ANALISIS BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK MENDUGA ADANYA TINDAK PIDANA GUNA DILAKUKAN PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN MENURUT KUHAP

(1)

ABSTRAK

ANALISIS BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK MENDUGA ADANYA TINDAK PIDANA GUNA DILAKUKAN PENYIDIKAN OLEH

KEPOLISIAN MENURUT KUHAP Oleh

ASWAN ABDUL RACMAN

Pelaksanaannya sering terjadi perbedaan penafsiran mengenai bukti awal untuk menangkap seseorang. Ada beberapa kasus yang bertentangan menurut banyak pihak yang meragukan kebenaran bukti awal, namun polisi melakukan penangkapan dan pada kasus lain yang menurut banyak pihak terdapat bukti awal namun penyidik tidak melakukan penangkapan. Permasalahan penulisan skripsi ini adalah bagaimana kriteria bukti permulaan yang cukup untuk menduga adanya tindak pidana guna dilakukan penyidikan dan apakah upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup.

Tujuan dan kegunaan penulisan skripsi ini adalah mengetahui kriteria bukti permulaan yang cukup untuk menduga adanya tindak pidana guna dilakukan penyidikan dan upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup. Metode yang digunakan dalam penulisan adalah dengan melakukan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, pengumpulan data digunakan metode wawancara.

Hasil penelitian dan pembahasan kriteria bukti permulaan yang cukup untuk menduga adanya tindak pidana guna dilakukan penyidikan, Penyidik berpedoman pada Peraturan Kapolri dan KUHAP. Upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup adalah praperadilan, yang merupakan wewenang pengadilan negeri.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis menyarankan Pembuat peraturan perundang-undangan lebih rinci dalam mengatur ketentuan dan batasan-batasannya agar tidak terjadi penafsiran yang salah oleh penegak hukum, profesionalisme dan moral aparat penegak hukum harus baik, agar dalam suatu proses penanganan suatu kasus tidak terjadi penyimpangan serta sesuai dengan hukum.


(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya sempit, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh Jaksa. KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam Pasal 1 (Andi Hamzah, 2008: 3-4).

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana berada pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang syarat kepangkatannya diatur pada peraturan pemerintah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tugas dan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan sehingga diketahui seseorang diduga terlibat tindak pidana dan melakukan penangkapan serta penahanan harus berdasakan bukti permulaan yang cukup.


(3)

Proses penyelidikan adalah proses untuk menentukan, apakah telah terjadi suatu tindak pidana yang artinya pada proses tersebut jelas belum ada pihak yang dikenakan status tersangka. Hal ini berbeda dengan proses penyidikan. Dalam proses penyidikan telah terdapat keyakinan bahwa telah terjadi suatu dan tindak pidana dan proses penyidikan merupakan proses untuk mencari bukti sekaligus tersangka tindak pidana tersebut.

Penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka dan ketika penyidik akan menangkap seseorang tersebut, berdasarkan Pasal 1 Butir 14 KUHAP menyatakan, ”Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Adapun Pasal 17 KUHAP menyebutkan, ”Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Berdasarkan kedua pasal tersebut jelas terlihat perbedaannya bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan bukti permulaan, yang mana merupakan tugas dari penyelidik untuk mencari bukti awal.

Mencari, menemukan dan mengumpulkan bukti awal merupakan tugas dan kewenangan penyelidik yang prosesnya disebut penyelidikan yaitu tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga peristiwa pidana (Pasal 1 butir 5, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Penyelidik mengumpulkan bukti permulaan, agar penyidik dapat melaksanakan penyidikan atas laporan hasil penyelidikan (LHP) sehingga kemudian dapat dicari atau ditemukan seseorang yang terduga dapat dijadikan tersangka dan


(4)

3

dilakukan penangkapan atas dasar bukti permulaan yang di dapat oleh penyelidik dan atas penilaian penyidik (Pasal 26-28, Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia). Seseorang yang diduga melakukan perbuatan pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebut tersangka. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadannya, berdasar bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

Pasal 17 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa, perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tidak ada penjelasan yang pasti mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan dan bagaimana kriteria suatu bukti permulaan untuk melaksanakan penyelidikan pada suatu tindak pidana. Pada penjelasan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir 14 hanya dijelaskan bahwa bukti permulaan dikaitkan dengan perbuatan dan keadan seseorang sehingga patut diduga keras sebagai tersangka. Jelas bahwa penentuan terhadap bukti permulaan, diserahkan sepenuhnya pada penilaian (subjektifitas) pejabat yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan (AM. Mendrofa, 2003: 2-3). Motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih


(5)

dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.

Tuntutan dan tanggung jawab moral yang demikian sekaligus menjadi peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati-hati. Sebab kalau kurang atau tidak hati-hati melakukan penyelidikan, bisa terjadi akibat yang fatal pada tingkat penyidikan yang akan menyeret tindakan, penangkapan dan penahanan yang dilakukan ke muka sidang ”praperadilan”. Karena sebagaimana digariskan KUHAP, memberikan hak kepada tersangka/terdakwa menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas tindak penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang berlawanan dengan hukum. Kalau begitu sangat beralasan untuk tidak melanjutkan penyelidikan ke tingkat penyidikan. Jika fakta dan bukti belum memadai di tangan penyidik. Lebih baik kegiatan itu dihentikan atau masih tetap dibatasi pada usaha-usaha mencari dan menemukan kelengkapan fakta, keterangan, dan barang bukti agar memadai untuk melanjutkan penyidikan (M. Yahya Harahap, 2006: 102).

Pelaksanaannya sering terjadi permasalahan berkaitan dengan perbedaan penafsiran mengenai cukup tidaknya bukti awal untuk menangkap seseorang. Ada beberapa kasus yang bertentangan menurut banyak pihak yang meragukan kebenaran dari sebuah bukti awal, namun polisi tetap melakukan penangkapan dan pada kasus lain yang menurut banyak pihak telah terdapat bukti awal namun polisi sebagai penyidik tidak melakukan penangkapan, pada seseorang yang terlibat tindak pidana.


(6)

5

Banyak kasus yang menjadi kontoversi di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, Komisaris Jenderal Susno Duadji adalah orang yang paling kontroversial di Tanah Air. Mulai dari perseteruan Polri-KPK, kesaksiannya dalam sidang Antasari Azhar, kemudian membongkar kasus mafia pajak yang melibatkan petinggi Polri, sampai pada penetapan dirinya sebagai tersangka disusul penangkapan dan penahanan dalam kasus penangkaran arwana PT Salmah Arwana Lestari dan pada kasus Prita Mulyasari (dugaan pencemaran nama baik RS Omni Internasional), yang penahanannya berdasar email keluhannya terhadap pelayanan RS Omni Internasional. Menurut KUHAP, penetapan seseorang sebagai tersangka, penangkapan berikut penahanannya adalah kewenangan Polri. Kewenangan tersebut berdasarkan penilaian subyektif aparat penyidik terhadap bukti permulaan yang ada, agar kewenangan yang bersifat subyektif itu tidak disalahgunakan penyidik, maka untuk menilainya harus berdasarkan fakta yang obyektif, khususnya berkaitan dengan bukti permulaan, (http://jakarta45.wordpress.com/category/dokumen-bersejarah/page/75/, diakses pada tanggal 12 Agustus 2010).

Timbul pertanyaan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, yang menjadikan kriteria atas suatu bukti permulaan tindak pidana sehingga penyelidik dapat melakukan penyelidikan karena proses penyelidikan berdasarkan bukti awal atau bukti permulaan sehingga suatu peristiwa dianggap bukti awal tindak pidana dan dapat dijadikan seseorang tersangka.


(7)

Bertitik tolak dari permasalahan dan pemikiran tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul: “Analisis Bukti Permulaan yang Cukup untuk Menduga Adanya Tindak Pidana guna dilakukan Penyidikan oleh Kepolisian menurut KUHAP”.

B. Permasalah dan Ruang Lingkup. 1. Permasalahan

a. Bagaimana kriteria bukti permulaan yang cukup untuk menduga adanya tindak pidana guna dilakukan penyidikan?

b. Apakah upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang akan menjadi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada bukti permulaan yang cukup dalam melakukan penyidikan, secara khusus yang dilakukan bagian Reserse dan Kriminal (Reskrim). Serta upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana (tersangka), dalam hal ditangkap tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup. Sebagai mana yang diatur pada pidana formil (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), sebagai pedoman pelaksana dalam perkara pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian


(8)

7

a. Mengetahui kriteria bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana oleh Kepolisian berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

b. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap, tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Sebagai pengembangan daya kritis mahasiswa sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, guna membantu menemukan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam bukti permulaan yang cukup sehingga dapat diketahui kriteria bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga pelaku tindak pidana serta upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap, tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi aparat penegak hukum serta masyarakat pencari keadilan, khususnya Lembaga Bantuan Hukum atau kantor pengacara serta masyarakat luas sehubungan dengan kriteria bukti permulaan yang cukup. Upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap, tanpa didasari oleh bukti permulaan yang


(9)

cukup, serta menambah masukan ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum khususnya di Lampung dalam bukti permulaan dan kriterianya sehingga bukti awal menjadi bukti permulaan yang cukup serta upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup agar penegak hukum dan masyarakat luas dapat mengetahui serta mendapatkan keadilan dalam proses hukum yang baik dan ideal sesuai Undang-undang.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Snellbecker mengartikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati (Bahder Johan Nasution, 2008: 140).

Penelitian ini, meninjau hukum acara pidana yang merupakan pedoman penegak hukum pidana dalam mencari dan menemukan suatu kebenaran dalam setiap proses penegakan hukum pidana di Indonesia agar kearah tegak mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Negara hukum. Untuk mencapai kebenaran materil diperlukan pembuktian atas suatu tindak pidana oleh penyidik untuk membuktikan apakah seseorang yang diduga benar telah melakukan atau tidak perbuatan tindak pidana (Waluyadi, 1999: 1-7).


(10)

9

Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai ketentuan yang memberi penjelasan mengenai peristilahan dalam proses hukum pidana, masih belum memberi pengertian secara tuntas bagi setiap permasalahan hukum, sehingga masih ada yang samar, yang berakibat terjadi kekurang pastian hukum. Seperti dalam butir 14 mengenai bukti permulaan, jika dihubungkan dengan Pasal 17 belum dapat mendefenisikan atau menjelaskan apa itu bukti permulaan secara jelas (AM. Mendrofa, 2003: 2).

Pertanggungjawaban hukum pidana, menganut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Walaupun tidak dirumuskan dalam Undang-undang, tetapi dianut dalam praktik. Tidak dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban atas perbuatan. Orang yang melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya (Adami Chazawi, 2007: 151). Maka proses penyelidikan dan penyidikan adalah proses mencari pertanggungjawaban dan kesalahan seseorang terhadap suatu peristiwa pidana

Definisi Penyelidikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang–undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan hal tersebut di atas,


(11)

jelas bahwa proses penyelidikan adalah proses untuk menentukan, apakah telah terjadi suatu tindak pidana yang artinya pada proses tersebut jelas belum ada pihak yang dikenakan status tersangka tetapi ada pihak atau seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, jika dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini dimaksud ialah tahap pertama dalam tujuh tahapan hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran (Andi Hamzah, 2008: 118).

Proses penyidikan, dalam proses penyidikan telah terdapat keyakinan bahwa telah terjadi suatu dan tindak pidana dan proses penyidikan merupakan proses untuk mencari bukti sekaligus tersangka tindak pidana tersebut, telah terpenuhinya bukti permulaan yang cukup. Dalam sistem Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kewenangan penyelidikan ada pada pejabat polisi Negara (Pasal 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), sedangkan kewenangan penyidikan ada pada pejabat polisi Negara dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang syarat kepangkatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (AM. Mendrofa, 2003: 29).

Sebagai landasan untuk menjawab permasalahan lainnya, teori yang digunakan adalah Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yaitu: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:


(12)

11

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka,

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan,

3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Hal yang disebut Pasal 1 butir 10 KUHAP tentang yang dapat di praperadilan diatur lebih rinci pada Pasal 77 KUHAP.

2. Konseptual

Membangun konsep dalam pengkajian ilmu hukum pada dasarnya merupakan kegiatan untuk mengkonstruksi teori, yang akan digunakan untuk menganalisisnya dan memahaminya (Bahder Johan Nasution, 2008:180).

Pengertian-pengertian dasar dari istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2002: 36)

b. Kriteria (kriterium) adalah kadar, ukuran, patokan dan sebagainya, untuk mempertimbangkan atau menentukan sesuatu (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2002: 314).


(13)

c. Bukti Permulaan yang Cukup merupakan dasar untuk menentukan seseorang menjadi tersangka, penahanan tersangka, selain tertangkap tangan (Pasal 67 ayat (1), pada ayat (2) bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya adanya laporan polisi ditambah dengan 2 (dua) jenis alat bukti sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi yang diperoleh oleh penyidik, 2. Keterangan Ahli yang diperoleh oleh penyidik, 3. Surat,

4. Petunjuk (Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia).

d. Penyelidikan adalah adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini (Pasal 1 Butir 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

e. Kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Undang-undang No. 2 Tahun 2002).

f. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang


(14)

13

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 Butir 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

g. Tindak Pidana (delik, delict, delikt, offence) adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang (Andi Hamzah, 2007: 164).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka penulis mengajukan bab per bab dengan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, diuraikan tentang tinjauan mengenai pengertian- pengertian tentang pokok bahasan, mengenai pengertian tentang pembuktian, bukti permulaan yang cukup, penyelidikan, penyidikan dan tindak pidana.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini, berisikan tentang urutan yang akan dilakukan Penulis dalam melakukan penelitian untuk dapat menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Urutan


(15)

dalam bab metodologi ini ialah pendekatan masalah, sumber dan jenis data, cara penentuan sampel, cara pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, yang Penulis uraikan adalah mengenai kriteria bukti permulaan yang cukup untuk melaksanakan penyelidikan dan penyidik pada suatu tindak pidana.

V. PENUTUP


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bukti Permulaan yang Cukup

Istilah kesalahan (schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban, atau mengandung beban pertanggungan jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti halnya unsure melawan hukum, unsure kesalahan ini ada di sebagian rumusan tindak pidana, yakni kejahatan tertentu dengan dicantumkan secara tegas dan sebagian lain tidak dicantumkan secara tegas. Unsur kesalahan (baik kesengajaan maupun kelalaian) dalam tindak pidana pelanggaran tidak pernah dicantumkan dalam rumusan. Asas tidak ada pidana tanpa (geen straf zonder schuld) tetap dipakai karena dalam pelanggaran tetap ada unsur kesalahan (Adami Chazawi, 2007: 151).

Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana, Pasal 17 Penjelasan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14, pasal ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditunjukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, disebut tersangka atau


(17)

orang yang diduga pelaku tindak pidana berdasarkan bukti permulaan. Maka, masih banyak hal yang harus di buktikan oleh penyidik jika seseorang tersebut benar-benar bersalah.

Mencari dan pengumpulan bukti permulaan yang cukup merupakan wewenang Kepolisian. Menurut Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia:

Bukti Permulaan yang Cukup merupakan dasar untuk menentukan seseorang menjadi tersangka, penahanan tersangka, selain tertangkap tangan (Pasal 67 ayat (1)), pada ayat (2) bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya adanya laporan polisi ditambah dengan 2 (dua) jenis alat bukti sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi yang diperoleh oleh penyidik, 2. Keterangan Ahli yang diperoleh oleh penyidik, 3. Surat,

4. Petunjuk.

Jika kita hubungkan antara isi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Peraturan Kapolri mengenai bukti permulaan yang cukup masih bersifat abstrak dalam penafsirannya, maka akan berbeda ditiap penyidikan, karena undang-undang tersebut belum menjelaskan secara konkret apa itu bukti permulaan. Jika dihubungkan, Asas tidak ada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) dalam hukum pidana. Terhadap proses penyelidikan dan penyidikan maka subtansi dari tugas dan wewenang mereka adalah untuk mencari kesalahan dan yang bertanggung jawab terhadap pristiwa pidana tersebut serta apakah perbuatan tersebut diatur atau tidak dalam hukum atau Undang-undang. Bukti Permulaan yang Cukup adalah proses untuk mencari unsur kesalahan menurut KUHAP.


(18)

18

B. Kepolisian, Penyelidikan dan Penyidikan 1. Kepolisian

Kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Undang-undang No. 2 Tahun 2002).

Kepolisian atau Polri menduduki posisi sebagai aparat penegak hukum sesuai dengan prinsip deferensiasi fungsional yang digariskan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kepada Polri diberikan peran role berupa kekuasaan umum menangani criminal (general policing authority in criminal matter) diseluruh wilayah Negara.Kepolisian Independen melakukan fungsi operasional ketertiban umum tanpa campur tangan (intervensi) dan kontrol dari kekuasaan pemerintah manapun. Dalam melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan, konstitusi memberi hak istimewa atau hak

privilese kepada Kepolisian untuk memangil, memeriksa, menangkap,

menahan, menggeledah, dan menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi, dalam melaksanakan hak dan kewenangan istimewa tersebut harus taat dan tunduk kapada prinsip the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidik dan disidik diatas landasan sesuai dengan hukum acara, tidak boleh undue process. Bertitik tolak dari asas due process, Kepolisian dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan penyidikan harus berpatokan dan berpegang pada ketentuan khusus (Special rule) yang diatur dalam hukum acara pidana (criminal procedure) dalam hal ini Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (A.M. Mendrofa. 2003: 10-14).


(19)

2. Penyelidikan

Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Menurut Leden Marpaung: Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Perlu digaris bawahi kalimat “mencari” dan “menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”. Sasaran “mencari dan menemukan” tersebut adalah “suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”. Dengan perkataan lain “mencari dan menemukan” berarti penyelidik berupaya atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Akan tetapi, dalam kenyataan sehari-hari, biasanya penyelidik atau penyidik baru memulai tugasnya setelah ada lapora atau pengaduan dari pihak yang dirugikan (Leden Marpaung. 2009: 6).

Pasal 17 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan, agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak-hak asasi yang merendahkan harkat martabat manusia. Tujuan penyelidikan merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat manusia (Leden Marpaung. 2009: 9). Sebelum melangkah melakukan penyidikan seperti penangkapan dan penahanan, harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai alasan tindak lanjut penyidikan.

Siapa yang berwenang sebagai penyelidik dalam melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana:


(20)

20

”Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan”. Sesuai dengan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Jaksa atau pejabat lain, tidak berwenang melakukan penyelidikan. Sebab penyelidikan adalah monopoli tunggal Kepolisian di mana kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan untuk:

a. Menyederhanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang melakukan penyelidikan.

b. Menghilangkan kesimpang siuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti yang dialami masa HIR.

c. Merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan, jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam campur tangan aparat penegak hukum dalam penyelidikan, demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efisien.

Dari bunyi Pasal 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dijernikan aparat yang berfungsi dan berwenang melakukan penyelidikan, hanya pejabat polri, tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi dan pejabat lain (AM. Mendrofa. 2003: 22-23).


(21)

2. Penyidikan

Pengertian penyidikan yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangka.

Penyidikan dimulai setelah terjadinya tindak pidana dan telah dilakukan penyelidikan untuk menemukan bukti permulaan. Sesungguhnya penyidikan terhadap tindak pidana diharapkan dapat memperoleh keterangan-keterangan berupa:

a. Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi, b. Waktu tindak pidana dilakukan,

c. Tempat terjadinya tindak pidana,

d. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan, e. Alasan dilakukannya tindak pidana, f. Pelaku tindak pidana,

Penekanan tindakan penyelidikan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat penekannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya (Rusli Muhammad. 2007: 58-60).


(22)

22

Hampir tidak ada perbedaan makna keduanya, kelihatannya hanya bersifat gradual saja antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan saling mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Untuk membedakan keduanya maka dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu:

1. Segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik.

2. Kewenangan penyelidik sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana, hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya) (AM. Mendrofa. 2003: 29). C. Delik (Tindak Pidana)

Ada dua golongan penulis, yang pertama merumuskan delik itu sebagai suatu kesatuan yang bulat, seperti Simons, yang merumuskan bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Jonkers dan Utrecht memandang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi:

1. Diancam dengan pidana oleh hukum, 2. Bertentangan dengan hukum,

3. Dilakukan oleh orang yang bersalah,

4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya (Andi Hamzah. 2005: 96-97)


(23)

Sungguh pun demikian setiap tindak pidana yang terdapat didalam kitab undang-undang hukum pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur obyektif dan subyektif.

Unsur-unsur itu terdiri dari : a. Unsur-unsur obyektif.

Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Maka unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1) Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid,

2) Kualitas dari pelaku, “misalnya jabatan atau pengurus suatu instansi didalam kejahatan menurut KUHP”

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur-unsur subyektif.

Unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hati. Maka unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa, 2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging, 3) Macam-macam maksud atau oogmerk,


(24)

24

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, 5) Perasaan takut atau vress

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa pidana ialah:

a. Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan. Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya dan dalam keadaan darurat.


(25)

c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.

d. Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum.

e. Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumannya. Dan ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas maksimal hukumnya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau di dalam suatu perbuatan tertentu, maka dalam peristiwa pidana terhadap pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman (P.A.F. Lamintang. 1997: 192-194).

Dari unsur-unsur tersebut dapat kita simpulkan bahwa subyek hukum pidana adalah manusia dan obyeknya adalah perbuatan manusia yang dilarang atau diatur di undang-undang.

Sudarto membedakan jenis-jenis/penggolongan tindak pidana menurut doktrin. Penggolongan tindak pidana secara umum dibedakan kedalam beberapa pembagian sebagai berikut:


(26)

26

1) Tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran.

2) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil dan materiil.

3) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana/delik comissionis, delik omisionis dan delik comisionis peromissionis comissa.

4) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana kesengajaan dan tindak pidana kealpaan (delik dolus dan delik culpa).

5) Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana yang berlangsung terus dan tindak pidana yang tidak berlangsung terus (Togat. 2008: 117-124).


(27)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, dan doktrin hukum, serta peraturan hukum yang berkenaan dengan skripsi ini atau sering disebut library research. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan penelitian lapangan, yaitu dengan melakukan riset dan wawancara dengan bagian Direktorat Reserse dan Kriminal Kepolisian daerah Lampung serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya dapat dibedakan antara data yang diperoleh dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data tersebut, yaitu:

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Data tersebut penulis harapkan dapat diperoleh dari masyarakat atau


(28)

29

instansi-instansi terkait dengan permasalahan dalam skripsi ini. Dalam hal ini adalah polisi, Ditrektorat Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Lampung dan advokat, Lembaga Bantuan Hukum di Bandarlampung.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, antara lain:

A. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

B. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu buku-buku karya para ahli hukum yang sifatnya sebagai bahan hukum primer dan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang berguna untuk memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa pandapat para sarjana, hasil penelitian, Kamus Bahasa Indonesia, hasil seminar, dan pencarian data melalui internet atau media massa.


(29)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Ronny Hanitijo Soemitro, 1988: 44). Dalam Penulisan skripsi ini yang akan dijadikan populasi penelitian adalah kepolisian daerah Lampung, khususnya bagian Direktorat Reserse dan Kriminal di Kepolisian Daerah Lampung dan Lembaga Bantuan Hukum di Lampung.

2. Penentukan sampel yang akan diteliti, Penulis menggunakan metode “Proporsional Purposive Sampling”, yaitu suatu metode mengambil sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis dalam rangka memenuhi data yang diinginkan penulis. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro (1988: 58):

“Dalam memilih subjek, sampelnya diambil dari anggota-anggota sample yang sedemikian rupa, sehingga sample tersebut benar-benar mencerminkan ciri-ciri dari populasi yang sudah dikenal sebelumnya. Sampel bertujuan selalu melandaskan diri pada informasi-informasi dan pengetahuan yang telah diperoleh/dicek mengenai ciri-ciri khusus dari suatu populasi. Informasi tadi sifatnya sudah fixed, jelas, dan tidak diragukan dan bukan merupakan informasi dugaan belaka.”

Responden yang dianggap dapat mewakili sampel dalam mencapai tujuan penelitian adalah Polisi bagian Direktorat Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Lampung sebanyak 2 (dua) orang dan Lembaga Bantuan Hukum di Bandarlampung sebanyak 2 (dua) orang, sebagai berikut:

1. Penyelidik dan Penyidik Kepolisian Daerah Lampung: 2 Orang 2. Advokat LBH Bandarlampung : 2 Orang +


(30)

31

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Studi lapangan

Dilakukan untuk memperoleh Bahan hukum primer dengan menggunakan metode wawancara secara langsung dengan responden dan pengamatan. b. Studi kepustakan

Studi kepustakaan dilakukan dengan serangkaian kegiatan membaca dan mengkaji buku, kertas kerja, dan menganalisa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian (Burhan Ashshofa, 2007: 61).

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan melalui kegiatan pengumpulan data diproses melalui pengolahan data. Data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya diolah dengan menggunakan metode:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi, yaitu pengelompokan data sesuai dengan bidang pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan.


(31)

E. Analisis Data

Pengolahan data telah dilakukan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif yaitu dilaksanakan dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Dari data analisis tersebut dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berpikir yang didasarkan pada fakta yang bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus.


(32)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisik Responden

Penulisan dalam skripsi ini dilakukan oleh Penulis dengan melakukan penelitian studi wawancara terhadap 4 (empat) orang responden, yaitu 2 (dua) orang polisi pada Direktorat Reserse dan Kriminal Kepolisian daerah Lampung Polda Lampung dan 2 (dua) orang advokat pada Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung, yang telah ditunjuk guna menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

1. Penyidik, Polda Lampung:

a. Nama : Ahmad Yani Ekoputra S.H. Umur : 41

Pendidikan : S1

Jabatan : Kabag Analisis (Penyidik Penuh) Pekerjaan : Polisi

b. Nama : Ghofur Suhaya S.H. Umur : 45

Pendidikan : S1

Jabatan : Banit 2, Unit 2, sat 1 (Penyidik pembantu) Pekerjaan : Polisi


(33)

2. Advokat, Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung: c. Nama : Indra Firsada S.H.

Umur : 27 Pendidikan : S1

Jabatan : Direktur LBH B. Lampung Pekerjaan : Advokad

d. Nama : Chairudin S.H. Umur : 35

Pendidikan : S1

Jabatan : Kadiv Advokasi LBH B. Lampung Pekerjaan : Advokat

B. Hukum Acara Pidana atau Pidana Formil

Keberadaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana secara implisit merupakan penjabaran dari jiwa semangat Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang isinya sangat menjujung tinggi harkat dan martab manusia dalam bidang hukum. Namun demikian meskipun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebut-sebut karya agung. Akan tetapi bagaimana agungnya karya manusia, maka kekurangan dan ketidak sempurnaan pasti tidak dapat dihindari. Seiring dengan kekurangan-ketidaksempurnaan tersebut bahwa faktor manusia akan selalu memegang peranan yang sangat penting. Van Bemmelen dalam bukunya “Strafordering Leerbook Van Het Nederlendsch Straf Procesrech” (Undang-undang di Belanda yang memuat tentang Hukum Acara Pidana), bahwa yang terpenting dalam hukum


(34)

36

acara pidana adalah mencari dan memperoleh kebenaran. Sementara itu, menurut doktrin (pendapat para ahli hukum) bahwa tujuan hukum acara pidana adalah:

a) Mencari dan menemukan kebenaran materiil, b) Memperoleh putusan Hakim, dan

c) Melaksanakan putusan Hakim.

Hukum Acara Pidana adalah jaminan kepentingan, dalam rangka mewujudkan keinginan tersebut, maka perlu kiranya diusahakan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional,

2) Menertibkan badan-badan penegak hukum sesuai dengan funsi dan wewenangnya masing-masing,

3) Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum, 4) Membina penyelenggaraan banruan hukum untuk golongan masyarakat

yang kurang mampu.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam pelaksanaanya harus melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan tersangka atau terdakwa yang merupakan bagian dari masyarakat (Waluyadi, 1999: 14, 21-22).

C. Kriteria Bukti Permulaan yang Cukup untuk menduga adanya tindak pidana guna dilakukan penyidikan.

Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana dan orang yang diduga pelakunya, sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.


(35)

Pasal tersebut menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi di tunjukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Sistem pemeriksaan accusatoir ini berusaha menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, sehingga konsekuensinya antara pemeriksa maupun yang diperiksa mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Dengan berpedoman kepada sistem pemeriksaan yang dikehendaki Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Waluyadi, 1999: 62).

Bukti permulaan yang cukup merupakan dasar untuk melakukan penentuan tersangka suatu tindak pidana dan penangkapan oleh penyidik Kepolisian, menurut Ahmad Yani Ekoputra. Hal ini harus didasari Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang alat bukti sah, yakni terpenuhinya minimal 2 (dua) dari 5 (lima) alat bukti sah dan berdasar Perkap No. 12 tahun 2009 tentang pedoman penindakkan perkara pidana. Kriteria bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana harus memenuhi minimal 2 (dua) dari 5 (lima) alat bukti sah, yang hal tersebut merupakan tugas dan wewenang penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang kemudian disebut bukti awal atau bukti permulaan (wawancara POLDA, 18 Juni 2010).

Ditreskrim Polda Lampung dalam menentukan batasan-batasan bukti permulaan yang cukup, menurut Ahmad Yani Ekoputra berpedoman pada, Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ayat (1) tentang alat bukti yang sah, yaitu :


(36)

38

a. Keterangan Saksi, b. Keterangan Ahli, c. Surat,

d. Petunjuk,

e. Keterangan Terdakwa atau Pengakuan Terdakwa.

Mekanisme dan batasan-batasan penentuan bukti permulaan yang cukup, diatur pada Perkap No. 12 Tahun 2009, yakni:

Bukti Permulaan yang Cukup merupakan dasar untuk menentukan seseorang menjadi tersangka, penahanan tersangka, selain tertangkap tangan (Pasal 67 ayat (1)), pada ayat (2) bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya adanya laporan polisi ditambah dengan 2 (dua) jenis alat bukti sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi yang diperoleh oleh penyidik, 2. Keterangan Ahli yang diperoleh oleh penyidik, 3. Surat,

4. Petunjuk (Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia), (Wawancara, 18 Juni 2010).

Menurut Ghofur Suhaya, batasan dari bukti permulaan yang cukup adalah segala sesuatu hal yang ada kaitanya dengan suatu peristiwa tindak pidana dan berhubungan dengan barang bukti di TKP (tempat kejadian perkara). Dan menurutnya alat bukti petunjuk adalah alat bukti yang tidak berdiri sendiri dan berkaitan dengan barang bukti di TKP. Ia mencontohkan seperti karcis parkir di suatu lokasi taman hiburan seperti dalam kasus Bibit-Chandra yang mana karcis itu masuk dalam alat bukti petunjuk bukan alat bukti surat, karena melalui barang bukti tersebut didapatkan fakta-fakta terkait suatu peristiwa pidana (delik), (Wawancara Polda, 23 Juni 2010).

Rekaman dan testimonial, menurut Ahmad Yani Ekoputra bukan alat bukti tetapi jika ada keterkaitan atau hubungan dengan suatu tindak pidana hal-hal tersebut akan menjadi alat bukti petunjuk. Pada kasus penyalahgunaan wewenang


(37)

pimpinan KPK, Bibit-Chandra. testimonial AA‟ (Antasari Azhar) menjadi barang bukti dan sebagai alat bukti petunjuk yang mana menjadi dasar penyelidikan dan penyidikan (Wawancara 18 Juni 2010).

Pasal 1 butir 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, penyelidikan adalah adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Jadi subtansi dari penyelidikan adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dapat diduga sebagai tindak pidana, namun Ahmad Yani Ekoputra tersebut tidak membantah, jika dikatakan Kepolisian bersifat pasif yang hanya menunggu laporan adanya tindak pidana.

Testimonial, menurut Chairudin hanyalah cerita yang tidak memiliki kekuatan apa-apa, karena menurutnya testimonial bukan alat bukti dan juga tidak memiliki kekuatan hukum dan itu berbeda dengan laporan. Dalam suatu penanganan perkara atau delik, Polri tidak dapat melakukan tindakan penyelidikan dan pinyidikan, jika peristiwa tersebut masuk dalam delik aduan bukan delik biasa. Yang artinya polri dapat melakukan sidik dan lidik, jika ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Pada kasus Susno Duadji, menurut Chairudin hanya memiliki 1 alat bukti dan seharusnya diliakukan praperadilan. Dalam kasus tersebut lebih bermuatan politis dari pada mencari kebenaran (Wawancara LBH 25 Juni 2010). Namun berbeda hal pendapat Ahmad Yani Ekoputra dalam kasus tersebut merupakan yurisprudensi hakim, karena hanya 1 alat bukti tetapi tetap dilakukan proses peradilan, namun ia tidak membantah jika didalamnya ada


(38)

40

muatan politis (wawancara POLDA, 18 Juni 2010). Menurut penulis, jika dalam kasus Susno Duadji merupakan yurisprudensi hakim ini bertentangan dengan hukum, karena yang dapat yurisprudensi merupakan wewenang hakim Mahkamah Agung bukan hakim pengadilan negeri. Karena pada kasus tersebut masih dalam tahapan tingkat pengadilan negeri. Jadi, jawaban kabag analisis Ahmad Yani Ekoputra Polda Lampung tersebut jangal atau tidak logis dan bertentangan dengan hukum.

Bukti Permulaan yang Cukup menurut Indra Firsada adalah subyektifitas dari penyidik. Karena tidak ada aturan hukum yang mengatur secara detail apa dan bagaimana batasan atau kriteria dari bukti permulaan yang cukup didalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana maupun aturan lain. Menurutnya bukti permulaan yang cukup untuk menentukan tersangka adalah laporan ditambah 1 alat bukti, atau dapat juga temuan penyidik, jika tidak ada laporan yang mana hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir 5 tentang penyelidik, pada mencari dan menemukan, yang menurutnya penyelidik dapat melakukan penyelidikan tanpa ada laporan, jika berdasarkan tugas dan wewengnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam delik biasa, penyidik dapat melakukan penyelidikan berdasarkan temuan, namun dalam delik aduan penyidik harus ada laporan dari pihak lain.

Berbeda pada tindak pidana khusus, seperti korupsi penyidik dapat melakukan penyelidikan tanpa adanya laporan, hal ini disetujui oleh penyidik Polda dalam hal korupsi tidak perlu adanya laporan (wawancara LBH, 26 Juni 2010).


(39)

1. Penyelidik dan Penyidik

a. Proses Penyelidikan dan Penyidikan.

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidak nya dilakukannya penyidikan (Pasal 1 butir 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Dengan demikian fungsi penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang acara pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

Penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang:

1. Tindak apa yang telah dilakukannya, 2. Kapan tindak pidana itu dilakuakan, 3. Dimana tindak pidana itu dilakukan, 4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan, 5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan, 6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan, 7. Siapa pembuatnya.


(40)

42

Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Penyidik, yaitu orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yang dijelasakan pada pasal ini. Kemudian di pertegas dan diperinci lagi dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Akan tetap, disamping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu itu disamping penyidik (AM. Mendrofa, 2003: 30).

b. Petugas-Petugas Penyelidik dan Penyidik

Pasal 4 penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Di dalam tugas penyelidikan mereka mempunyai wewenang-wewenang seperti diatur dalam Pasal 5 KUHAP sebagai berikut:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

2. Mencari keterangan dan barang bukti

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menayakan serta memeriksa tanda pengenal diri

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 6 KUHAP, Penyidik adalah:

a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Rumusan Pasal 6, yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu, mereka diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik pegawai negri


(41)

sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan Undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal (AM. Mendrofa, 2003: 32).

Penyidik sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana berwenang untuk:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan 5. Melakukan pemeriksaan dan peryitaan surat

6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi

8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalm hubungannya dengan pemeriksaan

9. Mengadakan penghentian penyidikan

10.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

c. Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan

Penyelidikan merupakan tindakan pertama yang dapat dan harus dilakukan oleh penyelidik, jika terjadi atau timbul persangkaan telah terjadi tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejahatan atau pelanggaran maka harus diusahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan tindak pidana dan jika ia siapakah pembuatnya. Persangkaan atau pengetahuan telah terjadi tindak pidana dapat diketahui dari:


(42)

44

2. Laporan,

3. Kedapatan tertangkap tangan (ontdekkeng op heterdaad), 4. Diketahui sendiri oleh penyidik.

Tertangkap tangan adalah:

a. Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, b. Dengan segera sesudah beberap saat tindakan pidana itu dilakukan, c. Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak rami sebagai orang yang

melakukannya,

d. Apabila sesat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (Waluyadi, 1999: 50-56).

2. Tersangka

Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa. Salah satu hak yang sering menimbulkan pro dan kontra dari sarjana hukum ialah hak tersangka atau terdakwa untuk memilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan baik oleh penyidik, penuntut umum, maupun oleh hakim, sering ketentuan ini dipandang pencerminan dari asas akusator (accusatoir) yaitu asas kebebasan untuk memberi dan mendapatkan nasihat hukum, menunjukan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah menganut asas akusator (Andi Hamzah, 2000:


(43)

20,62-64). Penentuan tersangka diatur dalam Perkap No.12 Tahun 2009 Tentang Sistem Penindakkan Perkara Pidana, menurut Ahmad Yani Ekoputra.

Pedoman mekanisme guna menentuka status tersangka diatur pada

Pasal 66 ayat (1) status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti, ayat (2) untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara, ayat (3) Pejabat yang berwenang untuk menandatangani surat penetapan seseorang berstatus sebagai tersangka serendah rendahnya sebagai berikut:

a. Direktur Reserse/Kadensus pada Bareskrim Polri dan melaporkan kepada Kabareskrim Polri;

b. Kasat Reserse pada tingkat Polda dan melaporkan kepada Direktur Reserse/Kadensus Polda;

c. Kepala Bagian Reskrim pada tingkat Polwil dan melaporkan kepada Kapolwil;

d. Kepala Satuan reskrim pada tingkat Polres dan melaporkan kepada Kapolres;

e. Kepala Polsek dan melaporkan kepada Kapolres. Pada ayat (4) Surat penetapan seseorang berstatus sebagai tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditembuskan kepada atasan langsung (wawancara POLDA, 18 Juni 2010).

Gelar perkara, pada Perkap No 12 Tahun 2009, Bagian Ketiga Gelar Perkara Pasal 44, Dalam hal kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan gelar perkara:

a. biasa; dan b. luar biasa.

Pasal 45 ayat (1) Gelar perkara Biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a dilaksanakan pada tahap:

a. Awal penyidikan;

b. Pertengahan penyidikan; dan c. Akhir penyidikan.

(2) Gelar perkara Biasa diselenggarakan oleh Tim Penyidik atau pengemban fungsi analisis di masing-masing kesatuan reserse.

(3) Gelar perkara Biasa dipimpin oleh Perwira Pengawas Penyidik atau pejabat yang berwenang sesuai dengan jenis gelar yang dilaksanakan. (4) Dalam hal sangat diperlukan, penyelenggaraan gelar perkara Biasa dapat menghadirkan unsur-unsur terkait lainnya dari fungsi internal Polri,


(44)

46

unsur dari CJS, instansi terkait lainnya dan/atau pihak-pihak yang.melapor dan yang dilaporkan sesuai dengan kebutuhan gelar perkara.

Berdasarkan hasil penelitian diatas penulis berpendapat, bahwa kriteria bukti permulaan yang cukup untuk menduga adanya tindak pidana guna dilakukan penyidikan adalah berdasarkan KUHAP dan Perkap No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah adanya laporan telah terjadinya tindak pidana dan didukung minimal 2 (dua) alat bukti sah menurut KUHAP. Hal tersebut dibedakan dalam delik aduan dan delik umum, yang mana dalam delik aduan penyidik dapat melakukan penyidikan jika ada laporan dari pihak yang dirugikan dan dalam delik umum penyidik dapat melakukan proses penyidikan berdasarkan temuan atau diketahui telah terjadi suatu tindak pidana sebagaimana definisi penyelidikan dan penyidikan dalam KUHAP Pasal 1 butir 2 dan 5. intinya dalam penentuan kriteria bukti permulaan yang cukup dan bukti permulaan merupakan subyektifitas dari pejabat yang berwenang. Jika kita perhatikan dalam KUHAP dan Perkap No 12 Tahun 2009 tidak mendefinisikan dan menjelaskan apa bukti permulaan yang cukup serta batasan-batasannya, agar pejabat berwenang tidak salah dalam menafsirkan dan menjalankan tugas, wewenangnya.

Penyelidik dan penyidik dalam melakukan tugas dan wewenangnya dalam memproses suatu tindak pidana harus memperhatikan prinsip-prinsip KUHAP. Salah satunya, asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Maka, dalam penentuan dan pencarian bukti permulaan yang cukup jika berlandaskan asas tersebut maka batasan-batasan bukti permulaan yang cukup


(45)

menurut penulis adalah, harus adanya Undang-undang yang mengatur peristiwa pidana tersebut (asas legalitas) dan adanya kesalahan (geen straf zonder schuld).

D. Upaya yang dapat Dilakukan oleh Seseorang yang Diduga Pelaku Tindak Pidana dalam Hal Ditangkap, Tanpa Didasari oleh Bukti Permulaan yang Cukup.

1. Praperadilan

Ahmad Yani Ekoputra dan Ghofur Suhaya, berdasar Undang-undang upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap, tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup adalah praperadilan (wawancara POLDA, 23 Juni 2010).

Menurut Indra Firsada upaya praperadilan dilakukan seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap, tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup merupakan wewenang kehakiman. Jadi upaya praperadilan menurutnya masih belum dapat menyelsaikan persoalan dalam proses penyidikan yang salah karena dalam mengabulkan atau tidak merupakan wewenang dari kehakiman (wawancara LBH, 26 Juni 2010).

Upaya Praperadilan diatur di Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yaitu: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka,

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan,


(46)

48

3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Apabila dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan oleh polisi atau pejabat yang berwenang dilaksanakan secara melawan hukum maka tersangka/terdakwa atau orang lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan praperadilan. Praperadilan ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya pengawasan agar aparat penegak hukum tidak bertindak di luar kewenangan yang telah disediakan oleh hukum.

Kewenangan praperadilan adalah untuk:

a. Memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan),

b. Memeriksa sah tidaknya upaya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,

c. Memeriksa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan penangkapan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum; penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum; kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan, atau diperiksa, d. Memeriksa permintaan rehabilitasi.

Hak mengajukan upaya praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya upaya paksa, tuntutan ganti kerugian, dan permintaan rehabilitasi adalah:


(47)

2. Keluarga tersangka, 3. Ahli waris tersangka,

4. Kuasa hukum tersangka, atau 5. Pihak ketiga yang berkepentingan.

Hak mengajukan upaya gugatan praperadilan untuk sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah

a. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan b. Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan

Pihak ketiga yang berkepentingan adalah

1. Saksi korban tindak pidana, 2. Pelapor atau,

3. masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (M. Yahya Harahap, 2006: 8-11).

Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan Pasal 80 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang memuat: “Pasal ini dimaksdukan untuk menegakan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal” (Leden Marpaung, 2009: 65).

Penuntutan tidak semata-mata berdasar atas terpenuhinya unsur tindak pidana disangkakan. Namun masih ada persyaratan lain yaitu perbuatan pidana tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada tersangka. secara yuridis perbuatan tersangka telah terpenuhi, namun tersangka tidak menyadari dampak ditimbulkan


(48)

50

atas perbuatannya. “Karena perbuatan tersebut dianggap hal yang wajar dalam menjalankan aturan, maka perbuatan tersangka tidak dapat dipidana,” sesuai Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut penulis dalam praktek, jarang sekali dikabulkan permohonan praperadilan disebabkan tidak mendasarkan kepada penilaian syarat-syarat subyektif penyidik sebagaimana diatur didalam Pasal 21 KUHAP tersebut. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap, tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup. Menurut penulis adalah praperadilan yang mana fungsi dan wewenangnya seperti disebut diatas adalah untuk menuntut penegak hukum agar dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, harus berdasarkan undang-undang atau hukum yang berlaku dengan baik, karena jika dalam menjalankan fungsinya terjadi penyimpangan maka pihak yang dirugikan dapat menuntu gati rugi dan pihak yang telah melakukan penyimpangan, harus bertanggung jawab dan menganti kerugiannya.

Penulis berpendapat, praperadilan memiliki kelemahan bagi pencari keadilan. Karena disini ada subyektifitas kehakiman dalam mengabulkan atau tidak, banyak kasus kontroverasi pada tingkat penyidikan dan mengajukan praperadilan tidak dikabulkan oleh pengadilan. Menurut penulis praperadilan merupakan implementasi Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld) yang dalam KUHAP tidak tertulis namun dalam praktiknya dipakai. Maka praperadilan merupakan jaminan KUHAP bagi tersangka untuk menuntut kebenaran dan perlakuan yang sesuai dengan Undang-undang atau hukum. Karena hukum pidana, hanya untuk orang yang melakukan kesalahan atau perbuatan pidana.


(49)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat dituangkan setelah peneliti melakukan penelitian baik melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, untuk memperoleh data yang cukup untuk menganalisis dan menjawab permasalahan yang telah diuraikan yaitu:

1. Bukti permulaan yang cukup merupakan dasar untuk melakukan penangkapan oleh penyidik Kepolisian, dalam hal ini harus didasari Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang alat bukti sah dan kriteria bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana harus memenuhi minimal 2 (dua) dari 5 (lima) alat bukti sah, yang hal tersebut merupakan tugas dan wewenang penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1 Ketentuan Umum Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang kemudian disebut bukti awal atau bukti permulaan. Sedangkan mekanisme dan batasan-batasan penentuan bukti permulaan yang cukup, diatur pada Perkap No. 12 Tahun 2009. Walau, telah ada aturan lain yang mengatur tentang pedoman dan mekanismenya penangan perkara pidana


(50)

53

masih belum dapat atau tidak memberikan secara jelas mengenai bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup.

Penyelidik dan penyidik dalam melakukan tugas dan wewenangnya, dalam memproses suatu tindak pidana harus memperhatikan prinsip-prinsip KUHAP. Salah satunya, asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Maka, dalam penentuan dan pencarian bukti permulaan yang cukup jika berlandaskan asas tersebut maka batasan-batasan bukti permulaan yang cukup menurut penulis adalah, harus adanya Undang-undang yang mengatur peristiwa pidana tersebut (asas legalitas) dan adanya kesalahan (geen straf zonder schuld).

2. Upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap, tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup adalah praperadilan Upaya praperadilan diatur di Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Namun, Praperadilan memiliki kelemahan bagi pencari keadilan. Karena disini ada subyektifitas kehakiman dalam mengabulkan atau tidak, banyak kasus kontroverasi pada tingkat penyidikan dan mengajukan praperadilan tidak dikabulkan oleh pengadilan. Menurut penulis praperadilan merupakan implementasi Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Maka praperadilan merupakan jaminan KUHAP bagi tersangka untuk menuntut kebenaran dan perlakuan yang sesuai dengan Undang-undang atau hukum. Karena hukum pidana, hanya untuk orang yang melakukan kesalahan atau perbuatan pidana.


(51)

B. Saran

1. Pembuat rumusan suatu peraturan perundang-undangan harus lebih rinci dalam menjelaskan suatu ketentuan umum dan batasan-batasannya agar tidak terjadi penafsiran yang salah oleh penegak hukum dan masyarakat

2. Profesionalisme dan moral aparat hukum harus lebih diutamakan agar dalam suatu proses penanganan suatu kasus tidak ada rekayasa, dan tidak keluar dari apa yang diatur pada hukum positif. Karena sebaik apa pun hukum jika hati nurani sudah tidak ada maka penegakannya tidak akan baik dan sesuai dengan perundang-undangan.


(52)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup ... 15

B. Kepolisian, Penyelidikan dan Penyidikan ... 17

C. Delik (Tindak Pidana) ... 21

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 27

B. Sumber dan Jenis Data ... 27

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 29

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30

E. Analisis Data ... 31

DAFTAR PUSTAKA IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik ... 33


(53)

C. Upaya yang dapat dilakukan oleh seseorang yang diduga pelaku tindak pidana dalam hal ditangkap, tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup ... 45 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 51 B. Saran ... 53 LAMPIRAN


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2007. Bagian I Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2007. Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta.

Johan Nasution, Bahder. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Mendrofa, AM. 2003. Pembahasan Penerapan KUHAP oleh Penyidik dan Penyidik Pembantu, Sekolah Polisi Negara, Jakarta.

Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sunggono, Bambang. 2010. Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta.

Universitas Atma Jaya. 2005. Kumpulan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana, Andi Offset, Yogyakarta.

Waluyadi. 1999. Pengetahuan dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung.

WS., Indrawan. 1995. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, Jombang.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2007. Bagian I Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Laminantang, P.A.F. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Armico,

Bandung.

Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta.

Mendrofa, AM. 2003. Pembahasan Penerapan KUHAP oleh Penyidik dan Penyidik Pembantu, Sekolah Polisi Negara, Jakarta.

Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tongat. 2008. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif

Pembaharuan, UMM Press, Malang.

Universitas Atma Jaya. 2005. Kumpulan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana, Andi Offset, Yogyakarta.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Ashshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Ketiga. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Universitas Lampung. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung, Lampung University Press, Bandarlampung.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta Harahap, Yahya M. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan (Edisi kedua., Sinar Grafika, Jakarta

Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan penyidikan) Edisi Kedua. Sinar Grafika,Jakarta

Mendrofa, AM. 2003. Pembahasan Penerapan KUHAP oleh Penyidik dan Penyidik Pembantu. Sekolah Polisi Negara, Jakarta.

Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Universitas Atma Jaya. 2005. Kumpulan Undang-undang Sistem Peradilan

Pidana. Andi Offset, Yogyakarta.

Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Mandar Maju, Bandung.


(58)

ANALISIS BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK MENDUGA ADANYA TINDAK PIDANA GUNA DILAKUKAN PENYIDIKAN OLEH

KEPOLISIAN MENURUT KUHAP

Oleh

ASWAN ABDUL RACMAN Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(59)

MOTTO

Kejujuran adalah Batu Penjuru dari Segala Kesuksesan,

Pengakuan adalah Motivasi Terkuat.

Bahkan Kritik dapat Membangun Rasa Percaya Diri

saat “

Disisipkan

” diantara

Pujian.

(May Kay As)

Semua orang Menginginkan Kesuksesan. Bagi Saya Kesuksesan

hanya Bisa Diraih dengan Kegagalan dan Intropeksi Diri.

(Soichiro Honda)

Tidak Ada yang Tidak Bisa,

Jika Kita Belajar dan Berusaha.

Yakin Usaha Sampai

( Aswan A.R. )

Kebahagian Biasanya Merupakan Hasil dari Sebuah

Pengorbanan.


(60)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Kadri Husin, S.H., M.H. ...…….…

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ..………..

Penguji Utama : Eko Raharjo, S.H., M.H. …………

2. Dekan Fakultas Hukum

Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1 003


(61)

Bismillahir’rohmanir’rohim.

Kupersembahkan Skripsi ini untuk Orang Tuaku tercinta :

Ayahanda Aji Prasojo, dan Ibunda Suryanti terimakasih untuk semua

kasih sayang dan pengorbanannya,

Adik-adikku dan semua saudara-saudaraku terimakasih untuk semangat,

do’a dan dukungannya

.


(62)

Judul Skripsi : ANALISIS BUKTI PERMULAAN YANG

CUKUP UNTUK MENDUGA ADANYA TINDAK PIDANA GUNA DILAKUKAN PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN MENURUT KUHAP Nama Mahasiswa : Aswan Abdul Racman

No. Pokok Mahasiswa : 0512011097 Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Ilmu Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Kadri Husin, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP. 19431114 196909 1 001 NIP. 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani., S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(63)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungkarang pada tanggal 3 Februari 1987. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Aji Prasojo dan Suryanti.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada Taman Kanak-kanak Al Azhar 4 dan diselsaikan pada tahun 1993. Sekolah Dasar Negeri 2 Perumnas Way Halim dan diselesaikan tahun 1999. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan di SLTP N 29 Bandarlampung pada tahun 2002, dan Sekolah Menengah Umum diselesaikan di SMU N 6 Bandarlampung pada tahun 2005.

Pada tahun 2005 penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2008, penulis mengikuti Praktik Kerja Lapangan Hukum (PKLH) Periode XIII B di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Kegiatan ini merupakan studi lapangan berupa kunjungan ke Universitas Udayana Propinsi Bali, kantor Bupati Jambrana Propinsi Bali, dan PT Angkasa Pura I (Persero) Kantor Cabang Utama Bandar Udara I Ngurah Rai Propinsi Bali. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 9 sampai 16 Agustus 2008.

Pengalaman Organisasi yang pernah penulis ikuti adalah sebagai Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Universitas Lampung dan pernah diamanahkan sebagai Sekretaris Umum pada 2007-2008, pernah menjabat sebagai


(64)

Ketua Umum UKMF Mahkamah 2007-2008, dan Bendahara Umum HIMA Pidana tahun 2008-2009. Selain itu pernah mengikuti kegiatan PARALEGAL yang diadakan oleh LBH Bandarlampung tahun 2008.


(1)

Judul Skripsi : ANALISIS BUKTI PERMULAAN YANG

CUKUP UNTUK MENDUGA ADANYA TINDAK PIDANA GUNA DILAKUKAN PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN MENURUT KUHAP Nama Mahasiswa : Aswan Abdul Racman

No. Pokok Mahasiswa : 0512011097

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Ilmu Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Kadri Husin, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP. 19431114 196909 1 001 NIP. 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani., S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungkarang pada tanggal 3 Februari 1987. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Aji Prasojo dan Suryanti.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada Taman Kanak-kanak Al Azhar 4 dan diselsaikan pada tahun 1993. Sekolah Dasar Negeri 2 Perumnas Way Halim dan diselesaikan tahun 1999. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan di SLTP N 29 Bandarlampung pada tahun 2002, dan Sekolah Menengah Umum diselesaikan di SMU N 6 Bandarlampung pada tahun 2005.

Pada tahun 2005 penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2008, penulis mengikuti Praktik Kerja Lapangan Hukum (PKLH) Periode XIII B di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Kegiatan ini merupakan studi lapangan berupa kunjungan ke Universitas Udayana Propinsi Bali, kantor Bupati Jambrana Propinsi Bali, dan PT Angkasa Pura I (Persero) Kantor Cabang Utama Bandar Udara I Ngurah Rai Propinsi Bali. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 9 sampai 16 Agustus 2008.

Pengalaman Organisasi yang pernah penulis ikuti adalah sebagai Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Universitas Lampung dan pernah diamanahkan sebagai Sekretaris Umum pada 2007-2008, pernah menjabat sebagai


(3)

Ketua Umum UKMF Mahkamah 2007-2008, dan Bendahara Umum HIMA Pidana tahun 2008-2009. Selain itu pernah mengikuti kegiatan PARALEGAL yang diadakan oleh LBH Bandarlampung tahun 2008.


(4)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul:

Analisis Bukti Permulaan yang Cukup untuk Menduga adanya Tindak Pidana guna dilakukan Penyidikan oleh Kepolisian menurut KUHAP

Penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik moril maupun materil, bimbingan, dan saran serta doa dari berbagai pihak, maka izinkan penulis untuk mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Pembimbing Akademik..

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku pembimbing dua, terimakasih atas kebaikan hati , kesabaran, dan waktu yang telah diberikan untuk membimbing penulis.


(5)

4. Bapak Prof. Dr. H. Kadri Husin, S.H., M.H., yang telah banyak membantu selaku pembimbing utama dan telah banyak meluangkan waktu, pemikiran dan kesabaran untuk membimbing serta menjadi motivasi penulis.

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku selaku penguji utama dalam skripsi ini, terimakasih atas kritik dan sarannya.

6. Bapak Renaldi, S.H., M.H, selaku penguji dua dalam skripsi ini, terimakasih atas masukan, kritik dan sarannya.

7. Bapak Ahmad Yani Ekoputra S.H., Ghofur Suhaya S.H.,dan Pak Hadi S.H., di POLDA Lampung. Bang Chairudin S.H., dan Bang Indra Firsada, S.H., di LBH Bandarlampung, yang telah membantu serta bersedia meluangkan waktunya sebagai responden dalam penelitian ini.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis, serta kepada seluruh staff administrasi FH Unila yang telah banyak membantu khususnya mba‟ Sri yan telah banyak direpotkan oleh penulis dalam hal administrasi.

9. Ayahanda Aji Prasojo dan Ibunda Suryanti, serta adik-adikku dan seluruh keluarga besar terimakasih atas semua doa, dukungan, semangat dan pengorbanannya terhadap penulis.

10. Teman-teman seperjuanganku di Fakultas Hukum Universitas Lampung: seluruh kawan-kawan 05 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan dan bantuannya.

11. Seluruh Kader HmI KHU Unila, „02, „03 „04, “Bang” Altop, “Ajo” Nurul, Joko kecil, Martini “Ery” S.H,.Muamar, Galang, Negra, Febri, Yoni, Dodi “Golok”, Novan, Mira (AkpeR), Emak Ana, Tante Neli, Riani, Martha, Rio


(6)

“Beceng”, Angga napi, Jo, kader ‟06, ‟07, ‟08, ‟09, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas segala bantuannya kepada penulis, dan mohon dimaafkan apabila ada tingkah laku, perkataan yang menyinggung hati, “YAKUSA”.

12. Tuk “BoBoT”, yang telah banyak direpotkan penulis hingga banyak membawa bahan untuk penulis dari Jakarta ke Bandarlampung dan bantuan pemikiran. Terimakasih atas segala bantuannya dan memaafkan tingkah laku, perkataan yang menyinggung hati.

13. Teteh “Icha” STIH Kalianda, yang telah direpotkan penulis hingga rela mengantarkan bahan ke Bandarlampung. Terimakasih atas segala bantuannya dan mohon dimaafkan apabila ada tingkah laku, perkataan yang menyinggung hati.

14. Buat Ci_Es-Ci_Es; Alian (nates), Eman Name-X, Mr. Dono, Om Hamami, Om Udin dan Uwak Q_Noy. Terimakasih atas kebersamaan, canda tawa, dan bantuan yang telah diberikan. Semoga persaudaraan dan persahabatan kita akan selalu ada, menemani setiap langkah-langkah kita.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Agustus 2010 Penulis,