; 1) Water Breakers,

2) Electric Water Gates,3) Sea Wall, (Sumber : Satake, 2006,dalam Hery Hidayat, Arahan pengembangan Sarana prasarana mitigasi bencana tsunami di zona wisata utama pangandaran.-

Bandung : Teknik - Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota), 2009) e) Tata Inforamsi

Papan peringatan tanda bahaya tsunami dan rute evakuasi sebaiknya ditempel di lokasi-lokasi yang mudah terlihat umum contohnya di tiang listrik, baliho dan dekat rambu lalu lintas.

Keterangannya harus jelas, mudah dimengerti, tidak menimbulkan perasaan was-was, dan kalau perlu ditambah Bahasa Inggris dan bahasa daerah setempat. Perlindungan sarana-sarana umum seperti rumah sakit, shelter, gudang penyimpanan makanan dan fasilitas vital pemerintahan perlu ditempatkan di daerah benar-benar aman. Alternatif lain tanda bahaya adalah isyarat


(39)

26 tradisional seperti kentongan, bedug, dan pengeras suara di rumah ibadah yang memberitahukan peringatan tanda bahaya tsunami.

Mobil dan motor patroli perlu dikerahkan untuk memobilisasi penduduk ke lokasi yang penampungan sementara. Dalam hal pembuatan peta bencana lokal tentunya pemerintah kabupaten dan kecamatan yang lebih tahu akan daerahnya diharapkan berdaya upaya segera mewujudkannya demi keselamatan bersama.

Gambar 2. 9 Contoh Rambu Informasi Di Daerah Rawan Tsunami.

Keterangannya harus jelas, mudah dimengerti, tidak menimbulkan perasaan was-was, dan kalau perlu ditambah Bahasa Inggris dan bahasa daerah setempat. Perlindungan sarana-sarana umum seperti rumah sakit, shelter, gudang penyimpanan makanan dan fasilitas vital pemerintahan perlu ditempatkan di daerah benar-benar aman. Alternatif lain tanda bahaya adalah isyarat tradisional seperti kentongan, bedug, dan pengeras suara di rumah ibadah yang memberitahukan peringatan tanda bahaya tsunami. Mobil dan motor patroli perlu dikerahkan untuk memobilisasi penduduk ke lokasi yang penampungan sementara.

Dalam hal pembuatan peta bencana lokal tentunya pemerintah kabupaten dan kecamatan yang lebih tahu akan daerahnya diharapkan berdaya upaya segera mewujudkannya demi keselamatan bersama. (Sumber : Hery Hidayat, Arahan pengembangan Sarana prasarana mitigasi bencana tsunami di zona wisata utama pangandaran.- Bandung : Teknik - Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota), 2009)


(40)

27

Gambar 2. 10 Contoh rambu “Tsunami Ready” di Pelabuhan Grays, Washington.

Informasi yang dipaparkan dalam peta bencana (Hazard Map) meliputi : perkiraan ketinggian tsunami, rute dan tempat-tempat evakuasi, tips panduan evakuasi, informasi penting (telepon kantor pemerintah, rumah sakit, lembaga terkait), instruksi penyelamatan, pengetahuan bencana dan sejarah bencana tsunami yang pernah terjadi di daerah itu.

f) Sistem Peringatan Dini Tsunami

Menurut bahasa sistem peringatan dini adalah sistem yang menginformasikan kemungkinan terjadinya bahaya sebelum bahaya tersebut terjadi. Termasuk sistem biologis yang dimiliki oleh makhluk hidup maupun sistem hasil buatan manusia. Yang termasuk sistem biologis adalah rasa sakit dan rasa takut (yang umumnya menjadi bagian dari insting) yang dimiliki makhluk hidup secara alamiah.

Sementara yang termasuk sistem buatan adalah sistem yang dirancang manusia untuk mengumpulkan data-data terkait dan mengolahnya menjadi parameter kemungkinan terjadinya bahaya. Sebagai tindakan atas kejadian yang melanda bangsa ini, pemerintah Indonesia juga telah menunjuk Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek), beserta enam belas institusi pemerintah yang relevan, untuk mengembangkan suatu sistem peringatan dini untuk Indonesia.

Agar program ini dapat berhasil maka menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat mengeluarkan surat keputusan SK No.21/KEP/MENKO/KESRA/IX/2006 pada tanggal 26 September 2006 mengenai penunjukkan institusi pemerintah yang ditunjuk sebagai tim yang bekerjasama untuk mengembangkan sistem peringatan dini tsunami dengan kementerian bidang riset dan teknologi bertindak sebagai koordinator. Masing-masing institusi telah diberi tugas dan kewenangan masing-masing untuk mengimplementasikan pengembangan sistem peringatan dini tsunami. Sesuai dengan keputusan menteri tersebut badan yang ditunjuk ialah sebagai berikut :


(41)

28 BMKG (Badan Meteorologi Kinematologi dan Geofisika), berfungsi sebagai pemantau gempa, sistem diseminasi, dan pusat operasional TEWS.

BPPT (Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi) berfungsi sebagai pemantau oseanografi dan pemodelan gempa dan tsunami.

LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) berfungsi untuk kesiapan masyarakat, dan penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuannya.

Depdagri (Departemen Dalam Negeri) memiliki fungsi pendidikan pada masyarakat dan hubungan masyarakat perihal bahaya tsunami.

Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informasi) berfungsi untuk teknologi informasinya.

Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional) sebagai pemantau deformasi kerak bumi , pengolahan data deformasi dan informasi keruangan.

Kementerian Riset dan Teknologi sebagai pengembangan sumber daya manusia yang terkait, pelatihan tsunami (tsunami drill), workshop, seminar, dan konferensi.

Peluncuran Sistem Peringatan Dini Tsunami untuk Samudra Hindia yang merupakan bagian kerjasama dari negara-negara donor ini berdasar pada jenisjenis sistem sensor yang berlainan. Sekitar 90 % tsunami disebabkan oleh gempa bumi atau karena letusan gunung berapi, dan tanah longsor pun bisa menjadi penyebab tsunami. Konsep ini bertujuan pada pencapaian indikator dari suatu tsunami beserta dimensinya dengan menganalisis beberapa pengukuran di setiap tahap awal. Secara teknisnya, ketika gelombang tsunami di samudra luas menyebar dengan kecepatan sampai 700 km/jam, cepat rambat gelombang tsunami juga tergantung dari kedalaman lautnya. Pada laut yang dalam cepat rambat gelombang tsunami dapat mencapai kecepatan pesawat terbang, sedangkan di kawasan dangkal kira-kira sama dengan kecepatan sepeda balap (Sumber : Japan Meteorological Agency dalam Hery Hidayat, Arahan pengembangan Sarana prasarana mitigasi bencana tsunami di zona wisata utama pangandaran.- Bandung : Teknik - Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota), 2009).

Pada daerah yang terancam di sepanjang jalur patahan lempeng, kurang lebih 20 menit waktu tersisa antara terciptanya gelombang besar dengan kontak pertama dengan daratan Indonesia dikarenakan posisi pantai Indonesia yang berada di garis depan dari posisi patahan lempeng tektonik. Sedangkan Konsep dasar InaTEWS berlandaskan pada model yang diusulkan oleh (ITIC), yang terdiri atas 3 komponen yaitu: Operasional (Operational), Capacity Building, dan Tanggapan.


(42)

29

Gambar 2. 11 Konsep INA-TEWS dan Instrumen Sistem Peringatan Dini. (Sumber: International Tsunami Information Center, 2005)

Operasional dan komponen mencakup pemantauan (monitoring), pengumpulan data, pemrosesan, dan analisis, persiapan peringatan, pengeluaran informasi, diseminasi. Pembangunan Kapasitas (Capacity Building) mencakup pemodelan, penelitian dan pengembangan, pelatihan, pendidikan dan keahlian. Tanggapan Keadaan Darurat dan Mitigasi (Emergency Response and Mitigation) mencakup pendidikan untuk masyarakat umum, peningkatan kesiapsiagaan dan kesadaran, tanggapan keadaan darurat, persiapan logistik dan perlindungan, latihan dll.

2.4 Definisi Tsunami

Dari segi terminologi berasal dari bahasa Jepang, Tsu yang berarti pelabuhan dan Nami yang berarti gelombang, karena tsunami sering terjadi di negara Jepang, berdasarkan catatan sejarah di Jepang telah terjadi tsunami kurang lebih sebanyak 195 kali.


(43)

30 Sedangkan penjelasan lengkap tentang tsunami, Tsunami merupakan perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan antara lain oleh :

- gempa bumi yang berpusat di bawah laut,

- letusan gunung berapi bawah laut,

- longsor bawah laut,

- atau dapat juga karena hantaman meteor dari angkasa yang jatuh ke laut.

Gelombang ombak yang terjadi dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500 sampai dengan 1000 km per jam, kecepatan yang setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.

Gambar 2. 13 Tsunami.

Seperti yang telah disebutkan di atas Tsunami merupakan perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Gerakan vertikal pada kerak bumi yang terjadi, dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini


(44)

31 mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar sehingga terjadilah tsunami.

Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut di mana gelombang terjadi, dimana kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Bila tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut tinggi gelombang tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa meter, namun saat mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus meter bahkan bisa beberapa kilometer.

Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa bumi juga banyak terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng benua.

Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami. Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya, dasar laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di atasnya terganggu. Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.

beberapa Gempa yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami :

- Gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 – 30 km)

- Gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 Skala Richter

- Gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun

(indonesiabreakingnewsonline.blogspot.com, id.wikipedia.org) 2.5 Terminologi Gempa

Gempa adalah pergeseran tiba-tiba dari lapisan tanah di bawah permukaan bumi.Ketika pergeseran ini terjadi, timbul getaran yang disebut gelombang seismik, gempa kesegala arah di dalam bumi. Ketika gelombang ini mencapai permukaan bumi, getarannya bisa merusak atau tidak tergantung pada kekuatan sumber dan jarak fokus, disamping itu juga mutu bangunan dan mutu tanah dimana bangungan berdiri. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. Gelombang ini menjalar menjauhi fokus.


(45)

32 Gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif aktivitas gunung api atau runtuhan batuan. Kekuatan gempa bumi akibat aktivitas gunung api dan runtuhan batuan relatif kecil sehingga kita akan memusatkan pembahasan pada gempa bumi akibat tumbukan antar lempeng bumi dan patahan aktif.

Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian, konsentrasigempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti pada batas Plat Pasifik.Tempat ini dikenal dengan Lingkaran Api karena banyaknya gunung berapi.

Seismologist adalah ilmuwan yang mempelajari sesar dan gempa. Mereka menggunakan peralatan yang disebut seismograf untuk mencatat gerakan tanah dan mengukur besarnya suatu gempa.

Seismograf memantau gerakan gerakan bumi mencatatnya dalam seismogram, Gelombang seismik, atau getaran, yang terjadi selama gempa tergambar sebagai garis bergelombang pada seismogram. Seismologist mengukur garis-garis ini dan menghitung besaran gempa. Seismologist menggunakan skala Richter 1 untuk menggambarkan besaran gempa, dan skala Mercalli untuk menunjukkan intensitas gempa, atau pengaruh gempa terhadap tanah, gedung dan manusia.

Gempa Bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi.Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan lempengan tersebut. Gempa bumi yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan kompresional dan translasional. Gempa bumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi fase pada kedalaman lebih dari 600 km. Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung berapi. Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi.

Ada dua cara yang hasilnya untuk menyatakan besarnya kekuatan gempa bumi yaitu skala Modifikasi Intensitas Mercalli dan Skala Richter. Skala Modifikasi Intensitas Mercalli menyatakan kekuatan gempa bumi yang digambarkan oleh kerusakan yang ditimbulkannya. Ilustrasi skala Modifikasi Intensitas Mercalli adalah sebagai berikut:

1. Skala 1 : Tidak terasa

2. Skala 2 : Terasa oleh orang yang berada di bangunan tinggi

3. Skala 3 : Getaran dirasakan seperti ada truck lewat

4. Skala 4: Getaran dirasakan seperti ada benda berat yang menabrak dinding rumah, benda yang bergantung bergerak


(46)

33 5. Skala 5 : Dapat dirasakan di luar rumah, hiasan dinding bergerak, benda kecil diatas rak dapat

berjatuhan.

6. Skala 6 : Terasa oleh hampir semua orang, plester diding rusak.

7. Skala 7 : Tembok yang tidak kuat pecah, orang tidak dapat berjalan/berdiri.

8. Skala 8 : Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan.

9. Skala 9 : Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan yang parah.

10. Skala 10 : Jembatan, bendungan dan tanggul rusak, terjadi tanah longsor.

11. Skala 11 : Rel kereta api hancur.

12. Skala 12 : Seluruh bangunan hancur dan porak poranda.

(Sumber: http://www.Geocities.com, 2009)

Sedangkan besaran gempa (magnitudo) yang dibuat oleh Beno Gutemberg dan Charles Richter, magnitudo dan itentitas gempa dapat diperbandingkan dalam daerah yang dihuni, sebagai berikut magnitude 2,5 dapat terasakan, magnitude 4,5 menyebabkan kerusakan lokal, 6,0 menyebabkan kerusakan besar, lebih besar 7 merupakan gempa besar (Ditjend Pengairan, 1984:119). Gempa bumi atau longsoran selain dapat terjadi di permukaan daratan juga dapat terjadi di dasar laut menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang disebut tsunami. Gelombang pasang semacam ini bisa melanda daerah pantai sampai puluhan meter tingginya dan ratusan meter jauhnya dari pantai, sehingga menyapu dan merusak segala apa yang ada di pantai dan di daratan.

Menurut Ieda dalam Sudrajat (1996), bahwa tidak semua gempa yang terjadi di dasar laut dapat menyebabkan tsunami. Syarat terjadinya tsunami adalah magnitudo gempa harus lebih besar dari 6 skala Richter, gerakan kulit bumi ke arah atas (up thrusting) dan kedalaman gempa bumi kurang dari 80 kilometer. Selain oleh gempa, tsunami juga bisa dipicu oleh letusan gunung berapi atau longsor di dasar laut (Cahanar ed., 2005:81).

Beberapa gempa bumi (jarang namun) juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam, seperti Dam Karibia di Zambia, Afrika.Sebagian lagi (jarang juga) juga dapat terjadi karena injeksi atau akstraksi cairan dari/kedalam bumi (contoh. pada beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi dan di Rocky Mountain Arsenal. Terakhir, gempa juga dapat terjadi dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan memonitor tes rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan oleh manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi.

Proses Gempa Bumi Lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar ketika bertumbukkan dengan lempeng benua di zona tumbukan (subduksi) akan menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi.Perlambatan


(47)

34 gerak itu menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona patahan. Akibatnya di zona-zona itu terjadi tekanan, tarikan, dan geseran. Pada saat batas elastisitas lempeng terlampaui, maka terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara tiba-tiba. Proses ini menimbukan getaran partikel ke segala arah yangdisebut gelombang gempa bumi.

Gambar 2. 14 Tumbukan Lempeng Samudera dan Lempeng Benua

Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng utama dunia yaitu lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Eurasia dan Australia bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera, lepas pantai selatan pulau Jawa, lepas pantai Selatan kepulauan Nusa tenggara, dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Antara lempeng Australia dan Pasifik terjadi tumbukan di sekitar Pulau Papua. Sementara pertemuan antara ketiga lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Itulah sebabnya mengapadi pulau-pulau sekitar pertemuan 3 lempeng itu sering terjadi gempabumi.Berikut ini adalah 25 Daerah Wilayah Rawan Gempabumi Indonesia yaitu: Aceh,Sumatera Utara (Simeulue), Sumatera Barat - Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten Pandeglang, Jawa Barat, Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kepulauan Aru, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sangir Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Kepala Burung-Papua Utara,Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kalimantan Timur.


(48)

35 Macam Macam pada Gempa Bumi :

1) Tektonisme

Seperti telah dijelaskan, keragaman muka bumi dipengaruhi oleh adanya gerakangerakandi kerak bumi, baik gerakan mendatar maupun gerakan tegak. Gerakangerakan tersebutmengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang menghasilkan pola baru yang disebutstruktur diastropik. Bentuk baru yang termasuk dalam struktur diastropik adalah pelengkungan, pelipatan, patahan, dan retakan. Pelengkungan : lapisan kulit bumi yang semula mendatar jika mendapat tekanan vertikalakan membentuk struktur melengkung. Lengkungan tersebut dapat mengarah ke atasyang disebut kubah (dome) dan dapat mengarah ke bawah yang disebut basin.Lipatan : lapisan kulit bumi yang mendapat tekanan arah mendatar akan membentuk lipatan. Punggung lipatan disebut antiklinal. Lembah lipatan disebut sinklinal.Patahan : terjadi karena adanya tekanan atau gerakan tektonik secara horizontal maupunvertikal pada kulit bumi yang rapuh. Daerah patahan merupakan daerah yang rawangempa karena rapuh. Patahan sering disebut juga sesar.Retakan : terjadi karena gaya regangan yang menyebabkan batuan menjadi retakretak.

2) Vulkanisme

Vulkanisme merupakan proses keluarnya magma ke permukaan bumi. Keluarnya magma ke permukaan bumi umumnya melalui retakan batuan, patahan, dan pipa kepundan pada gunung api. Jika magma yang berusaha keluar tidak mencapai permukaan bumi, prosesini disebut intrusi magma. Jika magma sampai di permukaan bumi, proses ini disebut ekstrusi magma. Magma yang sudah keluar ke permukaan bumi disebut lava. Proses vulkanisme menghasilkan berbagai bentuk muka bumi antara lain:

(1) kawah, lubang berbentuk mangkuk di puncak gunung api (2) kaldera, hasil letusan gunung api yang berbentuk seperti kawah tetapi berukuran jauh lebih besar. Karena besar, pada sebuah kaldera dapat terbentuk danau, emisi gas, mata air panas, dan gunung api corong kecil(3) berbagai bentuk gunung api. Intrusi magma menghasilkan bentukan-bentukan berikut. (1) Retas (sill), magma yang membeku di antara dua lapisan batuan yang ada di dalam bumi berupa batuan beku.(2) Lakolit, bentuk cembung ke atas tetapi datar di bawah akibat magma yang menekanke atas di antara dua lapisan batuan sedimen.(3) Gang atau korok, bentukan tipis dan panjang memotong lapisan litosfer secara vertikal atau miring yang berasal dari magma yang membeku ketika berusaha menerobos batuan sedimen.(4) Batholit, magma yang membeku jauh di dalam bumi.


(1)

114 5.4 Usulan Studi

Berdasarkan hasil-hasil studi yang diperoleh, dengan adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki dan adanya permasalahan menarik terkait dengan studi ini, maka kami mengusulkan beberapa studi lanjutan, antara lain :

1. Perlu dilakukan studi dengan data terbaru;

2. Studi lanjutan Analisis kebutuhan prasarana mitigasi;


(2)

Daftar Pustaka

BUKU REFERENSI

1. BNPB, Buku Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, :2010.

2. Set BAKORNAS PBP dan Gempa bumi dan Tsunami, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Buku Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, 2010.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, 2007.

4. Undang-Undang no.26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, 2007.

5. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral,RI, Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, 2009.

6. RAN PB Rencana Antisipasi Nasional Penanggulangan Bencana edisi 2006-2009.

7. Paimin. Sukresno. Irfan Budi Pramono, Teknik Mitigasi Banjir Dan Tanah Longsor

Diterbitkan oleh: Tropenbos International Indonesia Programme (2009).

8. Kertapati Engkon, Peta Zona Gempa Indonesia Sebagai Acuan Dasar Perencanaan Dan Perancangan Bangunan, 1999.

STUDI LITERATUR

1. Hidayat Hery, Arahan pengembangan Sarana prasarana mitigasi bencana tsunami di zona wisata utama pangandaran.- Bandung : Teknik - Planologi (Perencanaan Wilayah dan Kota), 2009.

2. Hartadi Arief, Kajian Kesesuaian Lahan Perumahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Dasar Di Kota Fakfak, (Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota) Universitas Diponegoro Semarang 2009.

PUBLIKASI TERBATAS

1. Bappeda Kota Nabire Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nabire.

2. Bappeda Provinsi Papua Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Provinsi Papua.

3. Bappeda Kota Nabire Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kota Nabire (RTRKP) Tahun 2006 – 2026;

4. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nabire (RISPK) Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran Kabupaten Nabire,2010 – 2030;


(3)

5. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangka Belitung (RISPK) Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran Kabupaten Bangka Belitung ,2010 – 2030;

6. RAN PB (Rencana Antisipasi Nasional Penanggulangan Bencana edisi 2006-2009); 7. Badan Pengelolaan Statistik Kota, Nabire Distrik Nabire Dalam Angka 2008

8. Badan Pengelolaan Statistik Kabupaten Nabire, Kabupaten Nabire Dalam Angka 2009 9. Perusahaan Daerah Air Minum Kota Nabire, Peta sebaran Layanan Air Bersih, 2006 10. Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi 2009

MEDIA ELEKTRONIK

1. Pengertian Gempa http://www.scribd.com/doc/37685391/pengertian-gempa

2. Potensi Gerakan Lempeng, Indonesiabreakingnewsonline.blogspot.com, id.wikipedia.org 3. Sejarah Kota Nabire, http://nabire.wordpress.com/about/sejarah-kota-nabire/

4. Profil dan Gambaran Umum Kondisi

Geologi,http://bps.papua.go.id/nabire/sejarahnbr.php


(4)

JIWA ZARI MADINA

Jl. Foker 1 No. 17 , Cimahi Phone : +6222 93452050 & +628133 4399 811

E-mail : waww16@gmail.com

PERSONAL REFERENCES

Name : Jiwa Zari Madina

NIM : 1.06.05.014

Place, date of birth : Nganjuk, April 16th 1982

Religion : Islam

Sex : Male

Marital Status : Single

Citizenship : Indonesian

Addres : Jln. Foker 1 no. 17 Melong Green Garden

Faculty : Teknik dan Ilmu Komputer

Study Programe : Perencanaan Wilayah dan Kota

Jenjang : Strata Satu (S-1)

Member Since : 2005

Phone : 081334399811

EDUCATIONAL BACKGROUND

 Universitas Komputer Indonesia – UNIKOM , majoring in Planology, Bandung ( 2005 – Present )

 SMU BPI 2, Bandung ( 1997 – 2000 )

 SMP Kemala Bhayangkari, Bandung ( 1994 – 1997 )

 SD Baron 3, Nganjuk – East Java( 1988 – 1994 )

PRACTICAL ABILITY


(5)

 Indonesian Language, excelent either oral and written

 Computer literate using such program, as :

 Microsoft Office (MS Word, MS Excel, MS PowerPoint, MS Visio)

 Autocad

 Adobe Photoshop 7.0

 Corel Graphic

 Internet

 ArcGis Maping

 Interpersonal skills; adaptable, active, creative person, a good team player, able to work under

pressure, having strong leadership with high commitment, having strong problem solving with analytical skill (either qualitative or quantitative) , and good communication skill.

OBJECTIVES

My Objectives are: to earn money in process and to improve my personal and interpersonal skills and abilities.

ORGANIZATION SKILLS

 Public Relations of Himpunan Mahasiswa Planologi, August 2000 – August 2003

Institut Teknologi Nasional ( ITENAS ), Bandung

 Ketua Bidang TATIB pada Pendidikan Orientasi Mahasiswa Planologi, January 2003 – August

2003

Institut Teknologi Nasional ( ITENAS ), Bandung

I certify that the following statements are all true and has completed the best of my knowledge and understandinng that any flase statements will be taken as my responsibility.


(6)