Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50
40
Berdasarkan hasil kajian pada tahun pertama tersebut, perlu dilakukan revitalisasi
model penyuluhan KB yang berbasis gender agar pendekatan dan materi yang diberikan
sesuai dengan kondisi, permasalahan dan kebutuhan PUS setempat. Revitalisasi ini
melibatkan keseluruhan proses penyuluhan KB sejak tahap awal pembuatan kebijakan
program KB hingga teknis penyuluhannya. Dari hasil kajian tersebut, diperoleh model
revitalisasinya yang dapat disederhanakan sebagai berikut:
Gambar 1. Model Penyuluhan Berperspektif Gender dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Kabupaten Purbalingga
Pada tahun kedua, model tersebut diujicoba di lokasi penelitian. Dengan
demikian, tujuan penelitian tahun kedua ini adalah: 1 menumbuhkankan sensitivitas
gender di kalangan para pembuat kebijakan yang terkait dengan program KB dan
pemberdayaan keluarga, 2 meningkatkan penguasaan dan keterampilan para PKB
tentang penyuluhan KB berbasis gender dan 3
meningkatkan penguasaan
dan keterampilan para Kader KB Desa tentang
penyuluhan KB berbasis gender. Manfaat yang dihasilkan
adalah: 1
meningkatnya sensitivitas gender dalam program KB dan
pemberdayaan keluarga di kalangan para pejabat dari berbagai instansi yang terkait, 2
meningkatnya pemahaman dan penguasaan PKB tentang penyuluhan berbasis gender, dan
3 meningkatnya pemahaman dan penguasaan para Kader KB Desa tentang penyuluhan
berbasis gender.
2. Kajian Literatur
Penyuluhan KB
adalah kegiatan
penyampaian informasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan
masyarakat guna
mewujudkan keluarga
berkualitas BKKBN, 2004. Adapun gender adalah
“interpretasi mental dan kultural Komitmen Pembuat
Kebijakan dlm program KB pemberdayaan
Kompetensi PKB ttg Penyuluhan Berperspektif
gender
Ketahanan Keluarga “Pamong
Praja”
Kompetensi Kader KB ttg Penyuluhan Berperspektif
gender
Ketahanan Keluarga
Purbalingga
Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga
41
terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Gender biasanya digunakan
untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap
hhtepat bagi
laki-laki dan
perempuan” Umar, 1999. Dapat dikatakan bahwa gender adalah “jenis kelamin yang
ditentukan secara sosial” Fakih, 1995; Mosse, 1996.
Jadi, penyuluhan yang berbasis gender adalah proses pendidikan nonformal yang
bertujuan di samping memenuhi kebutuhan praktis gender dari kelompok sasarannya, juga
memenuhi kebutuhan strategis gender mereka. Kebutuhan praktis gender adalah pemenuhan
kebutuhan individu jangka pendek yang bertujuan
mengubah kehidupan
melalui kebutuhan pasar, akan tetapi tidak mengubah
posisi perempuan yang subordinat. Adapun kebutuhan strategis gender adalah pemenuhan
kebutuhan gender agar perempuan dan laki- laki dapat berbagi adil dalam pembangunan.
Contoh kegiatannya adalah perubahan dalam pembagian
kerja gender,
perbaikan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan,
perlindungan hukum
dan jaminan
kesejahteraan tenaga kerja wanita Astuti, 2002.
Sebetulnya, BKKBN
juga telah
memiliki konsep penyuluhan berperspektif gender melalui konsep Komunikasi, Informasi
dan Edukasi KIE responsive gender. KIE adalah proses penyampaian dan penerimaan
pesan dalam rangka meningkatkan dan memanfaatkan
pengetahuan, sikap
dan perilaku masyarakat, dan mendorongnya agar
secara sadar menerima program KB Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas
Perempuan - BKKBN, 2007:39. KIE yang responsif gender adalah
salah satu pendekatan dalam komunikasi yang bertujuan
mempercepat perubahan
pengetahuan, sikap dan perilaku. Ini diukur dari berbagai saluran komunikasi, di mana
penyampaian dan
penerimaan pesannya
memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan. Tujuannya adalah: 1 mengubah
pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang, keluarga dan masyarakat agar mempunyai
pemahaman tentang adanya kepentingan antara laki-laki dan perempuan; 2 mendorong
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, 3 mengurangi atau menghilangkan segala
bentuk diskriminasi gender yang berkembang di masyarakat, dan 4 mendorong tersusunnya
kebijakanprogramperaturan yang responsif gender. Caranya adalah dengan melalui lima
tahap yakni: 1 analisis situasi, 2 desain strategi, 3 pengembangan rencana, ujicoba
bahan dan produksi, 4 pelatihan dan monitoring,
dan 5
kegiatan evaluasi
BKKBN, 2007. Dari uraian di atas tampak bahwa
komitmen untuk menerapkan penyuluhan KB berbasis gender sebetulnya sudah ada sejak
lama, akan tetapi seringkali tidak diterapkan. Untuk itulah perlu dilakukan banyak kajian
tentang hal
ini agar
dapat diketahui
kendalanya, sehingga
dapat diupayakan
solusinya. Salah satu syarat menerapkan pendekatan ini adalah dengan melibatkan
kaum laki-lakisuami. Rendahnya partisipasi laki-laki dalam program KB dimungkinkan
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50
42
disebabkan karena “terdiskriminasikannya” mereka
dalam proses
penyuluhan KB.
Sebagaimana ditemukan Imroni
et al
. 2009, dukungan
suami ikut
andil dalam
meningkatkan penggunaan
implant
ibu-ibu di Indramayu.
Penyuluhan KB tidak berhenti pada tujuan untuk perencanaan jumlah dan jarak
kelahiran anak saja, melainkan harus terus berlanjut
pada tahap
berikutnya yang
tantangannya justru semakin berat. Setelah melahirkan,
orangtua masih
memiliki serangkaian tugas dan kewajiban yakni
mendidik dan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang serta menerapkan hak-hak anak
lainnya pendidikan, kesehatan, pengembangan potensi
dan lainnya.
Banyak bukti
menunjukkan adanya hubungan positif antara pengasuhan dengan tumbuhkembang anak
pada tahap-tahap berikutnya, terutama remaja dan dewasa. Dalam proses tumbuhkembang
anak, Myers 1992 mengukuhkan peran sinergis antara aspek psikososial, gizi dan
kesehatan yang merupakan satu kesatuan tumbuhkembang anak. Wallender 1989
menambahkan bahwa kompetensi sosial dan emosional pada anak-anak akan mengurangi
resiko perilaku negatif seperti mengunsumsi alkohol dan penggunaan narkoba. Kompetensi
sosial dan emosional yang baik dalam masa anak-anak akan meningkatkan kesehatan
sepanjang siklus hidupnya. Penyuluhan KB berbasis gender juga
bertujuan untuk meningkatkan ketahanan keluarga. Sunarti 2001 menyebutkan bahwa
ketahanan keluarga adalah suatu kondisi keluarga
yang memiliki
keuletan dan
ketangguhan, baik secara fisik maupun psikis mental spiritual, guna hidup mandiri serta
mampu mengembangkan diri dan anggota keluarganya untuk hidup harmoni, sejahtera
lahir dan batin. Ukuran ketahanan keluarga yang sahih adalah yang menunjukkan kapasitas
keluarga dalam memenuhi ketahanan fisik, ketahanan psikologis dan ketahanan sosial.
Penyuluhan KB dilaksanakan oleh para petugas yang secara resmi diberi mandat
untuk itu. Penyuluh KB PKB adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
kegiatan penyuluhan, pelayanan, evaluasi dan pengembangan Keluarga Berencana Nasional.
Dengan kata lain, PKB adalah PLKB yang berstatus sebagai pejabat fungsional BKKBN,
2002. Mengingat
keterbatasan jumlah
PKBPLKB yang tidak seimbang dengan luas wilayah dan jumlah kelompok sasaran, maka
dalam program KB, dikembangkan konsep “Kader KB”. Kader KB dikenal juga dengan
nama kelompok Institusi Masyarakat Pedesaan IMP. Mereka adalah anggota masyarakat
yang secara sukarela membantu pelaksanaan program KB. Mereka yang menjalankan tugas
di tingkat desa tergabung dalam Pembantu Pembina KB Desa PPKBD, di tingkat RW
dikenal dengan Sub PPKBD dan di tingkat RT dikenal dengan kelompok-kelompok akseptor.
Peran mereka sangat besar, yakni mempromosikan KB, mengadakan pertemuan,
menyediakan informasi,
mengorganisasi pengumpulan dana, membantu tabungan dan
kredit, mengumpulkan data serta membantu
Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga
43
aktivitas sosial lainnya Utomo
et al.,
2006. Di sisi lain, tantangan kerja mereka semakin
berat seiring berkurangnya dukungan media massa sebagaimana tampak dari hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia SDKI tahun 2007 BKKBN
online
, 30 Maret 2009.
Di samping
itu, juga
karena tingkat
pengetahuan para tokoh agama tentang KB masih belum mendalam BKKBN
online
, 17 Februari 2008.
Meski tidak digaji, militansi mereka cukup tinggi. Bahkan, dalam kondisi krisis
ekonomi tahun 1998 di mana mereka sendiri sebenarnya ikut terkena imbas krisis, sebagian
besar kader KB dan kesehatan di wilayah Ciputat masih bertahan. Mereka membantu
PKB dan petugas Puskesmas menjalankan program penanggulangan krisis, yang berarti
menambah beban kerja mereka Puspita, 2000. Hasil kajian Revitalisasi Penyuluhan
KB pada tahun pertama Puspita, dkk., 2012 memperkuat kesimpulan tingginya militansi
kader. Kader-kader KB Desa di empat kecamatan
Purbalingga, Kalimanah,
Bojongsari dan padamara adalah kader-kader senior, baik dari segi umur maupun “masa
kerja”. Pada umumnya mereka berusia 50 tahun dengan masa kerja 15 tahun yang nyaris
tanpa pernah berhentiDO. Untuk
itulah, seiring
dengan menurunnya jumlah PKB dan anggaran
penyuluhan KB
semenjak didesentralisasikannya
program KB
dan semakin kompleksnya permasalahan keluarga
di masyarakat, maka mereka dapat diberikan peranan yang lebih strategis sebagai agen
perubahan dalam menjaga ketahanan keluarga di masyarakat. Hal ini sangat dimungkinkan,
karena mereka adalah penduduk setempat, sehingga mengetahui dan memahami dinamika
kebutuhan dan permasalahan yang terjadi pada keluarga-keluarga
di lingkungan
tempat tinggalnya.
3. Metode Penelitian