69|
Kehidupan sifatnya dinamis, senatiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan zaman. Perubahan tersebut tidak lepaas dari
interaksi sosial antarindividu sehingga melahirkan suatu budaya. Lahirnya suatu budaya dipengaruhi oleh bahasa dalam proses komunikasi. Dalam dunia
komunikasi, peran tanda tidak dapat dipisahkan, karena sebagaimana pendapat Ratna 2013 : 97 bahwa kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan
perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantara tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya,
sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus. Oleh karena manusia disebut juga
homo semioticus, maka ada juga manusia yang manafsirkan perjalanan ataupun menggambarkan
suatu kehidupan
melalui tanda-tanda.
Penggambaran kehidupan melalui tanda tersebut salah satunya ada yang dituangkan dalam
bentuk karya seni, misalnya puisi. Puisi dikategorikan sebagai karya seni karena mengandung unsur keindahan atau puitis.
Puisi merupakan karya seni yang puitis. Kata puitis mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. menurut Pradopo 2007 : 13 sesuatu disebut
puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut
puitis. Hal yang menimbulkan keharuan itu bermacam-macam, maka kepuitisan pun bermacam-macam.
Sifat puisi yang menimbulkan keharuan itulah yang dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh pembaca, sehingga dapat memunculkan multitafsir. Seorang
penyair bebas mengungkapkan perasaan dan menyembunyikan privasi-nya di balik syair-syair yang dikemas apik dan unik. Keunikan itulah, baik unik bentuk
ataupun isi, yang membuat sebuah puisi menarik untuk dibahas. Keunikan karya puisi tentunya berbeda-beda sesuai aliran ataupun gaya penyair masing-masing.
Adapun dalam makalah ini, penulis membahas karya puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Kucing”. Penyair kelahiran 24 Juni 1941 ini memiliki gelar
‘presiden penyair Indonesia’. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, dan kucing
yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi. Karya-karyanya berbeda dari puisi-puisi
yang masa itu berkembang. Beliau mencoba keluar dari suatu karya yang bersifat standar sehingga memiliki warna tersendiri. Bagi Sutardji, menulis puisi adalah
membebaskan kata-kata dan mengembalikan kata pada awal mulanya yaitu berupa mantera.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengapresiasi puisi karya Sutardji ini dengan menggunakan pendekatan semiotik dan termasuk juga di dalamnya
analisis struktural. Pendekatan semiotik ini dipilih karena puisi Sutardji sarat dengan tanda-tanda bunyi yang tidak dapat dijelaskan maknanya secara harfiah.
B. KAJIAN TEORI 1. Biografi Sutardji Calzoum Bachri
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
70|
Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Riau, pada 24 Juni 1941. Setamat SMA, putra pasangan Mohammad Bachri dan May Calzoum ini
melanjutkan studinya sampai tingkat doktoral, Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat masih menjadi
mahasiswa di kota berjuluk Kota Kembang itulah, anak kelima dari sebelas bersaudara ini merintis karirnya di dunia sastra diawali dengan menulis di
berbagai media massa. Ia mengirimkan sajak-sajak dan esai karangannya ke berbagai media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita
Buana, majalah Horison, dan Budaya Jaya. Ia juga mengirimkan sajak- sajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan
di Padang. Sejak itulah, nama Sutardji Calzoum Bachri mulai diperhitungkan sebagai seorang seorang penyair.
Untuk mempertajam kemampuan menulisnya, pada musim panas 1974, ia mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Terhitung
sejak Oktober 1974 hingga April 1975, Sutardji mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, bersama Kiai
Haji Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail. Empat tahun kemudian di tahun 1979, Sutardji Calzoum Bachri diangkat menjadi redaktur majalah sastra Horison.
Setelah bertahun-tahun bekerja, Sutardji akhirnya memutuskan untuk keluar dari Horison. Pada tahun 2000 hingga 2002, ia menjadi penjaga ruangan seni
Bentara, terutama menangani puisi pada harian Kompas.
Karyanya yang pertama dibuat pada tahun 1973 dengan judul O. Tiga tahun setelah dipublikasikan, sajak tersebut mendapat Hadiah Puisi DKJ.
Karya Sutadji lainnya adalah Amuk 1977, Kapak 1979, kemudian pada tahun 1981, ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O,
Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan. Ada pula kumpulan esai berjudul Isyarat, dan kumpulan cerpen berjudul Hujan Menulis Ayam.
Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi Bentara.
Selain itu, sejumlah puisinya telah diterjemahkan Harry Aveling dan dimuat dalam antologi berbahasa Inggris: Arjuna in Meditation Calcutta,
1976; Writing from the World Amerika Serikat; Westerly Review Australia; dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in
Rotterdam Rotterdamse Kunststichting, 1975; dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters 1979.
Di dunia persajakan, ia dikenal dengan ciri khas gayanya yang edan saat membacakan puisi yang berbeda dari penyair kebanyakan. Kadang kala
ia jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap. Menurutnya,Setiap orang harus membikin sidik jarinya sendiri, karakternya
sendiri. Biar tak tenggelam dan bisa memberi warna. Lewat karya-karyanya, suami Mariham Linda ini banyak meraup penghargaan. Pada tahun 1979, ia
dianugerahi hadiah South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand atas prestasinya dalam dunia sastra. Kemudian di tahun 1988, ia mendapat
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
71|
penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia yakni Penghargaan Sastra yang sebelumnya diraih Mochtar Lubis.
Ayah satu putri bernama Mila Seraiwangi ini juga kerap mendapat undangan dari berbagai negara. Ia pernah
menghadiri Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak; membaca puisi di Departemen
Keuangan Malaysia atas undangan Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim; mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN; Pertemuan
Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam; serta membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia, pada
tahun 1997. Menurut Bung Tardji, menulis baginya adalah panggilan alam. Ia mengakui bahwa di saat menulis ia bisa merasakan kebebasan.
2. Pendekatan Semiotik dan struktural dalam menganalisis puisi Puisi merupakan salah satu karya sastra yang dapat dikaji dari
berbagai macam aspeknya. Aspek kajian puisi meliputi unsur dan strukturnya, jenis atau ragamnya, atau bahkan dari segi kesejarahannya.
Untuk memahami makna secara keseluruhan, sajak perlu dianalisis secara keseluruhan. Analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-
unsur struktur sajak itu saling berhubungan secara erat, saling menentukan artinya. Sebuah unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya terlepas
dari unsur-unsur lainnya. Di samping itu, karena sajak itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga
disatukan dengan analisis semiotik Pradopo, 2007 : 118. Senada dengan Pradopo, Culler 1977 : 6 menyatakan bahwa strukturalisme dan semiotika
sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Dari kedua pendapat tersebut,
semakin memperjelas bahwa analisis semiotika sastra tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural.
Analisis struktur dalam sebuah karya sastra sangat penting karena karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan merupakan
susunan keseluruhan yang utuh. Antara unsur-unsur struktur sajak itu ada koherensi atau pertautan erat. Unsur-unsur tersebut tidak otonom,
melainkan merupakan bagian dari situasi yang rumit dan dari hubungannya dengan bagian lain, unsur-unsur itu mendapatkan artinya Culler dalam
Pradopo, 2007 : 120. Jadi, untuk memahami sajak, harus memerhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan.
Adapun gambaran mengenai analisis semiotik diungkapkan oleh Santosa 1993 : 6, bahwa bahasa merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan antara penanda dan petandanya. Penanda adalah yang menandai dan sesuatu yang segera terserap atau teramati. Petanda adalah sesuatu yang
tersimpulkan, tertafsirkan, atau terpahami maknanya dari ungkapan bahasa maupun nonbahasa. Hubungan antara penanda dan petanda terdapat
berbagai kemungkinan dalam penggunaan bahasanya. Pemahaman akan berbagai kemungkinan yang terjadi dalam penggunaan bahasa akan menjadi
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
72|
dasar struktur semiosis. Penanda adalah sesuatu yang ada dari seseorang bagi sesuatu yang lain dalam suatu segi pandang. Penanda itu dapat
bertindak menggantikan sesuatu, sesuatu itu petandanya. Penanda itu menggantikan sesuatu bagi seseorang, seseorang ini adalah penafsir.
Penanda ini kemudian menggantikan sesuatu bagi seseorang dari suatu segi pandangan, segi pandangan ini merupakan dasarnya. Jadi, dalam komponen
dasar semiotika ini akan dikenal empat istilah dasar, yaitu penanda, petanda, penafsir, dan dasar. Gejala hubungan antara keempat hal tersebut
akan menentukan hakikat yang tepat mengenai semiosis sehingga dalam menghadapi berbagai persoalan susastra, baik yang secara wajar
berdasarkan konvensi maupun yang tidak secara wajar penyimpangan kaidah dapat diatasi dengan baik melalui ancangan semiotika.
Jadi, jelaslah bahwa analisis semiotik suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan analisis struktural. Hal ini mengingat bahwa karya sastra
itu merupakan struktur sistem tanda-tanda yang bermakna Pradopo, 2008 : 108. Kedua jenis analisis tersebut saling memengaruhi karena tanda
struktur dalam puisi memiliki makna yang dapat ditelaah oleh pendekatan semiotik.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Telaah Puisi “KUCING” karya Sutardji Calzoum Bachri dengan Pendekatan
Semiotik dan Struktural Sutardji memiliki landasan atau dasar keyakinan saat membuat karya
puisi, hal tersebut beliau tulis dalam pembukaan puisi “O Amuk Kapak”. Berikut isi kredo puisinya:
KREDO PUISI Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang
menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk
duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian
kata cenderung
dipergunakan sebagai
alat untuk
menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Dalam
puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
73|
masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor obscene serta penjajahan gramatika.
Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan
kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena
kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas
kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah
dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas,
saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa
menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya
agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya adalah
membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi
saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri Bandung, 30 Maret 1973
Sutardji berkeyakinan bahwa menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dari aturan-aturan gramatika, ketika kata-kata dibiarkan bebas,
maka akan muncul kreativitas yang tak terbatas. Namun, walaupun prinsip Sutardji menulis adalah membebaskan kata-kata, bukan berarti Sutardji
menulis karya yang “kosong” tanpa makna. Justru karya-karya yang ditulisnya sangat kental dengan nilai-nilai kehidupan serta petualangan
spiritual dalam memahami hakikat ketuhanan.
Salah satu puisi Sutardji yang penulis analisis adalah puisi “Kucing”. Penulis melihat ada makna yang sangat kental dengan kehidupan religi
Sutardji dalam puisi ini, walaupun puisi ini bukan satu-satunya puisi yang sarat makna religi. Puisi ini diambil dari kumpulan puisi Sutardji berjudul “O
Amuk Kapak”. Berikut syair puisinya:
KUCING
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
74|
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri
ngiau Kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba af rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau ku cing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 a langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar ku
cingku berapa abad dia mencari menca kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang seha ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang
di bumi ngiau Dia meraung dia menge rang hei berapa tuhan yang kalian pu
nya beri aku satu sekedar pemuas ku cingku hari ini ngiau huss puss diam
lah aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di amazon aku pasang
perangkap di riau aku pasang perangkap
di kota kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi
sekerat untuk kau sekerat untuk aku ngiau huss puss diamlah
1973 .Dari segi tipografi, puisi tersebut ditulis dengan tipografi tidak
beraturan, kesan tidak beraturan atau acak-acakan tersebut penulis maknai sebagai gambaran jiwa yang sedang mengalami kekacauan, kegundahan, dan
tak tentu arah. Kekacauan tersebut pasti ada suatu sebab. Oleh karena itu,
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
75|
untuk pemaknaan lebih dalam, penulis uraikan dari judul puisi terlebih dahulu.
Dalam puisi tersebut ada banyak tanda yang digunakan oleh pengarang. Judul puisi adalah “kucing”, arti kucing secara istilah KBBI
adalah binatang semacam harimau kecil yang biasanya dipiara orang atau hewan piaraan. Sifat kucing pada dasarnya liar karena termasuk jenis hewan
pemakan daging, suka berburu tikus, pemalas, apalagi ketika kucing tersebut dalam keadaan lapar. Namun, kucing akan menjadi seekor binatang penurut
bahkan manja apabila dia dipelihara dengan baik karena kucing merupakan salah satu jenis binatang peliharaan. “kucing” dalam puisi tersebut dapat
berupa penanda yang penulis maknai sebagai penggambaran jiwa pengarang yang sedang “kelaparan”. Simbol kucing ini pun digunakan Sutardji dalam
puisinya yang lain, di antaranya puisi “Amuk” dan “Ngiau”. Berikut penggalan syairnya.
NGIAU “...Seekor kucing menjinjit tikus yang menggele-par tengkuknya.
Seorang perempuan dan seorang lelaki bergi-gitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau Ah gang yang panjang...”
AMUK
“...kalau pot tak mau pot biar pot semau pot mencari pot pot hei Kau dengar manteraku Kau dengar kucing memanggilMu izukalizu mapakazaba
itasatali tutulita...”
Simbol “kucing” yang terdapat dalam kedua penggalan syair di atas menurut tafsiran penulis, rujukannya sama yaitu tentang suatu keadaan jiwa
seseorang. Pemilihan simbol kucing untuk menggambarkan keadaan jiwa, pasti tidak akan lepas dari suatu makna. Kucing dalam masyarakat selalu
identik dengan ‘laki-laki’ gambaran laki-laki yang cenderung memiliki hawa nafsu lebih tinggi, seperti ada istilah dalam bahasa Sunda yaitu “sabageur-
bageurna lalaki tetep we Ucing” sebaik-baiknya lelaki tetap saja dia “kucing”, atau ada juga penggambaran laki-laki seperti “kucing garong”
dalam salah satu syair lagu dangdut. Selain itu, simbol “kucing” ini lebih memiliki nilai rasa positif dibandingkan dengan binatang peliharaan seperti
anjing atau babi. Seekor kucing liar masih dapat diarahkan jika dipelihara dengan benar dan baik, dibandingkan dengan seekor anjing yang dipandang
najis.
Nampaknya, dari pemilihan judul tersebut, pengarang ingin menyampaikan bahwa isi puisi tersebut berhubungan erat dengan sesuatu
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
76|
yang liar namun sifat liarnya itu dikarenakan suatu sebab sehingga ketika sebabnya itu sudah ditemukan, maka jiwa yang liar karena “kelaparan”
tersebut akan kembali tenang. Dalam isi puisi pengarang menegaskan bahwa kucing itu bukan
“harimau, leopar, hiena, ataupun singa”, seperti dalam kutipan
“...dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing...”.
Perbandingan kucing dengan keempat jenis binatang buas tersebut bukan tanpa maksud. Keempat binatang buas tersebut hidup dalam rimba
belantara dan tidak termasuk binatang peliharaan karena jarang sekali orang yang tertarik untuk memelihara binatang-binatang tersebut atau dengan kata
lain keempat binatang tersebut berbeda dengan kucing dari segi kepemilikan. Dia kucing yang dimaksud semacam kucing yang memiliki sifat liar
namun bukan kucing yang sifatnya buas seperti harimau, singa, hiena, dan leopar tapi kucing yang meronta-ronta kelaparan karena mencari majikan
agar dapat makanan.
Tokoh dalam puisi digambarkan kelaparan, terlihat dalam penggalan syair “...dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan
amuknya dia meraung dia mengerang...”. Tertera secara eksplisit bahwa dia kucing lapar dan merambah “rimba afrikaku”. Pengarang menggambarkan
dalam dirinya terdapat “rimba afrika”, yaitu suatu rimbahutan yang ada di Afrika dan hutan tersebut terkenal masih belum banyak manusia yang
menjamahnya. Hutan yang dipenuhi banyak pepohonan lebat dan banyak binatang berbahayabuas di dalamnya, sehingga dapat dibayangkan betapa
gelap dan menakutkan keadaan hutan tersebut. Suasana gelap tersebut pengarang gambarkan pada dirinya, bahwa ada sisi gelap dalam dirinya
sehingga sisi lain yang digambarkan sebagai kucing terus meronta, mencakar, mengamuk ingin keluar dari kegelapan tersebut. Dari kedua
penggalan larik puisi di awal tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa kucing adalah gambaran dari jiwa tokoh yang kering kerontang dan kelaparan tanpa
petunjuk sehingga liar mencari-cari “majikan” atau “pemilik” Tuhan untuk mendapatkan “makanan” jiwa berupa ilmu agama di tengah kegelapan dan
kehampaan jiwanya.
Tokoh dalam puisi merasa kelaparan, namun lapar bukan karena kekurangan makanan dalam arti sebenarnya, karena dalam penggalan larik,
“... jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung merambah barah
darahku...”
Si kucing tidak mau roti ataupun daging. Kemudian dalam penggalan tersebut disebut-sebut “Jesus”, Jesus dalam pandangan Islam adalah Nabi Isa
a.s. yang dianugerahi mukjizat-mukjizat yang luar biasa, seperti yang tertera dalam Alquran surat Ali-Imran ayat 49 berikut:
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
77|
Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil yang berkata kepada mereka: Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan
membawa sesuatu tanda mukjizat dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku
meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang
yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan
apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda kebenaran kerasulanku bagimu,
jika kamu sungguh-sungguh beriman.
Ungkapan Jesus dalam puisi tersebut menggambarkan seorang yang hebat dan dapat diandalkan karena dalam pemahaman Islam, Jesus adalah
seorang nabi, sedangkan dalam pemahaman Kristen, Jesus dipandang sebagai Tuhan yang disembah. Namun, pandangan penulis, ungkapan Jesus
dalam penggalan tersebut lebih merujuk pada Nabi Isa a.s. yang memiliki mukjizat, yaitu salah satunya dapat membantu orang yang kelaparan. Dasar
penafsiran lain adalah bahwa simbol “roti dan daging” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sifatnya materi atau keduniaan. Bukan materi yang
dapat menghilangkan rasa lapar “si kucing”, namun sesuatu yang bersifat imateri. Akibat kelaparan tersebut si kucing terus meraung dan meronta
hingga merambah “barah darah”. Arti “barah” dalam KBBI adalah bengkak yang
mengandung nanah
atau bisul,
sedangkan “darah”
penulis menafsirkannya sebagai simbol kehidupan. Jadi, maksud barah dalam darah
adalah suatu cela atau keburukan dalam kehidupan si aku. Jiwa yang kelaparan tersebut terus meronta-ronta dalam kehidupan tokoh yang penuh
cela.
“Kelaparan” kekeringan jiwa yang dialami tokoh dalam puisi akibat terlalu lama dia dalam masa pencarian keyakinan akan Tuhan. Waktu
pencarian keyakinan yang panjang tersebut tergambar dalam penggalan syair berikut,
“...berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari
mencakar
menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan
sekarang dia meraung mencariMu...”. Dalam waktu yang panjang tersebut dia pada dasarnya berada dalam
kegelisahan, dia menyadari betul bahwa apa yang dia rasakan adalah fitrah karena fitrah itu sengaja diciptakan Tuhan tanpa diminta makhluknya. Fitrah
yang dimaksud adalah kecenderungan manusia beriman kepada Sang Pencipta. Maksud tersebut tergambar dalam penggalan
“...tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
78|
tenang di bumi..”. Keadaan yang fitrah itu menuntut untuk merasakan ketenangan walau “sejemput” atau dengan kata lain ‘walau sebanyak yang
dapat diambil dengan ujung jari tangan’. Hal tersebut memberikan kesan bahwa jiwa tokoh begitu gelisah dan sangat membutuhkan asupan spiritual.
Dalam proses pencarian ketenangan tersebut, tokoh mendapatkan berbagai rintangan tentunya, salah satunya adalah berbagai keyakinan dalam
berketuhanan. Berbagai keyakinan terhadap Tuhan tersebut tergambar dalam larik “hei berapa tuhan yang kalian punya”, sehingga gambaran tentang
banyaknya Tuhan yang dimaksud adalah gambaran betapa tokoh sedang berusaha keras mencari kebenaran yang akan dia yakini karena dari sekian
kepercayaan terhadap Tuhan, tokoh belum menemukan satu keyakinan yang benar-benar dia yakini. Hal tersebut tersirat dari larik yang cenderung
bernada ironi yaitu “...beri aku satu sekedar pemuas kucingku hari ini ngiau huss puss diamlah...”.
Larik terakhir puisi ada satu citraan yang menggambarkan pencarian yang sungguh-sungguh, tokoh aku kembali lagi menelisik jiwanya yang
terdalam yang penuh dengan kegelapan yang digambarkan dengan “Afrika, Amazon, dan Riau” dan bahkan di kota-kota sebagai simbol suatu tempat
yang menjadi pusat perhatian orang-orang karena kota identik dengan tempat untuk mencari penghidupan yang layak. Barangkali tokoh menemukan
setitik pencerahan yang dia gambarkan sebagai “tuhan”. Penggalan larik terakhir berbunyi,
“...aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap di kota kota
siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi sekerat untuk kau sekerat untukku ngiau huss puss diamlah...”.
Namun, tampaknya pernyataan “sekerat untuk kau” itu mengandung makna bahwa apa yang tokoh alami bisa jadi dialami oleh pembaca yang
disebut sebagai “kau”. Jika dirunut dari larik awal sampai larik akhir puisi “Kucing”
tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa Sutardji menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari keyakinan akan Tuhan di
tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Muara dari ketenangan itu sebenarnya ada pada keyakinan pada Tuhan atau Allah SWT.
dalam analisis ini penulis lebih cenderung melihat keyakinan yang dimaksud oleh Sutardji adalah keyakinan Islam. Dasar yang dijadikan acuan oleh
penulis adalah sebuah puisi yang ditulis Sutardji pada masa kekinian. Dalam puisi tersebut tergambar bahwa seorang “Tardji” disebut dalam lirik berada
dalam titik kepasrahan diri terhadap Allah SWT, mengakui segala kesalahan yang pernah diperbuat semasa muda termasuk mabuk-mabukan, dan
menggantinya dengan perjalanan hidup yang berusaha lurus kepada Tuhan, beribadah dimana saja berada hingga mencapai titik ‘kembali kepada
kesucian jiwa’ yaitu ”Idul Fitri” sesuai judul puisinya. Berikut adalah syairnya:
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
79|
Idul Fitri
Lihat Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang: Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini ngebut
di jalan lurus Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia Kini biarkan aku menenggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
80|
Dan kurayakan kelahiran kembali di sana
D. SIMPULAN Sebuah karya sastra diciptakan dengan estetika dan makna yang mendalam
karena berhubungan dengan emosi penulis. Salah satu jenis karya sastra yang memunculkan berbagai interpretasi perasaanemosi adalah karya puisi. Ada
banyak simbol atau tanda yang digunakan dalam puisi untuk menyampaikan sebuah maksud pada penulis. Pemakaian simbol tersebut menimbulkan banyak
persepsi sesuai dengan daya analisis tiap orang ketika menginterpretasikannya. Akibatnya, sebuah puisi dapat diinterpretasikan macam-macam oleh pembaca.
Namun, semakin multiinterpretasi suatu puisi, maka semakin baguslah puisi tersebut karena semakin merangsang daya analisis pembaca terhadap makna
puisi.
Adapun karya sastra yang dibahas dalam makalah ini adalah sebuah puisi. Puisi yang menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari
keyakinan akan Tuhan di tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Puisi tersebut ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 1973 yang
berjudul “Kucing”. Puisi-puisi Tardji beraliran mantra namun begitu sarat dengan kisah-kisah perjalanan hidup sosial maupun spiritual yang semua itu
menurut anggapan penulis bermuara pada proses pencarian jati diri penyair.
Daftar Pustaka Bachri, Sutardji Calzoum. 1973. O Amuk Kapak:Tiga Kumpulan Sajak Sutardji
Calzoum Bachri. Bandung : Sinar Harapan. Ensiklopedi Tokoh Indonesia. 2012. Pembebas Kata dari Belenggu. Tersedia di
http:www.tokohindonesia.comtokoharticle282-ensiklopedi3623- sutardji-calzoum-bachri
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori
Sastra, Metode
Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:
Angkasa.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
81|
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
82|
THE STUDENTS’ DIFFICULTIES IN WRITING THESIS STATEMENT
Dini Hadiani Politeknik Manufaktur Negeri Bandung
hadiani_diniyahoo.com
ABSTRACT
This study is aimed at identifying the students’ ability in writing thesis statement. By implementing descriptive method, twelve students’ texts were analyzed and the focus
was on the introduction section of their essays. Interview was conducted to justify the result of students’ text analysis, and also to find out the problems they faced in the
process of writing and the possible solutions. The result showed that the main problems were on the grammar rules of the essay and how the ideas were delivered.
These were mostly caused by the low capacity of the students’ grammatical competence. It is therefore suggested that the teacher should give various exercises
in the use of grammar of essay writing and how the ideas could be delivered well.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
83|
Keywords : writing, thesis statement, grammar rules
A. INTRODUCTION