Makalah kelompok 7 ASUMSI

(1)

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“ASUMSI”

Dosen Pengampu:

Dr. Endang K. Trijanto, M.Pd. dan Dr. Hanif Pujiati

Dibuat Oleh:

Anis Fuad

Desy

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2013


(2)

PENDAHULUAN

Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”1 mengatakan

bahwa semua pengetahuan seperti apakah itu ilmu, seni, atau pengtahuan apa saja pada dasarnya mempunyai tiga landasan penting yang disebut sebagai ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Dan yang membedakan dari ketiga landasan tersebut adalah materi perwujutannya serta sejauh mana landasan-landasan tersebut diperkembangkan dan dilaksakan.

Sedangkan Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah). Jadi untuk membedakan jenis pengtahuan yang satu dengan yang lainnya maka ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan seperti: apa yang dikaji (ontologi), bagaimana carannya untuk mendapatkan (epistomologi) serta untuk apa pengetahuan tersebut digunakan (aksiologi). Jadi dari pernyataan Jujun S. Suriasumantri tersebut maka untuk memahami filsafat ilmu kita harus memahami dulu apa yang dikaji dalam filsafat ilmu, lalu bagaimana caranya mendapatkan pengatahuan tentang filsafat ilmu tersebut, serta untuk apa pengatahuan filsafat ilmu tersebut dipergunakan.

1 Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer,


(3)

Dalam makalah ini pemakalah hanya membatasi pembahasan Filsafat ilmu tentang apa yang dikaji (ontologi) dalam Filsafat ilmu, khususnya tentang Asumsi. Ontology dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya cabang ilmu filsafat yg berhubungan dng hakikat hidup.2 Jujun S. Suriasumantri yang

mendefinisikan ontologi sebagai ilmu yang membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh yang kita ingin tahu. Jujun S. Suriasumantri juga menyatakan bahwa ontologi itu adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar atau hal yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu.

Jadi Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui panca indera manusia. Adapun beberapa cakupan ontology adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu.

Ontologi dalam filsafat merupakan bidang yang mencoba untuk mencari hakikat tentang “sesuatu”, di dalam proses pencariannya ini maka asumsi dibutuhkan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan tersebut menjadi meluas. Asumsi menjadi suatu landasan berfikir sebelum hakikat kebenaran dalam pengetahuan tersebut tampak adanya.

2http://kbbi.web.id/index.php?w=ONTOLOGI, hari Senin 30 September 2013,


(4)

BAB II PEMBAHASAN I. PENGERTIAN ASUMSI

Dalam buku “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer” yang ditulis oleh Jujun S. Suriasumantri, ia mendeskripsikan asumsi secara rinci dengan menghadirkan sebuah cerita dengan dua tokoh penembak yang memiliki latar belakang yang berbeda, pertama seorang ahli tembak dan yang kedua seorang petani yang tidak mempunyai pengalaman dalam dunia tembak, lalu keduanya dipertemukan dalam sebuah arena adu tembak, dan dari sinilah asumsi mulai bermunculan dari berbagai pihak untuk mengambil peruntungan siapa yang akan mereka jagokan? Mereka pun mulai berspekulasi agar tidak salah dalam memilih orang yang akan mereka jagokan. Kemungkinan yang pertama tentunya kemenangan sangat jelas berpihak kepada si penembak ulung jika dilihat dari pengalaman yang telah dia jalani dalam dunia tembak, dan kemungkinan tersebut sangatlah besar peluangnya untuk lolos menjadi pemenang. Lalu disana pun masih ada kemungkinan kedua yaitu keberuntungan si petani untuk lolos menjadi pemenang, walaupun keahlian menembak tak dia kuasai, tetapi paling tidak masih ada sedikit


(5)

peluang untuknya agar menjadi pemenang dalam adu tembak ini.

Setelah menyimak cerita tersebut kita pun mulai ikut berasumsi (menduga-duga) manakah yang akan lolos menjadi pemenang? Si jago tembak kah sesuai dengan hukum alam yang berlaku? Atau si petani kah karena peluang yang dimilikinya membawa dia kepada keberuntungan?

Dari cerita di atas, bisa disimpulakan bahwa asumsi dapat diartikan sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berfikir karena dianggap benar. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) asumsi adalah asum·si n1 dugaan yg diterima sbg dasar; 2 landasan berpikir krn dianggap benar;

meng·a·sum·si·kan v menduga; memperkirakan; memperhitungkan; meramalkan3

Sedangkan pengertian asumsi dalam filsafat ilmu ini merupakan anggapan/ andaian dasar tentang realitas suatu objek yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu. Tanpa asumsi anggapan orang atau pihak tentang realitas bisa berbeda, tergantung dari sudut pandang dan kacamata apa.

II. Fungsi ASUMSI

3http://kbbi.web.id/index.php?w=asumsi, Senin 30 September 2013, Jam


(6)

Suharsimi menyebutkan dalam bukunya dahwa didalam penelitian, asumsi/anggapan dasar sangat perlu untuk dirumuskan secara jelas sebelum melangkah mengumpulkan data. Perlunya peneliti merumuskan asumsi/anggapan dasar antara lain 4

1. Agar ada dasar berpijak yang kokoh bagi masalah yang

sedang diteliti.

2. Untuk mempertegas variable yang menjadi pusat perhatian.

3. Guna menentukan dan merumuskan hipotesis.

III. PENGGUNAAN ASUMSI

Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjun, 1995):

1. Deterministik.

Deterministik adalah hukum alam yang bersifat universal. Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat

4 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, PT


(7)

bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. (Jujun, 1995, hal.75)

2. Pilihan Bebas

Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. (Jujun, 1995, hal.75)

3. Probabilistik

Posisi Probabilistic berada diantara keduannya (determministik dan pilihan bebas), dimana posisi tersebut menyatakan bahwa gejala umum yang universal itu memang ada namun sifatnya berupa peluang (probabilistik).

Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara


(8)

kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.5

Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan.

6Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan

tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif

Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang. Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang

5 Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer,

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. h.76

6 Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer,


(9)

mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.

IV. PENENTUAN DAN MENGEMBANGKAN ASUMSI

Dalam penelitian kita diharuskan untuk menyusun asumsi. Hal ini sebagai stimulus, agar kita mencari pembuktiaan sebuah kebenaran ilmiah. Dalam menyusun asumsi ini kita tidak boleh sembarangan, akan tetapi kita harus melihat konteks atau objek yang kita teliti. Untuk menentukan asumsi harus didasarkan atas kebenaran yang telah diyakini oleh peniliti. Sebelum menentukan asumsi peneliti harus lebih mengetahui terhadap sesuatu dengan cara: 7

1. Dengan banyak membaca buku, surat kabar atau terbitan lain.

2. Dengan banyak mendengar berita, ceramah, pembicaraan orang lain.

3. Dengan banyak berkunjung ke tempat (lokasi penelitian). 4. Dengan mengadakan pendugaan meng-abstraksi

berdasarkan perbendaharaan pengetahuannya.

Setelah kita menentukan asumsi, maka asumsi tersebut dapat dikembangkan dengan cara:

1. Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu.

7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, PT


(10)

2. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis

3. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN


(11)

Keberadaan asumsi sebagai bagian dari filsafat ilmu merupakan hal yang sangat penting karena asumsi berfungsi sebagai bagian yang mendasar yang harus ada. Asumsi adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh penilti yang harus dirumuskan secara jelas yang memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Untuk memperkuat permasalahan

2. Membantu peneliti dalam memperjelas, menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan data, instrumen pengumpulan data.

Untuk dapat merumuskan anggapan dasar, penilti harus banyak membaca buku, mendengarkan informasi dari berbagai sumber dan mengunjungi lokasi penelitian.

Seperti yang disampaikan di depan bahwasanya makalah ini jauh dari kesempurnaan yang tentunya belum memenuhi standar ‘kepuasaan’ pembaca. Penulis sangat menantikan masukan-masukan yang membangun demi kesempurnaan isi dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


(12)

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

http://kbbi.web.id/index.php?w=asumsi, Senin 30 September

2013, Jam 11:55 PM

http://kbbi.web.id/index.php?w=ONTOLOGI, hari Senin 30


(1)

bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. (Jujun, 1995, hal.75)

2. Pilihan Bebas

Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. (Jujun, 1995, hal.75)

3. Probabilistik

Posisi Probabilistic berada diantara keduannya (determministik dan pilihan bebas), dimana posisi tersebut menyatakan bahwa gejala umum yang universal itu memang ada namun sifatnya berupa peluang (probabilistik).

Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara


(2)

kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.5

Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan.

6Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan

tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif

Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang. Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang 5 Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. h.76

6 Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. h. 77


(3)

mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.

IV. PENENTUAN DAN MENGEMBANGKAN ASUMSI

Dalam penelitian kita diharuskan untuk menyusun asumsi. Hal ini sebagai stimulus, agar kita mencari pembuktiaan sebuah kebenaran ilmiah. Dalam menyusun asumsi ini kita tidak boleh sembarangan, akan tetapi kita harus melihat konteks atau objek yang kita teliti. Untuk menentukan asumsi harus didasarkan atas kebenaran yang telah diyakini oleh peniliti. Sebelum menentukan asumsi peneliti harus lebih mengetahui terhadap sesuatu dengan cara: 7

1. Dengan banyak membaca buku, surat kabar atau terbitan lain.

2. Dengan banyak mendengar berita, ceramah, pembicaraan orang lain.

3. Dengan banyak berkunjung ke tempat (lokasi penelitian). 4. Dengan mengadakan pendugaan meng-abstraksi

berdasarkan perbendaharaan pengetahuannya.

Setelah kita menentukan asumsi, maka asumsi tersebut dapat dikembangkan dengan cara:

1. Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu.

7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002 h.59


(4)

2. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis

3. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN


(5)

Keberadaan asumsi sebagai bagian dari filsafat ilmu merupakan hal yang sangat penting karena asumsi berfungsi sebagai bagian yang mendasar yang harus ada. Asumsi adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh penilti yang harus dirumuskan secara jelas yang memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Untuk memperkuat permasalahan

2. Membantu peneliti dalam memperjelas, menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan data, instrumen pengumpulan data.

Untuk dapat merumuskan anggapan dasar, penilti harus banyak membaca buku, mendengarkan informasi dari berbagai sumber dan mengunjungi lokasi penelitian.

Seperti yang disampaikan di depan bahwasanya makalah ini jauh dari kesempurnaan yang tentunya belum memenuhi standar ‘kepuasaan’ pembaca. Penulis sangat menantikan masukan-masukan yang membangun demi kesempurnaan isi dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


(6)

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

http://kbbi.web.id/index.php?w=asumsi, Senin 30 September

2013, Jam 11:55 PM

http://kbbi.web.id/index.php?w=ONTOLOGI, hari Senin 30