KAJIAN PENGGUNAAN ASAM KLORIDA DAN ASAM PERASETAT PADA PROSES PRODUKSI PULP ACETOSOLV DARI AMPAS TEBU DAN BAMBU BETUNG

(1)

ABSTRACT

STUDY USING OF HYDROCHLORIDE ACID AND PEROXYACETID ACID ON ACETOSOLV PULP PRODUCTION PROCESS FROM

SUGARCANE BAGASSE AND BAMBOO BETUNG

By

FERDI YANTO

The waste of agroindustry that can be used as raw materials for pulp making industry are sugarcane bagasse and bamboo. The technology used in the pulp production process is acetosolv. This research used hydrochloride acid (HCl) as a catalyst in the process of cooking and peroxyacetid acid in the process of bleaching. The purposes of the study were to determine the influence of HCl concentration and duration of cooking on the chemical properties of the resulted pulp and peroxyacetid acid to evaluate the effect of chemical and physical properties of pulp produced.

The factors investigated in this phase were the concentrations of HCl which consisted of 5 levels: (H1) 0.125%, (H2) 0.25%, (H3) 0.5%, (H4) 1%, and (H5) 2% and the cooking duration that consisted of 2 levels: (L1) 2 hours and (L2) 4 hours. The best results from the phase of pulp cooking, was used for further research which has the effect of peroxyacetid acid on the pulp bleaching process. The research in this phase was prepared by a single treatment in a structured Complete Randomised Group Design. The concentrations of


(2)

peroxyacetid acid were 0% (v/v), 5% (v/v), 10% (v/v), 15% (v/v) and 20% (v/v).

The overall research was carried out in three replications and then the data were analyzed by using Bartlett Test. Tuckey Test was used for their homogenity and additivity. Then they were analyzed further using LSD to look for differences between the cooking process, the data on the bleaching process were analyzed using Duncant Test each at levels 1% and 5% (Steel and Torrie, 1995).

The results showed the best results was obtained from the cooking process using HCl concentration of 0.25% and cooking time of 2 hours. The pulp yield was 57.52% and contained 68.12%, 11.83%, 13.53% of cellulose, hemicellulose, and lignin respectively. The best results was obtained from the bleaching process through using peroxyacetid acid 15%, has the characteristic of cellulose content of 79.69%, hemicellulose content 11.47%, lignin content 5.18%, degree of white pulp (whiteness) 87.40%, tear index 3,97 mN m2/g, tensile index 27.53 Nm/g and resulted in yield of 74.03%.

Keywords: cellulose, acetosolv pulping, hydrochloride acid, peroxyacetid acid. Ferdi Yanto


(3)

ABSTRAK

KAJIAN PENGGUNAAN ASAM KLORIDA DAN ASAM PERASETAT PADA PROSES PRODUKSI PULP ACETOSOLV DARI AMPAS TEBU

DAN BAMBU BETUNG

Oleh FERDI YANTO

Bahan baku alternatif yang dapat digunakan dalam pembuatan pulp adalah ampas tebu dan bambu. Teknologi proses produksi pulp yang digunakan dalam penelitian ini yaitu acetosolv. Penelitian ini menggunakan larutan asam klorida (HCl) sebagai katalis dalam proses pemasakan dan larutan pemasak asam perasetat dalam proses pemutihan. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh konsentrasi HCl dan lama pemasakan terhadap sifat kimia pulp yang dihasilkan dan mengetahui pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap sifat kimia dan sifat fisik pulp yang dihasilkan.

Faktor-faktor yang diteliti pada tahap ini adalah konsentasi HCl yang terdiri dari 5 taraf yaitu (H1) 0,125%, (H2) 0,25%, (H3) 0,5%, (H4) 1% dan (H5) 2%; dan lama pemasakan yang terdiri dari 2 taraf yaitu (L1) 2 jam dan (L2) 4 jam. Hasil terbaik dari tahap pemasakan pulp dilakukan penelitian selanjutnya yaitu pengaruh konsentrasi asam perasetat pada proses pemutihan pulp. Penelitian dalam tahap ini disusun dengan perlakuan tunggal terstruktur dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS). Perlakuan tunggal dengan konsentrasi


(4)

asam perasetat yaitu 0% (v/v), 5% (v/v), 10% (v/v), 15% (v/v) dan 20% (v/v).

Keseluruhan penelitian dilakukan tiga kali ulangan dan selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan uji Bartlett. Kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey, kemudian dilakukan analisis ragam untuk melihat adanya perbedaan data, pada proses pemasakan diolah lebih lanjut dengan Beda Nyata Terkecil (BNT) dan data pada proses pemutihan menggunakan Duncant test masing-masing pada taraf 1% dan 5% (Steel dan Torrie, 1995).

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa hasil terbaik proses pemasakan diperoleh dari konsentrasi HCl 0,25% dan lama waktu pemasakan 2 jam dengan nilai kadar selulosa sebesar 68,12%, kadar hemiselulosa 11,83%, kadar lignin 13,53% dan menghasilkan rendemen sebesar 57,52%. Hasil terbaik proses pemutihan diperoleh dari konsentrasi asam perasetat 15% dengan nilai kadar selulosa sebesar 79,69%%, kadar hemiselulosa 11,47%, kadar lignin 5,18%,

derajat putih pulp 87,40% (putih), indeks sobek 3,97 mN m2/g, indeks tarik 27,53 Nm/g dan menghasilkan rendemen sebesar 74,03%.

Kata kunci: sellulosa, pulping acetosolv, asam klorida, asam perasetat.


(5)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa :

1) Konsentrasi larutan HCl berpengaruh terhadap sifat kimia pulp dari ampas tebu dan bambu betung, sedangkan lama waktu tidak berpengaruh terhadap sifat kimia pulp yang dihasilkan. Hasil terbaik proses pemasakan diperoleh dari konsentrasi HCl 0,25% dan lama waktu pemasakan 2 jam dengan nilai kadar selulosa sebesar 68,12%, kadar hemiselulosa 11,83%, kadar lignin 13,53% dan menghasilkan rendemen sebesar 57,52%.

2) Konsentrasi asam parasetat berpengaruh terhadap sifat kimia dan derajat putih pulp dari ampas tebu dan bambu betung yang dihasilkan. Hasil terbaik proses pemutihan diperoleh dari konsentrasi asam perasetat 15% dengan nilai kadar selulosa sebesar 79,69%, kadar hemiselulosa 11,47%, kadar lignin 5,18%, derajat putih pulp 87,40% (putih), indeks sobek 3,97 mN m2/g, indeks tarik 27,53 Nm/g dan menghasilkan rendemen sebesar 74,03%.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian ukuran serpih bahan baku terutama bambu betung yang digunakan, hal tersebut karena ukuran serpih juga dapat mempengaruhi tingkat konsentrasi pelarut dan kematangan pulp yang dihasilkan.


(6)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Industri pulp dan kertas merupakan industri yang cukup penting untuk keperluan pendidikan, perkantoran, dan pengemasan dalam perindustrian. Kebutuhan pulp dan kertas Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kemajuan aktivitas yang berhubungan dengan pemakaian kertas. Pada tahun 2007, Indonesia mengimpor pulp sebesar 0,86 juta ton senilai US$ 605,53 juta dan kertas sebesar 0,42 juta ton senilai US$ 499,72 juta (Anonim, 2008).

Pada tahun 2008 kegiatan ekspor dan impor pulp-kertas Indonesia mengalami peningkatan dengan nilai masing-masing mencapai US$ 5,219,62 miliar dan US$ 2,518,49 miliar. Penurunan ekspor dan impor terjadi pada tahun 2009 yang hanya mencapai nilai masing-masing US$ 4,859,58 miliar dan US$ 2,279,81 miliar. Penurunan kegiatan ekspor dan impor terjadi akibat krisis finansial yang dialami Amerika Serikat yang berdampak pada terjadinya krisis finansial global (Anonim, 2009). Sampai saat ini bahan baku pembuatan pulp masih menggunakan kayu alam dan kayu hasil tanaman hutan.

Penggunaan kayu sebagai bahan baku industri pulp akan mengalami penurunan akibat eksploitasi hutan secara terus menerus tanpa penanganan yang seimbang dan semakin menipisnya cadangan kayu serta berkurangnya luas hutan


(7)

di Indonesia (Biro, 2001; Deperindag dan APKI, 2001; Barr, 2001; Arifin, 2008). Laju kerusakan hutan pada periode 2001-2004 meningkat menjadi 3,6 juta hektar pertahun karena penggunaan kayu untuk industri pulp (Anonim, 2006a). Kerusakan hutan akan terus meluas setiap tahun yang dapat mengakibatkan penggundulan hutan dan tidak seimbangnya ekosistem lingkungan, sehingga banyak menimbulkan bencana alam. Selain memberikan dampak positif pada perekonomian suatu wilayah, dunia perindustrian juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya pencemaran dan perusakan lingkungan (Nugraha dan Susanti, 2006). Oleh sebab itu, perlu alternatif bahan baku pengganti kayu yang dapat dimanfaatkan menjadi pulp dan kertas.

Salah satu limbah agroindustri yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan baku industri pembuatan pulp adalah ampas tebu (bagas). Ampas tebu merupakan limbah padat lignoselulosa yang dihasilkan oleh industri gula yang belum dimanfaatkan secara optimal. Selama ini ampas tebu hanya digunakan untuk bahan bakar boiler, pakan ternak, dan bahan baku kompos. Pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku industri pulp dengan pemakaian teknologi yang tepat guna akan memberikan nilai ekonomi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah industri gula.

Ampas tebu merupakan limbah dari industri gula yang ketersediaannya berlimpah. Volume ampas tebu dari pengolahan industri gula tebu mencapai 30-34% dari tebu giling. Pada tahun 2008 luas tanaman tebu di Indonesia dapat mencapai 436.500 ha dan diperkirakan setiap hektar tanaman tebu mampu menghasilkan 100 ton ampas tebu. Dengan demikian potensi ampas tebu pada tahun 2008 dapat mencapai 43.650.000 ton (Anonim, 2005). Meningkatnya


(8)

pertumbuhan industri gula di Indonesia berdampak pula pada meningkatnya limbah lignoselulosa yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam upaya terpeliharanya lingkungan dan keberlanjutan industri tersebut, maka industri harus meningkatkan pengelolaan limbahnya melalui pengolahan yang lebih efektif dan kemungkinan pemanfaatannya. Penemuan teknologi yang tepat untuk mengolah ampas tebu menjadi bahan baku pulp akan memberikan manfaat besar bagi penanggulangan limbah agroindustri tersebut.

Ampas tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp, tetapi salah satu kelemahannya adalah seratnya yang pendek dan mengandung lignin yang tinggi. Penelitian pengunaan ampas tebu sebagai bahan baku pembuatan pulp dengan metode organosolve sudah dilakukan sebelumnya, tetapi kertas yang dihasilkan belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga perlu penambahan bahan yang memiliki serat panjang seperti bambu dan optimasi proses produksi. Oleh sebab itu perlu penelitian optimasi proses organosolve untuk campuran ampas tebu dan bambu yang menghasilkan pulp dan kertas dengan karakteristik sifat fisik dan kimia yang sesuai standar SNI.

Tanaman bambu sebagai bahan baku pembuatan pulp mudah diproduksi dan penyebaran tanaman bambu hampir merata di seluruh daerah Indonesia dengan luas areal tanam mencapai 11,62 juta hektar (Anonim, 2006b). Bambu memiliki keunggulan sebagai bahan pembuat kertas, antara lain bahan mudah diperoleh, kandungan selulosa yang sangat cocok untuk dijadikan bahan kertas dan rayon yaitu sebesar 55% memiliki ketahanan tarik mencapai 28,7 kg/cm2 sehingga memenuhi SNI (0830-83) bahkan China sangat mengandalkan bambu sebagai bahan baku industri kertasnya (Silitonga dan Pasaribu, 1974).


(9)

Proses produksi pulp dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu mekanik, semikimia, dan kimia. Pembuatan dengan cara mekanik dan semikimia telah banyak ditinggalkan karena proses produksinya mensyaratkan beberapa variabel yang saling berkaitan satu sama lain dan membutuhkan energi yang berlebih untuk mendapatkan pulp dengan sifat fisik yang baik. Pembuatan pulp dengan cara kimia dapat dilakukan dengan proses sulfat atau kraft dan proses soda. Pulp yang dihasilkan dari proses kraft atau soda memiliki karakteristik yang baik dan mampu menghasilkan rendemen yang tinggi. Proses kraft mempunyai kelemahan yaitu menimbulkan pencemaran lingkungan dengan kemampuan daur ulang yang rendah sehingga sulit memenuhi tujuan industri dengan sistem berkelanjutan, pulp yang dihasilkan masih berwarna coklat sehingga masih memerlukan proses pemutihan, dan memerlukan kapasitas yang besar untuk dapat beroperasi secara ekonomis (Fengel dan Wegener, 1995).

Salah satu teknologi yang sedang berkembang dan ramah lingkungan adalah proses pembuatan pulp dengan menggunakan pelarut organik sebagai bahan pemasaknya yang disebut dengan proses organosolve. Keunggulan proses organosolve adalah rendemen pulp tinggi, pendauran lindi hitam dapat dilakukan dengan mudah, juga diperoleh hasil samping berupa lignin dan furfural dengan kemurnian yang relatif tinggi dan ekonomis dalam skala kecil (Aziz dan Sarkanen, 1989). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pulping organosolv adalah rasio pelarut dengan air, rasio antara jumlah pelarut pemasak dengan bahan yang akan dimasak, suhu pemasakan, lama pemasakan, dan jenis serta konsentrasi katalis yang digunakan (Young dan Akhtar, 1998; Muurinen, 2000; Dominggus dan Lazslio, 2004; Goncalves et al., 2005). Penelitian ini menggunakan pelarut


(10)

asam asetat dengan penambahan katalis berupa asam klorida (HCl) yang berfungsi untuk mempercepat reaksi. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dipelajari konsentrasi katalis dan lama pemasakan yang tepat untuk menghasilkan pulp dengan sifat kimia terbaik.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, proses produksi pulp dengan metode organosolve berbahan baku non kayu menghasilkan pulp berwarna coklat atau gelap. Mardiana (2003) melaporkan bahwa pulp dari ampas tebu yang dimasak menggunakan pelarut berupa asam asetat 100% v/v pada suhu 160oC dan lama waktu 2 jam mengasilkan nilai rendemen sebesar 61,24%, selulosa 60,69%, lignin 24,78%, dan pulp masih berwarna coklat. Warna gelap pada pulp disebabkan oleh kandungan lignin yang masih tinggi sehingga diperlukan proses pemutihan untuk mengurangi lignin dan meningkatkan derajat putih dari pulp tersebut.

Pemutihan pulp memiliki tujuan utama untuk menaikkan derajat putih dengan penambahan bahan kimia. Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk pemutihan pulp yaitu klor, klor dioksida, dan natrium. Pada aplikasinya bahan-bahan kimia tersebut ternyata menimbulkan dampak yang serius pada lingkungan, memiliki reaktivitas yang tinggi dalam fase gas, dan beracun (Fengel dan Wegener, 1995). Salah satu bahan kimia sebagai oksidator yang dapat digunakan dalam proses pemutihan pulp dan tidak berbahaya bagi lingkungan adalah asam perasetat. Asam perasetat merupakan oksidator kuat yang terbentuk dari asam asetat dan hidrogen peroksida. Proses pemutihan pulp tergantung pada beberapa faktor yaitu suhu, konsentrasi pelarut, dan lama waktu reaksi.


(11)

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1) Mengetahui pengaruh konsentrasi HCl dan lama pemasakan terhadap sifat kimia pulp yang dihasilkan.

2) Mengetahui pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap sifat kimia dan sifat fisik pulp yang dihasilkan.

1.3 Kerangka Pemikiran

Pulp acetocell merupakan salah satu jenis pulp non-konvensional dan termasuk pulp organosolv. Pulp acetocell menggunakan pelarut organik asam asetat sebagai komponen utama dari larutan pemasaknya (Simanjuntak, 1994). Beberapa variabel dalam proses pemasakan pulp acetocell yang perlu diperhatikan yaitu perbandingan larutan pemasak dengan berat serpih, suhu dan lama waktu pemasakan, serta konsentrasi larutan pemasak dan jenis serta konsentrasi katalis. Menurut Sarkanen (1968) katalis berfungsi mempercepat reaksi proses pemasakan dan penggunaan suhu yang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan pemasakan tanpa katalis. Menurut Heckrodt dan Thompson (1992) jenis katalis yang mungkin dapat digunakan dalam proses produksi pulp yaitu potasium asetat, alumunium asetat, ammonium asetat, kalsium asetat, magnesium asetat, sodium asetat, litium asetat, aseton, asam sulfat, a 1-4 alkohol karbon atau hasil-hasil reaksi dari bahan-bahan kimia tersebut. Menurut Schutz and Knackstedt (1942) kayu tidak dapat didelignifikasi menggunakan asam asetat pada suhu 107oC, tetapi hal tersebut dapat terjadi dengan penambahan katalis berupa HCl dengan konsentrasi 1%-2%


(12)

Asam klorida merupakan asam kuat yang bersifat korosif, namun asam ini digunakan secara luas bagi kepentingan industri. Keuntungan pemakaian HCl sebagai katalisator dalam pembuatan pulp yaitu mampu mempercepat proses pemasakan, mendelignifikasi lignin dari bahan, dan mengurangi suhu pemasakan. Dominggus dan Lazslio (2004) menyatakan bahwa dengan penambahan konsentrasi katalis berupa HCl 1% proses pulping dapat dilakukan pada suhu 108oC dengan tekanan 1 atm dibandingkan tanpa penggunaan katalis dimana suhu pulping dapat mencapai 170oC. Suhu dan waktu pemasakan mempengaruhi rendemen dan delignisasi (Pureri, 1992). Menurut Casey (1966) pembuatan pulp dengan suhu tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan degradasi selulosa sehingga rendemen pulp rendah. Hasil penelitian Goncalves et al. (2005) menunjukkan bahwa rasio pelarut : ampas tebu 1:14 (w/v) dengan suhu pulping 110°C, dan lama pemasakan selama 2 jam dengan katalis HCl memberi hasil yang baik pada pulp.

Penambahan katalis dengan beberapa konsentrasi dan lama pemasakan yang berbeda akan menghasilkan karakteristik pulp yang beragam. Penelitian Muladi et al. (2002) menggunakan metode acetocell (93% asam asetat dan HCl 0,17%) yang dilakukan pada suhu 110oC selama 2-5 jam pada kayu Spruce menghasilkan rendemen 49%-54% dan bilangan Kappa 13%-20%, kekuatan tarik 650, dan kekuatan jebol 70. Hasil penelitian Zulferiyenni (2009) menunjukkan bahwa proses produksi pulp dari ampas tebu dan pelepah pisang menggunakan pelarut asam asetat 80% dan katalis HCl 0,5% serta lama pemasakan 4 jam menghasilkan selulosa sebesar 70,29%, hemiselulosa 7,65%, dan lignin 14,45%.


(13)

Pulp hasil pulping organosolv memiliki warna coklat atau gelap. Hasil pemasakan pulp dari ampas tebu masih menghasilkan warna gelap karena kandungan lignin tinggi (Hidayati, 1999; Mardiana, 2003; dan Zuidar, 2007). Proses pemutihan (bleaching) adalah suatu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan derajat putih pulp. Pemutihan dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan pendegradasian lignin sisa pemasakan menggunakan bahan kimia. Keberadaan lignin dalam jumlah yang tinggi akan mencerminkan kualitas pulp. Tujuan pemutihan pulp kimia adalah untuk menghilangkan sisa lignin setelah proses pemasakan untuk memperoleh pulp dengan derajat putih di atas 90% atau untuk memperoleh kualitas semi pemutihan dengan derajat putih berkisar antara 60%-70% (Fengel dan Wegener, 1995).

Pemutihan dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat oksidator dan reduktor. Penggunaan klor sebagai oksidator menimbulkan pencemaran lingkungan, sedangkan bahan kimia yang bersifat reduktor seperti ditionit membutuhkan zat penstabil agar tidak terjadi penguraian (Fengel dan Wegener, 1995). Menurut Casey (1966) selulosa dapat mengalami kerusakan akibat reaksi oksidasi, oleh sebab itu perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pemutihan seperti tingkat pemutihan, jumlah dan zat pemutih yang dipakai, waktu dan suhu pemutihan serta konsentrasi pemutih. Salah satu bahan kimia yang bersifat oksidator dan dapat digunakan dalam proses pemutihan pulp adalah asam perasetat.

Asam perasetat merupakan hasil reaksi antara asam peroksida dengan asam asetat dan merupakan oksidator kuat dibandingkan asam peroksida. Asam perasetat memiliki bilangan oksidasi tinggi dan kuat pada deretan asam peroksi


(14)

karboksi dan juga asam formiat (Muladi, 1992). Delignifikasi asam perasetat umumnya dinyatakan cukup melindungi selulosa seperti halnya metode klor dan klorit (Fengel dan Wegener, 1995). Penguraian asam perasetat tergantung pada pH larutan dengan kondisi suhu tertentu serta konsentrasi dari asam perasetat. Konsentrasi bahan kimia dan nilai pH mempunyai pengaruh besar terhadap derajat delignifikasi dan viskositas dibanding dengan pengaruh konsistensi dan suhu. Kenaikkan asam perasetat 3% sampai dengan 8% akan memperbaiki delignifikasi pada pH netral selama viskositas tidak berubah (Bailey dan Dance, 1966). Liliawati (2003) melaporkan bahwa penggunaan asam perasetat pada konsentrasi 0%, 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%, suhu 85oC selama 3 jam pada proses pemutihan dari pulp ampas tebu yang dimasak dengan metode acetosolve tanpa katalis menghasilkan karakteristik pulp yang belum memenuhi SNI 14-0091-1998 (pulp kertas koran) yaitu derajat putih sebesar 32,0050% dan indeks sobek 1,8100 Nm2/kg sehingga masih perlu kajian penggunaan konsentrasi asam perasetat yang tepat untuk menghasilkan pulp dari campuran ampas tebu dan bambu dengan karakteristik sifat fisik dan kimia sesuai SNI.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1) Konsentrasi HCl dan lama pemasakan berpengaruh terhadap sifat kimia pulp yang dihasilkan.

2) Konsentrasi asam perasetat akan mempengaruhi sifat kimia dan fisik pulp yang dihasilkan.


(1)

Proses produksi pulp dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu mekanik, semikimia, dan kimia. Pembuatan dengan cara mekanik dan semikimia telah banyak ditinggalkan karena proses produksinya mensyaratkan beberapa variabel yang saling berkaitan satu sama lain dan membutuhkan energi yang berlebih untuk mendapatkan pulp dengan sifat fisik yang baik. Pembuatan pulp dengan cara kimia dapat dilakukan dengan proses sulfat atau kraft dan proses soda. Pulp yang dihasilkan dari proses kraft atau soda memiliki karakteristik yang baik dan mampu menghasilkan rendemen yang tinggi. Proses kraft mempunyai kelemahan yaitu menimbulkan pencemaran lingkungan dengan kemampuan daur ulang yang rendah sehingga sulit memenuhi tujuan industri dengan sistem berkelanjutan, pulp yang dihasilkan masih berwarna coklat sehingga masih memerlukan proses pemutihan, dan memerlukan kapasitas yang besar untuk dapat beroperasi secara ekonomis (Fengel dan Wegener, 1995).

Salah satu teknologi yang sedang berkembang dan ramah lingkungan adalah proses pembuatan pulp dengan menggunakan pelarut organik sebagai bahan pemasaknya yang disebut dengan proses organosolve. Keunggulan proses organosolve adalah rendemen pulp tinggi, pendauran lindi hitam dapat dilakukan dengan mudah, juga diperoleh hasil samping berupa lignin dan furfural dengan kemurnian yang relatif tinggi dan ekonomis dalam skala kecil (Aziz dan Sarkanen, 1989). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pulping organosolv adalah rasio pelarut dengan air, rasio antara jumlah pelarut pemasak dengan bahan yang akan dimasak, suhu pemasakan, lama pemasakan, dan jenis serta konsentrasi katalis yang digunakan (Young dan Akhtar, 1998; Muurinen, 2000; Dominggus dan Lazslio, 2004; Goncalves et al., 2005). Penelitian ini menggunakan pelarut


(2)

asam asetat dengan penambahan katalis berupa asam klorida (HCl) yang berfungsi untuk mempercepat reaksi. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dipelajari konsentrasi katalis dan lama pemasakan yang tepat untuk menghasilkan pulp dengan sifat kimia terbaik.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, proses produksi pulp dengan metode organosolve berbahan baku non kayu menghasilkan pulp berwarna coklat atau gelap. Mardiana (2003) melaporkan bahwa pulp dari ampas tebu yang dimasak menggunakan pelarut berupa asam asetat 100% v/v pada suhu 160oC dan lama waktu 2 jam mengasilkan nilai rendemen sebesar 61,24%, selulosa 60,69%, lignin 24,78%, dan pulp masih berwarna coklat. Warna gelap pada pulp disebabkan oleh kandungan lignin yang masih tinggi sehingga diperlukan proses pemutihan untuk mengurangi lignin dan meningkatkan derajat putih dari pulp tersebut.

Pemutihan pulp memiliki tujuan utama untuk menaikkan derajat putih dengan penambahan bahan kimia. Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk pemutihan pulp yaitu klor, klor dioksida, dan natrium. Pada aplikasinya bahan-bahan kimia tersebut ternyata menimbulkan dampak yang serius pada lingkungan, memiliki reaktivitas yang tinggi dalam fase gas, dan beracun (Fengel dan Wegener, 1995). Salah satu bahan kimia sebagai oksidator yang dapat digunakan dalam proses pemutihan pulp dan tidak berbahaya bagi lingkungan adalah asam perasetat. Asam perasetat merupakan oksidator kuat yang terbentuk dari asam asetat dan hidrogen peroksida. Proses pemutihan pulp tergantung pada beberapa faktor yaitu suhu, konsentrasi pelarut, dan lama waktu reaksi.


(3)

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1) Mengetahui pengaruh konsentrasi HCl dan lama pemasakan terhadap sifat kimia pulp yang dihasilkan.

2) Mengetahui pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap sifat kimia dan sifat fisik pulp yang dihasilkan.

1.3 Kerangka Pemikiran

Pulp acetocell merupakan salah satu jenis pulp non-konvensional dan termasuk pulp organosolv. Pulp acetocell menggunakan pelarut organik asam asetat sebagai komponen utama dari larutan pemasaknya (Simanjuntak, 1994). Beberapa variabel dalam proses pemasakan pulp acetocell yang perlu diperhatikan yaitu perbandingan larutan pemasak dengan berat serpih, suhu dan lama waktu pemasakan, serta konsentrasi larutan pemasak dan jenis serta konsentrasi katalis. Menurut Sarkanen (1968) katalis berfungsi mempercepat reaksi proses pemasakan dan penggunaan suhu yang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan pemasakan tanpa katalis. Menurut Heckrodt dan Thompson (1992) jenis katalis yang mungkin dapat digunakan dalam proses produksi pulp yaitu potasium asetat, alumunium asetat, ammonium asetat, kalsium asetat, magnesium asetat, sodium asetat, litium asetat, aseton, asam sulfat, a 1-4 alkohol karbon atau hasil-hasil reaksi dari bahan-bahan kimia tersebut. Menurut Schutz and Knackstedt (1942) kayu tidak dapat didelignifikasi menggunakan asam asetat pada suhu 107oC, tetapi hal tersebut dapat terjadi dengan penambahan katalis berupa HCl dengan konsentrasi 1%-2%


(4)

Asam klorida merupakan asam kuat yang bersifat korosif, namun asam ini digunakan secara luas bagi kepentingan industri. Keuntungan pemakaian HCl sebagai katalisator dalam pembuatan pulp yaitu mampu mempercepat proses pemasakan, mendelignifikasi lignin dari bahan, dan mengurangi suhu pemasakan. Dominggus dan Lazslio (2004) menyatakan bahwa dengan penambahan konsentrasi katalis berupa HCl 1% proses pulping dapat dilakukan pada suhu 108oC dengan tekanan 1 atm dibandingkan tanpa penggunaan katalis dimana suhu pulping dapat mencapai 170oC. Suhu dan waktu pemasakan mempengaruhi rendemen dan delignisasi (Pureri, 1992). Menurut Casey (1966) pembuatan pulp dengan suhu tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan degradasi selulosa sehingga rendemen pulp rendah. Hasil penelitian Goncalves et al. (2005) menunjukkan bahwa rasio pelarut : ampas tebu 1:14 (w/v) dengan suhu pulping 110°C, dan lama pemasakan selama 2 jam dengan katalis HCl memberi hasil yang baik pada pulp.

Penambahan katalis dengan beberapa konsentrasi dan lama pemasakan yang berbeda akan menghasilkan karakteristik pulp yang beragam. Penelitian Muladi et al. (2002) menggunakan metode acetocell (93% asam asetat dan HCl 0,17%) yang dilakukan pada suhu 110oC selama 2-5 jam pada kayu Spruce menghasilkan rendemen 49%-54% dan bilangan Kappa 13%-20%, kekuatan tarik 650, dan kekuatan jebol 70. Hasil penelitian Zulferiyenni (2009) menunjukkan bahwa proses produksi pulp dari ampas tebu dan pelepah pisang menggunakan pelarut asam asetat 80% dan katalis HCl 0,5% serta lama pemasakan 4 jam menghasilkan selulosa sebesar 70,29%, hemiselulosa 7,65%, dan lignin 14,45%.


(5)

Pulp hasil pulping organosolv memiliki warna coklat atau gelap. Hasil pemasakan pulp dari ampas tebu masih menghasilkan warna gelap karena kandungan lignin tinggi (Hidayati, 1999; Mardiana, 2003; dan Zuidar, 2007). Proses pemutihan (bleaching) adalah suatu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan derajat putih pulp. Pemutihan dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan pendegradasian lignin sisa pemasakan menggunakan bahan kimia. Keberadaan lignin dalam jumlah yang tinggi akan mencerminkan kualitas pulp. Tujuan pemutihan pulp kimia adalah untuk menghilangkan sisa lignin setelah proses pemasakan untuk memperoleh pulp dengan derajat putih di atas 90% atau untuk memperoleh kualitas semi pemutihan dengan derajat putih berkisar antara 60%-70% (Fengel dan Wegener, 1995).

Pemutihan dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat oksidator dan reduktor. Penggunaan klor sebagai oksidator menimbulkan pencemaran lingkungan, sedangkan bahan kimia yang bersifat reduktor seperti ditionit membutuhkan zat penstabil agar tidak terjadi penguraian (Fengel dan Wegener, 1995). Menurut Casey (1966) selulosa dapat mengalami kerusakan akibat reaksi oksidasi, oleh sebab itu perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pemutihan seperti tingkat pemutihan, jumlah dan zat pemutih yang dipakai, waktu dan suhu pemutihan serta konsentrasi pemutih. Salah satu bahan kimia yang bersifat oksidator dan dapat digunakan dalam proses pemutihan pulp adalah asam perasetat.

Asam perasetat merupakan hasil reaksi antara asam peroksida dengan asam asetat dan merupakan oksidator kuat dibandingkan asam peroksida. Asam perasetat memiliki bilangan oksidasi tinggi dan kuat pada deretan asam peroksi


(6)

karboksi dan juga asam formiat (Muladi, 1992). Delignifikasi asam perasetat umumnya dinyatakan cukup melindungi selulosa seperti halnya metode klor dan klorit (Fengel dan Wegener, 1995). Penguraian asam perasetat tergantung pada pH larutan dengan kondisi suhu tertentu serta konsentrasi dari asam perasetat. Konsentrasi bahan kimia dan nilai pH mempunyai pengaruh besar terhadap derajat delignifikasi dan viskositas dibanding dengan pengaruh konsistensi dan suhu. Kenaikkan asam perasetat 3% sampai dengan 8% akan memperbaiki delignifikasi pada pH netral selama viskositas tidak berubah (Bailey dan Dance, 1966). Liliawati (2003) melaporkan bahwa penggunaan asam perasetat pada konsentrasi 0%, 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%, suhu 85oC selama 3 jam pada proses pemutihan dari pulp ampas tebu yang dimasak dengan metode acetosolve tanpa katalis menghasilkan karakteristik pulp yang belum memenuhi SNI 14-0091-1998 (pulp kertas koran) yaitu derajat putih sebesar 32,0050% dan indeks sobek 1,8100 Nm2/kg sehingga masih perlu kajian penggunaan konsentrasi asam perasetat yang tepat untuk menghasilkan pulp dari campuran ampas tebu dan bambu dengan karakteristik sifat fisik dan kimia sesuai SNI.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1) Konsentrasi HCl dan lama pemasakan berpengaruh terhadap sifat kimia pulp yang dihasilkan.

2) Konsentrasi asam perasetat akan mempengaruhi sifat kimia dan fisik pulp yang dihasilkan.