sumber protein utama bagi induk semang Mudita et al., 2009;2010. Pathak 2008 mengungkapkan protein yang berasal dari mikroba rumen merupakan dua pertiga dari sumber
asam amino yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Chumpawadee et al. 2006 mengungkapkan protein mikroba menyumbangkan 70-80 asam amino untuk ternak
ruminansia. Bahkan Russell et al. 2009 mengungkapkan sumbangan asam amino dari mikroba rumen ini bisa mencapai 90.
Terhadap konsentrasi N-NH
3
, pemberian ransum terfermentasi bioinokulan RBR
1
T
3
, RBR
2
T
2
dan RBR
2
T
3
secara nyata P0,05 mampu meningkatkan produksi N-NH
3
rumen sebesar 24,33 - 31,79 dibandingkan dengan produksi N-NH
3
yang dihasilkan oleh ternak yang diberi ransum tanpa terfermentasiRB
12,14 mM Tabel 9. Konsentrasi N-NH
3
rumen sangat dipengaruhi oleh degradasi protein pakan dalam rumen. Hristov et al. 2004 menyatakan, bahwa
konsentrasi N-NH
3
rumen cenderung lebih besar pada ternak yang diberi pakan dengan tingkat kecernaan protein dalam rumen yang lebih tinggi dibanding dengan pemberian pakan standar.
Hal ini secara nyata ditunjukkan dalam penelitian ini, dimana pemberian pakan terfermentasi yang mempunyai tingkat serta jumlah protein tercerna yang lebih tinggi akan menghasilkan
konsentrasi N-NH
3
rumen yang lebih tinggi pula. Terhadap konsentrasi VFA parsial, pemberian ransum terfermentasi mengakibatkan
penurunan konsentrasi VFA parsial rumen setelah 3 jam konsumsi ransum, kecuali terhadap produksi asam iso valerat dan n valerat, dimana pemberian RBR
2
T
3
menghasilkan konsentrasi iso valerat dan n valerat yang sama dengan pemberian RB
Tabel 9. Penurunan konsentrasi VFA parsial kemungkinan disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu konsumsi serat kasar ransum
yang lebih rendah Tabel 8 dan terjadinya penyerapan VFA yang lebih cepat akibat ransum lebih fermentable dan tersedianya asam-asam organik VFA pada ransum terfermentasi sejak
sebelum dikonsumsi ternak akibat proses fermentasi ransum.
5.3 Variabel Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Ransum
Pengaruh pemanfaatan ransum terfermentasi bioinokulan yang diproduksi dari limbah isi rumen sapi bali dan rayap terhadap jumlah dan tingkat kecernaan bahan kering dan nutrien
ransum oleh sapi bali disajikan pada Tabel 10. Terhadap jumlah bahan keringBK, bahan anorganikabu dan serat kasarSK tercerna, pemberian ke-4 perlakuan menghasilkan nilai
berbeda tidak nyata P0,05. Sedangkan terhadap jumlah bahan organikBO dan protein
kasarPK tercerna, pemberian ransum terfermentasi bioinokulan menghasilkan jumlah BO dan PK tercerna masing-masing lebih tinggi P0,05 13,77
– 13,92 dan 29,19 – 40,19 dibandingkan dengan pemberian ransum tanpa terfermentasi bioinokulan RB0 dengan jumlah
BO tercerna 2043,24 geh dan jumlah PK tercerna sebesar 346,35 geh Tabel 10.
Tabel 10. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah dan Tingkat Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Ransum Penelitian oleh Sapi Bali Penelitian
No Peubah
Perlakuan
1
SEM
3
RBo RBR
1
T
3
RBR
2
T
2
RBR
2
T
3
Jumlah Bahan Kering dan Nutrien Tercerna
1. Jumlah BK Tercerna g
2345,10a
2
2593,56a 2647,14a
2597,47a 99,93
2. Jumlah BO Tercerna g
2043,24a 2324,65b
2327,32b 2327,64b
35,16 3
Jumlah Abu Tercerna g 301,86a
268,92a 319,81a
269,82a 74,78
4 Jumlah SK Tercerna g
432,55a 414,85a
403,75a 369,23a
14,11 5
Jumlah PK Tercerna G 346,35a
447,43b 473,88b
485,54b 10,69
Tingkat Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Ransum
1 Kecernaan BK
62,53a
2
64,39a 65,71a
65,29a 2,10
2 Kecernaan BO
66,89a 71,37ab
71,81ab 72,27b
1,09 3
Kecernaan Abu 43,42a
34,81a 40,58a
35,54a 9,48
4 Kecernaan SK
54,91a 64,69ab
65,87b 66,01b
2,01 5
Kecernaan PK 67,72a
75,16ab 77,18b
77,54b 1,58
Keterangan: 1 Ransum Perlakuan
a. RB0 = Ransum basal tanpa terfermentasi
b. RBR
1
T
3
= Ransum terfermentasi Bioinokulan BR
1
T
3
c. RBR
2
T
2
= Ransum terfermentasi Bioinokulan BR
2
T
2
d. RBR
2
T
3
= Ransum terfermentasi Bioinokulan BR
2
T
3
2 Hurup sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata P0,05 3 SEM= Standard Error of the Treatment Mean
Dihasilkannya jumlah bahan organik dan protein kasar tercerna yang lebih tinggi pada pemberian ransum terfermentasi ketiga bioinokulan RBR
1
T
3
, RBR
2
T
2
dan RBR
2
T
3
diakibatkan proses fermentasi ransum berbasis limbah pertanian menggunakan ketiga bioinokulan
menghasilkan silase ransum dengan palatabilitas yang lebih tinggi yang ditunjukkan dengan adanya konsumsi bahan kering ransum yang lebih tinggi 5,96-7,30 Tabel 8 serta mempunyai
kandungan protein kasar 8,45 –15,51 lebih tinggi dibandingkan dengan ransum basal RB
,
walaupun dengan kandungan BO lebih rendah 0,52-1,17 Tabel 7, namun tingkat konsumsi yang lebih tinggi menghasilkan jumlah bahan organik dan protein kasar tercerna lebih tinggi.
Sedangkan jumlah bahan kering, bahan anorganik dan serat kasar tercerna yang sama pada semua perlakuan disebabkan karena pada proses biofermentasi, mikroba bioinokulan juga
membutuhkan nutrien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuhnya Fellner, 2004; Leng, 1997 sehingga mengakibatkan kandungan beberapa nutrien mengalami penurunan Tabel 7.
Peningkatan jumlah konsumsi pada ransum yang mempunyai kandungan nutrien yang lebih rendah akan menyeimbangkan jumlah suplai nutrien bagi induk semang Tabel 10
Terhadap tingkat kecernaan bahan keringKc.BK dan kecernaan bahan anorganikabu ransum, pemberian semua ransum perlakuan menghasilkan tingkat kecernaan yang berbeda tidak
nyata P0,05, walaupun secara kuantitatif pemberian RBR
1
T
3
, RBR
2
T
2
dan RBR
2
T
3
menghasilkan Kc.BK lebih tinggi P0,05 masing-masing sebesar 2,98, 5,08 dan 4,42 dibandingkan dengan RB
, namun terhadap Kc.Abu, pemberian ransum terfermentasi mengakibatkan penurunan secara kuantitatif P0,05 kecernaan bahan anorganikabu sebesar
6,55 - 19,82. Sedangkan terhadap kecernaan bahan organik Kc.BO ransum meningkat secara nyata P0,05 sebesar 8,04 pada pemberian ransum RBR
2
T
3
. Pemberian RBR
1
T
3
dan RBR
2
T
2
belum menghasilkan peningkatan nilai Kc.BO secara nyata P0,05, namun secara kuantitatif terjadi peningkatan Kc.BO masing-masing sebesar 6,70 dan 7,35 dibandingkan dengan
pemberian RB0. Terhadap kecernaan serat kasarKc.SK dan kecernaan protein kasarKc.PK ransum, pemberian ransum terfermentasi RBR
2
T
2
dan RBR
2
T
3
mampu meningkatkan secara nyata P0,05 Kc.SK sebesar 19,97 dan 20,21 serta Kc.PK sebesar 13,96 dan 14,50,
sedangkan pemberian RBR
1
T3 secara kuantitatif mampu meningkatkan Kc.SK dan Kc.PK masing-masing sebesar 17,80 dan 10,98 dibandingkan pemberian RB
, namun secara statistik berbeda tidak nyata P0,05.
Peningkatan kecernaan bahan organik Kc.BO, kecernaan serat kasar Kc.SK dan kecernaan protein Kc.PK ransum yang dikonsumsi sapi bali pada pemberian ransum
terfermentasi merupakan respon positif dari peningkatan kualitas ransum akibat proses biofermentasi bioinokulan. Biofermentasi ransum berbasis limbah pertanian menggunakan
bioinokulan BR
1
T
3
, BR
2
T
2
dan BR
2
T
3
yang kaya mikroorganisme bakteri dan fungi pendegradsi serat Tabel 4 yang mempunyai kemampuan degradasi serat pakan yang cukup
tinggi Tabel 5 dan aktivitas enzim lignoselulolitik yang tinggi telah menghasilkan silase
ransum ransum terfermentasi berkualitas tinggi dengan kandungan serat yang lebih rendah dan kandungan protein kasar yang lebih tinggi Tabel 7. Pemberian ransum dengan kualitas yang
lebih baik sudah tentu akan menghasilkan tingkat kecernaan ransum yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyudi 2012 yang menunjukkan penambahan isolat
bakteri dan jamur pendegradasi lignoselulosa yang diisolasi dari saluran pencernaan kerbau, kuda dan feses gajah mampu meningkatkan kecernaan serat kasar, neutral detergent fiberNDF,
dan acid detergent fiberADF jerami padi. Penambahan isolat tunggal bakteri Enterococcus casseliflavus menghasilkan peningkatan kecernaan serat kasar, NDF dan ADF paling optimal
yaitu sebesar 20,08, 14,04 dan 7,78. Hasil penelitian Lamid et al. 2010 menunjukkan penambahan 5 enzim lignoselulolitik dan 5 bakteri lignoselulolitik menghasilkan ransum
lebih berkualitas serta mampu meningkatkan produktivitas ternak domba. Serat kasar merupakan faktor pembatas utama pemanfaatan ransum oleh ternak termasuk
ternak ruminansia seperti sapi bali
Howard et al., 2003;
Perez et al., 2002, Mudita et al., 2009- 2012. Ransum dengan kandungan serat kasar tinggi akan lebih sulit dimanfaatkan oleh ternak
daripada ransum dengan kadar serat kasar yang lebih rendah. Hal ini secara nyata tampak pada penelitian ini, dimana ransum tanpa terfermentasi yang mempunyai kandungan serat kasar lebih
tinggi mempunyai tingkat kecernaan lebih rendah daripada ransum terfermentasi Tabel 10.
5.4 Variabel Profil Kimia Darah dan Komposisi Kimia Tubuh Sapi Bali