FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP PENGGUNA IJAZAH PALSU DALAM PENGANGKATAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP PENGGUNA IJAZAH PALSU DALAM PENGANGKATAN CALON

PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BANDAR LAMPUNG

Oleh MAD RIZWAN

Tindak pidana pemalsuan ijazah juga terjadi di Bandar Lampung,yaitu mengemuk anya kasus pemalsuan ijazah strata 1 Sarjana Teknik atas nama Sally Budi Astuti menggemparkan jajaran Universitas Lampung (Unila).Kasus ijazah ini heboh kare n Sally merupakan putri mantan pejabat bupati yang diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Bandar Lampung.Adapun permasalahan yang diangkat adalah Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab penggunaan ijazah palsu dalam pengangkatan calon pegawai negeri sipil di Bandar Lampung?, Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap pemalsuan ijazah oleh Calon Pegawai Negari Sipil di Bandar Lampung ( CPNS ) ?

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan yang dilakukan pada Kepolisian resor kota Bandar Lampung, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar Lampung sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi pustaka.Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengoreksi data,setelah itu data diolah dan dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah, adalah: Faktor internal berupa prilaku sosial (social behavior), dengan tujuan untuk meningkatkan kedudukan seseorang (status symbol) atau meningkatkan popularitas dimata masyarakat sebagai prestice symbol^ serta adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan. Faktor eksternal berupa perkembangan teknologi, rekruitmen instansi tertentu, bahkan dunia usaha serta adanya peluang atau kesempatan. Upaya penanggulangan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah dapat ditempuh melaui : Sarana Penal atau upaya represif (penumpasan setelah terjadinya kejahatan) dengan cara: adanya laporan dari masyarakat, penunjukan, penyelidikan, penyidikan, melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, penangkapan, penyitaan dilanjutkan dengan persidangan hingga pada


(2)

Mad Rizwan putusan hakim.; SaranaNon Penalsyakni upaya penecegahan (preventif) dengan cara menanggulangi sebelum terjadi suatu kejahatan yang biasanya melibatkan para pihak. Terdiri dari dua langkah pendekatan, yakni: (1) aspek kebijakan pemerintah seperti adanya reformasi birokrasi, pendidikan kepada masyarakat serta adanya kerjasama aparat penegak hukum dengan masyarakat; (2) aspek mempengaruhi pikiran masyarakat melalui media massa guna mengubah pemikiran masyarakat tentang cara atau jalan yang baik dan benar untuk mendapatkan ijazah dan gelar kesarjanaan yang sesuai dengan prosedur dan undang-undang yang berlaku. Pada dasarnya penanggulangan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah sudah ada sejak dulu, baik dalam rumusan Pasal-Pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang lain diluar KUHP. Sarana "penal" merupakan "penal policy"atau"penal law enforcement policy"sangat vital perannya dalam proses pe negakan untuk menanggulangi kejahatan.

Saran yang dapat penulis sampaikan adalah aparat penegak hukum hendaknya selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas bahwa memalsukan ijazah adalah suatu perbuatan melawan hukum dan setiap pelakunya dapat dikenakan hukuman baik pidana penjara maupun pidana denda, menerapkan rnekanisme pengecekan ulang untuk setiap lembaga yang melakukan perekrutan harus diterapkan, dengan cara melakukan pengecekan ulang terhadap sumber ijazah yang diajukan oleh para calon. Membangun kemitraan antara masyarakat dengan para aparat penegak hukum dalam mewujudkan kesadaran untuk patuh dan taat pada hukum serta senantiasa berusaha menghindarkan diri untuk tidak berbuat kejahatan. Membentuk wadah bersama, antara aparat penegak hukum dengan masyarakat, untuk menciptakan rasa kebersamaan dan kesetaraan, sehingga dapat melakukan langkah-langkah pro-aktif dalam menanggulangi tindak pidana pemalsuan ijazah.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Modernisasi di berbagai bidang kehidupan seiring dengan tuntutan perkembangan jaman, membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu peradaban yang modern. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi tentu saja akan membawa suatu negara pada kesejahteraaan dan kemakmuran rakyatnya. Namun, sejalan dengan kemajuan yang telah dicapai secara bersamaan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan tindak pidana pun tidak dapat disangkal.

Sebagaimana dialami negara-negara yang sedang berkembang maupun negara yang maju sekalipun, setiap pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan iptek selalu saja diikuti dengan kecenderungan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru dibidang ekonomi dan sosial. Paradigma dalam bidang penegakan hukum memandang bahwa pertumbuhan tingkat kejahatan dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu hubungan yang positif atau berbanding searah, yaitu bahwa suatu kejahatan akan selalu berkembang sejalan dengan kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.1

Perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, khususnya yang menyangkut masalah sosial, adalah luas sekali, dan semakin tinggi peradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu

1


(4)

pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka akan berakibat pada akses-akses yang negatif. Akses-akses-akses negatif dari suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang baru disalahgunakan, dimana perwujudan dari suatu perbuatan itu merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana yang menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian baik materiil maupun inmaterial yang cukup besar bagi masyarakat, bahkan kehidupan negara.

Praktik hukum selalu diartikan, bahwa “tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang”. Hal ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam

Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)yang mengandung asas “nullum delictum sine lege” dan sekaligus mengandung asas “sifat melawan hukum yang formal”. Padahal secara teoritis dan menurut yurisprudensi serta menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada tindak pidana dan pemidanaan tanpan sifat melawan hukum (secara materil)”.2

Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana. Pengaktualisasian kebijakan hukum pidana merupakan salah satu faktor penunjang bagi penegakan hukum pidana, khususnya penanggulangan tindak kejahatan.

2


(5)

Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka tindakan unuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih luas. Sebagai salah atau alternative penanggulangan kejahatan, maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan

utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat.3

Dari berbagai macam tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah kejahatan pemalsuan, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana pemalsuan dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas dari kejahatan pemalsuan yang semakin kompleks. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang mana di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

Dalam ketentuan hukum pidana kita, dikenal beberapa bentuk kejahatan pemalsuan, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek dan materai, dan pemalsuan surat. Dalam perkembangannya, dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan tersebut tindak pidana pemalsuan surat mengalami perkembangan yang begitu kompleks, sebab jika kita melihat obyek

33


(6)

yang dipalsukan yaitu berupa surat, maka tentu saja hal ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Surat sebagai akta otentik tidak pernah lepas dan selalu berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari.4

Tentang tindak pidana pemalsuan surat ini, Wirjono Prodjodikoro menyatakan, tindak pidana ini

oleh Pasal 263 ayat (1) KUHP dinamakan (kualifikasi) “pemalsuan surat (Valsheid in Geschriften)”. Dengan kualifikasi pada macam surat: Pertama, surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perikatan atau pembebasan hutang. Kedua, surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu kejadian. Idealita yang ada, dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan surat, salah satunya adalah tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan.

Peningkatan kejahatan ini tidak lepas dari faktor sosial budaya dalam masyarakat kita, yaitu adanya orientasi masyarakat yang lebih menghargai atau memandang seseorang dari sisi gelar

yang disandangnya dari pada kerjanya. Ijazah atau gelar dianggap sebagai “tiket” untuk

meningkatkan status sosial, jabatan dan lain-lain. Hal inilah yang turut menghidup suburkan praktik jual beli ijazah atau gelar aspal (asli tapi palsu). Praktek pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap suatu kepercayaan masyarakat terhadap suatu atau akta otentik, terlebih lagi hal itu merupakan suatu bentuk tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap dunia pendidikan.

Tentang tindak pidana pemalsuan surat ini, Wirjono Prodjodikoro menyatakan, tindak pidana ini

oleh Pasal 263 ayat (1) KUHP dinamakan (kualifikasi) “pemalsuan surat (Valsheid in Geschriften)”. Dengan kualifikasi pada macam surat: Pertama, surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perikatan atau pembebasan hutang. Kedua, surat yang ditujukan untuk

4

Amin,Tindakan Tegas terhadap Pemalsuan Surat, dalam http://www.vhrmedia.web.id, Diakses tanggal 02 Agustus 2012, Pukul 21.34 Wib.


(7)

membuktikan suatu kejadian. Idealita yang ada, dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan surat, salah satunya adalah tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaanJika ini dibiarkan begitu saja, maka sudah barang tentu akan membawa akibat yang fatal terhadap kualitas diri dan moralitas generasi penerus bangsa di masa mendatang. Selebihnya, kehormatan dunia pendidikan bangsa ini akan tercoreng oleh buruknya moralitas penerus bangsa. Masyarakat menaruh kepercayaan yang besar atas kebenaran suatu surat/akta otentik. Oleh karenanya, kebenaran dari suatu akta tersebut harus dijamin.

Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenarannya adalah berupa perbuatan yang patut dipidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Dibentuknya kejahatan pemalsuan ini pada pokoknya ditujukan bagi perlindungan hukum atas kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu. Dengan kebutuhan hukum masyarakat terhadap kepercayaan atas kebenaran suatu akta otentik, maka Undang-Undang menetapkan bahwa kepercayaan itu harus dilindungi, dengan cara mencantumkan perbuatan berupa penyerangan terhadap pemalsuan ijazah sebagai suatu larangan yang memiliki implikasi pidana.5

Tindak pidana pemalsuan ijazah juga terjadi di Bandar Lampung, yaitu mengemukanya kasus pemalsuan ijazah strata 1 Sarjana Teknik atas nama Sally Budi Astuti menggemparkan jajaran Universitas Lampung (Unila). Kasus ijazah ini heboh karena Sally merupakan putri mantan pejabat Bupati yang diterima menjadi calon pegawai negeri sipil Bandar Lampung.

Kejanggalan diantaranya adalah bentuk tulisan di ijazah yang tidak sama dengan tulisan aslinya, termasuk nomor ijazah yang ternyata milik alumnus fakultas teknik lainnya, ada tanda tangan pengesahan (legalisasi). Demikian juga halnya dengan transkrip nilai, letak foto tersangka yang

5


(8)

menutupi cap serta tanggal transkrip dibuat. Ini jelas menunjukkan bahwa ia menggunakan ijazah dan transkrip orang lain serta menggantinya dengan identitasnya. Dalam kasus ini pihak Unila tidak terlibat dalam pemalsuan ijazah tersebut, para petinggi Unila melakukan rapat dalam menyikapi kasus pemalsuan ijazah atas nama Sally. Pihak Unila sepakat tidak akan membuat pernyataan resmi, termasuk hasil rapat yang berlangsung. Sekretaris Jurusan (Sekjur) Teknik Sipil Fakultas Teknik Unila membenarkan Sally masih tercatat sebagai mahasiswi FT di angkatan 2003. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bandar Lampung membenarkan Sally merupakan CPNSD untuk formasi umum sarjana teknik. Sally saat mendaftar menggunakan fotocopy ijazah legalisasi cap basah seperti ketentuan yang berlaku. 6

Idealitanya, dalam menghadapi kasus-kasus pemalsuan ijazah, sangat diharapkan partisipasi masyarakat dan tindakan tegas para penegak hukum dalam melakukan penyidikan dan penyelesaian melalui jalur hukum hingga ke pengadilan. Kalau terjadi kasus yang melibatkan oknum pejabat tertentu, sehingga pengusutan dilakukan terkesan lambat dan ngambang dengan berbagai alasan, maka hal itu patut disesalkan dan perlu dilakukan desakan agar segera dilakukan pengusutan sampai tuntas. Tindakan tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat mencegah dan mengatasi berbagai kasus pemalsuan ijazah dan gelar.

Berdasarkan atas uraian diatas, maka penulis tertarik unuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian yang berjudul judul: “Faktor Penyebab Dan Upaya Penanggulangan terhadap pengguna ijazah palsu dalam pengangkatan calon pegawai negeri sipil Di Bandar Lampung


(9)

B. Permasalah Dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis akan merumuskan fokus penilitian sebagaimana berikut:

1) Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab penggunaan ijazah palsu dalam pengangkatan calon pegawai negeri sipil di Bandar Lampung?

2) Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap pemalsuan ijazah oleh Calon Pegawai Negari Sipil di Bandar Lampung ( CPNS ) ?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup pembahasan skripsi ini,dilihat dari sisi materinya terbatas pada faktor-faktor penyebab dan upaya penanggulangan terhadap pemalsuan ijazah oleh Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis menentukan tujuan penelitian sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan ijazah

b. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap pemalsuan ijazah oleh Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)


(10)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu:

a. Sumbangan pemikiran terhadap lembaga pendidikan tentang berbagai aspek hukum bilamana terjadi pemalsuan ijazah oleh Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

b. Sebagai bahan acuan bagi instansi lain yang terkait untuk upaya penanggulangan terhadap pemalsuan ijazah oleh Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis dalam kriminologi adalah dapat memberikan sumbangan dalam pembentukan, perbaikan, dan penggantian terhadap teori-teori kriminologi serta metode dalam penelitian-penelitian kriminologi. Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis atau murni). Dalam teori kriminologi bahwa kejahatan merupakan gejala individual dan bahwa kejahatan adalah sebagai gejala sosial, merupakan dua konsep yang harus terus di kaji validitasnya.7

a. Teori Faktor-Faktor Penyebab

Menurut Sutherland8faktor - faktor penyebab terjadinya tindak kejahatan adalah : 1) Faktor keluarga

Sutherland menyebutkan bahwa broken home itu„ sebagai unsur yang dipandang sangat

beralasan untuk mendorong kearah kejahatan. Kurangnya waktu orang tua untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak merupakan penyebab terjadinya penyimpangan

7

http://fikiwarobay.blogspot.com/2012/04/kriminologi.html.


(11)

yang mengakibatkan anak melibatkan diri kearah kejahatan yang tidak diinginkan. Bahkan seringkali orang tua itu hampir-hampir tidak mempunyai waktu untuk membantu anak menyelesaikan persoalan-persoalan yang harus dia kerjakan sendiri, mungkin persoalan pelajaran atau mungkin persoalan kehidupan praktis dari teman anak tersebut. Kesibukan dapat pula membuat orang tua acuh tak acuh terhadap pertanyaan anak yang ingin mengetahui sesuatu, atau mungkin pula ayah memberikan jawaban yang menimbulkan kejengkelan anak. Dengan demikian memupuk kecemasan pada tunas yang mulai tumbuh itu. Oleh sebab itulah disini betul-betul perlu diperhatikan mengenai pentingnya peranan kedua orangtua didalam mendidik anaknya dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakatnya.

2) Pengaruh Sosial

Lingkungan sosial merupakan salah satu latar belakang yang memberikan pengaruh pada tingkah laku kriminalitas dari setiap individu-individu.9

3) Faktor Ekonomi

Latar belakang masalah ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya suatu kejahatan adalah kejahatan-kejahatan yang menyangkut harta benda, kekayaan, dan perniagaan atau hal-hal yang sejenisnya dimana kejahatan-kejahatan ini terjadi karena adanya tekanan ekonomi rakyatnya berada dalam kemiskinan, yang serba kekurangan di bidang pangan, apalagi sandang dan perumahan.10

4) Dampak Urbanisasi dan Industrial

Kejahatan yang terjadi dimana satu pihak merupakan suatu keharusan untuk melaksanakan pembangunan, dan pada pihak lain pengakuan yang bertambah

9

Ibid,hlm 30


(12)

kuat, bahwa harga diri pembangunan itu, adalah peningkatan yang menyolok dari kejahatan. Luasnya problema yang timbul karcna banyaknya perpindahan, dan peningkatan fasilitas kehidupan, bisanya dinyatakan sebagai urbanisasi yang berlebihan (overurbanizatiori) dari suatu negara.11

5) Pengaruh Media informasi dan Komunikasi

Dengan adanya kemajuan teknologi seperti televisi, film, surat-surat kabar, komik-komik serta internet pada jaman sekarang ini dapat menimbulkan rangsangan kearah kejahatan.

Adami Chazawi 12 mengemukakan faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah, adalah sebagai berikut :

a. Faktor internal, berupa perilaku sosial (social behavior), diantaranya untuk meningkatkan kedudukan seseorang (status symbol) atau sebagai gengsi (popularity) dimata masyarakat sebagai prestice symbol, serta adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan.

b. Faktor eksternal, berupa perkembangan teknologi, rekruitmen instansi tertentu, baik pemerintah(eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat(legislatif), maupun Kepolisan(yudikatif),

bahkan dalam dunia usaha, serta adanya peluang atau kesempatan.

b. Teori Penanggulangan Kejahatan

Penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah "politik kriminal" menurut Sudarto13merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

11

Ibid,hlm 31

12

Adami chazawi.2005.Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1.Raja Grafmdo Persada Jakarta

13


(13)

Defmisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan politik kriminal sebagai "the rational organization of the control of crime by society”.

Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan pidana). pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah (usaha) yang rasional dalam melakukan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan pembangunan itu sendiri secara integral. Dengan demikian dalam usaha untuk menentukan suatu kebijakan apapun (termasuk kebijakan hukum pidana) selalu terkait dan tidak terlepaskan dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri yaitu bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Pendekatan dengan cara non penal mencakup area pencegahan kejahatan (crime prevention)

yang sangat luas dan mencakup baik kebijakan maupun praktek. Sarananon penalpada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kodc etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi. Kebijakan tersebut bervariasi antara negara yang satu dengan negara yang lain sesuai dengan latar belakang kultural, politik dan intelektual yang ada pada masing-masing masyarakat. Berbicara tentang kebijakan kriminal (criminal policy) yang mencakup pendekatan penal melalui sistem peradilan pidana, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana dan sanksi yang dapat dijatuhkan, baik berupa pidana

(punishment)maupun tindakan(treatment).14

Sarana kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal

(hukum pidana), maka "kebijakan hukum pidana" ("penal policy") harus memperhatikan dan

14


(14)

mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupasocial welfaredansocial defence. 15

Penanggulangan kejahatan harus ada keseimbangan antara sarana penal dan non penal

(pendekatan integral) . Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif. 16Walaupun demikian kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan "ketidaksukaan masyarakat" (social dislike) atau pencelaan/kebencian sosial (social disapproval/social abhorrence) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana perlindungan sosial(social defence).

Sarana "penal" merupakan "penal policy" atau "penal low enforcement policy" sangat vital perannya dalam proses penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan. Seminar kriminologi ke-3 tahun 1976 dalam salah satu kesimpulannya menyebutkan: Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si-pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat .17

Politik kriminal yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan pelaksanaan pidana. Pendekatan dengan sarana penal harus terus menerus dilakukan melalui pelbagai usaha untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana, baik dari aspek legislasi (kriminalisasi, dekriminalisasi dan depenalisasi), perbaikan sarana-prasarana sistem, peningkatan kualitas

15

Muladi dan Arief Barda Nawawi, 1998.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,Alumni, Bandung.hlm 114

16

Ibid,hlm 91

17


(15)

sumber daya manusia, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Secara sistemik, sistem peradilan pidana ini mencakup suatu jaringan sistem peradilan (dengan sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan) yang mendayagunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya. Hukum pidana dalam hal ini mencakup hukum pidana materiil, formil dan hukum peiaksanaan pidana.

Operasionalisasi kebijakan hukum dengan sarana"pencil"(pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap yakni:

a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)

b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Berdasarkan tiga uraian tahapan kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung didalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan dan tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.


(16)

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.18 Pada penelitian ini akan dijelaskan pengertian pokok yang akan dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga niempunyai batasan tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalah pahaman dalam penelitian. Adapun istilah istilah yang digunakan dalam skripsi ini adalah:

1. Faktor dijelaskan suatu keadaan atau pristiwa yang ikut menyebabkan 19 2. Penyebab adalah hal yang menyebabkan suatu keadaan dan kondisi20

3. Upaya penanggulangan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mencegah, menghadapi, atau mengatasi suatu keadaan dan kondisi21

4. Pengguna dijelaskanproses, cara, perbuatan menggunakan sesuatu; pemakaian.22

5. Pemalsuan surat dalam Pasal 263 Ayat 1 KUHP dirumuskan sebagai membuat surat palsu, atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak atau suatu perikatan atau suatu pembebasan dari hutang atau surat surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu kejadiaan dengan tujuan dan maksud untuk memakai surat itu atau menyuruh orang lain untuk memakainya seolah olah surat itu asli dan tidak palsu dan pemakaian itu dapat menimbulkan suatu kerugian.23

6. Ijazah adalah pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah iulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.24

18

Soejono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta, UI Press. 1986.

19

Tim pustaka phoenik,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta,media pustaka phoenix,edisi baru,2009

20 Ibid,… 21 Ibid… 22Ibid.. 23

Wirdjono Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung,Rafika Aditama,2008,hlm 187

24


(17)

7. Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) adalah orang yang akan diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suaiu jabatan negeri (Undang-Undang No 43 Tahun 1999)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembaca memahami tulisan ini, maka sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini memuat sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bagian ini penyusun menguraikan tentang latar belakang, Permasalahan, dan Ruang lingkup, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual dan Sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, penyusun mencoba menelusuri berbagai aeuan yang berkaitan dengan materi pokok skripsi ini, berupa: definisi, ketentuan, peraturan dan perundang undangan yang berlaku, serta pendapat hukum dari para ahii hokum.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini menjelaskan langkah langkah pendekatan masalah yang akan dilakukan dalam penyusunan skripsi ini,dengan menggunaka metode normatif -empiris. Dalam bab Ini diuraikan tentang sumber dan jenis data, baik sekunder maupun primer, pengolahan dan analisis data yang disesuaikan dengan pokok bahasan.


(18)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Beberapa penelitian yang diperoleh baik data primer maupun sekunder, selanjutnya dianalisis dan dikaji lebih mendalam dan terperinci sesuai dengan pokok bahasan

V. PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dilakukan pada bab bab terdahulu, maka pada bagian ini penyusun mencoba menarik berbagai kesimpulan, serta memberikan beberapa safari untuk penyempurnaan penyusunan sejenis.


(19)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (KUHP).

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oieh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oieh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.1

Konstelasi negara modern hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial(law as a tool of sosial engineering). menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oieh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi.

Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat. Dalam konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja 2 diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.

1

Arief Barda Nawawi,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Badung,alumni.1998 hlm 152-153

2


(20)

Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.

Penegakan hukum. sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.3

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan paia penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.4

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto5 dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Pertama, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang

3

Satdjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis,Jogjakarta,Genta Publishing,2009.hlm 24

4

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta,UI Press,1986.hlm 15

5


(21)

merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo6, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Pertama, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan Ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. berbicara tentang berbagai faktcr yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonorni, moral serta simpati dan antipati pribadi.

Berkaitan dengan budaya hukum menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum.Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara

6


(22)

pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of sosial engineering dari Roscoe Pound yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja 7disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.

Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat.

Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa social.8

Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya. juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri.

7

Mochtar Kusumaatmadja,Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,Bandung,Bina Cipta,1978.hlm 11

8

Sunaryati Hartono, Asas-Asas Hukum Dalam Pembentukan Perundang-Undangan,Jakarta,BPHN hukum Nasional no 2 tahun 1988.hlm 53


(23)

Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk Undang-Undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pembentuk Undang-Undang tidak semata-mata berkekewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Saleh Roeslan menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk Undang-Undang.9

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Tujuan hukum pidana secara umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian pidana.

Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai pengertian yang luas dalam arti bisa dibedakan menjadi dua pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaan in concrete).

9


(24)

Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam Undang-Undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu, Dengan demikian, dengan diberlakukannya suatu undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta ketertiban di dalam masyarakat.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan .

Menurut Lamintang unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan(dolusatauculpa)

2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan 3. Macam-macam maksud atauoogmerk

4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad

5. Perasaan takut atauvress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum


(25)

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Menurut Marpaung unsur tindak pidana yang terdiri dari dua unsur pokok, yakni : Unsur pokok subjektif:

1. Sengaja(dolus)

2. Kealpaan(culpa)

Unsur pokok objektif: 1. Perbuatan manusia

2. Akibat(result)perbuatan manusia 3. Keadaan-keadaan

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum .

Kesalahan pelaku tindak pidana berupa dua macam yakni: 1. Kesengajaan(Opzet)

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis yaitu :

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan(Oogmerk)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids-Bewustzinf)

Kesengajaan semacam ini ada apbila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict,tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.


(26)

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan(Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan beiaka akan akibat itu.

2. Culpa

Arti kata culpa adalah "kesalahan pada umumnya", tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.10

Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada akan menyebabkan tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.

Pasal 1 angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) KUHAP dapat disimpulkan penyidikan baru dimulai jika terdapat bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sesuai dengan peraturan

perundang-10


(27)

undangan yang berlaku. Penyidikan dilakukan guna mengumpulkan bukti-bukti sehingga membuat terang Tindak Pidana yang terjadi. Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu Undang-Undang pidana dibuat dan diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah kejahatan karena hal-hal berikut:

1. Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut tidak seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

2. Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operand! yang menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan perkembangan ihnu pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat penegak hukum (khususnya Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya manusia, pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat menanggulangi kejahatan secara intensif.


(28)

Kebijakan untuk menanggulang masalah-masalah kejahatan di atas dilakukan dengan mengadakan peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik dalam bentuk Undang-Undang pidana maupun undang-undang administratif yang bersanksi pidana, sehingga di dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya istilah tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu. Sesuai dengan ketentuan Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penanganan masing tindak pidana tersebut diselenggarakan oleh penyidik yang berbeda dengan hukum acara pidananya masing-masing.

Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang-Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh Polri, kejaksaan, dan pejabat penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang Keimigrasian, Peraturan Daerah, dan sebagainya.

B. Penanggulangan Tindak Pidana

Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan bertujuan untuk untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera merata materiil dan sprituil berdasarkan Pancasila dan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya UUD 1945. Salah satu bagian pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang hukum, yang dikenal


(29)

dengan istilah pembaharuan hukum (law reform). Pembaharuan hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi, dan meliputi juga hukum formil maupun hukum materielnya.

Upaya pembaharuan hukum tidak terlepas dari kebijakan publik dalam mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan demikian sangat penting untuk menyadarkan para perancang hukum dan kebijakan pubiik bahkan para pendidik, bahwa hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas di bidang sosial, ekonomi dan politik. Sayangnya spesialisasi baik dalam pekerjaan, pendidikan maupun riset yang dilandasi dua disiplin tersebut (hukum dan ilmu sosial), sehingga pelbagai informasi yang bersumber dari keduanya tidak selalu bertemu (converge) bahkan seringkali tidak sama dan sebangun(incongruent).

Secara umum kebijakan dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).

Upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat

(social welfare) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan. Kongres PBB ke-4 mengenai Prevention of Crime and The Treatment of Offender vahun 1970 yang terna sentralnya membicarakan masalah "Crime and


(30)

Development" menegaskan keterpaduan tersebut: "any dichotomy between a country's policies for social defence and its planning for national development was unreal by defenitions" .11

Penegasan perlunya penanggulangan kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial, juga dikemukakan dalam kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Geneva dalam membahas masalah criminal legislation, judicial procedures, and other form of social control in the prevention of crime, rnenyatakan:"The many esencies of criminal policy should be coordinated and the whole should be integrated into a general social policy of each country12

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah "politik kriminal" menurut Sudarto (2002) merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Definisi ini diambil dari deflnisi Marc Ancel yang merumuskan politik kriminal sebagai"the rational organization of the control of crime by society".

Tujuan penanggulanggan kejahatan yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan dari politik kriminal yang demikian dinyatakan dalam salah satu laporan kursus latihan ke-34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut: Most of group members agreed some discussion (hat "protection of the society" could be accepted as the final goal of criminal policy, although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like "happiness of citizens ", "a wholesome and cultural living ", "social welfare " or "equality ".

Kesepakatan dari hasil kursus tersebut dapat menjadi landasan dalam dalam kebijakan kriminal sebagai upaya penanggulangan kejahatan untuk kesejahteraan social (sosial welfare) dan untuk perlindungan masyarakat(social defence).

11

Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Badung,alumni.1998 hlm 48

12


(31)

Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan pidana) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah (usaha) yang rasional dalam melakuKan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan pembangunan itu sendiri secara integral. Dengan demikian dalam usaha untuk menentKkan suatu kebijakan apapun (termasuk kebijakan hukum pidana) selalu terkait dan tidak terlepaskan dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri yaitu bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah "politik kriminal" Menurut GP Hoefnagles dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana(criminal law application)

b. Pencegahan tanpa pidana(prevention without punishment)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan melalui mass media(influencing views of society on crime and punishment)

Untuk kategori pertama dikelompokkan ke dalam upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur

penal, sedangkan kedua dan ketiga termasuk upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal. Terhadap ke-2 (dua) sarana tersebut Muladi13 berpendapat: Kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal di samping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana pendekatan penal dapat pula dilakukan dengan sarana "non penaF melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan

13


(32)

mental masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum perdata dan hokum administrasi, dan sebagainya.

Pendekatan dengan cara non penal mencakup area pencegahan kejahatan (crime prevention}

yang sangat luas dan mencakup baik kebijakan maupun praktek. Sarananon penalpada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi. Kebijakan tersebut bervariasi antara negara yang satu dengan negara yang lain sesuai dengan latar belakang kultural, politik dan intelektual yang ada pada masing-masing masyarakat.

Berbicara tentang kebijakan kriminal(criminal policy)yang mencakup pendekatanpenalmelalui sistem peradilan pidana, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang dapat dijatuhkan, baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan

(treatment).14

Sarana kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal

(hukum pidana), maka "kebijakan hukum pidana"' ('penal policy"} harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa social welfaredansocial defence .15

Penanggulangan kejahatan harus ada keseimbangan antara sarana penal dan non penal

(pendekatan integral). Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melaiui sarana non penal karena lebih bersifat preventif.93 Walaupun demikian kebijakan penal tetap

14

Ibid,hlm 50

15


(33)

diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan "ketidaksukaan masyarakat" (social dislike) atau pencelaan/ kebencian sosial(social disapproval/social abhorrence)yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana perlindungan sosial(social defence).16

Sarana "penal" merupakan "penal policy" atau "penal law enforcement policy" sangat vital perannya dalam proses penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan. Seminar kriminologi ke-3 tahun 1976 dalam salah satu kesimpulannya menyebutkan: Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si-pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.

Politik kriminal yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan pelaksanaan pidana Pendekatan dengan sarana penal harus terus menerus dilakukan melalui pelbagai usaha untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana, baik dari aspek legislasi (kriminalisasi, dekriminalisasi dan depenalisasi), perbaikan sarana-piasarana sistem, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Secara sistemik, sistem peradilan pidana ini mencakup suatu jaringan sistem peradilan (dengan sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan) yang tnendayagunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya. Hukum pidana dalam hal ini mencakup hukum pidana materil, formil dan hukum pelaksanaan pidana.17

16

Muladi dan Arief Barda Nawawi, 1998.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,Alumni, Bandung,Hlm 79

17


(34)

Menurut Barda Nawawi Arief operasionalisasi kebijakan hokum dengan sarana "penal"(pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap yakni:

a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)

b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Berdasarkan tiga uraian tahapan kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung didalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan/legislatif/formulatif

berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat Undang-Undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan dan tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana

C. Tindak Pidana Pemalsuan Surat

1. Definisi Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Deflnisi mengenai kejahatan pemalsuan suratyang didapat penulis dari berbagai referensi yang ada, pada dasaraya adalah kejahatan yang mana di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu (obyek), yang tampak dari luar seolah-olah benar, namun sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk (bentuk standar) yang dimuat dalam Pasal 263 KUHP,yang rumusannya adalah sebagai berikut:

"Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti


(35)

dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau meyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun"

"Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian".

Dalam Pasal 263 tersebut ada dua kejahatan, masing-masing dirumuskan pada Ayat (1) dan Ayat (2). terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: Unsur-unsur obyektif:

1. Perbuatan:

a. Membuat palsu; b. Memalsu;

2. Obyeknya, yakni surat: yang dapat menimbul kan suatu hak; yang menimbulkan suatu perikatan; yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; yang diperuntukan sebagai bukti dari pada sesuatu hal;

3. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.

Unsur subyektif: Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. Sedangkan rumusan pada Ayat 2 mempunyai unsur sebagai berikut:

Unsur-unsur obyektif: 1. Perbuatan: memakai; 2. Obyeknya:

a. Surat palsu


(36)

Surat (Geschrifi) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung atau berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer computer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun.18

Membuat surat palsu atau pemalsuan surat adalah sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa:

1) Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual(intelectuele valschheid)

2) Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang sedemikian ini disebut dengan pemalsuan materil

(Materiele Valschheid).Palsunya surat Atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.19

Sedangkan perbuatan memalsukan(Vervalsen)surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimana pun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagai atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah perbuatan itu la!u isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsukan surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat.

18

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo Persada,Bagian I,2005.hlm 99


(37)

Perbedaan prinsip antara perbedaan membuat surat palsu dan memalsu surat adalah, bahwa membuat surat palsu atau membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau paisu. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat yang disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula bcnar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu.20

Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat dalam Ayat (1) yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai suatu perbuatan itu. Pada unsur atau kalimat "seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu" mengandung makna: (1) adanya orag-orang yang terpedaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian dan (2) surat-surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, dimana orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bias orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.21

Unsur lain dari pada pemalsuan surat dalam Ayat (1), ialah jika pemakaian surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian.Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan atau dimaksudkan petindak. Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa: (1) pemakaian surat

20

Ibid,hlm 101


(38)

belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan "jika" dalam kalimat atau unsur itu dan (2) karena penggunaan pemakaian surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga dari adanya perkataan "dapat".

Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan kejahatan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran Ayat (1) dan pelanggaran Ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Dalam hal yang demikian telah terjadi perbarengan perbuatan.

2. Ijazah Palsu

Ijazah merupakan salah satu bentuk dari surat. Syarat mutlak kepemilikan ijazah adalah satu-satunya ukuran legal yang menandakan bahwa seseorang dinyatakan telah menamatkan pendidikan formal, kemudian ijazah akan menjadi salah satu syarat yang ditetapkan oleh dunia kerja, instansi pemerintah maupun swasta untuk mengisi lowongan kerja yang dibutuhkan. Oleh karenanya kegunaan ijazah sangat penting, tidak hanya dimaksudkan untuk melanjutkan jenjang perjenjang, tetapi juga melamar pekerjaan, sehingga banyak ditemukan penyalahgunaan ijazah.

Perolehan ijazah yang tidak berdasarkan procedural sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang dan peraturan lain tentang sistem pendidikan adalah palsu.

Palsu berarti tidak sah, tiruan, curang, tidak jujur (Kamus Besar bahasa Indonesia), bagi orang yang ijazahnya hilang tidak ada masalah, karena sepanjang yang bersangkutan benar menempuh pendidikan jenjang tersebut dapat memperoleh pengganti ijazah pada Sekolah atau Dinas Pendidikan dan pengajaran setempat. Tetapi bagi orang yang tidak menamatkan jenjang pendidikannya dengan benar cenderung akan melakukan manipulasi untuk memperoleh ijazah tersebut


(39)

D.Teori Kriminologi Tentang Sebab-sebab Terjadinya Kejahatan

Kejahatan sebagai masalah fenomena sosial tetap dipengaruhi berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat,seperti: politik,ekonomi,sosial,budaya serta hal-hal yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan keamanan negara.22Secara yuridis kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum,dapat dipidana,yang diatur dalam hukum pidana.sedangkan secara sosiologis kejahatan adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat.23

Dalam kriminologi, terdapat beberapa teori, yang telah digagas oleh pakar-pakar kriminologi terdahulu, yang menjadi acuan bagi keberlangsungan kriminologi itu sendiri. Teori-teori ini, seperti teori struktur sosial, pengendalian sosial, dan teori labeling, dapat menjadi landasan dalam melihat dan menjawab masalah-masalah yang ada di masyarakat atau dalam mendukung perkembangan dan pembaharuan hukum dan perundangan hukum pidana.

Asal muasal kejahatan atau causa kejatahan ada dua atau lebih manusia yang berkumpul,disitu mulaialah terjadi penilaian dengan segala akibat serta komplikasinya atas sesuatu perbuatan atau prilaku dalam suatu pergaulan hidup.dengan kata lain,apa yang dinamakan dengan kejahatan ataupun pembangkangan akan selalu dan hanya terdapat dalam suatu pergaulan bersama.kejahatan akan ada dan selalu adadidalam masyarakat.24

22

Soejono Dirdjosiswono,Sinopsi Kriminologi Indonesia,Bandung,Mandar maju,1994.hlm 49

23

Romli Atmasasmita.Teori dan Kapita Selekta Kriminolgi.Bandung,Eresco,1992.nlm 42

24


(40)

(41)

I. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pernecahan atas permasalahan-pennasalahanyang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.1

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan, masalah dengan melihat, menelaah dan mempresentasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang berkaitan erat dengan asas-asas hukum yang bersifat konsepsi, peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, pendapat ahli hukum, dan pendapat-pendapat hukum lainnya. Pendekatan yuridis empiris atau penelitian hukum terapan adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in-action pada setiap peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat.

B. Sumber dan Jenis Data

1


(42)

Data dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yakni antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau yang terjadi di lapangan serta data yang diperoleh dari berbagai bahan pustaka.2 Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan, terutama yang menyangkut dengan pokok bahasan skripsi ini.

2. Data Sekunder

Data sekimder adalah data yang diperoleh melalui study kepustakaan bahan-bahan hukum yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku literature karya ahli hukum, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadapa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, biasanya berupa kamus hukum dan kamus lainnya serta berbagai informasi yang diperoleh dari media cetak atau media elektronik

C. Prosedur Pengumpulan Populasi dan Sampel

2


(43)

Populasi menurut Soemitro adalah seluruh jumlah objek pengamatan, seluruh individu, seluruh gejala, seluruh kejadian. atau seluruh unit yang akan diteliti. Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga.

Dalam penelitian ini populasinya adalah pihak-pihak yang berwenang dalam menangani tindak pidana pemalsuan ijazah, yaitu polisi pada polisi Resort Kota (Polresta) Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung karang Bandar Lampung.

Dalam penentuan sampel yang akan ditemui, penulis menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode yang mengambil sampel melalui proses penunjukan atau pemiiihan berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh melaui responden tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka sampel yang akan dijadikan responden adalah : Kepolisian

Resort kota Bandar Lampung 1 orang Polisi Jaksa pada

Kejaksaan Negeri Bandar Lampung 1 orang Jaksa Hakim pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar Lampung 1 orang Hakim

Jumlah 3 orang


(44)

Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis mempergunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud mendapatkan data dengan cara mengumpulkan semua bahan yang ada, menginventarisasikan, dan mengidentifikasikan data, dari berbagai literature, buku-buku, berita massa dan internet.

b. Studi Lapangan

Study lapangan pada penelitian ini adalah melakukan observasi terhadap lembaga yang berkaitan dengan pokok bahasan skripsi ini. Penulis telah menetapkan lembaga yang berkaitan dengan penegakkan hukum, sebagai responden, yakni:

1. Polisi, sebagai penyidik dan penyelidik perkara, dalam hal ini dilakukan peneiitian pada Kepolisian Resort Kota (POLRESTA) Bandar Lampung.

2. Jaksa, sebagai penuntut umum, dalam hal ini dilakukan penelitian pada Kejaksaan Negeri (KEJARI) Bandar Lampung

3. Hakim, sebagi pelaksana proses pengadilandan pemutus perkara, dalam hal ini dilakukan penelitian pada Kantor Pengadilan Negeri Bandar Lampung .

Masing-masing responden tersebut, sebelumnya telah dipersiapkan pedoman pertanyaan secara tertulis (questioner) untuk memudahkan pengumpulan data. Data yang terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:


(45)

a) Pemeriksaan data, yaitu memeriksa kembali data secara keseluruhan yang bersumber dari studi pustaka, wawancara untuk menghindari kekurangan dan kesalahan data, serta relevunsi dengan penelitian ini.

b) Penandaan data, yaitu memberikan tanda-tanda pada data-data yang ada sesuai dengan klasifikasinya menurut jenis dan sumbernya dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, kemudian dikelompokan menurut permasalahannya guna memudahkan dalam penyusunan dan analisis data.

c) Sistemasi data, yaitu kegiatan menabulasi data yang telah di edit dan diberi tanda serta dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi dan urutan pemasalahan secara sistematis agar lebih mudah dipergunakan.

E. Analisis Data

Tahap berikutnya adalah rnelakukan analisis data, dalam penelitian ini analisis data yang dipergunakan analisis data kualitatif, yaitu menguraikan data-data yang ada dalam bentuk rangkaian kalimat yang baik dan benar, baik kalimat yang bersifat umum dan kalimat yang bersifat khusus, sehingga mudah dimengerti dan dipahami hasil analisis yang dilakukan.

Berdasarkan analisis dan pembahasan tersebut, dapat diketahui dan diperoleh kesimpulan dengan menggunakan metode induktif, yakni suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan secara umum. Selanjutnya berdasarkan hasil kesimpulan tersebut diajukan baerbagai saran dan rekomendasi.


(46)

1

V. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukan di dalam bab-bab sebelumnya, aka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah, adalah:

a. Faktor internal berupa prilaku sosial (social behavior), dengan tujuan untuk meningkatkan kedudukan seseorang (status symbol) atau meningkatkan popularitas dimata masyarakat sebagai prestice symbol,

serta adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan.

b. Faktor eksternal berupa perkembangan teknologi, rekruitmen instansi tertentu, bahkan dunia usaha, serta adanya peluang atau kesempatan. 2. Pada dasarnya penanggulangan terhadap nelaku tindak pidana pemalsuan

ijazah sudah ada sejak dulu, baik dalam rumusan Pasal-Pasal yang terdapat dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang lain diluar KUHP. Sarana "penal" merupakan "penal policy" atau

"penal law enforcement policy" sangat vital perannya dalam proses penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan. Pendekatan dengan cara non penal

mencakup area pencegahan kejahatan yang sangat luas dan mencakup baik kebijakan maupun praktek. Sarana non penal pada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari sistem pendidikan, kode etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi. Kebijakan tersebut bervariasi antara negara yang satu dengan negara yang lain sesuai dengan latar


(47)

2

belakang kultural, politik dan intelektual yang ada pada masing-masing masyarakat.

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Aparat penegak hukum hendaknya selalu melakukan sosialisasi kepada

masyarakat luas bahwa memalsukan ijazah adalah suatu perbuatan meiawan hukum dan setiap pelakunya dapat dikenakan hukuman baik pidana penjara maupun pidana denda.

2. Menerapkan mekanisme pengecekan ulang untuk setiap lembaga yang melakukan perekrutan harus diterapkan, dengan cara melakukan pengecekan ulang terhadap sumber ijazah yang diajukan oleh para calon.

3. Membangun kemitraan antara masyarakat dengan para aparat penegak hukum dalam mewujudkan kesadaran untuk patuh dan taat pada hukum serta senantiasa berusaha menghindarkan diri untuk tidak berbuat kejahatan.

4. Membentuk wadah bersama, antara aparat penegak hukum dengan masyarakat, untuk menciptakan rasa kebersamaan dan kesetaraan, sehingga dapat melakukan langkah-langkah pro-aktif dalam menanggulangi tindak pidana pemalsuan ijazah.


(48)

FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP PENGGUNA IJAZAH PALSU DALAM PENGANGKATAN

CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BANDAR LAMPUNG

Oleh MAD RIZWAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukun Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(49)

FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN TERHADAP PENGGUNA IJAZAH PALSU DALAM PENGANGKATAN

CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh MAD RIZWAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(50)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN halaman

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 18

B. Penanggulangan Tindak Pidana ... 29

C. Tindak Pidana Pemalsuan Surat………... 35

D. Teori Kriminologi Tentang Sebab-sebab Terjadinya Kejahatan ... 40

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 42

B. Sumber dan Jenis Data ... 43

C. Prosedur pengumpulan polulasi dan sempel ... 44

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 45

E. Analisis Data ... 46

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karakteristik Responden ……….. 47

B.Faktor–Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah ……….. 48

C.Upaya Penanggulangan Terhadap Pemalsuan Ijazah Oleh Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) ………... 54

V . PENUTUP A.Simpulan ... 63

B.Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(51)

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi,Arief 1998. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Chazawi, Adami. 2005.Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1. Raja Grafmdo Persada Jakarta

Kunarto, 1996. Lemahnya Kontrol Sosial Masyarakat Sebabkan Kesewenang -wenangan Makin Merajalela.Makalah

Muladi, 2002. Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,

Alumni, Bandung.

---. 1986 Ruang Lingkup Penegakan Hukum Pidana Dalam Konteks Politik Hukum Pidana..

Moeljatno. 1983.Asas Anas Hukum pidana.Ghalia. Jakarta.

--- 2003.Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.Bumi Aksara

---.2000.Asas asas Hukum Pidana.PT. Rineka Cipta- Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Nyoman,SPJ,2008.Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana.

PT Citra Aditya Bakti. Bandung.


(53)

Prodjodikoro, Wirjono, 2008. Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia.

Refika Aditama. Bandung.

Rahardjo, Satdjipto, 2009. Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum.UI Press. Jakarta.

Tongat,2008.Dasar Dasar Hukurn Pidana Indonesia Dalarn Perspektif Pembaharuan.UMM. Malang.

Tim Pustaka Phoenix, 2009. Kamus besar Bahasa Indonesia, edisi baru. Media Pustaka Phoenix. Jakarta.

Tim Penyusun Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1998.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Balai Pustaka - Jakarta.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/faktor-faktor-penyebab-kejahatan.html

http://www.vhrmedia.web.id, Diakses tanggal 02 Agustus 2012, Pukul 21.34 Wib.


(54)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati M, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Firganefi, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Dr.Maroni, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 196211091987031003


(55)

Motto

Kebenaran itu hanya bias ditekan tapi tidak bisa dimusnahkan

Orang sukses adalah orang yang selalu bertanya apa yang ia bisa bantu,orang yang tidak sukses

adalah orang yang selalu bertanya untuk apa ia membantu


(56)

Judul :Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan Terhadap Pengguna Ijasah Palsu Dalam Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil di Bandar Lampung

Nama Mahasiswa : Mad Rizwan

Nomor Pokok Mahasiswa : 0742011224

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI Komisi Pembimbing

Diah Gustianiati M,S.H.,M.H. Firganefi,S.H.,M.H.

196208171987032003 19631271988032003

Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustianiati M,S.H.,M.H. 196208171987032003


(57)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

kedua orang tua ku Ayahanda Anwar Husin dan Ibunda Parida

yang telah setia membimbingku hingga aku bisa mendapat gelar

sarjana

Kakakku yang tersayang Leni Sumarya.S.ip.,M.H.,Liza Rohani dan

adikku tersayang Imronsyah.A.md,Taufik

Hidayat

yang selalu

berdoa dan menanti keberhasilanku.

Seluruh sahabat yang kusayangi


(58)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Mad Rizwan, beragama Islam dilahirkan di Menyancang, pada tanggal 29 Mei 1986. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, yang merupakan buah cinta kasih dari pasangan Bapak Anwar Husin dengan Ibu Parida.

Penulis mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Negeri 01 Menyancang yang diselesaikan pada tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1Pss.Tengah diselesaikan pada tahun 2002, Sekolah Menengah Umum Negeri 01 Pesisir Tengah diselesaikan pada tahun 2005. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian Hukum Pidana.


(59)

x

SAN WACANA

Penulis memanjatkan Puji dan syukur kepada Allah swt, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Terselesaikannya skripsi ini merupakan ikhtiar penulis yang tidak luput dari bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Dr Heryandi,S.H.,MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Dr.Yuswanto,S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Yulia Netta, S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr.Hamzah,S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Lampung.

5. Ibu Diah Gustiniati M,S.H.,M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung dan Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan skripsi ini.


(1)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

kedua orang tua ku Ayahanda Anwar Husin dan Ibunda Parida

yang telah setia membimbingku hingga aku bisa mendapat gelar

sarjana

Kakakku yang tersayang Leni Sumarya.S.ip.,M.H.,Liza Rohani dan

adikku tersayang Imronsyah.A.md,Taufik

Hidayat

yang selalu

berdoa dan menanti keberhasilanku.

Seluruh sahabat yang kusayangi


(2)

Penulis bernama Mad Rizwan, beragama Islam dilahirkan di Menyancang, pada tanggal 29 Mei 1986. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, yang merupakan buah cinta kasih dari pasangan Bapak Anwar Husin dengan Ibu Parida.

Penulis mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Negeri 01 Menyancang yang diselesaikan pada tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1Pss.Tengah diselesaikan pada tahun 2002, Sekolah Menengah Umum Negeri 01 Pesisir Tengah diselesaikan pada tahun 2005. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian Hukum Pidana.


(3)

x

SAN WACANA

Penulis memanjatkan Puji dan syukur kepada Allah swt, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Terselesaikannya skripsi ini merupakan ikhtiar penulis yang tidak luput dari bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Dr Heryandi,S.H.,MS., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Dr.Yuswanto,S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Yulia Netta, S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr.Hamzah,S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Lampung.

5. Ibu Diah Gustiniati M,S.H.,M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung dan Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan skripsi ini.


(4)

6. Ibu Firganefi,S.H.,M.H.selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan skripsi ini.

7. Bapak DR.Maroni,S.H,M.H selaku Pembahas I dan Pembimbing Akademik yang banyak memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibu Dona Raisa,S.H.,M.H. selaku Pembahas II yang banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak AKP.Musa Tampubolon.S.ik.,S.H terima kasih banyak telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

10. Bapak Itong Isnaeni Hidayat,S.H.,M.H. terima kasih banyak telah memberikan saran dan masukan selama penulis melakukan penelitian

11. Ibu Welle Aroma,S.H. terima kasih banyak telah memberikan saran dan masukan selama penulis melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmunya selama penulis menununtut ilmu.

13. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

14. Terima kasih kepada Kedua orang tua ku yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang,perhatiannya dn sabar dalam membimbing sehingga penulis bisa menyelesaiakan kuliah

15. Nely Handayani A.md terima kasih atas motivasi dan dukungannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

16. Seluruh keluarga besar ku,Wo Leni,Ngah Liza,Imron,Taufik,Ekhwanur,Wisnu serta ponakan ku yang lucu Iqbal,Tiara,Fatir dan Lintang terima kasih untuk


(5)

xii

semua kepercayaan, motivasi, harapan, dukungan, dan inspirasi serta doa selama ini.

17. Buat sahabat ku Alm.M.Faisal Adyani terima kasih atas dukungan,motivasi serta telah menjalin persahabatan sehingga penulis bisa menyelesaiakan kuliah,selamat jalan moga kamu mendapatkan tempat yang layak disisi-Nya,Amin…

18. Sahabat-sahabat ku yang telah banyak memberikan dukungan motivasi,Ranggi Amirulloh,Medi Yanto,Belly,Tony Afrian dan Bina Yusha terima kasih telah berbagi kebahagian,canda tawa dan suka duka

19. Teman–temanku setia seperjuangan Indra Zulfikar, Retno, Napo, Duchan, Ahmad Denny Iffandi, Adit, Mas Edi, Andika Ariesta Yudha, Iyul, Rio Kocu, Imam Budianto, Jaka Permana, Bowo, Bz, Dhika, Munadi, Aryo, Heru Bongky, Akbar, Adrian, Munadi, Indra Fachrozi, Indra Putra Bangsawan, Andes, Kiki, Tiara, Mb Evita, Munadi, Hasby, Etoy dan seluruh Alumni angkatan 2005, 2006 dan 2007 FH Universitas Lampung yang selalu mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

20. Kantin Mak Sugeng terima kasih telah memberikan tempat untuk berbagi dengan sahabat-sahabat yang baik,senang bisa mengenal kalian semua


(6)

Semoga kebaikan dan bantuan yang telah diberikan mendapat balasan pahala dari Allah SWT dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan pihak yang berkepentingan pada umumnya.

Bandar Lampung, 13 Februari 2013 Penulis