BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP

PENJELASAN HUKUM TENTANG

BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP

Chandra M. Hamzah

Penjelasan Hukum (Restatement)

Bukti Permulaan Yang

Cukup

Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Bukti Permulaan Yang Cukup

Penulis :

Chandra M Hamzah

Editor :

Hasril Hertanto

Peneliti :

Giri Ahmad Taufik Gita Putri Damayana

Asisten Peneliti:

Gusnandi Arief Haliadi

Desain Sampul :

Amalia Puri Handayani

Penjelasan Hukum (Restatement) tentang Bukti Permulaan

Yang Cukup – Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) , 2014, vii+100 hlm; 21cm,

Diterbitkan oleh:

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia [PSHK]

Puri Imperium Office Plaza UG 11-12 Jln. Kuningan Madya Kav. 5-6 Jakarta 12980, Indonesia Telp.

: (62-21) 8370-1809 Faks.

: (62-21) 8370-1810 Email

: pshukum@pshk.or.id Website

: http://pshk.or.id

ISBN: 978-602-97661-8-9 ii

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Salah satu masalah yang dihadapi dalam sistem hukum di Indonesia adalah masih terbatasnya literatur hukum yang secara mendalam mengkaji isu-isu hukum tertentu yang sering dihadapi dalam praktek penegakan hukum. Akibatnya, penafsiran hukum untuk menyelesaikan isu hukum tersebut tidak mempunyai dasar ilmiah maupun yuridis. Hal ini berdampak pada munculnya inkonsistensi penegakan hukum karena penafsirannya diserahkan pada masing-masing pihak. Selain itu, ragam penafsiran yang tidak akuntabel ini berpengaruh juga pada pengembangan sistem pembalajaran hukum di Indonesia baik bagi mahasiswa, praktisi hukum, perumus kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya yang ingin mengetahui pendapat sahih mengenai isu hukum tertentu tidak dapat menemukan sumber yang tepat.

Dua kondisi tersebut di atas berakibat pada semakin lemahnya sistem hukum baik dalam lingkup perumusan kebijakan maupun penegakan hukum dan semakin buruknya sistem pembelajaran hukum di Indonesia. Apalagi dalam konteks kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini, politik semakin dominan dalam mempengaruhi sistem hukum. Proses perumusan kebijakan terkait dengan hukum (termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan) dan penegakan hukum seringkali sengaja dimasukkan ke dalam wilayah politik.

iv

Begitu juga dalam perumusan kebijakan yang tidak lagi mempertimbangkan prinsip-prinsip maupun asas hukum seperti independensi peradilan dan transparansi. Perdebatan yang sering terjadi dalam membahas kasus hukum bukan lagi pada wilayah teori dan regulasi pada kasus hukum tersebut akan tetapi telah merambah pada kepentingan tertentu. Penyelesaian kasus hukum melalui proses politik ini semakin memperburuk upaya perbaikan sistem hukum di Indonesia. Informasi hukum yang diperoleh masyarakat tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Berbagai kondisi tersebut menimbulkan banyaknya pendapat hukum yang berkembang di masyarakat baik yang berdasar pada teori dan dapat dipertanggungjawabkan, pendapat hukum yang berdasar pada selera politik maupun pendapat hukum yang tidak akuntabel atau “asal-asalan”. Oleh karena itu, perlu didorong untuk melakukan upaya mengembalikan perdebatan “pendapat hukum” yang akuntabel dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum. Ruang lingkupnya dibatasi pada putusan hakim, peraturan perundang- undangan, dan pendapat pakar hukum yang kredibel. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah penyusunan dokumen penjelasan hukum atau restatement. Penyusunan dokumen penjelasan hukum merupakan kegiatan riset untuk memberikan penjelasan kembali (restatement) terhadap isu-isu hukum tertentu. Secara umum aktifitas yang dilakukan adalah riset dengan mengkaji topik atau isu tertentu dalam bidang hukum melalui peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan pendapat ilmuwan di bidang hukum yang terdapat Berbagai kondisi tersebut menimbulkan banyaknya pendapat hukum yang berkembang di masyarakat baik yang berdasar pada teori dan dapat dipertanggungjawabkan, pendapat hukum yang berdasar pada selera politik maupun pendapat hukum yang tidak akuntabel atau “asal-asalan”. Oleh karena itu, perlu didorong untuk melakukan upaya mengembalikan perdebatan “pendapat hukum” yang akuntabel dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum. Ruang lingkupnya dibatasi pada putusan hakim, peraturan perundang- undangan, dan pendapat pakar hukum yang kredibel. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah penyusunan dokumen penjelasan hukum atau restatement. Penyusunan dokumen penjelasan hukum merupakan kegiatan riset untuk memberikan penjelasan kembali (restatement) terhadap isu-isu hukum tertentu. Secara umum aktifitas yang dilakukan adalah riset dengan mengkaji topik atau isu tertentu dalam bidang hukum melalui peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan pendapat ilmuwan di bidang hukum yang terdapat

Selain sebagai upaya memberikan penjelasan hukum yang tepat, penyusunan restatement juga dimaksudkan untuk memanfaatkan keterbukaan informasi peraturan perundang-undangan dan putusan hakim di Indonesia. Saat ini, akses terhadap naskah peraturan perundang- undangan maupun putusan hakim lebih terbuka dibandingkan dengan masa sebelum reformasi. Naskah peraturan perundang-undangan baik ketika masih dalam status rancangan maupun setelah disahkan dapat diakses. Walaupun dalam hal ini masih memerlukan perbaikan. Begitu juga dengan akses terhadap putusan hakim yang saat ini sudah lebih terbuka. Untuk mengembangkan tradisi baru dalam pengembangan hukum, kegiatan ini juga diarahkan untuk mendorong berbagai pihak yang berkepentingan seperti akademisi, praktisi hukum, aktifis maupun kalangan pembuat kebijakan untuk melakukan proses pengkajian isu-isu hukum tertentu dengan mengacu pada putusan hakim, peraturan perundang- undangan dan pendapat pakar.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dengan didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) kembali menyusun dokumen penjelasan hukum dengan tema klausula baku untuk hukum perdata dan bukti permulaan yang cukup untuk hukum pidana. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Fikri Assegaf dan Bapak Chandra M Hamzah yang telah bersedia untuk memberikan masukan terhadap laporan penelitian restatement ini dan menuliskan dokumen

vi vi

Pada terbitan restatement kali ini, kami juga melengkapi dengan panduan ringkas yang menceritakan tentang penyusunan restatement. Sehingga dengan adanya panduan ringkas ini kami berharap bahwa proses penyusunan restatement dapat lebih berkembang. Semoga dokumen penjelasan hukum ini dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia serta perbaikan dalam penegakan dan perumusan hukum.

Eryanto Nugroho Direktur Eksekutif

vii

DOKUMEN PENJELAS

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)

Pasal Angka 14 : Tersangka adalah seorang yang 1 karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan diduga sebagai pelaku tindak pidana

Pasal : Perintah penangkapan dilakukan 17 terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan

yang cukup

Penjelasan : Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak

pidana.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagaimana telah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (“UU Tindak Pidana Terorisme”)

Pasal Ayat

: Untuk

memperoleh bukti

26 (1) permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen.

Ayat : Penetapan bahwa sudah dapat atau (2)

diperoleh bukti permulaan yang

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri

cukup

Ayat Jika dalam pemeriksaan sebagaimana (4)

dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.

Pasal : Penyidik dapat melakukan 28 penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan

bukti permulaan yang cukup

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam Pasal

Ayat : Berdasarkan bukti permulaan 31 (1)

yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak :

a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan

kti

sedang diperiksa; b. Menyadap pembicaraan

melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga

digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.

na

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU KPK”)

Pasal

Ayat

: Jika Penyelidik dalam melakukan

penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi,

dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi

Ayat

: Bukti permulaan yang cukup

telah ada apabila ditemukannya :

sekurang-kurangnya 2 alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara biasa maupun elektronik atau optik.

Ayat : Dalam hal Komisi Pemberantasan (4)

Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.

Pasal Ayat : Atas dasar dugaan yang kuat 47 (1)

adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA

CARA PERPAJAKAN, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 16 TAHUN 2009

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG- UNDANG (“UU PAJAK”)

Pasal 1 Angka : Bukti permulaan adalah 26 keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau Pasal 1 Angka : Bukti permulaan adalah 26 keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau

Pasal

Ayat 1 : Direktur Jenderal Pajak

43A

berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan

berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

Undang-Undang Nomor 09 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (“UU Tindak Pidana Pendanaan Terorisme”)

Pasal

: Pemblokiran dilakukan terhadap 22 Dana yang secara langsung atau tidak langsung atau yang diketahui atau patut diduga digunakan atau akan digunakan, baik seluruh maupun sebagian, untuk Tindak Pidana Terorisme

Penjelasan : Pemblokiran yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pemblokiran terhadap Dana yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut

diduga digunakan atau akan digunakan untuk Tindak Pidana Terorisme yang diadili di Indonesia Pemblokiran dilakukan terhadap Dana berdasarkan bukti diduga digunakan atau akan digunakan untuk Tindak Pidana Terorisme yang diadili di Indonesia Pemblokiran dilakukan terhadap Dana berdasarkan bukti

diketahui atau diduga kuat digunakan atau akan digunakan, baik seluruh maupun sebagian, untuk Tindak Pidana Terorisme.

A. Fungsi Bukti Permulaan Yang Cukup

Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam peraturan-

peraturan tersebut, pada dasarnya fungsi bukti permulaan yang cukup dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) buah kategori, yaitu merupakan prasyarat untuk:

1. Melakukan penyidikan. 1 

2. Menetapkan status tersangka terhadap seseorang

yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. 2

Pembagian atas 2 (dua) buah kategori tersebut bukannya tanpa arti. Terhadap kategori pertama, maka fungsi bukti

permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana dan selanjutnya dapat ditidak lanjuti dengan melakukan suatu penyidikan. Sedangkan terhadap kategori kedua, selain sebagai bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana, fungsi bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan bahwa (dugaan) tindak pidana tersebut diduga dilakukan oleh seseorang.

melebur

Memang dalam berbagai peraturan perundang-undangan tercantum prasyarat bukti permulaan yang cukup untuk melakukan beberapa kewenangan, antara lain:

1 Penjelasan Pasal 17 KUHAP jo. Pasal 1 butir 5 KUHAP. Lihat juga Pasal 43A ayat (1) UU Pajak, Pasal 44 ayat (1) jo Ayat (4) UU

KPK, Pasal 26 ayat (4) UU Tindak Pidana Terorisme 2 Pasal 1 angka 14 jo. Penjelasan Pasal 17 KUHAP. Lihat pula

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika.

 Penangkapan, yaitu suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. 3  Membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman

melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang

sedang diperiksa. 4

 Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat

komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak

pidana terorisme. 5

 Pemblokiran merupakan tindakan mencegah

pentransferan, pengubahan bentuk, penukaran, penempatan, pembagian, perpindahan, atau pergerakan

dana untuk jangka waktu tertentu. 6

 Penyitaan, yang merupakan serangkaian tindakan penyidik

untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. 7 Akan tetapi kewenangan-kewenangan tersebut di atas adalah kewenangan yang dimiliki oleh penyidik dalam melakukan penyidikan. Oleh karena itu, prasyarat atas kewenangan tersebut melebur dalam prasyarat untuk melakukan kewenangan penyidikan.

3 Pasal 17 KUHAP. Lihat juga Pasal 28 UU Tindak Pidana Terorisme.

4 Pasal 31 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana Terorisme. 5 Pasal 31 ayat (1) huruf b Tindak Pidana Terorisme. 6 Pasal 1 angka 8, UU Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. 7 Pasal 47 ayat (1) UU KPK jo Pasal 1 angka 16 KUHAP 4 Pasal 31 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana Terorisme. 5 Pasal 31 ayat (1) huruf b Tindak Pidana Terorisme. 6 Pasal 1 angka 8, UU Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. 7 Pasal 47 ayat (1) UU KPK jo Pasal 1 angka 16 KUHAP

Definisi awal tentang bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana terdapat pada Penjelasan Pasal 17 KUHAP, yang menyatakan: “Yang dimaksud ”bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.”

Pada perkembangannya, terdapat beberapa definisi yang diberikan terhadap frasa “bukti permulaan yang cukup”, antara lain oleh forum koordinasi penegak hukum dan undang-undang lain yang diundangkan setelah KUHAP.

Pada tanggal 21 Maret 1984, 4 (empat) institusi penegak hukum: Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai hasil Rapat Kerja Gabungan MAKEHJAPOL-I (“Rakergab Makehjapol”) tentang Peningkatan Koordinasi Dalam Penanganan Perkara Pidana. Salah satu topik bahasan dalam Rakergab Makehjapol tersebut adalah mengenai “bukti permulaan yang cukup” sebagai persyaratan dalam

penangkapan menurut pasal 17 KUHAP 8 .

Dalam rapat tersebut telah diinventaris 4 (empat) buah pendapat tentang bukti permulaan yang cukup, yaitu: 9 a. Laporan polisi saja; b. Laporan polisi ditambah BAP saksi/BAP di TKP/Laporan Hasil Penyidikan/barang bukti; c. Laporan Polisi ditambah BAP saksi dan BAP di TKP/Laporan hasil penyidikan/barang bukti; dan

8 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Nomor : 08/KMA/1984, Nomor : M.02-KP.10.06 Th.1984, Nomor : KEP-076/J.A/3/1984, No Pol : KEP/04/III/1984 Tentang Peningkatan Koordinasi Dalam Penangan Perkara Pidana, Bab III Permasalahan

9 Ibid 9 Ibid

lainnya. 10 UU KPK yang memberikan standar yang lebih ketat terhadap bukti permulaan yang cukup, sebagaimana termaktub dalam Pasal 44 ayat (2) UU KPK, sebagai berikut: “Bukti permulaan yang cukup telah ada apabila ditemukannya sekurang-kurangnya 2 alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara biasa maupun elektronik atau optik.”

Dalam Pasal 1 angka 26 UU Pajak, bukti permulaan (tanpa kata “cukup”) didefinisikan sebagai: “keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”.

Lebih lanjut, dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan, dinyatakan bahwa bukti permulaan merupakan hasil pengembangan dan analisis informasi, data, laporan dan pengaduan.

b. Syarat Formil

Selain syarat materil, terdapat pula undang-undang yang mencantumkan syarat formil yang harus dipenuhi untuk menentukan bahwa telah terdapat bukti permulaan yang cukup. Hal ini terdapat dalam Pasal 26 ayat (2) UU Tindak

10 Sub-Bagian 2, huruf a angka 2 huruf Bab IV Langkah-Langkah Kebijaksanaan, Ibid

Pidana Terorisme, yang menyatakan: “Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses

 pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan

 Negeri.” 11 

B. Permasalahan Hukum yang Timbul

Apakah Laporan Polisi (1 buah) ditambah salah satu alat bukti lainnya, sebagaimana dinyatakan dalam Rakergab MAKEHJAPOL, sudah cukup memadai sebagai bukti permulaan yang cukup dan bagaimanakah menentukan cukup atau tidaknya bukti permulaan ?

C. Solusi/Pendapat

Pendapat berdasarkan Peraturan Perundang- undangan

Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, fungsi utama fungsi bukti permulaan yang cukup, adalah sebagai prasyarat untuk:

1. Melakukan penyidikan. 12 2. Menetapkan status tersangka. 13

Berdasarkan fungsi tersebut maka jenis bukti permulaan yang cukup dapat dilihat pada ketentuan

KUHAP yang mengatur mengenai kewenangan penyelidikan 14 dan/atau kewenangan penyidikan 15 . Berdasarkan ketentuan

11 Pasal 28 Undang-Undang Terorisme 12 Penjelasan Pasal 17 KUHAP jo. Pasal 1 butir 5 KUHAP. Lihat

juga Pasal 43A ayat (1) UU Pajak, Pasal 44 ayat (1) jo Ayat (4) UU KPK, Pasal 26 ayat (4) UU Tindak Pidana Terorisme

13 Pasal 1 angka 14 jo. Penjelasan Pasal 17 KUHAP. Lihat pula Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika. 14 Pasal 5 KUHAP

15 Pasal 7 KUHAP

 keterangan (dalam proses penyelidikan);  keterangan saksi (dalam proses penyidikan) 16 ;  Keterangan ahli (dalam proses penyidikan) 17 ; dan  barang bukti, bukan alat bukti 18 (dalam proses penyelidikan dan penyidikan). KUHAP tidak mensyaratkan berapa banyak bukti yang harus dimiliki sehingga prasyarat bukti permulaan yang

cukup

telah terpenuhi, akan tetapi

KUHAP

mensyaratkan bahwa: (1) dari bukti (-bukti) tersebut harus dapat diduga adanya tindak pidana (untuk melakukan

penyidikan) 19 atau (2) dari bukti (-bukti) tersebut harus dapat diduga bahwa seseorang adalah pelaku tindak pidana (untuk

menetapkan tersangka) 20 .

16 Pasal 7 ayat(1) huruf g KUHAP. Jangan disamakan dengan keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1)

huruf a dimana keterangan saksi yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi di sidang pengadilan dan disumpah. Oleh karena itu kualitas keterangan saksi dalam pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP lebih rendah dari pada keterangan saksi dalam pasal 184 KUHAP.

17 Pasal 7 ayat(1) huruf h KUHAP. Jangan disamakan dengan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1)

huruf b KUHAP dimana keterangan ahli yang dimaksud dalam pasal 184 KUHAP ini adalah keterangan ahli di sidang pengadilan dan disumpah. Oleh karena itu kualitas keterangan saksi dalam pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP lebih rendah dari pada keterangan ahli dalam pasal 184 KUHAP.

18 Lihat juga Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP 19 Penjelasan Pasal 17 KUHAP jo. Pasal 1 butir 5 KUHAP. Lihat

juga Pasal 43A ayat (1) UU Pajak, Pasal 44 ayat (1) jo Ayat (4) UU KPK, Pasal 26 ayat (4) UU Tindak Pidana Terorisme

20 Pasal 1 angka 14 jo. Penjelasan Pasal 17 KUHAP. Lihat pula Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika.

Pengertian yang secara eksplisit memberikan definisi terhadap bukti permulaan yang cukup dapat ditemukan di dalam Pasal 1 angka 26 UU Pajak, sebagai berikut:

“keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”

Lebih lanjut, di dalam ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dinyatakan bahwa bukti permulaan harus/dapat menyimpulkan adanya dugaan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan dan modus

operadinya. 21 Dalam mendukung teori tersebut, dilaksanakan dengan melakukan analisis informasi, data, laporan dan pengaduan. 22 Oleh karena itu, beberapa catatan yang dapat diberikan terhadap keputusan Rakergab Makehjapol tersebut, yaitu: 1. Penetapan “alat bukti” sebagai salah satu jenis bukti permulaan yang cukup adalah tidak tepat karena “alat bukti” tidak dikenal dalam proses penyelidikan dan penyidikan, melainkan dihadirkan oleh penuntut

umum untuk pembuktian dalam proses persidangan 23 . Hal ini tidak dapat disamakan dengan ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU KPK yang mensyaratakan bahwa bukti permulaan yang cukup telah ada apabila ditemukannya sekurang-kurangnya 2 alat bukti untuk

21 Pasal 3 ayat (2), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pemeriksanaan Bukti Permulaan

22 Pasal 3 ayat (3), Ibid 23 Pasal 183 KUHAP

penyidikan kepada KPK 24 .

2. Penetapan bukti permulaan yang cukup berdasarkan jumlah (kuantitatif) adalah tidak tepat karena KUHAP tidak mensyaratkan jumlah, akan tetapi mensyaratkan kualitas dari bukti tersebut yaitu dari bukti (-bukti) tersebut harus dapat diduga adanya

tindak pidana (untuk melakukan penyidikan) 25 atau dari bukti (-bukti) tersebut harus dapat diduga bahwa seseorang adalah pelaku tindak pidana (untuk

menetapkan tersangka) 26 .

3. Penetapan Laporan Polisi sebagai salah satu jenis

bukti permulaan yang cukup.

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyindikan Tindak Pidana (Perkap Nomor 14/2012), laporan Polisi terdiri atas dua jenis, yaitu :

a. Laporan polisi model A laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui

atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi; dan b. Laporan polisi model B adalah laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/pengaduan yang diterima dari masyarakat.

Menilik definisi laporan polisi sebagaimana dimaksud pada Perkap Nomor 14/2012 tersebut di atas, maka penetapan

24 Pasal 40 UU KPK 25 Penjelasan Pasal 17 KUHAP jo. Pasal 1 butir 5 KUHAP. Lihat

juga Pasal 43A ayat (1) UU Pajak, Pasal 44 ayat (1) jo Ayat (4) UU KPK, Pasal 26 ayat (4) UU Tindak Pidana Terorisme

26 Pasal 1 angka 14 jo. Penjelasan Pasal 17 KUHAP. Lihat pula Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika.

dijadikan sebagai alat bukti didalam persidangan. 27 Namun, sekalipun laporan polisi dibuat oleh orang yang mendengar atau melihat atau mengalami sendiri, hal ini tetap tidak memenuhi adagium Unus Testis Nullu Testis, yang menyatakan bahwa satu saksi bukanlah saksi, sebagaimana ditentukan di

dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. 28

Pendapat Berdasarkan Putusan Pengadilan

Permasalahan bukti permulaan yang cukup pernah diputuskan dalam perkara praperadilan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel. antara Bachtiar Abdul Fatah (Pemohon) v. Jaksa Agung Republik Indonesia cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus cq. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Termohon), yang pokok

permasalahannya adalah: 29

“… sehubungan dengan tindakan Termohon (JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA cq. JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA KHUSUS cq. DIREKTUR PENYIDIKAN JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA KHUSUS) yang telah menetapkan Pemohon (BACHTIAR ABDUL FATAH) sebagai tersangka karena diduga sebagai pelaku tindak pidana

27 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan

Peninjauan Kembali, hlm.287 28 Ibid, hlm.288

29 Putusan Pra Peradilan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN Jkt.Sel (Bachtiar Abdul Fatah, Pemohon), hlm.76

cukup belum ada tetapi Pemohon sudah

ditetapkan sebagai Tersangka, dan juga Termohon telah melakukan penahanan terhadap diri Pemohon tidak menurut hukum karena tanpa menunjukan alasan obyektif maupun subyektif seperti yang diatur undang-undang, sedangkan menurut Termohon bahwa tindakan Termohon sebagai Penyidik yang telah menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan melakukan penahanan terhadap Pemohon adalah sudah dilakukan sesuai dengan yang diatur oleh Undang-undang dalam hal ini KUHAP.”

Pada pertimbangannya, Hakim Tunggal Suko Harsono

menyatakan sebagai berikut: 30

“Menimbang, bahwa dari bukti-bukti Surat yang dimajukan Termohon yaitu bukti T-9, T-10, T-11, T-

12, T-14, T-15, T-16, T-17, T-18, T-19 dan T-20 adalah hanya berupa surat panggilan dari saksi- saksi untuk dimintai keterangan dan undangan ekspose oleh Termohon yaitu terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan Proyek Bioremediasi (pengolahan limbah) di PT. Chevron Pacific Indonesia,

tanpa dimajukan hasil Berita Acara

pemeriksaannya (BAP) yang dibuat Termohon

30 Ibid, hlm.78

2 KUHAP.”

“Menimbang, bahwa selanjutnya syarat yang mendasar yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bahwa penahanan harus didasarkan pada alat bukti yang cukup yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti diantara alat-alat bukti yang sah yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.”

Dalam putusannya, salah satu amarnya memutuskan sebagai beikut:

“Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon

sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1990 (?) jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 31

Dari putusan tersebut dapat diambil kaedah hukum sebagai berikut:

1. Bukti permulaan yang cukup diperlukan untuk menduga adanya tindak pidana dan untuk menduga tersangkanya (fungsi); 2. Bahwa salah satu jenis bukti permulaan yang cukup adalah keterangan saksi sebagaimana termuat dalam BAP. Surat-surat panggilan dan surat undangan

31 Ibid

Pendapat Berdasarkan Literatur

Selain pendekatan tersebut di atas, beberapa literatur juga menunjukan pendekatan kuantitatif. Salah satunya adalah pendapat dari Yahya Harahap yang menyatakan bukti permulaan yang cukup, setidaknya mengacu pada standar minimal bukti -2 alat bukti - sebagaimana dimaksud pada

ketentuan Pasal 183 KUHAP. 32 Landasan berpikir dari 2 (dua) alat bukti tampaknya terdapat pada kesinambungan antara proses hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dinyatakan oleh Lamintang sebagai berikut:

“secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti minimal” berupa alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjaimn bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah

terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan” 33

Kesimpulan

KUHAP tidak mensyaratkan berapa banyak bukti yang harus dimiliki sehingga prasyarat bukti permulaan yang

cukup

telah terpenuhi, akan tetapi

KUHAP

32 Ibid 33 P.A.F. Lamintang, KUHAP dengan Pembahasan Secara

Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, sebagaimana dikutip oleh Darwan Prinst, Hukum Acara dalam Praktik, cet.2, (Jakarta : Djambatan, 1998), hlm.51

penyidikan) 34 atau (2) dari bukti (-bukti) tersebut harus dapat diduga bahwa seseorang adalah pelaku tindak pidana (untuk

menetapkan tersangka) 35 .

Karena bukti permulaan yang cukup hanya dikenal dan hanya digunakan dalam proses penyelidikan dan/atau penyelidikan, maka bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas:

o keterangan (dalam proses penyelidikan); o keterangan saksi (dalam proses penyidikan); o Keterangan ahli (dalam proses penyidikan); dan o barang bukti, bukan alat bukti (dalam proses

penyelidikan dan penyidikan). Penggunaan Laporan Polisi sebagai salah satu jenis bukti permulaan yang cukup tidak dapat dipertahankan lagi karena sangat dimungkinkan laporan polisi bersifat testimonium de auditu, dan terkendala dengan azas Unus testis nulus testis.

34 Penjelasan Pasal 17 KUHAP jo. Pasal 1 butir 5 KUHAP. Lihat juga Pasal 43A ayat (1) UU Pajak, Pasal 44 ayat (1) jo Ayat (4) UU

KPK, Pasal 26 ayat (4) UU Tindak Pidana Terorisme 35 Pasal 1 angka 14 jo. Penjelasan Pasal 17 KUHAP. Lihat pula

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika.

Kata Pengantar

LAPORAN PENELITIAN

LAPORAN PENELITIAN

A. Pendahuluan

Bukti permulaan yang cukup merupakan konsep o

elementer dari dimulainya sebuah proses pidana di o

Indonesia. Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 o

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara umum, o

fungsi bukti permulaan yang cukup di dalam KUHAP ialah merupakan alat untuk mengendalikan diskresi kewenangan penegakan hukum yang berada pada penyidik. Sebagai contoh, pada Pasal 17 bukti permulaan yang cukup ditujukan sebagai dasar bagi penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka sebuah kasus tindak pidana. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa fungsi utama dari bukti permulaan yang cukup adalah untuk memberikan perlindungan hak-hak dari tersangka dari kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan oleh penyidik.

Pada perkembangannya, bukti permulaan yang cukup tidak hanya disitir di dalam KUHAP, namun juga diperkenalkan di dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan lainnya terkait dengan tindak pidana. Masing-masing peraturan perundang-undangan memiliki keragaman di dalam memberikan definisi terkait dengan bukti permulaan yang cukup. Sebagai contoh, pada Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menyatakan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah 2

15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Tindak Pidana Teroris), memberikan kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan evaluasi terhadap bukti permulaan yang cukup yang diajukan terlebih dahulu.

Pada praktek, pendefinisian bukti permulaan yang cukup tidak terlalu banyak berkembang, dikarenakan terbatasnya kewenangan pra peradilan, sebagai forum pengadilan yang berhak untuk menguji bukti permulaan yang cukup pada pelaksanaan kewenangan penyidik. Pada wilayah praktek, salah satu bahan rujukan yang sering digunakan adalah SKB Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Tentang Peningkatan Koordinasi Dalam Penanganan Perkara Pidana (SKB Mahkijapol 1984), dalam sub bab b terkait penangkapan disebutkan bahwa Bukti Permulaan Yang Cukup sebagai persyaratan dalam penangkapan menurut Pasal 17 KUHAP belum jelas sehingga menimbulkan berbagai pendapat. Pendekatan yang diambil dalam memberikan standard bagi bukti permulaan yang cukup adalah laporan polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya.

Pada perkembangannya, pendekatan tersebut ditolak. Hal ini dikarenakan beberapa pertimbangan, salah satunya pertimbangan terkait dengan besarnya ruang bagi penyidik untuk melaksanakan kewenangannya. Yahya Harahap dan P.A.F Lamintang menegaskan bahwa standard bukti permulaan yang cukup hendaknya mengacu pada rumusan Pasal 183 KUHAP, dimana 2

(dua) alat bukti merupakan bukti minimal yang harus dipenuhi untuk menyatakan standard bukti yang cukup. 36

Hal ini kemudian ditegaskan oleh Hakim Suko Harsono, S.H., M.H. dalam Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN Jkt.Sel walaupun terdapat perbedaan yang proposional antara bukti pada taraf pemeriksaan dan pada tahapan penuntutan, namun demikian pada kesimpulannya pada putusan tersebut tetap melakukan pengadopsian untuk menetapkan 2 (dua) alat bukti sebagai bagian standar dari bukti yang cukup. 37

Pendekatan berbeda diambil dalam Putusan Nomor 27/Pid.Prap/2002/PN.Jak.Sel. Pada putusan tersebut menyatakan bahwa terdapat gradasi standar pembuktian antara proses tahapan penyidikan, tahap penuntutan dan tahap pengadilan. 38 Walaupun tidak menyatakan secara tegas penolakan terhadap argumentasi 2 (dua) alat bukti sebagai standar, namun putusan akhir dari putusan tersebut adalah melakukan penolakan terhadap semua permohonan pemohon, termasuk argumentasi dari 2 (dua) alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup.

Penelitian ini bermaksud untuk menggali persoalan standard pembuktian dari konsep bukti permulaan yang cukup, sehingga didapatkan pemahaman yang jelas

36 .A.F. Lamintang, KUHAP dengan Pembahasan Secara Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, sebagaimana

dikutip oleh Darwan Prinst, Hukum Acara dalam Praktik, cet.2, (Jakarta : Djambatan, 1998), hlm.51 dan Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, hlm.287

37 Putusan Pra Peradilan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN Jkt.Sel (Bachtiar Abdul Fatah, Pemohon), hlm.75

38 Putusan Pra Peradilan Nomor 27/Pid.Prap/2002/PN Jak.Sel (Ustadz Abu Bakar Ba’syir), hlm. 39

B. Definisi Bukti Permulaan yang Cukup/Bukti yang Cukup

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/ KUHAP) hanya memberi penjelasan pada kata “bukti permulaan yang cukup” pada penjelasan Pasal 17 KUHAP yang mengatakan bahwa “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP. Mengenai hal tersebut, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. 39 Dengan kata lain, tanpa “bukti permulaan yang cukup,” penyidik tidak dapat melakukan penangkapan. Penjelasan tersebut sama sekali tidak menjawab pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti di dalam frasa “bukti permulaan yang cukup.” Suatu “bukti permulaan yang cukup” harus diperoleh sebelum penyidik melakukan penangkapan atau sebelum penyidik memerintahkan kepada penyelidik untuk melakukan

penangkapan. 40 “Bukti yang cukup” adalah salah satu syarat

dilakukannya upaya paksa penahanan terhadap seseorang berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Namun, KUHAP

39 M. Yahya Harahap (a), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 157.

40 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, ed. 2, cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 113.

hadapan pengadilan. 41 Dengan kata lain, “bukti yang cukup” hanya menentukan dapat atau tidaknya

seseorang dihadapkan ke depan pengadilan. “Bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal

17 KUHAP apabila dihubungkan dengan ketentuan mengenai 2 (dua) alat bukti yang terdapat pada Pasal 183 KUHAP memiliki konteks yang berbeda. 42 Bukti yang disebutkan di dalam Pasal 183 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, yang dibutuhkan hakim untuk mendukung keyakinannya untuk menjatuhkan putusan terhadap seorang terdakwa. Hal tersebut berarti suatu perkara sudah memasuki tahap persidangan dan bukti yang dimaksud dipergunakan untuk kepentingan persidangan. Dalam hal ini, pemahaman atas pentingnya “bukti yang cukup” juga

telah tertuang di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. 43

41 Darwan Prinst (b), Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989), hlm. 68. 42 Rumusan Pasal yang dimaksud yakni hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Lihat Indonesia (a), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, UU tentang Hukum Acara Pidana, LN. 76, TLN. 3209, Pasal 183.

43 Rumusan Pasal yang dimaksud yakni perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa

Sedangkan, pemahaman terhadap “bukti permulaan yang cukup” didasarkan pada ketentuan Pasal 17 KUHAP. 44

Pencarian “bukti permulaan yang cukup” adalah pencarian bukti ketika suatu proses peradilan masih berada di dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.

Isi ketentuan Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP menunjukkan adanya suatu hubungan langsung antara “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup,” dimana Pasal 17 yang menjelaskan tentang penangkapan dihubungkan dengan frasa “bukti permulaan yang cukup”. Sedangkan, pada Pasal 21 ayat (1) yang menjelaskan tentang penahanan dan penahanan lanjutan dihubungkan dengan frasa “bukti yang cukup.” 45 Hal ini menyebabkan hampir tidak ada perbedaan antara standar bukti permulaan yang cukup dengan bukti yang cukup, walaupun memiliki fungsi yang berbeda di dalam ketentuan KUHAP dan tampak bahwa pembuat undang- undang memiliki niat untuk memberikan gradasi terhadap standar pembuktian dari kedua konsep tersebut. Namun, M.Yahya Harahap, mengusulkan dalam rangka memberikan kepastian untuk menilai tentang ada

yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti yang cukup”, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekahawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Lihat Ibid., Pasal 21 ayat (1).

44 Rumusan Pasal yang dimaksud yakni perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup.” Lihat Ibid., Pasal 17.

45 Kedua frasa di dalam ketentuan Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP menjadi syarat sah dilakukannya penangkapan dan penahanan dan/atau penahanan lanjutan.

pasti. 46 Sehingga, antara bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dianggap setara dan tidak memiliki

gradasi pembuktian antar keduanya. P.A.F. Lamintang mengatakan bahwa “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 17 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat- alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang dapat disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan

penangkapan. 47 Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) maka terdapat 2 jenis penangkapan yang

dapat dilakukan, yakni:

1. Penangkapan tanpa surat perintah, hanya dapat dilakukan pada saat seseorang tertangkap tangan. 48

46 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Loc Cit, hlm. 158. 47 Hal ini dikemukakan P.A.F. Lamintang dalam KUHAP dengan Pembahasan Secara Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana sebagaimana dikutip dalam Darwan Prinst (b), Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet. 2, (Jakarta: Djambatan, 1998), hlm. 51.

48 Pengertian tertangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP dapat dibedakan menjadi: a. Tertangkap tangan pada waktu sedang melakukan tindak pidana;

2. Penangkapan dengan surat perintah, merupakan penangkapan yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup.” Pencarian “bukti permulaan yang cukup” itu menunjukkan bahwa penangkapan dengan surat perintah adalah penangkapan yang dilakukan bukan terhadap tersangka yang tertangkap tangan. 49

Masalah pemberian definisi atau penjabaran terhadap frasa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” selama ini bukanlah topik populer yang sering dibahas khalayak umum. Secara umum, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” merupakan bagian dari Pasal 17 dan Pasal 21 KUHAP tentang penangkapan dan penahanan. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah penggunaan istilah “bukti” di dalam kedua Pasal tersebut tidaklah sama dengan penggunaan istilah “bukti” di dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP. Di dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP, kriteria dan jumlah bukti yang dimaksud adalah untuk dipergunakan di dalam proses sidang pengadilan. Dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan termaksud dalam Pasal 183 KUHAP dipergunakan sebagai dasar bagi

b. Dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan; c. Sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana; d. Apabila pada sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana.

49 Lihat DPM Sitompul, Polisi dan Penangkapan, (Bandung: TARSITO, 1983), hlm. 10-11.

Pada penelurusan dalam peraturan perundang- undangan, terdapat berbagai macam variasi dan pendekatan terkait dengan bukti permulaan yang cukup, sebagai berikut :

1). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 jo.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme)

Perbedaan besar UU Terorisme dengan KUHAP dapat dilihat dalam pengaturan mengenai penangkapan. Dalam ketentuan Pasal 28 UU Terorisme disebutkan bahwa:

“Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras

melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26

Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat perbedaan dengan pengaturan mengenai penangkapan sebagaimana diatur dalam KUHAP, yakni mengenai jangka waktu dilakukannya penangkapan. KUHAP mengatur bahwa penangkapan dapat dilakukan selama 1x24 jam. Jangka waktu tersebut diatur berbeda dalam UU Terorisme, menjadi 7x24 jam. Perpanjangan waktu itu dirasa perlu mengingat terorisme adalah tindak pidana luar biasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan keamanan negara. Hal itu menimbulkan tanggapan dari berbagai kalangan, karena berhubungan dengan penegakan HAM yang berhubungan langsung dengan hak atas kemerdekaan seseorang. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang merasakan perlunya suatu sistem pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa penangkapan tersebut, yakni:

1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.

2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh ketua atau wakil ketua pengadilan negeri.

50 Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, LN. 106, TLN. 4232, Pasal 28.

3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.

4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka ketua pengadilan negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan. 51

Dalam hal ini, UU Terorisme belum memberikan definisi yang jelas mengenai “bukti permulaan yang cukup” seperti dalam KUHAP. Selain itu, dalam UU Terorisme juga tidak ada kategorisasi dan jumlah “bukti permulaan yang cukup.” Perbedaan cukup krusial adalah pada Pasal 26 ayat (2) yang menyatakan bahwa diperlukan adanya penetapan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua dan wakil ketua pengadilan negeri dalam menentukan adanya suatu bukti permulaan yang cukup. Pengaturan itu berarti fungsi pengawasan terhadap upaya paksa penangkapan dan penahanan sudah mulai terlihat dari awal dilakukannya penyidikan.

2). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)

Pembaruan yang dimiliki KPK dalam proses penyelidikan dan penyidikan adalah KPK memberikan definisi terhadap “bukti permulaan yang cukup” dalam ketentuan Pasal 44 sebagai berikut.

51 Ibid., Pasal 26.

(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan

menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada komisi pemberantasan korupsi.

(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada

apabila ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.

(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak

menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada komisi pemberantasan korupsi dan komisi pemberantasan korupsi

menghentikan penyelidikan. 52 Berdasarkan ketentuan Pasal 44 tersebut, pelaporan

terhadap indikasi tindak pidana korupsi kepada KPK harus didasarkan pada adanya suatu bukti permulaan yang cukup. Apabila dibandingkan dengan KUHAP, terdapat perbedaan dimana KUHAP menetapkan bahwa “bukti permulaan yang cukup” dibutuhkan untuk dilakukannya penangkapan, sedangkan UU KPK menetapkan adanya “bukti permulaan yang cukup” sejak awal dilakukannya pelaporan atas suatu tindak pidana. Selanjutnya, pada Pasal 44 ayat (2) diatur mengenai hal-

52 Indonesia (c), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, LN. 137, TLN. 4250, Pasal 44.

3). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE)

Ketentuan dalam UU ITE memang tidak mengatur mengenai “bukti permulaan yang cukup.” Hal yang menarik ditemui dalam Pasal 43 ayat (6) yang menyatakan bahwa, Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.” 53

Berdasarkan ketentuan peraturan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat fungsi pengawasan terhadap tindakan penyidik sebelum dilakukannya upaya paksa. Ketentuan itu merupakan pembaharuan terhadap ketentuan dalam KUHAP,

53 Indonesia (d), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, LN. 58, TLN. 4843, Pasal 43 ayat (6).

4). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)

Ketentuan Pasal 1 angka 26 UU KUP memberikan pengertian mengenai bukti permulaan sebagai berikut, “Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan

kerugian pada pendapatan negara.” 54

Selain memberikan pengertian tersebut, UU KUP juga menetapkan prosedur pemeriksaan bukti permulaan. Dalam hal ini, prosedur pemeriksaan bukti permulaan adalah bagian dari proses yang dapat disejajarkan dengan proses pemeriksaan pendahuluan yang dapat dilakukan sebelum penyidik memulai proses penyidikan atas suatu perkara. 55 Kementerian Keuangan

54 Indonesia (e), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, LN. 85, TLN. 4740, Pasal 1 angka 26.

55 Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang

dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya

5). Surat Keputusan Kapolri No.Pol: SKEP/04/I/1982

Berdasarkan surat keputusan di atas tertanggal 18 Februari 1982, “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang

terkandung di dalam 2 (dua) di antara: 57

a. Laporan polisi;

b. Berita acara pemeriksaan di TKP;

c. Laporan hasil penyelidikan;

dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Lihat Ibid., Pasal 1 angka 27.

56 Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan hasil pengembangan dan analisis informasi, data, laporan, dan pengaduan. Lihat Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Permen Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013, Pasal 2 ayat (1).

57 Prinst (b), op.cit., hlm. 50-51.

e. Barang bukti.

6). Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana