Sekaten Kata “sekaten” berasal dari bahasa Arab syahadatain yaitu Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan

commit to user tanda pengenal tetap yang menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya, seperti peci putih dan serban ialah lambang h aji.” 50 Pada dasarnya, dalam segala tradisi budaya, simbolisme selalu mengait pada religi atau kepercayaan. Hal ini merupakan upaya mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang menciptakan dan memelihara manusia, langit, bumi dan seisinya, serta yang menentukan ajal seseorang. Unsur-unsur dari kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang Jawa menurut Koentjaraningrat adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kasusasteraan, keyakinan keagamaan, ritual, ilmu gaib serta beberapa pranata dalam organisasi sosialnya. 51 Simbol atau “tanda” yang terdapat di Sekaten juga memiliki makna yang bertujuan untuk selalu mengingat kepada Allah SWT. Beberapa diantaranya ialah:

1. Sekaten Kata “sekaten” berasal dari bahasa Arab syahadatain yaitu

kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang merupakan syarat seseorang untuk masuk Islam. Kalimat syahadat terdiri dari dua konsep keimanan, yaitu syahadat tauhid yang menyatakan bahwa Allah SWT sebagai Tuhan dan syahadat rasul yang menyatakan bahwa Muhammad sebagai nabi atau utusan Allah di muka bumi. Isi dari kalimat syahadat dalam Bahasa I ndonesia ialah “Tiada tuhan selain Allah dan Nabi 50 Kundharu Saddhono, Op.Cit 51 Ibid commit to user Muhammad adalah utusan Allah”. Selain berasal dari kata syahadatain, sekaten juga berasal dari kata beberapa kata: 52 a. Sakatain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat pengecut dan menyeleweng; b. Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan; c. Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan; d. Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; e. Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.

2. Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan

Miyos gongso adalah prosesi ketika gamelan yang disimpan di dalam keraton diboyong keluar menuju halaman Masjid Agung melewati sitinggil dan alun-alun, kemudian gamelan akan dibunyikan selama tujuh hari tujuh malam. Prosesi ini juga disebut ungeling gamelan atau gamelan yang dibunyikan. Gamelan dibawa ke halaman Masjid Agung pada tanggal 5 Rabiul Awal dan akan dibawa kembali ke keraton pada tanggal 12 Rabiul Awal sebelum prosesi Garebeg Maulud atau yang juga disebut gunungan. 52 Tim Penulis Masjid Agung Surakarta, Sejarah Masjid Agung Surakarta, Yogyakarta, Absolute Media, 2014, hal 129-130 commit to user Gamelan tersebut berjumlah dua perangkat yang diberi nama Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu. Keduanya diletakkan di dalam bangsal Pradonggo di halaman Masjid Agung. Kyai Guntur Madu diletakkan di selatan, Kyai Guntur Sari diletakkan di utara. Kyai Guntur Madu memainkan gendhing Rambu yang berasal dari kata Robbuna yang berarti Allah Tuhanku, sehingga gamelan ini disimbolkan sebagai syahadat tauhid. Sedangkan, Kyai Guntur Sari memainkan gendhing Rangkung yang berasal dari kata Roukhun yang berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung menurut etimologi atau lebih tepatnya kerata basa atau jarwa dhasaknya berasal dari kata ‘barang kakung’ yang menginterpretasikan pada seorang Nabi, Khalifah, dan Raja-Raja Mataram yang kesemuanya laki-laki. Dan kemudian gamelan Kyai Guntur Sari disimbolkan sebagai syahadat rasul. Kedua perangkat gamelan dibunyikan secara bergantian dari pukul 9 pagi hingga pukul 12 malam. Namun ketika waktu sholat lima waktu tiba, gamelan akan berhenti agar masyarakat dapat bersama-sama menunaikan ibadah sholat. Selain pada waktu sholat lima waktu, gamelan juga diistirahatkan pada hari Jum’at, karena hari Jum’at adalah hari agung bagi umat Islam.

3. Kinang