Pendahuluan 3. Implementasi Model Penyuluhan KB

Oktober 2014 37 IMPLEMENTASI MODEL PENYULUHAN KB BERBASIS GENDER DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETAHANAN KELUARGA DI KABUPATEN PURBALINGGA Implementation of Gender-based Family Planning Extension Model to Increase the Family Resilience in Purbalingga District Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman dyahrpuspitayahoo.com Diterima tanggal 15 Nopember 2013 , disetujui 7 Januari 2014 Abstract This second year research was the implementation of the model obtained in the first year wich purpose: 1 to understand the impact of the establishment of many hair factories built in Purbalingga regency which absorb thousands of women labour to the existence of their family And to promote family empowerment programs are integrated and sustainable, 2 to increase the competence of family planning extension agent in family planning conseling with gender-perspective, and 3 to increase the competence of family planning social workers in family planning conseling with gender-perspective. The target of this research were: 1 policy makers related to family empowerment program in the Regency Purbalingga, 2 family planning extension agent and family planning cadres. Strategy for achieving the first goal was sharing and discussion activities, while strategy for the second and third one were presentation and discussion. It was concluded that: 1 not all policy makers understand about the fenomenon of shifting of gender role in family and the increase of divorce and there was not integrated program in family empowerment, 2 the mastery of family planning extension agent and the family planning cadres were needs to be increased, particularly in technical matter Keyword: Gender-based Family Planing Extension, family recilience, shiftting of genderrole in family.

1. Pendahuluan

Tantangan penyuluhan KB setelah program ini didesentralisasikan ke tingkat kabupatenkota semakin berat seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan keluarga. Di samping masih cukup tingginya jumlah kelahiran, juga adanya pergeseranperalihan peran gender dalam keluarga di mana istri-lah yang menjadi pencari nafkah utama. Hal ini biasanya disebabkan suami bekerja tidak tetap “serabutan” atau bahkan tidak bekerja sama sekali. Salah satu kabupaten yang mempunyai banyak keluarga yang mengalami alih peran gender tersebut adalah Kabupaten Purbalingga. Hal ini diperkirakan muncul sekitar tahun 2005-an semenjak berdirinya puluhan perusahaan rambut membuat bulu mata dan rambut palsu yang menyerap ribuan pekerja perempuan. Dari sinilah kemudian muncul istilah lokal “pamong praja” papa momong mama kerja. Fenomena ini menarik dan Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50 38 penting untuk dikaji agar diketahui dampaknya terhadap relasi suami-istri, orangtua-anak serta dengan lingkungan di sektiar mereka. Di samping itu juga agar diketahui sejauhmana kebijakan Pemerintah kabupaten Pemkab setempat telah berorientasi pada fenomena tersebut. Kajian terhadap fenomena ini juga perlu dilakukan mengingat belum adanya kajian tentang hal ini. Untuk itu, kajian awal tahun pertama Puspita, dkk., 2012 telah dilakukan untuk menggali informasi tentang: 1 fenomena keluarga “pamong praja” tersebut, 2 pandangan pejabat-pejabat terkait tentang masalah ini, 3 pelaksanaan penyuluhan KB, dan 4 model penyuluhan KB berbasis gender dalam upaya meningkatkan ketahanan keluarga. Penelitian tersebut dilaksanakan di empat kecamatan Kecamatan Purbalingga, Kalimanah, Padamara dan Bojongsari yang warga perempuannya banyak bekerja di perusahaan-perusahaan rambut yang banyak berdiri di lokasi tersebut. Mengingat terbatasnya data dan hasil penelitian sebelumnya, maka sasaran penelitian yang dipilih adalah para Kader KB DesaKelurahan yang pada umumnya telah sangat mengenal kondisi dan permasalahan PUS di sekitar mereka disebabkan masa kerja mereka yang lama dalam membantu program KB. Di samping itu, pada umumnya mereka juga menjadi kader untuk bidang-bidang lain seperti kesehatan dan PKK. Dengan demikian, mereka merupakan salah satu tokoh informal di lingkungan mereka. Untuk itulah mereka kemudian menjadi mendapat tugas untuk menjadi kader kesehatan dan KB yang dikenal dengan Sub Klinik Desa SKD. Data dikumpulkan melalui wawancara individual yang didukung dengan diskusi terarah Focus Group DiscussionFGD yang kemudian dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif gender. Dari proses ini diperoleh empat temuan penting. Pertama, fenomena keluarga “pamong praja” memang ada di sekitar lingkungan informan, meskipun belum diketahui pasti jumlahnya. Paling tidak di wilayah terdekat mereka Rukun TetanggaRT terdapat sekitar 10-20 keluarga yang mengalami alih peran gender tersebut. Istrinya bekerja di “PT”, sedangkan suaminya biasanya adalah buruh bangunan, buruh tani, tukang becak atau menganggur tidak jelas pekerjaannya. Di satu sisi, bekerja di “PT” telah meningkatkan ekonomi keluarga mereka. Akan tetapi, dengan adanya kesenjangan penghasilan, menyebabkan mereka rentan mengalami disharmoni keluarga, terutama yang terkait dengan relasi suami-istri. Hal ini tampak dari beberapa kasus perceraian yang terjadi di beberapa wilayah di sekitar informan. Hal ini mendukung data dari Pengadilan Agama setempat yang menunjukkan tingginya tingkat perceraian di kabupaten ini. Kedua, meskipun fenomena tersebut telah berjalan lebih dari lima tahunan, akan tetapi keberadaan keluarga “pamong praja” ini belum banyak mendapat perhatian dari Pemkab Purbalingga. Hal ini tampak dari hasil wawancara dengan para pejabat di beberapa instansi yang terkait dengan program Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga 39 pemberdayaan keluarga seperti BKBPP, Bappeda, Kementerian Agama dan Dinas Ketenagakerjaan. Bahkan pejabat di lingkungan BKBPP yang sasaran utama instansinya adalah keluarga juga belum terlalu paham dan menyadari munculnya persoalan pergeseran peran gender dan tingginya angka perceraian. Rendahnya pemahaman tentang permasalahan tersebut juga ditemui di lingkungan Tim Penggerak PKK Kabupaten yang programnya sangat jelas ditujukan bagi keluarga. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya grand design kebijakan Pemkab dalam upaya penanganannya. Ketiga, penyuluhan KB oleh para kader KB DesaKelurahan di keempat kecamatan yang menjadi lokasi penelitian masih diskriminatif gender, disebabkan pada umumnya hanya diberikan kepada para perempuanistri. Alasannya adalah karena mereka menganggap bahwa urusan KB lebih merupakan urusan kaum perempuanisri. Di samping itu juga karena pendekatan terhadap istri dianggap lebih mudah baik dilihat dari waktu maupun cara penyampaiannya. Penyampaian dapat dilakukan kepada kelompok pada saat pertemuan rutin bulanan di tingkat RtT dan RW maupun pendekatan personalkonseling. Di samping masih diskriminatif gender, materi penyuluhannya pun masih terbatas tentang KB dalam arti sempit yakni berupa pemotivasian untuk menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang MKJP. Sangat jarang dilakukan penyuluhan tentang issue-issue yang terkait dengan keluarga seperti kesetaraan dan keadilan gender, KDRT dan permasalahan remaja. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan mereka tentang materi-materi tersebut. Forum bulanan yang diadakan oleh BKBPP Unit Kecamatan setempat pada umumnya hanya berupa pemberian informasi dan tugas yang terkait dengan pemotivasian untuk menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang, pencarian akseptor untuk jenis tersebut serta pendataan keluarga. Materi gender dan KDRT pernah diberikan, akan tetapi sangat singkat dan hanya diberikan materinya untuk dipelajari sendiri. Dengan jenis arahan dan keterbatasan informasi ini, mereka hampir tidak pernah memberikan materi yang menyangkut permasalahan keluarga di sekitar mereka, termasuk banyaknya keluarga pamong praja . Keempat, kondisi keterbatasan para kader tersebut juga disebabkan kurangnya penguasaan PKB sebagai tenaga formal penyuluh dan “atasan” para kader disebabkan sangat jarangnya pelatihan refreshing bagi mereka karena keterbatasan anggaran. Semenjak desentralisasi program ini, kesempatan PKB mendapatkan pelatihan tersebut menjadi sangat terbatas. Beberapa pelatihan yang diadakan oleh Balai Diklat KB di wilayah Banyumas biasanya hanya diikuti oleh beberapa PKB yang ditunjuk secara bergiliran. Adapun forum pertemuan rutin bulanan di tingkat BKBPP lebih sering diisi dengan pemberian informasi kegiatan-kegiatan pelayanan KB yang akan diikutkan disertai pemberian tugas untuk menginformasikannya kepada para SKD di wilayah mereka. Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50 40 Berdasarkan hasil kajian pada tahun pertama tersebut, perlu dilakukan revitalisasi model penyuluhan KB yang berbasis gender agar pendekatan dan materi yang diberikan sesuai dengan kondisi, permasalahan dan kebutuhan PUS setempat. Revitalisasi ini melibatkan keseluruhan proses penyuluhan KB sejak tahap awal pembuatan kebijakan program KB hingga teknis penyuluhannya. Dari hasil kajian tersebut, diperoleh model revitalisasinya yang dapat disederhanakan sebagai berikut: Gambar 1. Model Penyuluhan Berperspektif Gender dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Kabupaten Purbalingga Pada tahun kedua, model tersebut diujicoba di lokasi penelitian. Dengan demikian, tujuan penelitian tahun kedua ini adalah: 1 menumbuhkankan sensitivitas gender di kalangan para pembuat kebijakan yang terkait dengan program KB dan pemberdayaan keluarga, 2 meningkatkan penguasaan dan keterampilan para PKB tentang penyuluhan KB berbasis gender dan 3 meningkatkan penguasaan dan keterampilan para Kader KB Desa tentang penyuluhan KB berbasis gender. Manfaat yang dihasilkan adalah: 1 meningkatnya sensitivitas gender dalam program KB dan pemberdayaan keluarga di kalangan para pejabat dari berbagai instansi yang terkait, 2 meningkatnya pemahaman dan penguasaan PKB tentang penyuluhan berbasis gender, dan 3 meningkatnya pemahaman dan penguasaan para Kader KB Desa tentang penyuluhan berbasis gender.

2. Kajian Literatur