PERSPEKTIF ALTERNATIF PEMBERIAN PIDANA KERJA SOSIAL BAGI ANAK DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN

(1)

ABSTRAK

PERSPEKTIF ALTERNATIF PEMBERIAN PIDANA KERJA SOSIAL BAGI ANAK DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN

BZ. MARPIYANI

Pidana kerja sosial dalam sistem pemidanaan bagi anak di Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi. Hal ini tidak terlepas dari tekad untuk menjadikan hukum pidana anak yang tidak saja berorientasi pada perbuatan tetapi juga berorientasi pada pelaku sekaligus (daad dader strafrecht). Selain itu pidana kerja sosial juga merupakan upaya untuk menjadikan hukum pidana anak lebih fungsional dan manusiawi, di samping sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang sekarang dianut yaitu falsafah pembinaan (treatment philosophy). Adapun permasalahan yang akan dijadikan pembahasan: 1) Bagaimanakah perspektif alternatif pemberian pidana kerja sosial bagi anak ditinjau dari tujuan pemidanaan, dan 2) Bagaimanakah perspektif pengaturan pidana kerja sosial dalam hukum pidana anak di Indonesia. Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan masalah berupa pendekatan yuridis normatif. Oleh karena itu data yang digunakan berupa data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Pidana kerja sosial dapat digunakan sebagai perspektif alternatif dalam pemberian pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana, agar pidana yang dijatuhkan itu memenuhi tujuan pemidanaan. Oleh karena pidana kerja sosial dapat memberikan perlindungan secara integratif secara berimbang, yaitu antara perlindungan masyarakat dan perlindungan individu; serta (2) Perspektif pengaturan pidana kerja sosial dalam hukum pidana anak di Indonesia belum secara tegas mengatur pidana kerja sosial. Namun, secara tersirat dapat diketahui bahwa pidana kerja sosial diatur dalam ketentuan pasal di atas, yaitu Pasal 71 ayat (1) huruf b ke 2 dan huruf c diatur tentang pidana dengan syarat berupa pelayanan masyarakat dan pidana pelatihan kerja, yang dapat disamakan dengan pidana kerja sosial.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka diajukan saran sebagai masukan bagi pihak terkait sebagai berikut: (1) Perlu segera dikeluarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak, yaitu Peraturan Pemerintah yang berisi pedoman tentang tata cara dan pelaksanaan pelayanan masyarakat dan pelatihan kerja bagi anak; serta (2) Perlu diadakan sinkronisasi ketentuan peraturan yang mengatur tentang pidana kerja sosial bagi anak antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Konsep KUHP 2012.


(2)

PERSPECTIVE ALTERNATIVE CRIMINAL PROVISION FOR SOCIAL WORK OF THE CHILDREN REVIEWED PUNISHMENT

BZ. MARPIYANI

Social work in a system of criminal punishment for children in Indonesia is something that is inevitable. It is not independent of the determination to make the criminal law not only children but also oriented action-oriented actors as well (DAAD dader strafrecht). Besides criminal social work is also an attempt to make criminal law more functional and humane child, in addition to highly relevant to the sentencing philosophy that now adopted the philosophy of coaching (treatment philosophy). The issues that will be discussed: 1) how an alternative perspective criminal provision of social work for children in terms of the purpose of punishment, and 2) How does the perspective of the criminal regulation of social work in criminal law children in Indonesia. Research conducted using this approach in the form of normative juridical approach. Therefore, the data used are secondary data derived from the research literature.

Based on the results of research and discussion, it could be concluded as follows: (1) Criminal social work can be used as an alternative perspective in the provision for children who commit criminal offenses, for offenses that meet the goals of punishment imposed. Because criminal social work can provide protection in integrated in a balanced, between protection of the public and protection of the individual, and (2) social work perspective criminal setting in criminal law children in Indonesia have not been explicitly criminal social work. However, it is known that implicitly criminal social work stipulated in the above article, namely Article 71 paragraph (1) point b to point c 2 and a set of requirements in the form of a criminal offense of public services and job training, which can be equated with work criminal social.

Based on the above conclusion, the proposed suggestions as inputs to related parties as follows: (1) It should be immediately issued regulations implementing the Act No. 11 Year 2012 on the Criminal Justice System adoption, the Regulation which provides guidance on the procedures and the implementation of community service and vocational training for children, and (2) should be held synchronization provisions governing criminal social work for children between the Law No. 11 Year 2012 on the Criminal Justice System Concepts Children with Concept of Code Penal 2012.

Key word:criminal provision of social work punishment, children, purpose of punishment.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang. Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya dikemukakan oleh para ahli secara perorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional.

Laporan Kongres PBB ke lima tahun 1975 di Jenewa mengenai Prevention of Crimeand the Treatment of Offenders, antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan. Malahan, dalam perkembangan terakhir kritik-kritik tajam itu memuncak sampai ada gerakan untuk menghapuskan pidana penjara. Telah ada 2 (dua) kali konferensi internasional mengenai hal ini, yaituInternational Conference of Prison Abolition (ICOPA). Pertama di Toronto,


(4)

Canada, pada bulan Mei 1983, dan kedua di Amsterdam, Nederland, pada bulan Juni 1985.1

Upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan maupun pertimbangan ekonomis. Atas pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut. Beberapa dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan terhadap narapidana antara lain:

a. Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan (Lost of Personality).

b. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya (Lost of Security).

c. Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat menghambat proses pembinaan (Lost of Liberty).

d. Dengan menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan, maka kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun juga dibatasi (Lost of Personal Communication).

e. Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (Lost of Good and Service).2

1

Barda Nawawi Arief. 1997.Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. hal 43

2


(5)

3 Sisi-sisi negatif dari pidana perampasan kemerdekaan di atas dalam kajian secara umum, apabila dikaitkan dengan pemberian pidana perampasan kemerdekaan bagi anak, tentunya dampak negatifnya akan lebih hebat pula. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat dengan UUPA) jenis-jenis pidana yang ditentukan bagi anak masih belum mengantisipasi perkembangan pemidanaan yang lebih maju. Pasal 23 ayat (2) UUPA menentukan bahawa pidana pokok bagi anak berupa:

1. Pidana penjara. 2. Pidana kurungan. 3. Pidana denda. 4. Pidana Pengawasan.

Berdasarkan ketentuan pidana dalam UUPA di atas diketahui, bahwa pidana kerja sosial belum termasuk salah satu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pendapat Muladi yang mensinyalir bahwa ketentuan jenis pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana yang berlaku tidak sesuai dengan tren yang terjadi belakangan ini di bidang pemidanaan.

Pidana kerja sosial (community service order) merupakan salah satu jenis pidana yang berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, khususnya sebagai alternatif pemidanaan bagi anak yang melakukan tindak pidana.


(6)

Pengadobsian pidana kerja sosial dalam sistem pemidanaan bagi anak di Indonesia merupakan suatu hal yang mendesak. Hal ini tidak terlepas dari tekad untuk menjadikan hukum pidana anak yang tidak saja berorientasi pada perbuatan tetapi juga berorientasi pada pelaku. Selain itu diadopsinya pidana kerja sosial tersebut juga merupakan upaya untuk menjadikan hukum pidana anak lebih fungsional dan manusiawi, di samping sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang sekarang dianut yaitu falsafah pembinaan (treatment philosophy).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul “Perspektif Alternatif Pemberian Pidana Kerja Sosial bagi Anak Ditinjau dari TujuanPemidanaan”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Bagaimanakah perspektif alternatif pemberian pidana kerja sosial bagi anak ditinjau dari tujuan pemidanaan?

b. Bagaimanakah perspektif pengaturan pidana kerja sosial dalam hukum pidana anak Indonesia?


(7)

5

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini dibatasi pada bidang kajian ilmu hukum, khususnya hukum pidana. Substansi pembahasan dibatasi pada perspektif alternatif pemberian pidana kerja sosial bagi anak ditinjau dari tujuan pemidanaan. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif yaitu mengkaji pidana kerja sosial sebagai alternatif dari pidana penjara dalam sistem pemidanaan anak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang, teori-teori, dan hasil-hasil penelitian.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini mempunyai tujuan:

a. Untuk mengetahui perspektif alternatif pemberian pidana kerja sosial bagi anak ditinjau dari tujuan pemidanaan.

b. Untuk mengetahui perspektif pengaturan pidana kerja sosial dalam undang-undang pidana anak Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoritis, untuk menambah dan memperluas ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya mengenai perspektif alternatif pemberian pidana kerja sosial bagi anak ditinjau dari tujuan pemidanaan.


(8)

b. Kegunaan praktis, yaitu sebagai bahan masukan bagi penegak hukum, khususnya berkaitan dengan perspektif alternatif pemberian pidana kerja sosial bagi anak ditinjau dari tujuan pemidanaan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis

Menurut Soerjono Soekanto, kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasrnya yang berguna untuk mengadakan identifikasi terhada dimensi sosial yang dianggap relevan oleh penulis.3

Persoalan yang sangat penting dalam sistem peradilan pidana adalah mengenai tujuan pemidanaan yang ingin mencari dasar pembenaran dari pidana sebagai usaha untuk menjadikan pidana yang lebih fungsional. Perumusan teori tujuan pemidanaan sangat bermanfaat untuk menguji seberapa jauh suatu lembaga pidana itu mempunyai daya guna, yang ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut memenuhi pelbagai tujuan pemidanaan.

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, menurut Muladi teori integratif lebih sesuai diterapkan di Indonesia, karena menurut teori integratif tujuan pembinaan merupakan kombinasi dari beberapa teori tujuan pemidanaan yang dianggap lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia yang tentunya dengan menggunakan pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis, yang dilandasi asumsi dasar bahwa

3


(9)

7 tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan kehidupan masyarakat.4

Berkaitan dengan pendekatan secara sosiologis, ideologis, dan yuridis tersebut oleh Muladi dijelaskan, bahwa pendekatan secara sosiologis dapat dirujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Stanley Grupp (dalam Muladi), bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat manusia, informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas pengetahuan yang mungkin dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan teori tertentu serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menemukan persyarat-persyaratan tersebut.5

Lebih lanjut dijelaskan oleh Muladi pendekatan secara ideologis, dengan mengutip pendapat Notonagoro sebagai berikut:

Berdasarkan Pancasila, maka manusia ditempatkan pada keluruhan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sosial. Pancasila yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungannya dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohani.6

4

Muladi. opcit. 52. 5

ibid. hal. 54. 6


(10)

Selanjutnya pendekatan yang bersifat yuridis, Muladi menyetujui pendapat Herbert L. Packer (dalam Muladi) yang menyatakan:

Hanya ada dua tujuan utama dari pemidanaan, yakni pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan. Teori pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara tujuan-tujuan pemidanaan tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh. Didasarkan atas pengakuan bahwa tidak satupun tujuan pemidanaan bersifat definitif, maka teori pemidanaan yang bersifat integratif ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari segala perspektif..7

Teori tujuan pemidanaan dikemukakan oleh para ahli dengan tujuan yang berbeda-beda. Teori retributif, misalnya merumuskan, bahwa tujuan pemidanaan semata-mata untuk memenuhi ambisi balas dendam tanpa mempunyai tujuan lebih lanjut.8

Sementara itu teori teleologi/utilitarian mengemukakan, bahwa tujuan pemidanaan mempunyai tujuan lebih lanjut dari sekedar untuk pembalasan. Menurut teori ini pemidanaan mempunyai tujuan untuk prevensi, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.

Selain teori tersebut di atas, ada teori yang dikemukakan oleh Muladi, yaitu teori pemidanaan integratif (kemanusiaan dalam sistem Pancasila).9 Selanjutnya dijelaskan oleh Muladi, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan baik individual maupun sosial yang disebabkan karena adanya tindak pidana. Konsepsi ini bertolak dari asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan

7

ibid. hal. 62. 8

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung. hal. 10.

9

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. hal. 53.


(11)

9 terhadap keseimbangan yang mengakibatkan kerusakan individual dan sosial (individual and social damages).10 Berdasarkan teorinya tersebut, Muladi mengemukakan bahwa seperangkat tujuan yang bersifat integratif tersebut meliputi:

1. pencegahan (baik umum maupun khusus); 2. perlindungan masyarakat;

3. memelihara solidaritas masyarakat, dan 4. pengimbalan/pengimbangan.11

Patut kiranya dikemukakan, bahwa menurut penulis berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Muladi tersebut di atas tersimpul pendapat, bahwa penonjolan salah satu aspek pemidanaan tetap dimungkinkan sepanjang penonjolan itu tidak menghilangkan aspek yang lain. Penonjolan terhadap salah satu aspek dalam tujuan pemidanaan ini akan sangat tergantung dari realitas dalam lapangan dan tergantung dari situasi dan kondisi yang melingkupinya.

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, menurut Barda Nawawi Arief secara umum tujuan pemidanaan meliputi dua aspek tujuan, yaitu :

1. Aspek perlindungan masyarakat, yang pada intinya meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan dan memulihkan keseimbangan masyarakat;

2. Aspek perlindungan terhadap individu, yang pada intinya meliputi tujuan untuk melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana dan mempengaruhi tingkah laku pelaku tindak pidana agar taat dan patuh pada hukum. Aspek perlidungan individu ini sering disebut aspek individualisasi pidana.12

10 ibid. 11

Ibid. hal. 61. 12

Barda Nawawi Arief. 1996.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal. 94.


(12)

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengertian-pengertian dasar dan batasan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Perspektif dapat diartikan sudut pandang, pandangan.13

b. Alternatif adalah pilihan diantara dua atau beberapa kemungkinan.14

c. Pidana kerja sosial adalah bentuk pidana di mana pidana tersebut dijalani oleh terpidana di luar lembaga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial yang ditentukan.15

d. Sistem pemidanaan adalah keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaiman hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana.16

e. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.17

13

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. hal. 760.

14

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.opcit.hal. 33. 15

Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Djambatan. Jakarta. hal. 7.

16

Barda Nawawi Arief.Opcit.hal. 117. 17


(13)

11 E. Sistematika Penulisan

I. PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tujuan pemidanaan, pengertian anak, sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian dan sejarah pidana kerja sosial, sert pengertian tindak pidana.

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam bab ini meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, seta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab membahas karakteristik responden, perspektif alternatif pemberian pidana kerja sosial bagi anak ditinjau dari tujuan pemidanaan, dan perspektif pengaturan pidana kerja sosial dalam undang-undanng pidana anak.

V. PENUTUP

Bab ini memberikan kesimpulan dan saran yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembaca.


(14)

(15)

13

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Harsono, C.I., . 1995.Sistem Baru Pembinaan Narapidana.Djambatan. Jakarta. Muladi. 1985.Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

---, 1996. Kapita Sekekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Soekanto, Soerjono, .1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.


(16)

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tujuan Pemidanaan

Pidana kerja sosial adalah bentuk pidana di mana pidana tersebut dijalani oleh terpidana di luar lembaga dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan.1 Berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori yang dianut oleh para pakar, yang dasar pimikirannya berkisar pada persoalan-persoalan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu pidana. Teori-teori hukum pidana ini ada hubungan erat dengan subjektif strafrecht sebagai hak atau wewenang untuk menentukan atau menjatuhkan pidana terhadap pengertian (objectief strafrecht) peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana. Untuk itu dikemukakan teori-teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan sebagai berikut :

1. Teori Absolut

Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.

1

Tongat. 2001.Pidana Kerja Spsial dalam Pembaharuan Hukum Pidana. Djambatan. Jakarta. hal. 7.


(18)

Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dengan dijatuhkannya pidana. Tidak peduli apakah mungkin masyarakat akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. Utang pati nyaur pati, utang lara nyaur lara, yang berarti si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. Pembalasan oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan, kepuasan hati yang dikejar lain tidak.

2. Teori Relatif

Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti oleh suatu pidana, untuk itu tidaklah cukup dengan adanya suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat dan bagi si penjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga masa depan. Maka harus ada tujuan lebih lanjut/jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian teori ini dinamakan juga dengan teori “Tujuan”.

Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

3. Teori Gabungan

Apabila ada dua pendapat yang bertentangan satu sama lainnya biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Disamping teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga dalam hukum pidana tetapi dilain pihak mengakui unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Zeven Bergen


(19)

14

menganggap dirinya masuk golongan ketiga dan menunjuk nama-nama Beling, Binding, dan Markel sebagai tokoh dari teori gabungan ini.2

Perumusan tentang teori tujuan pemidanaan tersebut sangat bermanfaat untuk menguji seberapa jauh suatu lembaga pidana itu mempunyai daya guna, dimana ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut untuk memenuhi pelbagai tujuan pemidanaan tanpa suatu tujuan dalam menjatuhkan pidana. Di bawah ini akan diuraikan tujuan pemidanaan secara singkat mengingat hal-hal tersebut harus diperhitungkan dalam setiap penjatuhan pidana.

Menurut Sudarto, pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Pembalasan, pengimbalan/retribusi

Pembalasan sebagai tujuan pidana/pemidanaan hal tersebut kita jumpai pada apa yang dinamakan teori absolut. Menurut penganut faham tersebut, dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai, ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan.

2. Mempengaruhi tingkah laku orang demi perlindungan masyarakat atau untuk pengayoman. Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri melainkan untuk

2

Bambang Poernomo. 1986.Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. hal. 35


(20)

tujuan yang bermanfaat ialah untuk melindungi masyarakat atau untuk pengayoman.3

KUHP Indonesia tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, yang ada hanya aturan pemberian pidana. Berbeda dengan Konsep KUHP yang baru (Konsep KUHP 2012) yang merumuskan secara tegas mengenai pedoman pemidanaan dalam Pasal 52 Konsep KUHP 2012 menyatakan :

(1) Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan : a. kesalahan pelaku tindak pidana ;

b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana ; c. cara melakukan tindak pidana ;

d. sikap batin pelaku tindak pidana ;

e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana ; f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana ; g. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana ; h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan ;

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan atau ; j. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa apa yang tercantum di dalam pasal itu sebenarnya merupakan daftar yang harus diteliti terlebih dahulu, apabila butir-butir yang tersebut dalam daftar itu diperhatikan maka pidana yang dijatuhkan dapat lebih proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun oleh terpidana.

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas jelas terlihat bahwa tujuan pemidanaan menurut konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHPN) bertolak dari suatu pandangan filosofis tertentu yaitu filsafat pembinaan (treatment

3


(21)

16

philosophy). Dengan sendirinya, bilamana kita menghubungkan dengan tujuan pemidanaan, maka pembentuk undang-undang saat ini menghendaki pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat yaitu untuk melindungi masyarakat dan untuk pengayom.

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pidana penjara sebagai hukuman, timbulnya bersamaan dengan sejarah pertumbuhan sistem perlakukan terhadap narapidana serta bangunan-bangunan fisik yang didirikan dan dipergunakan untuk

menampung para narapidana yang kemudian dikenal dengan nama “bangunan penjara”. Adapun fungsi dari bangunan penjara tersebut sebagai tempat atau wadah pelaksanaan untuk memperlakukan narapidana sehingga dapat dikatakan bahwa

bangunan penjara tersebut berfungsi sebagai wadah untuk mendukung “sistem perlakuan” terhadap narapidana.

Salah satu masalah utama dalam pembaharuan hukum pidana adalah mengenai masalah pemidanaan yang tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori tujuan pemidanaan. Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia, maka harus dipikirkan kerangka teori yang benar-benar sesuai dengan filsafat kehidupan bangsa Indonesia yang bersendikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yakni yang mendasarkan diri atas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kehidupan sosial dan individual.

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa teori integratif tujuan pemidanaan yang merupakan kombinasi dari berbagai teori tujuan pemidanaan yang


(22)

dianggap lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia yang tentunya dengan menggunakan pendekatan sosiologis, idiologis, dan yuridis filosofis, yang dilandasi asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan kehidupan masyarakat. Tujuan pemidanaan adalah untuk merehabilitasi kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan mana yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.4

KUHP yang sekarang berlaku tidak ada perumusan mengenai tujuan pemidanaan, lain halnya dengan Konsep KUHP 2012, yang dengan tegas memuat perumusan tentang tujuan dan pedoman pemidanaan. Adapun tujuan pemidanaan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 51 Konsep KUHP 2012 adalah sebagai berikut : (1) Pemidanaan bertujuan untuk:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna ;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ;

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan peranan hakim sangat penting. Ia

4

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung. hal. 61.


(23)

18

mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemidanaan. Seperti yang dikemukakan oleh Muladi dalam tujuan pertama jelas tersimpul pandangan perlindungan masyarakat.

Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja untuk merehabilitasi, tetapi meresosialisasi terpidana dan mengintegrasikan si terpidana ke dalam masyarakat.

Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat, dalam arti “reaksi adat” itu dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (magis) yang terganggu oleh perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat. Pidana yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Tujuan keempat bersifat spiritual dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Penjelasan Pasal 51 ayat (2) Konsep KUHP 2012 memberi makna kepada pidana dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun pada hakekatnya pidana itu merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Ketentuan ini akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pidana yang secara nyata akan dikenakan kepada narapidana.


(24)

B. Pengertian Anak

Pemberian mengenai pengertian anak tidak dapat dilepaskan dari batasan usia yang tertentu yang dapat dikategorikan seseorang itu termasuk dalam pengertian anak. Untuk mencari pengertian anak dapat diketahui dari beberapa peraturan perundangan yang mengatur tentang batasan usia anak sebagai berikut:

1). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

KUHP tidak memberikan rumusan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi pembatasan usia anak dapat dijumpai antara lain pada:

a. Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun, yaitu:

Pasal 45 menentukan:

"Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memrintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah, tanpa pidana apapun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531,532,536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana.


(25)

20

Pasal 72 menentukan:

(1) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau orang yang dibawah pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.

(2) Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas, atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas, atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya, atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.

b. Pasal 283, yang memberi batasan usia 17 tahun, yaitu: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama

(2) sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada orang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum


(26)

tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.

2). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 1 sub 1 menyatakan bahwa: "Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

3). KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981)

Tidak secara eksplisit mengatur batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.

4). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).

Pasal 330 ayat (1) BW membuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerjarigheid), yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (Pasal 419).

Ketentuan di atas senada dengan isi Pasal 1 sub 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

5). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka (5) menyatakan, bahwa anak adalah setiap manusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.


(27)

22

6). Batasan anak yang berlaku di negara-negara lain:

a. Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batasan umur antara 8-18 tahun, sementara 6 negara bagian menentukan antara 8-16 tahun.

b. Inggris, menentukan batasan antara 12-16 tahun. c. Australia, menentukan batasan umur antara 8-16 tahun. d. Belanda, menentukan batasan umur antara 12-18 tahun. e. Srilangka, menentukan batasan umur antara 8-16 tahun. f. Iran, menentukan batasan umur antara 6-18 tahun.

g. Jepang dan Korea, menentukan batasan umur antara 14-20 tahun. h. Taiwan, menentukan batasan umur antara 14-18 tahun.

i. Kamboja, menentukan batasan umur antara 15-18 tahun. j. Filiphina, menentukan batasan umur antara 7-16 tahun. k. Malaysia, menentukan batasan umur antara 7-18 tahun. l. Singapura, menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.5

8). Batasan Anak dalam Dokumen Internasional:

a. Task Force on Juvenile Delinquency Prevention, menentukan bahwa seyogyanya batas usia penentuan seseorang sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidana ditetapkan usia terendah 10 tahun dan batasan atas antara 16-18 tahun.

5


(28)

b. Resolusi PBB No. 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) menetapkan batasan anak adalah seseorang yang berusia 7-18 tahun (Commentary Rule 2.2); dan Resolusi PBB No. 45/113 menentukan batasan atas yaitu 18 tahun {Rule 119 (a)}.6

Sehubungan dengan penentuan batasan anak dari aspek psikososial, Singgih Gunarso mengemukakan klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa dikaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaannya, terbagi menjadi 5, yaitu: (a) anak, seseorang yang berusia di bawah 12 tahun; (b) remaja dini, seseorang yang berusia 12-15 tahun; (c) remaja penuh, seseorang yang berusia 15-17 tahun; (d) dewasa muda, seseorang yang berusia 17-21 tahun; dan (e) dewasa, seseorang yang berusia di atas 21 tahun. Masing-masing tingkatan usia mempunyai karekteristik kejiwaan sendiri-sendiri.7

Lebih lanjut dijelaskan oleh Singgih Gunarso, bahwa remaja dini (usia 12-15 tahun) memiliki kecenderungan kejiwaan antara lain: (a) sibuk menguasai tubuhnya, karena ketidakseimbangan postur tubuhnya, kekurangnyamanan tubuhnya; (b) mencari identitas dalam keluarga, satu pihak menjurus pada sifat egosentris, pada pihak lain ia belum sepenuhnya diserahi tanggungjawab, sehingga ia sangat memerlukan daya tampung dari lingkungan keluarganya; (c) kepekaan sosial tinggi,

6

Tri Andrisman. 2005. Hukum Peradilan Anak. Fakultas Hukum Unila. Bandar Lampung. hal. 34.

7

Singgih Gunarso. 1989. Perubahan Sosial dalam Masyarakat. Makalah. Universitas Indonesia. Jakarta. hal. 11.


(29)

24

solidaritas pada teman tinggi, dan besar kecenderungannya mencari popularitas. Dalam fase ini ia sibuk untuk mengorganisasikan dirinya, mulai mengalami perubahan dalam sikap, minat, pola-pola hubungan pertemanan, mulai timbul dorongan seksual, bergaul dengan lawan jenis; (d) minat keluar rumah tinggi, kecenderungan untuk 'trial and error' tinggi dan kemauan untuk belajar dari pengalaman tinggi; (e) mulai timbul usah-usaha untuk menguasai diri, baik di lingkungan rumah, sekolah, dan klub-klub olahraga, kesenian, dan di lingkungan pergaulan pada umumnya.8

Sementara pada tahapan remaja lanjut, ciri-ciri yang melekat padanya ialah: (a) sudah mulai menampakkan dirinya mampu dan bisa menerima kondisi fisiknya; (b) mulai dapat menikmati kebebasan emosionalnya; (c) mulai lebih mampu bergaul; (d) sudah menemukan identitas dirinya; (e) mulai memperkuat penguasaan diri dan menyesuaikan perilakunya dengan norma-norma keluarga dan kemasyarakatan; dan (f) mulai secara perlahan-lahan meninggalkan reaksi-reaksi dan sikap kekanak-kanakan.

C. Sanksi Pidana yang Diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikatakan bahwa semua anak, asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat dituntut. Secara yuridis formal, ketentuan pidana yang berlaku bagi anak diatur dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP.

8


(30)

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 45, 46, dan 47 ini dengan diundangkannya UU No. 3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997, yang isinya menyatakan: "Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, 46, dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ketentuan yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana harus mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam UU No. 3 Tahun 1997. UU No. 3 Tahun 1997 mengatur sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap anak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 sebagai berukut:

(1) Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana pokok yang dapat ditunjukan pada anak nakal ialah: a. pidana penjara,

b. pidana kurungan, c. pidana denda,

c. pidana pengawasan.

(3) selain pidana pokok sebagaimana dimaksud ayat (2) maka terdapat anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

Selanjutnya terdapat pula beberapa jenis tindakan yang dapat dikenakan pada anak yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, sebagai berikut :


(31)

26

(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a. mengembalikan kepada orangtua, wali atau orangtua asuh.

b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau,

c. menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi social kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

(2) Tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

Konsep KUHP 2012 mengenai Pidana dan Tindakan bagi Anak diatur dalam Pasal 110 sampai dengan Pasal 128 Konsep KUHP 2012. Ketentuan tentang Pidana bagi anak diatur dalam Pasal 113 Konsep KUHP 2012 sebagai berikut:

(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas: a. Pidana verbal:

1. Pidana peringatan; atau 2. Pidana teguran keras. b. Pidana dengan syarat:

1. Pidana pembinaan di luar lembaga, 2. Pidana kerja sosial, atau

3. Pidana pengawasan, c. Pidana denda; atau

d. Pidana pembatasan kebebasan:


(32)

2. Pidana penjara, atau 3. Pidana tutupan.

(2) Pidana Tambahan terdiri atas:

a. Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan, b. Pembayaran ganti kerugian, atau

c. Pemenuhan kewajiban adat.

Tindakan diatur Pasal 126 Konsep Rancangan KUHP Baru 2012, yang isinya sebagai berikut:

(1) Setiap anak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan 39 dapat dikenakan tindakan:

a. perawatan di rumah sakit jiwa; b. penyerahan kepada pemerintah; atau c. penyerahan kepada seseorang.

(2) Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok adalah:

a. pengembalian kepada orangtua, wali, atau pengasuhnya; b. penyerahan kepada pemerintah;

c. penyerahan kepada seseorang;

d. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

e. pencabutan surat izin mengemudi;

f. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; g. perbaikan akibat tindak pidana;


(33)

28

h. rehabilitasi; dan atau i. perawatan di lembaga.

Berkaitan dengan ketentuan pidana yang memperhatikan kepentingan anak, pada tahun 2012 ini telah disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak). Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini memperkenalkan jenis pidana yang lebih memperhatikan kepentingan anak, misalnya diperkenalkannya pidana peringatan, pidana pelayanan masyarakat, dan pidana latihan kerja. Berikut ini dipaparkan ketentuan pasal yang mengatur tentang sanksi pidana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak:

Pasal 71

(1) Pidana pokok terdiri atas: a. Pidana peringatan. b. Pidana dengan syarat:

1) Pembinaan di luar lembaga. 2) Pelayanan masyarakat. 3) Pengawasan.

c. Pelatihan kerja.

d. Pembinaan dalam lembaga, dan e. Penjara.

(2) Pidana tambahan terdiri atas:


(34)

b. pemenuhan kewajiban adat.

(3) Apabila dalam hukummateriil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain sanksi pidana, ada pula sanski berupa Tindakan bagi anak yang diatur dalam Pasal 82 sebagai berikut:

(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi: a. Pengembalian kepada orang tua/wali;

b. Penyerahan kepada seseorang; c. Perawatan di rumah sakit jiwa;

d. Perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS); e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan

oleh pemerintah atau badan swasta;

f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. Perbaikan akibat tindak pidana

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun.


(35)

30

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa tindakan penyerahan Anak kepada seseorang dilakukan untuk kepentingan Anak yang bersangkutan. Demikian pula Tindakan perawatan terhadap anak dimaksudkan untuk membantu orang tua/wali dalam mendidik dan memberikan pembibingan kepada anak yang bersangkutan..

D. Pengertian dan Sejarah Pidana Kerja Sosial 1. Pengertian Pidana Kerja Sosial

Secara etimologis istilah pidana kerja sosial berasal dari dua kata yaitu “pidana” dan “kerja sosial”. Bertolak dari pemahaman secara etimologis, maka secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat diartikan sebagai pidana yang berupa kerja

social. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana di mana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Dalam

wacana ilmu hukum pidana istilah “pidana kerja sosial” kemudian lazim

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilahCommunity Service Order.9

9


(36)

Patut kiranya dikemukakan, bahwa tidak dalam semua klasifikasi tindak pidana dan karenanya juga tidak dalam setiap jenis pidana dapat diterapkan pidana kerja sosial. Pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan atau dijatuhkan dengan syarat-syarat tertentu.10 Berkaitan dengan hal di atas, Tongat memberikan batasan tentang berbagai syarat yang dapat memungkinkan penjatuhan pidana kerja sosial sebagai berikut:11

a. Yang berkaitan dengan tindak pidana

Secara umum khususnya di negara-negara Eropa yang sudah menerapkan jenis pidana ini, pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan dalam jenis tindak pidana tertentu. Umumnya negara tersebut mempersyaratkan, bahwa pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang tidak terlalu berat. Dengan kata lain, pidana kerja sosial tidak dapat dijatuhkan atau diterapkan terhadap jenis tindak pidana berat.

Selain itu pada umumnya pidana kerja sosial diterapkan terhadap jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap harta benda (crimes against property) dengan syarat, bahwa pidana penjara yang akan diterapkan tidak melebihi waktu tertentu (Denmark 6-8 bulan, Norwegia dan Luxemburg 9-12 bulan, Belanda dan Portugal 4 bulan).

10

Muladi. 2002. opcit. hal. 139. 11


(37)

32

Persyaratan lain yang mungkin ditetapkan berkaitan dengan penerapan pidana kerja sosial adalah persyaratan yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri, misalnya usia pelaku dancriminal recorddari pelaku.

Berkaitan dengan usia pelaku, penerapan pidana kerja sosial juga harus mempertimbangkan adanya larangan bagi pelaku yang masih di bawah umur yang berdasarkan hukum perburuhan dilarang untuk melakukan kerja. Dengan demikian, berkaitan dengan usia pelaku dalam penerapan pidana kerja sosial harus diperhatikan hak-hak pelaku terutama berkaitan dengan pelaku anak-anak.

Sementara berkaitan dengan catatan kejahatan pelaku, pidana kerja sosial pada umumnya tidak akan diterapkan terhadap pelaku kejahatan yang mempunyai catatan kejahatan (criminal record) yang tidak baik. Di Perancis misalnya, pidana kerja sosial tidak akan diterapkan terhadap para residivis. Pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan terhadap residivis apabila dikaitkan dengan pidana bersyarat dan bukan sebagai pidana yang mandiri.

b. Jumlah jam pidana kerja sosial.

Pada umumnya ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan tentang pidana kerja sosial juga menyangkut pengaturan tentang minimum dan maksimum jam kerja pidana kerja sosial, di samping jangka waktu maksimum pelaksanaan pidana kerja sosial. Pengaturan yang berkaitan dengan persoalan ini tidak sama di berbagai negara.


(38)

Berkaitan dengan ketentuan minimum pidana kerja sosial misalnya, terdapat berbagai variasi ketentuan. Di Portugal, pidana kerja sosial minimum dilakukan dalam waktu 9 (sembilan) jam. Sementara di Denmark, Perancis dan Inggris pidana kerja sosial minimum 40 (empat puluh) jam. Sedangkan di Norwegia pidana kerja sosial dilakukan dengan minimum 50 (lima puluh) jam.

Berkaitan dengan ketentuan maksimum pidana kerja sosial, ketentuan di berbagai negara juga menunjukkan adanya variasi pengaturan. Di Portugal, misalnya pidana kerja sosial dapat diterapkan dengan maksimum 180 jam. Sementara di Denmark dan Norwegia, maksimum pidana kerja sosial adalah 200 jam. Sedang di Perancis, Belanda dan Inggris pidana kerja sosial dapat diterapkan untuk maksimum 240 jam.

c. Persetujuan terpidana

Ketentuan lain yang berlaku di berbagai negara berkaitan dengan penerapan pidana kerja sosial adalah adanya penegasan, bahwa penerapan pidana kerja sosial harus atas persetujuan terpidana.

Persetujuan terpidana dalam penerapan pidana kerja sosial dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan atau konflik dengan berbagai konstitusi dan traktat yang melarang kerja paksa (force labour). Sementara di sisi yang lain, adanya persetujuan dari terpidana tersebut dibutuhkan agar hakim dapat menjamin, bahwa terpidana memang mempunyai motivasi untuk melakukan pidana kerja sosial.


(39)

34

d. Isi pidana kerja sosial.

Hakim yang menjatuhkan pidana kerja sosial di Pengadilan hanya menetapkan jumlah jam dan jangka waktu yang harus dipenuhi. Sementara pelaksanaannya secara teknis, misalnya berkaitan dengan tempat di mana pidana kerja sosial harus dijalani, berapa jam terpidana harus menjalani pidana kerja sosial dalam setiap harinya dan sebagainya harus dilakukan olehprobation service.

e. Kegagalan menjalani pidana kerja sosial.

Dalam hal seorang terpidana gagal menjalani pidana kerja sosial, maka kegagalan tersebut akan membawa akibat tertentu bagi terpidana. Akibat tersebut dapat berupa :

1. Apabila pidana kerja sosial tersebut berupa pidana yang mandiri maka akibat kegagalan terpidana menjalani pidana kerja sosial dapat berupa dijatuhi denda sampai batas tertentu (di Inggris $ 100), mengulangi lagi pelaksanaan pidana kerja sosial atau dikenakan pidana alternatif yang lain. Bahkan di Perancis kegagalan pidana kerja sosial dikualifikasikan sebagai tindak pidana sendiri yang dapat dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan antara dua bulan sampai dua tahun. Sementara di Belanda kegagalan menjalani pidana kerja sosial dapat dikonversi menjadi pidana sampai enam bulan dan di Portugal sampai dengan tiga bulan.


(40)

2. Apabila pidana kerja sosial ditetapkan dalam kaitannya dengan pidana bersyarat(suspended sentence), maka kegagalan terpidana menjalani pidana kerja sosial dapat mengakibatkan diterapkannya pidana penjara yang ditunda seperti yang berlaku di Belanda, Norwegia dan Perancis. Akibat kegagalan tersebut terpidana juga dapat diharuskan untuk mengulangi pidana kerja sosial itu.

Selain itu apabila pidana kerja sosial dikaitkan dengan alternatif pidana perampasan kemerdekaan sebagai konsekuensi tidak dibayarnya denda, maka kegagalan atas pelaksanaan pidana kerja sosial dapat mengakibatkan ditetapkannya pidana yang asli(original penalty).

2. Sejarah Pidana Kerja Sosial

a. Perdebatan Konseptual tentang Hakikat Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Berdasarkan sejarahnya, upaya untuk mencari alternatifpidana perampasan kemerdekaan sudah berlangsung sejak lama yang dilakukan dalam kerangka politik kriminal. Sejak akhir abad ke-19 dalam berbagai kongres PBB dan Konvensi Internasional yang lain, pembicaraan seputar upaya mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan sudah dilakukan.

Berkaitan dengan upaya di atas patut kiranya dikemukakan apa yang dilakukan Union International De Droit Penal. Dalam kongresnya yang pertama di Brussel pada tanggal 7 dan 8 Agustus 1989 Union International De Droit Penal


(41)

36

mengeluarkan sebuah resolusi yang isinya mengimbau kepada negara-negara anggotanya agar mengembangkan berbagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek (alternatives to shorts custodial sentence).

Sementara itu seorang ahli hukum pidana yaitu Franz von List dengan aliran modernnya juga tanpa henti-hentinya memperjuangkan dan menentang penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang tidak bersyarat.

Perkembangan upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan juga diwarnai dengan munculnya perbedaan konseptual berkaitan dengan makna dan hakikat alternatif pidana perampasan kemerdekaan itu sendiri. Dalam konteks ini muncul dua pemahaman yaitu :

1 Alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan (alternatives to short custodial sentence) diartikan sebagai alternative sanctions, yaitu sanksi yang dapat menggantikan pidana perampasan kemerdekaan (sanction which can replace custodial sentence). Sanksi ini hanya diterima apabila dapat mlayani tujuan dan kegunaan pidana perampasan kemerdekaan.

2 Alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan diartikan sebagai usaha mencapai tujuan altenatif (alternative goals) yang tidak dapat dicapai dengan pidana perampasan kemerdekaan. Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa pidana perampasan kemerdekaan berada pada tujuan yang salah.

Sementara itu menurut Muladi, upaya mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan harus tetap realistis artinya, upaya mencari alternatif pidana


(42)

perampasan kemerdekaan tetap harus berpijak pada realitas yang ada. Dikatakan lebih lanjut, bahwa pandangan kaum abolisionis yang bersifat sangat radikal tidak mungkin dapat terwujud. Upaya menggantikan sistem peradilan pidana (criminal justice system based on meditation (conflict solving)yang tidak memberikan tempat sama sekali pada pidana perampasan kemerdekaan sebagaimana yang dikehendaki kaum abolisionis sangat sulit diwujudkan.12

Selanjutnya dijelaskan oleh Muladi, yang terpenting adalah bagaimana penggunaan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibatasi terutama pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Inilah hakikatnya yang dimaksud dengan upaya mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan.13

Pemahaman yang dibangun Muladi tersebut di atas, seiring dan senafas dengan kecenderungan internasional yang sedang terjadi. Dewasa ini ada kecenderungan internasional (antara lain terlihat dari hasil-hasil atau rekomendasi Kongres-kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders) yang menghendaki dibatasinya kemungkinan penjatuhan pidana penjara (pidana pembebasan pidana perampasan kemerdekaan) jangka pendek. Rekomendasi Kongres PBB terhadap perlunya pembatasan terhadap penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek tersebut di atas pertimbangan, bahwa jenis

12

Muladi. 2002. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

13


(43)

38

pidana ini di samping akan membawa efek-efek negatif juga dipandang kurang menunjang sistem SMR (Standard Minimum Rules).14

Berkaitan dengan upaya pembatasan penerapan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, D. Downers (dalam Muladi) mengidentifikasi adanya paling tidak tujuh alasan mengapa negeri Belanda mengurangi penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Ketujuh alasan tersebut adalah :

1. Sehubungan dengan adanya gerakan dekarkerasi (decarceration movement), mengingat sangat maraknya penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. 2. Terbatasnya kapasitas penjara yang ada.

3. Adanya spirit toleransi dalam administrasi peradilan pidana Belanda yang banyak dipengaruhi oleh iklim politik yang bercirikan kompromi.

4. Adanya perkembangan yang pesat dari infrastruktur pelayanan masyarakat. 5. Pengaruh pendidikan teoritis dari para hakim dan jaksa semasa mahasiswa, yang

banyak dipengaruhi Utrecht School yang menganjurkan pengurangan pidana perampasan kemerdekaan.

6. Konsistensi para penyelenggara peradilan pidana di Negeri Belanda yang sangat profesional.

7. Sehubungan dengan tokoh Doktrin Rehabilitasi pada tahun lima puluhan.15

14

Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Adtya Bakti. Bandung. hal. 137.

15

Muladi. 1995.Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. hal. 134.


(44)

b. Perkembangan Pidana Kerja Sosial

Berdasarkan sejarah perkembangannya, pada awalnya pidana kerja sosial dalam bentuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat untuk masyarakat guna menghindari perampasan kemerdekaan berkembang di negara-negara Eropa. Di Jerman, misalnya sejak abad pertengahan, seorang terpidana denda yang tidak mampu membayar denda yang ditetapkan diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berguna bagi kehidupan masyarakat banyak seperti membersihkan kanal-kanal atau membangun tembok-tembok kota.

Perkembangan selanjutnya dari pidana kerja sosial, yaitu pada akhir abad sembilan belas dan pada permulaan abad dua puluh, pidana perampasan kemerdekaan mulai dicantumkan sebagai alternatif pidana denda atau pidana perampasan kemerdekaan mulai dicantumkan dalam perundang-undangan di beberapa negara Eropa seperti Jerman, Swiss, Italia dan Norwegia.

Namun demikian, sampai pada permulaan abad dua puluh pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan masih menampilkan dirinya sebagai kerja paksa (force labour). Sekalipun dilakukan dengan tanpa perampasan kemerdekaan, work as penalty dengan ciri tersebut di atas lebih memperlihatkan sebagai kerja paksa daripada sebagai kerja sosial.

Selanjutnya sesuai dengan perkembangan masyarakat, pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dimodernisir sehingga menghilangkan sifat aslinya sebagaiforce labour.


(45)

40

Pidana kerja sosial sebagaimana yang sekarang ini banyak dikenal sudah barang tentu sangat berbeda dengan bentuk aslinya. Pidana kerja sosial yang sekarang ini banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa benar-benar merupakan jenis pidana yang sangat manusiawi. Pidana kerja sosial sekarang ini benar-benar menampilkan dirinya sebagai avoluntarily undertaken obligation, sesuai dengan latar belakang kelahirannya sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan yang cenderung bersifat keras atau memaksa.

E. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Istilah tindak dipakai sebagai pengganti "strafbaar feit". Dalam perundang-undangan negara kita dapat dijumpai istilah-istilah lain yang maksudnya juga "strafbaar feit", misalnya:

1. peristiwa pidana; 2. perbuatan pidana;

3. perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum;

4. hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman;

5. tindak pidana.16

Pengertian tindak pidana dalam ilmu hukum pidana antara sarjana yang satu dengan yang lain tidak ada satu kesamaan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal 2 (dua) macam pandangan dalam memberikan pengertian tindak pidana, yaitu:

1. Pandangan yang Monistis. 2. Pandangan dualistis.

16


(46)

Pandangan Monistis ini berpendapat bahwa keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.17

Ini berarti pandangan Monistis tidak memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Penganut pandangan Monistis ini antara lain:

a. D. Simons.

Menurut D. Simmons unsur-unsurstrafbaar feitadalah:

1. perbuatan manusia (positief ataunegatief; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan),

2. diancam dengan pidana (strafbaar gesteld), 3. melawan hukum (onrechtmatig),

4. dilakukan dengan kesalaha (met schuld in verband staand),

5. oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon).18

b. Van Hamel.

Menurut beliau unsur-unsur tindak pidana adalah:

1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 2. Melawan hukum,

3. Dilakukan dengan kesalahan, dan 4. Patut dipidana.19

Pandangan Dualistis membedakan secara tegas antara "dapat dipidananya perbuatan" dengan "dapat dipidananya orang" . Dengan kata lain

17

Ibid. hal. 40. 18

Ibid.

19Ibid


(47)

42

pandangan Dualistis memisahkan antara pengertian "perbuatan pidana" dan pertanggungjawaban pidana". Panganut pandangan ini antara lain:

a. H.B. Vos.

Menurut H.B. Vosstrafbaar feithanya berunsurkan: 1. Kelakuan manusia, dan

2. diancam pidana dalam undang-undang.20

b. Moeljatno.

Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. perbuatan (manusia).

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil), dan

c. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).21

Berdasarkan uraian di atas, agar tidak timbul kesalahpahaman dalam mengartikan istilah tindak pidana, penulis menggunakan istilah Tindak Pidana untuk menterjemahkan istilah "strafbaar feit". Penulis mengikuti pandangan Dualistis, khususnya pengetian tindak pidana sebagaimana diberikan oleh Moeljatno.

20

Ibid. hal. 42. 21


(48)

(49)

(50)

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia : Studi Tentang Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa, Bandung.

Harsono, C.I.,. 1995.Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta. Muladi. 1995.Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang.

______ ,1996.Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.

Nawawi Arief, Barda,.2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Tongat. 2001.Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta.


(51)

46

Harsono, C.I.,. 1995.Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Nawawi Arief, Barda,. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soedarto. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Tongat. 2001.Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Departemen Kehakiman. 1991.Naskah Rancangan KUHP (Baru) 2000, Jakarta. Undang-Undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Politea, Bogor. Jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 TentangKetentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.


(52)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk mempelajari kaedah hukum, yaitu dengan mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan, azas-azas, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan perpspektif alternatif pemberian pidana kerja sosial bagi anak ditinjau dari tujuan pemidanaan.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada satu jenis, yaitu data sekunder. Data sekunder dijadikan satu-satunya jenis data dalam penelitian ini, karena penelitian yang dilakukan adalah bersifat yuridis normatif.

Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yang selanjutnya diuraikan sebagai berikut:


(53)

44

a. Data sekunder berupa bahan hukum primer yaitu terdiri dari ketentuan perundang-undangan:

1. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku dan hasil penelitian, dan sebagainya seperti Konsep Rancangan KUHP 2012, dan Peraturan Pemerintah.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, bibliografi, dan sebaginya.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, namun untuk mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap bagi permasalahan yang diajukan, maka penulis perlu juga melakukan wawancara dengan narasumber yang memahami dan menguasai permasalahan yang diajukan. Narasumber yang dijadikan responden sebagai berikut:


(54)

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2 orang

2. Dosen Fakultas Hukum Unila 1 orang +

3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang diperlukan ditempuh prosedur dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu dilakukan dengan cara membaca, mencatat, mengutip buku-buku, menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen, informasi serta pendapat-pendapat para sarjana atau ahli hukum yang berhubungan dengan penulisan ini.

2. Prosedur Pengolahan Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengolah data adalah :

1. Editing, yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah data yang diperoleh itu telah relevan dan sesuai dengan bahasan. Selanjutnya apabila ada yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan diadakan penambahan.

2. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data menurut kerangka yangtelah ditetapkan.


(55)

46

3. Sistematika data, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasan sehingga memudahkan analisis data.

D. Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis secara menyeluruh. Tujuan analisis ini adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang ada diolah dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan cara mendeskripsikan data yang diperoleh dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat. Setelah data dianalisa, dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum, selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.


(56)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Pidana kerja sosial dapat digunakan sebagai perspektif alternatif dalam pemberian pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana, agar pidana yang dijatuhkan itu memenuhi tujuan pemidanaan. Oleh karena pidana kerja sosial dapat memberikan perlindungan secara integratif secara berimbang, yaitu antara perlindungan masyarakat dan perlindungan individu.

2. Perspektif pengaturan pidana kerja sosial dalam hukum pidana anak di Indonesia belum secara tegas mengatur pidana kerja sosial. Hal ini didasarkan dari ketentuan Pasal 71 tentang Pidana dan Pasal 83 tentang Tindakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak didapatkan ketentuan yang mengatur tentang pidana kerja sosial. Namun, secara tersirat dapat diketahui bahwa pidana kerja sosial diatur dalam ketentuan pasal di atas, yaitu Pasal 71 ayat (1) huruf b ke 2 dan huruf c diatur tentang pidana dengan syarat berupa pelayanan masyarakat dan pidana pelatihan kerja, yang dapat disamakan dengan pidana kerja sosial.


(57)

74

Pidana pelayanan masyarakat dan pelatihan kerja yang diatur dalam Undang-Undang tersebut pada dasarnya dapat disamakan dengan pidana kerja sosial, karena pidana kerja sosial biasanya ditetapkan dengan syarat-syarat tertentu dan keharusan melakukan kewajiban tertentu, misalnya pelayanan masyarakat atau bekerja di tempat tertentu.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diajukan sebagai masukan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Perlu segera dikeluarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak, yaitu Peraturan Pemerintah yang berisi pedoman tentang tata cara dan pelaksanaan pidana kerja sosial, yang berupa pelayanan masyarakat dan pelatihan kerja bagi anak.

2. Perlu diadakan sinkronisasi ketentuan peraturan yang mengatur tentang pidana kerja sosial bagi anak antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Konsep KUHP 2012.


(58)

(59)

PERSPEKTIF ALTERNATIF PEMBERIAN PIDANA KERJA SOSIAL BAGI ANAK DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN

( Skripsi )

BZ. MARPIYANI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(60)

PERSPEKTIF ALTERNATIF PEMBERIAN PIDANA KERJA SOSIAL BAGI ANAK DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN

BZ. MARPIYANI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(61)

(62)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………... 6

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ………. 6

E. Sistematika Penulisan ……… 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tujuan Pemidanaan………... 12

B. Pengertian Anak ……… 19

C. Sanksi Pidana yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ……….. 24

D. Pengertian dan SejarahPidana Kerja Sosial …….……… 30

E. Pengertian Tindak Pidana……..…….………... 40

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….. 43

B. Sumber dan Jenis Data .……… 43

C. Penentuan Narasumber ………. 44

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ……….. 45


(63)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KarakteristikResponden ……….. 47 B. Perspektif Alternatif Pemberian Pidana Kerja Sosial bagi Anak

Ditinjau dariTujuan Pemidanaan ……… 48 C. Perspektif Pengaturan Pidana Kerja Sosial dalam Hukum Pidana

Anak Indonesia ……… 56

V. PENUTUP

A. Simpulan ……… 73

B. Saran ……….. 74


(64)

Andrisman, Tri. 2005. Hukum Peradilan Anak. Fakultas Hukum Unila. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

---. 1997. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Poernomo, Bambang. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Gosita, Arief. 1993 Masalah Korban Kejahatan. Akademika Presindo. Jakarta. Gunarso, Singgih. 1989. Perubahan Sosial dalam Masyarakat. Makalah.

Universitas Indonesia. Jakarta.

Harsono, C.I., . 1995.Sistem Baru Pembinaan Narapidana.Djambatan. Jakarta. Kasim, Ifdal. 2001. Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi

Aparatur Penegak Hukum. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta.

Muladi. 2002.Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

---, 1995. Kapita Sekekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Soekanto, Soerjono, .1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Sudarto. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.


(65)

---. 1990.Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto FH Undip. Semarang.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Universitas Lampung. 2005.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung . Unila Press. Bandar Lampung.

Widoyati, Sri, WS. 1983. Anak dan Wanita di Mata Hukum. LP3ES. Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012.


(66)

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia : Studi Tentang Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa, Bandung.


(67)

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.


(68)

Andrisman, Tri. 2005. Hukum Peradilan Anak. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Bandar Lampung.

Gunarso, Singgih. 1989. Perubahan Sosial dalam Masyarakat. Makalah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

---, 2002.Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.

Soedarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Alumni. Bandung.

Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Widoyati, Sri. W.S. 1983. Anak dan Wanita di Mata Hukum. LP3ES. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Soemitro Ronny, Hanitijo,. 1998. Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

---, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung .1993. Lampung University Press. Bandar Lampung.


(69)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2005. Hukum Peradilan Anak. Fakultas Hukum Unila. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

---. 1997. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Poernomo, Bambang. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Gosita, Arief. 1993 Masalah Korban Kejahatan. Akademika Presindo. Jakarta. Gunarso, Singgih. 1989. Perubahan Sosial dalam Masyarakat. Makalah.

Universitas Indonesia. Jakarta.

Harsono, C.I., . 1995.Sistem Baru Pembinaan Narapidana.Djambatan. Jakarta. Kasim, Ifdal. 2001. Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi

Aparatur Penegak Hukum. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta.

Muladi. 2002.Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

---, 1995. Kapita Sekekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Soekanto, Soerjono, .1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Sudarto. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.


(2)

---. 1990.Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto FH Undip. Semarang.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Universitas Lampung. 2005.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung . Unila Press. Bandar Lampung.

Widoyati, Sri, WS. 1983. Anak dan Wanita di Mata Hukum. LP3ES. Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012.


(3)

Universitas Lampung. 1999. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Unila Press. Bandar Lampung.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia : Studi Tentang Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Angkasa, Bandung.


(4)

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.


(5)

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti. Bandung.

Andrisman, Tri. 2005. Hukum Peradilan Anak. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Bandar Lampung.

Gunarso, Singgih. 1989. Perubahan Sosial dalam Masyarakat. Makalah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

---, 2002.Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.

Soedarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Alumni. Bandung.

Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Widoyati, Sri. W.S. 1983. Anak dan Wanita di Mata Hukum. LP3ES. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Soemitro Ronny, Hanitijo,. 1998. Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

---, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung .1993. Lampung University Press. Bandar Lampung.


(6)

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN (Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor : 164/PID/2010/PT.PDG)

0 3 17

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN (Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor : 164/PID/2010/PT.PDG)

0 3 17

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN (Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor: 164/PID/2010/PT.PDG)

0 5 17

ENERAPAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN

0 2 20

ENERAPAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN (Putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor: 765/PID.B/2010/PN.BLT.)

0 4 17

KAJIANYURIDIS KETENTUAN PENJATUHAN PIDANA DALAM PASAL 26 UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN

0 3 17

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN GRASI BAGI TERPIDANA KASUS TINDAK PIDANA NARKOTIKA DIKAITKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN.

0 1 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Relevansi Pidana Seumur Hidup dari Perspektif Tujuan Pemidanaan dan Pemasyarakatan T1 312008079 BAB I

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Relevansi Pidana Seumur Hidup dari Perspektif Tujuan Pemidanaan dan Pemasyarakatan

0 0 14

TINDAKAN KEBIRI KIMIA DAN PEMASANGAN ALAT PENDETEKSI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK BAGI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DITINJAU DARI TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA

0 0 14