HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN FUNGSI SOSIAL PASIEN SKIZOFRENIA

(1)

i

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT

DENGAN FUNGSI SOSIAL PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

AHMAD ZAKI ROMADLON

20120310180

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT

DENGAN FUNGSI SOSIAL PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

AHMAD ZAKI ROMADLON

20120310180

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN KTI

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT

DENGAN FUNGSI SOSIAL PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun Oleh:

AHMAD ZAKI ROMADLON 20120310180

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal: 27 Juni 2016

Dosen Pembimbing Dosen Penguji

dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc.,Sp.KJ dr. Ida Rochmawati, M.Sc.,Sp.KJ NIK: 19700417200010173042 NIK : 196912122006042011

Mengetahui

Kaprodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG., M.Kes NIK : 19711028199709173027


(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Ahmad Zaki Romadlon NIM : 20120310180

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 27 Juni 2016 Yang membuat pernyataan,

Tanda tangan


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, karunia dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Hubungan Antara Kepatuhan

Minum Obat Dengan Fungsi Sosial Pasien Skizofrenia”.

Penilitian ini bertujuan untuk apakah ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pada pasien skizofrenia. Seperti yang kita ketahui bahwa bila seseorang kehilangan fungsi sosialnya maka kualitas hidup orang itu akan terganggu. Kita perlu mengetahui kepatuhan minum obat dan fungsi sosial dapat berpengaruh pada kesembuhan pasien skizofrenia. Semoga penelitian ini bermanfaat.

Karya Tulis Ilmiah ini merupakan salah satu tugas untuk memenuhi kurikulum di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan memenuhi syarat kelulusan untuk mencapai derajat Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah.

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes selaku dekan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah mengizinkan pelaksanaan penelitian ini dalam rangka penyusunan Karya Tulis llmiah.

2. dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc.,Sp.KJ selaku Pembimbing dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan banyak waktu, pengarahan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis.

3. dr. Ida Rochmawati, M.Sc.,Sp.KJ selaku penguji dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan pengarahan, dan saran kepada penulis.

4. Kedua orang tuaku Bapak Muh Haris dan Ibu Ida Nurul Farida serta Kakak dan Adik-adikku yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.


(6)

v

5. Sahabat-sahabat Andi Bagus Pribadi, Achmad Yasin Mustamin, Bagus Ridho Setiadi, Ibrahim Fattah Hudiya, Ray Ramadahan, Ayudia Mayang Puteri, FirdaAthiya Rahmi, yang memberi semangat dan ilmunya untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

6. Teman-teman satu kelompok bimbingan Karya Tulis Ilmiah Ibrahim Fattah Hudiya dan Firda Athiya Rahmi yang telah berjuang bersama-sama dalam mengerjakan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna maka dengan segenap hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 27 Juni 2016 Penulis


(7)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

INTISARI x

ABSTRACT xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 3

C. Tujuan Penelitian 3

D. Manfaat Penelitian 4

E. Keaslian Penelitian 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka

1. Skizofrenia 6

2. Kepatuhan Minum Obat 31

3. Fungsi Sosial 35

B. Kerangka Konsep 38

C. Hipotesis 38

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian 39

B. Populasi dan Sampel 39

C. Lokasi dan Waktu Penelitian 41

D. Variabel Penelitian 42

E. Definisi Operasional 42

F. Alat dan Bahan Penelitian 43

G. Jalannya Penelitian 46

H. Uji Validitas dan Reliabilitas 47

I. Analisis Data 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 50

1.Gambaran Lokasi Penelitian 50

2.Karakteristik Subjek Penelitian 50 3.Analisis Uji Statistik Korelasi 52


(8)

vii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 59

B. Saran 59

DAFTAR PUSTAKA 59


(9)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keaslian penelitian 5

Tabel 2. Liabilitas skizofrenia berdasarkan kerabat 9 Tabel 3. Gejala-gejala utama pada skizofrenia 15

Tabel 4. Distribusi responden 51

Tabel 5. Distribusi responden menurut kepatuhan minum obat 51 Tabel 6. Distribusi responden menurut fungsi sosial 51 Tabel 7. Hubungan antara kepatuhan minum obat dan fungsi sosial 52


(10)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Lembar Persetujuan untuk Menjadi Responden 66

Lampiran 2: Kuesioner Identitas Pribadi 67

Lampiran 3: Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) 68 Lampiran 4: Kuesioner WT Personal and Social Performance Scale 73


(11)

x

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN FUNGSI SOSIAL PASIEN SKIZOFRENIA

Ahmad Zaki Romadlon1, Warih Andan Puspitosari2

1. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Email: zakiermd@gmail.com

2. Dosen Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

INTISARI

Latar belakang: Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya. Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang amat bervariasi, masih kurangnya penelitian yang membahas terkait hubungan kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pasien skizofrenia, sehingga studi ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pasien skizofrenia.

Metode: Digunakan desain spearman’s correlation. Pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling. Instrumen yang digunakan adalah Kuesioner Data Pribadi, Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS), Personaland Social Performance Scale (PSP). Analisis data yang digunakan adalah cross sectional.

Hasil: Subjek penelitian adalah laki-laki sebanyak 63 (63,6%) dan perempuan sebanyak 36(36,3%). Usia subjek sebagian besar berusia antara 20-40 tahun sebanyak 61 (61,6%). Sebagian besar subjek penelitian tidak bekerja sebanyak 74 (74,7%).Status pernikahan subjek penelitian sebagian besar adalah sudah menikah sebesar 60 (60,6%). Lama sakit subjek penelitian sebagian besar adalah > 10 tahun (52,5%). Sedangkan riwayat keluarga pada subjek penilitian yang paling besar adalah tidak ada (70,7%).Hasil analisis spearman’s correlation ditemukan korelasi variabel kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial nilai p adalah 0.961, yang berarti nilai p > 0,05.

Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pasien skizofrenia.


(12)

xi

RELATIONSHIP BETWEEN MEDICATION ADHERENCE WITH SOCIAL FUNCTION OF PATIENT SCHIZOPHRENIA

Ahmad Zaki Romadlon1

, Warih Andan Puspitosari2

1. Student of Medical Education, University of Muhammadiyah Yogyakarta, Email: zakiermd@gmail.com

2. Lecturer in Medical Education Program, University of Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Schizophrenia is a syndrome with a variety of causes and course of the disease is widespread, as well as some of the consequences that depend on the balance of influence of genetic, physical and cultural. Schizophrenia is a psychotic disorder that is chronic, often subside, but the signage is missing with clinical manifestations very wide variation adjustment pramorbid, symptoms and course of the disease vary widely There is still a lack of studies that discuss related to the relationship of cognitive function with social functioning of patients with schizophrenia, this study needs performed to evaluate the relationship between cognitive function with social functioning of patients with schizophrenia.

Methods: Used the design of Spearman’s correlation. Sampling with consecutive

sampling technique. The instrument used is the Personal Data Questionnaire,Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS), Personaland Social Performance Scale (PSP). Analysis of the data used is cross sectional.

Results: In the group of patients with schizophrenia the study subjects were males 63 (63,6%) and females 36 (36,3%). Age subjects mostly aged between 20- 40 years were 61 (61.6%). Most of the research subjects did not work as much as 74 (74.7%). Marital status of research subjects are mostly married by 60 (60.6%). Long illness most of the research subject is> 10 years (52.5%). While family history on the subject of the greatest sample is no (70.7%). The results of Spearman’s correlation analysis found medication adherence variables with p values of social function is 0.961, which means that the value of p>0.05.

Conclusion: There is no relationship between medication adherence with social functioning of patients with schizophrenia.


(13)

(14)

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN FUNGSI SOSIAL PASIEN SKIZOFRENIA

Ahmad Zaki Romadlon1, Warih Andan Puspitosari2

1. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Email: zakiermd@gmail.com

2. Dosen Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

INTISARI

Latar belakang: Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya. Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang amat bervariasi, masih kurangnya penelitian yang membahas terkait hubungan kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pasien skizofrenia, sehingga studi ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pasien skizofrenia.

Metode: Digunakan desain spearman’s correlation. Pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling. Instrumen yang digunakan adalah Kuesioner Data Pribadi, Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS), Personaland Social Performance Scale (PSP). Analisis data yang digunakan adalah cross sectional.

Hasil: Subjek penelitian adalah laki-laki sebanyak 63 (63,6%) dan perempuan sebanyak 36(36,3%). Usia subjek sebagian besar berusia antara 20-40 tahun sebanyak 61 (61,6%). Sebagian besar subjek penelitian tidak bekerja sebanyak 74 (74,7%).Status pernikahan subjek penelitian sebagian besar adalah sudah menikah sebesar 60 (60,6%). Lama sakit subjek penelitian sebagian besar adalah > 10 tahun (52,5%). Sedangkan riwayat keluarga pada subjek penilitian yang paling besar adalah tidak ada (70,7%).Hasil analisis spearman’s correlation ditemukan korelasi variabel kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial nilai p adalah 0.961, yang berarti nilai p > 0,05.

Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pasien skizofrenia.


(15)

RELATIONSHIP BETWEEN MEDICATION ADHERENCE WITH SOCIAL FUNCTION OF PATIENT SCHIZOPHRENIA

Ahmad Zaki Romadlon1

, Warih Andan Puspitosari2

1. Student of Medical Education, University of Muhammadiyah Yogyakarta, Email: zakiermd@gmail.com

2. Lecturer in Medical Education Program, University of Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Schizophrenia is a syndrome with a variety of causes and course of the disease is widespread, as well as some of the consequences that depend on the balance of influence of genetic, physical and cultural. Schizophrenia is a psychotic disorder that is chronic, often subside, but the signage is missing with clinical manifestations very wide variation adjustment pramorbid, symptoms and course of the disease vary widely There is still a lack of studies that discuss related to the relationship of cognitive function with social functioning of patients with schizophrenia, this study needs performed to evaluate the relationship between cognitive function with social functioning of patients with schizophrenia.

Methods: Used the design of Spearman’s correlation. Sampling with consecutive

sampling technique. The instrument used is the Personal Data Questionnaire,Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS), Personaland Social Performance Scale (PSP). Analysis of the data used is cross sectional.

Results: In the group of patients with schizophrenia the study subjects were males 63 (63,6%) and females 36 (36,3%). Age subjects mostly aged between 20- 40 years were 61 (61.6%). Most of the research subjects did not work as much as 74 (74.7%). Marital status of research subjects are mostly married by 60 (60.6%). Long illness most of the research subject is> 10 years (52.5%). While family history on the subject of the greatest sample is no (70.7%). The results of Spearman’s correlation analysis found medication adherence variables with p values of social function is 0.961, which means that the value of p>0.05.

Conclusion: There is no relationship between medication adherence with social functioning of patients with schizophrenia.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III, 2001) adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya. Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya. Penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang amat bervariasi (Kaplan &Sadock, 2010).

The lifetime risk skizofrenia di dunia adalah antara 15 sampai 19 per 1.000 populasi sedangkan point prevalence adalahantara 2 sampai 7 per 1000.Ada beberapa perbedaan antara negara-negara, namun tidak signifikan ketika dibatasi oleh gejala-gejala utama skizofrenia. Insidensi skizofrenia di UK dan US adalah 15 kasus baru per 100.000 penduduk, dengan laki-laki memiliki onset lebih awal dibandingkan perempuan (Sample & Smyth, 2013; Tianli et, al., 2014).

Gangguan jiwa merupakan gangguan yang merata dan hampir ada di setiap wilayah di dunia. Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa Tengah 2,3 per mil) (Riskesdas, 2013).


(17)

Obat-obat anti psikotik merupakan lini pertama yang digunakan untuk meredakan gejala-gejala pasien skizofrenia. Seiring berjalannya waktu, kepatuhan minum obat pasien skizofrenia menurun, sehingga menyebabkan terhentinya proses pengobatan pasien (Anthony, et. al., 2014). Kepatuhan minum obat pada pasien juga berbanding lurus dengan kekambuhan yang dialami pasien. Dibutuhkan pengawasan dan dukungan agar pasien selalu mengkonsumsi obat agar tidak mengalami kekambuhan (Nurjanah, 2004).

Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya (Nursalam, 2007). Kepatuhan pada pasien skizofrenia terdiri dari kepatuhan terhadap terapi setelah pengobatan (kontrol), penggunaan obat secara tepat, mengikuti anjuran perubahan perilaku (Kaplan & Sadock, 2010). Dapat disimpulkan bahwa pasien dikatakan patuh minum obat jika meminum obat sesuai dosis, frekuensi, waktu dan benar obat.

Pada umumnya pasien dengan skizofrenia akan mengalami penurunan fungsi kognitif. Sebagai konsekuensinya, mereka akan mengalami gangguan fungsi sosial dalam kehidupan penderita, dan menjadi beban bagi keluarga (Durand & Barlow, 2010). Sebuah penelitian yang dilakukan di enam negara di Eropa mendapatkan, lebih dari 80 % pasien skizofrenia dewasa mengalami masalah fungsi sosial yang menetap (Hunter, et, al., 2010).

Sebagai seorang muslim, perlu menyadari bahwa skizofrenia merupakan salah satu cobaan yang diberikan oleh Allah SWT, sebagai ujian bagi


(18)

hamba-hambaNya. Keimanan yang dimiliki haruslah membuahkan kesabaran dan ketabahan atas cobaan tersebut, seperti dijelaskan dalam ayatdibawah ini: "Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS. Al-Baqarah, 2:155)

Kita juga terus berikhtiar dan terus berusaha dalam melakukan upaya pemulihan pasien serta tidak berputus asa agar dimudahkan oleh Allah SWT, seperti dijelaskan dalam ayat dibawah ini:

"Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah" (QS. Yusuf, 12:87)

Kondisi inilah yang membuat peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara kepatuhan obat dengan fungsi sosial pada pasien skizofrenia. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan kontribusi agar jumlah pasien skizofrenia mengalami penurunan, baik dari jumlah maupun keparahannya.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pada pasien skizofrenia ?

Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum:

Untuk mengetahui apakah kepatuhan minum obat berpengaruh terhadap fungsi sosial pada pasien dengan skizofrenia.


(19)

2. Tujuan Khusus:

a. Untuk mengetahui kepatuhan minum obat pada penderita skizofrenia. b. Untuk mengetahui fungsi sosial pada penderita skizofrenia.

Manfaat Penelitian 1. Teoritis

a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kepatuhan minum obat dan fungsi sosial penderita skizofrenia.

b. Untuk memberikan masukan atau pertimbangan bagi penelitian skizofrenia selanjutnya.

2. Praktis

a. Bagi peneliti

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kepatuhan minum obat dan fungsi sosial penderita skizofrenia. 2) Untuk memberikan masukan atau pertimbangan bagi penelitian

skizofrenia selanjutnya. a. Bagi keluarga

Untuk memberikan pengetahuan bahwa peran keluarga sangat diperlukan sehingga keluarga akan memberikan perhatian yang lebih lagi kepada penderita terutama kepatuhan dalam minum obat.

b. Bagi tenaga kesehatan

Memberikan masukan perencanaan, pengembangan dan peningkatan mutu pelayanan perawatan penderita skizofrenia.


(20)

c. Bagi pemerintah

Memberikan masukan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, khususnya pasien skizofrenia sehingga meningkatkan peran pemerintah.

Keaslian Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini adalah: Tabel 1. Keaslian Penelitian

Peneliti Tahun

Judul Subjek Instrumen Hasil Kaunang

et,al., (2015).

Popp et, al., (2014). Hubungan Kepatuhan Minum Obat Dengan Prevalensi Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Yang Berobat Jalan Di Ruang PoliklinikJiwa Rumah Sakit Prof DR. V. L. Ratumbuysang Manado Treatment Adherence And SocialFunctioni ng In Patients Diagnosed With Schizophrenia And Treated With Antipsychotic Depot Medication Pasien skizo-frenia. Pasien skizo-frenia. Guttman Scale Medication Adherence Rating Scale (MARS) AndSocial Adaptation Self Evaluation Scale

Dari hasil uji statistik Chi-square (��2) di peroleh nilai ρ-value = 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 yang menunjukan bahwaHo ditolak maka terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan minum obat pasien skizofrenia dengan prevalensi kekambuhan di

Poliklinik Rumah Sakit Prof. Dr. V. L.

Ratumbuysang Manado. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian obat memberikan dampak yang lebih baik pada fungsi sosial pasien skizofrenia. Dua skala menunjukkan bahwa pasien yang diberikan obat depot cenderung memiliki fungsi sosial dan tingkat integrasi sosial yang lebih baik dari pasien yang diberikan obat oral.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Skizofrenia

a. Definisi

Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III, 2001) adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan budaya. Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya. penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang amat bervariasi (Kaplan & Sadock, 2010).

b. Epidemiologi

Skizofrenia adalah gejala neuropsikiatri yang tidak diketahui secara pasti penyebabnya.Skizofrenia mempengaruhi laki-laki dan perempuan secara seimbang. Saat ini diperkirakan ada 2,2 juta pasien hidup dengan skizofrenia di Amerika Serikat, dan sekitar 300.000 pasien dirawat di rumah sakit. Penyakit ini biasanya terjadi di usia produktif yaitu masa remaja akhir atau awal dewasa (18-25 tahun) (Sontheimer, 2015).

The lifetime risk skizofrenia di dunia adalah antara 15 sampai 19 per 1.000 populasi sedangkan point prevalence adalah antara 2 sampai


(22)

7 per 1000.Ada beberapa perbedaan antara negara-negara, namun tidak signifikan ketika dibatasi oleh gejala-gejala utama skizofrenia. Insidensi skizofrenia di UK dan US adalah 15 kasus baru per 100.000 penduduk (Sample & Smyth, 2013).

Penelitian di China menunjukkan bahwa total penderita skizofrenia adalah 0,41% dari jumlah penduduk. Analisis umur bertingkat menunjukkan bahwa perbandingan prevalensi antara laki-laki dan perempuan bervariasi. Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki-laki-laki dikelompok usia muda (18-29 tahun) dan prevalensi lebih tinggi pada wanita dikelompok usia yang lebih tua (40 tahun atau lebih) (Tianli, et, al., 2014).

Prevalensi lebih banyak penderita laki-laki usia muda juga ditunjukkan dalam penelitian lain. Dua jenis pengelompokan digunakan, yaitu dengan menggunakan usia pada saat gejala pertama muncul dan usia saat konsultasi pertama. Usia pasien saat gejala pertama muncul memiliki perbedaan 1,63 tahun lebih awal pada laki-laki dan usia saat konsultasi pertama, menunjukkan laki-laki-laki-laki lebih awal yaitu 1,22 tahun dari perempuan. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa onset pada kelompok laki-laki perlu lebih diperhatikan daripada kelompok wanita (Eranti, et, al., 2013).

Gangguan jiwa di Indonesia merupakan penyakit yang merata dan hampir disetiap wilayah di dunia ada. Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat


(23)

terbanyak di DI Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa Tengah 2,3 per mil) (Riskesdas,2013).

c. Etiologi

1) Faktor Genetik

Faktor Genetik terhitung menjadi liabilitas mayor untuk penyakit skizofrenia. Kemampuan menurun pada generasi selanjutnya skizofrenia secara genetik berkisar 60-80%. Penelitian genetika molekuler telah mengidentifikasi gen yang terbukti paling berperan antara lain :

a) Neuregulin (NRG1) pada kromosom 8p21-22 yang memiliki peran ganda dalam perkembangan otak, plastisitas sinaptik dan sinyal glutamat.

b) Dysbindin (DTNBP1) pada kromosom 6p22 yang membantu mengatur pelepasan glutamat.

c) DISC1 (Disrupted In SChizophrenia) yaitu sebuah kromosom translokasi seimbang (1,11) (q42;q14.3) yang memiliki peran ganda dalam sinyal sinaptik dan fungsi sel.

Beberapa presentase resiko terjadinya skizofrenia ketika seseorang memiliki kerabat yang terkena dampak sebagai berikut (Semple & Smyth, 2013)


(24)

Tabel 2. Liabilitas skizofrenia berdasarkan kerabat yang terkena Skizofrenia

Anggota keluarga (s) yang menderita skizofrenia Resiko (kira-kira)

Kembar Identik 46%

Satu saudara atau kembar fraternal 12-15%

Kedua Orangtua 40%

Salah satu orang tua 6%

Tidak ada kerabat yang terkena skizofrenia 0,5-1%

2) Faktor Biokimia

a) Aktivitas berlebihan dopaminergik.

Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin pada pasien skizofrenia adalah bahwa skizofrenia merupakan hasil dari aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Teori ini timbul dari dua pengamatan. Pertama, efikasi dan potensi dari obat-obatan anti-psikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin (DRAs) yang memiliki kemampuan bertindak sebagai antagonis dari reseptor Dopamin tipe 2 (D2) (Kaplan & Sadock, 2015; Blum et, al., 2014). Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, terutama kokain dan amfetamin merupakan psikotomimetik yang berarti cenderung menghasilkan manifestasi seperti gejala psikosis, seperti halusinasi visual, distorsi persepsi, dan perilaku mirip skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2015).

Bukti menunjukkan bahwa skizofrenia berhubungan dengan stimulasi berlebihan dari dopamin D2 dan kurangnya stimulasi D1 pada korteks prefrontal (Laruelle, 2014).


(25)

Pelepasan secara berlebihan senyawa dopamin pada pasien skizofrenia telah dihubungkan dengan beratnya gejala positif pada pasien.Hasil Position Emission Tomography (PET) Scan pada reseptor dopamin menunjukkan peningkatan reseptor D2 di nukleus kaudatus dari pasien skizofrenia yang bebas obat. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsentrasi dopamin di amygdala dan peningkatan jumlah reseptor dopamin tipe 4 di korteks entorhinal (Kaplan & Sadock, 2015).

b) Serotonin

Serotonin merupakan sistem neurotransmitter yang berfungsi sebagai pusat pengatur emosi, perilaku dan akan bermasalah pada pasien skizofrenia (Bonnin, et, al., 2011). Penelitian terkini menyatakan bahwa jumlah serotinin yang berlebih menyebabkan gejala positif dan negatif skizofrenia (Li et, al., 2013). Serotinin yang kuat menjadi antagonis dari clozapine dan obat-obat generasi kedua yang memiliki fungsi menurunkan gejala positif dan negatif skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2015).

c) Norepinefrin

Norepinefrin pada orang dengan skizofrenia mengalami peningkatan dibandingkan dengan orang normal.Norepinefrin yang meningkat dikaitkan dengan gejala-gejala psikosis yang muncul pada pasien (Fitzgerald, 2014). Anhedonia (penyebab


(26)

dari terganggunya kepuasaan emosi dan mengalami penurunan akan kesenangan) telah lama menjadi ciri utama dari skizofrenia. Degenerasi selektif bagian norepinefin dapat menjelaskan gejala-gejala yang muncul pada skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2015).

d) GABA

Penelitian menunjukkan bahwa beberapa pasien skizofrenia kehilangnya neuron-neuron GABAergik di Hippocampus.GABA memiliki peran regulasi pada aktivitas dopamin, dan hilangnya peran inhibisi terhadap neuron dopaminergik pada neuron GABAergik dapat menyebabkan hiperaktivitas pada neuron dopaminergic (Kaplan & Sadock, 2015).

3) Model diatesis-stress

Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini menjelaskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dipapar oleh pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Penelitian menyebutkan bahwa model diatesis-stresssangat erat kaitannya dengan ekspresi emosi seseorang (Hooley & Gotlib, 2000).Komponen lingkungan dapat bersifat biologis (contohnya, infeksi) atau psikologis (contohnya, situasi


(27)

keluarga yang penuh tekanan atau kematian kerabat dekat).Dasar biologis diatesis dapat tebentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial, dan trauma (Kaplan & Sadock, 2010).

4) Faktor psikososial

a) Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik

Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar.Kerusakan ego memberikan konstribusi terhadap munculnya gejala skizofrenia. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari dalam. Sedangkan pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama anak-anak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal. Simptom positif diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon terhadap factor pemicu/pencetus, dan erat kaitanya dengan adanya konflik. Simtom negative berkaitan erat dengan factor biologis, sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.


(28)

b) Teori Belajar

Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk.

c) Teori Tentang Keluarga

Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga yang pagtologis yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia.

d) Teori Sosial

Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia.Meskipun ada data pendukung, namun penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit (Kaplan & Sadock, 2010).


(29)

d. Gejala Klinis

Pasien skizofrenia biasanya menunjukkan gelala positif, negatif dan terdisorganisasi (Lambert & Naber, 2012) :

1) Gejala positif merujuk pada gejala yang muncul pada proses mental abnormal (Hales, et, al., 2011) yang dapat berupa tambahan gejala atau penyimpangan dari fungsi-fungsi normal (Lieberman, et, al., 2012). Gejala positif terdiri dari fenomena yang tidak muncul pada individu sehat (Santosh, et, al., 2013) antara lain halusinasidan delusi/waham (kepercayaan yang tidak sesuai sosiokultural) (Lambert & Naber, 2012).

2) Gejala negatif merujuk pada hilang atau berkurangnya fungsi mental normal (Hales, et, al., 2011). Gejala negatif juga dapat diartikan sebagai hilang atau berkurangnya beberapa fungsi yang ada pada individu sehat (Santosh, et, al., 2013) antara lain penurunan ketertarikan sosial atau personal, anhedonia, penumpulan atau ketidaksesuaian emosi, dan penurunan aktivitas. Orang dengan skizofrenia sering memperlihatkan gejala negatif jauh sebelum gejala positif muncul (Lambert & Naber, 2012). 3) Gejala terdisorganisasi yang terdiri dari pikiran, bicara dan perilaku


(30)

Tabel. 3 Gejala-gejala utama pada skizofrenia

Positive Halusinasi . Persepsi pengalaman sensori yang nyata tanpa adanya sumber eksternal

a. Paling seiring auditorik, namun dapat muncul pada jenis sensori lain

b. Sifat umum halusinasi auditorik : . Sumber Eksternal

a. Komentar tentang tindakan atau pikiran pasien

b. Dialog antara dua atau lebih suara

Delusi - Keyakinan salah yang menetap Negatif Afek - Ekpresi emosi berkurang (misal

afek tumpul), apatis atau tanpa motivasi

Sosial - Penarikan

- Kurangnya keinginan kontak sosial

Kognitif - Alogia/miskin bicara

Terdisorganisasi Bicara - Gangguan cara berpikir formal atau Formal Thought Disorder (misal tangentiality atau arah pembicaraan penderita yang menyimpang jauh dari topik pembicaraan)

Kebiasaan atau Tingkah Laku

- Gerakan atau serangkaian tindakan yang tidak bertujuan


(31)

e. Klasifikasi Skizofrenia

Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III (2001), yaitu :

1) Skizofrenia paranoid (F 20. 0) a) Memenuhi kriteria skizofrenia.

b) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi perintah atau auditorik yang berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual;waham dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau keyakinan dikejar-kejar.

c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik relative tidak ada.

2) Skizofrenia hebefrenik (F 20. 1) a) Memenuhi kriteria skizofrenia.

b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun). c) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri. d) Gejala bertahan 2-3 minggu.

e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Perilaku tanpa tujuan, dan tanpa maksud.Preokupasi dangkal dan dibuat-buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak.


(32)

f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa perasaan.

g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate), cekikikan, puas diri, senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang. h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu,

inkoheren.

3) Skizofrenia katatonik (F 20. 2)

a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia.

b) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas spontan) atau mutisme.

c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli eksternal).

d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan posisi tersebut.

e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan dari perintah).

f) Rigiditas (kaku).

g) Flexibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar.


(33)

h) Command automatism (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan kata-kata serta kalimat.

i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak karena pasien yang tidak komunikatif.

4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated (F 20. 3) a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia. b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik.

c) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pasca- skizofrenia.

5) Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20. 4)

a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini.

b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya).

c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.

Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif (F32.-).Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0 - F20.3).


(34)

6) Skizofrenia residual (F 20.5)

a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.

b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia; c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana

intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbulsindrom “negatif” dari skizofrenia;

d) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

7) Skizofrenia simpleks (F 20. 6)

a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:


(35)

(1) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.

(2) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.

8) Skizofrenia lainnya (F.20.8)

Termasuk skizofrenia chenesthopathic (terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform YTI.

9) Skizofrenia tak spesifik (F.20.7)

Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah disebutkan.

f. Penegakan Diagnosis

Diagnosis skizofrenia ditentukan atas dasar dari gejala-gejala yang muncul pada pasien.Saat ini belum ada tes yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi skizofrenia secara pasti.Kriteria diagnosis terkini yang digunakan adalah DSM V dan ICD-10.Keduanya menitikberatkan bobot yang besar pada delusi dan halusinasi.


(36)

1) ICD-10

a) Setidaknya salah satu dari gejala berikut:

(1) Adanya pikiran yang bergema (though echo), penarikan pikiran atau penyisipan (though insertion atau thugh withdrawal, dan penyiaran pikiran (broadcasting).

(2) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of being influenced), atau

“passivity”, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh, anggota gerak, atau pikiran, perbuatan dan perasaan. (3) Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang

perilaku pasien atau sekelompok orang yang sedang mendiskusikan tentang pasien, atau bentuk halusinasi suara lainnya yang datang dari beberapa bagian tubuh. (4) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut

budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (tidak sesuai dengan budaya dan sangat tidak mungkin atau tidak masuk akal, misalnya mampu berkomunikasi dengan makhluk asing yang datang dari planit lain)


(37)

b) Atau, setidaknya ada dua gejala dari berikut:

(1) Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai baikoleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus (2) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan

(interpolasi) yangberakibat inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.

(3) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikaptubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor.

(4) Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas,


(38)

sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial (Sample & Smyth, 2013).

2) DSM V

Berikut Kriteria Diagnostik Skizofrenia yang lengkap dalam DSM-V :

a) Karakteristik Gejala

Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati). Paling tidak salah satu harus ada (delusi), (halusinasi), atau (bicara kacau ): (1) Delusi/Waham

(2) Halusinasi

(3) Bicara Kacau (sering melantur atau inkoherensi) (4) Perilaku yang sangat kacau atau katatonik

(5) Gejala negatif (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan minat)

b) Disfungsi Sosial/Pekerjaan

Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau jika awitan pada masa anak-anak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat


(39)

pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).

c) Durasi

Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (yi. gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaan perseptual yang tidak lazim).

d) Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif

Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik karena: (1) Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor

yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif.

(2) Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.


(40)

e) Eksklusi kondisi medis umum/zat

Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (obat yang disalahgunaan, obat medis) atau kondisi medis umum.

f) Hubungan dengan keterlambatan perkembangan global

Jika terdapat riwayat gangguan autistik atau keterlambatan perkembangan global lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati) (Kaplan & Sadock, 2015).

g. Terapi Skizofrenia

Pengobatan skizofrenia secara signifikan telah berkembang sejak awal abad ke-20.Penemuan klorpromazin pada tahun 1954 membantu memberikan pilihan farmakologi dalam pengobatan skizofrenia saat ini. Banyak obat menargetkan berbagai subtipe reseptor, mekanisme umum aksi mereka adalah sama, tujuannya adalah menurunkan aktivitas dopamin. Berbagai metode telah digunakan agar menghasilkan pengobatan yang baik. Pengobatan skizofrenia dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu (Mueser & Jeste, 2008):


(41)

1) Gejala Akut Skizofrenia

Pasien yang didiagnosis skizofrenia kemudian mengikuti terapi rawat inap sedini mungkin akan lebih baik daripada pasien lainnya. Terapi awal skizofrenia diberikan untuk menghindari dampak yang lebih buruk dari skizofrenia. Terapi awal skizofrenia memiliki beberapa tujuan, yaitu:

a) Mengurangi potensi bahaya

b) Menurunkan agitasi dan ketidakkooperatifan

c) Mengurangi keparahan gejala positif dan negatif pasien d) Meningkatkan kualitas tidur dan perawatan diri pasien.

Pada beberapa hari pertama, dokter fokus pada gejala-gejala yang muncul pada pasien, sehingga akan mudah tertangani. Standar yang biasa digunakan adalah pemberian kombinasi obat generasi lama dan baru, pemberian haloperidol dan lorazepam serta obat-obat seperti risperidon, olanzapine yang memiliki efek samping lebih kecil.

2) Stabilisasi

Setelah tujuan terapi untuk fase akut telah tercapai, terapi dilanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu tahap stabilisasi, yang merupakan fase transisi dari terapi rawat inap dan rawat jalan. Tujuan pengobatan fase ini adalah sebagai berikut:

a) Optimalisasi obat, untuk menurunkan frekuensi dosis, berhenti kecuali jika dibutuhkan (untuk mengurangi efek samping obat).


(42)

b) Kepatuhan obat, medikasi selama 6 bulan diawal dapat mengurangi risiko kekambuhan sebesar 30% dibandingkan dengan tidak mengambil obat sama sekali.

c) Terapi Insight untuk membantu pasien memahami penyakit mereka dan kebutuhan atas obat.

Ini adalah tahap yang paling penting dari pengobatan, karena kesadaran pasien berkaitan erat dengan proses perawatan dan hasil dari pengobatan. Pasien dituntut untuk memahami resiko buruk jika tidak patuh mengikuti proses pengobatan, disamping itu pasien juga perlu tahu efek samping dari pengobatan yang sedang dilakukan.

3) Pemeliharan

Fase ini dilakukan saat rawat jalan, dan merupakan fase yang terus-menerus. Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, meningkatkan kepatuhan minum obat dan menghindari kambuhnya gejala-gejala pasien.

4) Obat-obatan yang digunakan

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut dengan anti psikotik.Ada dua kelompok anti psikotik, yaitu kelompok lama dan baru.Obat anti psikotik yang termasuk kelompok lama adalah klorpromazin, haloperidol dan thioridazine. Kelompok anti psikotik generasi baru adalah olanzapine, risperidone, clozpine,quetiapine dan amisulprida. Perbedaan yang


(43)

paling terlihat pada kedua kelompok tersebut adalah kelompok anti psikotik lama lebih banyak memiliki efek samping daripada kelompok baru (Killackey, et, al., 2009). Beberapa contoh dari anti psikotik adalah (Frederick, 2007):

a) Haloperidol: Anti psikotik kelompok lama, efektif digunakan untuk menurunkan gejala positif skizofrenia

b) Risperidone : Efikasi dari risperidone lebih kuat daripada haloperidol dalam mengobati gejala positif dan negatif skizofrenia. Tidak menyebabkan gejla ekstrapiramidal

c) Olanzapine: Olanzapine lebih efektif daripada haloperidol dalam mengobati gejala negatif skizofrenia. Tidak menyebabkan gejala ekstrapiramidal

d) Clozapine: Clozapine adalah agen prototype generasi kedua. Lebih efektif 30-50% pada pasien skizofrenia.

e) Aripiprazole : Aripiprazole merupakan antagonis dopamin di post sinaps reseptor D2 dan agonis reseptor dopamin pre sinaps.

f) Ziprasidone : Ziprasidone menghambat serotinin dan norepinefrin reuptake dan memberikan efek anti depresan. h. Prognosis

Penanganan skizofrenia bisa dibilang tidak mudah, karena jumlah kekambuhan pasien skizofrenia baik di negara maju dan negara berkembang yakni sekitar 50-92% tidak peduli keadaan ekonomi dan


(44)

kemakmuran negara tersebut. Pasien skizofrenia masih sangat memungkinkan mengalami kekambuhan yang muncul dalam periode 2 tahun, sehingga membutuhkan terapi selain farmakoterapi (Kazadi, 2008).

Maramis & Maramis (2009) menyebutkan bahwa 1/3 dari pasien skizofrenia yang datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama akan sembuh sama sekali (full remission/recovery), 1/3 yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya dan sisanya biasanya, mereka tidak dapat berfungsi didalam masyarakat dan menuju kemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa.

Pasien yang menghentikan pengobatan disebutkan 60-70% akan mengalami kekambuhan dalam satu tahun, dan 85% dalam 2 tahun, dibandingkan dengan pasien yang tetap aktif melaksanakan pengobatan yaitu 10-30% (Puri, et, al., 2014).

Perkiraan perjalanan penyakit dan prognosis pasien skizofrenia pada penelitian kohort dengan follow-up selama 13 tahun (Mason, et, al., 1995) dalam (Semple & Smyth, 2013) antara lain :

1) Sekitar 15-20% dari episode pertama tidak akan kambuh. 2) Beberapa orang akan tetap bekerja

3) 52% tanpa gejala psikotik dalam 2 tahun terakhir. 4) 52% tanpa gejala negatif.


(45)

5) 55% menunjukkan fungsi sosial yang baik atau cukup baik

Prognosis dapat ditetapkan juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain (Maramis & Maramis, 2009):

1) Kepribadian prepsikotik. Bila skizoid dan hubungan antar manusia memang kurang memuaskan maka prognosis lebih jelek.

2) Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.

3) Jenis: Prognosis jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikotik. Kemudian menyusul prognosis jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Skizofrenia hebefrenik/terdisorganisasi dan skizofrenia simplek mempunyai prognosis yang sama jelek, biasanya jenis skizofrenia ini menuju kearah kemunduran mental. 4) Umur: makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosis. 5) Pengobatan: makin lekas diberikan pengobatan, makin baik

prognosisnya.

6) Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologis, maka prognosisnya lebih baik. 7) Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih berat bila didalam

keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.


(46)

2. Kepatuhan minum obat

a. Definisi Kepatuhan minum obat

Kepatuhan minum obat didefinisikan sebagai sejauh mana pasien mengikuti instruksi yang diberikan oleh tenaga medis, mencari perhatian medis, meminum obat secara tepat, melakukan imunisasi dan modifikasi gaya hidup menuju lebih baik seperti menjaga kebersihan, menghindari rokok dan melakukan aktivitas fisik yang cukup (WHO, 2003). Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya (Nursalam, 2007)

Kepatuhan pada pasien skizofrenia terdiri dari kepatuhan terhadap terapi setelah pengobatan (kontrol), penggunaan obat secara tepat, mengikuti anjuran perubahan perilaku (Kaplan & Sadok, 2010). Dapat disimpulkan bahwa pasien dikatakan patuh minum obat jika meminum obat sesuai dosis, frekuensi, waktu dan benar obat.

Menurut Niven (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan obat, adalah:

1) Penderita atau individu

a). Sikap atau motivasi pasien ingin sembuh

Motivasi yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri, motivasi individu yang ingin mepertahankan kesehatan dirinya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang


(47)

berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya

b) Keyakinan

Penderita yang memiki keyakinan yang kuat dan tidak mudah putus asa menerima keadaan sakitnya merupakan perilaku yang baik. Keyakinan yang kuat dari penderita meningkatkan kepatuhan dalam meminum obat.

2) Dukungan keluarga

Dukungan keluarga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penderita. Penderita akan merasa tentram apabila mendapatkan perhatian dan dukungan yang cukup dari keluarga. Dukungan yang diberikan akan menimbulkan kepercayaan diri penderita untuk menghadapi dan mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta menuruti saran-saran yang diberikan untuk menunjang pengelolaan penyakitnya.

3) Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional merupakan faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Dukungan sosial yang diberikan kepada pasien mampu meningkatkan kepatuhan meminum obat

4) Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Edukasi tentang hidup


(48)

sehat yang diberikan oleh petugas kesehatan mampu mempengaruhi perilaku hidup penderita, sehingga penderita dapat beradaptasi dengan program pengobatan penyakitnya.

Kepatuhan pengobatan berhubungan dengan perilaku pengobatan pasien dan secara khusus mengacu pada sejauh mana pasien mengikuti rencana pengobatan yang telah disepakati bersama. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang diketahui terkait dengan hasil pengobatan yang lebih buruk khususnya dalam pengelolaan penyakit kronis (Alene et al., 2012).

Kepatuhan pengobatan pasien skizofrenia sangat penting terhadap perbaikan keadaan pasien. Ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan yang seharusnya dijalani dapat meningkatkan jumlah pasien skizofrenia yang harus diberikan perawatan lebih lanjut. Penelitian yang pernah dilakukan di California menjelaskan bahwa semakin rendah pemenuhan pengobatan pasien skizofrenia akan meyebabkan semakin tingginya kemungkinan pasien tersebut untuk dilakukan rawat inap.

b. Metode untuk menilai kepatuhan minum obat pasien

Kepatuhan minum obat bisa dideteksi dengan metode kualitatif melalui pengisian beberapa jenis kuisioner kepatuhan minum obat seperti Drug Inventory Attitude -10 (DAI-10) atau Medication Adherence Rating Scale (MARS), dan beberapa jenis yang lain. Cara untuk mendeteksi yang lain adalah dengan mengetahui dari pengakuan


(49)

pasien sendiri, skrining urin dan saliva, pembaruan resep (kerutinan kontrol) dan jumlah pil yang diambil, atau skrining serum. Hanya saja hal ini memang sulit untuk dilakukan karena mungkin akan dipengaruhi pada kesalahan dalam dosis dan waktu pemberian, meminum obat yang seharusnya tidak boleh, dan kesalahan dalam pemberian resep (Fenton et al., 1997).

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah salah satu alat untuk mendeteksi ketidakpatuhan pasien dalam minum obat. Kuisioner dijawab dengan jawaban iya atau tidak pada nomor 1 hingga 7, pada nomor 8 jawaban berupa spektrum sering hingga tidak pernah. Kuisioner ini terdiri atas 8 pertanyaan terkait perilaku pasien terhadap pengobatannya. MMAS memiliki sensitifitas sebesar 93% dan spesifisitas sebesar 53% pada sebuah studi kepatuhan minum obat anti hipertensi (Morisky, 2008). Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di negara palestina membuktikan bahwa kuisioner ini dapat digunakan untuk pasien skizofrenia. Hasil penelitian tersebut adalah lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum obat (Sweileh WM, 2012). Pada sebuah penelitian validitas dan reliabilitas dari MMAS pada pasien hipertensi didapatkan validitas p = 0.5 dan reliabilitas sebesar 0,83 (Morisky, 2008)


(50)

3. Fungsi Sosial

a. Definisi Fungsi Sosial

Keberfungsian sosial adalah kemampuan individu dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan menjalankan tugas-tugas serta peran sosialnya. Keberfungsian sosial pasien Skizofrenia diungkap melalui skala keberfungsian sosial yang disusun berdasarkan aspek kebefungsian sosial dari Suharto (2009) yaitu memenuhi/merespon kebutuhan dasarnya, melaksanakan peran sosial sesuai dengan status dan tugas-tuganya, serta menghadapi goncangan dan tekanan.

Ballerini (2002) menyatakan bahwa gangguan keberfungsian sosial dialami oleh pasien Skizofrenia mengakibatkan perubahan pada kemampuan sosial. Kenyataan tersebut ditandai dengan perilaku yang tidak berorientasi pada kenyataan, adanya pemikiran/ide yang kaku dan tidak adaptif serta ketidakmampuan dalam pergaulan sosial.

Wiramihardja (2005) menjelaskan keberfungsian sosial pasien Skizofrenia dari dua segi yang berbeda. Pertama diamati dari segi usia, keberfungsian sosial pasien Skizofrenia meningkat seiring usia yang disebabkan oleh penanganan yang membantu mereka lebih stabil dan atau karena keluarga mereka belajar mengenali simptom-simptom awal terjadi atau kambuhnya gangguan.


(51)

Menurut Achlis (2011) keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi sosial tertentu yang bertujuan untuk mewujudkan nilai dirinya demi pencapaian kebutuhan hidup.Indikator peningkatan keberfungsian sosial dapat dilihat dari ciri-ciri seperti yang diungkapkan Achlis (2011):

1) Individu mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya

2) Individu intens menekuni hobi serta minatnya

3) Individu memiliki sifat afeksi pada dirinya dan orang lain atau lingkungannya

4) Individu menghargai dan menjaga persahabatan

5) Individu mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu mendidik

6) Individu semakin bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya

7) Individu memperjuangkan tujuan hidupnya

8) Individu belajar untuk disiplin dan memanajemen diri 9) Individu memiliki persepsi dan pemikiran yang realistik. b. Penilaian Fungsi Sosial

Penilaian fungsi sosial pasien skizofrenia dapat dilakukan denganempat cara yaitu observasi langsung, self-report, pelaporan dari pengasuh, dan dengan alat ukur. Penilaian dengan alat ukur


(52)

memiliki kelebihan yaitu dapatmengatasi keterbatasan dari tiga cara sebelumnya antara lain pengumpulan data yang lebih cepat dan gambaran yang lebih shahih (Reverger, 2012). Alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai fungsi sosial antara lain Global Assessment of Functioning (GAF), Social and Occupational Functioning Assessment Scale (SOFAS) serta Personal and Social Performance Scale (PSP) (Purnama, et al., 2012).


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional, untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan minum obat dengan fungsi sosial pasien skizofrenia. Penelitian cross-sectional merupakan suatu penelitian dimana pengukuran atau observasi variabel-variabel dilakukan hanya satu kali dan dalam satu waktu (Sastroasmoro, 2002).

B. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dan keluarga pasien skizofrenia yang tinggal di wilayah Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambanglipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean 1, Puskesmas Gedang Sari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon 1, Puskesmas Tempel 1 dan Puskesmas Playen 2 Yogyakarta. 2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dan keluarga pasien skizofrenia yang tinggal di wilayah Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambanglipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean 1, Puskesmas Gedang Sari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas


(54)

Temon 1, Puskesmas Tempel 1 dan Puskesmas Pleyen 2. Pengambilan sampel penelitian menggunakan metode consecutive sampling yang merupakan salah satu jenis dari non probality sampling, dengan cara memilih sampel diantara populasi yang dikehendaki, sehingga sampel dapat mewakili karakteristik dari populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2003).

Perkiraan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus besar sampel untuk koefisien korelasi. Rumus yang digunakan adalah:

{ [ ]} { [ ]}

Keterangan :

n : Besar sampel

Ζα : nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α (untuk α=0,05 adalah 1,960).

Ζβ : nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan kuasa (power) sebesar diinginkan (untuk β = 0,10 adalah 1,282).

R : nilai koefisien korelasi (0,5 didapatkan dariDestiny, (2012) pada penelitian sebelumnya).

Berdasarkan perhitungan yang mengacu pada rumus di atas didapatkan jumlah sampel sebesar 38 responden dan untuk mengatasi kuesioner yang tidak lengkap maka pengambilan jumlah sampel ditambah menjadi 50.


(55)

Sampel yang diambil tersebut dapat mewakili populasi pasien skizofrenia di wilayah Puskesmas Yogyakarta dengan kriteria:

a. Kriteria inklusi

Subyek dapat diikutsertakan dalam penelitian ini apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Pasien yang didiagnosa sebagai penderita skizofrenia 2) Pasien skizofrenia pada fase maintenance

3) Pasien skizofrenia yang memiliki care-giver yang tinggal serumah. 4) Keluarga pasien atau pasien skizofrenia yang kooperatif dan

bersedia menjadi responden penelitian.

5) Pasien skizofrenia terkontrol yang mengonsumsi antipsikotik. b. Kriteria eksklusi

Subyek tidak diikutsertakan dalam penelitian apabila: 1)Pasien skizofrenia dengan cacat fisik bawaan 2)Pasien skizofrenia dengan penyakit fisik berat 3)Pengisian kuesioner tidak lengkap.

C. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambanglipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean 1, Puskesmas Gedang Sari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon 1, Puskesmas Tempel 1 dan Puskesmas Pleyen 2 Yogyakarta. Waktu penelitian dilaksanakan pada 16 Mei-28 Mei 2016.


(56)

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel, yaitu: 1. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah fungsi sosial pasien skizofrenia

2. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum obat pasien skizofrenia

Variabel penganggu

Variabel penganggu dalam penelitian ini antara lain:

a. Faktor Sosio-demogafi yaitu usia, onset, jenis kelamin, tingkat pendidikan status perkawinan, pekerjaan dan tingkat penghasilan. b. Faktor klinis yaitu jenis dan dosis obat, efek samping obat dan

komorbiditas medis.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah: 1. Kepatuhan minum obat

Kepatuhan minum obat didefinisikan sebagai sejauh mana pasien mengikuti instruksi yang diberikan oleh tenaga medis, mencari perhatian medis, meminum obat secara tepat, melakukan imunisasi dan modifikasi gaya hidup menuju lebih baik seperti menjaga kebersihan, menghindari rokok dan melakukan aktivitas fisik yang cukup (WHO, 2003). Pasien


(57)

dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 kriteria, yaitu : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat diantara dosis sesuai dengan yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada satu waktu sesuai dengan yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat yang lain. Pada penelitian ini diukur dengan Morisky Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8)

2. Fungsi sosial

Keberfungsian sosial adalah kemampuan individu dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan menjalankan tugas-tugas serta peran sosialnya. Keberfungsian sosial pasien Skizofrenia diungkap melalui skala keberfungsian sosial yang disusun berdasarkan aspek kebefungsian sosial dari Suharto (2009) yaitu memenuhi/merespon kebutuhan dasarnya, melaksanakan peran sosial sesuai dengan status dan tugas-tuganya, serta menghadapi goncangan dan tekanan. Pada penelitian ini diukur dengan Personal and Social Performance Scale (Skala PSP)

F. Alat Dan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan kuisioner, yaitu : 1. Kuisioner Data Pribadi

Kuesioner data pribadi berisi : nama, umur, jenis kelamin, alamat,pekerjaan, status perkawinan, riwayat keluarga, faktor pencetus, onset usia penyakit, jenis antipsikotik dan keteraturan minum obat.


(58)

2. MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale-8)

MMAS-8 merupakan kuisioner yang terdiri dari 8 pertanyaan dengan jawaban ya dan tidak , untuk mengukur tingkat kepatuhan subjek dalam menggunakan obat. Skor penilaian MMAS-8 dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

a. Nilai > 2 = kepatuhan rendah b. Nilai 1-2 = kepatuhan sedang c. Nilai 0 = kepatuhan tinggi

Kelemahan penilaian melalui kuesioner ini adalah jawaban yang diberikan oleh pasien bersifat subjektif dan belum tentu sesuai dengan kondisi sebenarnya.

3. Personal and Social Performance Scale (Skala PSP)

Instrumen PSP dikembangkan pada tahun 1999 dan dipublikasikan pada tahun 2000 oleh Morosini dkk untuk mengukur fungsi sosial dan personal pasien skizofrenia. Skala PSP terdiri dari penilaian terhadap 4 (empat) ranah, yaitu (1) merawat diri dengan 6 komponennya, (2) aktivitas sosial yang berguna dengan 3 komponennya, (3) hubungan personal dan sosial dengan 2 komponennya, serta (4) perilaku agresif dan mengganggu dengan 5 komponennya. Instrumen PSP terdiri dari 4 ranah dengan 19 butir pertanyaan terstruktur dan penilaiannya sebagai berikut:

a. Skor 100-70 menunjukkan hanya ada kesulitan fungsi yang ringan b. Skor 69-31 menunjukkan adanya disabilitas yang bermanifestasi dalam


(59)

c. Skor yang kurang atau sama dengan skor 30 menunjukkan fungsi pasien sangat buruk dan memerlukan bantuan atau supervise.

( Reverger, 2012; Wolff, et al., 2010; Patterson & Mausbach, 2010) Skala PSP dikembangkan dengan alasan di antaranya adalah guna menciptakan alat ukur yang praktis. Kepraktisan PSP tampak dalam beberapa hal:

a. PSP hanya terdiri dari 4 ranah yang mencakup 16 komponen terukur dibantu 19 butir pertanyaan dalam bentuk wawancara terstruktur; b. Jawaban atas setiap butir pertanyaan digunakan untuk menilai derajat

setiap ranah. Masing-masing ranah diwakili oleh 6 derajat;

c. Indeks ini tidak membebani subyek yang diukur, karena hanya perlu menjawab 19 butir pertanyaan dengan jawaban sederhana;

d. Kalkulasi skor totalnya juga sederhana yaitu dengan mencocokkan derajat masing-masing ranah dengan tabel skor dalam bentuk interval 10 poin seperti skoring GAF, dan kemudian menentukan skor akhir di antara 10 poin interval tersebut;

e. Waktu yang diperlukan untuk melakukan seluruh proses ini dalam praktik klinis sehari-hari adalah antara 5 – 10 menit.


(60)

G. Jalannya Peneitian

Pelaksanaan penelitia dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : 1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap ini peneliti mengajukan judul penelitian, melakukan bimbingan dan konsultasi dalam penyusunan proposal sampai dengan ujian proposal penelitian, kemudian peneliti mempersiapkan instrumen penelitian berupa kuesioner data data pribadi, kuesioner kepatuhan minum obat dan fungsi sosial pasien skizofrenia.

2. Tahap Pelaksanaan

Pelaksanaan pengambilan data dilakukan oleh peneliti di wilayah kerjaPuskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambanglipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean 1, Puskesmas Gedang Sari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon 1, Puskesmas Tempel 1 dan Puskesmas Playen 2, dengan mendatangi langsung ke rumah pasien skizofrenia yang tinggal bersama anggota keluarga dengan didampingi Kader desa setempat. Responden yang dipilih adalah anggota keluarga. Responden diberikan penjelasan secara langsung mengenai penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent. Responden diminta untuk mengisi kuesioner data pribadi, kuesioner MMAS-8 dan kuesioner fungsi sosial. Peneliti mendampingi responden selama mengisi kuesioner sampai semua kuesioner selesai diisi oleh responden dan telah diberikan kembali


(61)

ke peneliti. Pengisian kuesioner juga dapat dilakukan dengan cara melakukan wawancara kepada responden.

3. Tahap Penyelesaian

Pengolahan data diawali dengan menghitung hasil skor dari kuesioner-kuesioner yang telah diisi oleh responden, selanjutnya data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan program dari komputer yaitu SPSS (Statistical Product and Service Solution) dengan menggunakan deskriptif statistik dan uji korelasi pearson. Pembahasan hasil dari penelitian dilakukan setelah melakukan analisis data, kemudian dilakukan revisi dan presentasi dengan dosen pembimbing dan dosen penguji.

H. Uji Validitas Dan Reliabilitas

Uji validitas adalah alat ukur untuk mengetahui suatu instrumen penelitian yang digunakan benar-benar valid sesuai dengan yang diharapkan. Secara teori ada 3 macam validitas instrumen, yaitu: validitas isi, validitas konstruk, dan validitas berdasarkan kriteria (Suryabrata, 2010).

Uji reliabilitas merujuk pada konsistensi hasil pengukuran data yang menunjukan bahwa instrumen tersebut digunakan oleh individu atau kelompok yang sama dalam waktu yang besamaan atau instrumen tersebut digunakan oleh individu atau kelompok yang berbeda dalam waktu yang sama atau berlainan. Hasil dari uji yang konsisten, maka instrumen tersebut dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Suryabrata, 2010). Penelitian ini tidak


(62)

melakukan uji validitas dan reliabilitas karena kuisioner yang digunakan peneliti ini sebelumnya sudah pernah digunakan.

1. MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale-8)

MMAS-8 merupakan kuisioner yang terdiri dari 8 pertanyaan dengan jawaban ya dan tidak , untuk mengukur tingkat kepatuhan subjek dalam menggunakan obat. Skor penilaian MMAS-8 dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

a. Nilai > 2 = kepatuhan rendah b. Nilai 1-2 = kepatuhan sedang c. Nilai 0 = kepatuhan tinggi

Kelemahan penilaian melalui kuesioner ini adalah jawaban yang diberikan oleh pasien bersifat subjektif dan belum tentu sesuai dengan kondisi sebenarnya.

2. Personal and Social Performance Scale(PSP Scale)

Instrumen ini telah divalidasi di Indonesia pada tahun 2008 oleh Purnama, et al., (2012) pada penelitiannya dengan judul Uji Validitas dan Reliabilitas Personal dan Social Performance Scale pada Pasien Skizofrenia di Indonesia. Instrumen ini telah divalidasi dengan validitas sebesar 0,77 dan reliabel.


(63)

I. Analisis Data

Analisis data dilakukan memalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Editing

Editing dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan data, kesinambungan dan kesesuaian data. Editing dilakukan segera setelah peneliti menerima kuisioner yang telah diisi oleh responden, sehingga apabila terjadi kesalahan dapat segera diklarifikasi.

2. Coding

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain memberikan kode berupa angka pada masing-masing item pertanyaan, selanjutnya dimasukan dalam lembaran tabel kerja untuk mempermudah pengolahan. 3. Analiting

Data yang telah terkumpul dianalisis, diantaranya yaitu : a. Analisis Univariate

Analisis univariate merupakan analisa yang dilakukan terhadap tiap variable dari hasil penelitian dan pada umumnya hanya menghasilkan distribusi dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2003). Analisa ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden serta untuk menganalisa karakteristik responden meliputi jenis kelamin, usia, tempat tinggal dan pendidikan.

b. Analisa Bivariate

Analisa bivariate merupakan analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga mempunyai pengaruh. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji test non-parametric spearman’s dengan tingkat signifikasi (α) 0,05 atau P<0,05.


(64)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas DIY, yaitu Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambanglipuro, Puskesmas Wates, Puskesmas Godean 1, Puskesmas Gedang Sari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon 1, Puskesmas Tempel 1 dan Puskesmas Playen 2 Yogyakarta.

2. Karakteristik Subjek Penelitian

Jumlah sampel keseluruhan di 10 Puskesmas daerah Yogyakarta adalah 106 pasien skizofrenia beserta keluarga pasien skizofrenia. Sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi maka ditetapkan 99 pasien skizofrenia beserta keluarga pasien skizofrenia sebagai subjek penelitian pada penelitian ini.

Gambaran karakteristik subjek penelitian dari data primer didapatkan sebagai berikut: Jumlah responden dalam penelitian ini ada 99 orang yang dikelompokkan sebagai berikut:


(65)

Tabel 4. Distribusi responden (n=99)

Karakteristik berdasarkan

Jumlah Presentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Pernikahan Menikah Tidak menikah Riwayat keluarga Ada Tidak ada Lama sakit <5 tahun 5-10 tahun >10 tahun Usia

Usia <20 tahun Usia 20-40 tahun Usia >40 tahun

63 36 25 74 60 39 29 70 19 28 52 24 61 14 63,6 % 36,3 % 25,2 % 74,7 % 60,6 % 39,3 % 29,2 % 70,7 % 19,1 % 28,2 % 52,5 % 24,2 % 61,6 % 14,1 % Tabel 5. Distribusi responden menurut kepatuhan obat

Kepatuhan minum obat Jumlah Presentase

Rendah Sedang Tinggi 54 44 1 54,5 % 44,4 % 0,01 % Tabel 6. Distribusi responden menurut fungsi sosial

Fungsi sosial Jumlah Presentase

Ringan Sedang Berat 1 34 64 0,01 % 34,3 % 64,6 %


(1)

Database Syst Rev; 4: CD008712

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Skizofrenia. Dalam: Kaplan, HI, Sadock BJ, Grebb JA, editor. Kaplan dan sadock sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis – edisi ketujuh jilid satu. 685 – 729.

Kazadi, N. J. B., Moosa, M. Y. H & Jeenah, F. Y. (2008). Factors associated with relaps in schizophrenia. South African Journal of Psychiatry, volume 14, no. 2, pp: 52-62

Killackey, E., McGorry, P., Elkins, K., & McGorry, P. (2009). Schizophrenia, Australian Treatment Guide for Consumers and Carers. Australia

Kumar, P.N.S. (2008). Impact of vocational rehabilitation on social functioning, cognitive

functioning, and

psychopathology in patients with chronic schizophrenia.

Indian J Psychiatry: 50(4): 257–261.

Kusumawardhani, A, dkk. (1994). Pedoman Definisi PANSS. FK UI

Lambert, M. & Naber, D. (2012). Current Schizophrenia 3rd edition. London: Springer Healthcare.

Laruelle, M. (2014). Schizophrenia: from dopaminergic to glutamatergic interventions. Current Opinion in Pharmacology, Volume 14, pp: 97-102.

Li, W,. Yang, Y., Lin J,. Wang, S., &Jingyuan Zhao et al. (2013). Association of serotonin transporter gene (SLC6A4) polymorphisms

withschizophrenia

susceptibility and symptoms in a Chinese-Han population.

Progress in

Neuro-Psychopharmacology & Biological Psychiatry 44, pp: 290–295.


(2)

Lia, X., Wu, J., Liu, J., Li, K., Wang, F., Sun, X., & Ma, S. The influence of marital status on the social dysfunction of schizophrenia patients in community. international journal of nursing sciences 2 (2015) 149 e152.

Manouchehr, G. & Scott, B. J. (2012). Effects of cognitive remediation on neurocognitive

functions and

psychiatricsymptoms in schizophrenia inpatients. Schizophrenia Research 142, 165–170.

Maramis, W. F. & Maramis, A. A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Maslim, R. (2001). Diagnosis

Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: FK-Atmajaya.

Mason, P., Harrison, G., Glazebrook, C. & Medley, I., (1995). Characteristics of Outcome in

Schizophrenia at 13 Years. British Journal of Psychiatry, 167(5), pp. 596-603.

Mueser, K, T., & Jeste, D, V. (Eds). (2008). Clinical handbook of schizophrenia. New York: The Guilford Press

Nakamura, H. Watanabe, N., & Matsushima, E. Structural equation model of factors related to quality of life for community-dwelling

schizophrenic patients in Japan. International Journal of

Mental Health

Systems20148:32

NICE. (2009). National Collaborating Centre for Mental Health . Core interventions in the treatment and management of schizophrenia in primary and

secondary care

(update) National Institute for Clinical Excellence.


(3)

Niven Neil. (2002). Psikologi Kesehatan. Jakarta: EGC

Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurjanah. (2004). Pedoman Gangguan Jiwa. Yogyakarta: Mocomedia

Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika

Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Nursalam. (2007). Manajemen Keperawatan dan Aplikasinya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Ochoa, S., Usall, J., Cobo, J., Labad, X., Kulkami, J. (2012). Gender

Differences in Schizophrenia and First-Episode Psychosis: A Comprehensive Literature Review. Schizophrenia Research and Treatment. Volume 2012 (2012), Article ID 916198, 9 pages

Paul, K, I., & Moser, K. Unemployment impairs mental health: Meta-analyses. Journal of Vocational Behavior 74 (2009) 264–282.

Popp, B., Manea, M. M., & Moraru, M. O. Treatment adherence and social functioning in patients diagnosed with schizophrenia and treated with antipsychotic depot medication. Clujul Med. 2014; 87(2): 109–112.

Puri, B., Hall, A. & HO, R,. (2014). Revision Notes in Psychiatry. Boca Raton: CRC Press.


(4)

Purnama, D. A. et al., 2012. Uji Validitas dan Reabilitas Personal and Social Performance Scale pada pasien skizofrenia di indonesia. CDK-190. 39(2): 98-101.

Reverger, M. J., (2012).

Perbandingan Performa

Fungsi Pasien Skizofrenia

Yang Mendapat Terapi

Tunggal Dengan Terapi

Kombinasi Antipsikotika Di

Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

Rosenheck, R., Leslie, D., Keefe, R., McEvoy, J., Swartz, M., et, al Perkins, D., Stroup,S., Hsiao, J.K., Lieberman, J., (2006). CATIE Study Investigators Group.Barriers to employment for people with schizophrenia.

Am. J. Psychiatry: 163, 411– 417

Sadock, B. J., Sadock, V. A. & Ruiz. (2015). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 11th. Philadelphia: Wolters Kluwer.

Sadock, B.J, Sadock, V.A. (2003). Synopsis of Psychiatry. 9th ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.

Sample, D., Smyth, R. (2013). Oxford Handbook of Psychiatry,(3rd ed. United Kingdom: Oxford University Press. 174-175

Santosh, S., Roy, D. D. & Kundu, P. S. (2013). Psychopathology, Cognitive Function, and Social Function of Patient with Schizophrenia. East Asian Arch Psychiatry, 2(23), pp. 65-70.

Sontheimer, H. (2015). Disease Of The Nervous System. UK: Academic Press.


(5)

Stuart, G.W. dan Michele T Laraia, (2005). Principle & Practice of Psychiatric Nursing. St. Louis : Mosby Year Book.

Suharto. (2009). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT. Refika Aditama.

Sweileh, W. M., Ihbesheh, M. S., Jarar, I. S., Sawalha, A. F., Abu, Yaha A S, Zyoud S H, Morisky D E.(2012). Antipsychotic Medication Adherence And Satisfaction Among Palestinian People With Schizophrenia. US National Library of Medicine, 49-55.

Tianli, L., Xinming, S., Gong, C., Angela, D. P., & Xiaoying Z. (2014). Prevalence Of Schizophrenia Disability and Associated Mortality Among Chinese Men and Women. Psychiatry Research 220: 185.

Umar, Husein. (2001). Riset Sumberdaya Manusia dalam Organisasi. Gramedia Pustaka Utama, 2001, ISBN: 979-605-862-6

Weiden, P.J., Kozma, C., Grogg, A., Locklear, J., 2004. Partial compliance and risk of rehospitalization among California medicaid patients with schizophrenia. Psychiatr. Serv. 55, 886–891.

Weinberger, D, R., & Harrison, P. Schizophrenia. UK: Blackwell Publishing

WHO. (2003). Adherence To Long-Term Therapies. Switzerland: WHO Library Cataloguing. Wiramihardja, S.A. (2005).

Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : PT. Refika Aditama.

Xia, J., Merinder, L, B., & Belgamwar, M, R. (2011). Psychoeducation for


(6)

schizophrenia. Cochrane Database Sys Rev: (6): CD00283

Yoga, I.S. (2011). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Pasien Minum Obat Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.