3. Implementasi Model Penyuluhan KB

(1)

UPAYA MENINGKATKAN KETAHANAN KELUARGA

DI KABUPATEN PURBALINGGA

(Implementationof Gender-based Family Planning Extension Model to Increase the Family Resilience in Purbalingga District)

Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Jenderal Soedirman [email protected]

( Diterima tanggal 15 Nopember 2013 , disetujui 7 Januari 2014)

Abstract

This second year research was the implementation of the model obtained in the first year wich

purpose: (1) to understand the impact of the establishment of many hair factories built in

Purbalingga regency which absorb thousands of women labour to the existence of their

family

And to promote family empowerment programs are integrated and sustainable, (2) to

increase the competence of family planning extension agent in family planning conseling with

gender-perspective, and (3) to increase the competence of family planning social workers in

family planning conseling with gender-perspective. The target of this research were: (1)

policy makers related to family empowerment program in the Regency Purbalingga, (2)

family planning extension agent and family planning cadres. Strategy for achieving the first

goal was sharing and discussion activities, while strategy for the second and third one were

presentation and discussion. It was concluded that: (1) not all policy makers understand

about the fenomenon of shifting of gender role in family and the increase of divorce and there

was not integrated program in family empowerment, (2) the mastery of family planning

extension agent and the family planning cadres were needs to be increased, particularly in

technical matter

Keyword: Gender-based Family Planing Extension, family recilience, shiftting of genderrole in family.

1. Pendahuluan

Tantangan penyuluhan KB setelah program ini didesentralisasikan ke tingkat kabupaten/kota semakin berat seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan keluarga. Di samping masih cukup tingginya jumlah kelahiran, juga adanya pergeseran/peralihan peran gender dalam keluarga di mana istri-lah yang menjadi pencari nafkah utama. Hal ini biasanya disebabkan suami bekerja tidak tetap

(“serabutan” ) atau bahkan tidak bekerja sama sekali.

Salah satu kabupaten yang mempunyai banyak keluarga yang mengalami alih peran gender tersebut adalah Kabupaten Purbalingga. Hal ini diperkirakan muncul sekitar tahun 2005-an semenjak berdirinya puluhan perusahaan rambut (membuat bulu mata dan rambut palsu) yang menyerap ribuan pekerja perempuan. Dari sinilah kemudian muncul istilah lokal “pamong praja” (papa momong mama kerja). Fenomena ini menarik dan


(2)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50

38

penting untuk dikaji agar diketahui dampaknya terhadap relasi suami-istri, orangtua-anak serta dengan lingkungan di sektiar mereka. Di samping itu juga agar diketahui sejauhmana kebijakan Pemerintah kabupaten (Pemkab) setempat telah berorientasi pada fenomena tersebut. Kajian terhadap fenomena ini juga perlu dilakukan mengingat belum adanya kajian tentang hal ini. Untuk itu, kajian awal tahun pertama (Puspita, dkk., 2012) telah dilakukan untuk menggali informasi tentang: (1) fenomena keluarga “pamong praja” tersebut, (2) pandangan pejabat-pejabat terkait tentang masalah ini, (3) pelaksanaan penyuluhan KB, dan (4) model penyuluhan KB berbasis gender dalam upaya meningkatkan ketahanan keluarga.

Penelitian tersebut dilaksanakan di empat kecamatan (Kecamatan Purbalingga, Kalimanah, Padamara dan Bojongsari) yang warga perempuannya banyak bekerja di perusahaan-perusahaan rambut yang banyak berdiri di lokasi tersebut. Mengingat terbatasnya data dan hasil penelitian sebelumnya, maka sasaran penelitian yang dipilih adalah para Kader KB Desa/Kelurahan yang pada umumnya telah sangat mengenal kondisi dan permasalahan PUS di sekitar mereka disebabkan masa kerja mereka yang lama dalam membantu program KB. Di samping itu, pada umumnya mereka juga menjadi kader untuk bidang-bidang lain seperti kesehatan dan PKK. Dengan demikian, mereka merupakan salah satu tokoh informal di lingkungan mereka. Untuk itulah mereka kemudian menjadi mendapat tugas untuk

menjadi kader kesehatan dan KB yang dikenal dengan Sub Klinik Desa (SKD).

Data dikumpulkan melalui wawancara individual yang didukung dengan diskusi terarah (Focus Group Discussion/FGD) yang kemudian dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif gender. Dari proses ini diperoleh empat temuan penting.

Pertama, fenomena keluarga “pamong praja” memang ada di sekitar lingkungan informan, meskipun belum diketahui pasti jumlahnya. Paling tidak di wilayah terdekat mereka (Rukun Tetangga/RT) terdapat sekitar 10-20 keluarga yang mengalami alih peran gender tersebut. Istrinya bekerja di “PT”, sedangkan suaminya biasanya adalah buruh bangunan, buruh tani, tukang becak atau menganggur (tidak jelas pekerjaannya). Di satu sisi, bekerja di “PT” telah meningkatkan ekonomi keluarga mereka. Akan tetapi, dengan adanya kesenjangan penghasilan, menyebabkan mereka rentan mengalami disharmoni keluarga, terutama yang terkait dengan relasi suami-istri. Hal ini tampak dari beberapa kasus perceraian yang terjadi di beberapa wilayah di sekitar informan. Hal ini mendukung data dari Pengadilan Agama setempat yang menunjukkan tingginya tingkat perceraian di kabupaten ini.

Kedua, meskipun fenomena tersebut telah berjalan lebih dari lima tahunan, akan tetapi keberadaan keluarga “pamong praja” ini belum banyak mendapat perhatian dari Pemkab Purbalingga. Hal ini tampak dari hasil wawancara dengan para pejabat di beberapa instansi yang terkait dengan program


(3)

pemberdayaan keluarga seperti BKBPP, Bappeda, Kementerian Agama dan Dinas Ketenagakerjaan. Bahkan pejabat di lingkungan BKBPP yang sasaran utama instansinya adalah keluarga juga belum terlalu paham dan menyadari munculnya persoalan pergeseran peran gender dan tingginya angka perceraian. Rendahnya pemahaman tentang permasalahan tersebut juga ditemui di lingkungan Tim Penggerak PKK Kabupaten yang programnya sangat jelas ditujukan bagi keluarga. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya grand design kebijakan Pemkab dalam upaya penanganannya.

Ketiga, penyuluhan KB oleh para kader KB Desa/Kelurahan di keempat kecamatan yang menjadi lokasi penelitian masih diskriminatif gender, disebabkan pada umumnya hanya diberikan kepada para perempuan/istri. Alasannya adalah karena mereka menganggap bahwa urusan KB lebih merupakan urusan kaum perempuan/isri. Di samping itu juga karena pendekatan terhadap istri dianggap lebih mudah baik dilihat dari waktu maupun cara penyampaiannya. Penyampaian dapat dilakukan kepada kelompok (pada saat pertemuan rutin bulanan di tingkat RtT dan RW) maupun pendekatan personal/konseling.

Di samping masih diskriminatif gender, materi penyuluhannya pun masih terbatas tentang KB dalam arti sempit yakni berupa pemotivasian untuk menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Sangat jarang dilakukan penyuluhan tentang issue-issue yang terkait dengan keluarga

seperti kesetaraan dan keadilan gender, KDRT dan permasalahan remaja. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan mereka tentang materi-materi tersebut. Forum bulanan yang diadakan oleh BKBPP Unit Kecamatan setempat pada umumnya hanya berupa pemberian informasi dan tugas yang terkait dengan pemotivasian untuk menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang, pencarian akseptor untuk jenis tersebut serta pendataan keluarga. Materi gender dan KDRT pernah diberikan, akan tetapi sangat singkat dan hanya diberikan materinya untuk dipelajari sendiri. Dengan jenis arahan dan keterbatasan informasi ini, mereka hampir tidak pernah memberikan materi yang menyangkut permasalahan keluarga di sekitar mereka, termasuk banyaknya keluarga pamong praja.

Keempat, kondisi keterbatasan para kader tersebut juga disebabkan kurangnya penguasaan PKB (sebagai tenaga formal penyuluh dan “atasan” para kader) disebabkan sangat jarangnya pelatihan/refreshing bagi mereka karena keterbatasan anggaran. Semenjak desentralisasi program ini, kesempatan PKB mendapatkan pelatihan tersebut menjadi sangat terbatas. Beberapa pelatihan yang diadakan oleh Balai Diklat KB di wilayah Banyumas biasanya hanya diikuti oleh beberapa PKB yang ditunjuk secara bergiliran. Adapun forum pertemuan rutin bulanan di tingkat BKBPP lebih sering diisi dengan pemberian informasi kegiatan-kegiatan pelayanan KB yang akan diikutkan disertai pemberian tugas untuk menginformasikannya kepada para SKD di wilayah mereka.


(4)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50

40

Berdasarkan hasil kajian pada tahun pertama tersebut, perlu dilakukan revitalisasi model penyuluhan KB yang berbasis gender agar pendekatan dan materi yang diberikan sesuai dengan kondisi, permasalahan dan kebutuhan PUS setempat. Revitalisasi ini melibatkan keseluruhan proses penyuluhan KB

sejak tahap awal pembuatan kebijakan program KB hingga teknis penyuluhannya. Dari hasil kajian tersebut, diperoleh model revitalisasinya yang dapat disederhanakan sebagai berikut:

Gambar 1. Model Penyuluhan Berperspektif Gender dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Kabupaten Purbalingga

Pada tahun kedua, model tersebut diujicoba di lokasi penelitian. Dengan demikian, tujuan penelitian tahun kedua ini adalah: (1) menumbuhkankan sensitivitas gender di kalangan para pembuat kebijakan yang terkait dengan program KB dan pemberdayaan keluarga, (2) meningkatkan penguasaan dan keterampilan para PKB tentang penyuluhan KB berbasis gender dan ((3) meningkatkan penguasaan dan keterampilan para Kader KB Desa tentang penyuluhan KB berbasis gender. Manfaat yang dihasilkan adalah: (1) meningkatnya sensitivitas gender dalam program KB dan

pemberdayaan keluarga di kalangan para pejabat dari berbagai instansi yang terkait, (2) meningkatnya pemahaman dan penguasaan PKB tentang penyuluhan berbasis gender, dan (3) meningkatnya pemahaman dan penguasaan para Kader KB Desa tentang penyuluhan berbasis gender.

2. Kajian Literatur

Penyuluhan KB adalah kegiatan penyampaian informasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat guna mewujudkan keluarga berkualitas (BKKBN, 2004). Adapun gender adalah “interpretasi mental dan kultural Komitmen Pembuat

Kebijakan dlm program KB & pemberdayaan

Kompetensi PKB ttg Penyuluhan Berperspektif

gender

Ketahanan

Keluarga “Pamong

Praja”

Kompetensi Kader KB ttg Penyuluhan Berperspektif

gender

Ketahanan

Keluarga

Purbalingga


(5)

terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Gender biasanya digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap hhtepat bagi laki-laki dan perempuan” (Umar, 1999). Dapat dikatakan bahwa gender adalah “jenis kelamin (yang ditentukan secara ) sosial” (Fakih, 1995; Mosse, 1996).

Jadi, penyuluhan yang berbasis gender adalah proses pendidikan nonformal yang bertujuan di samping memenuhi kebutuhan praktis gender dari kelompok sasarannya, juga memenuhi kebutuhan strategis gender mereka. Kebutuhan praktis gender adalah pemenuhan kebutuhan individu jangka pendek yang bertujuan mengubah kehidupan melalui kebutuhan pasar, akan tetapi tidak mengubah posisi perempuan yang subordinat. Adapun kebutuhan strategis gender adalah pemenuhan kebutuhan gender agar perempuan dan laki-laki dapat berbagi adil dalam pembangunan. Contoh kegiatannya adalah perubahan dalam pembagian kerja gender, perbaikan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan tenaga kerja wanita (Astuti, 2002).

Sebetulnya, BKKBN juga telah memiliki konsep penyuluhan berperspektif gender melalui konsep Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) responsive gender. KIE adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan dalam rangka meningkatkan dan memanfaatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat, dan mendorongnya agar secara sadar menerima program KB (Pusat

Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan - BKKBN, 2007:39).

KIE yang responsif gender adalah salah satu pendekatan dalam komunikasi yang bertujuan mempercepat perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku. Ini diukur dari berbagai saluran komunikasi, di mana penyampaian dan penerimaan pesannya memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan. Tujuannya adalah: (1) mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang, keluarga dan masyarakat agar mempunyai pemahaman tentang adanya kepentingan antara laki-laki dan perempuan; (2) mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, (3) mengurangi atau menghilangkan segala bentuk diskriminasi gender yang berkembang di masyarakat, dan (4) mendorong tersusunnya kebijakan/program/peraturan yang responsif gender. Caranya adalah dengan melalui lima tahap yakni: (1) analisis situasi, (2) desain strategi, (3) pengembangan rencana, ujicoba bahan dan produksi, (4) pelatihan dan monitoring, dan (5) kegiatan evaluasi (BKKBN, 2007).

Dari uraian di atas tampak bahwa komitmen untuk menerapkan penyuluhan KB berbasis gender sebetulnya sudah ada sejak lama, akan tetapi seringkali tidak diterapkan. Untuk itulah perlu dilakukan banyak kajian tentang hal ini agar dapat diketahui kendalanya, sehingga dapat diupayakan solusinya. Salah satu syarat menerapkan pendekatan ini adalah dengan melibatkan kaum laki-laki/suami. Rendahnya partisipasi laki-laki dalam program KB dimungkinkan


(6)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50

42

disebabkan karena “terdiskriminasikannya” mereka dalam proses penyuluhan KB. Sebagaimana ditemukan Imroni et al. (2009), dukungan suami ikut andil dalam meningkatkan penggunaan implant ibu-ibu di Indramayu.

Penyuluhan KB tidak berhenti pada tujuan untuk perencanaan jumlah dan jarak kelahiran anak saja, melainkan harus terus berlanjut pada tahap berikutnya yang tantangannya justru semakin berat. Setelah melahirkan, orangtua masih memiliki serangkaian tugas dan kewajiban yakni mendidik dan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang serta menerapkan hak-hak anak lainnya (pendidikan, kesehatan, pengembangan potensi dan lainnya). Banyak bukti menunjukkan adanya hubungan positif antara pengasuhan dengan tumbuhkembang anak pada tahap-tahap berikutnya, terutama remaja dan dewasa. Dalam proses tumbuhkembang anak, Myers (1992) mengukuhkan peran sinergis antara aspek psikososial, gizi dan kesehatan yang merupakan satu kesatuan tumbuhkembang anak. Wallender (1989) menambahkan bahwa kompetensi sosial dan emosional pada anak-anak akan mengurangi resiko perilaku negatif seperti mengunsumsi alkohol dan penggunaan narkoba. Kompetensi sosial dan emosional yang baik dalam masa anak-anak akan meningkatkan kesehatan sepanjang siklus hidupnya.

Penyuluhan KB berbasis gender juga bertujuan untuk meningkatkan ketahanan keluarga. Sunarti (2001) menyebutkan bahwa ketahanan keluarga adalah suatu kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan

ketangguhan, baik secara fisik maupun psikis mental spiritual, guna hidup mandiri serta mampu mengembangkan diri dan anggota keluarganya untuk hidup harmoni, sejahtera lahir dan batin. Ukuran ketahanan keluarga yang sahih adalah yang menunjukkan kapasitas keluarga dalam memenuhi ketahanan fisik, ketahanan psikologis dan ketahanan sosial.

Penyuluhan KB dilaksanakan oleh para petugas yang secara resmi diberi mandat untuk itu. Penyuluh KB (PKB) adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan, pelayanan, evaluasi dan pengembangan Keluarga Berencana Nasional. Dengan kata lain, PKB adalah PLKB yang berstatus sebagai pejabat fungsional (BKKBN, 2002).

Mengingat keterbatasan jumlah PKB/PLKB yang tidak seimbang dengan luas wilayah dan jumlah kelompok sasaran, maka dalam program KB, dikembangkan konsep “Kader KB”. Kader KB dikenal juga dengan nama kelompok Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP). Mereka adalah anggota masyarakat yang secara sukarela membantu pelaksanaan program KB. Mereka yang menjalankan tugas di tingkat desa tergabung dalam Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD), di tingkat RW dikenal dengan Sub PPKBD dan di tingkat RT dikenal dengan kelompok-kelompok akseptor.

Peran mereka sangat besar, yakni mempromosikan KB, mengadakan pertemuan, menyediakan informasi, mengorganisasi pengumpulan dana, membantu tabungan dan kredit, mengumpulkan data serta membantu


(7)

aktivitas sosial lainnya (Utomo et al., (2006). Di sisi lain, tantangan kerja mereka semakin berat seiring berkurangnya dukungan media massa sebagaimana tampak dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 (BKKBN online, 30 Maret 2009). Di samping itu, juga karena tingkat pengetahuan para tokoh agama tentang KB masih belum mendalam (BKKBN online, 17 Februari 2008).

Meski tidak digaji, militansi mereka cukup tinggi. Bahkan, dalam kondisi krisis ekonomi tahun 1998 di mana mereka sendiri sebenarnya ikut terkena imbas krisis, sebagian besar kader KB dan kesehatan di wilayah Ciputat masih bertahan. Mereka membantu PKB dan petugas Puskesmas menjalankan program penanggulangan krisis, yang berarti menambah beban kerja mereka (Puspita, 2000). Hasil kajian Revitalisasi Penyuluhan KB pada tahun pertama (Puspita, dkk., 2012) memperkuat kesimpulan tingginya militansi kader. Kader-kader KB Desa di empat kecamatan (Purbalingga, Kalimanah, Bojongsari dan padamara) adalah kader-kader senior, baik dari segi umur maupun “masa kerja”. Pada umumnya mereka berusia 50 tahun dengan masa kerja 15 tahun yang nyaris tanpa pernah berhenti/DO.

Untuk itulah, seiring dengan menurunnya jumlah PKB dan anggaran

penyuluhan KB semenjak

didesentralisasikannya program KB dan semakin kompleksnya permasalahan keluarga di masyarakat, maka mereka dapat diberikan peranan yang lebih strategis sebagai agen

perubahan dalam menjaga ketahanan keluarga di masyarakat. Hal ini sangat dimungkinkan, karena mereka adalah penduduk setempat, sehingga mengetahui dan memahami dinamika kebutuhan dan permasalahan yang terjadi pada keluarga-keluarga di lingkungan tempat tinggalnya.

3. Metode Penelitian

Penelitian tahun ke-2 ini menggunakan pendekatan kualitatif karena ”lebih mampu menjelaskan, memberikan pengertian serta menggali penyebab, alasan-alasan hingga ke akar-akarnya” (Sriyuningsih, 2003). Fokus penelitian pada tahun kedua ini adalah pada kegiatan: (1) meningkatkan pemahaman tentang permasalahan keluarga bagi para pembuat kebijakan dan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang terkait dengan program pemberdayaan keluarga, (2) refreshing pelatihan penyuluhan KB berperspektif gender di kalangan para PKB, dan (3) refreshing pelatihan penyuluhan KB berperspektif gender di kalangan para Kader KB Desa/kelurahan. Untuk itulah, sasaran penelitiannya adalah: (1) para pembuat kebijakan yang terkait dengan program pemberdayaan keluarga di lingkungan Pemkab Purbalingga, (2) para Penyuluh KB (PKB) di 4 kecamatan lokasi penelitian dan (3) Kader KB Desa/Kelurahan (yang disebut dengan SKD) di keempat kecamatan tersebut. Strategi pencapaian tujuan pertama adalah melalui sharing kegiatan dan diskusi. Adapun strategi pencapain tujuan kedua dan ketiga adalah pemaparan materi dan tanya jawab.


(8)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50

44

4. Hasil dan Pembahasan

4.1

Diskusi dengan Para Pejabat dari

Instansi

Pemberdayaan

KB&

Keluarga

Fenomena “Pamong praja” yang

mulai

menggejala

di

Kabupaten

Purbalingga,

khususnya

kecamatan-kecamatan yang di wilayahnya banyak

berdiri perusahaan rambut tidak terlepas

dari kebijakan “pro investasi” Pemkab

Purbalingga. Untuk itulah, tanggal 25 Juni

2013 telah dilakukan diskusi dengan 20

perwakilan dari berbagai instansi yang

terkait

dengan

program

KB

dan

pemberdayaan

keluarga

serta

dari

perwakilan organisasi kemasyarakatan dan

media.

Tujuannya

adalah:

(i)

mendiseminasikan hasil penelitian yang

telah dilakukan, (ii) menggali kebijakan

yang telah dilakukan dan (iii) menggagas

terbentuknya forum Ketahanan Keluarga.

Hasil diskusi tersebut adalah:

pertama

, sebagian besar peserta belum

mengetahui issue “pamong praja” dan

tingginya angka perceraian di Purbalingga

ini. Kebanyakan mereka tidak menduga

bahwa kebijakan pro investasi yang telah

berhasil mendorong masuknya investor

luar negeri ternyata memiliki dampak

negatif. Yang kebanyakan dipahami adalah

bahwa kebijakan ini telah menignkatkan

kondisi perekonomian warga Purbalingga

dengan bekerja di perusahaan-perusahaan

rambut tersebut. Hal ini juga menurunkan

tingkat urbanisasi (ke Jakarta dan

kota-kota besar lainnya) kebanyakan perempuan

Purbalingga yang berpendidikan rendah

(SMP/SMA). Bekerja di sektor ini juga

meningkatkan

status

sosial

mereka

dibandingkan dengan bekerja sebagai

pembantu rumah tangga maupun pekerja di

sektor informal lainnya.

Kedua

, cukup banyak instansi yang

memiliki program pemberdayaan. BKBPP

misalnya, memasukkan program ini di

bawah Bidang Keluarga Sejahera/KS.

Kegiatannya antara lain memberikan

bantuan modal melalui program Usaha

Peningkatan

Pendapatan

Keluarga

Akseptor (UPPKA) sebesar Rp5 juta per

kelompok. Namun demikian, sasaran

programnya tidak dikhususnya kepada

keluarga “pamong praja”, tetapi para istri

yang

telah

memiliki

usaha

seperti

membuat rempeyek, membuka warung dan

sebagainya.

Adapun

untuk

penguatan

ketahanan psikis dan sosial diwadahi

dalam program Bina Keluarga Balita

(BKB) dan Bina Keluarga Remaja (BKR).

Sasarannya adalah keluarga yang memiliki

anak balita dan atau anak remaja.

Materinya adalah adalah tentang tumbuh

kembang anak dan berbagai persoalan

remaja. Materi ini diberikan pada saat

pelaksanaan Posyandu yang dilaksanakan

setiap bulan di tingkat Rukun Warga

(RW). Namun demikian, program-program


(9)

inipun

sekarang

terkendala

oleh

menurunnya jumlah PKB yang tinggal 44

orang

untuk

mengurus

239

desa.

Sementara itu, dukungan kader KB di

tingkat

RT/RW

juga

tidak

dapat

diandalkan disebabkan lemahnya kualitas

kompetensi

mereka

dan

terbatasnya

jumlahnya.

Sementara itu, issue kekerasan

dalam rumah tangga (KDRT) ditangani

oleh Bagian Pemberdayaan Perempuan

yang dalam pelaksanaannya bekerjasama

dengan instansi-instansi lain yang terkait

dalam

sebuah

wadah

Tim

Hapus

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

(“Harapan”).

Instansi-instansi

tersebut

antara

lain

Kepolisian,

Kejaksaan,

Pengadilan, Pengadilan Agama, Rumah

Sakit Umum Daerah (RSUD) setempat.

Selama ini tim ini mampu membantu

menangani kasus-kasus KDRT dan kasus

kekerasan terhadap perempuan secara

umum yang masuk/dilaporkan. Namun

demikian, upaya pencegahannya cukup

terkendala antara lain oleh keterbatasan

anggaran dan lemahnya koordinasi

antar-anggota.

Instansi

lain

yang

memiliki

program pemberdayaan keluarga adalah

Kementerian

Agama

Kabupaten

Purbalingga dengan program Keluarga

Sakinah

yang

menyeleksi

keluarga-keluarga teladan dari tingkat kecamatan

hingga kabupaten. Program lainnya adalah

mereposisi

peran

Badan

Penasehat

Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian

(BP4) tidak lagi berada di

bawah Departemen Agama (kini Kementerian Agama), tetapi sejak tahun 2009 menjadi organisasi profesional sosial keagamaan yang menjadi mitra kerja Kementerian Agama dalam mewujudkan keluarga sakinah mawadah warahmah. Jadi peran

dan fungsinya tidak

sekedar menjadi lembaga penasihat, tetapi

juga sebagai mediator dan advokasi. Salah

satu

kegiatannya

adalah

dengan

memberikan penasihatan calon pengantin

melalui program terintegrasi dan terukur

yang

mengacu

kepada

kurikulum

sebagaimana Peraturan Direktur Jenderal

Bimas Islam Nomor Dj.II/491 Tahun 2009

tentang Kursus Calon Pengantin.

Badan Pemberdayaan Masyarakat

(Bapermas) dan Tim PKK pun memiliki

banyak program pemberdayaan keluarga.

Di antaranya adalah program-program

Program

Nasional

Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri. Namun

demikian, diakui bahwa sasaran

program-program tersebut tidak secara khusus

diberikan

kepada

keluarga

“pamong

praja”, tetapi kepada kelompok-kelompok

perempuan/istri

maupun

kelompok-kelompok

laki-laki/suami

yang

mengajukan. Permasalahannya adalah para


(10)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50

46

suami “pamong praja” tersebut belum

terwadahi dalam kelompok, sehingga tidak

terdeteksi dan tidak diprioritaskan untuk

mendapat bantuan keterampilan, modal

kerja dan sebagainya.

Ketiga

, sebetulnya selama ini telah

dibentuk

Forum

Penanggulangan

Kemiskinan yang melibatkan banyak

instansi terkait dan langsung dipimpin

Wakil Bupati. Akan tetapi, forum ini tidak

berjalan karena baru pernah mengadakan

pertemuan

sekali.

Adapun

Forum

Ketahanan

Keluarga

tidak

ada

dan

tampaknya

tidak

mudah

untuk

membentuknya.

Dari diskusi tersebut disimpulkan

bahwa evaluasi terhadap suatu kebijakan

Pemkab yang telah dibuat (termasuk

kebijakan pro investasi) perlu dilakukan

agar dapat dianalisis dampak positif dan

negatifnya yang akan menjadi dasar

kebijakan

berikutnya.

Forum

Penanggulangan

Kemiskinan

dapat

menjadi

wadah

untuk

mengatasi

permasalahan munculnya pergeseran peran

gender dalam keluarga dan tingginya

perceraian

dengan

memrioritaskan

pemberian pelatihan/modal kepada

suami-suami yang masih pengangguran/setengah

pengangguran.

4.2 Refreshing

Penguatan Kompetensi

PKB dalam Meningkatkan Ketahanan

Keluarga di Purbalingga

Kegiatan ini dilaksanakan pada hari

Rabu, 17 Juni 2013 jam 09-14.00 di Aula

BKBPP

Kabupaten

Purbalingga.

Pesertanya adalah 16 orang PKB di empat

kecamatan lokasi penelitian di mana empat

di antaranya adalah laki-laki. Materinya

adalah: (1) Gender dan Permasalahan

Gender, (2) Konsep dan Isu Gender dalam

Kesehatan Reproduksi, (3) Kekerasan

dalam Rumah Tangga dan (4) Kompetensi

kader PKB. Pada topik “Gender dan

Permasalahan

Gender”,

dijelaskan

pengertian gender dan bedanya dengan

jenis kelamin serta mengapa gender perlu

dipermasalahkan. Materi “Gender dan

kesehatan Reproduksi” menjelaskan bahwa

faktor sosial budaya dan hubungan

kekuasaan antara laki-laki dan perempuan

merupakan faktor penting yang berperan

dalam

mendukung

atau

merugikan

kesehatan seseorang. Materi “Kekerasan

dalam Rumah Tangga” mengungkapkan

pengertian

KDRT,

jenis-jenisnya,

kontradiksi dalam fenomena KDRT serta

upaya penanganan dan pencegahannya.

Adapun materi “Kompetensi Kader KB”

menjelaskan tentang makna kompetensi,

jenis-jenis kompetensi dan kompetensi

yang harus dimiliki oleh kader KB.

Dari diskusi yang muncul dapat

diketahui belum meratanya penguasaan

peserta tentang materi yang diberikan. Hal

ini terutama tampak pada pemahaman

tentang

penyuluhan

dan

konseling


(11)

berperspektif gender. Masih cukup kuat

pemahaman bahwa KB hanyalah urusan

kaum perempuan/istri. Hal ini juga terjadi

di kalangan penyuluh laki-laki.

Forum-forum sosial bagi kaum laki-laki yang

masih berjalan di masyarakat (misalnya

forum RT/RW) nyaris tidak pernah

digunakan untuk menyosialisasikan issue

KB dan kesehatan kepada kaum laki-laki.

Pemahaman dan kurangnya keberanian

untuk berinovasi ini antara lain disebabkan

karena

berkurangnya

motivasi

kerja

mereka mengingat kebanyakan penyuluh

saat ini hampir memasuki usia pensiun (55

tahun).

Sementara itu, proses komunikasi

dan sosialisasi materi-materi tersebut

kepada para Kader KB Desa/kelurahan di

wilayah

masing-masing

juga

belum

optimal disebabkan keterbatasan waktu

pertemuan.

Pada

umumnya

forum

pertemuan dengan para Kader perwakilan

dari masing-masing desa/kelurahan ini

hanya dilakukan sebulan sekali dan

berjalan selama 2-3 jam. Untuk itu, forum

ini

lebih

banyak

digunakan

untuk

menyosialisasikan kegiatan-kegiatan KB di

tingkat kabupaten yang akan diadakan

yang membutuhkan partisipasi kader.

Misalnya, mencari akseptor yang akan

diikutkan

dalam

pelayanan

gratis

(misalnya Metode Operasi Wanita/MOW

maupun Metode Operasi Pria/MOP).

Untuk itulah perlu disiasati agar waktu

yang tersedia tersebut dapat dimanfaatkan

juga untuk pendalaman materi-materi

terkait.

Rendahnya kinerja PKB dalam era

otonomi

daerah

juga

ditemukan

di

beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat.

Hal ini disebabkan karena rendahnya

motivasi kerja, lingkungan kerja dan

kompetensi mereka. Rendahnya motivasi

ditandai

dari

rendahnya

dorongan

berprestasi dan dorongan untuk memiliki

kompetensi memadai. Faktor lingkungan

kerja ditandai oleh kurangnya dukungan

lingkungan sosial (para tokoh masyarakat

dan

tokoh

agama)

serta

dukungan

Pemkab/Pemkot (pemahaman tentang KB

dan kependudukan dari para pejabat di

instansi lain yang tekait, adanya visi dan

misi pembangunan yang berpihak kepada

issu KB dan kependudukan serta adanya

alokasi

anggaran

yang

mendukung)

(Puspita, 2011). Adanya hubungan antara

rendahnya

dukungan

komitmen

Pemkab/Pemkot terhadap program KB

baik secara politis maupun operasional

juga terjadi di Provinsi Sumatera Utara

(Rangkuti, 2007).

4.3

Refreshing

Penguatan Kompetensi


(12)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50

48

Meningkatkan Ketahanan Keluarga di

Purbalingga

Kegiatan ini dilaksanakan tanggal

23 Juli 2013 jam 09.00-14.00 yang diikuti

55 Kader KB Desa/Kelurahan di 4 lokasi

penelitian. Kesemuanya adalah perempuan

yang kebanyakan berusia sekitar 50 tahun

dengan “masa kerja” lebih dari 10 tahun.

Hal ini memperkuat temuan bahwa kader

KB dan kesehatan memang memiliki

“militansi” yang tinggi, termasuk dalam

kondisi krisis ekonomi sekalipun (Puspita,

2000). Peran mereka tidak saja terkait

dengan upaya memromosikan program

KB,

melainkan

juga

mengadakan

pertemuan,

menyediakan

informasi,

mengorganisasi

pengumpulan

dana,

membantu

tabungan

dan

kredit,

mengumpulkan data serta membantu

aktivitas sosial lainnya (Utomo

et al.

,

2006). Peran Kader KB semakin penting

dalam era otonomi daerah seiring dengan

berkurangnya jumlah PKB, sebagaimana

juga ditemukan Puspita di Kota Bogor dan

Depok serta kabupaten Cianjur (2011).

Tantangan kerja para PKB dan

kader KB semakin berat seiring dengan

menurunnya dukungan media massa. Hasil

Survei

Demografi

dan

Kesehatan

Indonesia

(SDKI)

tahun

2007

menunjukkan

menurunnya

peranan

berbagai

media

massa

dalam

menginformasikan KB. Tahun 2002/2003,

terdapat 52,0 persen perempuan pernah

kawin yang dalam waktu satu bulan

sebelum

wawancara

pernah

mendengar/melihat

pesan

KB

dari

radio/TV/koran/majalah/poster/pamphlet.

Adapun pada SDKI 2007, persentasenya

menurun menjadi 33,3 persen (BKKBN

online

, 30 Maret 2009).

Di samping itu,

juga karena tingkat pengetahuan para

tokoh agama tentang KB masih belum

mendalam (BKKBN

online

, 17 Februari

2008). Untuk itulah, forum

refreshing

bagi

kader ini juga mengikutkan 8 orang

laki-laki perwakilan dari kalangan tokoh

masyarakat dan agama di ke-4 lokasi

penelitian.

Mempertajam

materi

pada

pembekalan bagi PKB, isu gender yang

ditampilkan

dalam

acara

ini

lebih

dikhususkan pada masalah gender dalam

perspektif Islam. Hal ini dianggap penting,

karena baik kader dan PUS mayoritas

beragama Islam. Dari hasil diskusi dan

tanya jawab melalui teknik permainan dan

pemberian

door price

tampak bahwa

tingkat pemahaman peserta tentang gender,

gender dari perspektif Islam serta teknik

konseling berperspektif gender masih

rendah.

Untuk

itu

perlu

dilakukan

pemberian materi secara lebih intensif.

5.

Kesimpulan dan Saran

Dari proses penelitian tahun kedua

yang merupakan ujicoba model ini

disimpulkan sebagai berikut:


(13)

(1)

Belum semua pejabat terkait telah

memahami permasalahan rendahnya

ketahanan keluarga di Kabupaten

Purbalingga dan belum ada forum

ketahanan

keluarga

yang

menanganinya. Forum Penanggulangan

Kemiskinan yang beranggotakan lintas

instansi yang dipimpin Wakil Bupati

yang sudah adapun tidak berjalan

efektif. Padahal sebetulnya lembaga ini

cukup strategis sebagai wadah untuk

sekaligus

meningkatkan

ketahanan

keluarga di Purbalingga.

(2) Tingkat pemahaman PKB tentang

gender dan penyuluhan berperspektif

gender

masih

perlu

ditingkatkan,

terutama yang menyangkut hal-hal

teknis.

(3) Tingkat pemahaman kader KB tentang

gender dan penyuluhan berperspektif

gender juga masih perlu ditingkatkan,

terutama yang menyangkut hal-hal

teknis.

Sehubungan

dengan

temuan

tersebut, disarankan beberapa hal yakni:

(1)

Pemkab

Purbalingga

perlu

mengefektifkan

Forum

Penanggulangan Kemiskinan agar di

samping mempunyai program terpadu

dan

berkesinambungan

guna

menanggulangi

kemiskinan,

juga

sekaligus

meningkatkan

ketahanan

keluarga

dengan

memrioritaskan

pemberian pelatihan dan modal kepada

para suami dari keluarga-keluarga

“pamong praja”

(2)

Untuk

memenuhi

kebutuhan

peningkatkan kompetensi PKB dan

Kader

KB,

BKBPP

Kabupaten

Purbalingga perlu secara aktif menjalin

jejaring dengan Perguruan Tinggi (baik

sebagai institusi maupun

individu-individu).

Daftar Pustaka

BKKBN. 2002.

Pedoman Kerja PLKB

dalam Menghadapi Perubahan

.

BKKBN. Jakarta.

BKKBN. 2007.

Pemantauan Pasangan

usia Subur (PUS) Melalui Mini

Survei di Indonesia Tahun 2007

.

BKKBN. Jakarta

BKKBN

online

. 17 Februari 2008.

“ Tokoh

Agama

=

Champion”

.

http://www.bk

kbn.go.id/article_detail.php?aid=91

0. [19 September 2008].

Fakih,

Mansour.

1995.

Menggeser

Konsepsi Gender dan Transformasi

Sosial

.

Pustaka

Pelajar.

Yogyakarta.

Imroni M, Fajar N.A., Febry F. 2009.

Faktor-faktor yang Berhubungan

dengan Penggunaan Implan di Desa

Parit Kecamatan Indralaya Utara

Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009.

Upm.fkm.unsri.ac/id/uploads/files/

u_Absrk3.doc. [3 Oktober 2010].

Moose, Julia Cleves. 1993.

Gender dan

Pembangunan

.

Rifka

Annisa

Women’s

Crisis

Centre

dan

Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Myers R. 1992.

The Twelve who Survive:

Strengthening Programs of Early

Childhood Development in the


(14)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 37 – 50

50

Thrid

World

.

Routledge

Publication. London.

Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan

Kualitas Perempuan – BKKBN.

2007.

Desain Komunikasi Gender

dalam

Program

Keluarga

Berencana

Nasional.

Program

Pembinaan

Jarak

Jauh

Pengarusutamaan Gender

(PJJ-PUG).

BKKBN. Jakarta.

Puspita, Dyah Retna. 2000. “Analisis

Kehidupan Kader Posyandu dalam

Masa Krisis Ekonomi (Studi Kasus

di Desa Cipayung, Kecamatan

Ciputat,

Kabupaten

Tangerang,

Jawa

Barat)”.

Tesis.

Jakarta.

Program Pascasarjana, Universitas

Indonesia.

---.

2011.

Pengaruh

Motivasi,

Kompetensi dan Lingkungan Kerja

pada Kinerja Aparatur Penyuluh

Keluarga Berencana. Jurnal Ilmu

Administrasi Negara Vol. 11.

Nomor 1, Januari 2011. Hal. 87-96.

Riau. Program Magister Ilmu

Administrasi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Riau

bekerjasama dengan Perhimpunan

Sarjana

Ilmu

Administrasi

Indonesia Pusat (PERSADI) dan

dengan Indonesia Association for

Public Administration (IAPA).

---.

2011.

Faktor-faktor

yang

Memengaruhi

Kinerja

Kader

Keluarga

Berencana

di

Tiga

Kabupaen/kota di Provisi Jawa

Barat.

Jurnal

Pembangunan

Pedesaan Vol. 11 No. 2, Desember

2011. hal. 86-94. Purwokerto.

Lembaga

Penelitian

dan

Pengabdian kepada Masyarakat

Universitas Jenderal Soedirman.

Puspita, Dyah Retna. Rin Rostikawati.

Lilis

SS.

2012.

“Revitalisasi

Penyuluhan

KB

(Model

Penyuluhan KB Berbasis Gender

dalam

Upaya

Meningkatkan

Ketahanan Keluarga di Kabupaten

Purbalingga).”

LPPM

Unsoed.

(Tahun ke-1). Purwokerto.

Sunarti, Euis. 2001. “Studi Ketahanan

keluarga dan Ukurannya: Telaah

Kasus

Pengaruhnya

terhadap

Kualitas Kehamilan.” Disertasi.

Sekolah

Pascasarjana,

Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Umar,

Nasaruddin,

1000.

Argumen

kesetaraan

Jender

Perspektif

Al_Qur’an. Paramadina. Jakarta.

Utomo ID, Arsyad SS dan Hasmi EN.

2006. Village Family Planning

Volunteers in Indonesia: Their Role

in the Family Planning Programme.

Reproductive

Health

Matters.

2006:14(27):73-82

.

www.rhmjournal.org.uk. [30 Mei

2010].

Wallender JL, Feldman WS dan Varni JW.

1989.

Physical

Status

and

Psychosocial

Adjustment

in

Children

with

Spinn

Bufida.

Journal of Pediatric Psychology

14, 89-102

. [15 Mei 2010].


(1)

Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

45

inipun sekarang terkendala oleh menurunnya jumlah PKB yang tinggal 44 orang untuk mengurus 239 desa. Sementara itu, dukungan kader KB di tingkat RT/RW juga tidak dapat diandalkan disebabkan lemahnya kualitas kompetensi mereka dan terbatasnya jumlahnya.

Sementara itu, issue kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ditangani oleh Bagian Pemberdayaan Perempuan yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan instansi-instansi lain yang terkait dalam sebuah wadah Tim Hapus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (“Harapan”). Instansi-instansi tersebut antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pengadilan Agama, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) setempat. Selama ini tim ini mampu membantu menangani kasus-kasus KDRT dan kasus kekerasan terhadap perempuan secara umum yang masuk/dilaporkan. Namun demikian, upaya pencegahannya cukup terkendala antara lain oleh keterbatasan anggaran dan lemahnya koordinasi antar-anggota.

Instansi lain yang memiliki program pemberdayaan keluarga adalah Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga dengan program Keluarga Sakinah yang menyeleksi

keluarga-keluarga teladan dari tingkat kecamatan hingga kabupaten. Program lainnya adalah mereposisi peran Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) tidak lagi berada di bawah Departemen Agama (kini Kementerian Agama), tetapi sejak tahun 2009 menjadi organisasi profesional sosial keagamaan yang menjadi mitra kerja Kementerian Agama dalam mewujudkan keluarga sakinah mawadah warahmah. Jadi peran dan fungsinya tidak sekedar menjadi lembaga penasihat, tetapi juga sebagai mediator dan advokasi. Salah satu kegiatannya adalah dengan memberikan penasihatan calon pengantin melalui program terintegrasi dan terukur yang mengacu kepada kurikulum sebagaimana Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam Nomor Dj.II/491 Tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin.

Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) dan Tim PKK pun memiliki banyak program pemberdayaan keluarga. Di antaranya adalah program-program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Namun demikian, diakui bahwa sasaran program-program tersebut tidak secara khusus diberikan kepada keluarga “pamong praja”, tetapi kepada kelompok-kelompok perempuan/istri maupun kelompok-kelompok laki-laki/suami yang mengajukan. Permasalahannya adalah para


(2)

terwadahi dalam kelompok, sehingga tidak terdeteksi dan tidak diprioritaskan untuk mendapat bantuan keterampilan, modal kerja dan sebagainya.

Ketiga, sebetulnya selama ini telah dibentuk Forum Penanggulangan Kemiskinan yang melibatkan banyak instansi terkait dan langsung dipimpin Wakil Bupati. Akan tetapi, forum ini tidak berjalan karena baru pernah mengadakan pertemuan sekali. Adapun Forum Ketahanan Keluarga tidak ada dan tampaknya tidak mudah untuk membentuknya.

Dari diskusi tersebut disimpulkan bahwa evaluasi terhadap suatu kebijakan Pemkab yang telah dibuat (termasuk kebijakan pro investasi) perlu dilakukan agar dapat dianalisis dampak positif dan negatifnya yang akan menjadi dasar kebijakan berikutnya. Forum Penanggulangan Kemiskinan dapat menjadi wadah untuk mengatasi permasalahan munculnya pergeseran peran gender dalam keluarga dan tingginya perceraian dengan memrioritaskan pemberian pelatihan/modal kepada suami-suami yang masih pengangguran/setengah pengangguran.

4.2 Refreshing Penguatan Kompetensi PKB dalam Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Purbalingga

Rabu, 17 Juni 2013 jam 09-14.00 di Aula BKBPP Kabupaten Purbalingga. Pesertanya adalah 16 orang PKB di empat kecamatan lokasi penelitian di mana empat di antaranya adalah laki-laki. Materinya adalah: (1) Gender dan Permasalahan Gender, (2) Konsep dan Isu Gender dalam Kesehatan Reproduksi, (3) Kekerasan dalam Rumah Tangga dan (4) Kompetensi kader PKB. Pada topik “Gender dan Permasalahan Gender”, dijelaskan pengertian gender dan bedanya dengan jenis kelamin serta mengapa gender perlu dipermasalahkan. Materi “Gender dan kesehatan Reproduksi” menjelaskan bahwa faktor sosial budaya dan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan merupakan faktor penting yang berperan dalam mendukung atau merugikan kesehatan seseorang. Materi “Kekerasan dalam Rumah Tangga” mengungkapkan pengertian KDRT, jenis-jenisnya, kontradiksi dalam fenomena KDRT serta upaya penanganan dan pencegahannya. Adapun materi “Kompetensi Kader KB” menjelaskan tentang makna kompetensi, jenis-jenis kompetensi dan kompetensi yang harus dimiliki oleh kader KB.

Dari diskusi yang muncul dapat diketahui belum meratanya penguasaan peserta tentang materi yang diberikan. Hal ini terutama tampak pada pemahaman tentang penyuluhan dan konseling


(3)

Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

47

berperspektif gender. Masih cukup kuat pemahaman bahwa KB hanyalah urusan kaum perempuan/istri. Hal ini juga terjadi di kalangan penyuluh laki-laki. Forum-forum sosial bagi kaum laki-laki yang masih berjalan di masyarakat (misalnya forum RT/RW) nyaris tidak pernah digunakan untuk menyosialisasikan issue KB dan kesehatan kepada kaum laki-laki. Pemahaman dan kurangnya keberanian untuk berinovasi ini antara lain disebabkan karena berkurangnya motivasi kerja mereka mengingat kebanyakan penyuluh saat ini hampir memasuki usia pensiun (55 tahun).

Sementara itu, proses komunikasi dan sosialisasi materi-materi tersebut kepada para Kader KB Desa/kelurahan di wilayah masing-masing juga belum optimal disebabkan keterbatasan waktu pertemuan. Pada umumnya forum pertemuan dengan para Kader perwakilan dari masing-masing desa/kelurahan ini hanya dilakukan sebulan sekali dan berjalan selama 2-3 jam. Untuk itu, forum ini lebih banyak digunakan untuk menyosialisasikan kegiatan-kegiatan KB di tingkat kabupaten yang akan diadakan yang membutuhkan partisipasi kader. Misalnya, mencari akseptor yang akan diikutkan dalam pelayanan gratis (misalnya Metode Operasi Wanita/MOW

maupun Metode Operasi Pria/MOP). Untuk itulah perlu disiasati agar waktu yang tersedia tersebut dapat dimanfaatkan juga untuk pendalaman materi-materi terkait.

Rendahnya kinerja PKB dalam era otonomi daerah juga ditemukan di beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat. Hal ini disebabkan karena rendahnya motivasi kerja, lingkungan kerja dan kompetensi mereka. Rendahnya motivasi ditandai dari rendahnya dorongan berprestasi dan dorongan untuk memiliki kompetensi memadai. Faktor lingkungan kerja ditandai oleh kurangnya dukungan lingkungan sosial (para tokoh masyarakat dan tokoh agama) serta dukungan Pemkab/Pemkot (pemahaman tentang KB dan kependudukan dari para pejabat di instansi lain yang tekait, adanya visi dan misi pembangunan yang berpihak kepada issu KB dan kependudukan serta adanya alokasi anggaran yang mendukung) (Puspita, 2011). Adanya hubungan antara rendahnya dukungan komitmen Pemkab/Pemkot terhadap program KB baik secara politis maupun operasional juga terjadi di Provinsi Sumatera Utara (Rangkuti, 2007).

4.3 Refreshing Penguatan Kompetensi Kader KB Desa/kelurahan dalam


(4)

Purbalingga

Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 23 Juli 2013 jam 09.00-14.00 yang diikuti 55 Kader KB Desa/Kelurahan di 4 lokasi penelitian. Kesemuanya adalah perempuan yang kebanyakan berusia sekitar 50 tahun dengan “masa kerja” lebih dari 10 tahun. Hal ini memperkuat temuan bahwa kader KB dan kesehatan memang memiliki “militansi” yang tinggi, termasuk dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun (Puspita, 2000). Peran mereka tidak saja terkait dengan upaya memromosikan program KB, melainkan juga mengadakan pertemuan, menyediakan informasi, mengorganisasi pengumpulan dana, membantu tabungan dan kredit, mengumpulkan data serta membantu aktivitas sosial lainnya (Utomo et al., 2006). Peran Kader KB semakin penting dalam era otonomi daerah seiring dengan berkurangnya jumlah PKB, sebagaimana juga ditemukan Puspita di Kota Bogor dan Depok serta kabupaten Cianjur (2011).

Tantangan kerja para PKB dan kader KB semakin berat seiring dengan menurunnya dukungan media massa. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan menurunnya peranan berbagai media massa dalam menginformasikan KB. Tahun 2002/2003, terdapat 52,0 persen perempuan pernah

sebelum wawancara pernah mendengar/melihat pesan KB dari radio/TV/koran/majalah/poster/pamphlet. Adapun pada SDKI 2007, persentasenya menurun menjadi 33,3 persen (BKKBN

online, 30 Maret 2009). Di samping itu,

juga karena tingkat pengetahuan para tokoh agama tentang KB masih belum mendalam (BKKBN online, 17 Februari 2008). Untuk itulah, forum refreshing bagi kader ini juga mengikutkan 8 orang laki-laki perwakilan dari kalangan tokoh masyarakat dan agama di ke-4 lokasi penelitian.

Mempertajam materi pada pembekalan bagi PKB, isu gender yang ditampilkan dalam acara ini lebih dikhususkan pada masalah gender dalam perspektif Islam. Hal ini dianggap penting, karena baik kader dan PUS mayoritas beragama Islam. Dari hasil diskusi dan tanya jawab melalui teknik permainan dan pemberian door price tampak bahwa tingkat pemahaman peserta tentang gender, gender dari perspektif Islam serta teknik konseling berperspektif gender masih rendah. Untuk itu perlu dilakukan pemberian materi secara lebih intensif.

5. Kesimpulan dan Saran

Dari proses penelitian tahun kedua yang merupakan ujicoba model ini disimpulkan sebagai berikut:


(5)

Dyah Retna Puspita, Rin Rostikawati, Lilis Sri Sulistiani : Implementasi Model Penyuluhan KB Berbasis Gender Dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga Di Kabupaten Purbalingga

49

(1) Belum semua pejabat terkait telah memahami permasalahan rendahnya ketahanan keluarga di Kabupaten Purbalingga dan belum ada forum ketahanan keluarga yang menanganinya. Forum Penanggulangan Kemiskinan yang beranggotakan lintas instansi yang dipimpin Wakil Bupati yang sudah adapun tidak berjalan efektif. Padahal sebetulnya lembaga ini cukup strategis sebagai wadah untuk sekaligus meningkatkan ketahanan keluarga di Purbalingga.

(2) Tingkat pemahaman PKB tentang gender dan penyuluhan berperspektif gender masih perlu ditingkatkan, terutama yang menyangkut hal-hal teknis.

(3) Tingkat pemahaman kader KB tentang gender dan penyuluhan berperspektif gender juga masih perlu ditingkatkan, terutama yang menyangkut hal-hal teknis.

Sehubungan dengan temuan tersebut, disarankan beberapa hal yakni: (1) Pemkab Purbalingga perlu

mengefektifkan Forum

Penanggulangan Kemiskinan agar di samping mempunyai program terpadu dan berkesinambungan guna menanggulangi kemiskinan, juga sekaligus meningkatkan ketahanan keluarga dengan memrioritaskan

pemberian pelatihan dan modal kepada para suami dari keluarga-keluarga “pamong praja”

(2) Untuk memenuhi kebutuhan peningkatkan kompetensi PKB dan Kader KB, BKBPP Kabupaten Purbalingga perlu secara aktif menjalin jejaring dengan Perguruan Tinggi (baik sebagai institusi maupun individu-individu).

Daftar Pustaka

BKKBN. 2002. Pedoman Kerja PLKB dalam Menghadapi Perubahan. BKKBN. Jakarta.

BKKBN. 2007. Pemantauan Pasangan usia Subur (PUS) Melalui Mini Survei di Indonesia Tahun 2007. BKKBN. Jakarta

BKKBN online. 17 Februari 2008. “ Tokoh

Agama = Champion”.

http://www.bk

kbn.go.id/article_detail.php?aid=91 0. [19 September 2008].

Fakih, Mansour. 1995. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi

Sosial. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

Imroni M, Fajar N.A., Febry F. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Implan di Desa Parit Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009. Upm.fkm.unsri.ac/id/uploads/files/ u_Absrk3.doc. [3 Oktober 2010]. Moose, Julia Cleves. 1993. Gender dan

Pembangunan. Rifka Annisa

Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Myers R. 1992. The Twelve who Survive: Strengthening Programs of Early Childhood Development in the


(6)

Publication. London.

Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan – BKKBN. 2007. Desain Komunikasi Gender

dalam Program Keluarga

Berencana Nasional. Program

Pembinaan Jarak Jauh

Pengarusutamaan Gender (PJJ-PUG). BKKBN. Jakarta.

Puspita, Dyah Retna. 2000. “Analisis Kehidupan Kader Posyandu dalam Masa Krisis Ekonomi (Studi Kasus di Desa Cipayung, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Jawa Barat)”. Tesis. Jakarta. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.

---. 2011. Pengaruh Motivasi, Kompetensi dan Lingkungan Kerja pada Kinerja Aparatur Penyuluh Keluarga Berencana. Jurnal Ilmu Administrasi Negara Vol. 11. Nomor 1, Januari 2011. Hal. 87-96. Riau. Program Magister Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau bekerjasama dengan Perhimpunan Sarjana Ilmu Administrasi Indonesia Pusat (PERSADI) dan dengan Indonesia Association for Public Administration (IAPA). ---. 2011. Faktor-faktor yang

Memengaruhi Kinerja Kader Keluarga Berencana di Tiga Kabupaen/kota di Provisi Jawa Barat. Jurnal Pembangunan

2011. hal. 86-94. Purwokerto. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman. Puspita, Dyah Retna. Rin Rostikawati.

Lilis SS. 2012. “Revitalisasi Penyuluhan KB (Model Penyuluhan KB Berbasis Gender dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Keluarga di Kabupaten Purbalingga).” LPPM Unsoed. (Tahun ke-1). Purwokerto.

Sunarti, Euis. 2001. “Studi Ketahanan keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan.” Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Umar, Nasaruddin, 1000. Argumen kesetaraan Jender Perspektif Al_Qur’an. Paramadina. Jakarta. Utomo ID, Arsyad SS dan Hasmi EN.

2006. Village Family Planning Volunteers in Indonesia: Their Role in the Family Planning Programme.

Reproductive Health Matters.

2006:14(27):73-82.

www.rhmjournal.org.uk. [30 Mei 2010].

Wallender JL, Feldman WS dan Varni JW. 1989. Physical Status and Psychosocial Adjustment in Children with Spinn Bufida. Journal of Pediatric Psychology 14, 89-102. [15 Mei 2010].