IBNU TAIMIYAH SANG PEMBARU PENCETUS NEO-SUFISME

WAWASAN ISLAM

IBNU TAIMIYAH;
SANG PEMBARU PENCETUS NEO-SUFISME
MUHAMMAD ROFIQ MUZAKKIR
(Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, Aktivis PCIM Mesir, Kader PDM OKI-Sum-Sel)

w.

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

as-salaf (reaktualisasi paham salafiyah) dengan mengupayakan
tegaknya kembali warisan keshalihan terdahulu (Siregar, 2002:

300). Puncak dari usaha untuk memperbarui tasawuf pada masa
sebelum Ibnu Taimiyah ada pada diri al-Ghazali (w. 505 H/1111
M) dengan karya monumentalnya Ihya Ulumuddin. Dalam bukunya tersebut al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu yang tertinggi
ialah ilmu tasawuf, suatu ilmu yang mendukung orientasi batini
keagamaan (Madjid, 2009: 88)
Namun, proyek sintesa ortodoksi dengan sufisme yang
tercermin dalam sufisme ortodoks al-Ghazali justru menyisakan
bahaya besar bagi perkembangan sufisme di kemudian hari.
Kegiatan kritis, sintesis dan pembaruan al-Ghazali, pada waktu yang
sama, ternyata menjadi titik balik dalam sejarah spiritual Islam, dan
memaksa aliran ide-ide di masyarakat ke arah divisi-divisi dan
kombinasi-kombinasi baru (Rahman, 2003: 208). Bahaya besar
yang lahir pasca sintesa tersebut adalah dua hal berikut; pertama,
munculnya bermacam-macam tarikat. Tasawuf yang sebelumnya
hanyalah sebuah ajaran spiritual yang tersistematisir, pasca Ghazali
justru berubah menjadi sebuah ikatan persaudaraan yang
teroganisir, memiliki sistem dan silabus sendiri-sendiri. Agama
populer (religion within religon) inilah yang memiliki andil sangat
signifikan dalam proses kemorosotan serta degradasi umat Islam
pasca al-Ghazali. Seperti diketahui bahwa al-Ghazali hidup pada

masa era Perang Salib. Sebagai seorang ulama ia semestinya
menggelorakan perlawanan untuk kaum Salib yang tengah menjadi
bahaya di ufuk mata. Namun nyatanya al-Ghazali justru memilih
jalur skeptis terhadap dunia aktivisme dan mengambil jalan uzlah
serta mengajak umat Islam bertobat, sebab Perang Salib baginya
adalah hukuman yang ditimpakan Allah kepada kaum Muslimin
sebab dosa-dosa mereka (Hilmi, 2005: 285).
Bahaya kedua yang menjadi ekses di luar skenario yang
dirancang al-Ghazali adalah berkembangnya theosofi sufi
(Rahman, 2003: 203). Ibnu Taimiyah sendiri menuduh bahwa
genealogi thesofi sufi (tasawuf falsafi) bisa dilacak pada pemikiran
al-Ghazali dalam karyanya Misykatul Anwar dan Kimiau Saadah.
Pemikiran al-Ghazali tentang kasyf menjadi gerbang pembuka
bagi munculnya pemikiran spekulatif di bidang tasawuf yang muncul
di kemudian hari. Namun demikian, para theosufis sendiri
sesungguhnya enggan mengakui al-Ghazali sebagai sosok yang
melempengkan jalan bagi proyek yang mereka usung. Dalam
Magnum Opus-nya “al-Futuhat al-Makkiyah” Ibnu Arabi
mengatakan bahwa al-Ghazali belum mencapai derajat “dekat
dengan Allah”, karena ia masih berpandangan bahwa kenabian

adalah pintu yang sudah tertutup sementara para theosofis
mengimani bahwa wahyu belumlah selesai (Hilmi, 2005: 286).

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

Pendahuluan
Tasawuf adalah salah satu diskursus yang paling banyak
diperbincangkan dan senantiasa mengundang perdebatan pro
dan kontra di tengah pemikir Islam dalam setiap putaran zaman.
Pro dan kontra tersebut di samping disebabkan oleh karakter
tasawuf yang sangat personal dan subyektif, juga karena tasawuf
dianggap telah menggelincirkan umat Islam kepada sikap lembek
dan fatalistik yang tidak kompatibel dengan ajaran Islam.
Bandingkan dengan fiqih, yang walaupun sering menjadi sumber

konflik juga terkadang mampu menjadi instrumen pemersatu dan
ciri utama dari peradaban Islam (al-Jabiri, 1990: 97).
Selama ini berkembang sebuah kesalahpahaman dalam
mempersepsikan sikap seorang mujaddid besar dalam sejarah
Islam, Ibnu Taimiyah, terhadap diskursus Tasawuf. Ignaz Goldziher
dan Lois Massignon, dua orang tokoh orientalis terkemuka misalnya, mencitrakan Ibnu Taimiyah sebagai seorang puritan yang paling
besar ‘tongkatnya’ dalam menggebuk tasawuf. Kenyataan sesungguhnya tidaklah demikian. Dalam diri Ibnu Taimiyah sesungguhnya
terdapat sebuah sikap kosmopolitan yang berhasil menggabungkan
antara apresiasi terhadap dimensi spiritual tasawuf, terutama yang
berdiri kokoh di atas doktrin Al-Qur’an dan As-Sunnah al-Maqbulah,
dan sikap oposisi terhadap tasawuf yang memancar dari pemikiran
filosofis yang spekulatif dan praktik-praktik yang eksesif.

De
mo
(

Jejak Al-Ghazali dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah lahir pada periode kritis yaitu pada tahun 1263
M, lima tahun pasca kejatuhan Baghdad sebagai simbol

kekhalifahan ke tangan tentara Mongol. Dalam situasi Islam dan
umat Islam yang serba terpuruk Ibnu Taimiyah mengumandangkan
gerakan pemurnian dan pembaruan Islam. Kondisi yang penuh
gesekan dengan ulama pendukung kekuasaan dan yang sejak
awal tidak sepaham dengan Madzhab Hanbali, selain dengan
penguasa Islam kala itu, menghantarkannya pada nasib buruk
hingga dipenjara beberapa kali. Di penjara itu pula, di kota
Damaskus, pada tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H, Syeikh Islam
sang pembaru dari Harran itu wafat. Kendati nasibnya tragis sebagai
korban kesewenang-wenangan rezim ulama dan penguasa kala
itu, namun namanya harum hingga saat ini sebagai sosok pembaru
dan pelopor kebangkitan Islam yang sangat ternama dan
cemerlang di dunia Islam (Nashir, 2010: 82-6).
Seperti dinyatakan oleh Fazlur Rahman, gagasan Ibnu Taimiyah
di bidang tasawuf adalah penajaman kembali dan sampai batas
tertentu juga kritik terhadap proyek sintesa sufisme dan ortodoksi
yang telah dilakukan sebelumnya oleh para tokoh sebelum Ibn
Taimiyah. Tujuan sufisme ortodoks sendiri adalah untuk ihya atsar
48


20 SYAKBAN - 5 RAMADLAN 1431 H

WAWASAN ISLAM

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

kaum sufi tidak berbuat apa-apa saat Perang Salib dan Perang
Mongol tengah bergejolak di dunia Islam.
Ajaran-ajaran tarikat yang menekankan sikap pasrah terhadap
syaikh dan menghilangkan kebebasan dari para murid juga menjadi
sasaran kritik tersendiri bagi Ibnu Taimiyah. Ia banyak menyerang
ritus-ritus sufi dan praktek-praktek pemujaan makam serta pengkultusan wali-wali mereka. Tentang para syaikh sebagai guru spiritual

sendiri Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang sangat moderat.
Ia mengakomodasi konsep mursyid atau syaikh dalam tasawuf
dan memilih untuk mengkritik ekslusifitas kaum sufi karena mewajibkan berguru pada satu syaikh saja (Taimiyah, 2006: IX/512).
Kritik terkeras yang dilancarkan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf
adalah pada tasawuf falsafi, khususnya konsep Wahdatul Wujud
Ibnu Arabi (w. 638 H/1240 M) dan Ittihad al-Hallaj (w. 308 H/920
M). Wahdatul Wujud (doktrin monistik) menurut Ibnu Taimiyah
adalah ancaman yang sangat fatal terhadap konsep syariah Islam.
Konsep kesatuan transedensi agama-agama adalah ciri esensial
dari wujud Ibnu Arabiy yang menghantam prinsip tauhid Islam (Hilmi,
2005, 351). Theosofi sufi menurut Ibnu Taimiyah juga telah
melakukan bid’ah yang tak termaafkan. Suhrawardi (w. 578 H/
1182 M) yang dijuluki al-maqtul karena terbunuh di tiang gantungan,
misalnya, mengatakan bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa
diperoleh siapapun (al-nubuwwah muktasabah) (al-Jabiri, 1990:
299). Para theosofis karena terpengaruh fikiran spekulatif filsafat
neo-Platonis juga mengatakan bahwa derajat para wali lebih tinggi
daripada derajar pada nabi. Beberapa kalangan berusaha untuk
tetap akomodatif dengan syatahat (pernyataan ekstatis para sufi)
karena ia dibuat dalam keadaan ‘mabuk’ (al-majbur ma’dzur) (Ibnu

Khaldun, 2006: 1080). Bagi kalangan ini pernyataan ekstatis tersebut
hanya bisa dirasakan kebenarannya oleh kaum sufi sendiri dan
memang tidak bisa didesiminasi ke sembarang orang. Namun
karakter yang demikian itulah yang dihujani kritik oleh Ibnu Taimiyah
yang beraliran empirik karena akan menutup pintu terjadinya
penyelidikan ilmiah. Abid al-Jabiri (1990: 291) pemikir kontemporer
kawakan juga mengkritik epistem seperti itu karena akan menabrak
dan mendekstruksi prinsip ilmiah dalam ilmu pengetahuan (baca:
burhani) dan prinsip pemaknaan makna terhadap teks-teks agama
(baca: bayani). Wallahu A’lam.•

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/

/w
w

w.

Neo-Sufisme Ibnu Taimiyah
Neo sufisme adalah sufisme yang telah diperbarui (reformed
sufism) (Rahman, 2003: 285). Sumbangan positif yang dilakukan
oleh Ibnu Taimiyah dalam neo-sufismenya adalah penekanan
motif moral tasawuf dan penerimaan sebagian tehnik dzikr,
muraqabah dan konsentrasi spiritualnya. Namun obyek dan
kandungan konsentrasi ini diidentikkan dengan doktrin ortodoks
dan tujuannya didefinisikan kembali sebagai penguatan iman
kepada ajaran-ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa.
Dalam neo-sufismenya, Ibnu Taimiyah memasukkan unsur
purifikasi yang ia anggap dapat mendorong secara efektif
rekonstruksi sosial masyarakat Muslim. Ia juga menekankan
corak aktivisme ketimbang pasifitas dalam menghadapi kehidupan.
Doktrin asketisme (zuhud) yang eksesif dan uzlah yang
kontraproduktif bagi perubahan tidak tersisa sama sekali dalam

gagasan genial neo-sufisme Ibnu Taimiyah. Dalam neosufismenya, Ibnu Taimiyah masih menggunakan terminologiterminologi sufi seperti salik (penempuh jalan spiritual) dan kasyf
(intuisi), namun dengan substansi yang telah ia reformasi.
Mengenai yang disebut terakhir, Ibnu Taimiyah menerima kasyf
para sufi, namun ia menolak klaim infallibilitasnya, yaitu bahwa
pengalaman sufi tidaklah memiliki validitas yang tak tergoyahkan
dan eksklusif, sehingga dalam kenyataannya validitas
kandungannya harus diuji dengan rujukan kepada dunia luar
Kritik yang tajam juga diarahkan Ibnu Taimiyah terhadap
tasawuf populer (tarikat). Baginya tarikat tak lain adalah
pelembagaan sikap fatalistik (istislam) yang dibalut dengan simbolsimbol spiritual seperti tawakal, sabar dan tunduk. Watak ajaran
Islam yang esensial adalah aktivisme, sehingga seluruh pemikiran
yang menyerukan untuk mengisi dunia hanya dengan duduk
berdzikir, tenang dan tidak berani menghadapi gelombang
kehidupan adalah tidak layak untuk disebut Islam. Dalam menelisik
akar sikap fatalistik pada kaum sufi ini, ia menemukan adanya
doktrin al-jabariyah sebagai pemain utama yang bertanggungjawab terhadap kemunduran Islam. Kaum sufi menurutnya
telah salah paham dalam memaknai kehendak Tuhan, di mana
mereka berkeyakinan bahwa setiap tindak tanduk kita di dunia
adalah kreasi Tuhan. Teologi seperti itulah yang menyebabkan


SUARA MUHAMMADIYAH 15 / 95 | 1 - 15 AGUSTUS 2010

49