HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA

(1)

DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana

Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : ELSA OKTAVIA

20120310097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

DENGAN GEJALA KLINIS PASIEN SKIZOFRENIA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana

Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : ELSA OKTAVIA

20120310097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

iii

NIM : 20120310097

Program Studi : S1 Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya tulis saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta,24 Juni 2016 Yang membuat pernyataan


(4)

iv

Ilmiah yang dengan judul : “hubungan kepatuhan minum obat dengan gejala

klinis skizofrenia”. Karya Tulis Ilmiah ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk mendapat gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universuitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dalam penyusunan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini penulis menyadari banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :

1. dr. H. Ardi Pramono,Sp.An,M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. dr. Warih Andan Puspitosari,M.Sc. Sp.Kj., selaku pembimbing karya tulis

ilmiah, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan,pengarahan dengan penuh kesabaran dan memberikan masukan untuk perbaikan serta selalu memberikan motivasi dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Ida Rochmawati, Sp.Kj., selaku penguji yang telah memberikan masukan yang membangun selama proses penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

4. Seluruh staf dan karyawan 8 Puskesmas Yogyakarta yang telah membantu proses penelitian.

5. Para kader kesehatan yang telah membantu proses penelitian

6. Sahabat-sahabat masa kuliah yang selalu memberi support Aziz, Firda, Arnis, Hilmi, Rosi, Satrio, Nadya, Saufi, Akbar, Aswin, group pengajian serta rekan-rekan angkatan 2012 Pendidikan Dokter UMY.

7. Sahabat-sahabat terdekat Intan,Rizka,Irwan,Lani,Risa yang selalu memberi support dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini.

8. Penderita gangguan jiwa di wilayah Yogyakarta yang telah terlibat sebagai responden dalam penelitian ini.


(5)

v

10.Kakak-kakakku tercinta Panji Pratama,Githa Julivia,Heli Hernaningsih dan Dian Permana yang senantiasa memberi semangat dan doa-doa.

11.Semua pihak yang tidak bisa peneliti jelaskan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini

Yogyakarta, 24 Juni 2016


(6)

vi

HALAMAN PENGESAHAN KTI ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. MANFAAT PENELITIAN ... 5

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Skizofrenia ... 8

2. Kepatuhan Minum Obat ... 22

B. Kerangka Konsep ... 31

C. Hipotesis ... 31

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain penelitian ... 32

B. Populasi dan Sampel ... 32

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

D. Variabel penelitian ... 34

E. Definisi Operasional... 34


(7)

vii

A. Hasil Penelitian ... 42

1. Gambaran Umum dan Karakteristik Responden Penelitian... 42

2. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia ... 44

3. Gejala Klinis pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS ... 44

4. Analisis Uji Statistik Korelasi ... 45

B. Pembahasan ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. Kesimpulan ... 52

B. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN


(8)

viii

Tabel 3. Karakteristik Pasien Skizofrenia di 8 Puskesmas Provinsi DIY ... 43

Tabel 4. Gambaran Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia ... 44

Tabel 5. Distribusi Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS ... 44


(9)

(10)

x

Lampiran 3. Surat Persetujuan Untuk Menjadi Responden Lampiran 4. Panss Versi Bahasa Indonesia


(11)

(12)

xi

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia. Kepatuhan minum obat menyebabkan terjadinya penurunan gejala klinis pada pasien skziofrenia. Tingkat kepatuhan minum obat yang baik dapat mengurangi kekambuhan pasien skizofrenia dan penurunan gejala klinis pasien skizofrenia.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien skizofrenia di Komunitas

Metode : Penelitian ini menggunakan metode observational analitik dengan

menggunakan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan dari bulan

Mei-Juni 2016 di 8 Puskesmas Provinsi DIY yaitu Puskesmas Wates, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Godean Sleman , Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton , Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen. Subjek penelitian adalah pasien skizofrenia rawat jalan yang berada di wilayah 8 puskesmas tersebut. Jumlah subjek penelitian ini sebesar 69 pasien skizofrenia di Provinsi DIY. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) dan kuesioner MMAS ( Morisky Modification Adherence Scale).

Hasil : Hasil uji korelasi analitik dengan menggunakan Spearman, didapatkan hasil tidak ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis skizofrenia dengan menggunakan uji Spearman mendapat nilai p 0,141

Kesimpulan : dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien skzofrenia dimana nilai p= 0,141


(13)

xii

Schizophrenia is a setlling serious neurobiological brain disease, characterized by abnormal cognitive, perceptual, and affective. This disease is chronic and require long-term treatment. Various factors can affect medication adherence of schizophrenic patients. The adherence leads to a decrease in clinical symptoms in skizophrenic patients. The good level of medication adherence can reduce the recurrence of schizophrenic patients and decrease the patient's clinical symptoms.This study aims to determine the relationship between medication adherence with clinical symptoms of patients with schizophrenia in the community.

Methods

This study used observational analytic with cross sectional design. This study was conducted from May-June 2016 in eight health centers, namely Puskesmas Wates Yogyakarta, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Sleman Godean, Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton, Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen. Subjects were patients with schizophrenia outpatients who were in the region of 8 health centers. The number of subjects of this study is 69 patients with schizophrenia in the D.I.Yogyakarta Province. This study used questionnaires PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) and MMAS questionnaires (Morisky Modification adherence Scale).

Results

The results of the analytical test by using Spearman correlation, showed no association between medication adherence with clinical symptoms of schizophrenia using Spearman's test got p value 0.141.

Conclusion

There is no relationship between medication adherence with clinical symptoms of skzofrenia patients where the value of p = 0.141.


(14)

1

Skizofrenia adalah kelainan psikiatri yang meliputi 4 hal, yaitu persepsi, pikiran, afek, dan prilaku. Penyakit ini biasanya dimulai sebelum usia 25 tahun dan akan bertahan seumur hidup dan tidak pandang strata dalam menyerang, baik pasien maupun keluarga akan menderita karena penyakit ini (Sadock & Sadock, 2007).

Skizofrenia adalah penyakit otak yang menyebabkan seseorang menjadi disfungsional secara fisiologis untuk dirinya sendiri maupun interaksi secara sosial. Berusaha untuk sembuh dan mengobati penyakit ini merupakan tindakan yang dianjurkan dalam Islam.Bila dikaji secara mendalam, maka sesungguhnya dalam agama Islam banyak ayat maupun hadist yang memberikan petunjuk agar kita tetap berserah diri kepada Allah Swt dalam menanggapi cobaan salah satunya penyakit gangguan jiwa. Contohnya sebagai berikut :

تْنك دْنع يبّنلا ّ ص ل هْي ع، ّ س ت ء ج ، ا رْع أْا ل ق ف: ي لْ س ر،ل؟ ا د ت ن أ ل ق ف: ْ ع ن

ي د بع،ل،اْ ا د ت ّنإ ف ل ّز ع ّل ج ْ ل ْع ض ي ءا د ّلإ ع ض ه ل ء فش رْي غ ءا د دحا . ا ل ق: ؟ ه ل ق:

ر ْلا

Artinya :”Usamah bin Syarik berkata: Di waktu saya beserta Nabi Muhammad SAW,datanglah beberapa orang badui, lalu mereka bertanya, “Ya Rasullulah,apakah kita mesti berobat?”.” Ya, wahai hamba Allah, berobatlah engkau,karena Allah tidak mengadakan penyakit, melainkan ia adakan obatnya,kecuali satu penyakit”. Tanya mereka:” Penyakit apakah itu?”Jawabbeliau:”Tua”(HR. Ahmad).


(15)

Jadi jelaslah bahwa Allah SWT menurunkan penyakit beserta dengan obatnya.Oleh karena itu manusia hendaklah berikhtiar dan bersabar dalam menyembuhkan penyakitnya.

Kira-kira 1% dari jumlah seluruh penduduk dunia mengidap penyakit skizofrenia, bahkan lebih dari 2 juta orang Amerika mengidap penyakit ini.Prevalensi untuk orang dengan skizofrenia adalah sekitar 1,1% dari populasi di atas usia 18 di U.S (National Institute of Mental Health, 2002).

Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa, maka diperkirakan sekitar 2.375.564 orang menderita skizofrenia (Attayaya, 2011).

Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyatakan bahwa secara Nasional terdapat 0,17 % penduduk Indonesia yang mengalami Gangguan Mental Berat (Skizofrenia) atau secara absolute terdapat 400 ribu jiwa lebih penduduk Indonesia.Selain itu menunjukkan bahwa ada 12 Provinsi yang mempunyai prevalensi gangguan jiwa berat melebihi angka Nasional. Dilihat menurut provinsi, prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu sekitar 3 dari setiap 1.000 orang penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat.

Salah satu teori yang menyebabkan gejala skizofrenia adalah kelainan dari regulasi dopamin, sehingga pengobatan yang bersifat antagonis dopamin akan menurunkan gejala pasien (Sadock & Sadock ,2010). Gejala pada pasien skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu gejala positif,negatif dan kognitig. Gejala positif seperti halusinasi, waham, delusi,ilusi. Gejala negatif seperti apatis,


(16)

penarikan diri dari pergaulan sosial, gangguan atensi. ( Maramis, 2005 ). Gejala kognitif seperti menurunnya kemampuan dalam berpikir (Sinaga,2007). Teori ini digunkan untuk memudahkan keluarga mengenal gejala-gejala yang dialami pasien skizofrenia, sehingga dapat melakukan penanganan (Benhard,2007).

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang bersifat menahun yangmemerlukan waktu yang cukup lama untuk proses penyembuhan. Terapi pada pasien skizofrenia meliputi terapi psikofarmaka(antipsikotik), psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius (Kusuma,2007). Kepatuhan minum obat merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan terapi bagi penderita gangguan jiwa dan menjadi masalah penting dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan jiwa. Kepatuhan adalah besarnya kemauan penderita untuk mengikuti instruksi (Katzung,1998).

Hiroyo et.al, (2015) menyebutkan bahwa dari data pasien skizofrenia didapatkan hubungan antara kepatuhan minum obat dengan penurunan gejala klinis serta frekuensi rawat inap ulang. Fakhruddin (2012) menjelaskan sekitar 25% pasien skizofrenia, psikosis maupun gangguan mental berat gagal dalam mematuhi program pengobatan. Kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia dapat dipengaruhi oleh efikasi minum obat, dukungan terhadap pasien efek samping obat dan sikap pasien.

Beberapa faktor berkontribusi terhadap peningkatan risiko kekambuhan skizofrenia. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa ketidakpatuhan dengan obat-obatan dapat menimbulkan risiko untuk kambuh di episode


(17)

pertama psikosis. Dalam prospektif 5 tahun tindak lanjut dari pasien psikosis episode pertama ditemukan bahwa yang paling umum faktor risiko adalah antipsikotik putus obat. Komponen kunci dari pengelolaan skizofrenia adalah meningkatkan kepatuhan pengobatan dan pencegahan terjadinya kekambuhan pada skizofrenia. Studi terbaru mengenai kekambuhan pada skizofrenia dihasilkan pengamatan yaitu angka kambuh sangat tinggi setelah penghentian pengobatan, bahkan setelah satu episode psikosis. (Emsley, R., Chiliza, B., Asmal, L., & Harvey, B. H.,2013).

Penelitian yang dilakukan ole Kandar pada bulan Oktober 2011 mengenai penyebab kekambuhan gejala pasien skizofrenia yang dirawat ulang di RSJD Dr. AGH Semarang, menunjukan ada peningkatan angka kekambuhan pasien skizofrenia karena ketidakpatuhan minum obat. Pada tahun 2011 ada 63 pasien skizofrenia yang dirawat ulang kurang dari 1 bulan setelah perawatan dari Rumah Sakit. Alasan yang mendasari 184 pasien yang dirawat ulang sebagai berikut : 24 persen responden beranggapan setelah minum obat tidak bisa melakukan aktivitas, 7 persen responden merasa tidak tahu tentang obat, 57 persen responden merasa sudah sembuh, 8 persen responden takut ketergantungan dengan obat dan 4 persen responden mengaku kurang memiliki dukungan dari keluarga.

Dari pengamatan tersebut bisa disimpulkan bahwa apabila pasien tidak patuh terhadap pengobatan bisa mempengaruhi gejala klinis pada pasien skizofrenia padahal kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia merupakan salah satu fokus untuk menurunkan gejala klinis pasien skizofrenia.


(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian adalah :

Apakah ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pada pasien skizofrenia ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisa hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pada pasien skizofrenia.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kepatuhan minum obat pada penderita skizofrenia. b. Untuk mengetahui gejala-gejala klinis pada penderita skizofrenia.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis

a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kepatuhan minum obat dan gejala klinis penderita skizofrenia.

b. Untuk memberikan masukan atau pertimbangan bagi penelitian skizofrenia selanjutnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti

1) Untuk menambah ilmu pengetahuan peneliti tentang kepatuhan minum obatpenderita skizofrenia.


(19)

2) Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan menemukan solusi untuk permasalahan-permasalahan kesehatan, terutama di bidang psikiatri.

b. Bagi keluarga

Untuk memberikan pengetahuan bahwa peran keluarga sangat diperlukan sehingga keluarga akan memberikan perhatian yang lebihlagi kepada penderita terutama kepatuhan dalam minum obat. c. Bagi wilayah kerja/ puskesmas

Untuk masukan perencanaan, pengembangan dan peningkatan mutu pelayanan perawatan penderita skizofrenia.


(20)

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Peneliti Judul Subjek Instrumen Hasil

Natalia Purnamasari (2013)

“Hubungan pengetahuan

keluarga dengan kepatuhan minum obat di RS Prof.V.L Rumbasyang

Pasien yang didiagnosis skizofrenia

Kuesioner Pengetahuan

Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat

Analisa nilai p = 0,001 untuk

hubungan pengetahuan dengan kepatuhan Devy Chartin

(2008) “Hubungan kepatuhan minum obat dengan kualitas hidup penderita skizofrenia di wilayah kerja puskesmas Kasihan

II Bantul

Yogyakarta”.

Pasien yang didiagnosis skizofrenia

Kuesioner

kepatuhan minum obat dan kualitas hidup Tidak terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kualitas hidup Mega Iriani

(2009) “Faktor berpengaruh yang pada kekambuhan pasien skizofrenia di RSJ Ghrasia

Pasien yang didiagnosis skizofrenia

Kuesioner frekuensi rawat inap dan faktor yang mempengaruhi kekambuhan

Nilai p : 0,047. Terdapat hubungan semua faktor dengan kekambuhan


(21)

8 1. Skizofrenia

a. Definisi

Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah (Rudyanto, 2007).

Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiological yang serius dan menetap, ditandai dengan kognitif dan persepsi serta afek yang tidak wajar (Laraia, 2009). Penyakit ini bersifat kronik dan melalui 3 fase, yaitu fase prodromal, fase aktif, dan fase residual. Fase prodromal dimulai dengan perubahan perasaan dan mood, fase aktif biasanya disebut dengan psikosis yaitu munculnya gejala halusinasi, delusi, dan ilusi (Sadock & Sadock, 2010)

Skizofrenia bisa menyerang siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, ras, maupun tingkat sosial ekonomi (Maramis,2005). Skizofrenia dikarakteristikan dengan psikosis, halusinasi,delusi, disorganisasi pembicaraan dan perilaku, afek datar, penurunan kognitif, ketidakmampuan bekerja atau kegiatan dan hubungan sosial yang memburuk (Bustillo,2008)

Menurut PPDGJ III ada 6 macam skizofrenia yaitu skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak


(22)

terinci(undifferentiated), skizofrenia simpleks, skizofrenia residual.

Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sample secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan tipe skizofrenia.

b. Epidemiologi

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV Text Revised (DSM-IV-TR) insidens tahunan skizofrenia

berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografis. Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen; konsisten dengan rentang tersebut, penelitian Epidemiological Cachtment Area (ECA)

yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH)

melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,025 sampai 0,5 persen populasi total diobati untuk pasien skizofrenia dalam 1 tahun. Walaupun duapertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari pasien skizofrenia mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit.(Sadock & Sadock, 2010)

c. Etiologi

Menurut Maramis (2009)teori mengenai skizofrenia yang saat ini banyak dianut adalah sebagai berikut :

1) Genetik

Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga


(23)

penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8 %; bagi saudara kandung 7-15%;bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7-16%;bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40-68%;bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%;bagi kembar satu telur(monozigot) 61-86%.

2) Neurokimia

a) Hipotesis dopamin

Skizofrenia disebabkan oleh neuroaktifitas pada jaras dopamin mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa amfetamin yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin dapat menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat psikotik(terutama obat tipe tipikal/klasik) bekerja dengan cara memblok reseptor dopamin terutama reseptor D2. Keterlibatan neurotransmitter lainnya seperti serotonin, noradrenalin, GABA, glutamat dan neuropeptid lain masih terus diteliti oleh para ahli.

b) Hipotesis perkembangan saraf

Studi autopsi dan pencitraan otak memperlihatkan abnormalitas struktur dan morfologi otak penderita skizofrenia antara lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil 6% daripada otak normal dan ukuran anterior-posterior yang 4% lebih pendek;pembesaran ventrikel otak non spesifik;gangguan


(24)

metabolisme di daerah frontal dan temporal; dan kelainan susunan seluler pada struktur saraf di beberapa daerah kortex dan subkortex tanpa adanya gliosis yang menandakan kelainan tersebut terjadi pada saat perkembangan. Studi neuropsikologis mengungkapkan defisit di bidang atensi, pemilihan konseptual, fungsi eksekutif dan memori pada penderita skizofrenia.

Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan saraf yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi pada tahap awal kehidupan, mungkin sekali akibat pengaruh genetik dan dimodifikasi oleh faktor maturasi dan lingkungan.

d. Manifestasi Klinis

Secara general gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi 3 yaitu gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif ( Maramis, 2005 & Sinaga,2007) yaitu :

1) Gejala positif

Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang datang. Klien skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul yaitu klien merasakan ada suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan


(25)

menyejukan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri.

Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya penderita skizofrenia, lampu traffic di jalan raya yang berwarna merah, kuning, hijau, dianggap sebagai suatu isyaratdari luar angkasa. Beberapa penderita skizofrenia berubah menjadi paranoid, mereka selalu merasa sedang di amat-amati, diikuti atau hendak diserang.

Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana klien skizofrenia tidak mampu mengatur pikirannya. Kebanyakan klien tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan logika. Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya, kadang penderita skizofrenia tertawa atau berbicara sendiri dengan keras tanpa mempedulikan sekelilingnya.

Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa memahami siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu manusia, juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana dia berada dan sebagainya.


(26)

2) Gejala negatif

Klien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis yaitu kehilangan minat dalam hidup yang membuat klien menjadi orang pemalas. Karena klien hanya memiliki minat sedikit, mereka tidak bisa melakukan hal-hal lain selain tidur dan makan. Perasaan yang tumpul membuat emosinya menjadi datar. Klien skizofrenia tidak memiliki ekspresi yang baik dari raut muka maupun gerakan tangannya, seakan-akan dia tidak memiliki emosi apapun. Mereka mungkin bisa menerima perhatian dari orang lain tapi tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka.

Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan berharap, selalu menjadi bagian dari hidup klien skizofrenia. Mereka tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina hubungan relasi dengan orang lain. Depresi yang berkelanjutan akan membuat klien menarik diri dari lingkungannya dan merasa aman bila sendirian. Dalam beberapa kasus skizofrenia sering menyerang pada usia antara 15-30 tahun dan kebanyakan menyerang saat usia 40 tahun ke atas.

3) Gejala kognitif ; yaitu permasalahan yang berhubungan dengan perhatian, tipe-tipe ingatan tertentu dan fungsi yang memungkinkan kita untuk merencanakan mengorganisasikan sesuatu.


(27)

e. Kriteria Diagnosis Skizofrenia

Sebelum menetapkan diagnosis kepada pasien skizofrenia, seorang dokter harus mengetahui dan memahami gejala-gejala khas yang dialami oleh pasien skizofrenia..

Kriteria diagnostik di Indonesia menurut PPDGJ-III yang menuliskan bahwa walaupun tidak ada gejala-gejala patognomonik khusus, dalam praktek dan manfaatnya membagi gejala-gejala tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering terdapat secara bersama-sama yaitu:

1) Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitas berbeda atau thought insertion or withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam

pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu diluar dirinya (withdrawal) dan tought broadcasting yaitu

isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain mengetahuinya. 2) Waham atau Delusinasi

a) Delusion of control yaitu waham tentang dirinya sendiri

dikendalilkan oleh suatu kekuatan tertentu.

b) Delusion of influen yaitu waham tentang dirinya sendiri


(28)

c) Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh,

pikiran maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar.

d) Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

3) Halusinasi Auditorik

a) Suara halusinasi yang berkomentar terus menerus terhadap perilaku pasien.

b) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (dia antara berbagai suara yang berbicara).

c) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah bagian tubuh. d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya dianggap tidak wajar dan mustahil seperti waham bisa mengendalikan cuaca. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas.

e) Halusinasi yang menetap dari setiap panca indera baik disertai waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas atau ide-ide berlebihan yang menetap atau terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan secara terus menerus.


(29)

f) Arus fikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan

(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.

g) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh, gelisah (excitement) sikap tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negattivisme, mutisme dan stupor.

h) Gejala-gejala negative seperti apatis, bicara jarang serta respon emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja social, tetapi bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa

aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara social.

f. Tipe-Tipe Skizofrenia

Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) tipe-tipe skizofrenia dibagi menjadi 5 yaitu :


(30)

1) Tipe paranoid

Suatu tipe skizofrenia yang memiliki kriteria yaitu preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang menonjol dan tidak ada dari berikut ini yang menonjol: bicara terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi atau katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.

2) Tipe Terdisorganisasi

Suatu tipe skizofrenia yanng memiliki kriteria semua yang berikut ini menonjol: bicara terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi dan afek datar atau tidak sesuai serta tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik.

3) Tipe Katatonik

Suatu tipe skizofrenia dimana gambaran klinis didominasi oleh sekurangnya dua dan hal-hal berikut :

a) Imobilisasi motorik seperti yang ditunjukan oleh katalepsi (termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor.

b) Aktivitas motorik yang berlebihan (yang tampaknya tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal).

c) Negativisme yang ekstrem atau mutisme. d) Ekolalia atau ekopraksia.


(31)

4) Tipe Tidak Tergolongkan

Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi kriteria A tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik, terdisorganisasi, atau paranoid.

5) Tipe Residual

Suatu tipe skizofrenia dimana kriteria berikut ini terpenuhi: tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol serta terdapat terus bukti-bukti gangguan seperti yang ditunjukan oleh gejala negatif dua atau lebih gejala tertulis dalam kriteria A untuk skizofrenia yang lebih lemah (misalnya keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim)

g. Terapi Pasien Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis sehingga untuk pengobatannya memerlukan waktu yang panjang. Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada pasien skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dengan jangka waktu yang lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi; terapi keluarga, terapi kelompok, terapi individu, rehabilitasi psikiatri, latihan keterampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari, 2001)


(32)

1) Farmakoterapi

Pengobatan untuk penderita skizofrenia menggunakan obat anti psikotik. Obat antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok atipikal dan kelompok tipikal (Maslim, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi efek terapeutik obat ini meliputi : usia, perilaku penyalahgunaan zat, kondisi medis, obat penginduksi enzim, obat yang mengubah clearence dan perubahan ikatan dalam protein (Benhard,2007)

a) Obat golongan FGA atau tipikal

Obat ini bekerja menghambat jalur dopamin. Neuroleptik yang termasuk golongan ini adalah chlorpomazin, haloperidol, loxapine, dan prolixin. Efek samping golongan ini adalah mulut kering, konstipasi, hipotensi ortostatik, impotensi, kegagalan ejakulasi, Parkinson sindrom, dystonia, amenorrhea, infertilitas dan kegemukan. Clorpomazin memiliki efek antipsikotik yang lemah dan efek sedatif yang kuat. Haloperidol digunakan untuk skizofrenia yang kronis dan memiliki efek antipsikotik yang kuat dan efek sedatif yang lemah. Golongan obat ini lebih efektif mengatasi gejala positif dari skizofrenia namun kurang efektif untuk gejala negatif. (Saddock and saddock, 2003).


(33)

b) Obat golongan SGA atau atipikal

Obat ini adalah antipsikotik generasi kedua yang digunakan untuk mengobati kondisi jiwa. Pada gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan inkoherensi, dan negatif seperti hilangnya kemauan dan afek serta bicara yang sangat sedikit dapat diatasi dengan lebih baik pada pemberian SGA. Untuk gejala lain seperti penurunan interaksi sosial, ide bunuh diri dan defisit kognitif dapat diatasi lebih baik pula dengan golongan SGA (Pantelis & Lambert, 2003). Hanya saja harga obat-obat yang termasuk dalam SGA jauh lebih mahal dibanding FGA sehingga terkesan keuntungannya hanya sedikit jika dibandingkan dengan harga yang harus dibayar (Leucht S, 2009). Obat ini cenderung untuk memblokir reseptor dalam jalur dopamin otak dan menghambat reseptor serotonin. Antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal yang efeknya lebih minimal kecenderungan untuk menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien yang meliputi penyakit gerakan parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh yang abnormal bisa menjadi permanen obat bahkan setelah antipsikotik dihentikan. Beberapa contoh obat golongan ini adalah Clozapine,

Risperidon, Amisulpride. Clozapine umumnya


(34)

antipsikotik dari setidaknya dua kelas antipsikotik yang berbeda (Timothy J R Lambert and David J Castle, 2003). Selain itu ada juga Risperidon yaitu obat yang paling banyak diresepkan di banyak negara, dan dosis yang dianjurkan adalah <6 mg / hari. Obat ini memiliki efek samping ekstrapiramidal syndrom yang rendah. (Timothy J R Lambert and David J Castle, 2003). Obat ini merupakan selektif dopamin antagonis yang mengakibatkan peningkatan dopamin transmisi dan memperbaiki gejala negatif skizofrenia. (eMC, 2011).

Terapi skizofrenia secara farmakologi berdasarkan onset dibagi menjadi 2 fase, yaitu (Sadock & Sadock, 2010):

a) Fase Psikosis Akut

Pada fase ini pengobatan dengan menggunakan anti psikotik dan benzodiazepine akan cepat menenangkan pasien yang kebanyakan mengalami agitasi akibat halusinasi dan delusi. Anti psikotik akan bekerja lebih cepat melalui injeksi intramuskuler (Sadock & Sadock, 2007). Obat antipsikotik yang dapat menyebabkan akinesia dan gangguan traktus ekstrapiramidalis antara lain haloperidol dan flupenazine. Sedangkan golongan antipsikotik atipikal seperti olanzapine dan risperidone tidak menyebabkan gangguan ekstrapiramidal (Sadock & Sadock, 2007).


(35)

b) Fase Maintenance dan Stabilisasi

Pada fase ini tujuan pengobatan adalah mencegah relaps dengan terus menggunakan obat-obatan karena jika obat dihentikan maka risiko terjadi relaps meningkat hingga 72 % pada satu tahun pertama, sehingga disarankan agar pengobatan dilakukan minimal selama 5 tahun (Sadock & Sadock, 2007). 2) Non Farmakoterapi

Beberapa jenis pengobatan yang tidak menggunakan obat-obatan yaitu:

a) ECT (Electro Convulsive Therapy) Dikatakan penggunaan

ECT dengan pengobatan entipsikotik akan lebih efektif (Sadock & Sadock, 2007).

b) Terapi Berorientasi Keluarga

c) Karena pasien dikembalikan dalam keadaan remiten, maka penting untuk mengedukasi keluarga bagaimana cara mengatasi masalah-masalah yang dapat timbul dari pasien. (Sadock & Sadock, 2007)

2. Kepatuhan Minum Obat

a. Definisi

Menurut WHO (2003), kepatuhan dibagi menjadi adherence dan compliance. Adherence adalah sejauh mana perilaku pasien minum

obat, mengikuti diet, dan/atau melakukan perubahan pola hidup, sesuai dengan saran dari tenaga medis. Sementara compliance lebih bersifat


(36)

satu arah, yaitu dari dokter ke pasien padahal komunikasi penting untuk mengefektifkan pengobatan. Definisi compliance saat ini telah jarang untuk digunakan lagi.

Kepatuhan pengobatan berhubungan dengan perilaku pengobatan pasien dan secara khusus mengacu pada sejauh mana pasien mengikuti rencana pengobatan yang telah disepakati bersama. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang diketahui terkait dengan hasil pengobatan yang lebih buruk khususnya dalam pengelolaan penyakit kronis (Menna Alene et al., 2012).

Keluarga sebagai orang yang dekat dengan pasien harus mengetahui prinsip 5 benar dalam minum obat yaitu pasien yang benar, obat yang benar, dosis yang benar, cara/rute pemberian yang benar, dan waktu pemberian obat yang benar dimana kepatuhan terjadi bila aturan pakai dalam obat yang diresepkan serta pemberiannya di rumah sakit diikuti dengan benar. Ini sangat penting terutama pada penyakit- penyakit menahun termasuk salah satunya adalah penyakit gangguan jiwa. Faktor pendukung pada klien, adanya keterlibatan keluarga sebagai pengawas minum obat pada keluarga dengan klien dalam kepatuhan pengobatan (Butar Butar, 2011).

Efektivitas pengobatan salah satunya tergantung pada kepatuhan pasien terhadap regimen terapi. Pasien, penyedia layanan kesehatan, dan sistem perawatan kesehatan memiliki peran untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan. Pendekatan sistematis yang dapat


(37)

dilembagakan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan adalah sebagai berikut:

1) Tingkat resep:

Memperkenalkan pendekatan kolaboratif dengan pasien pada tingkat resep. Bila mungkin, melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan tentang obat mereka sehingga mereka memiliki rasa kepemilikan dan mereka adalah mitra dalam rencana pengobatan. Selain itu dengan menyederhanakan penggunaan obat yaitu menggunakan rejimen sederhana yang paling mungkin berdasarkan karakteristik pasien.

2) Berkomunikasi dengan pasien:

Jelaskan informasi kunci ketika meresepkan / pengeluaran obat mengenai informasi penting tentang obat (apa, mengapa, kapan, bagaimana, dan berapa lama). Selain itu menginformasikan efek samping yang umum dan yang pasien harus selalu tahu sebab pasien akan lebih khawatir dan menyebabkan ketidakpatuhan minum obat karena efek samping yang tidak memperingatkan kepada mereka terlebih dahulu oleh para profesional perawatan kesehatan. Dokter maupun para profesional kesehatan lainnya bisa menyarankan pasien untuk menyediakan kalender obat atau jadwal yang menentukan waktu untuk mengambil obat, kartu obat, grafik obat atau obat lembar informasi yang terkait.


(38)

3) Follow up :

Menetapkan jadwal yang tepat untuk menindaklanjuti pengobatan. Dokter dan apoteker bisa memeriksa efektivitas kepatuhan minum obat sebab sangat penting bagi penyedia layanan kesehatan untuk mengidentifikasi penyebab ketidakkepatuhan pasien untuk menentukan strategi intervensi yang tepat.. Selain itu bisa mengidentifikasi kesulitan dan kendala yang berkaitan dengan kepatuhan. Keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan sangat penting dalam meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.

Pendorong utama ketidakpatuhan termasuk kurangnya wawasan, keyakinan dalam pengobatan dan penyalahgunaan zat. Konsekuensi utama dari ketidakpatuhan termasuk risiko yang lebih besar kambuh, rawat inap dan bunuh diri. Faktor positif terkait dengan kepatuhan adalah hubungan terapeutik yang baik dengan dokter dan persepsi manfaat obat. (Jose, 2011).

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat

Berdasarkan sebuah penelitian oleh Wayne S. Fenton, Crystal R. Blyler dan Robert K Heinssen (1997), ada beberapa faktor yang menjadi faktor penentu kepatuhan minum obat pasien :

1) Faktor pasien

Pada pasien dengan gejala waham kebesaran atau yang mengalami gejala ilusi dan halusinasi yang sudah sangat parah


(39)

atau keduanya. Insight yang menurun, atau semakin pasien tidak sadar bahwa dirinya sakit, admisi involuntary akan semakin mempermudah kejadian ketidakpatuhan pada pengobatan. Komorbiditas dengan penyalahgunaan obat dan alkohol akan meningkatkan kejadian kambuh hingga 13% dan hal ini sering terjadi pada pasien skizofrenia yang baru keluar dari rumah sakit karena tingkat stress yang tinggi.

2) Faktor obat

Pengobatan skizofrenia bersifat antagonis terhadap dopamin sehingga akan menurunkan kepekaan reseptor terhadap dopamin ataupun langsung menurunkan jumlah dopamin. Efek pemakaian jangka panjangnya adalah timbulnya mood disforia. Selain itu pengobatan lain yang lebih sering menimbulkan efek samping adalah haloperidol dengan efek sedasi dan antikolinergiknya yang dapat menyebabkan tremor patologis dan tardive dyskinesia.

3) Faktor lingkungan

Pasien skizofrenia yang dirawat di rumah oleh keluarga yang tidak begitu peduli terhadap pengobatan, atau keluarga jauh akan lebih sering mengalami kekambuhan. Oleh karena itu, perilaku positif akan cenderung meningkatkan compliance. Faktor

hambatan praktikal, seperti tidak adanya uang ataupun kondisi rumah yang jauh dengan tempat kontrol juga dapat menjadi faktor penentu keberhasilan pengobatan.


(40)

4) Faktor terkait klinisi

Hal-hal yang terkait dengan klinisi yang dapat menjadi faktor ketidakpatuhan pasien pada pengobatan adalah faktor rumah sakit yang memerlukan birokrasi panjang dan pelayanan yang tidak baik. Selain itu faktor edukasi keluarga yang kurang oleh dokter termasuk seperti tidak menunjukkan emosi yang berlebihan pada pasien. Hal ini mencakup apa-apa saja yang perlu dihindari pada pasien skizofrenia dan pengobatan pasien,bahkan sebuah studi yang membahas terkait pelatihan pengobatan mencakup jenis, efek samping,kegunaan dan menegosiasikan personal treatment dengan dokter akan meningkatkan compliance (Fenton et al., 1997).

Ketidakpatuhan dalam meminum obat akan meningkatkan risiko relaps hingga 92%. Harus dikatakan bahwa pasien yang teratur minum obat selama 1tahun pun tetap dapat jatuh dalam kondisi relaps, walaupun relaps baru bisa terjadi setelah putus obat selama beberapa minggu hingga bulan, hanya saja jika pasien patuh terhadap pengobatan maka waktu remisi atau bebas gejala dapat bertahan lebih lama dan gejala relaps tidak akan seburuk episode pertama skizofrenia (Fenton et al., 1997).

Pengobatan memang tidak dikatakan menyembuhkan skizofrenia tetapi menjaga kualitas hidup pasien tetap baik melalui pengurangan intensitas dan frekuensi relaps (National Institute of Mental Health, 2002). Pada banyak penelitian dibuktikan bahwa


(41)

bahkan pada pasien dengan ketidakteraturan pengobatan plasebo pun angka relaps sama dengan pasien yang meminum obat antipsikotik. Hal ini semakin mempertegas bahwa keteraturan pengobatan memiliki suatu efek sugestif sehingga menurunkan angka relaps. Selain itu dapat dikatakan kondisi penyakit dan kehidupan pasien yang memiliki diversitas yang tinggi turut pula berkontribusi terhadap ketidakpatuhan dalam meminum obat (Fenton et al., 1997). Beberapa hal lain yang dikatakan dapat mempengaruhi keteraturan minum obat adalah adanya terapi modalitas yang mensupport farmakoterapi, terapi intervensi untuk menjaga kepatuhan seperti konseling keluarga dan pasien, dan hubungan terapetik yang baik (Fenton et al., 1997)

Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada semua gangguan medis yang kronis. Salah satu penyakit kronis yang sering dijumpai yaitu skizofrenia. Ini merupakan tantangan khusus dalam skizofrenia karena asosiasi penyakit dengan isolasi sosial, stigma, dan penyalahgunaan zat komorbiditas, ditambah efek domain gejala pada kepatuhan, termasuk gejala positif dan negatif, kurangnya wawasan, depresi, dan gangguan kognitif. Ketidakpatuhan terletak pada spektrum, seringkali terselubung, dan diremehkan oleh dokter, tetapi mempengaruhi lebih dari sepertiga pasien dengan skizofrenia per tahun. Hal ini meningkatkan risiko


(42)

kekambuhan, rehospitalization, meningkatkan biaya rawat inap, dan menurunkan kualitas hidup (Peter et al.,2014).

c. Karakteristik skizofrenia yang mengalami ketidakpatuhan

Hasil penelitian Wardani (2009) menunjukan perilaku tidak patuh minum obat pada klien skizofrenia sangat beragam, seperti : menurunkan dosis, meningkatkan dosis, minum obat dengan dosis diluar pengawasan medis, menolak obat dan minum obat tidak tepat waktu. Perilaku ketidakpatuhan juga bisa dilihat dari perilaku pasien ketika membeli obat sendiri tanpa pengawasan.

d. Metode-metode untuk mengetahui kepatuhan minum obat pasien Kepatuhan minum obat bisa dideteksi dengan metode kualitatif melalui pengisian beberapa jenis kuisioner kepatuhan minum obat seperti Drug Inventory Attitude -10 (DAI-10) atau Medication Adherence Rating Scale (MARS), dan beberapa jenis yang lain (Kane, Kissling, Lambert, & Parellada, 2010). Cara untuk mendeteksi yang lain adalah dengan mengetahui dari pengakuan pasien sendiri, skrining urin dan saliva, pembaruan resep (kerutinan kontrol) dan jumlah pil yang diambil, atau skrining serum. Hanya saja hal ini memang sulit untuk dilakukan karena mungkin akan dipengaruhi pada kesalahan dalam dosis dan waktu pemberian, meminum obat yang seharusnya tidak boleh, dan kesalahan dalam pemberian resep (Fenton


(43)

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah salah satu

alat untuk mendeteksi ketidakpatuhan pasien dalam minum obat. Kuisioner dijawab dengan jawaban iya atau tidak pada nomor 1 hingga 7, pada nomor 8 jawaban berupa spektrum sering hingga tidak pernah. Kuisioner ini terdiri atas 8 pertanyaan terkait perilaku pasien terhadap pengobatannya. MMAS memiliki sensitifitas sebesar 93% dan spesifisitas sebesar 53% pada sebuah studi kepatuhan minum obat anti hipertensi (Donald E. Morisky, 2008). Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di negara palestina membuktikan bahwa kuisioner ini dapat digunakan untuk pasien skizofrenia. Hasil penelitian tersebut adalah lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum obat (Sweileh WM, 2012). Pada sebuah penelitian validitas dan reliabilitas dari MMAS pada pasien hipertensi didapatkan validitas p = 0.5 dan reliabilitas sebesar 0,83 (Donald E. Morisky, 2008)


(44)

B. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep

C. Hipotesis

Ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan gejala-gejala klinis pasien skizofrenia.

SKIZOFRENIA

VARIABEL BEBAS: KEPATUHAN MINUM OBAT

Usia

Jenis Kelamin Status pernikahan Pekejaan

Pendidikan

Sub diagnosis medis Tingkat Kepatuhan Minum obat

VARIABEL TERIKAT: GEJALA-GEJALA KLINIS PASIEN


(45)

32

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional, untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan

minum obat dan gejala klinis skizofrenia. Penelitian cross sectional mencakup semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan bersamaan dalam satu waktu.

B. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah semua penderita skizofrenia di wilayah Bantul Yogyakarta. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu sehingga mewakili populasinya (Sastroasmoro & Ismael, 2011). Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling. Setiap pasien

yang memenuhi kriteria inklusi dimasukan ke dalam penelitian. Kriteria inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini adalah : 1. Kriteria inklusi

Subjek dapat diikutsertakan dalam penelitian ini apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Pasien yang terdiagnosis sebagai penderita skizofrenia. b. Pasien skizofrenia pada fase maintenance.

c. Pasien skizofrenia bersedia menjadi responden penelitian.

d. Pasien skizofrenia yang kooperatif dan bersedia menjadi responden penelitian.


(46)

e. Pasien skizofrenia usia 18-60 tahun. 2. Kriteria ekslusi

Subjek tidak diikutsertakan dalam penelitian apabila : a. Penderita skizofrenia dengan kecacatan fisik bawaan. b. Penderita skizofrenia yang mengisi kuesioner tidak lengkap. c. Penderita skizofrenia dengan penyakit fisik berat.

Perkiraan besar sample dalam penelitian ini menggunakan rumus besar sampel untuk koefisien korelasi. Rumus yang digunakan adalah :

n = Zα + Zβ

0,51n (1 + r ) (1 – r ) Keterangan :

n = besar sampel

α = tingkat kemaknaan

r = perkiraan koefisien korelasi

z β = power

Pada penelitian perkiraan koefisien korelasi (r) adalah 0,5 karena peneliti belum menemukan sumber pustaka yang menyatakan besarnya koefisien korelasi antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis penderita skizofrenia. Tingkat kemaknaan α = 0.005 dan power= 0,90. Besar sampel berdasarkan rumus diatas adalah 38 (Sastroasmoro dan Ismail, 2006), sehingga minimal sampel yang dibutuhkan 38 orang.


(47)

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 8 Puskesmas Provinsi DIY yaitu Puskesmas Wates, Puskesmas Bambanglipura, Puskesmas Godean Sleman , Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Gendangsari, Puskesmas Kraton , Puskesmas Srandakan, Puskesmas Temon, Puskesmas Tempel, Puskesmas Playen. Pengambilan data penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juni 2016

D. Variabel penelitian

1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah gejala klinis penderita skizofrenia.

2. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah kepatuhan minum obat skizofrenia.

E. Definisi Operasional

Definisi Operasional dalam penelitian ini adalah : 1. Kepatuhan minum obat

a. Definisi

Kepatuhan minum obat adalah ketaatan akan derajat dimana penderita mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobati, dikatakan patuh apabila memenuhi 4 kriteria yaitu : dosis diminum sesuai yang dianjurkan, durasi waktu minum obat diantara dosis sesuai dengan yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai dengan yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat yang lain.


(48)

b. Alat ukur : kuisioner MMAS c. Skala : ordinal

d. Kategori : ya atau tidak dengan ditotalkan semua hasilnya 2. Gejala klinis pasien skizofrenia

a. Definisi

Gejala-gejala positif secara umum merupakan manifestasi yang lebih aktif dari perilaku abnormal atau eksis atau distorsi dari perilaku normal sedangkan gejala negatif merupakan defisit dalam perilaku abnormal, misalnya dalam hal pembicaraan dan motivasi

b. Alat ukur : kuisioner PANSS c. Skala : ordinal

d. Kategori : Sakit ringan = kurang lebih 61 , sakit sedang = kurang lebih 78, terlihat nyata sakit = kurang lebih 96, sakit berat = kurang lebih 118, sakit sangat berat = kurang lebih 147.

F. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan dalam penelitian ini adalah kuisioner. Kuisioner yang digunakan pada penelitian ini antara lain :

1. Kuesioner Data Pribadi

Kuesioner ini berisi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, status perkawinan, riwayar keluarga, faktor pencetus, onset usia penyakit, jenis antipsikotik, keteraturan dalam minum obat.


(49)

2. Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah salah satu alat untuk mendeteksi ketidakpatuhan pasien dalam minum obat. Kuesioner dijawab dengan jawaban iya atau tidak pada nomor 1 hingga 7, pada nomor 8 jawaban berupa spektrum sering hingga tidak pernah. Kuisioner ini terdiri atas 8 pertanyaan terkait perilaku pasien terhadap pengobatannya. MMAS memiliki sensitifitas sebesar 93% dan spesifisitas sebesar 53% pada sebuah studi kepatuhan minum obat anti hipertensi (Donald E. Morisky, 2008). Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di negara palestina membuktikan bahwa kuisioner ini dapat digunakan untuk pasien skizofrenia. Hasil penelitian tersebut adalah lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum obat (Sweileh WM, 2012). Pada sebuah penelitian validitas dan reliabilitas dari MMAS pada pasien hipertensi didapatkan validitas p = 0.5 dan reliabilitas sebesar 0,83 (Donald E. Morisky, 2008).

Pengukuran Morisky scale 8-items, untuk pertanyaan 1 sampai 7, kecuali nomor 8 jika menjawab tidak pernah/ jarang ( tidak sekalipun dalam satu minggu) bernilai 0, terkadang (tiga atau empat kali dalam satu minggu, biasanya ( lima atau enam kali dalam satu minggu) dan setiap saat bernilai 1. Pasien dengan skor total lebih dari dua dikatakan kepatuhan rendah, jika skor 1 atau 2 dikatakan sedang dan jika skor 0 dikatakan responden memiliki kepatuhan yang tinggi (Morisky,et al,.2008)


(50)

3. Kuesioner Positive and Negative Syndrome Scale ( PANSS )

Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) adalah instrumen yang telah diakui memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menilai gejala positif dan negatif skizofrenia. PANSS terdiri dari 33 butir pertanyaan yang masing-masing dinilai dalam skala 7 poin. Tujuh butir dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir dikelompokkan dalam skala negatif, enam belas butir menilai psikopatologi umum dan terdapat tiga butir tambahan yang menilai adanya resiko agresi. Skor PANSS masing-masing item sebagai berikut : 1 = tidak ada, 2 = minimal, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = agak berat, 6 = berat , 7 = sangat berat. Total semua skor masing-masing item dijumlah dengan hasil sebagai berikut : Sakit ringan = kurang lebih 61, sakit sedang = kurang lebih 78, terlihat nyata sakit = kurang lebih 96, sakit berat = kurang lebih 118, sakit sangat berat = kurang lebih 147.

G. Jadwal Penelitian

Pelaksanaan penelitia dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti mengajukan judul penelitian, melakukan bimbingan dan konsultasi dalam penyusunan proposal sampai dengan ujian proposal penelitian, kemudian peneliti mempersiapkan instrumen penelitian berupa kuesioner data pribadi sampel, kuesioner kepatuhan minum obat Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) dan kuisioner Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS)


(51)

2. Tahap Pelaksanaan

Pelaksanaan pengambilan data dilakukan di beberapa Puskesmas Yogyakarta. Responden diberikan penjelasan secara langsung mengenai penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent. Responden diminta untuk mengisi data kuesioner identitas pribadi, kuesioner kepatuhan minum obat Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) dan

kuisioner Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) peneliti

mendampingi responden selama mengisi kuesioner sampai semua kuesioner selesai diisi oleh responden dan telah diberikan kembali ke peneliti. Pengisian kuesioner juga dapat dilakukan dengan cara mewawancarai responden.

3. Tahap Penyelesaian

Pengolahan data diawali dengan menghitung hasil skor dari kuesioner-kuesioner yang telah diisi oleh responden, selanjutnya data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan program dari komputer yaitu SPSS (Statistical Product and Service Solution) dengan menggunakan Deskriptif Statistik dan uji korelasi Pearson.

Pembahasan hasil dari penelitian dilakukan setelah melakukan analisis data, kemudian dilakukan revisi dan presentasi dengan Pembimbing dan Penguji.


(52)

H. Uji Validitas dan Reabilitas

Penelitian ini tidak dilakukan uji Reabilitas karena kuesioner yang digunakan pada penelitia sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di negara palestina membuktikan bahwa kuisioner ini dapat digunakan untuk pasien skizofrenia. Hasil penelitian tersebut adalah lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum obat (Sweileh WM, 2012). Pada sebuah penelitian validitas dan reliabilitas dari MMAS pada pasien hipertensi didapatkan validitas p = 0.5 dan reliabilitas sebesar 0,83 (Donald E. Morisky, 2008). Sedangkan PANSS untuk dapat dipakai pada pasien skizofrenia Indonesia telah diuji reliabilitas, validitas, sensitivitas oleh A.Kusumawardhani tim dari FK-UI pada tahun 1994. Reliabilitas internal diuji dengan rumus koefisien alfa dari Cronbach terhadap 140 pasien skizofrenia. Untuk gejala positif didapatkan alfa 0,725, untuk gejala negatif 0,838, untuk gejala psikoptologi 0,684. Hasil terjemahan PANSS ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan PANSS yang ada dalam bahasa Inggris ( Kusumawardhani,1994).

I. Analisis data

Analisis data dilakukan melalui tahap-tahap berikut : 1. Editing

Editing dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan data yang sudah diperoleh dari responden dan kesesuaian data. Tahap ini dilakukan segera setelah peneliti menerima data kuesioner yang telah diisi oleh responden, sehingga apabila ada kesalahan dapat segera dikoreksi.


(53)

2. Coding

Kegiatan tahap ini adalah memberikan kode berupa angka pada masing-masing item pertanyaan supaya lebih munudah lalu dimasukkan dalam bentuk tabel kerja untuk diolah lebih lanjut.

3. Analiting

Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis oleh analisis Univariate Analisa univariate adalah analisa yang digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden serta untuk menganalisa karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, tempat tinggal dan pendidikan.

4. Analisis Bivariate

Analisa Bivariateadalah analisa dengan cara melihat hubungan antara variabel secara deskriptif dan diduga memiliki pengaruh. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan uji Paired T Test dengan tingkat

signifikasi (α) 0,005 atau P < 0,05

5. Etik penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan etika penelitian sebagai bentuk perlindungan terhadap responden yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Etika penelitian pada penelitian ini menggunakan prinsip etik penelitian sebagai berikut :


(54)

a. Right to self determination (hak untuk tidak menjadi responden)

Subjek penelitian harus dilakukan secara manusiawi dan memiliki hak untuk memutuskan apakah bersedia menjadi subjek penelitian atau tidak, tanpa adanya hukuman apapun.

b. Informed Consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap mengenai tujuan penelitian yang akan dilaksanakan dan memiliki hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden.

c. Right in fair treatment ( hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil) Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, maupun sesudah keikusertaannya dalam penelitia tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dropped out sebagai responden.

d. Right to privacy ( hak dijaga kerahasiaannya)

Subjek memiliki hak untuk meminta bahwa data yang diperoleh dari subjek harus dirahasiakan. Subjek penelitian ini dilindungi hak-haknya dengan diberikan informed consent dan diberi penjelasan selengkap mungkin mengenai penelitian yang akan dilakukan. Persetujuan dari komite etik bidang penelitian FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta juga diupayakan untuk memastikan bahwa penelitian ini tidak melannggar kode etik penelitian.


(55)

42

1. Gambaran Umum dan Karakteristik Responden Penelitian

Penelitian tentang Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Gejala Klinis Pasien Skizofrenia telah dilaksanakan di beberapa puskesmas Yogyakarta pada tanggal 16-30 Mei 2016. Jumlah responden penelitian yang didapatkan sebesar 106 orang. Akan tetapi hanya 69 orang yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini.

Tabel.2 Jumlah pasien skizofrenia di 10 Puskesmas Provinsi DIY Nama Puskesmas Jumlah Pasien

Wates 8 orang

Bambanglipura 11 orang

Godean Sleman 10 orang

Gondomanan 9 orang

Gendangsari 9 orang

Kraton 11 orang

Srandakan 9 orang

Temon 13 orang

Tempel 12 orang

Playen 12 orang

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sebanyak 69 responden untuk dilakukan penelitian. Responden yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi pada penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data yang dibantu oleh beberapa kader kesehatan di beberapa puskesmas provinsi yogyakarta. Responden dan keluarga terdekat responden diberikan


(56)

formulir inform consent atau surat persetujuan untuk mengikuti penelitian

ini. Selanjutnya pihak responden dan keluarga dilakukan wawancara dengan tim penilai mengenai kepatuhan minum obat responden dan gejala-gejala yang masih sering dialami oleh responden.

Tabel 3. Karakteristik Pasien Skizofrenia di 8 Puskesmas Provinsi DIY Karakteristik Responden Jumlah Persentase

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Pernikahan Sudah menikah Belum menikah Umur

< 20 thn 20-40 thn 40-60 thn

Riwayat Pendidikan Tidak tamat sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Diploma Sarjana Lama Sakit < 1 tahun

1-5tahun 5-10 tahun

 10 tahun Riwayat Keluarga Ada Tidak ada 44 25 22 47 32 37 1 32 36 5 11 19 30 1 3 4 7 23 35 22 47 63,76% 36,24% 31,88% 68,12% 46,37% 53,63% 1,44% 46,37% 52,19% 7.24% 15,94% 27,53% 43,47% 1.44% 95,62% 5,79% 10,14% 33,33% 50,72% 31,88% 68,11%

Berdasarkan tabel 3. bahwa jumlah pasien skizofrenia sebanyak 69 (100%) orang dan lebih banyak pada laki-laki yaitu sejumlah 44 (63,76%) orang dibandingkan jumlah pasien skizofrenia pada perempuan sejumlah 25 (36,24%) orang.


(57)

1. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia

Kategori kepatuhan minum obat pasien skizofrenia didapat dari hasil hitung jumlah skor yang diperoleh dari masing-masing responden. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4. Gambaran Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Tingkat Kepatuhan

Minum Obat

Jumlah Persentase

Patuh Rendah Patuh Sedang Patuh Tinggi

36 orang 32 orang 1 orang

52,17% 46,37%%

1,44%

2. Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS

Tabel 5. Distribusi Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan PANSS Tingkat keparahan gejala Jumlah Persentase

Sakit ringan 24 orang 34,78%

Sakit sedang 22 orang 31,88%

Terlihat nyata sakit 10 orang 14,49%

Sakit berat 9 orang 13,04%

Sakit sangat berat 4 orang 5,79%

Berdasarkan tabel 5. Distribusi gejala klinis pasien skizofrenia berdasarkan skor PANSS didapatkan jumlah pasien dengan gejala ringan paling besar yaitu sebanyak 24 (34,78%) orang dibandingkan derajat gejala lainnya.


(58)

3. Analisis Uji Statistik Korelasi

Tabel 6. Analisis Uji Statistik Korelasi

Gejala Klinis Nilai p Korelasi

Tingkat kepatuhan minum obat

Ringan Sedang Terlihat Nyata Sakit

Berat Sangat Berat Patuh Rendah 12 (33,3) 10 (27,8) 5 (13,9) 5 (13,9)

4 (11,1) 0,141 -1,31 Patuh Sedang 11 (34,4) 12 (37,5)

5 (15,6) 4 (12,5)

0

Patuh Tinggi

1 (100) 0 0 0 0

Total 24(34,8) 22 (31,9)

10 (14,5) 9 (13,0)

4 (5,8)

Analisis uji statistik korelasi antara kedua variabel penelitian ini menggunakan skala pengukuran ordinal dan ordinal dianalisis dengan menggunakan uji analisis korelasi Spearman. Berdasarkan hasil uji

analisis korelasi yang terdapat pada Tabel 6. menunjukan bahwa nilai korelasi 0,141 ( P>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis pasien skizofrenia.

B. Pembahasan

Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui karakteristik responden secara keseluruhan dan ada tidaknya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis skizofrenia.


(59)

1. Karakteristik Responden

Berdasarkan pada tabel .3 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan bermakna antara jumlah responden laki-laki dan perempuan. Didapatkan jumlah responden laki-laki sebesar 44 (63,76%) orang dibandingkan perempuan sebesar 25 (36,24%) orang. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Cordosa et.al, (2005) mengemukakan kenapa perempuan lebih

sedikit beresiko mengalami gangguan jiwa dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan dibandingkan laki-laki. Berdasarkan karakteristik responden juga didapatkan bahwa lebih banyak responden yang tidak bekerja yaitu sejumlah 47 (68,12%) orang dibandingkan responden yang bekerja yaitu sejumlah 22 (31,88%) orang. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et.al,

(2010) yang menyebutkan bahwa orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia dibandingkan orang yang bekerja. Fakhrul et.al, (2014) menambahkan bahwa selain

motivasi diri yang kurang karena adanya gejala negatif, stima dan diskriminasi terhadap pasien skizofrenia menghalangi mereka untuk berintegritas ke dalam masyarakat karena sering mendapat ejekan, isolasi sosial dan ekonomi.

Tingkat pendidikan responden penelitian ini bervariasi yaitu dari tidak bersekolah hingga tingkat sarjana. Pasien skizofrenia pada penelitian ini sebagian besar memiliki riwayat pendidikan terakhir SMA yaitu sebanyak 30 (43,47%) orang. Menurut Magdalena (2009) rendahnya


(60)

tingkat pendidikan dapat disebabkan karena faktor ekonomi dari orangtua pasien, dan timbulnya gejala saat remaja. Pasien yang mengalami gangguan akibatnya tidak dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik.

2. Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia

Berdasarkan tabel.4 Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 69 responden yang diteliti jumlah pasien dengan kepatuhan rendah sejumlah 36 orang, kepatuhan sedang sejumlah 32 orang dan kepatuhan tinggi hanya 1 orang. Hal ini sesuai dengan penelitian Baiq (2014) yang mengatakan bahwa sebagian besar pasien skizofrenia tidak patuh terhadap pengobatan. Selain itu Niven (2002) menambahkan bahwa alasan sebagian besar pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan karena jumlah obat yang diminum, adanya efek samping obat serta tidak adanya pengawasan oleh keluarga pasien.

3. Gambaran Gejala Klinis Pasien Skizofrenia berdasarkan Skor PANSS

Berdasarkan tabel .5 diketahui bahwa proporsi jumlah responden paling banyak adalah responden yang memiliki gejala ringan sebesar 24 orang.


(61)

4. Analisis Uji Korelasi Kepatuhan Minum Obat dengan Gejala Klinis Pasien Skizofrenia

Berdasarkan tabel .6 penelitian ini didapatkan nilai p > 0,05 yaitu sebesar 0,141 yang menunjukan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kepatuhan minum obat pasien dan gejala klinis dari skor PANSS. Hal ini didukung oleh penelitian Linden et.al, (2011) yang

melaporkan tidak ada hubungan antara keparahan gejala dan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia karena terdapat faktor lain seperti kurangnya dukungan keluarga yang dapat mempengaruhi gejala pasien. (Rettern et.al, 2005 dalam Journal Kyoko.et.al, 2013) menambahkan

bahwa secara statistik tidak didapatkan hubungan kepatuhan minum obat dengan gejala positif pasien skizofrenia.

Penelitian Irene et.al, (2015) mengatakan bahwa sebagian besar

pasien dari gejala ringan hingga gejala sangat berat yang tidak patuh terhadap pengobatan dikarenakan efek samping obat, biaya pengobatan, dosis obat dan cara pemberian obat dan dari hasil penelitiannya pasien yang minum obat teratur serta mendapat dukungan baik dari keluarga, hal ini membawa dampak bagi pasien sehingga prevalensi kekambuhan dari pasien berkurang selama 1 tahun pasien tidak menunjukan gejala kekambuhan saat dirawat keluarga di rumah. Yudi et.al, (2015)

menambahkan bahwa faktor dukungan keluarga yang sangat buruk dapat menyebabkan mayoritas pasien skizofrenia mengalami kekambuhan. Selain itu pasien skizofrenia akan memiliki peluang 6 kali untuk


(62)

mengalami kekambuhan dibandingkan dengan keluarga yang memiliki dukungan yang baik.

Selain itu penelitian Surya (2013) menambahkan bahwa perilaku minum obat bagi penderita skizofrenia tergantung pada tingkat kesadaran

(insight) dari penderita, misalnya penderita menyangkal atau sadar bahwa

dirinya sakit. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Gokhan et.al,

(2014) menunjukan bahwa kepatuhan terhadap pengobatan tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit skizofrenia maka dari itu program pengobatan berbasis komunitas dan psikoedukasi dari pasien rawat jalan harus dilakukan untuk menjaga kepatuhan terhadap pengobatan.

Penelitian Surya (2013) menambahkan bahwa ekspresi emosi keluarga yang rendah menyebabkan frekuensi kekambuhan gejala penderita skizofrenia berkurang. Pasien skizofrenia yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan ekspresi emosi yang kuat secara signifikan lebih sering mengalami kekambuhan dibandingkan dengan yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah. Apabila keluarga memperlihatkan emosi yang diekspresikan secara berlebih, misalnya klien sering diomeli atau dikekang dengan aturan yang berlebihan, kemungkinan peningkatan gejala akan bertambah besar.

Hubungan yang tidak bermakna antara kepatuhan minum obat dan gejala klinis skizofrenia kemungkinan disebabkan bahwa adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penurunan ataupun peningkatan gejala pasien yaitu dukungan keluarga, ekspresi emosi keluarga, terapi non


(63)

farmakologi. Penelitian Wayan et.al, (2013) menyatakan bahwa selain dari

terapi farmakologis yakni yang berkaitan dengan kepatuhan minum obat, terapi okupasi menggambar dapat berpengaruh terhadap perubahan gejala halusinasi skizofrenia.

Penelitian Jimmi (2010) mengatakan bahwa terapi musik klasik pun bisa mengurangi gejala pasien skizofrenia. Ini bisa terjadi disebabkan karena adanya pengaruh musik klasik, yang meningkatkan endorfin sehingga katekolamin menurun dan gejala klnik menjadi berkurang. Musik klasik yang diperdengarkan membuat pasien menjadi lebih tenang, komunikasi menjadi lebih baik, dan hubungan dengan orang lain menjadi lebih hangat.

Myra et.al, (2015) menambahkan bahwa dari hasil penelitiannya mengenai pengaruh olahraga jogging terhadap perbaikan gejala klinis skizofrenia, terdapat penurunan skor PANSS yang signifikan. Terapi skizofrenia yang mengkombinasikan antara obat haloperidol dan rajin melakukan olahraga jogging mempunyai pengaruh perbaikan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan obat haloperidol dan kurang rajin melakukan olahraga jogging. perbaikan gejala Hasil paling signifikan terlihat pada pasien yang diberikan terapi olahraga dengan dosis berkisar 30 menit per sesi yang dilakukan seminggu 2 kali selama 8 minggu (Gold et al., 2005).

Terapi non farmakologis seperti terapi psikoreligius berpengaruh terhadap penurunan gejala seperti perilaku kekerasan pasien skizofrenia. Penelitian Dwi (2014) menunjukan bahwa terdapat perbedaan penurunan


(64)

perilaku kekerasan pada respon verbal pada pasien yang diberi terapi psikoreligius dan yang tidak diberi terapi psikoreligius. Selain itu ada perbedaan penurunan perilaku kekerasan pada respon emosi pada pasien yang diberi terapi psikoreligius dan yang tidak diberi terapi psikoreligius.


(65)

52

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, disimpulkan :

Tidak terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis skizofrenia

B. SARAN

Dengan mempertimbangkan hasil penelitian. Penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Sebaiknya penelitian dilakukan tidak hanya dalam satu waktu.

2. Untuk penelitian selanjutnya, dapat meneliti faktor lain yang dapat mempengaruhi gejala klinis skizofrenia selain dari kepatuhan minum obat. 3. Untuk penelitian selanjutnya, dapat menggunakan instrumen penilaian


(66)

53

angka.html, diperoleh tanggal 27 Maret 2015

Baiq.2014.Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Tingkat Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia di Poliklinik RSJ Ghrasia DIY

Beena Jimmy , Jimmy Jose. (2011). Patient Medication Adherence: Measures in Daily Practice. US National Library of Medicine. May;26: 155–159. Benhard,R. (2007). Skizofrenia dan diagnosis banding. Jakarta:FK UI.

Bertram G Katzung,1998. Farmakologi Dasar dan Klinis. Edisi VI Jakarta: EGC 2.FKUI.

Bustillo,J.R.(2008). Schizophrenia. Diakses dari http://www.schizophrenia.com pada tanggal 24 maret 2015

Butar, B.O.D. (2011). Hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia di rumah sakit daerah provinsi Sumatera

utara medan. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32884/5/Chapte r20I.pd f (27 maret 2015).

Cordosa SC, Caraffa TW, Bandeira M, Siquera LA, Abrew SM, Fonseca JP: Factor’s Associated with Low Quality of Life in Schizofrenia. Rio de Jeneiro. 2005. Available from http://www.scielo.br/pdf/csp/v21n5/05.pdf Dwi,A (2014). Pengaruh terapi psikoreligi terhadap penurunan perilaku

kekerasan pada pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Surakarta.

Emsley, R., Chiliza, B., Asmal, L., & Harvey, B. H. (2013).The Nature Of Relapse In Schizophrenia. BioMed Central Psychiatry.

Erlina, Soewadi, Dibyo P. 2010. Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia Pada Pasien Rawat jalan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. HB Saanin Padang Sumatra Barat. FK UGM Yogyakarta.

Fakhruddin, T.(2012). Hubungan dukungan sosial dengan kepatuhan minum

obat penderita skizofrenia. Diakses dari

http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act= vie w&typ=html&file=3634-H-2012.pdf&ftyp=4&id=58938 pada tanggal 26 maret2015.


(1)

Karakteristik responden berdasarkan status pernikahan didapatkan bahwa responden yang sudah menikah sebanyak 32 (46,37%) orang dan responden yang belum menikah 37 orang (53,63%).

Tabel.2 Karakteristik Berdasarkan Umur

Berdasarkan umur didapatkan responden <20 sebanyak 1 (1,44%) orang, 32 (46,37%) orang dan 40-60 tahun sebanyak 36 (52,19%) orang.

Tabel.3 Karakteristik Berdasarkan Riwayat Pendidikan

Riwayat Pendidikan Jumlah Persentase

Tidak Tamat 5 7,24%

Tamat SD 11 15,94%

Tamat SMP 19 27,53%

Tamat SMA 30 43,47%

Diploma 1 1,44%

Sarjana 3 95,62%

Total 69 100%

Berdasarkan tabel.3 riwayat pendidikan responden bervariasi dan paling banyak tamat SMA sebanyak 30(43,47%) orang

Karakteristik Jumlah Persentase Onset Penyakit

<1 thn 1-5 thn 5-10 thn >10 thn

4 7 23 35

5,79% 10,14% 33,33% 50,72% Riwayat Keluarga

Ada Tidak ada

22 47

31,88% 88,11% Umur Jumlah Persentase

<20thn 1 1,44%

20-40thm 32 46,37% 40-60thn 36 52,19%


(2)

Berdasarkan tabel.4 didapatkan hasil responden dengan onset penyakit <1thn

sebanyak 4 (5,79%) orang, 1-5 thn sebanyak 7 (10,14) orang, 5-10 thn sebanyak 23(33,33%) orang dan >10 thn sebanyak 35 orang. Selain itu responden yang memiliki riwayat keluarga sebanyak 22 (31,88%) orang dan 47(88,11%) orang tidak memiliki riwayat keluarga

skizofrenia.

Tabel.5 Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Tingkat Kepatuhan Jumlah Persentase

Rendah 36 51,42%

Sedang 32 46,37%

Tinggi 1 1,44%

Total 69 100%

Pada tabel.5 Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 69 responden yang diteliti jumlah pasien dengan kepatuhan rendah sejumlah 36 orang, kepatuhan sedang sejumlah 32 orang dan kepatuhan tinggi hanya 1 orang.

Tabel.5 Gejala Klinis Skizofrenia menurut skor PANSS Tingkat keparahan gejala Jumlah Persentase

Sakit ringan 24 34,78%

Sakit sedang 22 31,88%

Terlihat nyata sakit 10 14,49%

Sakit berat 9 13,04%

Sakit sangat berat 4 5,79%

Pada tabel .5 diketahui bahwa proporsi jumlah responden yang memiliki gejala sangat berat sebanyak 4 orang, responden dengan gejala berat sebanyak 10 orang, responden dengan gejala terlihat nyata sakit sebanyak 7 orang, , responden dengan gejala sedang sebanyak 22 orang dan , responden dengan gejala ringan sebanyak 24 orang.

Tabel.6 Hasil Analisis Uji Korelasi Kepatuhan Minum Obat dengan Gejala Klinis Skizofrenia

Tingkat Kepatuhan

Gejala Ringan

Gejala Sedang

Nyata Sakit

Gejala Berat

Sangat Berat

Nilai p


(3)

Pada penelitian ini didapatkan nilai p> 0,05 yaitu sebesar 0,141 yang menunjukan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kepatuhan minum obat pasien dan gejala klinis dari skor PANSS. Hal ini didukung oleh penelitian Linden et al (2001) yang

melaporkan tidak ada hubungan antara keparahan gejala dan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia karena selain dari kepatuhan minum obat, gejala bisa semakin parah karena faktor lain seperti kurangnya dukungan keluarga, pasien merasa sudah sembuh sehingga tidak konsisten terhadap patuhnya pengobatan.

Penelitian Gokhan dkk (2014) menunjukan bahwa kepatuhan terhadap pengobatan tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit skizofrenia maka dari itu program pengobatan berbasis komunitas dan psikoedukasi dari pasien rawat jalan harus dilakukan untuk menjaga kepatuhan terhadap pengobatan.

DISKUSI

Berdasarkan pada tabel .1 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan bermakna antara jumlah responden laki-laki dan perempuan. Didapatkan jumlah responden laki-laki sebesar 44 dibandingkan perempuan sebesar 25 orang. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Cordosa et.al,(2005) mengemukakan kenapa perempuan lebih sedikit beresiko mengalami gangguan jiwa dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan dibandingkan laki-laki. Tetapi menurut Alexander et.al, (2005) wanita lebih mempunyai resiko untuk menderita stress psikologik dan juga lebih rentan bila terkena trauma.

Berdasarkan karakteristik responden juga didapatkan bahwa lebih banyak responden yang tidak bekerja yaitu sejumlah 47 orang dibandingkan responden yang bekerja yaitu sejumlah 22 orang. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et.al, (2010) yang menyebutkan bahwa orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia dibandingkan orang yang bekerja.

Rendah 12 10 5 5 4 0,141 -1,31

Sedang 11 12 5 4 0

Tinggi 1 0 0 0 0


(4)

Data lain mengenai karakteristik responden ini menunjukan bahwa jumlah

responden yang sudah menikah lebih banyak yaitu sebesar 37 orang sedangkan yang belum menikah sebanyak 33 orang. Jumlah responden berdasarkan umur yaitu responden umur < 20 tahun hanya 1 orang , umur 20-40 tahun sejumlah 32 orang dan >40 tahun sejumlah 36 orang.

Tingkat pendidikan responden penelitian ini bervariasi yaitu dari tidak bersekolah hingga tingkat sarjana. Pasien skizofrenia pada penelitian ini sebagian besar memiliki riwayat pendidikan terakhir SMA yaitu sebanyak 30 orang. Berdasarkan waktu onset

timbulnya penyakit skizofrenia, jumlah responden yang memiliki onset >10 tahun jumlahnya paling banyak diantara jumlah onset lainnya yaitu 35 orang sedangkan jumlah pasien dengan onset penyakit < 1 tahun sejumlah 4 orang , 1-5 tahun sejumlah 7 orang , 5-10 tahun sejumlah 23 orang.

Hasil analisis korelasi dengan menggunakan Spearman pada penelitian ini didapatkan nilai P > 0,05 yaitu sebesar 0,141 yang menunjukan tidak didapatkan hubungan yang

bermakna antara kepatuhan minum obat pasien dan gejala klinis dari skor PANSS. Hal ini didukung oleh penelitian Linden et al (2001) yang melaporkan tidak ada hubungan antara keparahan gejala dan kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia karena selain dari kepatuhan minum obat, gejala bisa semakin parah karena faktor lain seperti kurangnya dukungan keluarga, pasien merasa sudah sembuh sehingga tidak konsisten terhadap patuhnya pengobatan.Penelitian Gokhan dkk (2014) menunjukan bahwa kepatuhan terhadap

pengobatan tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit skizofrenia maka dari itu program pengobatan berbasis komunitas dan psikoedukasi dari pasien rawat jalan harus dilakukan untuk menjaga kepatuhan terhadap pengobatan.Teori Friedman (2010) menyebutkan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan, yaitu dukungan informasional, dukungan penilaian,dukungan instrumental dan dukungan emosional. Jika dukungan tersebut ada pada keluarga pasien maka akan berdampak positif pada pasien. Berdasarkan penelitian Yudi dkk (2015) menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang buruk, pasien mengalami kekambuhan sebanyak 81,8%, sedangkan dukungan keluarga yang baik, pasien tidak mengalami

kekambuhan sebanyak 88,9%.

Pada hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis skizofrenia disebabkan karena beberapa hal yaitu pada saat dilakukan pengambilan data beberapa pasien yang memiliki gejala ringan dan memiliki gejala berat sama-sama tidak patuh terhadap pengobatan. Hal ini bisa disebabkan beberapa


(5)

pasien yang memiliki gejala ringan merasa tidak perlu meminum obat karena pasien merasa baik-baik saja dan tidak ada gejala yang mengganggu aktifitas pasien.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, disimpulkan tidak terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan gejala klinis skizofrenia

SARAN

Dengan mempertimbangkan hasil penelitian. Penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Sebaiknya penelitian dilakukan tidak hanya dalam satu waktu

2. Untuk penelitian selanjutnya, dapat meneliti faktor lain yang dapat mempengaruhi gejala klinis skizofrenia selain dari kepatuhan minum obat

3. Untuk penelitian selanjutnya, dapat menggunakan instrumen penilaian gejala klinis skizofrenia lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander C. 2005.Psychiatric Morbidity Following Disasters:Epidemiology,Risk and Protectuve factors. University of

Adelaide,Queen Elizabeth Hospital, Woodville, South Australia, Australia. Cordosa SC, Caraffa TW, Bandeira M,

Siquera LA, Abrew SM, Fonseca JP: Factor’s Associated with Low Quality of Life in

Schizofrenia. Rio de Jeneiro. 2005. Available from http://www.scielo.br/pdf/csp/v21n5/05. Emsley, R., Chiliza, B., Asmal, L., &

Harvey, B. H. (2013).The Nature Of Relapse In Schizophrenia. BioMed Central Psychiatry.

Fakhruddin, T.(2012). Hubungan dukungan sosial dengan kepatuhan minum obat penderita skizofrenia. Diakses dari http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod =download&sub=DownloadFile&a ct=vie

w&typ=html&file=3634-H-2012.pdf&ftyp=4&id=58938 pada tanggal 26 maret2015.

Gökhan Umut, Zeren Öztürk Altun, Birim S. Danışmant, İlker Küçükparlak, Nesrin

Karamustafalıoğlu.2015.Relationship

between treatment adherence, insight and violence among schizophrenia inpatients in a training hospital sample.

Friedman,.M.2010. Keperawatan Keluarga Keluarga Teori dan Praktik.Jakarta.EGC.

Linden M., Godemann F., Gaebel W., Kopke W., Muller P., Muller-Spahn F., et al. (2001) A prospective study of factors influencing adherence to a continuous neuroleptic treatment program in schizophrenia patients during 2 years. Schizophrenia Bull 27: 585– 596 [PubMed]

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadock's Synopsis of

Psychiatry: Behavioral

Sciences/Clinical Psychiatry (10th edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.


(6)

Sadock, B. S., & Sadock, V. A.(2010). Kaplan and Sadock's Pocket Handbook of Clinical Psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Yudi Pratama, Syahrial dan Saifuddin Ishak.2015. Hubungan Keluarga Pasien Terhadap Kekambuhan Skizofrenia di Badan Layanan Umum Daerah(Blud) Rumah Sakit Jiwa Aceh


Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan Keluarga Dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan

20 157 94

HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN FUNGSI SOSIAL PASIEN SKIZOFRENIA

12 66 110

EVALUASI KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIPSIKOTIK ORAL PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT JALAN Evaluasi Kepatuhan Minum Obat Antipsikotik Oral Pasien Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah X.

7 19 15

EVALUASI KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIPSIKOTIK ORAL PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT Evaluasi Kepatuhan Minum Obat Antipsikotik Oral Pasien Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah X.

0 2 13

PERBANDINGAN KEEFEKTIFAN ANTARA ANTIPSIKOTIK KOMBINASI DAN MONOTERAPI TERHADAP KUALITAS HIDUP, KEPATUHAN MINUM OBAT, DAN GEJALA NEGATIF PASIEN SKIZOFRENIA DI RS dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA.

0 1 12

Hubungan Peran Perawat Pendidik dan Peran Keluarga dengan Kepatuhan Penderita skizofrenia Minum Obat Awal

0 1 15

Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam, Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif

1 5 18

HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN PERIODE KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA: HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. Dr. SOEROYO MAGELANG

0 3 18

DUKUNGAN KELUARGA MEMPENGARUHI KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN SKIZOFRENIA

0 0 8

HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN TINGKAT KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA DIY NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Tingkat Kekambuhan pada Pasien Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Gr

0 0 16